Hiraeth

7 0 0
                                    

Pukul 4 pagi.

Pertama kali aku menginjakkan kaki di kota ini lagi; kota-nya. Terlihat sepi meski sesekali kilasan lampu mobil berlalu. Di depan pusat perbelanjaan, yang baru akan buka 4 jam lagi, aku turun dari angkutan umum.

["Bis ke Jakarta cuma sampe jam 10, bego! Lu mau balik jam berapa kalo jam segini lu baru mulai makan?"]

Sepagi ini kota ini sudah tidak dingin. Meskipun tanganku masih terasa membeku pasca duduk di dekat jendela saat di angkutan umum, setidaknya aku tidak perlu mengenakan sweater abu-ku. Salahku juga, kenapa baru pulang menjelang tengah malam.

["Kenapa sih lu ada-ada aja? Nyusahin mulu. Heran."]

Kalau mengingatnya, rasanya mau tersenyum. Lucu juga cara dia bersikap setiap menemukan aku pergi sendiri ke tempat baru; yang tinggal justru lebih panik dari yang pergi. Niatku yang awalnya hanya ingin memberi kabar, sepertinya malah membuatnya nun jauh disana jadi sibuk menghubungi banyak orang plus menelepon lantas berceramah aku-harus-begini-harus-begitu. Aneh rasanya, diperhatikan sedemikian rupa setelah sekian lama ada jeda waktu kosong tanpa bercakap.

Sudah tau jaraknya terpisah pulau, dengan perbedaan waktu satu jam lebih awal. Sudah tau dia lelah setelah (katanya) bekerja keras selama seminggu dan butuh tidur. Sudah tau aku tak mungkin pergi tanpa rencana (walau memang sering begitu). Lalu kenapa mesti heboh hanya karena aku menanyakan jadwal bis antar-kota?

Peduli, tapi sok cuek. Dasar.

Sambil berjalan pulang, aku mengirim pesan padanya kalau aku sudah tiba dengan selamat. Pesanku terkirim, tapi belum terbaca. Suatu hal yang amat wajar setelah apa yang terjadi selama dia pergi. Lagipula, mana mungkin dia sudah bangun sedangkan adzan subuh saja belum berkumandang.
.
.
.
.
.
.
.
.
Lima jam kemudian...
Pesannya sudah dibaca. Tapi tidak dibalas.
Mungkin dia sedang belajar cuek (lagi), ya?

Mungkin Tentang Kamu, Atau Mungkin Juga BukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang