Disinilah aku, berada di tengah kerumunan orang-orang. Namun mungkin hanya aku yang merasa kesepian masih membelenggu hatiku.
Sekolah, mungkin banyak dari kalian menganggap bahwa tempat itu adalah rumah keduamu. Tapi tidak untukku. Bagiku, sekolah lebih pantas disematkan dengan kata neraka. Ya begitulah.
Katakanlah aku ini memiliki skill bersosialisasi yang sangat payah. Ya, aku tidak memiliki lingkungan pertemanan di kelasku sendiri. Miris sekali.
Ibarat, kita hanya saling mengenal sebatas nama.
Entahlah, sejak awal aku merasa insecure untuk memulai hubungan pertemanan dengan mereka. Entah itu karena mereka sudah memiliki perkumpulan sejak awal, atau karena kami tidak memiliki kecocokan satu sama lain.
Apalagi aku adalah anak yang sangat pendiam. Sehingga tiap berdiskusi untuk kelompok belajar, aku tak bisa mengutarakan pendapatku dengan bebas.
Rasanya seperti ada ratusan beban yang membuat bibirku kelu.
Aku hanya menyimpan segala pemikiranku untuk diriku sendiri. Sangat bodoh, bukan?
Karena hal itulah, aku mulai dicap "hanya ingin menumpang nama" dalam setiap kelompok. Padahal aku sama sekali tidak bermaksud melakukan hal itu, sungguh.
Namun lagi dan lagi, aku hanya memendam semuanya sendirian. Aku tak memiliki sandaran. Kau tahu? Rasanya sakit sekali ketika orang-orang mulai mencemoohmu di hadapanmu langsung.
Kalau boleh memilih, aku ingin mereka mengatakan itu semua di belakangku. Justru aku tak apa dengan hal itu.
Hinaan itu hanya membuatku memikirkannya terus-menerus. Terkadang, aku sampai melupakan santapanku walau aku sudah mengidap maag kronis. Tak jarang aku akan berakhir dirawat di rumah sakit.
Tak hanya itu, aku juga akan mengalami kesulitan tidur selama berhari-hari. Rasanya sangat menderita!
Jika dipikir-pikir aku ingin sekali menjadi seorang penyihir, konyol memang. Di zaman sekarang mana ada hal seperti itu. Tapi jika memang diizinkan, aku akan menukar peranku dengan orang lain.
Pasti menyenangkan merasakan lingkungan baru, apalagi kalau kau adalah orang yang sangat disayangi oleh semua orang. Baiklah, pikiranku mulai kacau.
Ah, tiba-tiba sebuah decakan terdengar dari arah bangku di dekatku. Ternyata guruku, Mr. Choi sudah datang. Saat ini adalah jam mengajarnya di kelasku. Dan dengan bodohnya aku larut dalam lamunanku sehingga tidak menyadarinya. Hal itupun menimbulkan decakan dari seorang pemuda yang sangat membenciku, Kim Taehyung.
Akupun mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan kelas ini. Aku tersenyum tak enak karena semua orang menatapku dengan begitu sinis. Hanya aku yang masih duduk saat mereka semua sudah berdiri tegap--bersiap untuk memberi salam dan hormat pada Mr. Choi.
Cukup, mataku sepertinya sudah berkaca-kaca mendapatkan semua tatapan itu. Akupun dengan tergesa-gesa langsung berdiri, mengambil posisi seperti temanku yang lain.
"Selamat pagi, Seonsaeng-nim." ujar kami bersamaan seraya membungkuk memberi hormat.
"Ya selamat pagi semuanya. Silakan duduk kembali."
Setelah mengambil posisi semula, aku merasakan sebuah tangan mengusap lenganku dengan lembut. Aku menoleh dan mendapati Park Chaeyoung--teman sebangkuku lah yang melakukan hal itu. Sepertinya ia tahu apa yang menjadi kekhawatiranku.
"Sudahlah, tak usah dipikirkan." Chaeyoung tersenyum dengan lembut, aku masih bersyukur memilikinya di dalam kelas "neraka" ini.
Seolah mendapat ketenangan kembali, akupun membalasnya dengan senyuman yang begitu tipis. "Terima kasih, Chaeyoung. Kata-katamu selalu berefek banyak untukku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jamais Vu | taelice
FanfictionKim Taehyung x Lalisa Manoban --- Behind her smile, she's broken inside.