(13)

3.5K 310 11
                                    

"Kakak bisa ngasih alasan apapun tapi yang perlu Kakak ingat cuma satu hal, aku cinta sama Dewi dan aku cuma menganggap Kakak sebagai calon Kakak Ipar aku, nggak lebih, jangan merusak semuanya cuma untuk perasaan nggak masuk akal Kakak itu." Sambung Jun yang entah kenapa membuat gue kembali merasa kesal.

"Apa kamu mikir Kakak akan bertindak gila cuma karena Kakak ngomong suka sama kamu?" Ada yang harus gue perjelas.

Ada beberapa hal yang nggak Juna paham, suka yang gue rasain sekarang belum sampai ditahap gue akan merebut atau bahkan memaksa Juna untuk balik menyukai gue, gue hanya memikirkan Jun dan selagi gue masih bisa membatasi diri, nggak akan ada kelanjutan apapun untuk perasaan gue sekarang.

"Kakak mikirin kamu bukan berarti Kakak cinta sama kamu, jangan bersikap berlebihan dan mikir seakan-akan Kakak nggak bisa hidup tanpa kamu." Gue belum sejauh itu.

Menghentikan ucapan gue barusan, Jun terlihat sedikit gelagapan tapi dia memang harus tahu, gue suka bukan berarti gue mau berebut sama perempuan lain, lagian dari tadikan gue udah ngomong, gue juga nggak bisa ninggalin Mas Zian gitu aja, perasaan gue untuk Mas Zian masih ada, gue sedang berusaha.

"Kamu sama pacar kamu itu bukan urusan Kakak, Kakak sama Mas Zian juga bukan urusan kamu, mau hubungan Kakak sama Mas Zian berakhir sekalipun, alasannya bukan karena laki-laki lain, apalagi karena kamu." Ini masalah perasaan gue yang mulai merasa nggak nyaman, bukan karena gue berharap bisa bersama dengan laki-laki lain.

Lo pernah nggak sih ngerasa mulai kurang nyaman sama pacar lo sekarang dan itu bukan karena ada orang lain, itu murni karena lo ngerasa mulai ada yang beda aja, kayanya kata-kata gue waktu itu salah banget dengan ngomong kalau gue mikirin Juna, cuma karena satu kalimat itu, omongannya jadi melebar kemana-mana.

"Dan soal Kakak yang mikirin kamu, Kakak yang ngerasa nyaman sama kamu, kamu nggak perlu khawatir, ini perasaan Kakak dan Kakak sendiri yang urus." Rasa nyaman gue mungkin akan lebih mudah hilang setelah Juna ngomong kaya tadi, jaga jarak juga pilihan bagus, gue aja yang bodoh karena nggak dengerin omongan Fara dari dulu.

"Ada lagi yang mau kamu denger? Tadi minta penjelasankan? Kakak rasa penjelasan Kakak udah sangat jelas jadi kamu juga nggak harus ngerasa bersalah untuk apapun." Apa yang harus Juna denger kayanya udah gue kasih tahu semua, nggak ada yang berubah sekarang.

"Tapi Kenapa aku malah ikut khawatir?"

"Kenapa kamu harus ngerasa khawatir?" Bukannya gue nggak penting, gue cuma calon istri dari Masnya.

"Gimana aku nggak khawatir kalau Kakak terus aja natap aku dengan tatapan berkaca-kaca kaya gitu?" Dan kita berdua sama-sama terdiam tanpa pembahasan apapun lagi.

.

"Kamu dari mana aja?" Mama berdiri dihadapan gue dengan raut wajah yang masih sangat pucat, menatap Mama dengan senyuman, gue melangkah maju dan memeluk Mama gue erat, ini adalah harta gue yang paling berharga sekarang, gue cuma butuh Mama yang selalu ada disisi gue.

"Maaf ya Ma, aku telat sedikit pulangnya." Walaupun gue terlanjur nggak kuliah tapi gue memang ngomong sama Juna lumayan lama, yang seharusnya gue sampai di rumah dari satu jam yang lalu, tapi sekarang malah baru sampai.

"Loh kenapa harus minta maaf? Mama tanya karena Mama khawatir, soalnya setahu Mama kelas kamu nggak sampai siang, terus tadi kenapa bareng Juna? Bukannya Zian bilang bakalan jemput juga?" Melepaskan dekapan Mama, gue memperlihatkan senyuman dan ngasih Mama penjelasan seadanya.

Sebenernya gue mau jujur sama Mama tapi mengingat keadaan Mama sekarang, gue jadi ragu, gue nggak mau kesehatannya makin memburuk karena ikut kepikiran sama masalah gue, gue nggak mau Mama ikut terbebani.

"Tadi ketemu Juna pas mau pulang yaudah sekalian, lagian Mas Zian juga kerja kan Ma, masa harus bolak balik untuk nganterin aku doang? Aku nggak mau ngerepotin." Gue memberikan penjelasan yang entahlah, apa Mama bakalan bisa terima gitu aja alasan gue barusan.

"Kamu punya masalah sama Zian?" Tanya Mama yang tiba-tiba ganti topik, kenapa Mama bisa nanya kaya gini?

"Kenapa Mama tanya kaya gitu?" Tanya gue balik, ya aneh aja sama pertanyaan Mama yang tiba-tiba.

"Kamu anak Mama dan Mama tahu kamu, ngerepotin? Kamu bahkan nggak pernah ngomong begini waktu Zian bolak-balik nganterin kamu kuliah dulu." Gue menatap Mama tanpa jawaban, memang yang Mama omongin ada benernya, kayanya perasaan gue yang mulai berubah nggak akan bisa ditutup dengan cara apapun.

"Dek, kalau kamu mikir dengan nggak cerita apapun karena takut Mama khawatir itu baik, kamu salah, Mama akan lebih khawatir kalau nggak tahu apapun." Gue menunduk dengan rasa bersalah.

"Ma, aku mau nanya sesuatu, dulu waktu almarhum Papa masih ada, Mama ngerasa kesepian nggak kalau Papa sibuk terus?" Mama harusnya udah pernah melewati proses ini lebih dulu dibanding gue.

"Kamu ngerasa kesepian karena Zian sibuk terus?" Walaupun lama, tapi gue mengangguki pertanyaan Mama barusan, harusnya Mama bisa nebak langsung masalah gue apa.

"Zian kerjakan untuk kamu juga." Selalu aja ini yang gue dengarkan, diluar sana juga banyak orang yang sibuk tapi mereka bisa bagi waktu.

"Dulu walaupun Papa sibuk, Papa masih menyisihkan sedikit waktunya untuk kitakan? Nemenin Mama di rumah kalau libur, ngajak aku jalan-jalan setiap kali aku mau, Papa nggak pernah lupa sama kita dengan alasan sibuk kerja." Apa dulu papa kerja kerasa untuk orang lain? Kan enggak, Papa kerja keras untuk gue sama Mama, terus kenapa Mas Zian beda?

"Kamu nggak bisa nyamain Papa sama Zian, zamannya aja udah beda, lagian kata kamu, Zian udah menyesal dan mau berubahkan? Dia bakalan lebih perhatian, terus masalahnya dimana lagi?" Mama menatap gue serius, apa masalahnya beres hanya karena Mas Zian berubah seperti apa yang gue mau?

"Tapi tanpa sadar, aku juga berubah, Ma." Ini kenyataan, gue berubah karena terbiasa dengan keadaan, gimana caranya gue ngasih tahu supaya Mama bisa paham.

"Kamu udah nggak cinta sama Zian? Kamu jangan aneh-aneh ya Dek, pernikahan kalian sebentar lagi, kamu nggak bisa berubah pikiran begini." Raut wajah Mama yang langsung berubah membuat gue sadar kalau gue bersalah, gue tahu dan gue lagi nyari solusinya.

"Aku sayang sama Mas Zian tapi_"

"Tapi apa? Kamu juga suka sama Juna?" Potong Mama tiba-tiba.

"Ma, kenapa Mama malah mikir kaya gitu?" Mama nggak mungkin ngomong kaya gini tanpa sebab.

"Kamu mulai membalas tatapan Juna sekarang, apa kamu pikir Mama nggak tahu?" Hah?

My Little Husband (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang