Sebuah Kisah

8 1 0
                                    

Hal terberat dalam LDR bukanlah jarak, tapi pilihan untuk bertahan atau meninggalkan.

Sering kali muncul pertanyaan, sebenarnya hubungan apa yang sedang kujalani? Apa hanya status, status sebagai sebuah kebanggaan tersendiri atau zona aman untuk terhindar dari pertanyaan tentang jodoh yg tak henti-hentinya, atau sebagai pengisi rasa bosan. Sebuah kegiatan yang tak pernah dirindukan saat sedang sibuk-sibuknya dan hanya dirindukan dalam waktu senggang. Seiring berjalannya waktu saya menyadari satu hal, bahwa ini bukan masalah anggapan bagi saya yang menjalani. Tapi ini perihal tanggungjawab moral.

Selama bertahun-tahun saya merasa nyaman dengan kesendirian. Hingga akhirnya muncul seseorang yang dengan sabar menunggu saya membuka hati. Pintu itupun terbuka, apa yang kulakukan semasa sebelum berpacaran tak jauh berbeda. Dunianya adalah dunia saya. Saya ibarat sebuah buku yang memuat rutinitas nya. Kami memang berbeda kota, tapi saya seakan mengikuti rutinitas nya.

Memang terkadang ada perasaan sedih saat melihat teman-teman lain bisa bersama pasangannya. Sedangkan saya hanya bisa mendengar suara dan membaca chat darinya. Anehnya tak ada kekhawatiran apapun, saya percaya penuh padanya demikian pula sebaliknya. Terkadang risi dengan percakapan monoton setiap harinya seperti mesin penjawab otomatis. Meski terkesan penuh perhatian tapi bisa jadi hanya sebuah formalitas. Saya tak masalah dengan jarak. Meski berpengaruh dalam hubungan tetapi tergantung pada orang yang menjalaninya.

Jodoh memang sudah suratan Tuhan, tapi menyerah bukan cara yang dianjurkan Tuhan.

Ini tentang komitmen. Dan usaha keras menjaganya. Meski berat, meski banyak sekali godaannya. Terlalu berbeda dari kebanyakan orang. Tapi kuyakin nilai kebenarannya.

Ini bukan tentang orang lain. Yang akan protes bila saya melanggar. Yang justru mendukung jika saya melangkah keluar. Yang tidak tahu menahu perihal janji yang pernah kubuat dengan diri sendiri. Iya janji dengan diriku sendiri, yang bila dengan diriku sendiri saya melanggar. Lalu bagaimana bisa saya meyakinkan orang lain.

Dia jiwaku. Yang tidak akan tenang bila tahu telah kucurangi. Yang akan terus menghantui dengan rasa bersalah ketika tahu dikhianati. Yang barang kali tidak akan mendengarkan ketika aku mencoba menjelaskan. Dan barangkali tidak akan peduli ketika kutawarkan komitmen yang baru.

Tak bisa bertemu sepanjang waktu membuatmu dan saya menghargai semua yang diberikan semesta. Kita belajar lebih mengerti setiap bisa bersama. Belajar menghadapi hari seorang diri. Perlahan, kita mengerti bahwa ikatan adalah soal frekuensi hati. Ia akan tetap terjalin baik, selama masih diusahakan dalam satu gelombang yang disepakati.
Jika boleh memilih, tentu aku ingin di sisimu sepanjang hari. Namun kau tak perlu khawatir, sebab jarak ini juga sangat ku syukuri.

Berbincang denganmu adalah alasan bahagiaku, obat kerinduanku dan pelengkap ceritaku.

AyunanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang