Sheila mengambil sebuah bingkai foto yang dipajang dalam rak buku dekat meja televisi. Ia berjalan menuju sofa berbahan bludru warna maroon. Setelah menyandarkan punggungnya dengan nyaman, Sheila memandang lekat bingkai foto itu. Senyuman terukir di bibir Sheila, seiring matanya yang berbinar terang.
"Kau tidak bosan melihat benda itu terus?"
Suara itu berasal dari Karin, sahabat Sheila sejak SMA. Mereka tinggal bersama di apartemen yang lokasinya berdekatan dengan kampus mereka. Keduanya memang sudah sepakat ingin melanjutkan pendidikan di kampus yang sama meskipun jurusan yang diambil masing-masing berbeda.
"Jangan marah." Karin terkekeh gemas melihat wajah tertekuk Sheila. "Aku hanya heran, setiap hari kau selalu memandangi benda itu."
"Kau tidak mengerti seberapa berharga benda ini," gerutu Sheila sambil berkacak pinggang. Bibirnya mencebil imut. Ingin memperlihatkan wajah marah, tetapi justru terlihat menggemaskan di mata Karin.
"Benda ini-"
"Tidak perlu diceritakan lagi. Aku sudah hafal," sela Karin lalu tertawa kecil melihat wajah Sheila semakin tertekuk.
"Jika sudah hafal seharusnya tidak heran melihatku memandangi benda ini," balas Sheila ketus.
Tawa Karin semakin keras. Ia berjalan menghampiri Sheila dan duduk di samping gadis itu. Matanya melirik bingkai foto yang dipegang Sheila. Yang terpajang di sana bukan sebuah foto, melainkan sebuah kemasan cokelat yang tampak lusuh dan kusum.
Menurut cerita Sheila, kemasan cokelat itu sudah berumur hampir 15 tahun. Cokelat itu merupakan pemberian seseorang di masa lalu Sheila. Kala itu, Sheila yang sedang berusia 5 tahun terpisah dari ibunya sewaktu mengunjungi sebuah pasar. Ada seorang anak laki-laki yang melihatna menangis, lalu memberikan sebuah cokelat.
Tangisan Sheila terhenti dan pada saat bersamaan ia kembali bertemu dengan ibunya. Sejak itu, Sheila terus menyimpan kemasan cokelat pemberian anak laki-laki itu. Tanpa kenal lelah, Sheila terus mencari keberadaan cokelat dengan kemasan yang sama di setiap toko atau keda cokelat. Ia berharap bisa menemukan sosok anak laki-laki yang sudah memberikan kenangan manis tentang cokelat.
"Karin, apa kau tahu? Setiap kali aku memandangi kemasan cokelat ini, aku tidak lupa untuk memanjatkan doa." Mata Sheila berbinar-binar. "Aku berharap bisa menemukan anak laki-laki yang memberikan cokelat ini."
"Apa yang akan kau lakukan jika berhasil menemukannya?"
Pertanyaan Karin membuat Sheila terdiam. Selanjutnya, gadis itu mengerjapkan matanya polos. "Aku tidak tahu."
Karin menatap tak percaya. "Tidak tahu? Aku pikir kau akan menyatakan perasaanmu padanya."
Wajah Sheila merah padam. "A-apa maksudmu?"
"Kau terus menyimpan kemasan cokelat pemberiannya sejak kecil. Aku pikir kau menyukainya," lanjut Karin polos.
"Ma-mana mungkin! Kami sama-sama masih kecil!" Sheila membantah keras. "Lagipula, a-aku sudah-"
"Ah, benar juga!" Karin kembali menyela ucapan Sheila. Ia menaik-turunkan alisnya. "Kau sudah menyukai orang lain."
"Karin, hentikan!" Sheila menutupi wajahnya yang semakin memerah karena Karin terus menggodanya. "Kau menyebalkan!"
Karin menghentikan tawanya. "Lalu ... apa kau sudah menemukan cokelat itu?" tanyanya penasaran.
Mendengar pertanyaan Karin, raut wajah Sheila berubah murung. "Belum. Entah sudah berapa banyak toko atau kedai cokelat yang kudatangi. Tapi, tidak ada satupun yang menjual cokelat seperti ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Chocolicious [END]
Historia CortaSewaktu kecil, Sheila pernah memakan cokelat pemberian seseorang. Cokelat sederhana yang dibungkus menyerupai permen dengan kemasan bergambar anak perempuan. Demi bisa bertemu kembali dengan orang yang memberikan cokelat itu, Sheila melakukan pencar...