Si Anak Sungai

40 0 0
                                    

BAB 1

Aku akan sangat merasa berdosa jika tidak menceritakan ini padamu (17 April 2019)

Tahun 1900

Aku hanyalah anak perempuan yang terlahir dari rahim seorang pekerja keras. Hidungku mancung, aku berkulit gelap, rambutku legam seperti arang, setiap helaiannya memanjang halus dan tebal. Diusiaku yang ke sepuluh tahun aku sering bermain dengan adik perempuanku yang hanya terpaut dua tahun saja. Ayahku pedagang keliling, dia selalu pergi saat kami masih terlelap. Ayahku pasti akan mengumpulkan kami jika besok dia akan bepergian, di salah satu bagian rumah yang sering kami jadikan tempat makan dan bersenda gurau. Pedagang adalah Pekerjaan ayahku yang sudah turun temurun.

Ayahku memiliki gurat Arabian, menurut cerita Emak (ibuku), kakek ayahku adalah pedagang yang singgah di pelabuhan Cirebon, datang dengan kapal orang yang memulangkan para haji baru yang selama empat puluh hari berada di lautan dan empat puluh hari sebelumnya menuntaskan panggilan berhaji, praktis mereka menghabiskan waktu delapan puluh hari untuk kembali lagi ke kampung halaman. Kakekku berdagang pakaian dan menurut cerita Emak, Kakekku akhirnya terpincut oleh perempuan dari gunung yang tiada lain adalah nenekku. Kakekku tidak pernah kembali lagi ke tanah kelahirannya. Dia beranak pinak di sini, di kampung kelahiran nenekku. Kuningan.

Seperti malam ini Abah (kami biasa memanggil Ayah kami Abah), mengumpulkan kami di ruangan tengah, rumah kami tingginya sebadan Abah, jika Abah masuk melalui pintu depan dia akan sedikit membungkukkan badannya. Setengah bagian kebawah rumah kami terbuat dari pondasi batu dan bata-bata yang kokoh, sementara dari tengah keatas rumah kami terbuat dari bilik bambu yang dianyam besar-besar. Jika tidur siang hari kami akan merasa nyaman lain halnya kalau kami tidur di malam hari, dinginnya menusuk ke tulang- tulang kecilku. Aku selalu berdekapan erat dengan adikku jika malam menjelang.

Abah dengan asyik melinting bako (tembakau), pelapisnya yang berwarna coklat muda, dia isi dengan bubuk-bubuk harum bako, cempor yang ada di rumah kami, Abah buka dan dengan lihainya. Abah mendekatkan bako serta langsung menghisapnya dengan nikmat. Satu kali aku pernah mencuri bako Abah dan mengisapnya, rasanya manis tapi baunya sengak di hidungku. Aku tak kuat dan langsung membuangnya.

Sambas, kakak laki laki pertamaku turut menghisap bako seperti Abah, dia sudah berusia dua puluh tahun, Bachtiar kakak laki-lakiku yang kedua, hanya terduduk di pojok. Dia belum boleh menghisap bako, kata Abah kalau Bachtiar genap berusia enam belas tahun baru dia boleh mencicipi bako. Saat ini dia hanya terpaut lima tahun dengan aku. Aku dan Yuyun adik bungsuku sedang memijat Emak yang kelelahan karena seharian menggiling dan mengaduk kedelai untuk dijadikan tempe. Oh aku lupa memberitahu namaku. Aminah.

Abah terbatuk, tapi aku yakin batuk itu adalah batuk yang disengaja, dia selalu begitu pada saat akan memberi kami wejangan.

"Abah besok mau berdagang, seminggu Abah akan pergi. Sambas akan ikut Abah, Bachtiar kamu jaga Emakmu. Jangan sibuk kamu mengejar capung di kuburan pecinan." Abah dari dulu sangat menyayangi kakak pertamaku, Sambas dan sepertinya tidak menyukai apa-apa yang dilakukan kakak keduaku, Bachtiar. Sementara kami yang anak perempuan, aku dan Yuyun adalah anak-anak kesayangan Emak. Perhatian Abah selalu tertuju pada Sambas.

Emak menyuguhkan kopi manis ke depan Abah yang sedang bersila, rasa hormat Emak pada Abah sungguh tiada tara. Satu kali aku protes kenapa yang selalu diajak Abah berkeliling hanya Sambas, kakak tertuaku dan bukannya kami, tiga anak lainnya sudah pula bisa berjalan menjajari Abah dan tidak akan tertinggal.

"Aminah, kamu bantu Emak saja, berkeliling untuk berdagang membutuhkan tenaga kuat yang hanya laki-laki bisa menempuhnya." Ujar Emak saat itu sembari membersihkan kacang kedelai.

Anak SungaiWhere stories live. Discover now