Tepat disaat aku menulis tulisan ini yaitu pada tanggal 9 Juli 2019, aku berumur 17 tahun, yang mana kata orang-orang, umur 17 tahun adalah masa transisi dari remaja menuju dewasa. Tidak ada perayaan spesial dihari ulang tahunku ini, hanya ada beberapa dari teman dekat yang ingat tentang ulang tahunku dan ibuku tentunya. Meski aku sama sekali tak berharap semua orang ingat tentang ulang tahunku, namun aku cukup senang karena ada yang ingat tentang hari spesialku. Oh iya, namaku Azad, seorang anak dari ibu mantan narapidana perempuan yang terjerat kasus narkoba. Tempat kelahiranku bisa dibilang cukup spesial, karena dilahirkan di salah satu rumah tahanan perempuan di Jawa Barat. Karena itu semua aku dinamakan oleh ibuku "Azad Abdillah" yang artinya Hamba Allah yang Bebas, nama itu diberi ibuku karena beliau ingin aku jadi anak yang bebas tanpa harus dibatasi jeruji seperti ketika ibuku melahirkanku.
Masa kecilku tak seperti masa kecil anak seumuranku pada umumnya. Selain dilahirkan di penjara, aku juga dibesarkan disana. Banyak dari teman-temanku yang bertanya-tanya tentang bagaimana ibuku dapat membesarkanku di dalam penjara. Jujur, aku tidak ingat semuanya karena aku dibesarkan disana hanya hingga usia 2 tahun. Tapi aku yakin, ibuku adalah orang terbaik yang Tuhan kasih di kehidupan ini terlepas dari "dosa" yang pernah beliau buat. Ada juga dari beberapa temanku yang bertanya tentang ayahku, awalnya aku selalu bingung menjawab semua pertanyaan tentang ayahku, karena aku sendiri tidak tahu keberadaannya sampai saat ini. Sebagai anak yang tak pernah merasakan atau bahkan melihat sosok ayah, aku pernah bertanya pada ibu tentang ayahku, ibuku hanya tersenyum sambil berkata "Semua yang ibu ketahui tentang ayahmu, tidak mungkin tidak kamu ketahui, nak.". Sebenarnya aku benci ketika bertanya tentang ayahku pada ibu, karena setiap aku bertanya tentang ayah, ibuku selalu pergi meninggalkanku dan kembali lagi dengan matanya yang sembab seperti seseorang yang baru saja menangis. Meskipun aku masih penasaran tentang sosok ayahku, namun sebisa mungkin aku tidak akan bertanya lagi pada ibu karena rasa penasaranku tidak sebanding dengan mata sembabnya setelah aku bertanya soal ayahku padanya. Beberapa kali aku mendengar kabar burung tentang sosok ayahku dari saudaraku. Beberapa dari mereka bahkan secara terang-terangan berbicara kalau ayahku adalah penyebab dari semua permasalahan yang ada pada keluargaku. Mereka juga bilang, bahwa ibuku dinikahi oleh ayahku hanya untuk diperalat olehnya dan sebenarnya ibuku tak tahu-menahu tentang bisnis barang haram tersebut. Cerita tentang ayahku dari perspektif saudaraku semakin membuat aku penasaran dengan sosoknya. Andai aku bertemu dengannya suatu saat nanti, aku tak akan membencinya, karena aku yakin ibuku pun tak membencinya. Aku hanya ingin tahu tentang sosoknya, dan alasan yang membuat ia meninggalkan aku dan ibuku. Aku tetap yakin ayahku sosok yang baik, hanya saja ia baik dengan caranya, aku selalu yakin ayahku baik seperti temanku yang selalu menyamakan ayahnya seperti pahlawan.
Jika berbicara tentang sosok ayah yang hanya menjadi sebuah kata tanpa makna dalam kamus hidupku, aku kadang merasa bahwa aku adalah manusia paling tidak beruntung di bumi ini, terlebih ketika aku menginjak sekolah dasar dimana ketika sepulang sekolah teman-temanku dijemput oleh orang tuanya masing-masing. Jujur, aku hanya bisa menangis dan bilang ke tanteku yang mengasuhku pada saat itu "Tan, ibu kapan pulang?" yang mana pada waktu itu ibuku masih menjalankan masa tahanan akibat kasusnya. Tanteku selalu menjawab "Sebentar lagi." Yang mana itu adalah kata "sebentar" terlama yang pernah kurasakan. Sampai akhirnya ibuku keluar dari rumah tahanan ketika aku berusia kurang lebih 10 tahun. Ya, setelah vonis 12 tahun, ibuku "hanya" menjalankan kurang lebih 10 tahun setelah remisi. Hal pertama yang ibuku lakukan adalah memeluku. Aku memang sering dipeluk ibuku ketika sedang menjenguknya di tahanan bersama tanteku. Tapi, kali ini rasanya berbeda, dan juga pelukan ibuku hari ini diakhiri oleh tangisan yang entah itu tangisan kesedihan ataupun kesenangan, ibuku menangis tersedu-sedu sambil memeluku selama beberapa menit sambil mengucapkan kata "Ibu minta maaf jika selama ini hanya menambah bebanmu, nak.". Aku pun menangis dengan tersedu-sedu juga ketika ibuku memeluku, entah apa yang aku rasakan karena pada waktu itu aku belum mengerti tentang semuanya. Aku hanya mengerti kalau aku tak punya seorang ayah dan ibuku adalah narapidana. Bahkan tak sedikit dari teman sekolahku yang mencibir aku dengan mengatakan bahwa aku adalah anak narapidana. Waktu itu belum mengerti tentang semua itu, namun karena cibiran yang cukup masif akhirnya aku menangis sambil berkata dalam hati "memang apa salahnya punya ibu narapidana?".
Sampai akhirnya aku memasuki jenjang pendidikan SMA. Aku masuk di salah satu SMA Negeri yang ada di dekat rumahku. Bukan yang favorit memang, namun setidaknya tidak membebani ibuku dalam membiayai pendidikanku. Masa-masa SMA tidak berbeda jauh dengan masa-masa SD-ku yang mana masih cukup banyak cibiran, dan juga terkadang aku masih suka iri dengan teman-temanku yang bersama dengan kedua orangtuanya ketika sedang mengambil rapor. Yang berbeda dari aku yang sekarang dengan aku yang dulu adalah caraku dalam menyikapi semuanya. Dulu aku hanya bisa menangis, dan protes pada semuanya tentang ketidakadilan yang menimpa hidupku. Bahkan ketika aku kelas 2 SMP, aku pernah berpikir untuk mengakhiri hidupku yang menurutku terlalu berat untuk aku jalani. Dulu aku begitu karena aku berpikir "Bukankah dilahirkan dari seorang ibu narapidana dan sosok ayah yang tidak jelas bukan kemauanku? Lalu kenapa Tuhan yang punya kuasa untuk menentukan siapa orang tuaku tidak memberikan aku kedua orang tua yang ideal?". Sampai akhirnya aku menemukan kata-kata yang selalu dipakai oleh orang-orang, tapi setelah kurenungkan, kata-kata itu punya arti yang cukup dalam, kata-kata itu adalah "Tuhan tak akan berikan kalian cobaan yang melebihi kemampuan hambanya.". Kata-kata itu merupakan senjata penguatku dalam menangkal pikiran negatif yang ada dalam otakku. Sejak kumenemukan arti dari kata-kata itu, aku jadi berpikir "Kenapa aku merasa tidak mampu kalau Tuhan berikan semua cobaan ini karena Ia tahu aku mampu? Dan jika aku dilahirkan di keluarga yang ideal, apakah berarti tidak ada masalah dalam hidupku? Ah, sepertinya tidak juga. Mereka pasti punya masalah namun tak cengeng dan selalu protes akan masalahnya sepertiku.".
Jalan hidup yang membawa aku sejauh ini. Semua pertanyaanku tentang kehidupan sudah mulai bisa aku jawab satu per satu oleh pikiranku. Meski aku pernah marah pada ibuku, namun aku selalu bersyukur karena beliau adalah kado yang Tuhan berikan disetiap detik dalam hidupku. Ibuku bukan manusia sempurna yang tanpa kekurangan, dan aku pun sadar bahwa aku juga bukan manusia yang sempurna tanpa kekurangan. Itulah alasan kenapa aku tak pernah benci siapapun baik yang telah mencibirku, maupun ayahku, karena itu bagian dari kekurangan mereka sebagaimana aku yang tak ingin dibenci karena kekurangan yang ada padaku. Di satu sisi aku sedih sekali karena cobaan yang begitu berat dalam hidupku, namun di sisi lain, aku senang karena Tuhan tak menganggapku remeh, buktinya Ia memilih cobaan yang berat untuk mengujiku. Selain itu juga aku masih bersyukur karena masih banyak anak yang masalahnya jauh lebih berat daripadaku. Karena cara kita merasa bahwa kita cukup kaya adalah dengan cara melihat gelandangan yang tidur di emperan toko ketika malam hari, begitu juga cara agar masalah kita terasa kecil adalah dengan cara melihat orang lain yang cobaannya lebih berat daripada kita. Aku bisa berpikir seperti ini karena cobaan yang menurutku berat dalam hidupku. Dan dihari ulang tahunku yang ke 17 ini, doa dan harapanku dihari ulang tahunku ini adalah "Tuhan, tetap anggap aku kuat, agar aku seperti pedang yang tajam karena ditempa berkali-kali. Dan untuk cobaan yang berjasa membuat aku sampai di titik ini, Terimakasih Cobaan.". Akhir doaku memang seperti tulisan yang ku tulis ini, keduanya sama-sama diakhiri dengan kata "Terimakasih Cobaan".
YOU ARE READING
Terimakasih Cobaan
Short StorySebagai manusia, semua dari kita tidak dapat memilih siapa orang tua kita. Begitu juga Azad Abdillah yang dilahirkan di penjara dari anak seorang ibu narapidana yang sedang menjalani masa hukumannya. Hari demi hari ia lewati hingga akhirnya pengalam...