1. Gara-gara Sepatu

17 2 2
                                    


Bertengkar lagi dan lagi. Setiap bertemu. Langit muak sekali. Tetapi yang ia mampu lakukan hanya berdiam diri di kamar. Memasang headphone lalu memutar lagu dengan volume keras supaya telinganya cukup mendengarkan lagu-lagu kesukaannya, bukan teriakan kedua orang tuanya.

Ia duduk memeluk lututnya di pinggir ranjang. Memutar lagu yang malah membuatnya semakin bersedih. Langit yakin kalau malam ini akan jadi malam panjang sampai terbit fajar. Malam yang sama gelapnya dengan malam-malam sebelumnya. Malam yang penuh air mata dan suara yang tak mampu didengar oleh siapa - siapa.

"Sial. Gue nangis lagi!"

Ia terisak. Lalu mengumpat. Padahal menangis itu tidak apa-apa. Menangis itu wajar. Entah untuk laki-laki atau perempuan, seseorang yang terluka tidak masalah jika memilih menangis.

📸

Langit menuruni anak tangga. Belum sampai di dapur ia sudah mendengarkan orang tuanya saling berteriak. Tak lama ada suara gelas jatuh, lalu pecah. Langit mengembuskan napas berat. Sekolah baru,  teman baru, dan lingkungan baru sudah berhasil membuatnya pusing. Ini malah bertambah. Ia sudah memutuskan untuk langsung berangkat saja. Sudah tidak mood untuk sarapan di pagi hari. Ia sudah kenyang hanya dengan mendengar keributan orang tuanya.

Bahkan kedua orang tuanya tidak sadar kalau Langit  sudah keluar rumah. Pemuda itu membuka gerbang dengan kesal. Ia ingin sekali marah-marah andaikan ada objek yang pantas ia marahi. Setelah menutup gerbang ia melangkah masih dengan perasaan kesal. Ia berjalan sembari menendang aspal hingga sepatu lusuhnya ikut terlempar. Parahnya sepatu lusuh itu mengenai kepala seseorang. Seorang gadis yang juga sama baru saja menutup gerbang. Gadis yang entah mimpi apa semalam hingga bertemu pemuda menyebalkan seperti Langit.

"Aw!" Kana nyaris menjerit keras. Namun ia tahan. Tidak sakit. Ia cuma kaget.

"Eh lu! Sini balikin sepatu gue!" Teriak Langit pada Kana yang masih mengusap-usap kepalanya.

Kana diam. Ia sedang berpikir.

"Hah balikin? Emangnya gue habis pinjem? Dih. Aneh."

"Woy?!  Malah bengong. Cepet!" Teriak Langit.

Kana masih diam. Malas meladeni orang aneh seperti Langit.

Langit yang geram akhirnya berjalan dengan satu sepatu menghampiri Kana. Gadis itu membuang muka, hendak mengambil langkah supaya cepat jauh-jauh dari pemuda aneh di depannya.

"Heh?! Lo budeg ya!" Tuding Langit pada gadis di depannya.

Kana cuma menatap sebal ke arah pemuda di depannya.

"Eh, lo ga bisa ngomong juga?''

Langit sudah kelewatan. Kana tidak pernah bisa suka dengan orang yang berbicara dengan cara seperti ini. Hatinya sakit sekali. Ia tidak biasa diteriaki seperti ini. Astaga.

Tanpa sadar kedua mata Kana berair. Ya, gadis itu menangis.

" E-eh? Lo nangis?" Tanya Langit yang masih saja nanya. Ya iyalah dia nangis.

Sedangkan Kana makin kencang.

"Duh- gue nggak bermaksud--"

"Kamu kelewatan!" Ucap Kana sembari terisak. Lalu dia pergi meninggalkan Langit dengan rasa bersalah. []

Langit Separuh MendungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang