4

6.3K 66 27
                                    

"Hei, kalian bertiga! Jangan lari!" teriak seseorang.

"Al, senior itu masih mengejar kita bagaimana ini. Hhhhh," seru Aden, saat kami beristirahat sejenak untuk mengambil napas yang rasanya sudah hampir habis.

"Kita lawan saja!" ucapku dengan berani. Kakiku rasanya sudah tak sanggup untuk digerakkan kembali. Seperti mau patah. Senior itu pun gigih sekali mengejar.

Padahal entah apa salah kami. Sedari awal masuk pendidikan, senior yang satu itu selalu saja membuat ulah, terutama kepadaku. Ada saja yang selalu diributkan, ada saja bahan untuk disalahkan. Heran.

"Serius mau ngelawan?"

"Mau bagaimana lagi. Aku tidak mau jadi bulan-bulanannya terus menerus."

"Baiklah. Kita lawan saja."

Tak butuh waktu lama, senior dan ketiga temannya sudah berada dihadapan kami. Aku menatapnya dengan berani.

"Akhirnya kalian berhenti lari juga. Kalian sudah merasa jagoan, eh?" hardik Heru, si senior songong. "Apa maksud kalian memasak sendil jepit sebagai pengganti daging rendang? Itu sama saja kalian merendahkan senior. Tunggu saja. Perbuatan kalian akan kami laporkan dan dapat dipastikan kalau kalian bertiga akan dikeluarkan," ujarnya seraya menyeringai lebar.

"Adukan saja. Kami tidak takut," tantangku.

Sebenarnya bila kami berduel, si senior songong itu akan kalah. Aku pernah baku hantam dengannya dan berujung dengan kekalahan si senior. Aku yang lebih tinggi darinya membuatku tak begitu sulit untuk menghajar kepongahannya. Hanya saja posisiku sebagai junior, membuat lelaki itu tetap saja selalu semena-mena.

"Berani sekali kamu junior! Kita lihat saja. Siapa yang akan kalah." Setelah mengucapkan kalimat itu, si songong mengajak ketiga temannya pergi.

"Bagaimana nih, Al? Kalau sampai aku dikeluarkan, kasihan kedua orang tuaku yang ingin melihat anaknya jadi polisi malah gagal. Pasti mereka kecewa banget. Apalagi biaya pendidikan tentu butuh biaya yang tidak sedikit. Bapak bahkan menjual tanah warisan satu-satunya hanya untuk melihat anaknya berpakaian polisi. Aku bakal nggak bisa pulang ke rumah akibat malu kalau keadaannya kayak gini," ucap Rendi panjang lebar dengan muka kusut.

Aku jadi merasa bersalah kepada kedua temanku. Mengerjai senior memang ideku dari awal. Kebetulan kami mendapat piket menyiapkan sarapan untuk para senior. Aku yang merasa kesal dengan tingkah songongnya ingin memberi pelajaran berharga. Konyolnya apa yang kulakukan terlalu mencolok sehingga tentu saja aksi kami langsung ketahuan.

Pembalasan yang kurang matang.

"Tenang saja. Aku yang akan membereskan semuanya. Aku pastikan kita tidak akan keluar dari pendidikan. Kita tetap akan jadi polisi seperti apa yang orang tua kita harapkan. Aku janji," tekadku.

Ada satu ide terlintas dalam benakku.

"Apa ide kamu, Al?" tanya Rendi terlihat penasaran.

"Kalian tau si Risa kan?" Aku menatap kedua temanku satu persatu dengan senyum dikulum. Aku yakin ideku kali ini akan berhasil.

"Anak pak kepala itu?" tanya Aden.

"Humm."

"Terus?"

"Lihat saja nanti."

"Hihh. Bikin penasaran."

"Ayo kita balik."

***

Aku melempar batu kecil ke arah pohon rindang secara ngasal. Menunggu seseorang lewat. Sesekali aku melirik arloji di tangan. Harusnya sih sebentar lagi orang yang aku tunggu datang.

Tak lama kemudian sosok yang kunanti nongol juga. Seorang gadis muda berperawakan tinggi semampai dengan rambut lurus sepinggang nampak berjalan dengan lunglai.

"Hai, Risa." Aku memberikan senyum terbaikku untuknya. Biasanya para gadis akan terpesona dengan hanya bermodal senyumanku doang. Pesonaku emang sulit untuk ditolak.

"Kamu ... Al kan?" Risa terlihat mengucek matanya berkali-kali seakan tak percaya akan kehadiranku yang tiba-tiba.

"Iya. Ehmm ... nanti sore kamu ada waktu nggak?"

"Sore? Emang mau kemana?"

"Aku mau ngajak kamu ke pasar malam. Bisa?"

"Hah? Bi-bisa banget. Beneran kamu ngajakin aku?"

"Ya iyalah. Emang ada gadis lain lagi di sini?"

"Hehehe. Nggak ada sih."

"Aku tunggu di depan gerbang ya. Sampai ketemu nanti sore."

"I-iya." Wajah Risa terlihat memerah. Setelah aku memberi senyuman, aku pun berbalik menuju barak.

Terlihat Risa jingkrak-jingkrak kesenangan. Sesenang itu dia jalan denganku. Ck. Pesonaku memang sulit dielakan.

Tidak sulit memang menaklukkan Risa. Sudah lama aku tau kalau gadis itu menyukaiku. Hanya saja selama ini aku cuek tak ingin menanggapi lebih jauh.

Aku ingin fokus dengan pendidikan. Tak ingin mengecewakan kedua orang tua angkatku yang sudah mengeluarkan uang banyak untuk biaya selama di sini. Apapun yang terjadi aku harus jadi kebanggaan mereka. Aku takkan membiarkan si songong merusak mimpi Papa Mama. Mau tidak mau aku harus mengeluarkan pesonaku untuk selamat.

Tunggu aku nanti malam Risa!

***

Setelah sekian abad baru bisa update. Maavkeun gaes. Doakan lancar yaa

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 23, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta Terlarang Season 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang