-2

605 63 43
                                    

"Gak percaya?"

"Ya gak lah!"

"Jangan kaget, ok?"

Dia berdiri, tidak melepaskan tatapannya dariku. Seberkas cahaya turun menyinari tubuhnya, membuatku terkagum saat sepasang benda putih muncul dari belakang. Merentang dan terus merentang hingga aku menyadari jika benda itu tidak lain adalah sayap.

Dia benar-benar seorang malaikat?

Aku berdecak, saking kagumnya melihat sayap putih itu terbuka lebar dan sedikit mengepak. Tidak sadar aku terduduk di tanah dan membulatkan mata lebar-lebar, berharap jika yang aku lihat ini hanyalah sebuah halusinasi saja.

Dia kembali berjongkok di depanku. Tangannya terulur menawarkan bantuan untuk bangkit.

"Pegang tanganku, rasakan. Aku bukan sekedar halusinasimu," ucapnya menunggu reaksiku.

Aku meneguk saliva kasar. Menatap sorot matanya yang tampak sangat nyata. Perlahan aku mengulur tangan yang gemetar, setidaknya harus memastikan apakah dia benar-benar nyata. Karena tidak bisa dipungkiri aku pun sangat penasaran dengan jati dirinya.

Dia masih setia menunggu tanganku menyentuhnya. Jantungku berdetak kencang, menghembuskan napas yang sedikit tersekat menampik ketakutan yang datang. Tiba-tiba tangannya menjemput, menarik jemariku ke dalam genggaman. Aku terkejut, rasanya ada aliran hangat yang langsung menuju ke ulu hati tepat saat kulit kami bersentuhan.

"Kamu anak baik, makanya aku diutus buat jagain kamu,"

Terdiam, pikiranku bekerja keras beberapa saat mencerna perkataannya barusan.

"Kamu salah orang, pasti bukan aku," Aku akui memang tidak jahat perangai serta kelakuanku namun untuk dikatakan sebagai orang baik, itu juga bukan aku.

Tannganku berusaha melepas genggamannya namun dia malah semakin mengeratkan tautan kami.

"Chrysant Lee, lahir 22 April 2002. Anak bungsu dari 2 bersaudara, kakak bernama Lee Taeyong. Ibu, Cha jinsoo dan ayah bernama Lee Young Dae. Apa aku salah orang?" diksinya mengejutkanku.

"Alergi makanan mentah, menyukai bunga krisan, coklat dan wangi vanila, takut pada hal-hal berbau mistis dan terlahir dengan na..,"

"Cukup!!" seruku menghentikan ocehannya.

"Oke, aku percaya. Puas??" Kepalaku tiba-tiba berdengung seolah ada sesuatu yang salah terjadi dalam otakku.

"Selamat, pikiranmu sudah terhubung denganku. Mulai saat ini aku akan mendampingimu," ucapnya tersenyum tepat di depan wajahku.

"Sampai kapan?"

"Hmm, waktu yang belum ditentukan? Entahlah. Jika tugasku selesai maka aku akan kembali,"

Aku memegangi pelipis dengan sebelah tangan yang bebas. Pandanganku berpendar, sakit di kepala kian menjadi hingga tiba-tiba ada sesuatu menempel di hidungku.

"Gweanchana?" tanya seorang laki-laki di sampingku.

"Kak..," Aku mengerjap-ngerjapkan mata memperjelas pandangan dan menemukan sosok yang tak asing.

"Kamu ngapain disini? Mau bolos apa gimana?" tanyanya lagi.

"Hah? Oh iya itu aku mau bolos soalnya telat," jawabku sekenanya.

"Malah duduk di tanah gini. Kamu kenapa? Sakit? Mimisannya makin banyak. Kakak anterin ke rumah sakit ya?" ujarnya membantuku berdiri.

Aku pun memegang tisu yang ditempelnya sedari tadi. Melihat bercak darah yang merembes dan menempel di sela jariku.

"Gak usah, Kak. Aku mau pulang aja," Tentu saja berbohong. Mau bilang apa jika Ibu bertanya perihal kepulanganku.

"Hahaha.. mana mungkin kamu mau pulang. Mending ikut Kakak aja, mau?"

Kami berdua menyusuri trotoar menuju halte bus, tempat yang baru saja aku tinggalkan lalu akhirnya kembali lagi.

Aku menatapnya sekilas lalu kembali mengalihkan atensi pada tempat tujuan, kami hampir sampai. Suatu keberuntungan bisa dekat dengan Kak Yuta karena aku adalah adik Lee Taeyong, sahabatnya sejak sekolah menengah. Mereka sangat dekat bahkan lebih dari aku yang notabene adik kandung Kak Taeyong. Juga aku yang lebih dekat dengannya dari pada Kakakku sendiri. Walaupun kedekatan kami tidak terjadi sejak pertama kali berkenalan.

"Kak Yuta," Langkahku melambat.

"Iya?"

"Ajak aku beli coklat,"

"Kirain mau bilang apa," ujarnya sedikit terkekeh sambil mengusap rambutku kasar. Bibirku mengerucut, sedikit kesal karena poni yang dibuat acak-acakan. Seolah mengerti, Kak Yuta lalu kembali merapikan dengan jemarinya dan meminta maaf.

Kami sudah sampai di halte, aku membuang tisu yang kini telah berwarna merah ke tempat sampah. Lumayan, kepalaku masih sedikit pusing. Aku membuka tas dan mengambil beberapa helai tisu lagi sebagai persiapan jika masih ada darah yang akan keluar.

Kak Yuta menepuk tempat kosong di sebelahnya, mengisyaratkanku untuk duduk.

"Jawab dulu," katanya.

"Apa?" sahutku lalu mengambil tempat duduk di sampingnya.

"Kamu sakit? Kenapa sampe mimisan gitu? Tadi juga kamu tiba-tiba duduk di tanah. Kakak kira kamu pingsan,"

Ah, perihal tadi. Aku kira tidak ada orang yang memperhatikan.

"Aku sembunyi dari Jung ssaem. Biar gak ketauan terus dihukum," jawabku.

"Aigo-ya. Sudah pandai berbohong,"

Aku menoleh. Mendapati mahluk tadi kembali dan ikut duduk disebelahku. Terkejut, hampir saja aku mengumpat.

"Wae? Kan itu tugasku, menjagamu. Menjaga dari perbuatan buruk, seperti bohong, bolos, angkuh, mencuri, judi, zina...,"

"Yaa!!" bentakku.

Enak saja, dia kira aku ladang dosa sampai-sampai melakukan hal-hal terakhir yang disebutkan. Padahal tadi dia sendiri yang bilang aku anak baik.

"Chrys?" Kak Yuta mengibaskan tanganya di depanku. Aku bahkan tidak sadar memunggunginya karena mahluk tadi.

"Hah? Iya Kak," jawabku spontan berbalik menghadapnya.

"Denger gak tadi Kakak bilang apa?" keluhnya sedikit kesal.

"Hehe, gak,"

"Beneran kamu lagi gak sehat deh kayaknya," omelnya sambil menempelkan telapak tangan di dahiku.

"Kakak tadi bilang apa?"

"Nope, gak penting,"

"Sorry, tadi aku ngerasa ada yang manggil,"

Tidak ada jawaban. Kak Yuta malah sibuk memainkan ponselnya.

"Bohong terus ya,"

Aku menoleh lagi, memberinya tatapan tajam yang hanya dibalas dengan sebuah endikan bahu. Aku mulai kesal.

Tidak lama bis tiba, pintu terbuka dan orang-orang berhamburan keluar. Aku masih duduk, menunggu orang-orang sedikit menjauhi halte dan mencari celah untuk berdiri.

"Pegangan, jangan jauh-jauh," Tangan Kak Yuta mengambil tanganku lalu menggengam erat. Walau pandangannya tetap lurus, aku bisa melihat sekilas healing smile Kak Yuta tercetak jelas.

"Zina, bukan muhrim kalian,"

Astaga, seumur hidup aku baru tau jika "malaikat" bisa semenyebalkan ini.

JOHNSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang