Prolog: Separuh Senja Berduka

49.5K 3.8K 970
                                    

"Kata dia, sejauh apa pun nanti kau pergi bertualang, ada masanya kau akan kembali lagi untuk pulang... demi nama seseorang."

Kalian percaya akan hal itu?

Gadis dengan rambut sebahu hitam legam yang tengah berdiri di atas hamparan pasir pesisir itu tertawa hampa. Tawanya tak lagi berirama bahagia ketika mendengar kalimat yang baru saja ia gumamkan tak sengaja.

Bodoh sekali dulu dia bisa percaya perkataan tersebut begitu saja. Padahal ia jelas tahu. Permainan rasa kadang memang selucu itu.

Kalau saja dulu Lintang tak menertawakan ucapan konyol tadi. Sore ini, ketika semua perlahan mulai menepi, ketika tiupan sang bayu mulai berdesir menghampiri. Gadis itu tak akan termakan dengan ucapannya sendiri.

Iya, semesta. Kau benar. Gadis itu kembali lagi ke kota ini demi sebuah nama seseorang.

Seseorang yang kini telah memberinya sesuatu.

Sepasang kenari cokelat tua itu lantas beralih, yang tadinya tengah menatap kosong wajah samudra yang dibiaskan sinar jingga merah bata, kini mulai berpaling ke arah benda di dalam genggamannya. Benda yang beberapa saat lalu Lintang terima dari seorang pemuda.

Sebuah alat perekam suara.

Akhirnya, senja kali ini menjadi saksi lagi di mana ombak Parangtritis dan segala kenangannya akan mendengar kembali sepenggal suara yang telah lama menghilang pergi.

Suara dari anak bumi, yang mengajarkan dia akan jatuh hati; akan kata bernama pergi.

Kenari itu mulai bergerak memperhatikan benda di tangan. Kini, ada banyak sekali keraguan yang hadir di antara sesak yang menghimpit dalam dada.

Haruskah dia mendengarkannya?

Keraguan itu semakin hadir di antara bahagia yang seharusnya ada. Dan kala bibirnya berkata dusta, tapi hatinya berucap iya.

Jemari Lintang lantas bergerak pelan, ia usap lembut benda hitam agak kusam tersebut, hingga sepasang earphone itu lantas ia letakkan pada kedua lubang telinganya. Satu tarikan napas panjang ia hela, dan tiba pada tarikan ketiga. Tombol putar itu ia tekan. Yang tadinya hanya terdengar suara deburan ombak berkejaran, kini mulai terdengar satu baris suara dari seseorang yang telah lama menghilang.

Suara... dari putra sang angkasa yang selama ini ia rindukan.

Teruntuk kamu pun juga dengan saya, yang pernah menjadi kita, meski tak bisa bersama diakhir cerita.

Hitungan detik pertama, sepasang netra gadis itu sudah terpejam. Ada kumpulan kabut yang kini mulai mengisi di antara kisi-kisi matanya secara perlahan.

Gadis Bintangku tercinta.

Apa kamu mendengarkan suara saya? Suara yang saya buat hanya untuk kamu. Suara di mana hari itu... jingga dan biru tengah elok-eloknya memandang iri akan dirimu.

Saya tahu, maaf tidak akan menjadi obat untuk luka yang telah saya perbuat. Namun kamu tahu, Kekasih? Sekuat apa pun saya bertahan, kita telah tiba pada waktu di mana semesta telah menggariskan.

Perihal kita selayaknya satu bait prosa yang pernah kehilangan predikatnya.

Saya tahu.

Sebagaimana dari kita adalah dua kata yang seharusnya menjadi satu cerita, hingga semesta memisahkan kita di antara bahagia. Hingga kamu tahu apa itu arti duka.

Jika saya bisa memilih. Saya marah kepada semesta.

Kenapa harus kita?

Tanda tanya itu terus terngiang di kepala. Hingga pada suatu hari saya kembali teringat tentang kita akan kota ini.

Kota yang katamu memiliki senja paling istimewa di antara kota yang lainnya. Kota yang menemukan kita dalam satu tawa. Kota yang pernah mengenalkan saya arti bahagia.

Yogyakarta.

Kamu masih ingat itu, Kekasih? Kita dipertemukan kota ini dalam dua hal berbeda akan paradesenja. Entah pada pekan raya parade patah asa, atau hingga saya tahu sebuah festival bernama jatuh cinta.

Iya, semua itu tentang kamu, yang menjadi warna dalam kanvas saya; yang menjadi puisi dalam cerita saya.

Namun kamu tahu, Kekasih?

Kota ini juga mengajarkan saya sesuatu perihal sebuah perjalanan. Bahwa tujuan dari setiap pertemuan... untuk menyambut kehadiran perpisahan.

Maka dari itu, Lintang sayang. Dengan ini maka kusampaikan padamu salam perpisahan, dengan segenap rasa sayang, pun jua lengkap dengan senja-senja kesukaanmu yang ingin kamu bawa pulang.

Doa saya hanya satu. Bahagialah selalu kamu.

Bumi Yogyakarta, hari di mana saya telah kembali berpulang dalam pelukan sang bumi.

Jinggamu, yang kini mulai mengabu.
Narajengga.

Separuh senja merah bata itu tahu hal ini akan terjadi. Dan separuh senja itu juga kini ikut berduka untukmu hari ini. Embun itu, kini berubah menjadi tangis yang tak bisa dibendung lagi.

Pada akhirnya, Lintang satu di antara jutaan hati yang kehilangan pemiliknya. Satu dari sekian bintang yang kehilangan binarnya.

Seorang pemuda yang sedari tadi berdiri di belakang Lintang mulai berjalan mendekat. Ia rengkuh tubuh gadis penuh luka itu dalam dekap.

"Katakan pada saya, apa yang harus saya lakukkan untuk menghentikan tangis kamu karena saudara kembar saya?"

"Katakan pada saya, apa yang harus saya lakukkan untuk menghentikan tangis kamu karena saudara kembar saya?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Playlist dari buku ini, sudah ada di Spotify. Jika berkenan, kalian bisa berkunjung sebentar. Link sudah saya sertakan di profil akun Wattpad ini.

Tiga Visual Karakter:
Jengga, Lintang dan Rasi

Tiga Visual Karakter:Jengga, Lintang dan Rasi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Note:

Cuma sekadar ingin berkabar. Saya tidak menuntut kalian untuk menerapkan visual yang saya gunakan. Terserah. Kalian bisa memilih sendiri dengan siapa tokoh ini pantas diperankan.

Sudah siap untuk bertualang
dalam kehilangan?

Republish: 5 Agustus 2019
Copyright © 2019, Navaenra

Tiga Ribu SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang