Binar Lara (1)

28 1 0
                                    

Yogyakarta di malam hari selalu menjadi kesukaanku. Terlebih, seseorang dibalik alasan aku sampai di Jogja. Bulan purnama terlihat lebih anggun malam ini. Mungkin hanya perasaanku atau sinarnya memang berbeda? Ditanganku, sebuah foto berukuran 3R sedang kutatap lekat-lekat. Sinar bulan yang memaksa masuk melewati jendela cafe ini, seolah menyinari sebuah potret perempuan dan laki-laki yang tengah tersenyum bahagia, dengan lelaki yang merangkul bahu sang perempuan. Potret foto itu terlihat bahagia.

Sementara aku?

Tidak perlu terburu-buru mengetahui siapa aku. Malam masih muda, setidaknya bulan masih setia mendengar keluh kesahku. Satu cappucino dan satu coffe and cream yang aku pesan, kudiamkan ia dingin dengan sendirinya. Kubiarkan uap panasnya pergi bersama angin malam yang tega menusuk kulit putih pucatku. Kupesan khusus untukmu—lelaki yang ada di dalam potret foto, satu cappucino kesukaanmu yang maaf, sudah terlanjur dingin. Meskipun aku tahu, kamu tidak akan pernah lagi mengecap rasa kopi tersebut.

Kubiarkan ratusan memori tentangmu masuk menyelinap kedalam otak dan ke inti jantungku. Kunetralisir perasaan pahit ini dengan kuseruput perlahan coffe with cream. Sengaja, aku memesan cream lebih banyak di kopiku. Aku minta agar kopi itu tertutupi rasa pahitnya. Dan rasa manis yang aku telan adalah semu. Aku terlalu naif, tidak mengakui bahwa kopi ini memang pahit.

Menatap foto ditanganku ini sudah menjadi kebiasanku dikala aku sendiri. Ditemani malam, purnama seolah menatapku dengan miris. Sinarnya seakan menertawai aku yang tengah berusaha berlari dari masa lalu. Kenangan pahit itu, seolah menyelimuti hidupku. Masih terngiang jelas diriku dan dirimu yang terperangkap dalam sebuah angan-angan dan harapan.

Binar LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang