Rinai Hujan

2 1 0
                                    

Hujan Punya Cerita
( Chapter 2 )
.
Awan hitam menggantung di kaki langit. Petir menyambar saling bersahutan. Tetes langit kembali luruh untuk ke sekian kalinya di penghujung oktober.
Aku meregangkan otot. Mengangkat kepala dari sketsa di tangan.

"Kak?" panggil Rain.
Sejak pagi dia memilih mengisi waktu liburnya dengan menemaniku di rumah.
Aku menggumam kecil. Kembali sibuk dengan sketsa gedung yang harus selesai hari ini.
"Pacaran itu apa? Perasaan takut kehilangan dan tak bisa berhenti memikirkan seseorang itu apa namanya?" lanjutnya. 

Aku menghentikan kerja tangan dan beralih memandang Rain. Dia mengajukan pertanyaan serupa dengan sebulan lalu. Saat itu aku bisa mengalihkan perhatiannya agar tak perlu menjawab. Namun kini aku takkan bisa menghindar lagi. Rain si pemilik otak jenius memiliki ingatan yabg cukup tajam. 

"Kak?" tambahnya, masih menunggu jawaban.
"Pacaran itu temenan. Teman dekat dan nantinya menikah," terangku. 
Rain memang berotak jenius, tapi untuk urusan cinta dia masih tak mengerti apapun. Kepolosannya itulah yang membuatku nyaman berada di dekatnya.
"Jadi, apa kakak sama mamas juga pacaran?" 

Aku bungkam. Di antara kami tak pernah ada istilah demikian. Tak ada janji, rayuan atau sejenisnya. Kami hanya merasa nyaman satu sama lain tanpa perlu klaim apapun.
Sesederhana itu. 
"Kalian pacaran ya?" desaknya.
"Apa sih anak kecil gak usah ngomong ngelantur deh," elakku.
"Aku bukan anak kecil! Aku udah gede!" 
Rain mulai merajuk. Melipat tangan di depan dada. Jika sudah demikian, aku tak pernah bisa .encegah tanganku untuk menjawil pipinya.
Rain menangkap tangan yang mendarat di pipinya.
"Kak, perasaan apa ini? Apa aku jatuh cinta padamu?" ujarnya.
Aku menarik tangan yang masih dalam genggamannya.
"Jangan bicarakan hal itu lagi! Kalaupun benar kamu jatuh cinta, hapus perasaan itu! Itu gak benar dan aku gak akan bisa memberikan sesuatu yang tak bisa kulakukan! Aku takkan pernah membalas cintamu!" timpalku, memalingkan wajah.
Bukan karena benci, melainkan berusaha menahan panas pada kelopak mata dan hatiku.
"Kenapa? Apa karena aku masih kecil? Lalu apa yang salah dengan itu? Kita tak bisa memaksa orang lain berhenti mencintai. Cinta itu anugrah Tuhan. Mana mungkin kita bisa mencegah pada siapa kita menjatuhkan cinta itu. Aku juga gak mau punya perasaan ini. Tapi perasaan ini datang begitu saja tanpa bisa dicegah. Aku tak membalas perasaanku. Karena aku yang memutuskan mencintaimu."
Rain si jenius mulai mengeluarkan sisi kedewasaan dalam dirinya. Aku tak lagi menemukan kepolosan dan tangisan setiap kali dia dijahili oleh orang lain. Yang tersisa hanyalah Rain dengan semua ungkapan cintanya yang takkan pernah mewujud nyata.
"Ini sudah sore. Kamu harus pulang dan istirahat. Akan kutelpon Mas Petir untuk menjemputmu!" 
timpalku pada akhirnya. Rain mendesah berat. Menyerah dengan keputusan akhir yang kubuat.
Aku menekan digit angka di ponsel. Beberapa saat kemudian Petir datang dan berlalu membawa Rain pulang. Saat itulah air mataku menganak sungai. Perasaan ini sesungguhnya aku pun tak mengerti. Perlu kau tahu, kau adalah cinta yang tanpa sengaja kutepis.

Beberapa hari berselang setelah itu. Aku bisa menarik napas lega menghadapi sikap Rain yang kembali ceria seperti sediakala. Ungkapan cinta Rain tetap kusimpan tanpa perlu kuberitahu pada Petir. Sampai saat itu tiba. Hari di mana kesehatan Rain kembali memburuk.
Seharian kami menangis di luar ruangan tempat Rain dirawat.
Dia masih belum sadarkan diri sejak dua jam lalu usai memuntahkan seluruh isi perutnya hingga cairan semerah ceri.
Satu jam berikutnya kami mendengar suara dari dalam ruangan memanggil sebuah nama.
Rain siuman. Dan nama yang pertama dia sebut adalah namaku.
Kami saling bertukar pandang sebelum tersadarkan dan menghambur dalam ruangan.
Menit berikutnya dokter memasuki ruangan. Memeriksa kondisi Rain dan mengatakan kondisinya akan kembali stabil.
"Kak?" panggil Rain parau.
Aku menyeka air mata. Semakin mendekat dan menyentuh tangan berselang tersebut.
Petir berdiri di sebelahku. Menepuk bahu berusaha menenangkan.
"Kak, jika ada kehidupan berikutnya dan aku diberi kesempatan kedua. Aku ingin terlahir dengan memanggilmu istriku, bukan kakak," ujar Rain parau. 
Aku menggeleng. Petir? Entah ekspresi apa yang dia perlihatkan mendengar ucapan adiknya itu.
"Kakak mau, kan?" 
Aku bergeming. Terisak.
"Boleh aku minta sesuatu?" 
lanjut Rain. Aku mengangguk samar. 
"Peluk aku sekali ini saja, Kak."
Aku menggeleng keras. Petir menyentuh pundakku. Memberi isyarat persetujuan dari kerling mata yang mengabut.
"Jangan memintaku memelukmu. Aku takut takkan mau melepasnya lagi," sahutku kemudian.
Bibir yang dulu merah itu kini pasi dan tersenyum kaku.
"Sekali ini aja," pinta Rain. 
Aku menunduk. Melingkarkan kedua tangan pada tubuh kurus yang tergolek lemah. 
"Aku mencintaimu," bisiknya lirih di telingaku.
Air mataku semakin menganak sungai.
Menahan satu kalimat yang hampir saja terlontar begitu saja.
Rain tersenyum kecik kemudian kembali terpejam.
Petir terkesiap menggoyangkan tubuh Rain. Tak ada respon, aku pun bergegas memanggil dokter. 
Lima belas menit berikutnya dokter kembali.
"Dek Rain harus mendapat penanganan lebih serius. Alat-alat di sini terbatas dan tak bisa memberikan pelayanan yang seharusnya dikakukan pada penderita kanker. Kalian harus membawanya ke rumah sakit yang memiliki fasilitas lebih lengkap secepatnya," terangnya.
Lututku melemas, terlebih Petir. Dia terlihat hancur dari pertama kali aku mendengar kisah suram hidupnya. Saat itu aku pernah berjanji akan mengembalikan senyumnya. Tapi lihat? Hari ini telah gagal. Malangnya, aku ikut hancur sepertinya.
"Mas?" panggilku lirih. 
Petir masih terisak. Bertumpu pada kedua lutut yang menepi di lantai.
Aku membimbingnya berdiri dan duduk di kursi. 
"Semuanya akan baik-baik aja, Mas. Percayalah!" ujarku menenangkan.
Sesungguhnya kalimat yang kuucapkan tersebut tak lebih sebagai penghibur. Karena sejujurnya, aku juga merasakan kekhawatiran serupa seperti Petir.
Petir bungkam. Isaknya terhenti. Dia menatapku tajam.
"Aku akan membawa Rain berobat ke luar negeri. Sepertinya ini satu-satunya jalan," ujarnya kemudian.
"Kapan, Mas?"
"Secepatnya sebelum terlambat."
Aku merenung. Itu artinya aku akan ditinggalkan oleh dua orang yang sangat penting dalam hidupku. Bagaimana aku bisa menjalani hari tanpa keduanya? Bagaimana jika nanti aku rindu sedang aku tak bisa mengembalikan waktu yang berlalu? Air mataki kembali menganak sungai untuk berbagai alasan yang berpilin dalam hati.
=====
Rembulan bersinar sempurna di kaki langit. Awan hitam menggantung tersapu aurora. Purnama kedua tanpa hujan dan petir. Aku merasakan kehampaan yang menyiksa.
Aku rindu hujan yang menyembunyikan air mata. Rindu pada petir yang memberi banyak cinta dan perhatian. Aku rindu kedua pria yang hilang tanpa secuil kabar.
Kembalilah! Aku masih di tempat yang sama menunggumu.

Hujan Punya CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang