Dengan Bara.

7 1 0
                                    

Mari. Kamu kuajak berbincang dengan Bara. Keluh kesahmu akan didengar olehnya dengan saksama. Kamu tak akan pernah bosan dengan kehadiran Bara. Bahkan, Bara mampu menenangkan segala keresahanmu. Percayalah. Bara itu menyenangkan. Kamu tidak akan menyesal karena telah kukenalkan dengan Bara.

Kamu kupersilakan untuk menaiki tangga terlebih dahulu. Sementara aku dan Bara akan mengikutimu sampai puncak. Padahal, kamu adalah orang asing bagi Bara. Bagi kamu pun, Bara adalah orang asing. Meskipun begitu, entah apa yang merasukimu, kamu memercayai Bara semudah itu. Syukurlah, karena aku telah mengenal Bara jauh lebih lama. Sehingga untuk memberi pengertian pada Bara akan lebih mudah nantinya.

"Haaaah." Kamu membuang nafasmu jauh-jauh. Seolah yang kamu buang bukan hanya nafas, melainkan segala kepenatan yang mengisi rongga dadamu hingga kamu sulit membuangnya di sembarang tempat.

Langit menjadi objek pertama yang kamu pandang. Gumpalan awan yang menutup jutaan bintang bergerak dengan cepat. Karena kamu tak kunjung bersuara, akhirnya aku turut mendongakkan kepala. Mungkin hatimu sedang berbincang dengan benda langit. Atau kamu sedang mencari inspirasi yang mampu mengguncang ragamu hingga pandanganmu tak kunjung lepas dari gumpalan awan yang terus bergerak itu.

Omong-omong, aku baru sadar kalau angin di atas sini berhembus lebih kencang. Aku buru-buru memandangi Bara. Ah, si Bara itu tidak sanggup berlama-lama di tempat berangin.

"Bara." Panggilmu.

"Jangan terlalu berangin," selaku, sebelum kamu melanjutkan kalimatmu yang sepertinya akan sangat berantai.

Menurut, akhirnya kamu memutuskan untuk memosisikan diri pada sebuah sudut yang gelap. Duduk bersama Bara yang kali ini berdekatan denganmu dibanding denganku. Aku tak perlu tahu ceritamu, karena aku sudah dapat menduga sebelumnya. Sementara Bara tak pernah tahu ceritamu. Sehingga tampaknya, Bara harus bersabar mendengarkan keluh kesahmu yang beranak-pinak itu sampai kamu tuntas. Tenang saja. Bara tidak akan keberatan. Ia akan pergi kalau kamu tak membutuhkannya lagi.

Setelah memastikan bahwa Bara telah mempersilakanmu untuk bercerita, kamu membuka mulut. Benar dugaanku. Kalimatmu sudah seperti layaknya kalimat tanpa tanda jeda. Bahkan tanda baca koma saja sepertinya tidak kamu izinkan untuk menyelinap masuk. Kulihat Bara yang bahkan bergeming, mendengarkan ceritamu dengan saksama.

Kamu merindukan tanah kelahiranmu. Kamu merindukan orang tuamu. Kamu merindukan adikmu yang selalu kamu ganggu. Kamu merindukan masakan ibumu. Kamu merindukan jalanan yang berlubang hingga kamu harus mengaduh ketika motormu sedang melaju cepat dan tak sengaja melewati lubang itu. Kamu merindukan teman-temanmu. Kamu merindukan kejadian yang tak mungkin terulang kembali. Dalam gelap, aku tak dapat melihat bagaimana rautmu. Namun, dari tiap-tiap kalimat yang kau ucapkan, aku yakin, kamu sedang mati-matian menahan tangis.

Menangislah, temanku. Bara tidak akan menertawaimu. Begitu pula denganku.

"Entah bagaimana aku dapat terdampar di tempat ini." Kamu bergumam. Lebih lirih karena suaramu yang sudah tercekat.

"Untuk beberapa saat, aku membenci takdirku sendiri. Aku tidak berharap agar dapat berada di sini."

Aku tak menyahut. Bukan karena aku malas mendengar keluhanmu, tetapi karena aku terlalu bingung untuk menanggapinya. Lagipula, kamu sepertinya tidak membutuhkan tanggapan. Yang sudah terjadi, terjadilah.

"Tapi, setidaknya ada kamu dan Bara."

"Aku yang mengenalkanmu pada Bara. Kamu memang sepatutnya berterima kasih."

"Kalau aku tetap di kampung halaman, aku mungkin tak akan bertemu Bara."

"Tidak. Tidak akan. Aku pun juga tak akan bertemu dengan Bara."

Hening sesaat. Kamu memandangi Bara dengan lamat-lamat. Aku membiarkanmu berduaan dengan Bara. Biarkan aku menghayati pemandangan kota dari atas sini. Lampu-lampu terlihat seperti bintang yang rendah. Seolah aku dapat menggapainya, padahal tidak. Mereka tetap jauh. Di bawah kita, terdapat pemukiman yang tak menyisakan jarak antarrumah. Walaupun begitu, aku tetap merasa tuli. Aku tidak sanggup mendengar apapun di bawah sana. Seolah aku dan rumah yang saling berdempetan itu dibatasi oleh dimensi yang berbeda.

Ku kembalikan perhatianku padamu. Kamu masih bergeming di tempatmu. Menyandarkan kepala, memandang lurus tanpa ada maksud apapun. Kisahmu belum selesai, aku yakin. Dalam kepalamu, kamu masih merindukan banyak hal. Bahkan sampai hal sepele. Dan Bara sudah pergi. Hanya menyisakan asap tipis yang mengudara dan akan segera hilang, menyatu dengan angin malam.

"Udahan?" Tanyaku.

"Panggil Bara lagi deh."

"Iya, silakan."

Dengan BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang