Prolog

22 2 0
                                    

Pukul 11 malam lewat 3 menit.

Gemerincing kunci yang kubawa menjadi satu-satunya bunyi yang kudengar di lorong apartemen. Aku mengutuki diri, bertanya dengan ketus pada diriku sendiri kenapa insiden kunci jatuh harus datang malam ini? Sial. Aku sudah nggak sabar ingin mandi. Ketika pintu terbuka, dengan malas aku melepar tas kanvas yang hampir dua jam ini tersampir di pundak. Ingat ada laptop di dalamnya, dengan hati-hati kupungut kembali. Aku hanya bisa berharap tidak ada bagian dalam darinya yang bermasalah. Aku nggak ingin sesuatu yang buruk terjadi dengan laptop ini. Bukan karena harga mahal atau barang ini punya nilai sentimentil bagiku. Aku hanya nggak mau kehilangan data-data yang ada di dalamnya. Tunggu, apa memang bisa goncangan pada laptop membuatnya kehilangan seluruh data? Tunggu—lagi, kenapa aku harus memikirkan pertanyaan remeh temeh seperti itu?

Aku melepaskan kaus kaki yang sudah tidak keruan baunya. Tanpa pikir panjang langsung kumasukkan dalam keranjang cucian kotor untuk dibawa ke laundry akhir pekan nanti. Bagiku mengganti kaus kaki setiap hari adalah kewajiban yang tidak bisa digugat. Demi tuhan kalian terlihat (dan tercium) sangat jorok ketika kalian tidak mengganti kaus kaki kalian setiap hari!

Satu persatu pakaian yang menempel dari pukul 8 pagi ini sudah terlepas. Mulutku sering terasa kering akhir-akhir ini. Dengan hanya celana dalam yang menempel di tubuh, aku pergi ke dapur untuk mengambil minum. Hei, apa? Telanjang di rumahmu sendiri bukanlah kegiatan yang ilegal, kan? (Kecuali kau serumah dengan ibumu)

Nonton televisi di jam selarut ini belum pernah aku coba. Biasanya aku terlalu malas untuk mencari remote control yang entah terselip di bagian mana di dalam rumah. Hari keberuntunganku, mungkin? Hari ini aku mendapati benda itu persis berada di samping bantal sofa. Yang baru aku ketahui dari menonton saluran televisi malam adalah iklan produk rokok yang sangat banyak. Aku sudah menghitung sejak aku menyalakan televisi—yang sudah pasti kalian pikir aku sangat kurang kerjaan—dan hitunganku sudah mencapai limabelas. Di hari lain aku pasti akan bersyukur mengetahui bahwa tujuan penayangan iklan rokok yang berjubel di tengah malam adalah untuk menghindari 'tertonton' oleh anak-anak. Yah, meskipun aku pernah menjumpai beberapa anak di jalanan yang merokok pada usia yang sangat dini. Aku jadi ingat saat aku pertama kali merokok. Waktu itu umurku mungkin delapan. Ya, aku tidak salah menyebut. Aku benar-benar mencoba rokok pada umur delapan tahun. Tapi, yah, kau tahu, aku sama sekali tidak menemukan 'rasa nikmat' dari merokok seperti yang orang-orang dewasa katakan.

Aku mengendap-endap dari ruang tamu, mengetahui ayahku pergi entah ke mana. Mataku tahu mau ke mana. Sebuah bungkusan tanggung bersalut plastik. Baunya memang cukup menarik dan harum. Kukeluarkan sebatang rokok dari bungkusan itu. Aku sudah mempelajari gerak-gerik ayah dan oomku saat keduanya menyulut rokok dan berbincang-bincang di teras. Jadi, ya, aku menyulutnya juga. Asapnya mulai mengepul. Kuselipkan benda itu ke mulutku, lalu seperti yang kulihat dari ayahku—aku mengisapnya.

Terakhir ku tahu siang itu aku terbatuk tak keruan karena asap yang mengepul. Sejak saat itu aku tak pernah mau berurusan dengan benda bernama rokok. 

Perjumpaan dengan Tuhan dan 11 Antek-antekNyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang