• 03. a big plan

143 22 3
                                    

Silla's POV

     “Hey Silla!”

     Bibirku tersenyum menyambut kedatangan sahabatku yang baru saja pulang dari pertukaran pelajar- Dorothy Kim. Sudah sejak lama menunggunya untuk bisa berbicara beberapa hal. Apakah menceritakan semuanya bisa membantu? Atau malah meruasak citraku yang merupakan perempuan kuat?

     “Aku enggak bisa lama-lama, sudah ditunggu Prof. Heo di ruangannya untuk ikut ujian susulan.” ia meletakkan sebuah map besar padaku. “Sepertinya aku akan ambil lokasi di Jepang lagi, kalau kau memang akan ke Milan tidak apa-apa sih.”

     Dari ujung ruangan lelaki sialan yang kemarin meninggalkanku di cafe berjalan mendekati meja kami yang berusaha kuacuhkan dengan kembali fokus pada Dorothy, “Enggak apa. Tenang saja dong!” balasku yakin karena perkataan Dorothy bisa menunda masalah yang ingin kebagi dengannya— mungkin setelah beberapa waktu, aku akan melupakan hal ini.

     “Okay! See ya later baby sis.

     “I'm older than you!

     Dorothy berbalik dan berselisih dengannya,“Oppa, jaga kurcaciku ya!”

     Mataku melotot,“Dorothy Kim! Heh! Aku bukan kurcaci!” teriakku padanya yang sudah berlari kecil sambil tertawa. Memang bukan salah mereka mengejekku kurcaci, karena mereka yang raksasa.

     “Hello baby sis.

     “Aku enggak minta kau datang.”

     Byounggon memang berada di kampus yang sama denganku tetapi fakultas dan sistemnya berbeda. Dia berada di jurusan musik memakai sistem perkuliahan online— dengan alasan agar tetap bisa fokus pada studio musik miliknya. Sehingga intensitas kehadirannya di kampus sangat jarang. Berkat kekayaan orang tuanya, dia membangun studio musik miliknya dengan passion yang melimpah. Sering beberapa musisi atau perusahaan bekerjasama dengannya, memakai identitas sebagai— BX. Royalti yang dia peroleh begitu besar di usianya yang belum genap 22 tahun. Dengan bangga Byounggon menyebut dirinya sebagai jenius musik

     “Galak.” seringainya. “Aku sedang bekerjasama dengan perusahaan mantan pacarmu. Mau mendengar demo nya?”

     Aku tak akan terpengaruh perkataannya dan memilih fokus pada kertas-kertas yang diberikan Dorothy,“Tidak perduli.”

     Tanganku membolak-balik lembaran itu dengan teliti diiringi oleh suara berat Byounggon mengenai rincian-rincian bunyi yang ada di chours atau bagian reff yang merupakan favoritnya. Semua isinya tak ada yang semenarik dengan pilihan utamaku, sehingga membacanya hanya sia-sia. Namun di lembar terakhir, aku terkejut. Di luar dugaan ternyata masih saja banyak hal yang menuntunku padanya.

     Kututup mulut Byounggon dengan tanganku yang tentu saja mengundang sumpah-serapah darinya,“Diam dan dengarkan aku.”

     Mendengar berbagai ideku dan menunjukkan kertas di bagian akhir, Byounggon menatapku tak percaya. Dia diam sejenak yang membuatku tak senang, aku bahkan sudah menerangkan isi kepalaku dengan bersemangat namun lihat apa yang dia lakukan.

     “Silla, kau cantik dan tidak kekurangan apa-pun. Kenapa kau harus melakukan itu?”

     “Apa yang kau bicarakan?” sargahku.

     “Kau tidak perlu melakukan hal ini, lupakan dia. Bangun hidupmu sendiri.” Byounggon menepuk bahuku seperti menyalurkan empatinya. “Semuanya hanya akan melukaimu dan dia, tidak akan ada yang berjalan baik jika diawali oleh kebencian.”

     “Kau tahu kan kalau aku benci jika keinginanku tidak terpenuhi.”

     Dia menatapku pasrah dan menggelengkan kepala,“Son Silla, tidak akan ada yang bisa menghalangimu.” ucapnya. “Ini bukan apa yang dia harapkan darimu. ”

     Kuhirup nafas sebanyak mungkin untuk menghilangkan rasa resah tak menentu. Lee Byounggon salah, dia salah besar. Ideku saat ini adalah permintaan yang sudah kujanjikan dengan sungguh-sungguh pada Mark. Cara apa pun akan kutempuh hingga dia menyadari bahwa aku masih Son Silla yang itu.

     “Kepalamu sakit?

     Mark malam ini mengunjungi apartemenku di jam yang sangat larut. Berbeda dengan kebiasaannya, sebelum datang menghubungi atau pun hanya akhir pekan. Tiba-tiba di hari Selasa tepat jam 11 malam penampilan sembraut masih dilengkapi tas latihannya.

     Tubuhnya ambruk di lantai ruang tv dan wajahnya tampak masam. Hari ini adalah evaluasi perkembangan di perusahaan tempatnya menjadi trainee, dia kali ini mendapat teguran mengenai gerakan tarinya yang kurang fleksibel dan pengucapan beberapa bait lagu di bagian rappnya kurang jelas.

     Tutor nya terlalu keras hingga memarahinya tanpa ampun sampai Mark merasa tidak berbakat bahkan tak berguna. Padahal itu semua tidak masuk akal melihat bagaimana dia fokus dan memberikan sepenuhnya perhatian pada pelatihan yang melelahkan serta dalam waktu lama.


     “Sialan.” umpatku. “Berikan nomor CEO nya, akan kubeli neraka besar itu agar bisa memecat tutor itu!

     Dia tertawa kecil, “Silla, mendekatlah.” tangannya dia naikkan ke atas udara sedangkan aku yang ada di sofa harus menunduk untuk menyentuh tangannya. “Mari kita sama-sama berjanji sesuatu.

     “Apa?

     “Hari ini, besok, lusa atau pun seterusnya. Tolong jangan pernah tinggalkan aku, baik di saat kau yang ingin melepaskanku atau aku yang memintamu melepaskanku.

     Untuk sesaat aku mencernanya, meyakinkan diri harus menjawab apa pada permintaannya. Namun aku sadar, tak ada alasan aku menolak permintaan besar itu. Permintaan yang seharusnya mampu kujawab tanpa berfikir panjang.

     “Tentu, aku berjanji.

playback | mark lee ; chaeyoung sonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang