Bab 3

33 3 1
                                    

"Aya tunggu!!" teriakan melengking terdengar dari dalam tenda. Tak lama, datang lagi suara ketukan sepatu yang menyentuh bumi berlarian dengan penuh semangat.

"Kamu kenapa lama banget sih, Tar?" tanya Dhika mewakiliku.

"Ini udah gerakan tercepat yang pernah aku lakuin tau!" jawab Tari dengan nafas yang terbata.

"Tercepat aja masih telat kayak gini"

"Wajarlah, nama nya perempuan butuh waktu lama untuk bersiap" Tari tetap membela diri.

"Kamu doang kali, nih si Aya aja-"

"Dhika.." aku mencubit lengan Dhika pelan, mengingatkan untuk berhenti menyahut. Kalau terus saling melempar jawaban, sampai sore pun tidak akan selesai.

"Ayo kita berangkat" ajakku.

Pagi ini adalah hari pertama kami untuk memulai menjalani rutinitas sebagai relawan. Karena kami tim pengajar, maka tempat kami adalah di sekolah.

Sedangkan dua rekan kami yang merupakan tim dokter, ditempatkan di puskesmas yang terletak cukup jauh dari distrik ini.

Untuk hari ini Fira tidak ku izinkan untuk ikut pergi ke sekolah. Aku membiarkan ia beristirahat dulu karena penyakit sinusnya kambuh dan membuat ia merintih kesakitan sepanjang malam.

Ia sempat memaksakan diri untuk ikut, tapi aku melarang. Bila aku tetap membiarkan dia ikut, pasti rasa sakitnya akan datang lagi dan membuatku merasa bersalah.

Letak sekolah yang tidak jauh dari rumah, membuat kami tak harus menempuh perjalanan yang melelahkan. Hanya berjalan kaki saja, cukup menghabiskan waktu kurang lebih sepuluh menit. Dibantu oleh udara pagi yang menyejukkan, perjalanan ini terasa menyenangkan.

Sepanjang perjalanan kami banyak melihat anak-anak berangkat sekolah dengan penuh semangat. Jarum jam masih menunjukkan pukul enam pagi, tetapi mereka sudah menuju sekolah, padahal jam belajar di mulai pukul tujuh.

Hal tersebut berbanding terbalik dengan keadaan di Jakarta. Mayoritas anak didikku baru datang ke sekolah lima belas menit sebelum bel masuk. Atau bahkan beberapa murid masih ada yang terlambat, padahal tata tertib dan sanksi sudah terpampang jelas di atas papan besar mading sekolah.

Betapa besar rasa semangat kemauan mereka dalam menuntut ilmu. Dengan keterbatasan yang ada, mereka pantang menyerah menggapai mimpi. Ini pelajaran baru yang bisa kuambil sebagai bekal mendidik di Jakarta nanti.

Saat sampai, seorang pria paruh baya menyambut kedatangan kami di balik gerbang sekolah. Dengan senyum penuh arti, ia merentangkan tangan dan memeluk kami satu persatu, "Selamat datang" ucap pria yang bernama pak Loude itu. Dia adalah kepala sekolah di sini.

Ia mengajak kami berkeliling ruangan yang ada di dalam sekolah ini satu persatu. Tidak banyak, hanya ada enam ruang kelas, satu ruang guru, dua kamar kecil, dan satu ruang serba guna. Tak lupa, ada lapangan upacara yang merangkap sebagai lapangan olah raga, dan padang rumput yang sangat luas di belakang sekolah.

Tenaga pendidik disini m tidak terlalu banyak, bahkan bisa dibilang masih kurang memadai. Hanya ada tiga guru yang mengajar, termasuk bapak kepala sekolah yang menyambut kami.

Karena itu, jam mengajar di sini masih sangat fleksibel yang terkadang mengharuskan beberapa kelas yang berbeda tingkat tetap bergabung menjadi satu. Aku mendapat bagian mengajar di tingkat lima sekolah dasar.

Saat pertama kali masuk ke dalam kelas, semua siswa sudah duduk di tempat duduk masing-masing tanpa perlu di ajarkan. Tanpa bersuara sedikitpun, mereka memperhatikanku dengan seksama.

"Hai anak-anak. Selamat pagi" sapaku dengan senyum.

"Selamat pagi" jawab mereka kompak.

"Perkenalkan, nama kakak, Gayatri Maheswari, kalian bisa panggil kakak dengan sebutan kak Aya" ujarku memperkenalkan diri.

RAGASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang