Saat membuka mataku, hal pertama yang kulihat adalah jeruji. Jeruji besi mengelilingi tempat tidurku, membuatku merasa bagaikan berada didalam sangkar. Monitor pemantau detak jantung serta beberapa alat medis terletak di samping ranjangku. Dengan kepala yang terasa berputar-putar, kusingkapkan selimut yang melingkupi tubuhku dan mencabut beberapa selang yang tertancap ditubuhku, membuatku mengernyit kesakitan. Aku berjalan menuju salah satu sisi jeruji, sela antar besinya cukup besar dan aku mulai mengeluarkan tanganku perlahan. Tok, tok. Sial, ada kaca yang cukup tebal dibalik jeruji itu.
Aku teringat tiga hari lalu, saat Prof. Helinsky mengunjungi sel tahananku di penjara kota Manhattan. Dia tahu aku merasa tertekan, malu dan menyesal akan masa laluku. Aku memang merasa begitu menyesal telah melakukan perbuatan itu, membunuh kakak perempuanku―satu-satunya keluarga yang seharusnya masih kumiliki. Tapi itu tidak semua salahku, bukan? Aku menangkap basah dirinya sedang bercumbu dengan kekasihku dan mengatakan sesuatu yang sangat buruk tentangku. Tapi akhirnya, Prof. Helinsky datang dan memberiku pilihan hidup baru. Sebagai gadis dengan kemampuan dan kekuatan luar biasa, terlepas dari masa laluku yang kelam.
Hidupmu akan berubah selamanya, kau akan selamanya terlepas dari bayang-bayang masa lalumu. Kau akan menjadi Candace yang baru.
Dengan putus asa aku kembali berjalan menuju ranjang dan menghempaskan tubuhku disana. Aku tahu ini akan terjadi. Ketika menandatangani surat perjanjian itu, aku akan terputus dari dunia luar. Aku bukan lagi milikku, melainkan milik organisasi ini. Aku bukan lagi Candace Lynn Crosteza yang dulu, melainkan sosok kelinci percobaan. Seorang gadis mutan.
"Candace, apa kau bisa mendengarku?" suara dari interkom di pojok ruangan itu mengagetkanku dari lamunanku. Pastilah itu Prof. Helinsky, sang ilmuwan pemeran utama dalam penelitian gila ini. "Candace?" suaranya yang terdengar serak akibat kurang tidur itu kembali menggaung di sekeliling ruangan. Aku menggumam pelan, mereka bisa mendengar dan melihat apapun yang kulakukan.
"Baiklah, Candace. Kami akan memasuki ruangmu sebentar lagi. Operasi mu akan dimulai sebentar lagi, bersiap-siaplah." Ujarnya, sebelum akhirnya kaca satu arah yang menutupi kurungan bergeser terbuka. Tiga orang berseragam lab masuk, menyerahkan sebuah topeng hitam untuk kukenakan dan memborgol kedua tanganku dibelakang tubuhku.
Ketiga orang itu membimbingku keluar. Aku bisa merasakan tanganku yang terikat dibelakang tubuhku itu mulai berkeringat dingin. Aku sama sekali tak tahu kemana mereka membawaku, karena aku tak dapat melihat apapun dibalik topeng yang menutupi seluruh wajahku ini.
Setelah berjalan cukup lama, mereka menyuruhku berhenti, melepas borgol dan membuka topengku. Menyipitkan mataku, aku mencoba memfokuskan pandangan pada sekelilingku. Koridor ini kosong dan ada sebuah pintu besi dengan nomor 2 didepanku.
"Masuk kedalam, kau akan bertemu dengan yang lainnya disana." Ucap salah satu pegawai lab itu sembari mengedikkan dagunya kearah pintu.
Ragu-ragu aku melangkah maju, membuka pintu berat itu. Ruangan ini cukup luas, dindingnya berwarna hijau muda dan seluruhnya kosong. Kosong, kecuali dua sosok yang berdiri di sisi lain ruangan, membelakangi masing-masing pintu bernomor 1 dan 3.
Suara dari iterkom memerintahkan kami untuk mendekat dan saling berbicara. Aku tak tahu apa tujuannya, tapi kulihat mereka mulai dengan ragu-ragu berjalan menuju tengah ruangan, jadi aku mengikutinya. Selama beberapa detik berikutnya kami hanya berdiri diam, saling berhadap-hadapan dan memperhatikan satu sama lain. Gadis dari pintu nomor 1 memiliki rambut brunette dan mata coklat gelap, ia tampak masih begitu muda dan ketakutan, aku tak tahu kesalahan macam apa yang dilakukannya hingga berakhir disini. Sementara gadis dari pintu nomor 3 memiliki rambut pirang, sorot matanya menampilkan kewaspadaan.
Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan sebelum mulai berbicara, "Isabella Crosteza, objek nomor dua." Ujarku memperkenalkan diri.
Kami saling mengobrol setelah itu. Gadis berambut pirang itu bernama Emily Rundshall, dia seorang narapidana sepertiku. Emily berkata ia telah membunuh mantan kekasihnya dan teman-teman lelaki itu karena mereka pernah mencoba melecehkannya. Sedangkan gadis berambut brunette itu bernama Jessica Sullivens. Jessie memiliki kasus berbeda denganku dan Emily, dia disini untuk menebus hutang kedua orang tuanya. Dengan suara bergetar menahan tangis, gadis berusia tujuh belas tahun itu bercerita bahwa ayahnya mendekam di penjara karena membunuh ibunya, sementara ia yang harus berkorban melunasi hutang ayahnya yang menumpuk dengan cara menjual dirinya sebagai objek percobaan pada penelitian ini.
Aku mencoba menenangkan Jessie yang masih terisak pelan, menepuk-nepuk lembut pundaknya sementara Emily membisikkan kata-kata penenangan untuknya. Aku tahu, cepat atau lambat kami harus berteman, bersahabat, dan menjadi keluarga. Hanya satu sama lain yang kami miliki sekarang.
"Denganrkan aku, Jessie. Semua akan baik-baik saja. Kita akan-" ucapan Emily terhenti oleh bunyi gemuruh yang berasal dari atap ruangan. Asap kabut putih berputar-putar dan dengan cepat memenuhi ruangan. Aku terbatuk-batuk dan mencoba mempertahankan kesadaranku.
"Em, Jessie?" tanyaku, mencoba menemukan mereka. Aku mendengar mereka menyahut dan seseorang menggenggam erat tanganku, Jessie. Aku melihat kesana kemari mencari Emily, dan pandanganku tertuju pada sosok berambut pirang yang terbaring tengkurap diatas lantai. Tubuh Emily kejang-kejang dan ia merintih kesakitan. Aku bertukar pandang dengan Jessie.
"Bukan operasi." Bisikku pelan. Jessie mengernyitkan dahinya bingung. "Gas inilah percobaan itu, Jessie." Ujarku menegaskan.
Jessie memekik kaget ketika semakin banyak gas yang memenuhi ruangan. Aku menjerit, peru-paruku terasa terbakar dan kulitku terasa seperti habis tersiram cairan asam. Aku memeluk Jessie yang mulai menjerit-jerit kesakitan. Kulitku begitu merah, begitu pula Jessie.
Aku tetap berpegangan padanya sampai akhirnya gadis itu tersungkur ketanah dan mengeluarkan suara jeritan tidak manusiawi. Ini tidak adil. Jessie gadis baik-baik dan tidak bersalah. Ia tak seharusnya berada disini.
Aku menangis dan meraung kesakitan. Tersungkur dilantai, aku mulai menjerit-jerit. aku tidak tahu apa yang terjadi. Satu-satunya yang kuketahui adalah rasa sakit. Rasa sakit seolah tubuhku dicelupkan kedalam cairan magma. Aku terus menjerit hingga tenggorokanku sakit dan pandanganku menggelap.
Ini baru Prolog dari my new story. Vomment for chapter 1 :)
Keyla Ramadhani aka Keyzzle
KAMU SEDANG MEMBACA
Deathly Beauty
FanfictionJustin Bieber|Ariana Grande|Hailey Stanfield|Eliza Bennet