1

459 60 9
                                    

            Keberadaan rasa yang ia punya saja rasanya sudah merupakan sebuah kesalahan. Ia jatuh cinta pada orang yang tidak seharusnya. Dan yang lebih parahnya orang yang ia sukai menempatkannya pada lingkup pertemanan. Bukannya ia tak menyukai hanya saja terkadang rasanya menyesakkan.

Dia terlalu bersinar untuk diacuhkan keberadaannya. Dia terlalu menarik untuk tidak menarik atensi. Dia terlalu sempurna hingga kau jatuh. Namun yang jatuh tentu bukan saja dirimu saja. Karena memang ia sesempurna itu.

.

.

.

Tidak ada yang akan menyangkal seberapa menarik perhatiannya pemuda bernama Cho Seungyoun. Ia dan sikapnya yang ramah juga dengan senyum yang selalu ia patrikan setiap saat, tentu semua orang akan mengingatnya. Dan lagi dia terlalu tampan untuk dilewatkan begitu saja, dan rasanya semua orang setuju untuk itu.

Sementara ia, hanya kebetulan bersilang jalan dengan sang pemuda Cho. Entah bisa dikatakan beruntung atau tidak ketika mereka bertemu dan Cho Seungyoun sudah menarik perhatian Lee Hangyul semenjak pertama bertemu.

.

Mereka hanya kebetulan bertemu, memiliki lingkup pertemanan yang sama membuat keduanya dipertemukan. Awalnya hanya berbagi senyum basa basi hingga entah karna alasan apa mereka dekat begitu saja.

Selera humor mereka terlalu sama, sebut teman mereka suatu waktu.

'Mungkin memang begitu' batin Hangyul takkala ia mendengarnya,

Dan Seungyoun tak menyangkalnya, mereka bahkan terkadang terlalu mirip untuk bebearapa hal. Bisa jadi karena alasan itu Seungyoun lebih sering mengajaknya jalan bersama alih-alih mengajak Seungwoo yang merupakan teman yang sudah dikenalnya sedari dulu.

Hangyul tak pernah menolak, ia hanya senang berada disekitar pemuda itu. Tak ada alasan lain, begitu katanya.

Namun, itu mungkin hanyalan penyangkalan yang sedari dulu dipupuk dalam hati sang pemuda Lee akan rasa afeksi yang muncul dan tumbuh dihatinya. Afeksi yang bahkan ingin ia bunuh sebelum dipupuk tumbuh.

"Kau ingin nonton bersama? Ada film yang ingin aku tonton."

Hangyul tak ingin menyutujui, ada banyak hal yang harus ia selesaikan, tugas kuliah salah satunya. Lagipula sebenarnya ia tak satu selera terkait film dengan Seungyoun. Satu dari sedikit hal yang membuat mereka berbeda.

"Film ini sudah lama kutunggu."

Vokal terlampau ceria yang ia perdengarkan juga senyum lebar yang terpasang diwajahnya tak kuasa membuat Hangyul menolak. Ia menyukainya bagaimana mata sang pemuda Cho menghilang ketika ia tersenyum lebar.

"Baiklah, tak masalah. Kapan?"

Ia menyerah pada pemuda itu lagi.

"Akhir minggu ini, kau tak ada acarakan?"

Hangyul menggeleng, ia rasanya memang tak ada acara hari itu namun sekalipun ada dia rela menggantikan janjinya untuk bersama dengan Seungyoun karena alasan yang ia sendiri berusaha patahkan.

.

Bagi Seungyoun, Lee Hangyul itu pemuda yang menarik. Ia sedikitnya bersyukur mengenal pemuda itu karena kesamaan mereka akan banyak hal. Setidaknya ia memiliki lebih banyak teman untuk melakukan hal yang ia suka.

"Bagaimana kuliahmu?"

Seungyoun berkata ketika bertemu disebuah café pada sore hari. Dihadapan mereka ada Ice Americano yang baru saja disajikan.

Ia dapat meilihat wajah pemuda Lee itu menjadi keruh, juga bagaimana ia mengusak rambutnya frustasi. Pemuda yang lebih muda meraih minumannya dan menyeruput likuid itu kasar, seolah ingin menyalurkan rasa frustasinya.

Dan Seungyoun tersenyum melihatnya. Ia selalu menyukai bagaimana Lee Hangyul menujukkan reaksi.

"Jangan bertanya. Itu memuakkan."

"Kau selalu bisa meminta tolong, kau tau. Pada Seungwoo hyung misalnya."

Sorot mata Hangyul selalu mengeras saat ia mengucapkan nama senior yang sama-sama mereka kenal. Entah karena alasan apa. Katakan saja lewat Han Seungwoo keduanya bisa bertemu.

"Kau tau sendiri dia sibuk."

Mereka berdua tahu betapa sibuknya sang senior, ia mengikuti banyak organisasi belum lagi tugasnya yang memang sedari awal sudah banyak untuk dikerjakan.

"Tapi dia selalu bersedia membantu, kau tinggal minta tolong saja dan boom semuanya akan beres."

Ada gerak berlebihan yang ditunjukan Cho Seungyoun ketika mengucapkan kata boom, ia mempertemukan kedua telapak tangannya lalu menjauhkan seolah berusaha menampilkan gerakan meledak. Dan hal itu mengundang tawa dari pemuda yang lebih muda.

"Benar sekali. Nanti aku minta tolong jika memang tak ada jalan lain."

Ucapan Hangyul membuat Seungyoun tersenyum. Ia kembali menyeruput minumannya, membiarkan hening ada diantara keduanya. Namun keheningan itu membuat nyaman alih-alih menyesakkan.

.

"Kau ingat kita akan mengerjakan tugas akhir minggu ini kan?"

Hangyul tersentak saat pintu kamarnya terbuka, disana berdiri housematenya yang menatapnya. Sebuah buku tebal dan sebungkus makanan ringan berada ditangan kanannya sementara ia menyandarkan tubuhnya dipintu.

"Ah sial, sepertinya aku tak bisa."

Sang housemate mengerlingkan matanya, tak terkejut sedikitpun karena bukan sekali dua kali pemuda Lee itu membatalkan janji belajar mereka.

"Kutebak kau akan pergi dengan Seungyoun hyung kan?"

Ia terlalu mengerti dengan Hangyul, satu satunya hal yang bisa membuat Hangyul membatalkan janjinya hanya pemuda Cho yang ia katakan sebagai seseorang yang ia senangi. Seseorang yang ia kagumi.

"Tak usah mengelak, aku tahu. Sampai kapan sih kau in denial kalau kau menyukainya."

Hangyul mendelik tak suka, ia sama sekali tak menyukai pemuda Cho itu. Kedekatan mereka tak lebih dari seorang teman yang menyukai hal yang sama. Dan tentu saja karena Seungyoun itu orang yang nyaman untuk didekati.

"Aku tak menyukainya."

Kalimat itu mengundang tawa sumbang dari sang housemate, ia mematai sang pemuda Lee yang tampak berekspresi sedikit keras karena pernyataan yang tadi ia utarakan.

"Ya ya, terserahlah. Aku tau apa sih tentang dirimu."

Lalu pintu kamarnya ditutup begitu saja. Hangyul mengusak rambutnya kasar, Ia kesal untuk alasan yang tau merupakan sebuah kebenaran. Ia menyadari, sekalipun berusaha diabaikan, bahwa ada rasa yang tak seharusnya muncul karena Seungyoun.

Tapi dia bisa apa saat keduanya hanya berada dalam lingkup pertemanan. Sekalipun ia jatuh tak ada artinya kan ketika pihak lainnya tak ada rasa yang sama.

.

.

.

Should I made this into chapters? Or should I end it here?

Please vote and comment if you like the story. Thank you.

JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang