"Pagi Hotaru." Seorang wanita berusia senja berujar sembari membuka gorden kamarku--Nenek Yuri. Kalian tahu siapa dia? Nenekku? Bukan. Dia bukanlah nenekku. Aku sudah kehilangannya bertahun-tahun yang lalu.
"Pagi Nek." Jawabku mengucek mata.
"Cepatlah bangun Hotaru. Ini hari pertamamu duduk di kelas 2, lho. Apa kau tidak semangat?" Tanya Nenek dengan semangat 45. Aku hanya tersenyum tipis.
Walau dia sudah 70 tahun, Nenek Yuri masih bersemangat dalam segala hal. Tidak sepertiku, yang menemukan alasan hidup saja butuh usaha keras.
'Bagaimana bisa bersemangat kalau kau dikelilingi orang orang yang menyebalkan. Mereka memiliki banyak waktu luang untuk mengurus hidupku. Tapi malah tidak punya waktu mengurus hidup mereka sendiri.' Gumamku dalam hati.
"Nenek sudah siapkan sarapan di meja. Segeralah bersiap." Nenek duduk di samping ranjangku, mengusap pelan kepalaku dan tersenyum lembut.
Andai saja bukan karena wanita tua yang sudah bersusah payah membesarkanku, mungkin aku akan berhenti sekolah. Ini tahun keduaku di SMA dan semua sama saja.Tetap tidak ada yang berubah, sama seperti saat aku SD maupun SMP. Aku juga tidak bisa menceritakan masalah sekolahku ke Nenek. Dengan membesarkanku sampai seperti ini saja, aku sudah sangat bersyukur.
Sebelum keluar dari kamar, Nenek mengingatkanku lagi agar segera bersiap. Aku hanya mengangguk tersenyum. Berusaha tidak membuatnya resah dengan wajah muramku. Sangat berbahaya banyak pikiran diusia senja sepertinya. Banyak sekali penyakit yang mulai menghantuinya.
Aku tinggal disebuah apartemen di pusat kota bersama Nenek Yuri. Seperti yang aku katakan, dia bukanlah nenek kandungku. Tapi, dia menyayangiku, mungkin lebih menyayangiku dari pada Ibuku sendiri. Aku tidak tahu Ayah dan Ibuku ada dimana. Dan aku tidak peduli. Membiasakan diri untuk tidak peduli lagi. Mungkin saja, bagi mereka, uang lebih berharga dari pada putrinya.
Dari dulu, mereka selalu meninggalkanku dengan suster atau asisten rumah tangga. Semenjak aku dirawat oleh Nenek Yuri, Ayah dan Ibu semakin jarang pulang. Dan sejak saat itu juga, aku berhenti bertanya soal mereka. Entah mereka kemana, entah mereka sedang apa. Aku tidak tahu. Dan sepertinya, memang lebih baik aku tidak tahu. Beberapa hal lebih baik tetap menjadi rahasia, bukan?
Nenek bilang, biaya hidup kami dikirim oleh orang tuaku, dan apartemen ini adalah milikku—menurut penuturan Nenek. Nenek memberiku uang jajan yang lebih dari cukup untuk memenuhi kehidupan sekolahku. Lagipula, aku juga tidak punya teman untuk berbagi. Karena itu, aku menyisihkan uang jajanku untuk ditabung saja. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan, bukan? Jadi aku berjaga-jaga untuk semua kemungkinan buruk.
"Hotaru, Nenek sudah menyiapkan sarapan kesukaanmu lho." Ujar Nenek dengan celemek masih tergantung rapi di lehernya. Tangan tuanya cekatan mencuci piring yang mulai menumpuk karena aku lupa mencucinya semalam.
"Nenek, bukankah sudah kubilang, tidak usah terlalu repot. Kalau Nenek sakit bagaimana? Maaf, aku lupa mencucinya semalam. Dan lagi, aku sudah biasa tidak sarapan, bukan?" Ujarku dan mengambil alih piring dari tangan Nenek. Nenek hanya tersenyum dan memilih mundur. Beliau tahu bagaimana keras kepalanya aku. Aku bertaruh, orang tuaku mungkin tidak tahu sikapku.
"Sudah. Biar aku saja yang mengerjakannya. Nenek duduk saja disana." Ucapku.
"Kau bisa terlambat Hotaru." Bujuk Nenek.
"Daijoubu! Aku tidak akan terlambat dihari pertama sekolahku, Nek." Jawabku dengan tangan dipenuhi sabun yang melimpah.
"Ah, logat ibumu. Kau membuatku teringat pertemuan pertama kami." Nenek terkekeh pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGHARTA
FantasyAku sudah terlalu sering dikecewakan harapanku sendiri. Karena itulah, aku berhenti untuk berharap. Memilih membiarkan semuanya mengalir begitu saja tanpa ada tujuan. Orang bilang, kisah yang indah butuh pengorbanan. Lantas, apa lagi yang harus aku...