Pdf sudah redy ya harga 35k bisa wa +62 822-1377-8824 , kalau suka versi buku masih open po sampai tgl 24 ini tks
Happy reading
****
Bagi Tukiem semua lelaki sama, karena hal itulah ia selalu menghindari lelaki yang mau mendekatinya karena rasa traumanya yang dua kali menikah dan dua kali juga gagal mempertahankannya. Tukiem tahu ia menjadi bahan gosip di kalangan warga desa, terutama emak-emak yang sering mandi di kali masih sempatnya membicarakan dirinya yang dianggap wanita tidak benar hingga terus kawin cerai.
Tukiem hanya bisa mengurut dadanya dan bersabar tidak melabrak mereka dan melakban satu per satu mulut berbisa mereka. Tukiem juga tidak ingin memberi pembelaan, cukup ia dan Tuhan yang tahu.
Tukiem berdiri di jendela di saat hujan mulai turun membasahi bumi, ia menghela napas mengingat kejadian beberapa hari lalu di saat Jae mencumbunya. Jujur Tukiem merindukan sentuhan seorang pria karena sudah lama ia tidak menikmatinya sejak bercerai. Tukiem bukan wanita munafik, ia memiliki nafsu tinggi yang sering hanya dilampiaskannya dengan masturbasi sembari membayangkan lelaki rupawan, namun beberapa hari ini objek khayalannya adalah Jae, lelaki Korea yang berhasil hampir menyentuhnya jauh.
Tukiem melongokkan kepalanya ke luar jendela memperhatikan rumah di sampingnya yang sepi, rumah kontarakan yang beberapa bulan ini dihuni Jae, entah kenapa lelaki Korea itu tidak terlihat, apa mungkin ia kembali ke negara asalnya?
Deru suara kendaraan menyentak lamunan Tukiem, ia memperhatikan sebuah sepeda motor berhenti di depan kontrakan Jae. Ternyata Jae yang turun dari kendaraan itu, membayar ongkos pada si tukang ojek. Tubuh lelaki itu setengah basah kuyup, ia mengusap wajah tampannya dan berbalik hendak masuk ke dalam rumah, namun langkahnya terhenti, ia menoleh ke arah Tukiem hingga pandangan mereka saling bertemu, buru-buru Tukiem menutup jendela kamarnya. Tukiem menyentuh dadanya yang dag dig dug ser.
Aduh, ada apa dengannya?
Jae tersenyum samar, lalu masuk ke dalam rumah. Setelah membersihkan diri dan berpakaian, Jae duduk di kursi menikmati secangkir teh. Sudah beberapa hari ini ia tidak bertatap muka dengan Tukiem, lebih menyibukkan diri dengan berwisata. Bukan Jae ingin menghindar, hanya saja ia terlalu merasa bersalah atas kejadian dirinya menyentuh Tukiem membuat wanita itu marah padanya dan Jae belum ada keberanian meminta maaf pada wanita itu.
Tok tok tok.
Suara ketukan terdengar dari luar, Jae mengerutkan keningnya. Siapa gerangan hujan begini datang bertamu? Ia berdiri melangkah ke pintu utama membukanya, betapa ia tekejut dan terdiam melihat Tukiem berdiri dan tersenyum samar padanya. Jae mengucek matanya, hampir tidak percaya dan menepuk pipinya takut ini hanya halusinasinya.
“Tu... kiem?” panggilnya terbata-bata.
“Abang Jae kenapa seperti melihat hantu saja?” kata Tukiem mengerutkan kening, di tangan kanannya membawa rantang makanan.
“Ah, bukan, Bang Jae kira Tukiem bidadari,” kekeh Jae membuat Tukiem merona.
“Ini, Abang , Tukiem masak banyak, barangkali Abang Jae belum makan,” kata Tukiem menyodorkan rantang makanan. Sebenarnya ia tidak ada inisiatif memberikan makanan pada Jae, tapi melihat lelaki Korea ini pulang hujan-hujanan membuat Tukiem kasihan dan berpikir pasti Jae lapar.
“Terima kasih,” kata Jae mengambil rantang itu.
“Kalau begitu Tukiem balik ke rumah, hujan semakin lebat,” ujar Tukiem membuka payungnya lagi, tetapi tangannya ditarik Jae hingga Tukiem menoleh dan pandangannya terkunci di manik mata cokelat Jae.
“Boleh kita bicara?”
“Tentang?”
“Tentang kita, aku dan kamu.”
Deg.
Tukiem merunduk, wajahnya merona tanpa menyahut lagi.
“Sebentar saja, itu pun kalau Tukiem berkenan.”
Tukiem mengangguk, seharusnya ia menolak, tapi ia malah tidak bisa mengatakan tidak.
Jae menarik lembut tangan Tukiem masuk ke dalam rumah, rantang makanan diletakkannya di atas meja, lalu Jae menutup pintu rapat. Tiba-tiba, lelaki itu berbalik kemudian menyergap Tukiem memojokkannya ke dinding rumah.
“Abang Jae bukannya tadi mau bicara?” kata Tukiem gugup.
“Hem...” sahut Jae mengusap bibir memerah Tukiem. “Kamu cantik, Tukiem.”
“Hanya itu?”
“Aku suka kamu.”
“Tapi aku mempunyai masa lalu buruk, Abang Jae, dan Abang pasti akan sulit menerimanya.”
“Ceritakanlah, aku akan mendengarkannya.”
Tukiem membeku, ia tidak berkutik saat Jae merunduk mengecup bibirnya yang manis.
“Karena cinta tidak memandang masa lalu, Tukiem, apa pun itu,” bisik Jae mencium bibir Tukiem lagi.
Bibir Jae terus melumat bibir Tukiem lalu lelaki itu menyudahi hanya untuk menggendongnya. Selagi berjalan menuju kamar, Jae kembali mencumbu bibir manis Tukiem, tak bosan ia menghirup aroma Tukiem, kini lidahnya ikut menyelusup. Beruntung mereka tidak menabrak pintu atau dinding kamar karena Jae sudah hafal letaknya meskipun logikanya sudah terserap oleh bibir ranum si janda manis.
Walaupun Jae terburu-buru, tetap ia pelan-pelan membaringkan Tukiem di ranjang. Ia pun menyusul setelah sebelumnya melucuti kaus putih dan celana pendeknya, memamerkan otot perutnya yang tampak luar biasa memukau Tukiem.
Jae melucuti daster Tukiem dengan tergesa-gesa sampai-sampai ia nyaris merobeknya. Ia sudah tidak sabar ingin merasakan buah dada montok Tukiem dengan tangan dan mulutnya.
Saat akhirnya mereka terbebas oleh kungkungan pakaian dan bergumul di ranjang nyaris telanjang, tiba-tiba Tukiem menghentikan Jae.
“Abang Jae... ada kondom, nggak?”
Jae punya, tapi ia tidak ingat menyimpannya di mana. Ia sudah keburu nafsu pada si janda hitam manis ini. Jadi ia menggeleng dan kembali menyergap Tukiem.
Sesaat setelah Jae menyentak celana dalam dari kaki Tukiem, ia mendengus. Nafsunya sudah di ubun-ubun dan ia pun segera mendesakkan miliknya yang mengeras ke dalam lubang surgawi yang basah itu.
Mereka bergerak bersamaan menyambut kenikmatan. Kadang Jae di atas, kadang Tukiem yang menunggangi Jae. Segala macam posisi mereka coba sampai entah berapa ronde, dan Jae selalu mengeluarkan cairannya di dalam Tukiem.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Tukiem di sosor oppa
Short StoryDi kejar perjaka biasa, di lamar duda biasa lalu bagaimana rasanya kalau di sosor oppa...