BAB 7
Tentang RasaAku sedang memandangi kenangan salah satu kebersamaan aku dan Dirga yang dibekukan dalam lukisan indah oleh Kevin, ketika notivikasi pesan WA membuat si Andro bergetar diatas nakas disamping ranjang.
Chating dari musuh bebuyutannya Chagia, tapi sahabat bagiku. Ya, dialah Figo.
"Hi, Ra! Miss yooou! ;) lo lagi apa? Kalau gue disini lagi mandangin langit-langit kamar yang tanpa bintang. Suram, Ra."
Aku tersenyum membaca isi chat Figo yang tidak penting. Tahu kenapa aku mengatakan tidak penting?
Yak, karena dia sedang berlibur di Bali, tapi disana dia malah sibuk memandangi langit-langit kamar. Benar-benar tidak penting, kan?
Itu jadi berkali-kali tidak penting karena dia memberitahuku yang saat ini sedang memandangi objek yang 100% kali lebih indah dan penting daripada objek yang sedang dia pandang.
"Astaga, Figo! Lo lagi di Bali, tapi yang lo share ke gue cuma kegiatan lo yang nggak penting pake banget gitu? Mandangin langit-langit kamar, helooo! :-P" Balasku.
Menunggu balasan Figo, tatapanku kembali pada lukisan tadi, lukisan yang Dirga letakan didinding seberang ranjangku. Namun setelah beberapa menit berlalu, Figo tidak membalas lagi dengan teks, melainkan suara dan wajahnya yang muncul dalam layar si Andro.
"Wekwekwekwek! Seenggaknya kan gue bisa berbagi sesuatu sama elo, yang menandakan betapa dermawannya gue." Begitu salam pembukanya ketika aku menjawab video call-nya.
"Mana ada orang dermawan menyebut-nyebut kedermawanannya. Yang begitu itu sih orang ri'a namanya!"
"Ah elo, Ra! Gitu amat sih sama temen elo yang cakep ini." Wajahnya cemberut, merajuk minta dipuji.
"Oh, ya. Temen gue yang paling cakep, alias calon keparat!" Kataku dengan senyum mengejek.
"Astagfirllahal 'aziiim, tega banget lo, Ra. Pernah denger, nggak? Ucapan adalah doa? Jadi lo ati-ati dong kalau ngucap. Ucapin ke gue ucapan yang baik-baik, sama aja lo ngedoain gue yang baik-baik. Biar gue semangat juga ngaminin."
"Hihihi! Iya, iya, Figo. Temen gue yang paling ganteng. Cup, cup, cup! Kalau lo ngambek, entar gantengnya diambil saudara lo yang di kebun binatang sana."
"Sialan lo, Ra!"
"Hehehe, ok damai. Nanti gue salamin sama Chagia, deh." Kataku sengaja menyebut-nyebut Chagia. Mendengar nama "Chagia", ekspresi Figo malah jadi tampak ngenes banget.
"Ra, lo nyebut-nyebut namanya, gue jadi tambah kangen nih sama dia."
"Aduh, malangnya."
Aku menggelengkan kepala, menyadari bahwwa saat ini kami adalah sepasang teman dengan perasaan rindu didada pada orang-orang terkasih yang entah sedang apa dan dimana. Dan hal itulah yang akhirnya membawa Figo mendatangiku dari layar ponsel.
"Malang itu masih jauh dari sini, Ra."
"Bukan, bukan, dodol! Maksud gue bukan Malang kota, tapi malangnya nasip kita." Jawabku geregetan.
"Santai, neng! Iya, iya. Kita ini memang memiliki nasip cinta yang malang. Orang yang gue cintai malah selalu menampakan kebencian dan aura permusuhan setiap kali gue deket dia. Sedangkan elo, harus terjebak dalam kisah cinta yang terhalang jarak."
Aku hanya membalasnya dengan senyum miris, tak sanggup membalas dengan kata-kata, apalagi bersikap pura-pura tegar menghadapi jarak.
Entah itu karena aku belum terbiasa berjarak begitu luas dengan Dirga, atau karena aku belum mampu menerima dan berdamai dengan jarak yang telah memisahkan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Jarak Diantara Kita
RomanceAda Jarak Diantara Kita. Jarak yang sebelumnya tak pernah hadir ditengah-tengah kita. Jarak yang asing untuk kita. Jarak yang menyiksa dengan rindu. Jarak yang mengembangkan harapan dalam setiap waktu yang dihabiskan dalam penantian pada kebersamaan...