Binar Lara (3)

11 0 0
                                    

Lamat-lamat kupandangi foto yang saat itu diambil saat dua tahun yang lalu. Kuseruput perlahan kopi ini. Rasa pahit kopi langsung menjalar di setiap senti permukaan lidahku, namun pahitnya langsung tertutupi oleh creamnya. Sekelebatan memori tentangnya masih benar-benar terasa, bahkan sampai detik ini. Valen yang dulu, keras kepala dan pemalas, sudah berubah menjadi Valen yang sedikit dewasa dari sebelumnya dan lebih rajin. Itu semua berkatmu, Genta. Kamu yang membuatku berubah menjadi sosok yang lebih baik. Kamu yang merubah pikiranku yang sebelumnya tidak akan melanjutkan kuliah, berubah untuk tetap melanjutkan kuliah seusai lulus sekolah. Kamu yang membuatku bertekad akan menghampirimu di Jogja. Sekarang, aku sudah di Jogja, Genta.

Lega rasanya mengetahui bahwa aku lulus ujian nasional dengan nilai yang cukup memuaskan. Usaha tidak mengkhianati hasil, aku percaya kalimat itu. Segera kuhubungi Genta yang ada di Jogja, dengan perasaan senang kujelaskan bahwa aku akan menyusulnya di Jogja, sesuai dengan janjiku. Ia diam. Aku yakin dibalik teleponnya itu ia tersenyum. Valen yang dulu Genta kenal pemalas, bahkan lulus ujian dengan nilai memuaskan. Genta berkata bahwa ia akan menjemputku nanti saat aku sudah sampai di stasiun Jogja. Ia berjanji akan menemaniku mendaftar ke perguruan tinggi negeri di Jogja. Ia janji akan menemaniku saat aku di Jogja. Membayangkannya saja sudah terasa membahagiakan. Aku tidak sabar untuk melewati masa bahagia itu.

Kulangkahkan kaki ku keluar dari kereta yang mengantarku dari Jakarta menuju Yogyakarta. Kueratkan genggamanku pada koper yang kubawa. Angan serta khayalan tentangku dan Genta seolah tergambar dibenakku. Aku sudah tidak sabar lagi untuk mewujudkannya. Sejauh kaki ini melangkah, sebuah senyum terpampang jelas diwajahku. Tampaknya rasa bahagia ini membuatku seperti orang gila yang cengar-cengir sendirian. Kuakui, aku tidak sabar untuk bertemu Genta yang sudah setahun tidak kulihat wajahnya.

Aku menghubungi Genta lewat telpon, untuk memberinya kabar bahwa aku sudah sampai di Jogja dengan selamat. Kuharap ia tidak lupa dengan janjinya yang akan menjemputku di stasiun. Satu panggilan tidak terjawab. Begitu juga panggilan-panggilan berikutnya. Aku mulai cemas, tidak seperti biasanya Genta tidak menjawab panggilan telponku. Apa ia sedang sibuk? Tapi Genta tidak melupakan janjinya untuk menjemputku kan? Aku cemas. Aku duduk disalah satu bangku yang ada di stasiun ini. Kota Jogja terasa asing dipandanganku. Yang kubutuhkan hanya Genta. Genta datanglah, aku sudah berupaya menyusulmu.

Aku masih sabar mencoba menghubungi Genta. Sampai seorang lelaki berkemeja hitam menghampiriku. Ia bertanya apakah aku benar perempuan bernama Valen. Lelaki itu menjelaskan bahwa ia adalah teman Genta yang dipercayakan Genta untuk menjemputku di stasiun. Aku kecewa, sebegitu sibuknya kah Genta sampai-sampai ia tidak bisa meluangkan waktunya untuk sekedar menjemputku?

Aku memasuki mobil yang dibawa oleh lelaki bernama Bagas dengan perasaan berkecamuk. Bagas bilang, ia akan membawaku ke tempat menuju dimana Genta berada. Aku hanya diam sembari memperhatikan jalanan di Jogja. Berbagai macam pertanyaan mendesak masuk ke dalam otakku. Apa aku tidak begitu penting untuk Genta? Mengapa ia tidak berusaha untuk menjemputku? Sebenarnya, aku dianggap apa oleh Genta? Aku membatin. Begitu banyak pertanyaan tak terjawab dari otakku.

Kami berhenti disalah satu rumah sakit yang ada di Jogja, letaknya tidak terlalu jauh dari stasiun. Untuk apa Bagas mengajakku menuju rumah sakit? Ucapku membatin. Bagas turun dari mobilnya, aku hanya bisa mengikutinya. Lorong rumah sakit begitu lengang dan tenang. Segalanya didominasi dengan warna putih. Aroma obat segera memasuk lubang hidung. Aku selalu suka aroma rumah sakit.

"Kamu mau ketemu Genta kan?" akhirnya Bagas pun membuka suaranya. Sedari tadi dimobil ia hanya diam. Aku sampai merasa canggung untuk menanyakan dimana Genta.

Aku mengangguk lemah, Bagas menunjuk tangannya ke salah satu pintu dengan sebuah jendela kecil yang kita bisa lihat dari luar. "Dia didalam." Ujarnya.

Aku bingung, sungguh. Apa maksudnya Genta di dalam? Ia tidak apa-apa kan? Seolah bisa membaca pikiranku, Bagas berujar. "Genta tidak sedang baik-baik saja." katanya tenang.

Entah mengapa mataku memanas. Aku memikirkan dugaan-dugaan yang tidak aku inginkan. Aku bergetar. Lidahku cukup kelu untuk menjawab ucapan Bagas. Dengan langkah perlahan, aku memasuki ruangan yang dimaskud Bagas. Didalamnya begitu lengang. Hanya sinar matahari yang sengaja masuk lewat celah jendela kamar bernomor 213 tersebut. Aku diam ditempat setelah melihat salah seorang lelaki tengah tertidur di kasur pasien kamar tersebut. Aku yakin, aku masih bisa mengenali wajah Genta. Dan aku masih tidak habis pikir bahwa seseorang yang tertidur lelap di kasur itu adalah Genta. Dengan berbagai infus tertanam dibadannya, serta selang yang setia memasok oksigen lewat hidung Genta. Tak terasa air mata ini sudah menetes, tanpa minta izin dahulu kepada sang pemiliknya.

"Genta sakit sejak tiga bulan yang lalu. Ia terlambat mengetahui penyakitnya. Genta mengidap gagal ginjal stadium 5." Jelas Bagas panjang lebar.

"Stadium 5? Kenapa aku baru mengetahuinya sekarang?" kataku dengan suara melemah.

"Genta tidak sadarkan diri. Bahkan Genta sendiri baru mengetahuinya tiga bulan yang lalu." Bagas menghela nafas kasar.

"Kapan ia akan bangun dari tidurnya?" tanya ku sambil mengusap air mata yang tak henti-hentinya mengalir.

"Sampai Tuhan menunjukkan keajaibannya." Jawab Bagas tenang.

Binar LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang