"Kau sudah lihat berita terpanas pagi ini?" Stella, sahabatku, bertanya antusias.
Aku hanya menontoninya yang merapikan beberapa peralatan tulisnya sambil mengunyah permen karet, "Yeah, konflik Trump dan Kim Jong Un semakin memanas dan negara kita menjadi sangat panas."
"Geez, bukan, kau sangat kuno. Jordyn, Tristan dan Khloe. Kau serius belum mendengarnya?" Ia menutup tasnya, memutar badannya ke arahku, menatapku tajam dan lekat seolah sedang menghakimi seorang pencuri.
"Okay, I'm joking. Aku sudah melihatnya pagi ini. Kurasa itu sudah biasa terjadi di kalangan artis. Terlebih, mereka keluarga penuh sensasi, mungkin itu salah satu trik bisnis mereka." Aku berucap enteng.
"Who knows," ucapku lagi.
Jujur saja, aku tidak terlalu suka jika Stella sering bergosip tentang artis atau teman sekelas atau ibu kantin yang pernah menjual makanan busuk. Meski terkadang gosipnya cukup berguna, tetapi mendengarnya setiap hari seperti ini membuat telingaku pening.
"Ini bukan soal trik bisnis, tetapi persahabatan Kylie dan Jordyn. Aku penasaran apa yang akan Kylie lakukan pada sahabatnya." Ia mendahuluiku berdiri, membuat kami beranjak keluar kelas.
"I told you. He is asshole. Man are assholes and they all are the same." Aku membuang permen yang sudah berwarna putih ke tempat sampah dan mendapati Stella memutar matanya. Ia membenci kata itu, sama seperti aku membenci antusiasnya terhadap gosip.
"Yeah, whatever you say, but my-Will is not the same," Ia menekkan nadanya pada kata Will. Tentu, Stella cinta mati padanya.
Aku menghela napas, "Well, mereka semua sama. Kau hanya belum menyadarinya. Dan kuharap Will tidak akan menunjukkan sisi brengseknya."
"El!!"
Aku hanya bisa tertawa, ia selalu kesal setiap kali aku menjatuhkan Will di depannya. Lihatlah, budak cinta itu nyata adanya.
"What's wrong with my words?" Kedua pundakku terangkat, menunggu pengelakkan lainnya dari Stella.
"Berhenti mengatakan semua pria adalah bajingan, karena itu tidak sepenuhnya benar."
Lihat? Bahkan Stella sengaja menaikkan suaranya sehingga sekelompok pria di sekitar kami mulai memberikan perhatiannya pada obrolan kami. Well, aku tidak peduli.
"Baiklah, jika kau tak menyukainya, biarkan aku menjadikannya sebagai motto hidupku. Kita sering membahasnya, Stella. Astaga, lihat, kita beradu argumen hanya karena assholes. Mereka memang assholes."
"Oh, c'mon, El. You're not lesbian and you hate guy, then what are yo—wait, where are you going?" Ia berhenti melangkah ketika kami berbelok berlawanan arah di persimpangan.
Aku memejamkan mata, bergumam pelan. Tentu Stella akan menarikku ke Scoop Doop, hari ini jadwal kerjaku.
"I'm truly sorry, Stel. Aku tidak bisa bekerja hari ini."
"Kenapa?"
Ekspresiku secara otomatis berubah, memberikan tatapan yang pasti Stella sudah mengerti apa maksudnya.
"Lagi? Oke, baiklah. Akan kusampaikan pada Victor tapi—"
Aku langsung memeluknya erat, membuatnya kesulitan bernapas, "Kau memang sahabatku!!"
"Tapi," Ia melepaskan pelukan kami, menunjukku dengan jarinya, "berjanjilah untuk tidak terus meminum pil itu."
"Okay, capt."
KAMU SEDANG MEMBACA
HIS NEPHALEM
Teen Fiction"You are my nephalem and i will worship you because you deserves it," he said but i said "You are my asshole that piece of shit"