“Jauh ku bukan berarti tak peduli, aku hanya tak ingin jika kita terlalu dekat kau akan selalu tersakiti.”
Angin malam berhembus kencang seperti biasanya, menyapu kulit dan membuat rambut kecil di tangan dan kakinya jadi berdiri. Terlebih dia, Raya, tengah menikmati suasana di balkon kamarnya dengan hanya menggunakan T-shirt putih dan celana jeans hitam di atas lutut membuat angin sangat leluasa membelai kulitnya membuatnya menjadi merinding.
“Gue baru tahu kalo ternyata kota Bandung bisa dingin banget kalo tengah malem,” gumam Raya mencengkeram cangkirnya yang hanya berisi coklat yang sudah dingin.
Raya mendecak. Dia malas enyah dari tempat duduknya, namun waktu kian berputar membuat malam semakin larut dan suasana semakin dingin, Raya pun mau tak mau bangkit dan masuk ke ruangan luas bernuansa pink, kamar tidurnya.
Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam namun Raya masih belum mengantuk. Raya tak tahu apa yang harus dia lakukan sebelum rasa kantuknya datang. Di dalam kamarnya, tak ada sesuatu yang menarik untuk di jadikan teman. Raya sudah bosan jika harus memainkan seluruh alat elektronik miliknya. Mulai dari ponsel, playstation, laptop, macbook, dan alat-alat lainnya. Lagi pula, selama satu hari penuh Raya tak keluar dari kamarnya, bagaimana dia tidak dilanda bosan?
Raya menghembuskan nafas kasar dan menjatuhkan tubuhnya di atas karpet berbulu yang ada di depan televisi, tak jauh dari kaki ranjangnya. Raya tersenyum kecil menatap langit-langit kamarnya yang di penuhi oleh coretan abstrak buatan tangannya. Art? Masih sangat diragukan.
Raya memejamkan matanya. Namun suara yang berasal dari perutnya membuat mata Raya kembali terbuka.
“Perasaan, dari pagi gue belum makan deh,” katanya lirih, memegang perutnya yang rata.
Sudah dua kali posisinya yang nyaman terganggu. Raya kembali bangkit dari posisinya. Raya sangat malas harus keluar dari kamarnya, namun Raya juga tak tega pada kumpulan cacing di perutnya. Raya tak ingin tubuhnya yang sehat dan terbilang ideal dengan tinggi mencapai 160 cm dan berat badan 43 kg jadi kurus kering. Waktu pun dapat memastikan bahwa seluruh penghuni rumah sudah berada di kamarnya masing-masing.
Raya berjalan santai menuruni tangga menuju ke dapur. Melewati ruang tengah rumahnya yang sudah gelap. Sesampainya di dapur, Raya membuka tudung saji dan sedikit terperangah melihat meja makan yang mewah kosong tanpa tanpa ada sepotong pun makanan. Raya kembali menyimpan tudung saji itu pada tempatnya. Raya beralih dan membuka pintu kulkas besar yang berada tak jauh dari meja makan. Namun sama saja, tak ada apapun kecuali sayuran mentah, beberapa potong red velvet, dan susu murni berbagai varian rasa.
“Gak ada satupun makanan kesuakaan gue disini,” gumam Raya pelan. “Ngaca dong, emangnya lo siapa, Raya?!” lanjutnya tersenyum miris dan kembali menutup pintu kulkas.
Kini pandangannya beralih pada sebuah rak yang ada di atas meja kompor. Raya mengedikan bahu tak peduli dan berjalan ke sana. Raya mengambil panci dan di isi oleh tiga gelas air dan mendidihkannya.
“Berasa jadi anak kost dah gue,” kata Raya seraya mengambil satu bungkus mie instan dari rak dan langsung memasukkan mie ke dalam panci. Tak lupa juga, Raya menambahkan sepotong bakso, telur, dan sawi untuk menambah porsi mienya. Sembari menunggu makanannya matang, Raya mengambil mangkuk dan memasukkan semua bumbu ke dalamnya.
“Kak Raya,” panggil seseorang dengan suara lembut dari belakangnya.
Refleks adalah jalan impuls hidup manusia, responis yang di lakukan sebelum otak mampu menemukan jawaban. Raya yang tengah memotong cabe rawit pun menghentikan aktivitasnya kala namanya di panggil. Raya menghembuskan nafas pelan, Raya tahu betul siapa pemilik suara itu. Raya menoleh dan mendapati seorang gadis cantik dengan piyama bergambar doraemon tengah berdiri di ambang pintu dan tersenyum sangat manis ke arahnya. Di rumah ini, hanya ada satu orang yang akan tersenyum pada Raya, yaitu dia. Nyala Alisya Farandya, adik tiri Raya dengan usia terpaut dua tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raya
Teen FictionRaya Alexa Farandya, gadis SMA yang membenci keluarganya sendiri karena Raya pikir kematian ibu kandungnya disebabkan oleh ibu tirinya. Sangat lama kebencian itu bersarang di hatinya sehingga membawa Raya pada sosok bad girl, hal ini juga menjadi pe...