(8)

3.8K 319 17
                                    

"Kak! Mas Zian disini." Ucap Juna yang seketika membuat gue melepaskan dekapan gue sekarang.

"Kamu nggak papa?" Tanya Mas Zian narik lengan gue untuk mendekat, gue diam tanpa respon apapun, nggak ada yang bisa gue berikan sebagai jawaban.

Gue nggak tahu harus bereaksi gimana sama Mas Zian, satu siis gue masih sangat khawatir sama Mama tapi mikirin Mas Zian yang setiap kali gue butuh dan dia nggak ada itu sangat membuat gue kecewa, gimana bisa gue memjawab semua pertanyaan Mas Zian sekarang?

"Rana, Mas ta_"

"Keluarga Ibu Intan." Gue narik paksa tangan gue yang digenggam Mas Zian begitu mendengar nama Mama disebut, mendengarkan penjelasan dokter dan setidaknya gue sekarang bisa sedikit bernafas lega, keadaan Mama membaik, nggak ada hal serius lainnya, gue cuma perlu lebih berhati-hati.

Menyelesaikan semua bagaian administrasi Mama dan memastikan kalau Mama udah istirahat dengan baik, gue merebahkan tubuh gue disofa dan menatapkan langit-langit ruang inap Mama sekarang, gue baru menyadari satu hal, Kenapa Juna yang gue pikirkan sekarang?

"Kamu udah makan?" Tanya Mas Zian yang sekarang ikut masuk ke ruang inap Mama, gue melirik Mas Zian sekilas, menggeleng pelan dan mulai memejamkan mata lelah.

"Ran! Mas rasa kita butuh bicara." Hembusan nafas lelah gue mulai kembali menyeruak, bicara? Untuk apa? Selama ini setiap kali gue butuh temen untuk bicara, Mas Zian nggak perna ada.

"Aku capek, Mas pulang aja, aku nggak papa sendirian." Ini adalah respon terbaik yang bisa gue berikan, gue masih bisa nahan kekesalan gue sekarang aja harusnya Mas Zian bisa paham keadaan gue gimana.

"Kamu ikut Mas atau kamu mau Mas ngomong disini?" Mata gue yang awalnya terpejam langsung tertuju untuk Mas Zian dengan tatapan yang sangat mensusuk, apa harus sampai kaya gini?

"Kalau aku ikut Mas, Mama gimana?" Apa sampai hal kaya gini harus gue jelasin, gue udah sangat merasa bersalah karena ninggalin Mama sendirian hari ini, apa harus Mas Zian nambah penyesalan gue?

"Biar aku yang nungguin Tante, kalian ngobrol aja nggak papa, Kakak juga belum makan apapunkan? Nggak papa, aku yang jagain, Kakak makan dulu, kalau Kakak ikutan sakit, Tante pasti bakalan ikut khawatir." Juna yang bersuara.

Yakin kalau Juna beneran bisa gue percaya, gue bangkit dalam diam dan berjalan meninggalkan ruang inap Mama lebih dulu, berjalan cepat tanpa banyak merespon semua pertanyaan Mas Zian, alasan pertama gue keluar adalah untuk makan, sisanya tergantung keadaaan nanti.

Selama nemenin gue disini, gue makan dalam diam dan Mas Zian terlihat cukup sabar menunggu gue menghabiskan makanan gue sekarang, nggak mempertanyakan apapun dan hanya memperhatikan gue sesekali, begitu gue menggeser piring makanannya, Mas Zian langsung menatap gue dengan raut wajah penuh rasa bersalah.

"Sekarang apa?" Gue bertanya lebih dulu, gue menghargai sikap Mas Zian yang memberikan gue waktu dan mau bersabar sebentar aja, setidaknya Mas Zian berusaha memberikan kenyamanan untuk gue.

"Mas minta maaf, Mas tahu Mas yang salah, maafin Mas." Permintaan maaf Mas Zian bahkan terdengar sangat tulus sekarang, permintaan maafnya sekarang malah membuat mata gue kembali berkaca-kaca.

"Aku tahu kalau Mas sibuk, aku juga tahu kalau Mas ngelakuin semua ini untuk memberikan yang terbaik untuk aku juga, untuk masa depan kita tapi Mas, aku juga butuh kehadiran Mas, aku butuh perhatian Mas, aku butuh waktunya Mas." Ucap gue cukup tercekat, gue berusaha jujur dengan apa yang gue rasain sekarang.

Menurut gue terbuka lebih baik, percuma gue bertahan dibalik kata bisa mengerti padahal nyata gue nggak ngerasa baik-baik aja, berusaha memenuhi semua kebutuhan gue itu baik tapi perasaan gue nggak menyangkut tentang harta aja, gue lebih butuh waktu dan kasih sayangnya.

Gue mau Mas Zian lebih bisa membagi waktu, gue juga butuh kehadirannya, bukan cuma nitipin gue untuk dijaga Juna atau Kak Vanya sekalipun, yang gue butuhin itu Mas Zian langsung, apa sangat sulit untuk Mas Zian paham? Mas Zian yang dulu nggak kaya gini.

"Apa Mas masih cinta sama aku? Apa Mas punya perempuan lain?" Entah kenapa pada akhirnya gue sampai mempertanyakan hal kaya gini.

Gue terlalu takut kalau perubahan sikap Mas Zian beralasan lain, gue takut kalau perasaan Mas Zian berubah tanpa dia sadari, apa salah kalau gue berpikiran kaya gini?

"Kamu nanya apa sih Ran? Perasaan Mas akan selalu sama, cuma kamu yang Mas cintai, Mas nggak akan berpaling untuk perempuan lain." Mas Zian bahkan langsung bangkit memeluk gue sekarang.

"Aku takut Mas, gimana kalau perasaan Mas berubah? Gimana kalau perasaan aku yang berubah?" Gue mengkhawatirkan hal ini.

Menurut gue, nggak masalah gue sama Mas Zian jarang ketemu tapi komunikasi harusnya tetap baikkan? Alasan orang bisa bertahan dengan hubungan jarak jauh apa? Komunikasikan? Ini gue nggak terhalang jarak tapi untuk bisa ketemu sama Mas Zian aja terlalu sulit.

Awalnya Mas Zian mulai sering membatalkan janjinya, Mas Zian mulai sering mengabaikan panggilan gue, Mas Zian mulai jarang menghubungi dan nanya keadaan gue gimana, semua sampai berakhir ke tahap gue yang ngechat atau nelfon duluan cuma untuk izin keluar, gue yang ngasih laporan lebih tepatnya, apa wajar kalau gue ngerasa kaya gini sekarang?

"Perasaan Mas nggak akan berubah, kamu jangan pernah mikir kalau Mas punya perempuan lain, untuk ada buat kamu aja sulit, kapan Mas punya waktu untuk perempuan lain Ran? Mas cuma cinta sama kamu, Mas cuma butuh kamu." Mas Zian terus berusaha meyakinkan gue.

"Mas tahu kalau Mas salah, Mas kurang punya waktu dan jarang memperhatikan kamu tapi punya perempuan lain itu gila, kamu sama Mas jelas tahu apa yang udah kita lewati sampai bisa di tahan yang sekarang, Mas nggak akan sebodoh itu untuk melepaskan kamu." Mas Zian melepaskan dekapannya dan kembali menatap gue khawatir.

Kalau boleh jujur, gue memang nggak yakin kalau Mas Zian akan berpaling dari gue cuma karena perempuan lain tapi sikapnya sendiri yang membuat gue berakhir punya pemikiran kaya gini.

"Tapi kalau perasaan aku yang berubah gimana Mas? Jujur aku ngerasa kalau Mas udah bukan orang yang aku kenal dulu, rasanya kita berdua semakin asing." Kaya tadi, gue memilih memeluk Juna dibandingkan Mas Zian juga bukan tanpa alasan, lambat laun gue sadar kalau disaat gue butuh seseorang, udah bukan Mas Zian yang gue harapkan.

"Maksud kamu apa? Kamu jatuh cinta sama laki-laki lain? Jawab Mas." Tatapan Mas Zian sekarang berubah.

"Aku nggak jatuh cinta sama laki-laki lain." Ini pasti, kenapa? Karena kata cinta terlalu jauh, gue belum melupakan Mas Zian, gue masih memikirkan dia.

"Terus kenapa kamu ngomong kaya gitu?" Mas Zian mengusap kepala gue sekali.

"Aku memang nggak jatuh cinta sama laki-laki lain tapi aku tetap harus jujur, sekarang disaat aku punya masalah, aku ngerasa kalau bukan Mas yang pertama kali aku pikirin, aku mau Mas tahu ini." Gue berusaha memberikan jawab sejujur mungkin.

Menatap gue nanar, Mas Zian kembali mengusap kepala gue dan membawa gue masuk kedalam dekapannya, ini adalah sikap Mas Zian yang gue inginkan, mendengarkan dan ada waktu untuk gue, gue nggak meminta semua waktunya tapi sisihkan kalau memang Mas Zian menganggap gue penting.

"Mas akan ngelakuin apapun untuk mengubah pikiran kamu sekarang, Mas nggak akan pernah melepaskan kamu." Mas Zian mengeratkan dekapannya.

"Ayo percepat pernikahan kita!" Hah?

My Little HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang