00 Prolog

42 4 0
                                    

-TREMOR-

Suasana kelas mulai riuh ketika Bu Teresya keluar. Aku mulai pusing karena belum terbiasa dengan keadaan kelas yang seperti ini. Kelasku yang dulu tergolong ke dalam kelas para si jenius yang akan selalu tenang ketika ada guru ataupun tidak.

Sumber keriuhan kelas ini adalah dia -selebgram tengil yang namanya mulai terkenal ketika dia membintangi iklan ramen. Sebenarnya dia tampan -sangat tampan - tapi aku tidak terlalu menyukainya.

Bukannya sok cantik, tapi aku memang kurang suka orang tampan. Menurutku, orang tampan itu too good to be true. Maka dari itu, saat aku pindah ke sekolah ini dan bisa satu kelas dengannya, aku biasa saja. Temanku -Kenzie - sampai curiga aku memiliki kelainan karena terlalu biasa saja saat dekat dengan orang-orang tampan.

Kelas kembali tenang ketika Pak Dikta masuk membawa kertas ulangan harian matematika yang dilaksanakan minggu kemarin. Aku tersenyum yakin dengan hasil ulangan harian ku. Tidak. Aku tidak pintar. Tapi ya tidak terlalu bodoh juga. Aku yakin dengan hasil ulanganku yang sekarang karena aku benar-benar lancar ketika menjawab 7 dari 10 soal.

"Hara Lauda Leif?"

Suara Pak Dikta membuat senyumku semakin merekah. Aku berdiri menghampirinya masih dengan senyum yang sama. Saat kertas itu sampai di tanganku, senyumku langsung menghilang. Perkiraanku meleset. Angka yang berbentuk seperti ibu hamil itu terlihat sangat jelas di bagian atas kertas ulanganku.

"Ulangan selanjutnya tolong persiapkan diri ya, Hara. Nilai kamu masih dibawah rata-rata" ucap Pak Dikta yang terlihat kecewa dengan hasil yang ku peroleh.

"Iya, Pak." Jawabku sambil mengangguk lesu kemudian kembali ke tempatku.

Hasil ulangan ini membuatku kurang fokus memperhatikan Pak Dikta yang sedari tadi menjelaskan tentang limit fungsi. Setelah menjelaskan dengan sangat cepat, Pak Dikta memberi beberapa soal yang harus dikerjakan secara berkelompok. Tenang. Kelompok sudah dibagi dengan adil saat pertemuan pertama. Jadi ketika Pak Dikta memberi tugas itu, kami langsung berkumpul dengan teman satu kelompok. Untungnya, tempat duduk teman sekelompokku tepat di belakangku. Aku dan Mila -teman sebangku ku - kompak berbalik ke arah belakang.

"Lo mau ngerjain yang nomor berapa, Ra?" tanya Alden -Si selebgram yang tadi kuceritakan. Belum sempat kujawab, dia bicara lagi

"Lo yang nomor 4 aja ya? Soalnya yang nomor 4 susah"

'ya terus tadi ngapain nanya kalo ujung-ujungnya gitu?' batinku

"Oke. Gue usahain deh. Tapi nanti kalian bantuin juga ya hehehe" jawabku dengan menunjukkan senyum terpaksa.

Pak Dikta terus berkeliling agar anak-anak tetap diskusi dengan kondusif. Ketika diskusi, aku hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala ku karena dari tadi aku kurang memperhatikan penjelasan Pak Dikta. Lagian, siapa sih yang paham kalau cara menjelaskannya secepat itu? Apalagi, materi limit fungsi ini sangat sulit. Ah~ aku keliatan bodoh sekali ya?

"Woy! Buru kerjain, Ra. Jangan ngelamun mulu" bentakkan dari Filbert kali ini benar-benar membuatku seperti orang idiot. Aku tersentak sampai hampir terjatuh dari kursiku kalau saja Mila tidak buru-buru menangkap tanganku.

"Iya Ra. Ini udah 6 kali kita diskusi bareng tapi lo masih aja grogi deket-deket sama gue. Jangan gitulaaah~" Alden dengan tampang sok gantengnya -ralat, ganteng beneran - bicara dengan sangat percaya diri. Wajahnya penuh dengan senyum menjengkelkan.

Belum sempat ku merespon ucapan Alden tadi, dia sudah bicara lagi. Kali ini dua kali lipat lebih menyebalkan dari ucapan sebelumnya.

"Emang susah sih sekelompok sama selebgram keren kayak gue. Bawaannya deg-degan terus kan, Ra? Kalem, gue maklumin kok"

Kan? Apa kubilang? Rasa percaya dirinya itu tinggi sekali. Aku yang malas menjawab hanya meliriknya lalu melanjutkan kerjaanku tadi.

Beberapa menit kemudian kerjaanku sudah selesai. Ternyata kelompok yang lain sudah selesai semua. Aku yang menyadari situasi langsung mengumpulkan kerjaanku, Alden, Filbert, dan Mila menjadi satu kemudian memberikannya ke Pak Dikta.

Setelahnya, Pak Dikta mengingatkan kami untuk belajar karena minggu depan akan ada ulangan harian lagi tentang materi hari ini.
Aduh mampus
Aku tersadar bahwa tidak satupun materi tadi dapat kupahami.

Bel berbunyi tepat saat Pak Dikta selesai menutup penyampaiannya. Aku buru-buru membereskan buku dan pulpen di mejaku.

Setelah semuanya beres, aku berlari keluar kelas dengan tergesa. Sambil berlari, aku melirik jam tangan yang sudah memperlihatkan jarum pendek di angka tiga dan jarum panjang di angka lima. Oh tidak! Sebentar lagi bisnya lewat dan aku masih belum keluar dari gerbang sekolah.

"Ayo balapan, Ra! GO! GO GO!" Alden berlari disebelah kananku sambil tertawa dan berteriak seperti orang gila.

"Nah seru nih" susul Filbert yang berlari di sebelah kiriku.

Oke, ini aneh. Ngapain mereka ikut-ikutan lari begini? Posisi kami juga seperti tiga sekawan di film Three Idiots padahal nyatanya kami tidak sedekat itu. Situasi ini juga membuat banyak mata melihat ke arahku.

Berbagai macam tatapan mulai dari tatapan iri sampai tatapan kagum membuatku bergidik ngeri. Kalian harus tau, dua orang di sebelahku ini adalah the most wanted boys di sekolahku. Jadi, wajar kan kalau orang-orang sekitar melihat ke arahku?

-
To be continued...

(0)

TREMORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang