SATU

17 1 0
                                    

•°•°•

-Belia Namanya-

°•°•°

Setiap detik punya cerita. Begitulah eyangnya berkata. Membuat setiap waktu selalu berharga. Tapi, entah kenapa gadis ini merubah pikirannya. Ragu mungkin jadi penanda. Atau bahkan kejadian rancu yang merangkak pada jiwanya.

Belia punya beribu cara mengusir resah yang mencekik pada dirinya. Hingga sekarang dia masih belajar mengendalikannya.

Tiga puluh menit jadi cerita yang terbuang sia-sia. Belia sedang bosan disini. Menunggu angkot yang menjadi alternatif pengganti kendaraan menuju sekolah. Bus yang biasanya mengantar Belia sedang bermasalah. Dan angkot menjadi pilihan yang tersisa.

Belia termenung, menunduk untuk menatap sepatu hitam pemberian eyang. Bila begini Belia bingung. Bagaimana mengusir pikiran-pikiran yang cukup membuatnya terganggu. Belia mencoba, berusaha, dan akhirnya bisa.

Dilihatnya kesekeliling, memerhatikan kejadian disekitarnya yang lumayan menarik.

Di halte ini, dia tidak sendiri. Ada ibu-ibu yang menemani. Ahh sepertinya mereka ingin ke pasar, membeli kebutuhan sehari-hari. Lalu dipaling ujung kursi halte, ada seorang bapak yang sedang membaca koran. Dan disebelahnya anak kecil berseragam SD yang sepertinya sama dengan Belia, ingin berangkat sekolah.

Belia mendengus. Dia bosan, apalagi takut terlambat.

Matanya melirik pada lengan kiri yang dilingkarki jam pemberian eyang.

Pukul 06.45

Ya Tuhan, empat puluh lima menit sudah waktunya terbuang sia-sia. Jika eyang masih ada, dia pasti mengomel karena menyia-nyiakan waktu yang dieluh-eluhkan berharga.

Belia mengeluarkan handphone dan earphone putih miliknya. Bosan menunggu, Belia lebih memilih mendengarkan lagu.

Mengikuti alunan melodi, Belia mengayunkan kaki. Mengedarkan pandang kembali, kekanan dan kekiri. Berharap angkot segera datang. Namun nihil. Tidak ada tanda-tanda disana. Belia mendongak, melihat langit pagi yang sepertinya tidak akan bersahabat dengannya. Belia mendesah, hujan akan membuat hari Belia semakin tidak menarik.

Dari arah selatan, Belia memperhatikan. Mobil putih yang melaju lalu berhenti disebrang halte ini.

Belia takjub, sungguh menarik mobil itu, putih bersih dan berseri. Pasti harganya mahal. Pikiran Belia mulai kemana-mana. Kaca mobil terbuka, seorang pria dewasa sepertinya yang duduk dikursi kemudi. Pria itu memperthatikan sekitar, seperti sedang mencari sesuatu. Lalu matanya berhenti disatu titik. Halte tempat Belia dan orang lain menunggu angkot. Mata Belia dan orang itu beradu pandang untuk beberapa saat. Hingga lamun Belia tersentak saat angkot yang ditunggunya sudah datang.

°•°•°

Benar perkiraan Belia. Langit memuntahkan keresahannya. Hujan lima menit yang lalu membuat suasana dingin yang terasa.

Bel istirahat telah berdentang sekitar beberapa menit yang lalu, tapi Belia hanya duduk dibangku depan kelas menatap runtuhan air langit yang bersentuhan pada rumput. Ahh... Belia sungguh menbenci hujan. Menurutnya hujan akan selalu menjadi perantara yang tepat untuk mengingat masa lalu.

Dan Belia benci itu.

Belia diam, masih menatap hujan. Tapi pikiran nya sedang tidak diam sekarang. Otaknya seakan bertempur. Saling menggali ingatan yang susah payah Belia kubur.

"Belia, gue mohon beri kesempatan buat Dara ngejelasin!" itu suara Alan. Tanpa ba bi bu, datang dan menyuara kan maksud tujuan nya menemui Belia.

Belia mendongak, menatap Alan tak berekspresi. Tapi jauh dilubuk hati Belia, dia ingin teriak sekencang-kencangnya. Alan si brengsek.

Belia menggeleng, pertanda penolakannya. Berdiri dari duduk lalu mulai melangkah menjauhi Alan. Belia tidak berminat menambah beban.

"Lo egois." ucapan Alan membuat langkah Belia terhenti. Gadis itu merasa tertusuk. Tepat dihatinya. "Lo egois, ngebiarin Dara ngungkap semuanya sendirian. Lo sepupu yang egois." lanjut Alan.

Belia memejamkan matanya, berusaha melawan rasa yang seketika membuncah ingin mengacak wajah tampan Alan. Berusah tidak memperdulikan, Belia melanjutkan langkahnya menuju perpustakaan. Tempat terdamai disekolah.

Memasuki area perpustakaan, tidak ada siapapun disini. Dan Belia cukup menyukai hal ini. Belia melepas sepatu hitamnya dan menaruhnya pada rak sepatu yang tersedia, mulai menjijakan kakinya yang terbalut kaus kaki putih sebetis pada ubin, terasa dingin. Namun lebih mengejutkan ada genangan air disamping meja penjaga perpustakaan.

Tak menghiraukan itu, Belia menuju salah satu rak yang menarik perhatiannya.

Buku psikologi

Kesukaan Belia. Mengambil salah satu buku yang hampir selesai dibacanya. Memilih salah satu kursi paling pojok yang menjadi tempat terfavorite Belia.

Fokus membaca, Belia mulai terganggu saat didengarnya hentakan kaki yang bersautan, segerombolan orang masuk seakan perpustakaan mulai menjadi sorotan. Belia mengernyit. Ada apa ini?. Mulai melangkah pada kerumunan sambil tetap membawa buku psikologi yang sedang dibacanya tadi.

Dilihatnya diantara kerumunan, ada Alan. Menatapnya penuh kebingungan. Begitupun Belia. Beberapa orang menoleh terkejut saat dilihatnya Belia yang datang dari daerah berlawanan -ruang baca perpustakaan.

Seorang gadis yang diketahui Belia bernama Adira yang paling terkejut, "apa yang lo lakuin disini Bel?"

Semua memperhatikan Belia, "ini perpustakaan, tentu saja membaca." jawab Belia sambil mengangkat buku yang tadi dibacanya.

"Lo kan yang membunuh Dara?"

Seketika Belia terkejut. Dia? Membunuh? Dara?. Tunggu, Dara meninggal?. Belia menerobos kerumunan. Yang pertama dilihat Belia adalah Dara dengan tali dilehernya.

Belia terkejut, buku yang dipegangnya terlepas, lalu menutup mulut dengan telapak tangan. Sungguh, Belia tidak menyangka ini terjadi. Dara, sepupu yang dilindunginya meninggal.

Belia merasa gagal, dia lengah karena keegoisannya. Pandangan mata Belia mengarah pada Alan. Alan menatapnya seolah berkata 'Lo puas?'.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 01, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Domino EffectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang