14. Seriously?

22 4 8
                                    

“Fan…”

Dua jam berlalu, Fany tak kunjung membuka matanya, gadis itu limbung seketika dihantam oleh kenyataan yang sama sekali tak disangka akan ia hadapi.

Lelaki itu, yang dikenalkan oleh Adi adalah dia yang Fany panggil ayah saat ia berusia 5 tahun.

Lelaki itu, adalah dia yang sudah membuat bundanya berubah semenjak lelaki itu mendatangi mereka, entah apa yang dilakukan olehnya sehingga membuat bunda menjadi pemarah dan sering murung.

Lelaki itu adalah dia yang ingin Fany kenalkan dan tunjukkan kepada teman-temannya yang selalu mengejeknya karena tak memiliki ayah seperti temannya yang lain. Tapi apa? Kemana dia saat Fany membutuhkannya? Kemana dia saat Fany menjadi bahan ejekan orang-orang sombong itu? Kemana dia saat Fany menangis dan butuh sosok yang menguatkannya?

Lelaki itu adalah dia yang sudah menerbangkan Fany bersama ribuan harapan yang tanpa menunggu waktu lama sudah berubah menjadi ribuan anak panah yang menghunus hatinya.

“Fan…” Adi kembali mencoba mengembalikan kesadaran Fany.

Namun usaha yang Adi lakukan nihil, Fany masih belum membuka matanya.

“Ini semua gara-gara Papa.”

Wilberto memejamkan mata, benar. Yang dikatakan Adi memang benar. Semua semua disebabkan oleh Wilberto.

“Pokoknya kalau sampai ada aapa-apa sama Fany, aku nggak bakal maafin Papa.”

Wilberto memilih diam, karna ia sadar semua yang terjadi memang karena kesalahannya.

“Fany cuma pingsan.”

“Cuma? Papa bilang cuma? Kalau dia punya penyakit jantung gimana?”

Wilberto tersentak dengan perkataan Adi, bahkan Adi pun ikut tersentak oleh perkataannya sendiri.

“Benar. Ayo tunggu apalagi. Kita bawa Fany ke rumah sakit.”

Keduanya tergesa dan bergegas, “Kamu siapkan mobil, biar Papa yang angkat Fany.”

“Papa Serius? Udah biar aku aja yang angkat Fany, Papa yang siapkan mobil.”

Keduanya terus berdebat hingga tak menyadari bahwa yang mereka ributkan untuk dibawa ke rumah sakit telah sadar dari pingsannya.

“Ssshh.” Fany meringis memegangi kepalanya yang terasa berdenyut.

“Adi, dengarkan Papa, biar Papa yang…”

“Stop bikin keributan, kalian bikin kepalaku serasa mau pecah,” ucap Fany membuat ayah dan anak yang sedang berdebat itu menoleh cepat bahkan Adi sempat meringis karena lehernya terasa nyeri akibat menoleh dengan kecepatan ekstra.

“Sana pergi, aku mau istirahat,”

Wilberto terkejut dengan cara Fany berbicara, terdengar sangat tidak sopan, ia merasa harga dirinya jatuh, ini serius? Ada yang berani mengusirnya? Di rumahnya sendiri? Ingin rasanya ia marah, tapi seketika itu dirinnya sadar, keadaan ini wajar terjadi. Fany masih syok, dan Wilberto yakin Fany pasti sangat membencinya. Ya benar, Fany pasti sangat membenci ayahnya ini yang kurang ajar, tidak bisa membuat keputusan secara tegas dan lemah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 13, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FIKSASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang