Satu

13 17 0
                                    

29 Juni 2016, Jakarta
GADIS itu meminum segelas cokelat panas sambil menyandarkan punggung di sofa, di sebuah kafe. Cuaca tahun ini lebih panas dari biasaanya. Sementara itu,

melihat bagaimana ramainya Jakarta dari lantai dua kafe itu—bagaimana mobil dan motor saling berjejer di sepanjang jalan—sudah cukup membuatnya senang, seperti yang dia lakukan sekarang.

Akan tetapi, kesenangannya saat ini, seketika sirna sast tahu dirinya tidak akan kembali ke tempat ini lagi. Minggu depan, dia harus menghadapi ujian akhir untuk anak SMA seangkatannya.

"Sedang melihat apa?"

Keeyara berjengit kaget, dia menoleh dan mendapati seorang laku-laki sebayanya di hadapannya. Laki-laki itu tersenyum singkat lalu meletakkan makanan pesanannya di meja, sebelum kembali menenggelamkan dirinya kedalam buku pelajaran yang sangat tebal.

"Sesekali berhentilah, selalu belajar dan belajar. Sama sekali enggak asyik," gerutu Keeyara sebal.

Revan menjentikkan jarinya di dahi Keeyara. Si gadis merasa kesakitan.

"Minggu depan saat yang menentukan bagi kita siswa kelas dua belas. Kalau kamu tak mau di basis terakhir, seharusnya sekarang kamu belajar."

Muka Keeyara memanas. Dia memberengut. "Sebenarnya setiap malam aku selalu belajar. Entah apa yang terjadi dengan otakku sehingga begitu sulit mengingat pelajaran."

"Kalau kamu benar-benar berusaha, mata tak ada sesuatu yang tak mungkin," timpal Revan.

"Ya, ya ... terserah." Keeyara mengalihkan perhatiannya ke taman depan sekolah yang berada di kiri jalan. Dari lantai dua kafe ini, dia bisa memperhatikan semuanya dengan jelas. Tapi, ada yang aneh.

Teman-temannya yang sedang beraktivitas di sekitar taman itu tiba-tiba berhenti. Keeyara menyipitkan matanya untuk memastikan. Keeyara bisa merasakan atmosfer keanehan, bulu kuduknya berdiri sempurna.

Dari semua anak yang memenuhi lapangan, dia melihat seseorang membelah kerumunan. Lebih tepatnya, seseorang yang sudah dianggapnya sebagai hantu manusia di sekolah. Seorang perempuan. Kulitnya putih, kontras dengan pakaian yang selalu dikenakannya. Hitam. Selendang merah terlilit di lehernya.

Rambutnya panjang tampak tak terawat. Ada warna hitam di sekitar matanya, dan yang paling ditakuti seluruh siswa si sekolahnya, yaitu kakinya yang tinggal sebelah. Kaki kanannya menghilang meninggalkan jejak darah yang menetes.

Banyak rumor tentang gadis itu. Salah satunya jika ada yang menatap matanya, itu akan menjadi hari terakhir baginya. Gadis itu dikenal sebagai Dewi Kematian.

"Apa ada yang salah?" Alis Revan terangkat sebelah saat menatap Keeyara.

"Entahlah, aku merasa ... ketika melihatnya, aku enggak bisa memberhentikan otakku untuk terus berpikir. Apa yang telah aku lakukan? Atau apa saja yang menjadi akibatnya," ujar Keeyara.

"Siapa? tanya Revan bingung.

Keeyara tersenyum paksa. Dia tak mau menjawab. Perasaannya sedang tidak enak. Dia tahu pasti ada cerita di balik sang Dewi Kematian itu.

***

Hari sudah mulai gelap. Keeyara berlari memasuki gerbang sekolah. Dia merutuki kesalahannya hari ini, HP-nya tertinggal di kelas saat pelajaran olahraga. Meskipun dirinya ketua kelas yang memegang kunci kelas, tapi pikirnya tidak menutup kemungkinan ada pencuri yang bisa dengan mudah membukanya.

"Sial!" Makinya saat sadar tubuhnya mulai kedinginan. Dia harus cepat.

Tangannya merogoh saku, berusaha mengambil kunci lalu memasukkannya ke lubang pintu. Dia merasa ada bayangan kilar yang berjalan di belakangnya. Ah, ini perasaanku saja.

Saat pintu kelasnya mulai terbuka, suasana gelap menyambutnya. Seperti sudah hapal dengan baik, dia berjalan ke arah saklar lampu kelasnya.

"Rusak?" Keeyara menggeleng. Seingatnya, kemarin kelas ini masih baik-baik saja. Dia takut kegelapan dan memilih kembali ke luar. Keeyara berlari mencari seseorang yang bisa dimintai tolong, meskipun agak sulit menemukan orang yang berkeliaran di sekitar sekolah jam segini.

Saat hampir berbelok di pertigaan koridor sekolah, dia melihat seorang perempuan sedang duduk di taman, membelakanginya.

"Apa ... Anda bisa membantu saya?" Tanya Keeyara lirih. Dia merutuki suaranya yang terdengar ringkih.

Beberapa menit menunggu—sampai merasakan kakinya kram—
tak kunjung ada jawaban dari perempuan itu. Semilir angin bau bunga kamboja tiba-tiba menyelusup hidung Keeyara. Dia berdecak. Kenapa harus bau bunga kamboja?

"Maaf, saya benar-benar membutuhkan pertolongan. Apa anda bisa membantu saya? Sebentar saja ...," mohon Keeyara berharap cemas.

Tetap tak ada jawaban. Keeyara kesal dan memutuskan untuk meminta bantuan kepada orang lain. Tanpa disangka, perempuan itu menoleh. Keeyara langsung menatap perempuan itu. Tapi, perempuan itu ....

"Kamu ...?" Ujarnya dengan suara yang serak dan terbata. Kini, dia bisa merasakan bau bunga kamboja yang tadinya hanya sekilas lewat itu, semakin menyeruak. Keeyara mematung, tak bergerak.

Mata sosok perempuan di hadapannya menatapnya tajam. Sama sekali tak berkedip. Keeyara benar-benar tidak bergerak dan matanya kini seolah terkunci.

Dewi Kematian?
—————
© 2019

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 17, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang