“Srek.. srek.. srek.. srek.. srek”
Suara berisik itu membuat Iis terbangun dari tidurnya dan meneliti sumber suara. Sebelum melihat, ia kemudian tahu bahwa itu suara orang yang sedang menggosok gigi. “Gerakannya kasar. Siapa yang punya gesture demikian?” Barangkali pertanyaan itulah yang terlintas dalam benaknya barang sejenak. Tapi ketika menyadari bahwa tidak ada orang lain selain ia dan suaminya hidup di rumah ini, pertanyaan itu berakhir di imajinya saja.
“Ayah udah pulang,” pikirnya.
Ia melihat jam digital yang berpendar kehijauan di meja sudut kamar, pukul sebelas malam. Lantas dengan cermat berjalan mendekati sumber suara. Hanya sekedar memastikan bahwa apa yang dipikirnya tidak keliru. Ketika sampai di kamar mandi, ia mendapati pintunya terbuka dan melihat wujud pria yang sedang menggosok gigi dengan gerakan yang terburu-buru. Pria itu memunggunginya, sehingga Iis tidak bisa mengidentifikasi rupa-rupa wujud itu dengan jelas.
“Bisa rontok gigimu nanti, sayang,” kata perempuan itu tanpa memastikan identitas pria di depannya. Ia tertawa kecil.
Tanpa menoleh, pria yang diajak bicara itu meludah ke wastafel dan berkumur, menandai kegiatannya telah selesai. Sekilas, pria itu terlihat buru-buru dan sedikit panik. Tidak seperti biasanya. Namun lagi-lagi semua detail yang terlihat aneh itu terabaikan oleh Iis yang masih dalam keyakinannya, bahwa pria itu adalah si ayah, suami tercinta.
Iis berjalan ke dapur untuk membuat teh hangat. Suatu dorongan naluriah yang dia lakukan setiap kali suaminya pulang kerja. Satu mug besar untuk mereka berdua. Namun ada sesuatu yang keliru tentang urutannya. Tentang sesuatu yang dilakukan secara runtutan yang mereka lakukan terus berulang-ulang. Seharusnya, sang suami meminum teh terlebih dahulu sebelum menyikat giginya, baru setelah itu ia beranjak tidur.
Iis berjalan kembali ke arah kamar mandi, seakan ingin bertanya untuk memastikan bahwa teh itu akan dia buat atau tidak. Tapi yang dia dapati suasana sepi. Suara berisik yang mengganggu tidurnya tadi sudah tidak ada lagi. Semua suara lenyap menguap bersama udara. Tidak ada tandatanda kehidupan selain dirinya. Kini, langkah kaki, deru nafasnya dan – bahkan suara jantungnya sendiri bisa ia dengar. Sesampainya di kamar mandi dia tidak melihat siapa-siapa di sana. Saat itulah dia merasakan sensasi ambigu, tentang eksistensi yang ia lihat sendiri: apakah mimpi atau setengah sadar bahwa yang dia lihat barusan adalah suaminya?
Telepon genggam berdering membuat perempuan itu terlonjak. Ia begitu kaget dengan sesuatu yang biasa.
“Siapa yang menelpon di tengah malam begini coba?” pikirannya mengumpat.
Kini Iis mengambil telepon genggamnya di kamar, persis di atas meja sudut. Saat melihat layar, saat itulah dia terlonjak untuk kedua kalinya.
“Ini adalah nomor telepon ayah,” gumamnya dalam hati. “Aneh. Kalau memang ayah sudah pulang ke rumah, untuk apa dia repot-repot menelpon?” Ini tidak lucu jika suaminya bermaksud mengerjainya. Lama ia menimbang, akhirnya diangkat juga teleponnya – mendepetkan Nokianya ke telinga kanan.
“Ah.. Aku kira kamu sudah tidur sayang,” kata seseorang dibalik telepon. Tidak salah lagi bahwa itu suara suaminya, “hampir aja mau tutup telponnya.”
Perempuan itu menoleh ke belakang, melihat ke arah kamar mandi. Ia merasa ada seseorang sedang mengawasinya, “tidak ada.” Tidak ada siapa-siapa di sana.
“Halo..” suaranya bergetar.
“Ya. Halo…”
“Halo,” Ia mengulangi sebagai upaya untuk memastikan itu suara suaminya.
“Ya. Halo.. Sayang kamu bisa dengar? Aku sampai rumah sekitar …emm lima belas menit lagi. Udah aku bilangkan, kalau minggu-minggu ini... aku…” – suaranya terpotong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terrifying Short Story: "LAIN"
Mystery / ThrillerDavid Lodge berkata dalam The Art of Fiction: "Bisa dikatakan bahwa cerpen pada hakikatnya harus mengarah 'pada penutupnya. Oleh karenanya, kita memulai menulis cerpen dengan harapan akan segera sampai pada penyelesaiannya, sementara itu, jika kita...