EMPAT

724 331 1.2K
                                    

"Halo? Bagaimana? Sudah kau urus?"

"Sudah, Tuan. Saya sudah memesan tiket penerbangan untuk besok jam satu siang. Barang-barang Anda juga sudah saya kemas. Apa ada lagi yang Anda perlukan?"

"Tidak, tidak ada lagi. Kau sudah bekerja keras."

"Ah, baiklah. Terima kasih, Tuan. Kalau begitu saya tutup tele-"

"Tunggu! Tahan sebentar!" sergah pria itu teringat sesuatu. "Bisa sekalian kau ... kemas semua barang di ruangan itu? Maaf, merepotkan. Tapi barang-barang itu sangat penting bagiku."

"Oh, baiklah. Akan kukemasi sekalian, Tuan. Apa ada lagi?"

"Tidak, itu saja. Tolong kemasi dengan baik. Jika sudah selesai jemput aku di kafe biasa."

"Baik, Tuan. Saya tutup dulu."

"Baiklah."

Tit!

Angkasa membanting ponselnya, cukup kuat hingga menarik atensi para pengunjung kafe. Tak terkecuali wanita bersurai lurus sebahu yang tengah menyesap secangkir kopi hitam polos. Ia sempat tersentak, namun segera menetralisir ekspresinya mengingat tujuannya datang kemari.

"Sepertinya bukan hal mudah menyuruhnya membereskan barang-barangmu," ujarnya basa-basi.

Pria itu menghela napas, membenarkan ucapan wanita di depannya. "Iya. Benda itu memang sangat penting. Bisa jadi masalah kalau aku sempat melupakannya."

Berpikir sejenak, wanita pemilik nama Margaretha Maria itu mengulas senyum tipis. "Baiklah, aku tidak suka basa-basi. Langsung saja pada intinya."

Angkasa segera duduk tegak. "Apa yang ingin anda sampaikan hingga harus menemuiku di sini?"

"Aku ingin membeli lukisanmu," pungkasnya tegas tanpa beban.

"Maaf, tapi lukisanku bukan untuk dijual," sahut Angkasa tak kalah tegas.

"Kau yakin? Ini akan menguntungkan bagimu. Akan ada pameran lukisan di galeriku tak lama lagi. Dan aku ingin kau turut ambil bagian di dalamnya. Bila dilihat dari koleksi lukisan pribadimu di media sosial, kau memang pantas berdiri bersama para seniman kelas atas lainnya. Tentu, aku yakin pameran ini akan sukses dan menguntungkan kedua belah pihak. Bagaimana menurutmu?"

"Maaf, tapi jawabanku tetap tidak. Aku melukis bukan untuk uang. Aku melukis karena hobi, karena aku bisa melupakan sejenak realita yang keji. Aku harap kau mengerti itu."

Kedua alis Margaretha naik. Tak menduga akan sesulit ini membujuk seorang pria yang terpaut 3 tahun lebih muda darinya. "Baiklah, aku mengerti. Bagaimana bila membuat replikanya? Ini tidak akan merugikanmu, bukan? Lukisan aslinya tetap ada padamu. Hanya saja harga replikanya tentu lebih murah ketimbang lukisan aslinya."

"Jawabanku masih sama. Membuat replika sebuah karya tanpa seizin pelukisnya sama saja dengan melanggar hak cipta."

"Jadi maksudmu kau tidak setuju?"

"Sekarang kau mengerti maksudku."

Kali ini Margaretha tertawa lepas. Untuk pertama kalinya sebagai Presdir Galeri Seni Waldeinsamkeit, ia ditolak secara terang-terangan. "Aku tak menyangka ternyata bisa sesulit ini membujuk pria muda sepertimu. Boleh aku tahu apa yang menjadi alasanmu untuk berkarya di atas kanvas?"

"Hanya hobi. Itu saja. Bukan demi uang, bukan demi ketenaran. Aku hanya ingin menyalurkan sekaligus mengasah bakatku. Salahkah itu?"

"Tidak. Aku hanya merasa kau seperti menyembunyikan sesuatu."

8 LETTERS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang