BAB 1

976 128 31
                                    

Laily Rinjani

Subang, 2014

Akan kumulai kisah ini dari kepingan yang paling sederhana.

Siang itu. Tepatnya lima tahun yang lalu. Aku lupa hari apa. Mungkin senin atau selasa. Yang teringat cuma aku memakai baju putih-abu dan itu adalah hari terapes selama sekolah. Persisnya itu setengah jam sebelum bel pulang.

Aku inget banget, biasanya menit-menit terakhir menjelang pulang wajah seisi kelas tampak gelisah. Pada pengin cepat-cepat balik pastinya. Gelagat aneh mulai ditunjukin secara terang-terangan ke guru yang lagi ngajar. Tapi berbeda dengan hari itu. Kelasku tampak ramai. Mereka sudah memasukkan semua barangnya ke dalam tas. Jaga-jaga bentar lagi pulang. Biar pas teng bel berbunyi bisa langsung cus ke parkiran. Tapi gilanya, 15 menit sebelum bel pulang bunyi, semua udah pada ngacir keluar kelas tanpa nungguin bel bunyi. Mereka rela menunggu di depan gerbang buat nyuri start pulang. Persis kayak rombongan yang mau demo. Suara bunyi knalpot dan klakson memenuhi area depan sampai bising. Untungnya nggak ada guru yang menegur. Katanya lagi pada rapat. Misal ditegur pun percuma.

Pokoknya hari itu gabut banget. Guru nggak masuk. Dan cuma dikasih tugas individu bikin makalah yang dadakan. Tugas yang paling ditakuti semua cowok, yang biasanya mereka cuma numpang nama doang dan nggak ikut ngerjain. Males cuy! Apalagi batas akhir pengumpulan cuma sampai besok, pagi-pagi, pukul tujuh!

Gila! Mana kertas folionya nggak ada, pulpen ilang kudu pinjem ke temen. Dan aku jadi pengin lanjutin molor karena gurunya nggak masuk. Masya Allah! Tidur di kelas itu salah satu nikmat yang susah didustakan.

Dan bener dong. Di kelas aku lepas sepatu. Lalu melipat kaki di atas kursi, Terus aku rapatkan meja dengan kursi biar enak duduknya. Terakhir aku manfaatin tas buat bantal. Setel musik pakai earphone. Dan nyenyak.

A few minutes later

Aku terbangun karena ada orang rese yang menggebrak meja. Suaranya melebihi musik yang lagi aku putar.

Aku langsung menengok ke arah samping. Ternyata dia pelakunya! Nggak bisa dibiarin! Dia Yara. Yara Putri Nur Utami. Teman sebangkuku.

Aku langsung pukul pahanya. Biarin! Biar dia tahu rasa! Jangan ganggu peri cantik yang sedang terlelap. Itu akan membuatmu melihat peri jahat dalam sekejap. Dan benar saja, dengan mukaku yang tidak ada estetikanya aku kesal. Kerudungku nyengsol sebelah. Rambut keluar menjadi jipon. Dan meja yang berubah haluan ke samping. Persis seperti Peri Jahat yang meluluh lantahkan keadaan.

"Apa sih, Yar! Ganggu!" Kataku seraya merapikan penampilan setelah melihat jam yang ada di dinding kelas. Pukul dua sore lebih seperempat. Lumayan satu jam lebih aku tertidur. Percayalah, ini pertama kalinya aku bisa tidur di kelas. Udah kepepet. Ngantuk. Nggak bisa ditahan lagi. Dan tidur selesai bel pulang itu enak. Lagian sekolah nggak pernah sepi.

"Hm. Enggak. Tidur lagi sana," ucapnya tanpa melihat kearahku, fokusnya ke layar ponsel.

Aku diam sebentar. Mengumpulkan nyawa terlebih dahulu. Kutegakkan tubuhku kembali yang sebelumnya bongkok. Lemes! Tidak ada gairah! Nolep! Aku menoleh ke penjuru kelas. Masih sama. Hanya beberapa orang yang tertidur. Selebihnya nongkrong pada di luar.

"Ngapain sih mukulin meja ganggu orang tidur?"

"Enggak," jawabnya lagi tanpa menghiraukan fokus dari ponselnya

Aku tidak merespons lagi. Hanya memajukan tubuh kearahnya. Sedikit. Mengintip apa yang sedang dia lakukan. Oh, main gim. Penasaranku bertambah saat melihat gestur tubuhnya yang perlahan menegang untuk sesaat, dan kerutan samar di dahinya. Aku coba bergeser lebih dekat lagi. Pelan–pelan. Tanpa menimbulkan suara.

Pantas saja! Ternyata dia sedang berjuang! Demi jajan gratis di kantin seharian penuh. Memenuhi tantangan dariku dua hari yang lalu dan dia tanpa pikir panjang langsung mengiyakan begitu saja, setelah kuiming–imingi jajan gratis di kantin. Hanya untuk membuktikan bahwa tidak ada yang bisa menaklukan ular rese si Slither. Io; sebuah permainan ular–ularan yang lebih modern dibanding permain ular zaman baheula yang sering ada di ponsel Nokia jadul.

Aku tersenyum remeh padanya.

"Maen terosssss! Sampe mampusss tuh ular."

Dia tidak menjawab. Tetap fokus dengan permainan ularnya.

"Udah panjang–panjang malah mati!"

"Nyesek."

"Basmi terus, basmi!" aku seperti komentator pertandingan. "Awas, Yar! Itu ada yang kecil. Bahaya! Meskipun sering nggak kelihatan, itu ancaman, Yar!" kataku lagi, "Yar, pengkolkeun itu! Awas nabrak!" ujarku heboh.

Oke. Dia masih nggak peduli sama ocehanku..

Nih orang budeg apa, ya? Kesel!

"Diem, Gunung!" akhirnya dia berkicau juga setelah puas bungkam. Mungkin kesal. Terdengar dari cara dia memanggilku tanpa embel–embel nama panggilanku; Ily atau siapa.

Dia memanggilku Gunung bukan tanpa sebab. Ada alasan yang jelas dan bukti yang konkret. Itu membuatku tidak bisa berkutik atau menentangnya begitu saja. Tak apa! Buat kenang–kenangan! Bahwa dulu aku mempunyai teman yang kadar kecerdasannya melebihi Einstein.

Laily Rinjani. Itu namaku, kan. Rinjani à nama Gunung. Maka Laily à Gunung. Dengan begitu Ily (panggilanku) à Gunung. Itu alasan darinya saat kutanyai setahun yang lalu.. Dan itu adalah jawaban yang super ngeselin.

Kesel! Kok ada, ya, orang seperti dia?

"Sok aja. Selagi ada kesempatan," jawabku

Sebel karena lagi-lagi tidak ditanggapi, aku berjalan keluar kelas hanya untuk melihat teman–teman yang lain sedang apa, juga sekalian mencari mangsa untuk diantar ke toilet. Cuci muka. Aku jamin wajahku penuh garis terutama di area pipi. Apalagi dengan tidurku yang tidak bisa dibilang diam.

Udara siang menuju sore memang paling enak. Awannya pas. Tidak mendung dan tidak panas. Iyuh, kalau kata orang sunda. Suara pohon beradu dengan angin menciptakan melodi alam yang menenangkan. Tentram. Alami. Dan tentu segar! Tak heran banyak teman–temanku lebih memilih nonkrong di depan kelas daripada tidur.

Ya, itu alasannya. Selain untuk menyegarkan pikiran. Di luar kelas juga bisa untuk bikin seger mata lihatin adik kelas yang hilir mudik.

Kelasku sangat strategis. Dari depan kelas terlihat Gunung Tangkuban Perahu yang gagah dan menjulang tinggi. Jaraknya jauh. Sangat! Namun terlihat seperti 5 jengkal saking besarnya.

Rasa kesal dan bete lenyap seketika. Namun itu tidak bertahan lama. Karena dari dalam kelas terdengar Yara berteriak kencang.

"Laily Rinjaniiiiiiiiiiiiiiiiii!" sontak semua yang sedang tidur terbangun. Wajah mereka cengo dan terkejut. Begitu pula dengan teman lain yang sedang nongkrong di luar kelas, mereka langsung berhamburan masuk untuk melihat kejadian yang membuat kaget itu.

"Hehe, sori!" ujar Yara cengengesan tanpa merasa bersalah.

Aku yang masih mematung di depan pintu kelas malah bingung tatkala dia memanggilku kembali namun dengan suara yang lebih pelan. Tidak seperti tadi. "Ly, sini Ly," ujarnya dengan senyum sumringah dan tangan yang melambai-lambai tidak sabaran.

"Ada apa, Yar?" aku berjalan mendekati meja.

Dia tidak menjawab hanya menyodorkan telapak tangannya yang kosong, senyum sumringah, dagu yang diangkat tinggi, tangan yang dilipat di dada, tak lupa menirukan gaya tubuh seorang bos.

"Apa sih, Yar?" aku bertanya tak mengerti.

Dia tidak menjawab. Masih mempertahankan posisinya.

"Besok traktir!" ujarnya kesal karena aku tak mengerti maksud tubuhnya. Sedetik kemudian dia cengengesan.

"Traktir ap–," Sesaat aku memahami maksud ucapannya. Aku langsung merebut ponselnya secara paksa. Aku menatap benda pipih itu horor. Mataku membulat sempurna.

Sial. Bakal tekor.

***

Persahabatan kadang jadi seru cuma karena tantangan sesederhana itu :D

Cunguk & CungurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang