Bab 1

38 12 0
                                    

"Lo niat sekolah nggak si?"

"Eh lo, nggak masuk kelas emangnya? Kok dikantin juga, sih?"

"Nggak usah sok-sok an nanya gue deh. Lo pasti tidur lagi kan, atau nggak lo pasti baca novel lo yang cupu itu, terus nggak merhatiin guru, terus disuruh keluar, dan nggak ada pembelaan sama sekali?!"

"Santai dong, ini kantin tempat makan, bukan tempat ngomel!"

Rayodi Dewangga. Temanku dari tk, sd, smp, dan sma. Kalau ditanya 'nggak bosan?'. Jujur. Sangat bosan dan membosankan. Tapi mau gimana lagi? Cuma dia yang mau temenan sama aku. Maksudnya, ya, bukan dia aja sih temanku. Tapi gitu deh, pokoknya.

"Gue udah muak banget sama kelakuan lo yang kayak gini-gini aja. Move on dong, Syaaa!"

Aku diam.

"Paansih. Nggak jelas banget!"

"Lo tuh yang nggak jelas. Move on dari kebiasaan lo yang gini-gini aja! Niat dikit kek ke sekolah buat belajar."

"Berisik! Masih mending gue turun sekolah!"

Aku berdiri meninggalkan kantin dan menuju tempat yang lain. Setiap hari mendengar Odi selalu menceramahiku membuat telingaku ingin terbakar. Bisa dibilang cuma Odi yang tahan punya teman kayak aku. Keras kepala, susah di ajak ngomong, jarang kelihatan di sekolah, dan mungkin lebih dari yang ku sebutkan tadi. Baru saja dia marah karena aku tertidur di kelas matematika dan seperti peraturannya, yang tidur akan dikeluarkan dari kelas. Dan, ya, tanpa pembelaan, tanpa bicara sedikit pun sama guru nya juga tetap akan keluar kan. Jadi tidak usah membuat pembelaan yang terlihat seperti orang bodoh.

Aku duduk di teras depan kelas. Tidak ada yang ku kerjakan selain berhayal. Memikirkan hal-hal yang mungkin tidak akan terjadi. Karena dunia sudah semakin sibuk untuk urusan berhayal. Padahal kalau di dalami itu adalah hal yang paling indah. Karena kita bisa menghayalkan apa saja yang kita mau. Tanpa semesta marah, tanpa orang-orang mengetahuinya.

Aku mecoba memejamkan mata dan duduk di teras kelas sambil menghayalkan apa saja yang aku inginkan. Mencoba menyatu dengan angin yang tak bersuara.

Andai kamu bisa disini, ya, Gi. Aku pasti nggak kayak sekarang. Sering keluar kelas, sering bolos jam pelajaran, sering diam, nggak ngerti sama semua orang. Kapan, ya, bisa kayak dulu lagi. Nonton film bareng, cerita-cerita bareng lagi, main surat-suratan lagi, sering buat lelucon yang nggak jelas tapi bisa membekas, sering sharing tentang hidup. Seandainya waktu bisa diputar, ya, Gi, aku nggak bakal anggap dunia ini aneh dan nggak mungkin punya pikiran bakalan pindah ke planet lain. Pikirku, yang tak ada satu orang pun tahu kecuali Tuhan.

"Bangun, woyyy!"

"Berisik!"

"Udah istirahat, ya, emangnya?" tanyaku pada diriku sendiri.

Semenjak semesta memberikan takdir padaku untuk menjalani kehidupan masing-masing dengan Gibran, aku lebih banyak diam, tidak suka main-main dan tidak suka terlalu serius. Aku lebih banyak bertanya pada diriku sendiri. Tidak suka menggantungkan hidupku pada orang lain. Selagi masih bisa dilakukan sendiri tak perlu menyusahkan orang lain. Namun Gibran tidak suka melihatku mengerjakan sesuatu harus sendiri dan sendirian. Sendiri bukan berarti tidak punya siapa-siapa, kalau sendirian baru bisa dibilang berdiri di bumi hanya sendiri. Padahal aku bukan tipe orang yang sangat manja dengan siapa pun, termasuk dengan pacar.

Sekolah bukan tempatku. Aku lebih suka diam di rumah daripada harus berdiri di tengah keramaian yang bisa membuat kita merasa sepi. Bumi juga bukan tempatku. Aku lebih suka hidup dalam duniaku sendiri. Nggak ada yang suka marah-marah nggak jelas, kalau bikin kesalahan kecil nggak terlihat kayak bikin kesalahan besar, nggak ada yang ngatur harus ini harus itu juga. Enak kali, ya, kalau punya dunia sendiri. Dulu Gibran pernah bilang.

Dunia itu bukan tentang apa dan siapa saja isi di dalam nya, melainkan kita hidup untuk membuat dunia kita sendiri.

Mungkin kalian akan mengenalnya di bab yang lebih jauh. Tapi tidak apa. Akan kuceritakan semuanya perlahan, ya?

***

"Kayak lagi seneng banget tuuuhh.." goda Odi, saat pulang sekolah.

"Apaansih, berisik!"

"Yaudah. Fine."

"Besok ada acara gitu, ya, di sekolah?"

"Tau."

"Lo mau tetep disini aja sampe besok pagi? Iya?"

"Ayo, ah, udah cepetan ambil motor lo, gue nunggu disini aja"

Setelah Odi mengambil motor, aku memintanya untuk singgah ke tempat ngopi yang biasanya kita tongkrongin sehabis pulang sekolah.

"Lo nggak ada niatan gitu bua-"

"Di, kita udah ngebahas ini berkali-kali. Come on!"

"Atas nama Odi" panggil barista yang membuatkan kopi.

"Tapi kan di coba dulu, syaa.. Sama temen gue gimana? Mau?"

"Ya, nggaklah!" dengan nada yang sedikit keras, sehingga membuat pengunjung yang ada di kedai itu sempat melirik kebingungan.

"Gue pengen supaya lo ada temen. Nggak sendirian."

"Lo temen gue, gue punya temen kok."

"Basi, sya! Mau lo sembunyiin dimana juga tetep balik ke sonoh!"

"Ya, emang, iya juga sih" sahutku, sambil terkekeh.

Odi selalu menanyakanku perihal pasangan. Dan lagi-lagi aku menolaknya. Menurutku, saat ini bukan waktu yang pas untuk memikirkan sesuatu hal yang seperti itu. Masih banyak mimpi yang masih belum tercapai. Ada beberapa momen yang memang harus dilewati seorang diri.

"Hei, Man! Lo disini juga?" tanya seseorang yang tiba-tiba menghampiri Odi.

"Sama siapa lo?"

"Sendiri aja lah."

Aku segera menyepak kaki Odi. Aku memang tidak terlalu bisa beradaptasi dengan orang yang tidak ku kenal. Seperti yang baru saja datang. Teman Odi. Satu sekolah. Iya. Berarti satu sekolah dengan ku juga. Tapi rasanya aku tidak pernah melihatnya. Atau aku terlalu sibuk tidak peduli dengan sekolahku?. Pikirku.

Aku berdiri. Langsung keluar meninggalkan kedai kopi. Disusul dengan Odi yang mungkin akan bicara seperti ini dengan temannya tadi.

"Maaf, ya, bro. Temen gue emang gitu anak nya."

Atau tidak seperti ini.

"Gue duluan, ya. Biasa bawa peliharaan soalnya."

Atau mungkin seperti ini.

"Gue cabut duluan, ya. Takut harimau marah."

Aku sudah terbiasa dengan cara Gavin yang seperti itu.

"Jangan sering-sering minum kopi, ya, sya."

"Kenapa emangnya?"

"Pahit. Nggak baik buat kesehatan."

"Tau. Kalau aku balik nanya boleh?"

Ia hanya mengangguk.

"Kalau kopi pahit, terus kalau sabar itu pahit gimana?"

Ia hanya diam. Entah ingin menjawab apa. Yang jelas aku tidak tahu sampai kapan ia tidak bisa menjawab pertanyaanku. Tidak sulit sebenarnya. Tapi sangat sulit baginya untuk jujur.

Dua tahun yang lalu. Persis di depan kedai kopi yang tadi. Aku tahu, ia tidak akan mampu menjawab pertanyaanku. Sekalipun itu pertanyaan gampang tentang perasaannya. Ia hanya tidak berani jujur. Bukan tidak mampu menjawab pertanyaan ku yang entah keberapa kalinya. Tapi ia hanya takut. Takut jujur dengan dirinya sendiri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 26, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TujuanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang