"Tidakkah kau pikir orang yang terlihat baik- baik saja dan selalu tertawa, berusaha menyenangkan orang lain ternyata terluka sangat banyak di dalam dirinya?"
Quote by taeffenie but story is mine.●●●
Lucunya, Jimin tiba-tiba teringat perkataan Mamanya dua tahun lalu. Saat itu tengah musim dingin, dingin yang benar-benar dingin sebab pemanas ruangan di rumahnya tidak bisa bekerja. Benda itu rusak, Papa tidak terlalu punya banyak waktu untuk membuat benda itu kembali berfungsi dan tidak begitu punya uang untuk membeli yang baru. Jadi sebagai ganti untuk menghangatkan tubuh, Mama berinisiatif membalut tubuh mungil Jimin dengan selimut bergambar anak Ayam, ditemani segelas mug berisi coklat panas yang samar-samar aromanya menggelitik penciuman Jimin.
Saat itu Mama tengah sibuk mencuci piring, Jimin tak terlalu berniat membantu saat membayangkan betapa dingin air yang akan menerpa tangannya nanti, well pasti dingin sekali kan. Jadi Jimin lebih memilih mengamati dari sini saja. Duduk tenang sambil berfikir, enaknya mau apa ya? saat musim dingin begini tentunya tak ada yang bisa dilakukan; tak bisa berlarian, tak bisa mencari kumbang, dan yang paling buruk teman-teman tak ada yang keluar. Jimin jadi benci musim dingin. Yang bisa dilakukan hanya mengeruk salju dan membuatnya menjadi sebuah boneka salju seperti Olaf, Jimin bahkan sampai mencuri wortel milik Mama untuk dijadikan hidung Olaf agar semakin terlihat mirip. Sayangnya, Olaf milik Jimin tidak mau hidup.
Jimin membuang nafas. Membosankan, keluhnya dalam hati. Tapi saat kepala mungil Jimin sibuk memikirkan hal-hal random seputar musim dingin, netranya tiba-tiba sudah menangkap presensi Mama yang duduk didepannya sambil tersenyum lembut.
Cantik sekali.
"Jimin memikirkan apa?"
"bosan." Jimin menyahut singkat dengan bibir mengerucut lucu. "Papa dimana Ma? Jimin ingin bermain bersama Papa."
"Papa ya? Mama rasa Papa sedang pergi keluar untuk membelikan Jimin beberapa tusuk udon dan mainan."
"Yang benar Ma!" Jimin tak bisa menahan pekikan dengan mata yang berbinar-binar. Dua bola matanya membulat dengan bentuk lucu yang memikat. Mama tertawa pelan, melayangkan sebuah usapan pada pipi bapao milik jimin sebelum kemudian mencubit buntalan itu dengan pelan. Merasa gemas bukan main dengan kelakuan bocah itu, "benar. tapi Jim, mau dengar Mama bicara tidak?"
kening jimin berkerut, sepersekon kemudian menyahut bingung, "Mama kan dari tadi sudah bicara."
Wanita itu kembali tertawa gemas, tawanya kali ini lebih lebar, membuat sepasang matanya terlihat makin menyipit saat Mama tengah melesakkan sebuah tawa, jenis tawa yang dimiliki Jimin juga, "benar juga, tapi yang ini berbeda." kata mama, Meredakan tawanya, mama kembali berujar dengan suara yang lebih serius, "Jim, kelak ada saatnya hatimu harus lapang untuk menerima kepergian seseorang ya."
Jimin mengerjab polos, "Maksud Mama seperti apa yang dilakukan Papa hari ini ya? Pergi keluar?" katanya
"Bukan Jimin, bukan sesederhana itu." Mama menggelengkan kepala, menatap Jimin dengan lekat, mencurahkan atensinya ke putra satu-satunya. "Ini tentang seseorang yang memilih pergi dari sisimu, entah itu sebab semesta yang memisahkan atau dia yang dari awal berniat pergi tanpa berkeinginan untuk tinggal." menarik nafasnya, dengan binar yang sedikit meredup wanita itu kembali berujar, "yang perlu kau lakukan hanya perlu menerima, jangan terlalu dipikirkan, Mama juga berharap agar kau tidak terlalu merasa kehilangan."
Mama menjeda, terlihat seperti memilah kalimat yang akan dikeluarkan. Sepersekon kemudian kembali menghembuskan nafas sebelum berujar pelan, "Karna Jimin, begitulah cara sang kuasa bekerja. Tiap pertemuan pasti ada perpisahan, tiap yang hidup pasti kelak akan mengecup apa itu kematian, yang sedekat nadi pun bisa menjadi sejauh pendar Matahari." Ucap beliau, dan percakapan hari itu pun berhenti sampai disitu saja, ditutup dengan ekspresi tak mengerti Jimin dan senyum tipis milik Mama, senyum yang jika di teliti lagi terlihat sendu, senyum yang bahkan belum mampu Jimin sadari, lagi pula apa yang di ketahui dari anak berusia sepuluh selain bermain dan bermain.
Tapi dari pada itu semua, keesokannya memang ada yang benar-benar pergi. Perkataan Mama kemarin seolah menjadi pertanda bahwa wanita itu telah mengetahui segalanya. Tahu bahwa Papa akan pergi meninggalkan Mama dan dirinya dengan menggenggam tangan wanita lain. Jimin masih mengingat bagaimana punggung tegap yang menjadi penguat mereka itu berjalan menjauh, begitu tegap dan kokoh bagai tanpa beban. Berbanding terbalik dengan apa yang ada dalam diri Mama, wanita itu seperti siap patah kapan saja. pria itu meninggalkan istri dan anaknya seolah bukan perkara besar, semudah itu. Abai pada Jerit Jimin yang mencegahnya agar tak usah pergi, bocah itu menangis begitu hebat, meraung hingga suaranya nyaris hilang, dan disampingnya sang Mama berusaha menenangkan meski dia juga turut mengeluarkan air mata. Tapi sekali lagi, hal itu bukanlah perkara besar bagi Papanya, pria itu sudah terlalu buta pada cintanya yang baru.
Dan Itu menjadi hal terburuk dalam hidup Jimin juga Mamanya.
Tapi seolah semesta mutlak bersikap kejam, tak perduli seberapa parahnya luka yang bernanah dalam diri, semesta dengan egois masihlah tetap terus berotasi, menegaskan bahwa hidup harus terus berlanjut. Minggu pertama melanjutkan hidup tanpa Papa rasanya begitu berat, Jimin masih sering menangis, dan Mama dibeberapa kesempatan juga banyak melamun. Wanita yang sedari dulu bertugas sebagai ibu rumah tangga, yang tak punya pengalaman kerja, harus pintar memutar otak dan mati-matian mencari nafkah. Menjadi buruh cuci, tukang bersih-bersih, hingga terakhir berhasil mendapatkan kerja di sebuah restoran kecil berkat kemampuan memasaknya. Hidupnya dihabiskan hanya untuk mencari segenggam uang. Melupakan fakta bahwa wanita itu masihlah terpuruk, kadangkala masih diam-diam menangis saat Jimin tengah terlelap, kemudian menjadi sangat ceria esoknya, berusaha menutupi segalanya kendati pendar mata tak pernah bisa berbohong. Terus begitu sampai pada musim dingin seterusnya, tepat dua tahun setelah kepergian Papa dengan wanita lain, tepat saat usia Jimin mulai menginjak angka dua belas.
Mama juga akhirnya ikut menyusul.
Bukan, kepergian Mama tak sesederhana itu, tak sesederhana saat Papa pergi dahulu, yang ini lebih rumit. Mama pergi dengan cara berbeda tentunya, cara yang membuat Jimin sampai tidak mampu bicara selama beberapa hari, tak bisa tidur dan tak berniat untuk menelan makanan, cara yang membuat Jimin membenci musim dingin sampai setengah mati.
Dengan cara, menggantung dirinya sendiri.
Faktanya, semua perkataan Mama seputar perpisahan. Nasihatnya agar Jimin tetap kuat. Nyataannya hanya bualan semata. Mama tidak sekuat itu ternyata, tidak sekuat perkataannya. Beliau telah memutuskan berhenti berjuang dan memilih pergi dengan cara seperti itu, dengan sebuah tali tambang yang melilit leher serta netra yang menyorot potret pernikahannya dulu. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Algos
FanfictionJangan berani-beraninya memikirkan kebahagian. Karna sejatinya kubangan luka penuh nanah selalu menjadi miliknya.