Walaupun sudah ada kejadian kemarin, hutan milik nenek tua itu seperti magnet bagiku. Sore itu aku ingin memasuki misteri hutan dibelakang rumah nenek Among. Bada ashar aku kembali mengendap-endap ke rumah nenek Among, tapi aku bukan tertarik pada buah-buahan yang ada di pekarangan samping dan depan. Aku ingin menembus kebelakang rumah nenek Among menuju hutan kecil itu.
Jika ingin masuk ke hutan itu, aku harus melewati bagian dapur rumah, saat ini aku sudah hampir masuk di gerbang hutan, sinar matahari sore menyeruak di sela-sela daun pohon yang rapat satu sama lain. Tetapi ada suara di dapur, rasa penasaranku membelokkan niatku yang seharusnya langsung menembus hutan menjadi mengintip ke bilik bambu dapur. Kuintip dari sela-sela anyaman yang bolong, lantai tanah keras dan hawu terlihat mengepulkan asap, sepertinya nenek tua itu sedang memasak air. Dia berdendang kecil. Tak jelas apa yang di nyanyikan, tapi suaranya membuat bulu kudukku merinding. Sesekali nenek Among beranjak dari dipan membuka tutup panci besar dan kembali menutupnya. Aku penasaran apa yang sedang dia masak. Lima menit berlalu, seperti satu jam rasanya.
Aku menunggu bau harum yang mungkin akan menyeruak hidungku. Tapi tak tercium wangi apapun. Nenek Among kemudian mengambil ketel berwarna hitam pekat yang bawahnya sudah penuh dengan jelaga. Oalah ternyata nenek Among hanya memasak air. Perlahan nenek tua itu mengambil ketel panas yang penuh dengan air mendidih dari atas hawu, dia membawa air panas itu dengan tingkat kehati-hatian tinggi. Dengan takzim dia membawa ketel itu, tunggu...kenapa dia menuju ke arahku. MATI aku!!
Kenapa Nenek itu selalu tahu keberadaanku, padahal aku sudah tersembunyi dibalik bilik bambu, lubang yang kuintip pun sangat kecil. Tunggu...dia hanya berjarak sejengkal saja denganku. Kami dipisahkan oleh bilik bambu. Tiba-tiba dia mengucurkan air panas itu ke dekatku, hawa panas menguar aku segera menjauh, tidak dia bukan bermaksud menyiramku, rasa penasaranku mengalahkan rasa takutku. Kuganti lubang tempat mengintip menjadi lebih jauh tapi masih dengan jarak pandang yang bisa melihat gerak-gerik nenek tua itu.
Barisan semut kararangge, ternyata itu tujuannya. Setiap kali dia menyiramkan air, sepasukan semut itu jatuh ke tanah, semut semut itu berbaris seperti tiada ujung. Nenek Among terus bergerak menyiramkan air mendidih itu ke barisan semut. Aku merasa kasihan dengan semut semut itu. Padahal Emak selalu bilang, sayangilah alam sekitarmu. Emak selalu mengajariku tak boleh membunuh semut. Hatiku sedih menyaksikan semut-semut itu mati kepanasan. Aku mundur teratur, niatku untuk memasuki hutan mendadak sirna, runtuh bersama barisan semut yang mati.
Tiga hari setelah peristiwa di rumah nenek Among, Bachtiar mengajakku bermain di sungai.
"Aku tidak mau, Abah sudah mewanti wanti kita jangan bermain di Citamba." Bantahku pada Bachtiar.
"Siapa yang akan mengajak main kamu ke Sungai Citamba? Aku mengajak kamu ke sungai Cisanggarung." Jawabnya dengan mata berbinar.
"Hei kau sudah gila, itu kan jauh sekali."
"Iya memang jauh tapi bukan berarti kita tidak bisa kesana." Seru Bachtiar lagi.
"Yuyun diajak?" Tanyaku mulai terpancing.
"Ajak saja dia." Senyumnya.
Rencana ke sungai Cisanggarung membuat hatiku berdebar-debar tak karuan. Aku belum pernah kesana, tapi aku sudah banyak mendengar selentingan kalau sungai Cisanggarung lebih ekstrem dibanding sungai Citamba. Bapaknya Ani, konon terseret di sungai Cisanggarung, dia pergi ke bukit di seberang sungai Cisanggarung untuk mengambil kayu dan menanam padi huma. Sampai sekarang jasadnya tidak pernah ditemukan. Orang-orang desa percaya saat sore hujan deras ada air bah yang datang tiba-tiba melalui sungai Cisanggarung dan meminta Bapaknya Ani sebagai korban. Sudah lima tahun Ani menjadi anak yatim.
Aku ragu-ragu, ingat perkataan Abah yang melarangku bermain di sungai Citamba, apalagi ini sungai Cisanggarung yang lebih deras airnya dan jaraknya bisa sepuluh kilometer dari rumahku. Tapi dorongan untuk berenang dan mencicipi segarnya udara mengalahkan rasa takutku pada Abah, apalagi aku tidak sendirian ada Bachtiar yang mengajaku, toh bukan aku yang mempunyai ide.
YOU ARE READING
Anak Sungai
AdventurePetualangan Aminah, anak berumur sepuluh tahun dengan latar tahun 1900-an