bayangan.

26 2 0
                                    

Rumahnya sepi.
Berpenghuni tapi tak tepi.
Aku kira semuanya mati, tapi mereka berdiri.

Meski tak tegak, tapi masih mampu.
Bertumpu, menyatu.
Mungkin mereka lebih sering duduk,
hingga tak terlihat bagai hantu.
Atau benarkah mereka disebut hantu?

Katanya hantu bertubuh kaku, tapi penghuninya dapat berjalan.
Katanya hantu dingin dan beku, tapi penghuninya terlihat bernyawa.
Aku penasaran,
ku intip jendelanya.

Yang satu sedang menonton layar warna-warni, yang satu lagi asyik mondar-mandir.
Sesekali mereka bertemu di ruang tamu, melempar senyum, lalu memunggung.
Meski menyatu, tak pernah mereka terlihat menjadi satu.

Tak berpelukan, tak saling merasakan.
Senyum hanya berperan sebagai pemanis belaka,
pertanda mereka punya kehidupan. Tak disangkal mereka cinta keanehan.

Aku coba bertamu.
Yang kulihat suasana penuh biru, sejuk tapi kelabu.

Mereka sambutku dengan terbuka.
Tak senyum lebar, tapi kutahu mereka menerima.
Ramah, tapi penuh tanda tanya.
Kami berbincang seperti tetangga betulan, hanya saja rasanya aku terkecam.
Tatapan dingin mengharap asa.
Lontaran kata-kata bermakna fana.
Selama kami berbalas pandang, ku perhatikan gerak-geriknya.

Kalem, rapi,
tak banyak basa-basi.
Lalu terbesit untuk bertanya tentang mereka--- tentang apa mereka.

"Kalian jarang keluar, jarang terlihat. Kenapa?" mulaiku.

Aku hanya dibalas senyum tipis.

"Rumah kalian tertutup, bahkan lalat pun tidak berani menyusup. Kenapa?"

Tak ada balasan.

"Apakah kalian bisa rasakan udara? Apakah kalian kebal terhadap sakit? Kalian tidak pernah bicara pada siapapun. Yang ingin bertamu selalu kau tutup pintu. Kenapa kalian biarkan aku?"

Si wanita buka mulut, "Kami biarkan orang memendam tanya.
Kami teruskan hidup dengan tenang.
Kami diam, tapi kami melihat.
Kami bisu, tapi kami mendengar.
Kami senyum, tapi kami sengsara.
Kami mengubur duka dalam-dalam.
Kami memang aneh, tapi kami tak peduli.
Kami biarkan orang memendam tanya.
Mereka lihat suram, mereka lihat kelam.
Kami awasi mereka yang mengawasi.
Kami---"

"Kami bungkam berkat mereka yang acap mengancam," si pria memotong dengan penuh wibawa.

"Ini tempat tinggal kami dan mereka penasaran.
Ini tempat kami berdiam dan mereka ingin jarah.
Kami usaha ciptakan ketenangan dalam dunia penuh kewaspadaan.

Saat kami menghilang sementara, banyak yang menyelinap.
Banyak yang melakukan pencarian.
Banyak yang maksiat.
Namun, saat kami tampakkan diri,
banyak yang kehilangan sifat jagoan.
Banyak yang minta pertolongan.
Banyak yang mengumpat.

Lalu kau bilang yang ingin bertamu tak dibukakan pintu?
Kau tak ada di jam malam, kau tidak berkeliaran.
Pintu kami terbuka, tapi untuk yang diperbolehkan.
Pintu kami tertutup, tapi tetap saja orang-orang tak biadab itu cari urusan.

Kami bisa rasakan udara walau hampa.
Kami tidak kebal rasa sakit karena kami tidak sempurna.
Kami biarkan orang memendam tanya karena kami tak cinta keramaian.
Kami sampaikan suasana kelam karena kami terbiasa hidup dalam bahaya.
Kami bernyawa, tapi tak bernyawa.
Kami bernapas, tapi tak bernapas.
Kami terjebak dalam ruang lingkup sendu.
Kami tak dapat beranjak ke kampung halaman karena kami belum terpanggil.
Kami tidak abadi, tapi kami tak akan mati.

Kami hanya di sini, seperti mereka.
Tapi kami bukan mereka.
Kadang tak terlihat, mengerikan, atau mengenaskan.
Kami perhatikan mereka.
Kami awasi mereka.
Kami hanyalah bayangan dalam pekatnya malam.
Bergentayangan hingga waktunya tiba."

bayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang