Chapter 2

488 46 5
                                    

 Gadis itu melangkah dalam ketidakpastian.

Semua area jalan yang ia lalui tampak tak asing lagi. Ia akui, ia memang selalu melewati jalan ini jika ingin berangkat atau pun pulang dari sekolah. Tapi, situasi ini… kondisi ini… seperti ia pernah mengalaminya.

Kepalanya bergerak menatap semua objek yang terekam dalam iris coklat miliknya.

Memang benar. Semuanya sama seperti kejadian itu.

Jantungnya berdebar kencang. Ingin sekali ia lari, menghindari hal yang mungkin akan ia lihat lagi. Tapi, kakinya tak menuruti keinginannya. Tetap melangkah, meski otak memerintahkan untuk berhenti.

'Tidak! Berhenti!' Batin pemuda itu takut. Namun, yang terlihat dari ekspresi wajahnya, hanya raut datar nan dingin. Seolah tak takut pada hal apa pun.

TRANG KLANG KLONTANG BRUG

Kepala pemuda itu reflek menoleh pada sumber suara. Dilihatnya sebuah gang selebar 3 meter di seberang jalan. Sepasang kaki yang terbalut dalam celana longgar sepanjang lutut itu pun, berjalan menuju asal suara.

Meski wajah sang pemuda sangat penasaran, lain hal dengan dalam dirinya.

'Tidak! Jangan ke sana! Ini mimpi kan? Iya kan? Kalau iya, siapa pun tolong aku!' Batin pemuda itu semakin takut.

Berjalan menyusuri gang, sang pemuda melihat pemandangan yang amat sangat ganjil di matanya. Sungguh! Iris coklat itu mengecil dan kelopaknya membesar.

Dihadapannya, terlihat dua pria yang saling berciuman. Dan pemuda itu semakin menegang saat dua pasang mata menatapnya tajam. Seakan-akan, marah karna kegiatannya diganggu.

Pemandangan di depannya sungguh sangat memalukan. Ia sebagai seorang laki-laki pun merasa malu, sebal dan… jijik. Bibirnya bergetar. Hendak bersuara, namun tak bisa.

Dan yang selanjutnya terjadi, kedua pria itu berjalan mendekati sang pemuda dengan seringaian penuh hawa nafsu.

"AAAAAAAAAA!"

Halilintar bangkit dari tidurnya dengan nafas memburu dan keringat yang mengucur deras.

Jantungnya berdetak kencang, seakan-akan ingin keluar dari tempatnya berada.

Rambut hitamnya lepek, karena basah. Pakaiannya pun bernasib sama. Kedua tangannya mengepal erat di atas paha yang terlapisi selimut. Sesekali kepalan tangan itu memukul pahanya.

Perlahan, ia memundurkan punggunya untuk bersandar pada kepala tempat tidur. Kedua kakinya ia tekuk, lalu membenamkan kepalanya dalam-dalam.

Tubuhnya bergetar. Isakan kecil terdengar. Kedua tangannya menggenggam erat masing-masing sikunya.

"Kenapa… kenapa mimpi itu… lagi?" Bisiknya dalam keheningan kamar.

"Bagaimana caranya? Bagaimana caranya menghilangkan… mimpi itu?" Nada suaranya lebih tinggi dari sebelumnya.

Seiring dengan bergeraknya jarum jam dari detik ke detik, tubuh Halilintar berhenti bergetar ketakutan. Genggamannya pun sudah melonggar. Tak terdengar isak tangis lagi. Hening kembali menguasai kamar kembar pertama itu.

TraumaWhere stories live. Discover now