#2 Malam Itu

440 43 2
                                    

“Lo tajir ya? Beli buku baru mulu.” Ujar Ayuna saat mendapati gue yang sedang ngeletekin plastik pembungkus buku yang baru gue beli tadi sore.

“Maksud lo?” Balas gue sinis. Melemparkan buku yang plastiknya baru sobek setengah ke dalam ransel gue.

“Itu lo beli buku baru mulu, beda sama saya yang rakyat jelata. Saya mah kalo beli buku ke jalan Kartini, bukannya ke mall.” Dia memainkan potongan kubis yang tersaji di meja tenda pecel lele langganan kami. Menurunkan intonasi suara menjadi lebih rendah dari biasanya, meniru dialog di seri Eropa klasik yang belakangan sering ia tonton.

“Kok anda rese’ ya?”

“Saya rese’ kalo liat orang sok tajir.” Gadis itu melipat lengan. Terlihat siap membuka sesi debat tidak penting lainnya.

“Emang gue tajir, trus lo mau apa?” Gue ga mau kalah.

Ayuna sudah siap mengeluarkan balasannya, tapi terhenti karena pelayan yang mengantarkan pesanan pecel ayam kami.

Lucu. Kami sudah langganan di warung tenda pecel lele ini, tapi tidak pernah sekalipun membeli lele. Terus menerus memesan pecel ayam sebagai makan malam.

“Lo ga usah sok tajir. Masih kalah lu sama Wahyu.” Desisnya sebelum berdiri untuk mencuci tangan.

Wahyu yang dia maksud adalah maba FISIP yang belakangan sedang diincar oleh Jae untuk bergabung ke tim paduan suara. Menurut Jae, suaranya sudah mantap tidak perlu banyak diajari, ditambah wajah ganteng sebagai nilai plus. Dia bisa meningkatkan eksistensi ukm padus di kalangan dedek gemes.

First impression gue ke dia mirip seperti gue pertama kali liat Sandhi, ketara banget dia tumbuh di keluarga yang baik. Penampilan yang rapi, punya tutur kata yang halus, serta kepribadian yang tenang, seakan meneriakkan bahwa dia adalah sosok ‘tuan muda’ dari daerah elit di Jakarta.

Apesnya tuh anak ternyata satu komplek kosan yang sama dengan si bule kesasar. Alhasil Jae hampir selalu membuntutinya atau malah mengajaknya untuk bergabung makan malam bersama kami, seperti sekarang ini.

“Si anying udah makan duluan aja lo bedua, ga nungguin gue.” Gerutu Jae saat masuk ke warung tenda.

“Lo bahasa Indonesia yang baik dan benar aja belum lancar, sok sokan belajar ngumpat.” Oceh gue yang dibalasnya dengan cibiran.

Setelah memesan makanan, Jae duduk di sebelah Ayuna, sementara Wahyu duduk di samping gue. Tanpa sadar mata gue langsung terfokus pada jam tangan yang kelihatannya sangat pas di tangan kirinya.

Gue jarang tertarik pada hal-hal sepele seperti aksesori, gadget, ataupun lainnya. Tapi melihat kunyuk di sebelah gue ini make jam tangan yang notabene harganya lebih mahal dari mobil, bikin gue ga bisa nahan diri untuk melirik, walau sebentar.

“Gimana? Tetep ga mau ikut padus?” Gue menyikut Wahyu.

Wahyu mengangguk, mengiyakan. “Ga dulu deh. Tiga tahun di SMA gua udah di padus. Masa kuliah padus lagi. Mau coba yang lain, apa kek.”

“Debus mau lo?! Makan beling gitu” Sinis Jae

“Ngide tuh yang bener dikit kenapa sih. Ngeband kek. Malah ngide buat debus.”

Kami bertiga, tepatnya gue, Jae, dan Wahyu terperanjat karena kalimat yang dilontarkan Ayuna.

“Boleh tuh, ngeband. Gue bisa main gitar juga.” Seketika mood sinis Jae berubah cerah.

“Gue bisa main keyboard.” Meski dengan jawaban yang kalem, terlihat jelas Wahyu tampak lebih bersemangat ketimbang saat membahas tawaran untuk bergabung ke paduan suara sebelumnya.

Malam itu, di bawah tenda pecel lele, kami membahas untuk membentuk formasi grup. Ayuna langsung mengusulkan agar kami membujuk Sandhi untuk mengambil posisi sebagai cajonist. Gue yang awalnya masih ragu untuk ikut, didesak Ayuna untuk ambil bagian setelah gue bilang gue bisa main bass dan sedikit ngerap.

Gue ga pernah menyangka bahwa sosok Ayuna akan memiliki peran penting dalam setiap pilihan-pilihan yang gue ambil.

.
.
.

pendek banget yak 😂

Beautiful LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang