Memaknai Setiap Embus Napas

16 1 1
                                    

06-10-18
Apakah aku makhluk yang selalu salah? Tak pernah baik di mata tajammu?
Aku mafhum sekarang, betapa mudahnya kita melihat kejelekan seseorang. Buta dengan beribu kebaikan yang mereka berikan. Memang beginilah watak seorang yang kita sebut manusia; suka menghakimi, tak punya sedikit pun rasa menghargai.
Dan semoga itu bukan watakmu, Kawan.
***
Tak ada yang bisa merendahkan kau dan aku, selama hati kita berdiri kokoh, tak mengizinkannya masuk.
Kerendahan dan kemuliaan adalah hak Allah yang diberikan kepada manusia. Dia yang kuasa merendahkan orang yang kita muliakan, juga kuasa memuliakan orang  yang kita rendahkan.
Jadi, untuk apa kita bersedih hati saat direndahkan orang lain? Bukankah itu justru menunjukkan bahwa kita lebih tinggi dari yang mereka kira? Tersenyumlah, sebab yang paling mulia di antara kita, di sisi Allah, adalah yang paling takwa kepada-Nya; melaksanakan perintah-Nya sekaligus menjauhi larangan-Nya. Begitulah penegasan Nabi Saw..
***
Beribu kata-kata bijak yang sudah pernah kita kunyah, kita baca. Apakah itu jaminan bisa merubah  kita menjadi bijak? Jawabannya selalu ada pada diri kita sendiri. Orang lain tidak tahu, sebab kita yang menjalani kehidupan kita sendiri, bukan mereka, bukan orang lain.
Apakah kau dan aku percaya dengan mereka yang berucap, “Santai saja, Kawan. Hidup itu mudah, jangan kau buat rumit”. Jawabku, ya, aku setuju. Namun siapa tahu hidup mereka yang kita lihat sangat bahagia, punya segalanya, nyatanya begitu panjang kepahitan yang mereka teguk layaknya kopi tubruk yang kita buat tanpa diberi gula.
Tetapi, Kawan, kita sebagai orang yang bisa berpikir dan beriman, maukah kita hanya berpikir tetap dan stagnan? Bukankah kita semua sudah tahu, bahwa hidup selalu dipergulirkan satu sama lain, ada saatnya bahagia, ada saatnya sedih. Setelah mendung pastilah berawan. Senja reda, malam datang.
***
Pagi hadir kembali lagi ke bumi. Membawa suasana sejuk pada tubuh yang ringkih. Bagiku, pagi adalah waktu yang tepat untuk membangun semangat. Membongkar malas yang masih melekat.
Pada pagi, ada tetes embun yang menyegarkan mimpi-mimpi. Sang surya muncul dari kaki langit timur. Membangunkan jiwa-jiwa yang masih nyenyak tertidur. Menghangatkan tubuh-tubuh yang kegigilan sisa hujan kemarin. Lantas seorang berkata mantap, “Kemarin aku gagal, aku akan coba lagi sekarang”.

Pagi ini, kulihat senyum mekarnya yang indah. Sorot matanya tiada tanda rasa benci. Aku yang terlampau sering membuatnya terluka, balasannya selalu saja tersenyum indah. Aku heran, siapakah dirinya sebenarnya?
Ah, mungkin dia adalah sosok malaikat berwujud manusia yang dimandat Tuhan untuk meminimalisir keakuanku, mendidik kelakuan songongku, hingga aku layak dan pantas disebut sebagai ‘manusia’. Siapa pun dia, maafkan aku, dan terimakasih telah membimbingku.
***
Bapak, ibu, biarkan anakmu ini pergi bertualang, bertemu banyak orang, belajar banyak hal, menziarahi tempat-tempat baru. Biarkan ia pergi sendiri, tak usah dicemaskan. Doa kalian, itu sudah lebih dari cukup untuk membersamai langkahnya.
Biarkan anakmu berlepas dengan pelukmu, Ibu. Agar ia menjadi anak yang tangguh. Tak gampang mengeluh, siap menghadapi hari-harinya yang pilu dengan gagah berani.
Biarkan buah hatimu tak membersamaimu, Bapak. Berikan ia kesempatan untuk mengejar impiannya. Lepaskan belenggu di sayapnya, agar ia terbang lepas di angkasa yang luas. Menemui impiannya yang tergantung tinggi di sana.
Ibu, Bapak. Kita anak kalian selalu percaya. Bahwa doa terbaik kalian tak pernah sedetik pun terlepas untuk kita. Dengan usaha dan doa kalian, semoga saja Yang Kuasa memberikan jalan yang terbaik untuk anakmu.
***
Waktu tak pernah berhenti istirahat, meski sejenak. Terus melangkah maju, mengikuti hukum alam yang telah berlaku. Kita tidur pun, waktu tetap saja selalu berjalan.
Kawan, masihkah kau berbaring santai di atas ranjang? Sementara yang lain sudah melesat jauh di atas bintang gemintang? Bukankah lebih baik kita melangkah maju ke depan? Tak perlu sering menoleh ke belakang, Kawan, nanti tersangkut lagi. Fokus saja kita ke tujuan. Kelak, kita akan berdiri, tersenyum syukur melihat hari-hari yang telah kita tempuh ternyata berbuah manis menyegarkan.
Saat waktu itu terjadi, kita jadi senyum-senyum sendiri. Ternyata, segala hal yang begitu penuh rintangan, yang kadang kita hampir putus asa, sudah kita lewati dengan penuh keberanian dan perasaan lapang. Membuat semakin kita memahami, bahwa hidup adalah tentang sebuah penerimaan dengan apa-apa yang sudah, sedang, dan akan terjadi.
08-10-18
Bertemu atau berteman dengan orang-orang yang optimis adalah suatu hal yang menakjubkan. Dari mereka kita bisa belajar banyak hal-hal yang positif. Kita yang lemah menjadi lebih kuat, yang sedih menjadi lebih pandai mensyukuri.
Sungguh, aku sangat berterimakasih pada Allah, sebab Dia sudah mempertemukanku dengan orang-orang yang begitu hebat dalam mensyukuri nikmat-Nya. Kutulis tulisan ini, yang menurutmu sepele ini, adalah sebagai bentuk terimakasihku pada Allah, juga sebagai rasa respekku pada mereka yang memberikan aura-aura semangat dalam kelemahanku.
Mereka memberikanku pelajaran, bahwa tiada yang mustahil untuk diraih selama kita terus berjuang dan berdoa. Selamat berjuang, Kawan.
09-10-18
Pagi-pagi, coba lihatlah ke kaki langit timur. Matahari kuning ceplok begitu anggun lamat-lamat muncul. Indah. Menakjubkan. Malam yang tadinya kau anggap mencekam, kini berganti cerah kekuningan yang mengesankan. Udara-udara segar kau hirup tanpa perlu membayar, gratisan. Lantas masihkah kita sebagai penumpang di bumi ini tidak membuka hati untuk berucap syukur pada sang pemiliknya?
Entahlah, sudah berapa banyak nikmat yang telah Allah berikan pada kita manusia tanpa pungutan biaya. Napas yang diberi-Nya, sungguh menjadi sebuah harta yang tak ternilai harganya bagi kita. Tanpa napas, sekaya apa pun seseorang, seberkuasa apa pun kita, tetap saja kita akan binasa. Tak mampu berucap, apa lagi tertawa keras.
Itu baru nikmat napas, belum lagi nikmat lainnya yang tak pernah bisa dihitung oleh mesin penghitung tercanggih sekali pun. Maka, Ya Allah, Pemilik jiwa kami. Ampunilah keangkuhan kami, yang begitu enggan hanya untuk sekedar mengucapkan terimakasih.
10-10-18
Melihat realitas akhir-akhir ini, betapa lucunya kita mendengar kabar-kabar di negeri kita saat ini. Mereka dulunya yang berucap keras tak butuhkan umat islam, kini harus merangkak membutuhkan dukungan mereka. Ah, bikin kau dan aku tertawa saja, betapa mudahnya kita menghina dan merendahkan orang lain, untuk besok lusa kita bertekuk lutut  di  kaki-kaki mereka. Lucu, bukan?
***
Aku harus selalu bersyukur pada kehidupan yang Allah berikan. Dia yang menciptakanku dari tiada, juga memberikanku hidup yang begitu tentram dan menenangkan.

Dia adalah Sang Pencipta yang Mahahebat. Selalu memberikan kebahagiaan pada hamba-hamba-Nya meski pada awalnya kepahitan yang dilihat. Aku selalu percaya, bahwa dibalik pasti ada sebuah cahaya terang, setiap ada masalah pasti ada jalan keluar. Begitulah kata orang-orang.
11-10-18
Sekitar pukul 01:47 pagi. Bumi yang kutinggali terasa bergetar. Membuatku yang tidur pulas, bangun terjaga, kaget. Ya, getaran gempa tersebut tepatnya berada di Situbondo, yang jaraknya lumayan agak jauh sedikit dari tempat menetapku sekarang. Jember. Sekitar 68 kilometer. 1 jam lebih beberapa menit kalau ditempuh dengan motor.
Ya Allah. Aku menjadi berkhayal, bagaimana jika saat ini adalah hari terakhir di mana manusia menginjakkan kaki di bumi. Bagaimana kalau sekarang sudah saatnya kiamat, sementara dosa-dosaku menggunung, tak pernah berhenti meninggi.
Harusnya, ini menjadi pelajaran bagi kita manusia, biar tidak begitu sering melanggar pada aturan Tuhan, bukan malah cengengesan di atas tumpukan dosa yang terus kita lakukan. Ya Allah. Bukankah ini menjadi peringatan kecil dari-Mu, supaya kita sadar dan kembali ke jalan yang benar?
Ya Allah. Harusnya kita semua bersyukur, jika gempa yang kita alami tak sehebat di pulau seberang sana. Maafkan kami Ya Allah, jika kami terlampau tambeng untuk diajak ke jalan-Mu yang benar-benar benar.
12-10-18
Pagi menjelang siang
Kulihat senyumnya yang menawan
Bola matanya indah
Teduhkan ini jiwa
Ego ingin menatapnya lama
Nurani tak izinkan
Kaki ini bergegas pergi
Meninggalkan jejak senyumnya
Tapi hati membekukannya dalam perasaan
Ia layaknya matahari

Menyinari sedihku setiap hari
Aku-ku ingin mendekat
Tapi aku sadar
Itu hanya membuatku terbakar
Maka, bukankah lebih baik jika kudekatkan saja dalam doa
Bolehkan, Kawan?
15-10-18
Berkata di depan publik adalah hal yang paling kutakuti. Mengalir deras keringat dari sekujur tubuh. Dag dig dug perasaanku. Tetapi aku tak boleh menyerah pasrah sebelum mencoba. Aku harus suka melakukan hal-hal baru, agar aku tak bertengger lama dalam zona kenyamanan, pengangguran.
Aku adalah versiku, bukan made-in mu. Aku tak butuh penilain baik di mata semua orang. Aku hanya suka melakukan apa kata hatiku. Mereka mendukung, aku bersyukur. Mereka muak, aku masih bisa tersenyum. Sebab seperti yang sudah kita ketahui bersama, bahwa hidup bukanlah untuk menyenangkan hati semua orang, dan itu hanya membuat kita takut untuk melakukan hal-hal yang belum kita coba.
Bahkan, orang paling baik pun masih banyak pembenci di sekelilingnya. Namun orang-orang baik seperti mereka tidak pernah ambil pusing, justru mereka menjadikan itu sebagai motivasi untuk lebih baik dari hari ke hari.
***
Diberi hadiah oleh seorang yang kita segani, hormati, dan kita cintai adalah hal yang istimewa. Bukan karena harganya, melainkan karena nilai yang ada dalam hadiah itu. Nilai tulus pemberian yang ada dari si pemberi.
‘Terimakasih’, setidaknya adalah ucapan sederhana yang pantas kita ucapkan pada si pemberi.
17-10-18
Kau memang bukan kopi, yang meski pahit tapi tetap lezat dinikmati. Kau lebih mirip dengan madu, yang manis dinikmati sekaligus menyembuhkan lukaku.
Kau layaknya senja, indah dipandang, lalu perlahan menghilang. Aku suka itu, meski menjumpaimu hanyalah sebentar, tapi kau tetap menjanjikanku esok tetap hadir kembali di waktu yang sama. Setidaknya dengan kehadiranmu setiap hari, meski sebentar, aku tetap mencintaimu sepenuh hati.
Entah dengan dirimu, aku tidak memedulikan itu, Sebab aku mencintaimu tulus; cinta yang tak mengharapkan balas imbang.
Kau ibarat pagi; yang menyegarkan semangatku untuk bangkit lagi. Aku harusnya berterimakasih padamu. Tapi tak usahlah, biar kuganti terimakasih itu dengan segenap doaku agar kau selalu dalam penjagaan sang pemelihara jagat ini. Salamku, semoga kau tetap tersenyum baca tulisan ini.
***
Pagi ini tak sebegitu dingin pagi-pagi kemarin. Sang surya tetap saja berwajah kuning seperti hari-hari kemarin. Burung-burung saling mendendangkan lagu-lagu kedamaian. Anak-anak kecil bersorak riang melangkahkan kaki ke gerbang sekolahan.
Salah seorang kawan kecil bertanya perihalku, ‘aku baik-baik saja’, jawabku pendek. Kaubenar, Dek, aku sedang apa-apa, tidak benar-benar baik. Tapi beginilah aku yang tidak mau orang lain kasihan melihat kesedihanku.
Aku benar-benar sedih, saat apa yang kuperbuat tidak dihargai. Aku benar-benar kecewa, saat apa yang kuutarakan tidak dipedulikan. Namun aku sadar, aku bukanlah siapa-siapa; bukan seorang motivator handal yang setiap perkataannya selalu dicatat dan dibayar; juga bukan seorang penasihat ulung yang membuat setiap telinga tunduk dan patuh.
Aku bukan siapa-siapa. Aku hanyalah manusia yang  tidak tahu apa-apa, yang belajar untuk mengetahui apa-apa agar menjadi siapa yang tidak perlu ingin disiapa-siapakan. Terimakasih, Tuhan, Engkau selalu mengajarkanku banyak hal.
***
Bumi mengajarkanku untuk rela dimanfaatkan, meski tak pernah dimanjakan
Matahari mengajarkanku untuk tetap menyinari kebaikan, meski tak pernah dihargai
Pohon mengajarkanku untuk tetap memberikan buah, meski terlampau sering dilempari batu
Akar mengajarkanku untuk tetap kuat kokoh, meski kencang angin tetap terus suka menyerang
Dan kau…
Mengajarkanku bahwa rasa sakit tak perlu dibalas
Cukup ditulis di kertas, agar sakitnya sedikit perlahan tuntas
Aku harus kuat, tak perlu seperti akar
Cukup seperti diriku sendiri
Menjadi samudera luas, yang siap menerima apa pun dari lemparan-lemparan yang dibuang ke dalamnya
Tetap jernih, tak sedikit pun kotor terganggu.
18-10-18
Lagi-lagi aku marah dengan sikap mereka, yang begitu mengentengkan kewajiban-kewajiban yang sehrusnya dilakukan; kewajiban seorang pencari ilmu yang harus patuh terhadap seorang pemandu ilmu. Lihatlah, mukaku merah padam layaknya singa yang kelaparan. Benda-benda di sekitar menjadi sasaran pukulan. Aku berteriak kencang layaknya serigala yang kehausan, meski suaraku tak selantang serigala.
Entahlah, akhir-akhir ini aku gemar marah. Padahal marah adalah hal yang paling tidak kuminati. Tapi keadaanlah yang membuatku seperti ini; saat ajaran agama dibuat lelucon; saat kemungkaran terlampaui melampaui batas.
Aku begitu geram, saat mereka merendahkan orang yang harusnya mereka hormati. Apakah sikapku salah? Terserah apa jawabanmu. Semoga saja, niat dan langkahku diridhoi oleh Dia yang Mahakuasa.
***
Kenapa kau suka membaca? Dari sanalah aku belajar, memahami. Membuat akal berpikir luas dan tak kolot. Menyelami pemikiran-pemikiran hebat orang-orang yang bahkan sudah berabad-abad telah tiada, tinggal nama dan jasa. Umur seseorang boleh sebentar, tapi pemikiran yang ditulis akan tetap tertinggal. Kekal. Menginspirasi generasi-generasi yang hadir kemudian. Menjadi kenangan yang mengagumkan.
Membaca tulisan-tulisan baik, kurang lebih menjadikan seseorang lebih bijak dalam menjalani hidup. Langkahnya terarah. Tidak mudah putus asa di saat kehidupan memukulnya begitu hebat. Sebab yang dibaca mampu menjadi pegangan yang kokoh tatkala roboh.
Membaca buku-buku hebat ibarat berguru pada guru yang tidak terkesan menggurui, tapi penuh inspirasi. Menyenangkan. Tak mahir bicara, namun cukup untuk membahagiakan suasana hati. Kau dan aku diajak untuk berimajinasi, tanpa batas. Walau di penjara pun kita tetap merasa bebas. Sebab pikiran kita tidak tekunci dengan belenggu-belenggu kemana pun kita terbang.
Selamat membaca, Kawan.
***
Aku adalah aku. Kau tak suka, aku tak butuh. Hidup terlalu ribet jika hanya untuk menyenangkan semua pendapat orang lain. Aku suka melakukan apa yang hatiku suka, meski banyak mata yang menatapku sinis, benci, dan tak suka. Aku senang dengan pilihanku sendiri. Tanpa paksaan dan kekangan. Aku suka dengan cara hidupku sendiri. Kau meremehkanku, aku biasa saja, tak butuh pemujaanmu. Toh ukuran mulia atau tidak itu hanya Allah yang lebih tahu. Dia yang berhak menentukan. Kita makhluk lemah, tidak berhak menilai yang lain.
Tapi saat kau meremehkan kehormatan ajaran-Nya. Jangan tanya siapa aku. Aku tidak takut, tak gentar. Walau aku pendiam, jangan salahkan jika aku lebih mengaum buas dari pada singa. Kau ingat pepatah itu? ‘ jangan ganggu singa yang sedang tidur’. Mungkin itu maksudku.
18-10-18
Apalah arti lara, jika kita sudah berpasrah penuh pada Allah. Bukankah yang membuat lara tak berujung usai adalah kita sendiri, yang tidak terima dengan keadaan dan rencana indah-Nya? Memaki sekencang-kencangnya hingga amnesia siapakah dirinya sebenarnya. Tidak lain hanyalah produk-Nya yang terbuat dari air hina, yang lantas kemudian ditakdirkan hidup oleh-Nya. Harusnya kau dan aku bersyukur jika saat ini masih bisa bernafas sesuka hati.
Dekap erat semua kesedihan, keterpurukan. Kau dan aku akan temukan hidup sesungguhnya. Warna-warni kehidupan yang beragam membuat kita lebih fresh dalam memandang segala persoalan. Tidak terkotak pada hitam-putih, baik-jahat. Semua butuh proses.
Percayalah, tidak ada rasa sakit yang menciderai kita selama kita tidak mengizinkannya. Selama kita menerimanya penuh senyuman tulus dan tabah. Semua akan indah pada akhirnya; di alam baka.
19-10-18
Senyum adalah hal yang paling bisa diketahui bahwa seseorang itu sedang dalam keadaan baik-baik saja, bahagia. Dengan tersenyum, membuat kita seolah-olah lebih hidup meski suasana hati sedang redup. Membuat suasana hati lebih segar walau kenyataannya tidak sesegar itu.
Adalah senyummu yang membuat hatiku terpikat. Menjadikanku ingin menetapkanmu sebagai kita dalam seatap. Senyumanmu menawan, membuat hati ini luluh lalu tertawan.
Di antara miliaran senyuman penduduk bumi yang kutemui, senyummu-lah yang membuatku jatuh hati. Senyummu mengandung zat adiktiv. Membuatku ingin menikmatinya lagi, lagi, dan lagi. Entah, mungkin aku bisa gila jika tidak bisa menikmati sungging senyummu lagi. Aku gila.
***
Adalah tangis yang kali pertama diekspresikan seorang bayi saat melihat alam dunia. Kau tahu kenapa? Mungkin karena ia kaget, betapa kejamnya melihat alam yang baru ia kenal. Ia menangis sejadi-jadinya di saat yang lain tersenyum bahagia melihat kehadirannya. Ia telanjang bulat tanpa membawa bekal apa-apa. Dikumandangkanlah kalimat suci ke kupingnya oleh lelaki yang amat menyayanginya, juga mencintai perempuan yang berjuang mati-matian melahirkannya. Kalimat suci itulah yang menjadi bekal pertama seorang bayi tersebut untuk melanjutkan petualangannya di dunia yang hanya sebentar ini.
Dan untukmu, Kawan. Mari usejenak kita istirahatkan tawa-tawa yang terlampau kelewat batas. Sejenak menangis mengingat kesalahan-kesalahan apa yang telah kita perbuat kepada Tuhan juga sesama. Merevisinya dengan kebaikan-kebaikan walau kecil, agar kelak saat pulang tak begitu berat membawa beban; dosa.
20-10-18
Sejauh ini kaki ini sudah melangkah, mencari makna hidup yang sesungguhnya. Telah banyak yang kutemui dalam pengembaraan. Sakit. Senang. Suka. Duka. Bahagia. Sedih. Semua telah menjadi makanan sehari-hariku selama perjalanan.
Entah, sudah berapa banyak npelajaran hidup yang kukunyah kenyang selama ini. Semoga saja langkah ini diridhoi Allah, bagiku itu sudah cukup.
21-10-18
Di ruangan yang tak begitu luas, lengang tiada ingar bingar. Kupesan secangkir kopi bersama seorang kawan. Berharap penat-penat yang tertumpuk di pikiran lamat-lamat menghilang. Juga semua gundah gulana yang kurasakan semoga berpindah ke secangkir kopi yang sudah kupesan.
Kopi tetaplah kopi. Manis pahit semua tersaji dalam kepekatannya. Mengajarkanku untuk selalu tetap menerima manis dan pahit dalam kehidupan. Tidak untuk dieluh, melainkan ditantang dengan kepalan tangan. Diterima dengan tangan terbuka lebar.
Sebenarnya bukan kopi ini yang paling kusuka. Tapi hangat yang ada dalam suasana bersama saat ngopi. Apa pun minuman yang dipesan, selama mengobrol hangat bersama kawan, selalu menyenangkan. Apalagi kalau harus menceritakan mimpi besar masing-masing. Sungguh sangat menyenangkan. Dan impianku selanjutnya adalah mempunyai kedai kopi berhias buku-buku di rak-rak dinding. Tentunya bersama kamu. Doakan, ya.
***
Amat sering seseorang menganggap orang yang pendiam, hemat bicara, dideskripsikan dengan seorang penakut. Apa hubungannya cobak?
Perlunya yang berpikiran seperti itu harus tahu, bahwa anjing yang menyalak galak tidak lebih ditakuti daripada sesekor singa yang sedang bobok. Artinya apa? Ada kalanya kau dan aku harus diam, tidak ikut komentar, jika memang kita tidak tahu urusannya.
Apa kata Sayyidina Ali karramallahu wajhahu, "Andai saja orang yang tidak tahu itu diam, tidak ikut nimbrung urusan yang bukan ahlinya, niscaya tidak akan ada sebuah perselisihan."
Sayangnya, di jaman android saat ini, lebih sering kita ikut komentar hal yang bukan urusannya, debat tak jelas, adu mulut. Yang pada akhirnya hanya saling menebar kebencian satu sama lain. Tidak lain itu sebab angkat bicara tanpa banyak pikir.
Semoga saja telinga kita lebih hobi mendengarkan  keluh kesah orang. Peduli. Tidak banyak omong yang berujung rasan-rasan.
23-10-18
Dia bagai petualang yang tersesat di tengah rimba
Tak tahu arah, tetap saja melangkah
Kompas hatinya mati
Memastikan arah kiblat pun ia ragu-ragu
Perasaan semacam apakah itu, Tuhan?
Sumpek?
Galau?
Rindu?
Mengkal?
Entahlah, dirinya tidak tahu menahu
Deraslah air terjun yang meluncur dari pelupuk matanya
Beranjaklah ia tidur
Pejamkan mata
Berharap, yang teringat akan lenyap
Sia-sia, semuanya hanya membuatnya semakin rindu
Dasar, cengeng.
***

Jika kata Dilan rindu itu berat. Maka bagiku tidak. Ringan-ringan saja. Apanya yang berat, orang tidak membawa benda yang berat.
Orang-orang saja yang terlalu memuja rindu. Seolah ia berada di rating tertinggi dalam urusan per-galauan. Buktinya, aku biasa saja meski merindu pada yang nun jauh di sana.
Baiklah. Maaf. Aku tidak akan memperpanjang urusan ini. Toh pendapat orang tidak selalu sama. Apa kata sabda itu, perbedaan adalah sebuah rahmat, kasih sayang.

Jadi, biasa-biasa saja terhadap rindu. Tidak usah sedih sampai sebegitunya. Apalagi menyakiti diri sendiri. Termasuk hebat bagi mereka yang malah memunculkan karya gara-gara rindu. Entah musik, tulisan, atau lukisan. Malah menjadi hal yang berguna. Bermanfaat bagi orang lain.
24-10-18
Kenangan kala itu, perasaan waktu itu. Kini tumbuh lagi kepada seorang yang mirip dengan dia yang dulu kusuka dan kini menjadi kekasih halalnya bukan seorang aku.
Aku selalu saja berusaha untuk membuang kenangan itu, agar aku tak terfokus pada seseorang itu. Membuat aku gila, senyum-senyum sendiri membayangkan wajahnya.
Rona wajahnya enak dipandang, menenangkan. Senyum indahnya menentramkan. Bola matanya me eduhkan.
Ingin rasanya tercebur berlama-lama di lautan matanya. Entahlah, aku sulit untuk menjelaskan perasaan ini. Timbul pertanyaan, "kenapa aku begitu mudahnya menjatuhkan hati?"
***
Wanita mana yang lebih hebat dibandingkan seorang ibu. Aku ingin tahu. Perjuangannya melawan maut ia sangat berani dan tangguh. Hanya demi monster mungilnya yang tercinta, ia rela menaruhkan segala raga dan nyawanya.
Dia adalah sosok yang tak pernah bisa digantikan perannya. Ia begitu lihai membungkus segala kesedihan dengan senyum tulusnya yang menakjubkan. Tidak pernah ingin terlihat dikasihani oleh anak-anaknya.
Entah, kalimat apalagi yang harus kucoretkan tentangnya. Ia begitu banyak berjasa pada kehidupan semua anak bangsa. Sungguh, tak akan cukup setebal apa pun buku untuk menceritakan kisah perjuangannya.
Kita bahkan tidak tahu menahu, jika ia rela terjaga tengah malam. Menahan kantuk berat lelahnya, hanya untuk mendoakan yang terbaik untuk anak-anaknya. Berharap selamat dunia-akhrat. Sehat wal afiyah.
25-10-18
Di malam yang agak sumringah. Telah kutumpahkan segala hal yang mengganjal di ruang dada. Kumuntahkan segala rasa yang telah memenuh di perut jiwa. Alhamdulillah, semuanya terasa lega. Walau tak semua resahnya tumpah.

Aku sedikit puas telah menghancurkan sedihku dengan pukulan senyuman. Tak mudah memang. Namun aku berusaha keras agar sedihku tak semakin menguat dan mengambang. Biarkan ia hilang dan tak lagi menggenang. Bebahagialah. Kau dan aku berhak.
***
Bagiku, rumah terindah tak harus mewah bak istana raja. Rumah gubuk pun sangat indah jika penghuninya menghadirkan ramah.
Adalah aku saat ini, yang tengah bertamu di rumah gubuk yang dihuni ibu tua penjual kopi. Di sini, kurasakan kedamaian. Kerinduan bermunculan kala memandang raut wajahnya yang tak lagi muda. Teringat yang telah melahirkanku di sana. Baik-baik di sana, Ibu.
***
Sikap hangatku yang kusedekahkan padamu
Kau balas balas dengan sikapmu yang dingin
Kau seolah tak peduli dengan apa yang tengah kurasakan
Padahal, dalam tatapan matamu
Aku bisa membaca
Ada suatu hal yang disembunyikan olehmu
Kau membohongi perasaanmu sendiri
Kau hanya egois untuk mengungkapkan 'aku juga suka padamu'
Dan, aku tahu itu
Kau boleh saja membohongiku dengan ekspresimu yang begitu pandai ber-akting
Tidak dengan matamu
Tak bisa menyembunyikan kebenaran
Bahwa kau sungguh mencintaiku.
26-10-18
Di bawah pohon yang rindang. Sepoi-sepoi angin datang menyegarkan. Kurasakan nikmatnya hidup tanpa kekangan. Sejenak terlepas dari ingar bingar celoteh para camar. Mengenal diri lebih dalam.
Dalam kesendirian yang sunyi. Kau bebas menertawai dirimu sendiri. Menertawakan ke-aku-anmu yang mulai meninggi. Untuk kemudian belajar menjadi pribadi yang rendah hati.
26-10-18
Bahagia, bagiku bukan hanya saat kita mendapatkan apa yang kita harapkan. Kita juga bisa merasakan kebahagiaan lebih saat kita bisa berbagi kebermanfaatan kepada orang sekitar.
Aku bahagia, saat hal yang aku gemari; membaca buku, menjadi ditiru oleh orang lain. Membaca buku-buku baik, untuk kemudian menuangkan pikirannya menjadi sebuah karangan. Ya, setidaknya aku merasa bahagia atas kebahagiaan orang lain.
***
Melihat permasalahan dunia akhir-akhir ini, membuat kepalaku pusing tujuh keliling. Mereka yang pandai bicara hanya memperkeruh masalah tanpa memberi solusi yang terbaik.
Belum lagi, memikirkan diri sendiri, yang terkadang merasakan kehampaan dalam hidup. Memusingkan otak. Tak menemukan tujuan hakikat hidup.
Tuhan. Apakah hamba salah, jika terus mengeluh atas segala hal yang menimpa kehidupanku? Jika salah, benahilah diri ini, agar hidupku tenang dan damai kembali.
Rahman. Kembalikan semangatku yang mulai pergi. Tidurkan egoku yang mulai terjga lagi. Aku tak ingin menjadi manusia pusing yang seharusnya tak harus pusing. Aku ingin bahagia kembali.
27-10-18
Waktu berjalan begitu cepat. Tidak terasa bulan Oktober kurang beberapa hari lagi segera tertutup rapat. Terganti dengan bulan November; bulan yang kunanti-nantikan agar segera pulang. Melepas kerinduan bersama orang-orang yang kusayang. Menumpahkan perasaan yang sudah mengharu biru. Berharap siap memulai rintangan baru.
Ya. Hidup memang tentang sebuah rintangan. Rintangan yang hanya siap dihadapi oleh para pemenang. Penakut hanyalah para pecundang. Barangkali kau dan aku adalah pecundang. Takut melangkah mencoba hal-hal baik yang baru. Lari dari sebuah tanggungjawab. Meninggalkan sebuah masalah yang seharusnya kita tantang.
Kenapa harus ditantang? Sebab jika sebuah masalah itu didiamkan, dicuek-biarkan, yang ada masalah itu semakin membesar. Belum lagi datang masalah-masalah baru, hingga tidak ada satu pun yang terselesaikan. Tambah banyak.
Hadapi saja. Lakukan dengan tenang. Semua akan baik-baik saja. Kau dan aku pasti menang.
***
Kadangkala, kita diliputi oleh rasa cemas berlebih atas pilihan-pilihan yang telah kita pilih. Padahal itu hanya membuat pikiran nyut-nyutan. Bukankah lebih baik kita memperbaiki untuk hari ini, juga hari-hari selanjutnya. Agar hidup kita kian berkembang, tidak stagnan pada hal-hal itu saja.
Tetap lakukan hal-hal yang hati kita suka, yang membuat kita riang gembira. Agar hidup tak kita pandang jenuh dengan sebuah kesuraman.
Memandang persoalan hidup biasa-biasa saja. Standar. Memposisikan pada tempatnya masing-masing. Kita sedih anggap saja biasa. Kita bahagia tak perlu terlampau jumawa. Tidak perlu sedih berlebih. Pun tak perlu merasa paling bahagia sedunia.
Tidakkah kita sama-sama paham, jika tidak ada sesuatu yang berlebihan itu baik. Kita tahu kopi yang lezat menyenangkan, bukan? Adalah saat kopi dan gula dicampur sesuai takaran. Mari seduh kopi kita bersama-sama. Mumpung masih hangat.
28-10-18
Aku rela menjadi tisue-mu; mengusap air mata pedih sedihmu, walau aku harus terbasahi oleh lukamu.
Aku rela menjadi bahu untukmu; menopang keluh kesahmu, walau aku harus terbebani oleh berat tangismu.
Aku bersedia menjadi kuping lebar untukmu; siap mendengar segala gundah perihmu, agar suasana hatimu agak damai meski sedikit.
Biarkan aku menjadi penghibur sedihmu. Sebab, aku jernih mencintaimu.
***
Kemajuan suatu bangsa, bukan dilihat dari seberapa canggih teknologi-teknologi yang dimiliki. Bukan. Melainkan dilihat dari para pemuda-pemudinya. Jika mereka sudah bermoral menawan, tambahkan berwawasan luas. Maka sudah bisa dipastikan bahwa bangsa tersebut memang benar-benar maju.
Kau tahu kenapa? Sebab para pemuda-pemudi adalah seorang yang masih kuat-kuatnya dalam segala hal. Dan alangkah baiknya jika segenap jiwa raga mereka dibermanfaatkan untuk hal-hal positif yang bisa memajukan masa depan sebuah bangsa.
Mari kita lihat kembali ke lembaran-lembaran sejarah. Mengenangnya. Untuk kemudian mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Hari ini adalah hari "Sumpah Pemuda" negeri kita. Harusnya kita tidak hanya menghafalkan kalimat-kalimat sumpah itu. Ada yang lebih dari itu. Suatu tindakan.
Mari kita kurangi sedikit komentar-komentar kebencian. Baik di dunia maya atau nyata. Kita ganti hal-hal yang negatif dengan mengarah ke hal-hal yang positif. Bermanfaat. Menginspirasi. Perbanyak karya kita. Menjadi inovator, bukan follower. Percayalah, kita anak muda diciptakan bukan untuk menjadi sesekor kambing, yang hanya mengikut trend tidak jelas. Kita adalah manusia yang merdeka. Selamat Hari Sumpah Pemuda.
29-10-18
Pagi, di hari senin ini. Aku merasa tidak bergairah sekali. Semangatku mulai mengecil. Kakiku enggan diajak melangkah. Taganku malas mendekap. Mataku tak mau diajak untuk menatap. Kau tahu? Aku berada pada posisi dimana seseorang sedang dalam-dalamnya sedih. Merasa tak berarti.
Saat itu terjadi, kau merasa hidupmu mati. Tanpa tujuan. Arahmu tak jelas. Tak tahu kemana arah jalan pulang. Seperti saat ini, jemariku tak bisa lagi melanjutkan langkahnya. Sudah. Titik.
***
Malam ini hangat, sehangat kopi susu yang kupesan di kedai kopi dekat tempatku tinggal sekarang. Kutatap lamat-lamat hatiku yang pekat. Penuh kecemasan, kejengahan, over penat. Menjelma satu rasa dalam kopi yang kuseduh penuh perasaan khidmat. Berharap pahit-pahit yang kumiliki tetap terasa nikmat, walau hatiku sedikit berontak untuk berucap bahwa yang kuminum tidaklah benar-benar enak. Hambar. Luar megah, kualitas rendah. Seperti diri ini, yang merasa luar biasa, padahal tidaklah ada apa-apanya. Tundukkan ego ini, Tuhan.
30-10-18
Terkadang kau dan aku begitu bodoh. Memikirkan hal-hal yang tak seharusnya dipikirkan. Mengkabungi hal-hal yang tak selayaknya diratapi dengan air mata. Untuk apa coba? Bikin pusing.
Kita sering bertanya-tanya sendiri perihal perasaan. "Siapakah yang benar-benar kita cintai? Siapa? Kok bisa?", adalah menjadi semacam pertanyaan yang tiada angin tiada hujan melintas di pikiran. Terjajah bermacam-macam pertanyaan.
Sebenarnya, kita tidak perlu bingung memikirkan siapa yang kita cintai. Juga tak perlu repot-repot berpikir apakah yang kita cintai mencintai kita pula? Tak usah.
Kadangkala kita hanya cukup mendengarkan ucap nurani. Dengar baik-baik jawaban darinya. Siapakah yang sering kali membuat kita bahagia, maka tidak menutup kemungkinan ia adalah yang tulus mencintai kita. Tidak selalu begitu, tapi mungkin begitu.
***
Kawan, tak pantaslah kau dan aku sombong
Merasa ajal kita masih lama-panjang
Tidakkah kita sama-sama tahu, bahwa Tuhan kita adalah maha yang paling maha
Bisa saja Dia mengirimkan malaikat maut-Nya saat ini
Sedang amal baik kita tidak terisi penuh
Eh, malah amal buruk yang tinggi menggunung
Lantas, apa yang kau dan aku banggakan di hadapan Yang Kuasa?
Sedang neraka sudah lama menunggu para pendosa seperti kita.

Kawan, alangkah baiknya
Selagi kau dan aku masih muda
Untuk sama-sama membenahi apa yang perlu dibenahi
Ibadah kita
Moral kita
Amal-amal kita
Sudahkah semua yang telah kita perbuat direstui oleh-Nya?
Kita tidak pernah tahu, Kawan
Kapan jadwal pemberangkatan kita ke rumah kubur
Namun, kita masih diberi kesempatan
Untuk bertaubat sungguh-sungguh
Demi menjemput maut dengan raut senyum
Senyum kita
Juga senyum Allah Azaa wajalla
1-11-18
Perihal perasaan yang berkecamuk dalam sanubari. Pikiran kalut membebani diri. Tak mampu lagi memastikan, mana terik siang, mana kerlap kerlip gemintang. Semuanya sama, membuatku jengah. Tiada yang menghibur. Yang ada, ragaku semakin terkubur; terhimpit tanah asamara; terserang cacing rindu; tersekap angin sendu.
***
Senja, dimana kau?!
Bawa aku keluar dari istana membosankan ini
Ajak aku kabur, menikmati ombak pantai berdebur
Menyetubuhi badan mulus gunung-gunung
Menciumi wajah cantik bunga-bunga yang rimbun
Memperkosa kulit halus gurun-gurun
Hingga ragaku tak lagi terkubur
Hingga hati ini kembali mengucap syukur
Alhamdulillah.
***
Pernahkah kau dikatain orang gila? Aku pernah. Mungkin perasaanmu sakit mendengar cemoohan itu. Tapi, Kawan. Sungguh, itu hadiah dan pujian terbaik untukmu.
Tunggu dulu. Bukankah kau dan aku sering dianggap gila saat gemar menyapa dengan wajah tersenyum pada orang-orang?
Terkadang, mereka berpikiran, bahwa senyum yang kita lemparkan adalah sebuah ejekan. Atau dengan pemikiran lain, bahwa senyum kita adalah senyuman orang gila. Apa-an coba?
Kembali lagi ke sebuah senyuman. Bukankah ia termasuk suatu ibadah dalam agama kita? Dengan tersenyum, kita bisa menginvestasikan pahala. Belum lagi manfaat lainnya adalah membuat beban pikiran semakin berkurang. Orang lain yang menatapnya tanpa kebencian merasa tentam. Damai. Energi senyuman, mampu menarik lawan menjadi kawan. Mari gila bersama, Kawan. Itu sungguh menyenangkan.
2-11-18
Aku tidak pernah tahu, kenapa aku mengenalnya sampai sejauh ini. Mengapa ia datang di saat ruang jiwa ini sedang sunyi tak berpenguhuni. Mengapa?
Entahlah, sejak kehadiran senyumnya hinggap di kehidupan semestaku. Ia sering menjadi bayang-bayang. Menghantuiku setiap malam; melukis dinding-dinding kamarku dengan senyuman. Ia kerap membuatku bertanya-tanya, siapakah dia sebenarnya?
Mungkin aku tak memerlukan jawaban tentang siapakah dirinya sebenarnya. Yang terpenting harusnya aku bersyukur, bahwa hidup selalu saja terlengkapi. Ada sedih-bahagia datang menemani. Ada kopi, gula datang siap menjadi pendamping yang saling melengkapi. Jadilah rasa pahit dan manis seimbang yang sangat layak untuk dinikmati.
Terima kasih, Tuhan. Engkau sungguh Maha Menyerpurnakan.
***
Lepas sholat ashar, jutaan rindu hadir berguguran. Air langit. Mendekap sang bumi yang sudah lama menanti pelukan; pelukan tulus air hujan. Mengecup kelopak-kelopak bunga yang mulai kering kerontang. Menyapa para jiwa yang tengah terkekang.
Mataku yang terlelap, seketika terjaga mendengar suara yang sudah lama tak pernah terdengar. Suara rintik hujan yang sudah lama kunanti-nantikan. Suara kamu yang kian hari kian bulan mulai terdengar samar. Ada apa gerangan?
3-11-18
Kenapa kau dan aku diberi sebuah kesulitan, kehimpitan oleh Tuhan?
Sekarang aku paham, Bu, Pak. Ternyata semenderita ini tatkala kita tak punya uang. Sesulit ini untuk mendapatkan bekal penghidupan. Lantas bagaimana dengan rengekan-rengekan kita yang menuntut orang tua harus mengabulkan apa yang kita minta? Sekejam itukah seorang anak?
Namun aku bersyukur, Bu, Pak. Ternyata dari sebuah kesulitan, penderitaan. Kita akan baru mulai merasakan sebuah kelapangan dan kebahagiaan pada waktu yang telah Dia janjikan. Maafkan kami yang terlalu menuntut, Bu, Pak. Semoga sehat-sehat di sana. Lancar segala urusannya.
4-11-18
Pernahkah kau bosan dengan aktivitas yang kau kerjakan? Hanya itu-itu saja yang dilakukan setiap hari? Jika iya, cobalah sesekali menepi sejenak. Menghibur diri, bermain bersama canda tawa anak-anak. Melepas semua hal yang mengikat dalam benak. Memfungsikan sayap-sayap yang tak pernah kau kibaskan.
Benar memang. Segala rutinitas ada baiknya harus diimbangi dengan perehatan. Biar langkah kita kembali lebih terarah. Biar beban pikiran kembali terasa ringan.
Tidak usah terlampau serius. Kadangkala kau dan aku butuh hiburan, agar tubuh kita tak menjadi kurus. Terkekang oleh tanggung jawab-tanggung jawab yang terus menerus.
Ada kalanya kita merayakan hari libur. Istirahat. Ada saat di mana kita tersungkur, untuk kemudian bangkit, melangkah, lalu bersyukur. Sesimpel itu. Memang, hidup tak selalu manis seperti senyummu. Namun ia tetap manis jika dinikmati dengan penuh perasaan tulus. Tetap semangat.
5-11-18
Memasuki hari ke lima dari bulan November ini. Sudah dua kali guyuran hujan memeluk tanah yang kini menjadi tempatku menemukan dan menciptakan jati diri. Melihat jutaan air yang jatuh dari langit beberapa hari ini, membuatku teringat dan rindu akan masa lalu. Bukan soal jatuh hati atau patah hati, melainkan tentang masa-masa kecil yang sangat begitu antusias menyambut air langit yang sedang jatuh. Membuat rumah-rumahan bak istana raja. Tentunya dengan imajinasi sebagaimana lazimnya anak kecil. Untuk kemudian hancur lebur bersamaan dengan air hujan yang semakin deras.
Namun, jujur, itu sangat seru. Kita terkadang menginginkan agar anak-anak kecil sekarang untuk meniru kita yang dewasa. Padahal, kita diam-diam merindukan masa-masa kecil seperti dulu kala. Kita terlalu egois. Merasa dewasa. Tak cocok berteman anak kecil. Terserah apa pendapat kalian. Bagiku, anak kecil selalu menyenangkan. Apa adanya. Yang pasti, tak pernah merasakan patah hati.
***
Untuk apa kau dan aku memaki sepi, bukankah di kala tidur kita begitu mendambakan sepi?
Maka patutlah berterima kasih, jika kau dan aku sekarang sedang sepi dari persoalan hati.
6-11-18
Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Terdengar suara bapak-bapak melantangkan suara tersebut di seberang sana. Membangunkan rasa gemetar pada diri ini. Teringat kesalahan-kesalahan yang belum banyak kuperbaiki. Juga dosa-dosa yang belum sempat kubertobat pada Sang Maha.
Wahai diri ini, sudahkah kau meminta maaf pada orang-orang yang pernah kausakiti. Sudahkah kau meminimalisir hal-hal buruk yang menyakiti dirimu sendiri?
Sudahlah, Kawan. Bukankah jatah usia kita di planet yang kita huni saat ini hanya sebentar? Mari sama-sama saling mengingatkan. Melangkah bersama-sama menuju ke arah yang lebih baik. Tidak ada kata terlambat untuk sebuah perubahan. Mulai sekarang.
7-11-18
Pohon tanpa akar, tiadalah akan bisa berdiri tegak. Pun manusia yang tak memfungsikan otaknya, ia hanya hidup layaknya binatang; berbuat semaunya tanpa menghargai sekitar. Memperturut nafsunya, tidak peduli apakah itu menyakiti orang lain atau tidak.
Manusia seperti itu memang ada. Hidup. Tapi hakikatnya ia mati. Hidupnya tiada berarti, tak bermanfaat untuk yang lain. Malah lebih banyak membuat susah orang-orang. Menjadi parasit. Bahkan amit-amit, banyak yang mendoakannya supaya cepat mati.
Nah, pertanyaannya, apakah kita mau hidup seperti itu? Hidup cuma makan, tidur, eek, kemudian mati banyak pihak yang bersorak riang. Senang. Tidak ada lagi yang mengganggu mereka. Atau jangan-jangan kita memang sudah seperti itu?
Sungguh, Rabbi. Hamba takut jika hidup yang kulakukan seperti itu. Hanya susahkan orang-orang, tak pernah membuat nyaman orang lain. Cuek. Tak peduli. Berdiam diri tidak mau turun tangan padahal punya kekuasaan.
Aku tak mau, jika kakiku terus mengakar tanpa mau melangkah ke depan; ke arah yang lebih baik dan benar.
8-11-18
Akhir-akhir ini rasa malasku kian meninggi. Semangat mulai menipis. Belum lagi perihal perasaan yang tak kunjung berujung manis. Bahkan seringkali membuat hati kecilku menangis. Lirih.
Kalau situasinya sudah seperti ini, kau dan aku akan menyalahkan siapa? Hah?! Sayangnya kita kerap kali menyalahkan keadaan, menyalahkan orang lain, juga yang bersangkutan. Lantas, dengan menyalahkan di luar dirinya, apakah akan mengubah keadaan?
Sayangnya justru dengan itu akan membuat masalah semakin menganga, tak kunjung selesai. Hanya usaha memaki tanpa ada berjuang membenahi.
Ayolah, Kawan. Kau sudah menganggap dirimu dewasa, bukan? Coba pikir ulang-ulang. Lamat-lamat berhenti menyalahkan orang lain. Bukankah segala masalah akarnya adalah tumbuh dari kesalahan kita sendiri? Kita terlalu egois, tak mengakui kesalahan. Pecundang. Penakut. Orang yang berani tidak akan menyalahkan orang lain. Berani meminta maaf. Berani memperbaiki masalah, mencari jalan keluar. Bukan sibuk mengeluh, apalagi menyalahkan.
8-11-18
Suasana hujan menikmati teh hangat di kala langit memerah, menjemput gelap malam, ternyata sangat mengasyikkan. Suasana yang agak dingin, merokok adalah hal yang paling kuingin.
Tepat di hadapanku, pemandangan jalan raya; tempat lalu lalang kendaraan yang tak kunjung usai. Membuatku sadar, bahwa kita sebagai manusia juga tak pernah selesai perihal dilewati masalah.
Ya, memang begitulah kehidupan. Selalu saja manusia ditimpa masalah. Hanya saja kita sebagai manusia berbeda-beda dalam menyikapi. Ada yang mencoba lari darinya, namun sangatlah percuma. Semakin kau dan aku lari, justru ia semakin menghantuimu setiap hari. Pelarian tersebut sangat pantas jika disebut pecundang.
Tapi ada yang juga berani menerjangnya. Mereka adalah para pemberani. Pemenang. Bukan karena tak punya rasa takut. Melainkan keberaniannya lebih besar dari pada ketakutannya sendiri.
9-11-18
Tatkala pagiku tumbang di atas ranjang, saat itulah aku merasa kehilanagan. Kehilangan udara segar awal hari, kehilangan hangat mentari, juga kehilangan senyumnya yang membuatku semangat akhir-akhir bulan ini.
Ah, manusia memang begitu, kebanyakan lebih suka berzona nyaman. Takut dengan tantangan-tantangan. Tapi beberapa manusia tidak seperti itu. Suka menantang hal-hal baru. Dan harusnya aku pun begitu; tak harus merengek hanya karena terjatuh saat melangkah maju.
Inilah hidupku, selalu saja menggerutu terhadap hal-hal yang (menurutku) membebani kehidupanku; mulai dari aktivitas-aktivitas yang membuat pikiran penat, juga tanggung jawab yang terasa berat.
Aku salah. Padahal, di luar sana banyak orang-orang nganggur yang memimpikan sebuah pekerjaan. Kesibukan. Dan harusnya aku mulai bersyukur, jika aku mempunyai kesibukan-kesibukan.
10-11-18
Aku lupa, kalau sekarang sudah menjejaki tanggal sepuluh November; hari di mana seorang ulama tanah air Kyai Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa tentang wajibnya jihad fi sabilillah (perang melawan penjajah). Atau yang lebih dikenal dengan istilah 'Resolusi Jihad'. Juga peristiwa genting di ibu kota jawa timur; sebuah pertempuran dan gerakan yang dikomandoi seorang yang dikenal 'Bung Tomo'.
Kalimat "Allahu Akbar" menjadi sebuah obat penyemangat bagi mereka yang ikut andil dalam peperangan kala itu.
Di hari ini. Sabtu sepuluh November 2018. Kita sebagai pribumi Indonesia mengenang hari pahlawan tersebut. Berbagai event perayaan diadakan di negeri tercinta kita ini. Hingga terdengarlah sebuah kabar di Surabaya. Tewas tiga orang. Jatuh dari jembatan rel KA yang sesak penuh.
Surabaya yang harusnya berwajah bahagia. Kini berubah mendung kesedihan di wajahnya. Terkadang, terlalu bahagia menimbulkan sedih yang tak terkira. Semoga tabah bagi keluarga korban. Doa kami selalu memeluk warga Indonesia.
10-11-18
Mengapa kau kecewa? Karena kau terlalu berharap. Untuk apa kau menggantungkan harapmu kepada dia yang menggantungkan perasaanmu? Kau (maaf) bodoh, Bung. Kau sangat memedulikan orang yang bahkan sama sekali tak pernah memerhatikanmu. Sedang engkau begitu cuek-bebek terhadap orang yang begitu menyayangimu. Ibumu.
Coba pakai akal sehat. Buka pikiranmu baik-baik. Siapakah yang telah memperjuangkanmu untuk ada di muka bumi. Saat kau telanjang, ia yang memberimu pakaian. Yang mencebokimu saat kau buang kotor sembarangan. Ia rela melakukan apa pun asal buah hatinya bahagia dan senang.
Hingga kini kau yang tumbuh dewasa. Masih saja Ibumu tak pernah absen memelukmu dengan segenap kasih dan doa. Saat kau jauh darinya. Tetap saja ia menanyakan perihal keadaanmu. Namun bagaiman denganmu? Kau bahkan tak pernah mendoakannya.
11-11-18
Terkadang kita begitu kesal dengan sikap jahat seseorang. Seolah ia secuil pun tidak memiliki sisi kebaikan. Kita merasa, kebaikan yang telah kita berikan padanya seakan sia-sia. Tidak ada guna.
Kau dan aku salah, Kawan. Kebaikan yang telah kita lakukan semuanya pasti akan berbalas imbang meski bukan di waktu yang sekarang. Selalu ingat. Orang yang paling super jahat pun masih memiliki sisi yang baik. Minimal kita tidak meneladani kejahan mereka.
***
Bukan karena laki-laki kau diharamkan menangis. Tak apa kau dikatain feminim. Dimaki melankolis. Menangis itu wajar, manusiawi. Menangislah tanpa perlu berdrama. Biarkan air matamu mengalir deras tanpa perlu ditahan. Nikmati setiap bulir air yang berjatuhan. Rasa sedih diciptakan di bumi bukan untuk dilawan. Pedih ada untuk dirasakan. Kita adalah manusia, bukan binatang. Kita makhluk berperasaan. Menangislah. Setelah itu bangkit lebih gagah dibanding sebelumnya.
***
Pernahkah langkahmu tiba-tiba terhenti. Kakimu yang mengejar cita dan cinta tiba-tiba tak bisa kau langkahkan? Jika pernah, aku yakin. Yang membuat langkahmu terhenti adalah karena hatimu sedang patah. Entah sebab diputus sang kekasih atau sebab perjuanganmu yang tak dihargai.
Santai, Kawan. Tarik nafas dalam-dalam. Tenang. Setelah itu mulailah bangkit dan melangkah kembali. Ambil sisa tawa bahagiamu di masa lalu. Karena kau berhak bahagia dari orang-orang yang pernah membuatmu tersungkur jatuh.
***
Jika saja sebuah perasaan bisa kusetir. Akan kupilih jalan yang tak sulit. Jalan yang mudah kulalui tanpa ada batu-batu kerikil yang mengganggu. Tanpa ada penanjakan yang membuat keberanianku runtuh.
Jika perasaan mampu kubelokkan ke arah yang lain. Aku tak akan sebodoh ini. Memikirkan dia yang belum tentu balas memikirkanku.
Toh lebih baik aku mengejar mimpiku tanpa perlu memedulikannya yang tak pernah peduli padaku. Sayangnya tidak. Perasaan tidak pernah disetir.
***
Sebuah mimpi sangatlah indah saat kita belum bangun dari tidur. Sebuah impian sangatlah memesona tatkala masih bergelayutan di antara para bintang gemintang. Namun, semuanya akan terasa biasa saja kalau telah menjadi nyata.
Saat yang kita mimpikan menjadi kenyataan. Terkadang kita tak bisa mengendalikan diri. Jadilah kita pribadi yang tinggi hati. Tak mau menghargai siapa yang telah membuatnya kini berdiri.
Ya Malik. Sadarkanlah diri kami. Tundukkan ego kami. Rendahkan hati kami. Serendah-rendahnya.
12-11-18
Di antara bangunan yang mengekang raga dan pikiran. Kau akan merasakan hidup kekurangan udara segar. Tidak. Bukan karena tidak ada udara. Tapi kau hanya kurang merasakan bebasnya menatap hijaunya pemandangan yang menyegarkan mata dan pikiran. Merasakan keindahan alam asri yang menakjubkan. Menikmati udara yang belum tercemar karena berbagai kepentingan. Lantas kau akan ditemani senja yang memesona. Setelah itu kau teringat seseorang yang pernah membuatmu terpanah, lalu meninggalkanmu begitu saja. Tanpa alasan.
***
Siapalah diri ini. Hanyalah manusia biasa. Bukan siapa-siapa. Bukan putra raja atau buah hati seorang penguasa.
Aku hanyalah anak rakyat biasa. Makan nasi layaknya manusia yang lain. Tapi setidaknya aku adalah manusia yang berprinsip. Tidak mudah kau pecundangi.
Kau tidak suka? Ah, justru aku malah senang. Malah aku khawatir jika semua orang jatuh hati padaku. Jangan-jangan diriku penuh topeng. Tampil sok baik. Sok keren. Sok bijak. Padahal diri ini penuh dosa. Kepalsuan.
Aku bangga dengan diriku apa adanya.
***
Pikiranku selalu saja dihantui hal-hal yang negatif. Perasaan cemas selalu menghantui. Aku merasa kurang berhasil untuk menaklukkan pesimis dalam diri. Aku merasa bersalah atas segala hal yang kurang kupenuhi.
Memang benar, jika kita melakukan sesuatu tanpa didasari dengan rasa cinta. Sungguh, itu hanya membuat yang kita lakukan seolah tak bermakna. Padahal hati ini berusaha mencintainya. Namun tetap saja, jiwaku merasa kosong. Hampa.
Mungkin niatku salah. Bukan karena-Nya, melainkan karena senyum menawannnya. Maafkan hati ini, Quddus.
13-11-18
Malam ini memang diselimuti dingin. Mahadingin. Jaket supertebal pun tak mampu membuat raga ini hangat. Tetap saja terasa menggigil. Saking dinginnya. Tapi tidak dengan perasaan ini. Benar-benar panas mendidih.
Entahlah, apa yang telah menjadi penyebabnya. Apakah sosoknya yang selalu saja menghantuiku? Atau aku yang terlampau mengguratkan wajahnya di dinding awang-awang?
Entah….
14-11-18
Selalu saja pasti ada satu dalam hidupmu, di mana kau resah begitu sangat. Galau bertingkat-tingkat. Seolah-olah kaulah orang yang paling menderita di antara tujuh milyar manusia di jagat raya.
Kita sama. Saat itu kau menjadi tergugu sangat parah. Kau mengumpat keadaan. Bahkan Tuhanmu sendiri kau salahkan. Berujar tidak adil.
Tuhan tidak pernah salah. Kau saja yang kurang paham perihal kehidupan. Bukankah indahnya matahari muncul di pagi hari bersama embun-embun yang mengambang terjadi setelah melewati malam gelap yang kelam?
Menangismu wajar. Kau salahkan Tuhan, itu kurang ajar. Bersedihlah. Berbahagialah.
15-11-18
Pernahkah kau marah dengan hal yang tak kau suka? Dengan sesuatu yang tidak sesuai dengan hati kecilmu? Aku pernah. Kau tahu, Kawan. Yang kulakukan itu bukanlah karena aku adalah orang yang sok benar, sok berani, atau sok-sok apalah. Bukan. Melainkan hati siapa yang tidak berteriak lantang saat ketidaksesuain terjadi di sekitar kita. Tentang melanggar norma-norma. Undang-undang etika. Kurang ajar. Maka hati siapa pun pasti akan berteriak bahwa itu tidak benar.
***
Memaafkan apa pun, siapa pun. Tidak selalu pasti menandakan bahwa kau dan aku yang bersalah. Terkadang, lebih baik kita memaafkan dari pada membuat hati kita kotor. Penuh noda dendam.
Dan aku belajar mencoba memaafkan segala hal, tidak lain agar batinku menjadi tenang. Tidak terkekang dengan rasa sakit yang sering kali membuatku lemah. Aku juga harus belajar berani. Bukan keberanian yang sering kali diindentikkan dengan otot kekar. Namun berani untuk memulai minta maaf.
15-11-18
Kau tahu, Hawa
Rasa ini begitu gemetar kala mengingatmu
Menyebut namamu saja, jiwa ini langsung luluh.
Hawa, kau tahu
Dulu aku tidak pernah tertarik dengan sampulmu
Entahlah, ternyata kini jiwaku dimabuk gila oleh simpul senyummu
Walau senyum itu bukan tatapan langsung saat tak sengaja kau dan aku bertemu
Ya, kita sama tahulah
Kau hanya menjaga sampulmu denga tingkahmu itu.
Dan di saat kau dan aku kini tak lagi bersua
Ada satu rasa di dada, yang merasa hampa tanpa ocehanmu.
Tapi, Hawa
Satu hal yang harus kau pahami
Bahwa diriku adalah seorang nelayan tangguh
Yang tetap mengarungi samudera, meski badai begitu hebat menggodaku takut.
19-11-18
Aku menghargai keputusanmu, walau kenyataan itu pahit yang kurasa. Kau tak salah dengan sikapmu. Aku saja yang terlalu lemah menerima kenyataan yang ada.
Aku bangga. Kau berubah lebih baik begitu banyak. Kian waktu kian membaik, meski aku-ku merasakan pahit.
Kau benar, kita sering kali berada di jalan yang tak benar. Dan sekarang kau sadar, hingga kau dan aku kini menjadi orang yang harus sama-sama tegar.
20-11-18
Semua orang pasti pernah merasakan capek. Capek atas rutinitas-rutinitas yang setiap hari menelimuti raga dan pikiran. Setelah itu stres melihat realitas-realitas yang selalu melintas tak pernah membuatnya puas.
Keadaan seperti inilah yang saat ini sedang kurasakan. Untuk itu aku ingin melepas semua kepenatan, biar beban di pikiran tak begitu berat. Syukur-syukur ringan tak berbekas.
Jadilah raga ini keluar dari bangunan perkotaan bersama seorang kawan. Menuju suasana asri pedesaan yang jauh dari ingar bingar knalpot kendaraan. Yang merdeka dari polusi yang menyesakkan.
Sampai di tujuan. Kunikmati betul udara-udara sejuk yang sudah lama sekali tak kuhiraukan. Kuresapi betul keindahan mahakarya Tuhan; hijau-hijau dedaunan yang berjejer mengagumkan; biru-biru pegunungan terpampang jelas menakjubkan. Indah. Membuat pikiran yang keruh kembali jernih dan cemerlang. Ya, memang benar. Ada kalanya kita beristirahat sejenak, agar langkah kita kembali lagi lebih menegak.
21-11-18
Pada saatnya, kau dan aku benar-benar merasa kehilangan, di kala orang yang kautunggu-tunggu kehadirannya ternyata berkomitmen untuk pergi meniggalkan. Padahal yang boleh jadi keinginan meninggalkan hanyalah untuk sebuah mengabadikan cinta yang lebih serius, di waktu yang tepat pada masa mendatang.
Bukan. Bukan salah dia. Mungkin saja yang kaucinta tidak mau lebih menumpuk dosa. Lantas dia ijin pamit tinggalkanmu. Jika kau sungguh cinta, barang kali dia mengharap kau menjemputnya dengan cara yang halal. Sah menurut agama-negara.
Aku tahu, mungkin saja saat kau ditinggalkan, inti jantungmu menjadi hancur. Hidupmu serasa hampa, luka tak berdarah. Namun sakitnya lebih parah, perih mengiris jiwa.
Lalu tanpa terasa, tiba-tiba pipimu membasah. Terbanjiri oleh air mata yang membuncah. Bergegaslah yang tidak membersamaimu lagi saat ini berusaha membuatmu tenang, "eh, cowok gak boleh nangis tau", ucapnya. Kau pun tak mau kalah. Membantah. "Aku kan manusia. Punya perasaan. Wajarlah kalau nangis."
"Tapi tidak untuk berlarut-larut, kan?" Jawaban kekasihmu yang membuatmu diam seribu bahasa. Mematung.
Pada akhinya. Kau tidak pernah dituntut untuk memiliki dengan penuh harap. Cukup nikmati setiap lara dan suka dengan perasaan lapang, dengan kadar sewajarnya. Sebab yang berlebih, selalu mengundang yang selalu tidak kauingini.
***
Adalah pagi, waktu istimewa yang diciptakan-Nya untuk membuat kau dan aku segar menjalani hari. Ia hadir membawa udara sejuk nan gigil.
Pada pagi, ada harapan baru yang masih bisa kautemui. Ada janji lama yang bisa kauperbarui. Masalahmu? Semua mampu kaubenahi lagi bersamaan dengan senyum merekah hangat matahari yang memelukmu dengan hati.
Mari menikmati karunia pagi. Menghirup udara segar, menggerakkan badan, biar badan dan pikiran menjadi sehat dan cemerlang. Mulai membiasakan diri untuk tidak memanjakan rayuan mata untuk terpejam nyaman. Bangkit dengan semangat basmalah, kerja keras mengharapT ridho-Nya. Kini tak ada lagi tampang gundah pada diri kau dan aku yang mulai belajar menerima.
22-11-18
Kau harus tenang, Kawan
Jangan biarkan emosi buruk menguasai pikiranmu
Kontrol dengan bijak
Biar tidak membuat pikiranmu sesak merusak
Hadapi tembok-tembok menjulang yang menghadang
Dengan segenap keyakinan, doa, juang, dan perasaan lapang
Tak usah hiraukan lolongan anjing yang menjengkelkan
Untuk apa?
Anggap saja ia obat pembangkit semangatmu yang mulai menurun lemah
Agar langkahmu semakin kokoh dan tak mudah rapuh oleh segala hal semenyakitkan apa pun.
***
Melupakan dia yang pernah tinggal, tak semudah menyunggingkan senyuman. Semakin berusaha dilupakan, justru semakin pula tambah teringatkan. Bisa jadi berlipat-lipat ganda kau stres tak kunjung padam.
Tapi, Kawan. Bukan berarti kau tak bisa melupakan. Ada yang lebih manjur dari sekadar melupakan. Yaitu mengikhlaskan. Tulus melepaskan. Menerima kenyataan dengan segenap jiwa yang lapang. Dengan begitu, semoga jiwamu kembali damai dan tentram.
23-11-18
Tengoklah langit sore ini
Senyumnya mengambang cerah hiasi muka bumi
Tidak dengan mukamu, tegang mengkusut
Sedikit pun tak kau tampilkan senyum menawanmu
Ada apa denganmu, Kawan?
Tak usah murung mendung begitu
Kemarilah, ikut aku
Ke kedai kopi langgananku
Keluarkan semua keluh kesah yang mengganjal di dadamu
Tenang saja
Aku siap menampungnya dengan kuping terikhlasku
Berharap, beban di pikiranmu tak begitu pekat oleh pilu
Lantas tertawalah, bahwa kau dan aku masih bisa merasakan manis dalam pahit yang mengilu.
***
Sebuah pedang yang kau takuti ketajamannya, yang mampu membuatmu terluka parah, berdarah merah. Itu tak sebanding dengan ketajaman lisan yang kau gunakan untuk mencerca. Yang boleh jadi hanya dengan seucap kata yang muncul darinya, binasa hancurlah jiwa gagah seorang manusia.
Memang benar, luka darinya tak kuasa mengalirkan banjir darah secara kasat mata. Namun lukanya lebih sakit dibanding dengan luka fisik. Hati sakit, karena kata-kata tak sopan, bisa membuat orang yang tak berpikir jernih nekat untuk membunuh sesamanya.
Maka, ada baiknya kau dan aku berpikir dulu sebelum berbicara. Ditimbang-timbang, apakah yang akan diutarakan itu sampai menyakiti hati yang lain atau tidak? Apakah yang akan diucapkan itu perlu, ada manfaat? Jika tidak, putuskan diam. Lebih baik, lebih aman.
24-11-18
Kau tak akan pernah mampu membuat semua orang jatuh hati padamu. Tidak akan mampu. Sebab orang paling superbaik pun, semisal Nabi Muhammad Saw., masih saja ada orang-orang yang membencinya. Tapi apa balasan beliau pada mereka? Malah Nabi tetap berbuat baik kepada para pembencinya. Didoakan.
Lantas, kita ini siapa? Orang baik? Belum tentu. Maka dengan ketidakbaikan kita, semoga selalu ada keinginan di hati terdalam kita untuk terus ingin memperbaiki diri, meski secuil. Berbuat baik untuk diri sendiri, untuk orang lain, untuk semunya. Tidak lain karena mengharap ridho-Nya.
Semoga kita bukan termasuk dari golongan para pembenci, yang sibuk komentar tapi kosong tindakan kongkrit. Lebih baik diam berkembang daripada koar-koar tapi tak melangkah.
***
Ada saat di mana hari-harimu begitu suram, cahaya sekitar tak sanggup lagi membuatmu tertawa riang. Hidupmu seakan paling hancur, paling sakit, paling menderita, dan paling-paling sejenisnya. Padahal, belum tentu di luar sana ada yang lebih seberuntung kamu. Lihatlah, kau dan aku masih bisa makan tanpa perlu susah mencarinya, punya tempat tinggal. Hidup dikelilingi keluarga yang saling menyayangi, kawan-kawan yang menyenangkan. Sedang di luar sana masih ada yang belum makan, tidak ada yang dimakan. Uang tak punya. Tempat tinggal beratapkan langit.
Namun, mereka masih bisa tersenyum tulus pada keadaan. Bersyukur penuh pada Tuhan. Tidak banyak mengeluh. Tetap bekerja keras. Astaghfirullah, betapa diri ini tidak mensyukuri nikmat-nikmat-Mu, Rabbi. Ampunilah kesombongan kami.
25-11-18
Kata orang-orang bijak, hidup itu sedehana, orang-orang saja yang telah membuatnya susah. Aku setuju. Tapi apakah masalah hidup sesederhana kita bisa tersenyum tanpa berdrama? Tersenyum asli tanpa hati terluka? Itu yang membuatku sering bertanya-tanya. Di saat kita mencoba menerima semua masalah yang ada dengan penuh perasaan lapang, namun ada saja luka di kalbu yang menganga. Sakit. Tak bisa kulukiskan lewat kata-kata.
Memeluk rasa sakit dengan penuh penerimaaan adalah hal yang paling ampuh untuk mendamaikan jiwa. Kata mereka. Tapi bagiku, itu sangat sulit. Butuh motivasi yang kuat dari dalam diri sendiri. Butuh mental yang kuat. Butuh hati yang kokoh. Namun, sekali itu bisa dilewati, maka hal yang paling menyakitkan pun mampu kau hadapi dengan senyuman yang gagah.
Hidup itu sedehana, kita saja yang telah membuatnya susah. Kata mereka.
27-11-18
Mengapa kau saat ini bahagia? Padahal kau sudah tidak lagi bermanja-manja dengannya di sosial media? Aku tidak tahu. Mungkin saja, kau mampu melepasnya dengan perasaan lapang. Meski tak terasa, kau sedikit meneteskan air mata.
Hebat. Kau sudah mampu mendamaikan hatimu sendiri, walau harus dibayar dengan harga yang mahal; ditinggal orang yang telah membuat setiap harimu ceria.
30-11-18
Seiring berjalannya waktu, dunia semakin maju. Teknologi makin canggih. Jarak jauh bukan lagi halangan untuk saling bertukar kabar. Cukup dengan telepon genggam, semua kata rindu mampu tertumpahkan. Jarak yang dulu harus ditempuh selama berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Kin hanya bisa ditempuh dengan waktu beberapa jam.
Lihatlah, betapa hebatnya jaman sekarang ini. Hal-hal yan dulu hanya bisa bayangkan dengan ketidakmungkinan, kini jadi kenyataan.
Terlepas itu semua, ada beberapa hal yang patut disayangkan. Tentang sosialisai. Ya, rasa kebersamaan kita sekarang hanya sebatas formalitas, bukan solidaritas. Jika dulu ada teman yang sakit, yang memungkinkan untuk bisa dijenguk, maka dijenguklah oleh teman-teman yang lain. Kalau sekarang, cukulah kata 'GWS' yang menjadi kata sok perhatian.
Tidak semua begitu, tapi begitulah. Entahlah, semoga kau dan aku masih berkawan hangat meski kau tahu banyak kekuranganku.
1-12-18
Selamat datang bulan baru. Hari baru. Bulan akhir dari deretan beberapa bulan. Selamat tinggal masa-masa pahit. Aku tidak pernah menyesal telah mengalaminya, sebab ia termasuk dari bagian perjalanan hidupku. Termasuk keputusan yang aku buat sendiri.
Di awal hari ini, pada tanggal yang awal. Setidaknya masih ada harapan-harapan baru yang masih mampu kugenggam. Masih ada cita dan cinta yang masih segar untuk kukejar. Tidak. Aku belum telat.
2-12-18
Dalam kehidupan, manusia rata-rata pada umumnya paling suka diperhatikan. Termasuk aku dan kamu. Apalagi yang memperhatikan adalah orang yang kita prioritaskan. Bertambah merasalah kita menjadi manusia yang paling terkeren sejagat raya.
Terkadang kita lupa, kita lebih suka diperhatikan. Sementara kau dan aku tidak pernah sama sekali benar-benar memperhatikan yang ada di sekitar. Betapa egoisnya kita saat berada di titik puncak, yang boleh jadi kau dan aku akan jatuh tersungkur ke daratan yang paling dasar.
***
Di dunia ini, dulu, atau mungkin hanya era akhir-akhir ini saja. Seringkali kita sebagai manusia yang berakal lebih suka menggurui daripada sama-sama belajar. Kita merasa lebih pintar dibanding orang-orang yang ada di sekitar. Sampai kita begitu enggan untuk mau mendengarkan penjelasan orang.
Saat kita tidak mau lagi belajar, merasa sudah cukup wawasannya. Maka saat itulah kita menjadi kolot dan tua. Pikiran sempit tak berkembang. Jadilah kita seorang yang gampang menyalahkan tanpa mau dulu mendengar penjelasan dari pihak yang bersangkutan.
Kita lebih hobi menghakimi tanpa lagi memikirkan solusi. Kita begitu seenaknya mengklaim pendapat kita yang paling benar, yang parahnya tanpa menghargai pendapat pihak lain yang beraneka ragam. Dan bisa jadi, pendapat merekalah yang tepat dan benar.
Ego manusia memang seperti itu. Selalu ingin menang sendiri tanpa mau merendahkan hati. Ingin di puncak tertinggi sendiri, tanpa mau menolong yang di bawah untuk dibawa ke atas. Alangkah indahnya dunia, jika kita saling menggenggam tangan untuk melangkah bersama ke tujuan yang benar.
***
Sepahit-pahitnya hidup yang sedang kau seduh, terus tetaplah menaburi gula pada cangkir-cangkir mereka yang bahkan kerapkali menginginkan kau jatuh.
Orang lain tidak wajib berbuat baik kepadamu, justru kau yang lebih diwajibkan berbuat baik pada orang lain. Bahkan terhadap orang yang sudah terlampau sering membuatmu lara parah.
Jangan bersedih, Kawan. Semua pasti ada balasannya masing-masing. Allah tidak pernah lupa, apalagi ingkar janji. Sebab yang baik akan berbalas imbang dengan kebaikan yang lebih hakiki. Dengan cara Dia yang menakjubkan.
3-12-18
Pagi ini, sejak fajar tadi masih diwarnai rintik-rintik hujan yang terus merengkuh bumi. Air yang turun dari langit biru yang terkembang di atas sana, tidak begitu lebat. Hujan tipis-tipis, gerimis. Tidak dengan jiwaku, hujan badai terjadi di sana. Angin topan bercampur aduk menjadi satu dalam kesakitan. Mencekik inti jantung yang paling dalam, menikamnya lamat-lamat namun menyakitkan.
Ah, untuk apa diambil hati. Bukankah itu hanya membuat beban perasaanku semakin berat tak teratasi? Semakin dipikir terlalu overdosis, membuat tak sanggup lagi untuk melangkahkan kaki. Berdamailah, hati.
***
Jika masa lalumu tidak pantas untuk didongengkan, setidaknya kau dan aku harus mampu menciptakan sejarah baik nan hebat yang layak diceritakan orang-oang di masa depan. Bukan niat agar hanya ingin dikenang semata, melainkan juga dijadikan motivasi agar selalu berusaha menjadi lebih baik setiap hari.
Kita diberi hidup hanya sekali. Maka merugilah jika kita mengambil kesempatan hidup ini tanpa mengisinya dengan hal-hal yang baik. Amat sia-sia kalau tidak sampai mempunyai mimpi. Berbagi satu sama lain, bermanfaat untuk orang sekitar, syukur-syukur kalau kita punya sebuah karya yang bisa menginspirasi banyak orang. Mendunia.
Selamat terus berkarya, Kawan-kawan. Juang kita, tidak akan pernah berujung sia-sia.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 04, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jejak PerasaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang