43 : Sebuah Wasiat

229 12 2
                                    

Aku terduduk di bangku kecil sebelah ranjang tempat Rana yang sedang pingsan berbaring. Nafasnya berhembus teratur dan wajahnya memperlihatkan betapa lelahnya gadis muda yang sekarang berbaring di depanku. Sudah terhitung 3 jam sejak Rana kehilangan kesadaran setelah mengetahui adiknya yang meninggal. Untungnya aku masih bisa menyempatkan sholat ashar dan maghrib di ruangan tempat Rana berbaring.

Mungkin ini yang dimaksud dengan The Butterfly Effect, dimana kejadian yang terjadi di kehidupan ini lebih banyak yang berbeda dari kehidupan Rana yang aku tahu. Semua berawal dari Rana yang aku selamatkan ketika dia hendak tertabrak di depan sekolahnya. Sejak itu aku memang mendapatkan kembali ingatanku di kehidupan Rana, tapi sejak itu pula banyak kejadian yang berbeda dengan yang seharusnya terjadi.

Mungkin seharusnya aku waktu itu diam saja membiarkan Rana tertabrak dan pingsan selama 1 bulan. Mungkin jiwa Rana akan tertukar lagi dan semua akan berjalan seperti yang seharusnya aku tahu. Tapi meskipun waktu dapat terulang kembali, bagaimanapun aku tidak akan tega melihat Rana tertabrak. Lagipula meskipun Rana tertabrak dan pingsan, bila dia nanti tetap bangun sebagai dirinya sendiri, tetap saja semuanya akan berubah nantinya.

Tok Tok Tok

Suara ketukan pintu menyadarkanku dari lamunanku. Tidak ada gunanya aku menyesali masa lalu yang juga belum tentu perlu disesali. Yang perlu aku lakukan sekarang hanyalah maju ke depan tanpa merenungi apa yang sudah terjadi. Aku berdiri dari bangku, melangkahkan kakiku ke depan pintu untuk membukakan pintu ruangan.

Ceklek

Di depan pintu sudah berdiri Naura yang membawa kantong plastik di salah satu tangannya, wajahnya jelas memperlihatkan kekhawatiran. Sekitar satu jam yang lalu aku memang menghubungi Naura memberitahukan tentang nasib Rana dan keluarganya. Naura yang mendapat kabar buruk tentang Rana pun langsung bergegas pergi dari rumah.

"Gimana keadaan Kirana kak? Kakak bilang Kirana kehilangan kesadaran kan?" Naura langsung melontarkan pertanyaannya sesaat setelah aku membukakan pintu untuknya.

"Kirana hanya shock saja, dokter sudah memeriksanya tadi dan dokter bilang Rana hanya butuh istirahat yang cukup. Seharusnya dalam waktu dekat ini Kirana sudah bisa siuman kembali." Aku memberikan tempat agar Naura bisa memasuki ruangan.

Naura pun masuk ke dalam dan meletakkan kantong plastik yang dia bawa ke nakas samping ranjang. Naura duduk di bangku yang tadi aku duduki sebelumnya, memandangi Rana yang masih berada di alam bawah sadarnya. Tangannya bergerak mengelus puncak kepala Rana. Aku sendiri berdiri di belakang Naura ikut memandangi wajah lelah Rana yang masih memejamkan matanya.

"Kirana pasti sedih sekali ya kak kehilangan banyak orang yang dia sayangi di hari yang sama. Aku jadi khawatir bagaimana Kirana nantinya ketika sudah bangun nanti."

"Kita harus bisa memberikan dukungan yang Rana butuhkan Ra. Saat ini Rana sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain papanya yang bahkan sekarang juga sedang dalam masa kritis. Kedua sahabatnya juga kompak meninggalkan Kirana karena hasutan seseorang yang membencinya."

Tangan Naura berhenti mengelus kepala Rana. Kemudia dia berbalik dengan posisi duduk yang sekarang menghadap ke arahku.

"Kakak pernah bilang kan kalau dalam ingatan kakak terakhir tinggal Kirana dan Adiknya yang masih bisa hidup dan Rana juga masih memiliki 2 sahabat di sekolahnya. Kenapa semuanya tidak terjadi seperti yang kakak ceritakan? Bahkan Rana yang kita kenal sekarang memiliki nasib yang jauh lebih malang dari pada Rana yang ada di mimpi kakak."

Tanganku tanpa sadar bergerak memijat dahi dan pangkal hidungku. lalu mengusap seluruh wajahku. Hal yang seringkali aku lakukan ketika aku dilanda kebingungan.

Mengalami Lompatan Waktu dan Menjadi Orang Lain (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang