"Bang Abyan!" Aku dan Nindya memekik bersamaan.
***
"Hallo, Dek," sapanya ramah.
"Lha, Bang Abyan pulang kapan? Emang lagi libur? Apa lagi bolos?" Nindya pun beraksi dengan seribu pertanyaan yang siap dilontarkan olehnya.
"Apa--"
"Ssttt ...." Aku menyela pertanyaan yang hendak diberikan oleh Nindya. "Udah, nanti aja tanyanya. Kasihan Bang Abyan, pasti capek. Masuk dulu, Bang!"
"Tau tuh. Dasar cebol!"
"Apa? Cebol! Dasar manusia galah, kejedot pintu baru tau rasa. Huh." Nindya berlari ke dalam rumah.
"Ngambek tuh, Bang."
"Gapapa. Biarin aja. Yuk, masuk!" katanya, lalu masuk ke dalam rumah, meninggalkanku sendirian di teras.
"Tuh, 'kan. Rumahnya siapa, yang ditinggal siapa. Dasar human!" Aku pun ikut masuk ke rumah. "Nindya, Bang Aby--" Ya ampun, rumahku! Mereka ini kalo sudah bertemu, suka gak paham tempat. Dimanapun selalu berantem. Padahal mereka saling suka, hanya saja mereka berdua sama-sama tidak peka. Ehh. Keceplosan.
Anindya Kirania. Sesosok sahabat rasa saudara kandung. Kami berteman sejak SMP. Rumah kami pun satu komplek, antara rumahku dengan rumahnya hanya dipisahkan oleh 4 rumah. Tinggi tubuhnya 166 cm, tetapi sering dipanggil 'cebol' oleh Bang Abyan, mungkin panggilan kesayangan. Wkwk. Oh ya, alasan lain dia dipanggil cebol karena diantara kami bertiga Nindya-lah yang terpendek.
Kami bertiga memang sering bermain bersama. Rumah Bang Abyan pun masih tergolong dekat dengan rumahku, kami tetangga komplek.
Ok. Back to topic. Kalian tahu, apa yang sedang mereka lakukan? Omaygat! Mereka sedang mengacak-acak ruang keluarga. Padahal baru saja mereka masuk, 'kan? Sekarang ruang keluarga sudah seperti kapal pecah, bantal di lantai, kulit kacang bertebaran dimana-mana, tumpahan air dari gelas mengalir dari atas meja menuju lantai, bak air terjun. Sedangkan mereka sedang asyik perang kulit kacang.
"Bundaaa ...." inilah kebiasaanku. Selalu memanggil bundaku ketika sedang kesal, walaupun beliau sedang tidak ada di dekatku.
"Ehh, Sha." Mereka terkejut karena teriakanku. Aku menatap nyalang ke arah mereka. Mengintimidasi.
Seolah-olah Bang Abyan mengerti arti tatapan yang kuberikan. Dia mencoba menjelaskan, "Ehh, ini cuma iseng, kok."
APA? Iseng? Aku menghela nafas. Hendak berteriak lagi. Namun, belum sempat berteriak, Nindya berusaha menjelaskan.
"Ehh, ga usah teriak lagi, yaa. Ini nanti Bang Abyan yang beresin, kok. Tenang aja."
"Apa? Kok aku, sih?"
"Kan, Abang yang mulai."
"Tapi, 'kan, kamu juga ikutan, Anindya Kirania."
Nahhlooh, kalo Bang Abyan sudah memanggil dengan nama panjang itu artinya tidak ada bantahan.
'Kena batunya kamu, Nin. Hahaha,' sorakku dalam hati.
"Iya, deh, iya. Cecan mah nurut aja."
Akhirnya mereka membereskan sisa perang tadi. Bang Abyan yang menyapu lantai, Nindya yang mengepel di belakangnya. Sebuah pembagian tugas yang cocok. Sedangkan aku? Aku duduk manis melihat perdebatan kecil mereka.
"Yang bersih, dong, Bang. Nyapu aja gak bisa," Nindya memarahi Bang Abyan.
"Ehh, ini udah bersih, lho. Kamu harusnya ngepelnya yang bener," sedangkan Bang Abyan tak terima dengan tuduhan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
DAMARA
Teen FictionDi mulai pada saat salah kirim chat. Hidupku menjadi lebih berwarna, setelahnya. Akankah tetap indah seperti ribuan bintang di langit? ****