“Rahmat..? Oh tidak! Benarkah ini?” Aku berkata sambil tak percaya. Aku merasa ada yang berdetak kencang, membuat perasaanku tak terkendali, kini semua memuncak di ujung kepala.
“Haruskah aku kembali kehilangan lelaki yang aku cintai? Begitukah akhir semua ini? Begitu cepatkah kau mendapatkannya? Kau tak memikirkan perasaanku? Ya, Tuhan.” Aku mencoba menghubunginya, namun nomornya tidak aktif. Kubuka akun facebook dan twitternya, kembali ku lihat statusnya yang telah berganti lajang-berpacaran.
"Jadi kata-katamu selama ini bohong ? kau membohongiku? Kau bilang hanya aku dihatimu , akan selalu menunggu meski ntah kapan itu, selalu berjanji semu hal , dan akan menjadi imamku kelak. Tapi mana? Mana buktinya? Mana? Kau bohong! aku benci sama kamu, aku benci kamu! Aku benci! “Aku tak mampu lagi menahan airmata, semuanya tumpah begitu saja melawati dinding-dinding pipi ini.
Aku kembali terdiam, kukeraskan volume radio agar aku bisa tertidur dan saat terbangun nanti, berharap semua akan baik-baik saja. “Dan kenyataan itu? tidak! tidak! Itu hanya mimpi.” kembali aku meyakinkan diri. Ku hapus airmata mencoba pejamkan mata dan kudengarkan lagu-lagu dari radio. Namun, aku kembali lagi manangis setelah lagu Laluna diputar.
Rasa takut kehilanganmu
Kini menjelma menjadi nyata
Ku tak bisa menghindar
Mungkin cintaku tlah usai
Kata maaf tak bisa menebus
Atas satu khilafku padamu
Kau merasa dikhianati
Kau putuskan untuk pergi
Ku coba tersenyum saat kau pergi
Meski lara hati menangis melepasmu
Andaikan kau tahu
Betapa aku masih mencintamu
Mungkin kisahnya tak semirip dengan ku, tapi kata-kata Cintaku Tlah Usai masih terdengar jelas ditelingaku. “Oh Tuhan, beri tahu dia aku tak bermaksud menolaknya. Aku mencintai dia. Andai saja dia dan aku sudah lulus sekolah, mendapatkan pekerjaan yang mapan pasti tak mampu aku menolaknya. Tapi keadaanya masih bau kencur mana mungkin aku terima. Apalagi aku sudah berjanji pada diriku sendiri aku tak mau ada sesi pacaran, aku hanya mencari suami bukan pacar.” Aku menghela nafas panjang, sambil membaringkan badan yang kurasa tak kuasa lagi menopang tubuh.
“Tok,tok,tok,” terdengar keras bunyi itu.
“Siapa?” kataku.
“Aku Dian, Cepat buka pintunya! “
“Iya sebentar” Aku usap sisa—sisa air mataku. Aku tak mau ia melihatku habis menangis. Dengan bermalas-malas ku buka pintu kamar kos ku. Belum aku mempersilahkan masuk Dian sudah nylonong dan duduk rapi siap untuk bercerita hal yang serius menurutku.
“Ris, ris... tau ngga si Rahmat?”
Nama itu kembali muncul, padahal aku baru 5 menit mencoba tak ingin mengingatnya. Dan apa Dian mengetahuinya juga? Oh tidak! Pikirku dalam hati.
“woy... kok jadi bengong? Sudah tau belum kabarnya Rahmat?” Dia memperjelas dan menekan intonasi saat menyebutkan kata RAHMAT .
“Memang kenapa Rahmat?” Aku pura-pura tidak tahu.
“Dia, udah dapet pacar dan barusan aku lihat dia jalan tuh sama cewenya. Aku kira lolosan anak pesantren yang tau agama. Eh anak orang dipeluk-peluk, Cewenya juga mau aja dipeluk-peluk. Ihg!!” Dian mendengus kesal. Sepertinya Dian lebih kesal dari aku, lebih-lebih dia melihat langsung dengan mata kepalanya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
karena aku ingin menjadi wanita ahli syurga
RomanceSalahkah aku ingin menjadi wanita yang seutuhnya? salahkah? jika tidak , mengapa mereka tak bisa mengerti?