Karam

1 1 0
                                    

HUJAN PUNYA CERITA 
(Chapter 3)
.
Langit menurunkan tirai pekatnya. Gigil malam ini membuat bagian kosong dalam hati semakin kentara. Kerinduan menggumpal menjadi awan kelabu kemudian luruh menjadi hujanan air mata.
Kukemas air mata. Tak ada gunanya menangisi sesuatu yang telah terjadi. Waktu takkan bisa diputar. Serpihan kenanganlah yang tersisa di balik reruntuhan sebuah harap. 
Aku menghembuskan napas berat ke udara. Jalan ini teramat sulit dilalui. 
"My mind is gone. Im spining round. Im loosing grip, what happening."
Aku mencoba berdendang menghilangkan risau. Gagal. Otakku berhenti pada satu panggilan dari nomor asing berkode luar negeri sebulan lalu. Sayangnya, Si penelpon tak mengucapkan sepatah kata pun. Anehnya lagi, aku tetap membiarkan panggilan tersambung selama lima belas menit. Aku merasa dia adalah sosok yang kunantikan setiap saat.Keyakinan membuatku memanggil salah satu nama dari dua bersaudara yang kurindukan, dan telpon pun terputus.
Mencari pengalihan pikiran, kaki menjejak ke halaman. Membiarkan angin malam bersatu dalam pori kulit yang hanya ditutupi lingeering tanpa lengan. Hujan telah reda sejak satu jam lalu. Lalu lalang di depan rumah tiada henti sejak hujan turun. Dalam hitungan jam, tahun akan segera berganti. Mungkin ini pula alasan mereka tetap berkeliaran meski malam semakin larut.
Suara klakson mobil menarik kesadaranku kembali. Terhenyak, membukakan pintu pagar. Memeriksa tamu yang tidak sopan datang menjelang tengah malam.
Mataku mengerjap berusaha mengenali siluet yang duduk di balik kemudi. Mulutku terkunci ketika pintu mobil terbuka. Raut wajah yang sangat kukenali.
"Rinai ..." sapanya.
Aku menggumamkan sebuah nama yang bahkan aku sendiri tak yakin dengan pendengaran juga penglihatan sendiri. Tapi sosok itu. Ini bukan mimpi. Meski dagu dan pipinya kini ditumbuhi bulu, aku masih bisa mengenali pancaran matanya. Dia semakin bertambah tinggi dan atletis. 
"Rinai... kita bertemu lagi. I miss you so much." 
Dia merengkuh tubuhku dalam pelukannya. Otakku masih berjuang mengumpulkan keyakinan bahwa ini bukanlah mimpi. Sebelah kakiku terangkat kemudian menendang selangkangannya dengan lututku. Dia mengaduh.
"Hei, pendek! Apa yang kau lakukan? Ini aset berharga tahu!" rutuknya kesal.
"Ternyata ini bukan mimpi," sahutku sumringah. Mengabaikan ocehan panjang pria di hadapanku. Siapa lagi kalau bukan Rain. He is back.
"Heh, bocah! Ke mana aja kamu selama ini? kenapa menghilang tanpa kabar? kenapa baru kembali sekarang?" omelku.
Rain mendesis kesal.
"Kenapa kamu selalu menyebutku bocah terus sih? Lihat dirimu! Kecil begitu juga. Dasar orang yang aneh!" balasnya.
"Bodo amat! Bocah tetap saja bocah!"
"Rinai ... kau.. "
"Apa, hmm? Apa? Sejak kapan aku mengizinkanmu memanggilku dengan nama saja? Apa kau sudah merasa jadi pria dewasa dengan tubuh semakin tinggi dan bewok yang seperti bandot? Kau tetaplah bocah polos!" celotehku mendorong Rain mundur beberapa langkah.
Rain menggeram kesal. Dia memangku tubuhku masuk rumah. Aku berontak. Memukul punggungnya bertubi. Rain menurunkanku. Melepas jas kemudian memakaikannya ke tubuhku.
"Pakai ini! Kau sengaja memamerkan tubuhmu pada mereka, ya? Jadi begini kelakuanmu selama kami gak ada?" 
Aku memberengut. Disadarkan oleh satu kata "kami" yang diucapkan Rain.
"Mana dia?" tanyaku ketus. 
Pandangan menjelajah ke luar. Berharap bayangan lain muncul dan memperlihatkan ceruk yang kurindukan.
"Siapa?" sahut Rain.
"Petir,lah memang siapa lagi," balasku, memanjangkan leher menjangkau pemandangan di balik punggung Rain.
"Dia takkan datang. Takkan pernah datang!" 
Nada suara Rain merendah.
"Apa maksudmu? Jangan bercanda! Gak lucu tahu. Di mana dia? Pasti sembunyi. Ah, kalian masih saja selalu bersikap konyol!" 
Aku tertawa. Berlari lagi ke halaman. Memeriksa mobil yang ditumpangi Rain. Kosong.
Rain mendekat. 
"Rinai ... dia takkan datang. Never!" ujarnya lagi.
Aku menggeleng cepat. Temaram lampu taman tak bisa menutupi riuk Rain yang berubah menggelap. Suara lain dalam otakku mencium bau aneh yang terjadi.

"Ada apa? Petir ke mana? Kenapa gak ikut ke sini?"
"Dia pergi dan takkan kembali."
"Apa maksudmu? Bicara langsung pada intinya saja!"
"Mas Petir meninggal, Rin. Sebulan lalu," tuturnya.
Lagi, aku menggeleng. Menolak lelucon apapun yang dia katakan. Selama ini aku sudah sering menelan air mata kerinduan. Sangat tidak lucu jika tiba-tiba Rain kembali dengan berita duka.
"Gak usah bercanda! Aku gak suka leluconmu ini!" 
Rain menggeleng, "aku gak bercanda, Rin. Mamas memang sudah meninggal. Sejak dia mendonorkan sumsum tulang untukku, entah kenapa daya tahan tubuhnya semakin lemah. Dia jadi sering sakit-sakitan. Dokter mengatakan jika donor tranplantasi takkan memiliki efek samping fatal bagi pendonor. Tapi entahlah apa penyebab utamanya," terang Rain.
"Gak mungkin! kamu pasti bercanda! Mana Mamasmu? Kalian pergi bersama, jadi kalian harus kembali ke sini bersama juga," sanggahku, menahan isak.

Hujan Punya CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang