(16)

3.2K 273 3
                                    

"Sakit ni orang." Nggak ada kata lain yang keluar dari mulut gue setelahnya, gue menatap Juna marah sekarang, apa dia nggak sadar kalau kalimatnya barusan beneran merusak segalanya?

"Aku nggak becanda, aku serius, kita akan gimana?"Lah dikata gue becanda.

"Terus kamu pikir Kakak becanda?" Apa Juna nggak bisa membedakan mana tatapan serius gue lagi? Gue juga nggak becanda, semenjak Juna mengeluarkan kalimatnya supaya gue sadar, semenjak itu pula gue serius dengan semua kata-kata yang gue keluarkan.

"Jangan pernah kamu berani nanya pertanyaan kaya gini lagi terlebih di depan Mas Zian, ini peringatan." Gue bahkan udah nggak lapar, gue kenyang sama beban hidup.

Berbalik arah ninggalin kantin, gue berjalan cepat balik masuk ke ruang inap Mas Zian dan begitu pintu berencana gue buka, gue malah kembali memberhentikan langkah begitu mendengar suara tangisan seorang perempuan dari dalam, ini jelas bukan suara Mamanya Mas Zian.

Nggak mau langsung masuk dan mengganggu, gue mengintip dari balik pintu dan yang gue dapatkan adalah seorang perempuan menangis sembari menggenggam tangan Mas Zian erat, dia siapa?

"Maaf, Mbak siapa ya?" Gue memutuskan untuk masuk, gue nggak mau berprasangka jadi lebih baik langsung gue tanya.

"Heummm maaf, sa-saya rekan kerjanya Zian." Jawab Mbaknya sedikit gelagapan, rekan kerja? Kalau cuma rekan kerja kenapa nangisnya sampai begitu? Berlebihan dan itu nggak wajar.

"Rekan kerja? Mbak yakin?" Jujur aja gue nggak percaya, gue bukan nggak percaya tanpa alasan tapi gue juga nggak bodoh, sebelum mutusin ngelanjutin S2, gue sempat kerja sebentar dan waktu itu rekan kerja gue ada yang meninggal tapi gue nggak sampai sebegitunya, rekan kerja mana yang dateng malam-malam begini dan menangis sambil menggenggam tangan rekan kerjanya?

"Kenapa? Kamu nggak percaya? Sebenarnya sa_"

"Ikut gue keluar." Tiba-tiba aja Juna masuk dan narik tangan Mbaknya kasar, Juna keliatan sangat marah dan jelas itu semakin mencurigakan, gue nggak mungkin diam dan cuma ngeliatin ajakan? Gue masih punya otak untuk mikir.

"Gue udah ngasih tahu lo untuk ninggalin Mas Zian, apa peringatan dari gue nggak lo anggap sama sekali?" Kalimat Juna yang gue dengarkan pertama kali setelah ngikutin mereka, jujur perasaan gue beneran nggak tenang tapi gue masih mendengarkan dengan harapan, ini semua cuma salah paham, nggak ada maksud apapun.

"Gimana bisa Mbak ninggalin Mas kamu gitu aja? Kamu tahu Mbak kehilangan apakan Jun? Mbak bukannya nggak peduli sama perasaan kamu tapi Mbak harus gimana?" Perempuan tersebut malah semakin terisak dan tertunduk pasrah.

"Gue nggak minta lo untuk mikirin perasaan gue tapi lo harusnya mikirin perasaan perempuan yang bicara sama lo di dalam tadi." Apa gue yang dimaksud Juna sekarang?

"Dia Kirana, apa dia tunangannya Zian?" Jawab perempuannya yakin, dan ternyata beneran gue yang dimaksud.

"Lo tahu dia tunangannya Mas Zian tapi lo masih berencana ngasih tahu dia kalau lo ini siapa? Lo gila." Bentak Juna tapi berusaha keras menjaga nada biacaranya, raut wajah penuh amarah Juna terlihat jelas, ini jelas bukan masalah sepele lagi, harapan gue yang tadinya mikir ini cuma salah paham seakan semakin sirna.

"Kenapa Mbak harus mikirin perasaan perempuan lain? Kalau Mbak mikirin perasaan dia, terus yang mikirin perasaan Mbak siapa? Kamu? Atau Zian? Kalian nggak akan ngelakuin itu, kenapa? Karena yang kalian pedulikan cuma perasaan Kirana." Mendengar nama gue yang terus disebut, kegelisahan gue semakin menjadi dan kesabaran gue yang memang tinggal seberapa seakan nggak tersisa.

"Kalau memang kamu bicara sebagai adiknya Zian, harusnya kamu adil, Mbak atau Kirana itu sama, kita berdua sama-sama perempuan jadi ke_"

"Lo nggak akan pernah sama dengan Rana, dia bukan cuma calon Kakak Ipar, dia penting untuk gue jadi dengerin peringatan gue untuk terakhir kalinya, jauhi Mas Zian dan jangan pernah muncul di hadapan Rana lagi, kalau sampai Rana tahu lo itu siapa, lo juga akan tahu gue bisa bersikap segila apa." Potong Juna cepat, selama gue kenal Juna, belum pernah gue ngeliat Juna kehilangan kesabarannya kaya gini.

Seakan makin jelas, harusnya gue nggak cuma berdiri kaya gini, yang mereka bicaran itu gue jadi harusnya ini memang masalah gue juga, gue harus tahu sebenernya Mbak ini siapanya dan mau apa dia datang kemari, semuanya harus gue perjelas sendiri.

"Memangnya kamu siapa?" Gue yang bicara sekarang, yang gue dengarkan harusnya udah lebih dari cukup.

"Kak! Dia bukan siapa-siapa, aku bisa_"

"Gue nggak nanya sama lo, gue nanya sama dia." Gue bahkan menggigit bibir gue untuk bisa bicara sama Juna sekarang, kesabaran gue hampir habis.

"Mbak, aku tanya sekali lagi, Mbak siapanya Mas Zian?" Jemari gue semakin tergenggam erat, gue mohon, selagi gue tanya baik-baik, jawab pertanyaan gue sekarang juga tapi belum ada yang mau memberikan jawaban.

"Lo tuli? Gue tanya lo siapa?" Plak! Dan kesabaran gue habis, gue melayangkan tamparan untuk perempuan itu, jangan tanya reaksi Juna sekarang, dia langsung berusaha memeluk gue tapi gue nggak akan bisa tenang di saat kaya gini, gue butuh jawaban.

"Kirana! Dengerin aku." Juna bahkan mengubah panggilannya, ini bahkan lebih serius.

"Mbak! Mas, ini rumah sakit jadi tolong suaranya." Ada salah satu perawat yang nyamperin kita.

"Lepasin." Gue minta Juna melepaskan pelukannya dengan nada bicara yang jauh lebih pelan tapi percayalah, emosi gue udah nggak terbendung sekarang.

"Oke! Kalau lo nggak mau jawab, gue tanya sendiri sama Mas Zian."

"Saya beneran cuma rekan kerjannya." Gue menggangguk pelan sembari tersenyum sinis, oke mari kita dengarkan penjelasannya.

"Terus Mbak kehilangan apa karena Mas Zian?" Perempuan ini kehilangan apa sampai harus menangis terisak disamping Mas Zian kaya tadi.

"Lo jangan gila." Juna memperingati, masih dengan Juna yang nahan lengan gue, Gue narik nafas dalam dan berbalik menggenggam tangan Juna.

"Jun! Kamu peduli sama Kakakkan? Kalau memang iya biarin Kakak tahu." Gue nggak mau terus dianggap bodoh cuma karena nggak tahu apapun, bahkan setelah kejadian ini, gue nggak mungkin bersikap biasa aja seakan nggak terjadi apa-apa.

"Tapi Kak, semuanya_"

"Kakak nggak mau punya penyesalan apapun." Ini yang gue mau, dengan nutupin semuanya dari gue nggak akan menyelesaikan masalah, apa Juna nggak paham?

"Gue lebih baik menderita setelah tahu kenyataan dari pada bahagia tapi dibodohi karena nggak tahu apapun." sambung gue yang membuat Juna menghela nafas dalam dan mulai mengusap kasar wajahnya.

"Jadi, kamu kehilangan apa?" Ulang gue sekali lagi.

"Sesuatu yang sangat berharga bagi seorang perempuan." Melihat air mata yang menetes dari wajah Mbaknya, gue juga paham maskud ucapannya barusan itu apa.

"Kak! Kak! Ranaaa!" Dan gue udah nggak bisa mikir apapun lagi.

My Little HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang