50 6 0
                                    

A/N: Harap dimaklumi kalo ada typo, belum di cek lagi soalnya, hehe.

🌅🌅🌅

"Mencari tahu, berarti harus siap melihatnya jatuh ke lubang hitam yang sama lagi."

--Anggara Yudhis Faresta
.
.

Ares membaca artikel mengenai kasus pembunuhan yang terjadi tujuh tahun lalu. Ia selalu melakukan hal ini apabila sedang libur dari pekerjaan kantor. Ia tidak percaya bahwa yang melakukan hal keji semacam itu adalah Citra.


Sudah bertahun-tahun pria berusia empat puluh lima itu mencari tahu--bahkan, sampai menyewa beberapa mata-mata juga anak buah. Tapi, sampai sekarang tidak ada satu pun titik terang yang ia dapatkan, kecuali beberapa pernyataan fakta dari para tetangga sekitar, yang rumahnya bersebelahan dengan rumah sahabatnya--Danu Brata Wiranto.

Ares melpaskan kaca mata beningnya sejenak, kemudian mengusap wajahnya. Guratan-guratan keriput yang mulai terlihat di sudut mata, tak membuat wajah pria paruh baya itu terlihat tua. Malah wajah darah mudanya masih terlalu kentara di sana.

Pintu ruangan yang diketuk beberapa kali membuat Ares memutar tatapannya pada pintu tersebut.

"Masuk." katanya tanpa bangkit dari kursi yang sedari tadi ia duduki.

Ceklek.

Muncul sosok anak semata wayangnya di sana, masih dengan seragam sekolah yang melekat serta tas ransel yang tersampir dibahu kanannya.

"Kok baru pulang kamu?" Ares memakai kacamatanya kembali, lalu beralih menatap Angga yang sudah duduk di hadapannya.

"Kan, udah aku bilang Pa, nggak perlu cari-cari tau lagi. Percuma, semua kuncinya ada di memori Tari."

"Tapi usaha cari tau sendiri, kan, nggak ada salahnya,"

"Iya, tapi semua usaha Papa itu sia-sia! Nggak membuahkan hasil. Mendingan kita sama-sama nunggu, sampai Tari inget 'semuanya." Angga menatap sang Ayah yang menghela napas lelah.

"Kamu nggak kasian, liat Mamanya Tari terus-terusan hidup di penjara, padahal bukan beliau pelakunya," ucap Ares lagi-lagi menghela napas.

"Tapi, Pa--

Ares mengangkat tangan kanannya, "Udah, Papa nggak mau denger apa pun lagi. Intinya, kamu masih mau bantuin Papa mecahin masalah ini, atau enggak?"

Angga mengalah, ia mengangguk pasti.

"Sana, ganti baju kamu! Jangan dibiasakan pulang sekolah langsung jumpain Papa sebelum kamu ganti baju."

Angga mencibir pelan, kemudian mengambil tasnya dan memeluk sang ayah dari samping sekilas.

"Bau keringat!" ledek sang Ayah dengan memukul lengan Angga pelan.

Angga mengendus badannya, "Ah, Papa bener ternyata," gumamnya sambil terkekeh.

Di sisi lain, Tari yang baru saja tiba dirumah, langsung mengganti baju sekolahnya dengan baju kaos berlengan panjang dipadukan celana jeans selutut. Tak lupa dengan mengikat rambut panjangnya menjadi satu, yang sedari tadi tergerai.

Setelah beres, Tari keluar kamar dan menuju dapur untuk mencari cemilan.

Rumah Tari yang saat ini memang terbilang cukup minimalis, sangat berbanding jauh dengan rumahnya yang lama. Jika rumahnya dulu bertingkat dua, maka rumahnya yang sekarang tidak ada apa-apanya. Hanya ada dua kamar, dan satu kamar mandi beserta closet di  dalamnya.

DiferenteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang