1

805 76 8
                                    


[i]

.

.

Memangnya aku mau begini? Menjadi wanita kurang sempurna, terus hidup dengan penuh rasa bersalah, berpuluh tahuh bernapas berpuluh tahun juga hatiku terus sakit, bisa saja aku gila, bisa saja pikiranku rusak, tapi aku beruntung memiliki dia, laki-lakiku yang tetap menatapku dengan kasih, tak menuntutku seperti yang lainnya, dia yang ku sebut dengan belahan jiwa, yang terus memegang tanganku dengan erat, dia yang ku pikir arogan pada awalnya dingin dan tak berperasaan, tapi malah dia, yang sungguh menguatkanku sampai akhir, sampai aku sadar, aku pun layak untuk hidup, walaupun aku tak sempurna.

Dua puluh tiga tahun usia pernikahan kita, kau ingat dulu kau begitu gagah memakai jas hitam dengan wajah stoik, tulang rahang tegas, wajah tampan juga sedikit manis, kita menikah di usia muda, kita ingin cepat-cepat saling memiliki, takut diambil orang, kita percaya pada cinta, dan aku tak pernah menyesal untuk itu.

Yang aku sesali hanya tentang Sarada, kita kehilangan dia, diusia dia yang belum genap satu tahun, karena dia tak nyaman dan terus sakit berada di dalam organ tubuhku, dia dipaksa keluar kalau tak mau terus-terusan meminum racun yang entah kenapa bisa bersarang diperutku yang seharusnya menjadi rumahnya yang paling nyaman.

Kau ingat tubuhnya kecil sekali saat itu? Dia tampak kesakitan saat menangis, dia menderita, jika saja bisa aku menukar hidupku dengan dia, pasti akan ku tukar, tapi itu mustahil, dia pergi begitu saja di malam yang sunyi, bersama rahimku yang harus diangkat, aku berharap rahimku itu bisa menjaga Sarada di surga.

Kau ingat orang-orang disekitar kita terus berbicara, tak sedikit yang menyuruhku untuk meninggalkanmu karena kau itu Uchiha, keluarga terhormat, membutuhkan banyak keturunan agar Uchiha tak habis, aku setuju dengan mereka, aku akan pergi untuk kebaikanmu, tapi kau terus menahanku, memarahi semua orang termasuk orangtuamu, bahwa kau mencintaiku apa adanya, tak mengharapkan apapun, tak menuntut apapun, termasuk tentang keturunan, kau bicara betapa kesulitannya aku menjalani hidup, merasakan sakit, dan kau memutuskan untuk hidup denganku selamanya, dan itu benar, kau masih selalu ada disini disaat umur kita mendekati kepala lima.

"Sasuke," jari-jari kurusmu tak bisa membohongi betapa menderitanya karena mengidap penyakit yang parah, tentu saja kau hanya akan menyipitkan mata untuk menjawab ucapanku, karena mulutmu dibungkam oleh alat itu, kau tak bisa bicara lagi.

"Aku sudah selesai, kau tau ini adalah rekor baru dalam hidupku sehari aku mengoperasi sepuluh orang, menyenangkan sekali melihat mereka kembali tersenyum," kau menggenggam jariku erat, matamu kembali menyipit, seolah sedang berbicara bahwa kau bangga padaku, dua puluh tahun bersama, aku bahkan terlalu tau walaupun kau tak bersuara.

"Kau juga harus sembuh," kau mengangguk, aku bahagia, kau tetap berusaha untuk tetap hidup walaupun keadaanmu sulit sekali.

"Karena jika kau mati, aku pun akan ikut," ucapku tanpa sadar, kau langsung melepaskan tautan jarimu, menatapku tak suka lalu menggeleng.

"Euuuh,"

"Memangnya kenapa? Bukankah itu perjanjian pernikahan kita, selalu bersama sampai akhir?" aku merasa lenganmu yang dipenuhi selang-selang kembali menggenggam jariku erat, lalu membawa lenganku pergi pada detak jantungmu, tak lama lenganmu itu mengetuk-ngetuk dadaku, seolah berbicara bahwa kau akan ada dihatiku selamanya.

"Sasuke," aku ingin sekali menangis tapi aku malah tersenyum, kau pun kembali menyipitkan matamu, kita tersenyum bersama, walaupun tanpa kata yang tersirat, bahkan aku melihat wajahmu lebih tampan dari biasanya, benar kata mereka, kita tak menua, hanya waktu saja yang terus berjalan.

Aku masih ingat, kau yang selalu duduk diam memperhatikan aku yang terus menangis karena kehilangan Sarada, kau terus saja keras kepala untuk selalu bersamaku, padahal kau itu Sasuke, laki-laki yang membuatku buta bahkan sampai memusuhi sahabatku sendiri, kau memiliki segalanya, kau bisa mendapatkan apa saja, tinggal memilih, tapi kau malah terus duduk disini, diam saja, menungguku berhenti menangis.

"Kenapa?"

"Karena aku mau bersamamu sampai akhir,"

Tiba-tiba aku mendengar ruanganmu ramai, kau tersedak sesuatu, doktermu datang dengan sedikit berlari, aku melihat tubuhmu terus bergelinjang menahan sakit, aku tau posisi ini karena sebagai dokter aku pernah mengalaminya, aku tau penyakitmu sulit disembuhkan, aku tau tak ada kemungkinan untukmu kembali pada hari dimana kita tidur sambil berebutan selimut, aku tau untuk sekadar membuka mata kau kesulitan, tapi kau selalu saja bertahan, apa kau masih ingin menepati janji, apa kau sebenarnya tau bahwa aku tak rela jika ditinggalkan, apa ucapanku terus membebanimu?

"dokter Sakura, kondisi suamimu melemah"

"Lakukan yang terbaik aku mohon, lakukan apa saja...." tapi wajah Sasuke yang meringis kesakitan, juga suaranya yang membuat sesak, terus terngiang, Sakura tak tega.

"Boleh aku berbicara dengannya sebentar?" dokter itu tampak berpikir sejenak lalu mengangguk, mungkin istrinya sudah sadar dengan keadaan ini.

"Sasuke," laki-laki berusia empat puluh delapan tahun itu menatapnya dengan sedikit airmata yang masih tersisa di pipi, tapi dia sekarang menyipitkan matanya, berusaha tersenyum, melihat ini Sakura merasa hatinya lebih sakit.

"Kalau tak kuat tak apa-apa, jangan dipaksakan," Sakura mengusap air yang tersisa itu, lalu mengecup pipi suaminya yang di penuhi oleh keringat dingin.

"Tapi kau harus berjanji, kau akan menungguku disana ....bersama Sarada," malam itu terasa sangat sepi, tapi cahaya bulan masih menunjukan taringnya, walaupun hatinya sakit, cuaca malam ini cukup cerah.

Fin

***

Sampai AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang