"Al, mau ke rumah Ibu? Keluarga kandung Al." tanya Mami di saat aku sedang mengerjakan PR.
"Ibu?" Ingatanku samar-samar dengan keluarga asliku. Maklum sudah beberapa tahun berlalu tak pernah berjumpa. Ingatan masa kecilku sudah tak begitu tergambar.
"Mau?" tanya Mami menyakinkan.
"Boleh."
"Baiklah. Besok hari Minggu kita ke sana. Mumpung Mami dan Papi ada waktu luang. Maaf ya kamu jadi jarang bertemu dengan mereka." Wajah Mami terlihat merasa bersalah.
"Nggak apa-apa, Mih. Al mengerti kok." Aku paham keadaan mereka. Bekerja dan bekerja untuk memenuhi kebutuhanku salah satunya. Walau begitu, setiap hari Mami selalu melakukan skype denganku. Menanyakan keadaan dan kebutuhan apa yang aku butuhkan.
Semua itu sudah lebih dari cukup untukku.
***
Rumah yang aku datangi masih sama saat beberapa tahun terakhir aku meninggalkannya. Hanya saja bangunannya sudah semakin terlihat tua. Catnya sudah mengelupas sana-sini. Membuat pemandangannya terlihat semakin kumuh.
Entah bagaimana keadaan penghuninya.
"Assalamu'alaikum." Mami mengucap salam sambil celingukan mencari seseorang. Rumah tampak sepi, padahal ini hari Minggu.
"Waalaikumsalam." Terdengar jawaban dari dalam. Saat pintu terbuka, terlihat seorang gadis dengan penampilan sedikit Kumal. Tapi tetap tak mengurangi pesonanya.
Siapa gadis ini?
"Kamu siapa, Nak? Yang tinggal di sini masih keluarga Pak Diman kan?" tanya Mami terlihat penasaran. Sama seperti yang aku rasakan.
"Be-benar, Bu. Saya Lyra. Ibu saya masih jualan belum pulang. Kebetulan ini juga saya baru tiba di rumah," terang gadis itu.
"Oh, begitu."
"Silakan masuk, Bu. Sebentar lagi juga Ibu pasti pulang."
Aku masih memperhatikan gadis dihadapanku. Jadi ini Kak Lyra? Kenapa terasa terlihat berbeda. Wajahnya terlihat banyak berubah dari terakhir kami berjumpa. Walau samar-samar.
Netra kami bertubrukan. Raut wajahnya terlihat kaget dan terbelalak menatapku. Membuatku sampai terheran, hingga aku melihat penampilanku sendiri untuk memastikan.
Apa yang salah dengan penampilanku? Aku menaikkan alis menatapnya heran.
"Ka-kamu, Al?"
"Iya. Kenapa? Aneh, ya?"
"Kok beda. Dulu kan kucel en the kumel. Kenapa sekarang ... Cakep." Gadis ini masih menatapku takjub.
Huh!
Aku kira kenapa. Ternyata hanya heran dengan penampilanku saja. Ck.
Jelas saja aku jadi cakep. Semua barang yang kupakai bermerk. Belum lagi setiap Minggu Mami akan mengajakku ke salon. Sehingga kulitku jadi bersih dan terawat.
Mungkin karena ini pula banyak para gadis jadi mengidolakanku. Tak sedikit di sekolah mereka ingin menjadi kekasihku. Bahkan aku lirik saja sudah pada kesenangan.
"Lama tidak jumpa. Syukurlah kamu bahagia dan terawat," lanjutnya lagi sambil tersenyum.
Aku hanya sedikit meringis mendengar ucapannya. Mungkin benar nasibku lebih beruntung. Melihat kondisi di dalam rumah dan penampilan Kak Lyra terlihat begitu mengkhawatirkan.
Kulitnya bahkan terlihat kecoklatan. Efek sinar matahari. "Kakak masih jualan." tanyaku memastikan.
"Masih. Kalau tidak bagaimana kami akan makan dan untuk biaya sekolah," jawabnya seraya tersenyum kecil.
Aku hanya manggut-manggut mendengar ucapannya. Walau sudah beranjak remaja, ia tak pernah malu untuk tetap berjualan. Seperti saat aku kecil dulu.
Aku ingat jika dulu ingin membeli mainan, maka aku akan mengumpulkan uang hasil jualan. Biasanya jika jualanku habis, Ibu akan memberiku uang sebagai upah. Dan aku akan memasukan ke celengan uang jajan tersebut.
Kalau lagi apes uang yang aku kumpulkan di celengan akan hilang. Entahlah siapa pelakunya. Padahal aku sudah menaruhnya di tempat tersembunyi.
Kalau lagi beruntung berarti aku bisa membeli mainan atau peralatan sekolah yang diperlukan. Aku membeli mainan hanya yang benar-benar aku inginkan saja sih. Toh, masih banyak kebutuhan yang lebih penting.
"Belajar yang bener, Al. Raih cita-cita agar kelak kamu jadi orang. Biasanya orang akan lebih menghormati jika kita memiliki pangkat dan uang. Kamu kan anak pintar, pasti gampang meraih apa yang kamu inginkan. Tinggal sungguh-sungguh saja dalam belajar. Jangan menyiakan kesempatan," nasehatnya.
Aku hanya termenung memikirkan ucapannya. Kak Lyra memang benar. Aku harus jadi orang agar tak ada yang menghina dan mencemoohku lagi. Jika aku berhasil bukankah aku pun bisa membahagiakan Ibu?
"Oiya, Kak. Ini nomor ponselku. Siapa tahu suatu saat nanti butuh. Simpanlah." Aku menyerahkan selembar kertas dan memberikannya ke Kak Lyra.
"Oke. Kakak simpan." Ia menyelipkan kertas itu di saku bajuku kumalnya dan tersenyum.
Mungkin suatu saat aku bisa membelikannya baju juga. Kasihan.
"Ehh, ada tamu penting. Sudah lama kan?" Seorang wanita paruh baya baru masuk dan langsung menaruh nampan bekas barang dagangannya.
Ibuku. Ia nampak semakin terlihat tua dari umur yang seharusnya.
Ya. Sebenarnya masih belum begitu tua. Hanya kehidupan yang keras membuatnya lebih cepat menua.
'Tunggu aku sukses, Bu,' batinku perih.
"Al ...." Ibu menatapku dengan mata berkaca-kaca dan langsung memelukku erat. "Bagaimana kabarmu, Nak. Sehatkan? Anak Ibu makin ganteng dan terlihat makin berisi. Alhamdulillah."
Aku pun balas memeluknya tak kalah erat. Merasakan kehangatan dekapan Ibu kembali. Aromanya pun masih sama saat terakhir aku memeluknya.
Wanita yang kuat dan tegar. Yang rela saja membanting tulang demi keluarga, di saat sang suami tak pernah peduli. Semoga kelak aku tidak seperti lelaki tua itu. Yang hidup hanya jadi benalu saja.
"Al sehat, Bu. Ibu juga sehatkan?" tanyaku saat Ibu melerai pelukan. Ia menangkap wajahku dan menciumiku.
"Ibu rindu sekali. Sudah lama tak jumpa anak lanang." Ia pun memelukku kembali.
Ah, Ibu. Aku kan sudah besar. Masih saja diperlakukan seperti bocah. Tapi aku suka sih.
"Oiya, ayo duduk semuanya. Kabarnya gimana, Bu, Pak. Sehat?" Ibu kemudian menyapa Mami dan Papi. "Lyra, buatin teh hangat sana sama cari cemilan. Masa tamu dianggurin."
"Nggak usah repot," ucap Mami.
"Nggak repot. Gimana Al, Bu. Apakah merepotkan?" tanya Ibu antusias.
"Nggak. Al anak baik dan penurut. Pintar pula. Di sekolah dia juara terus. Hebat pokoknya."
"Iya. Dia emang anak yang pintar."
Mereka pun terus bercerita tentangku. Seolah aku tak di sana. Hadeuh.
Aku hanya bisa berharap suatu saat masih diberi kesempatan untuk bisa membahagiakan Ibu. Wanita yang aku kasihi. Semoga Ibu diberikan umur panjang untuk itu.
Namun sayang. Takdir berkata lain. Aku tak menyangka saat itu adalah pertemuan terakhir dengan ibu.
Dan juga pelukan terakhir Ibu.
***
Masih ada yang nunggu?