Satu bulan Kemudian...
Terlihat seorang dokter cantik tengah tertidur di ranjang khusus untuk tempat istirahat para dokter sesuai dengan spesalisnya masing-masing. Ini jam istirahat, dan sudah menjadi hal biasa ketika seorang dokter di rumah sakit ini istirahat di ruangan khususnya masing-masing.
"Woy! Gembel! Mesti banget ya, lo tidur tuh di kasur gue? Lo punya tuh di atas mba."
Seru seorang pria pada dokter cantik itu.
"Eungh- jangan ganggu tidur gue! Pergi sono ih." Usir dokter itu.
"Astaga, nyesel gue pernah minta kenalan sama ini cewek. Kalo tau dasarnya kebo gini mending ga usah kenalan anjir." Keluh dokter pria itu.
Tiba-tiba terlintas di kepalanya untuk menjahili rekan kerjanya itu. iapun mengeluarkan benda pipih dari sakunya dan mencari sebuah kontak.
Ponsel dokter cantik itu bordering tapi tidak dihiraukannya, hingga..
"Xia! Bangun! Ih anjir! Anjir! Itu Prof. Billy nelfon mati lo!"
Yup! Dokter cantik itu dokter Xia, dia sudah mulai bekerja sejak satu bulan yang lalu.
Xia dengan keadaan shock bangkit dari kasurnya dan mengangkat panggilan yang dia terima tanpa membaca siapa yang menelfon.
"Selamat siang dok, maaf saya sedang-"
"Ahahahah bego!!! Lo liat siapa yang nelfon." Kata dokter pria itu dan langsung pergi lari menjauh dari Xia.
"Erik sialan!!!!!" Xia berlalri mengejar Erik
"Udah ah! Capek tau. Kita kekantin aja makan." Kata Erik yang sudah stop didepan Xia. Xia yang lelahpun mengiyakan ajakan Erik.
"Rik, lo aja yang antri gue mager."
"Ck! Lo aja, gue juga mager kali."
"Heh! Manfaatin tuh muka buat motong antrian."
"Astaga Xia, gue sebagai orang Indonesia yang berbudaya, sangat menjunjung tinggi budaya mengantri."
"Halah gayaan lo! Udah pergi sono. Hush hush." Usir Xia, dengan gerutuan yang keluar dari bibir Erik diapun pergi menuju antrian kantin untuk memesan makanannya juga Xia di stan khusus pekerja rumah sakit tentunya.
Sambil menunggu Erik, Xia memainkan ponselnya, sesekali ia tertawa melihat tingkah artis papan atas Korea yang sempat ia rawat.
'Wah, dia benar-benar sudah kembali pada dirinya.'
Batin Xia dengan senyum yang mengembang. Taklama, ponsel itu menampilkan nama suster yang menjadi pendampingnya di rumah sakit.
"Ya sus, ada perlu apa?" Jawab Xia ketika sudah mengangkat panggilan.
"Dok, profesor menyuruh anda untuk mengunjunginya di ruangannya, setelah makan siang selesai."
Xia mengerutkan dahinya. Ada perlu apa profesornya memanggilnya?
"Baik. Nanti saya kesana. Kosongkan jadwal untuk siang ini. Dan untuk pak Tri, biar saya yang tangani nanti setelah dari kantor profesor."
"Baik Dok."
Panggilan terputus. Makanan Xia pun datang di bawakan oleh Erik dan di bantu salah satu penjual kantin.
"Makasih Pak." Balas Xia dengan senyum ramahnya begitu makanann tersaji di hadapannya.
"Sama-sama dok. Aduh senyum dokter itu melemahkan setiap cowok-cowok atuh. Manis banget. Pantes dokter Erik yang dingin bisa luluh." Goda sang penjual sedangkan Erik sudah menahan untuk tak memaki laki-laki paruh baya di depannya.
"Ah, bapak bisa aja. Erik begini karena dia kan teman saya satu-satunya sejak saya pindah ke sini. Profesor saya juga kan nitipin saya ke Erik." Balas Xia, Erik yang jengah pun langsung menyantap makanannya.
"Ya sudah dok, saya permisi. Selamat menikmati." Xia tersenyum dan langsung mengikuti Erik untuk menyantap makanannya.
"Gue nanti langsung ke profesor Billy. Lo doain gue masih idup pas keluar ye." Kata Xia pada Erik namun tak mengalihkan pandangannya dari makanannya.
"Mau ngapain? Lo buat masalah? Ngga kan? Atau lo bertengkar lagi sama si dokter abal-abal itu?"
"Nggak woy! Aelah. Gue juga ngga tau sih gue di panggil buat apaan. Hmmm"
"Ya udah sih, makan aja dulu. Mungkin profesor lama lo ngomong sesuatu ke profesor Billy dan pengen profesor Billy nyampein langsung ke lo."
"Iya kali ya."
-
-
-
Xia tengah menatap sengit lawan bicaranya saat ini, pasalnya mereka memang selalu saja bertengkar hanya karena perbedaan pendapat dan keputusan yang di ambil secera sepihak.
Begitupun tentang hari ini. Keputusan diambil secara sepihak oleh lawan bicaranya. Dan Xia akhirnya harus berfikir keras mencari cara untuk lepas dari keputusan itu.
"Prof, tapi itukan bukan persetujuan saya. Itu hanya keputusan profesor. Saya bahkan tidak tau apa-apa soal ini."
"Xia, sayakan sudah jelaskan. Kamu hanya perlu memeriksa dan menguatkannya saja. Tidak seperti dokter-dokter lain yang harus rela meninggalkan posisi dokternya agar dekat dengan pasiennya."
"Tapi prof, apa bedanya dengan saya?! Saya juga harus mendatangi pasien, meninggalkan pekerjaan saya di sini. Bagaimana jika pasien-pasien saya di sini membutuhkan saya?"
"Ada Erik, dia awalnya kan memegang hampir seluruh pasien kamu. Sudahlah, saya bosan hampir setiap berbicara denganmu selalu saja berdebat. Ikuti saja alur saya. Besok kita bertemu dengan keluarga pasien."
"Tapi Prof."
"Silahkan keluar, saya sibuk."
Xia berdecak kesal. Selalu begini dan Xia muak. Baru satu bulan menginjakkan kaki di rumah sakit ini, rasanya Xia ingin menyatu saja dengan para pasien.
DRRRRT DRRRRT
Ponsel Xia bergetar menandakan pesan masuk. Dan itu pesan dari Ed.
Message from Ed Bego
Sayang kuuu... gue udah di rumah lo, hmmm not bad lah. Tapi tetep besaran rumah gue yang di Amrik. See you at home ayang.
Xia tertawa kecil membaca pesan itu dan langsung membalasnya.
To Ed Bego
Lo salah kirim Ed? Siapa ayang lo? Wah lo punya pacar gak ngasih tau gue.
Message from Ed Bego
Ya Elo lah ayang gue! Ngeselin ya lo!! Orang mau mesra-mesra gagal mulu di elo.
To Ed Bego
Bodo. Udah ya gue mau cek pasien dulu. Baik-baik di rumah. Jangan sentuh apa-apa apalagi area dapur. Yang boleh lo sentuh cuma toples kue kering juga minuman di kulkas. Sisahnya haram di tangan lo!
Xia mematikan ponselnya dan tidak membaca pesan terakhir Ed. Sekarang dia mau memeriksa pasiennya dan setelahnya dia akan pulang.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
CHANGE
Teen FictionPertemuan yang sama sekali tidak di inginkan itu terjadi. Dan membuat luka disana terbuka, entahlah semua terjadi begitu saja saat luka itu terbuka waktu itu. Sepertinya sesuatu yang seperti ini harus di selesaikan bukan untuk di hindari. Tidak! Ca...