1
Pedang Penakluk Iblis
(SIN KIAM HOK MO)
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Ebook ini dibuat dengan sumber hasil scan djvu oleh :
syauqy_arr kredit 4 him
Convert & edit : MCH
Final edit & Ebook by : Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://cerita-silat.co.cc/ http://ebook-dewikz.com
Jilid I
“SINCHUN Kionghi Thiam-hok Thiam Siu! Selamat tahun baru,
panjang umur banyak rejeki!"
2
Ucapan ini bergema di seluruh Tiongkok. di dusun dan kota, di
mana saja manusia berada. Ucapan yang menjadi inti dari pada
perayaan hari Tahun Baru yang telah menjadi tradisi di seluruh
Tiongkok semenjak tahun diperhitungkan, berapa orang takkan
gembira ria menyambut hari itu? Tidak saja sebagai hari pertama
dari tahun yang baru, akan tetapi juga hari pertama dari musim
semi yang gilang-gemilang, yang memberi harapan baik bagi semua
manusia, baik ia pedagang, petani, maupun buruh, pendeknya
rakyat jelata. Tanaman akan tumbuh subur, hawa udara segar dan
bersih, pemandangan alam indah permai. Olch karena inilah maka
upacara selamat menjadi Sin-chun Kionghi yang berarti Selamat
Musim Semi Baru.
Semua orang merayakannya. Besar kecil kaya, miskin mereka
bergembira menyambut datangnya musim semi dengan cara dan
kebiasaan masing-masing. Orang-orang mengadakan pesta, segala
mata pertunjukan, seni budaya rakyat muncul meramaikan pesta
tari-tarian, nyanyi, tari, barongsai, kilin, hong dan lain-lain
memenuhi sepanjang jalan besar.
Anak-anak lebih gembira lagi. Mereka pergi ke sana ke mari,
menghaturkan selamat kepada keluarga dan tetangga yang lebih
tua, menerima angpauw (bungkusan merah berisi uang atau
hadiah) menonton pertunjukan dan di hari itu mereka akan terbebas
daripada hukuman dan omelan orang tua. Di sana-sini mengebul
asap hio mengharum, karena orang-orang pada mengadakan
sembahyang untuk memperingati nenek moyang mereka yang telah
meninggal dunia.
Suara petasan menambah kegembiraan penduduk. Tiadi hentinya
suara mercon ini susul-menyusul seakan-akan berlomba. Kadangkadang
kelihatan di udara meluncur roket-roket kecil dari kertas.
Pendeknya, semua orang menabung setahun penuh untuk
menghabiskan uang tabungannya di hari-hari tahun baru itu,
berpakaian baru, makan minum sampai mabok dan
menghamburkan uang tak mengenal sayang.
Pada pagi hari tahun baru itu seorang laki-laki tinggi besar
berwajah tampan dan gagah akan tetapi seperti orang yang
menanggung banyak penderitaan batin, berusia kurang lebih tiga
3
puluh lima tahun, bcrjalan perlahan-lahan memasuki kota Keng-sinbun
yang berada di kaki Bakit Hoa-san. Laki-laki yang gagah ini
berjalan sambil menuntun seorang anak kecil berusia kurang lebih
tujuh tahun. Pakaian mereka jauh berbeda dengan pakaian orangorang
yang sedang merayakan tahun baru. Kalau semua orang
besar kecil memakai serba baru, adalah dua orang ini berpakaian
amat sederhana dan sudah kotor, bahkan laki-laki itu sudah ada
tambalan pada bajunya.
"Gi-hu, semua orang merayakan hari musim semi, mengapa kita
tidak?" Suara anak ini lemah lembut dan kata-katanya teratur rapi
seperti ucapan seorang anak yang mempelajari bun (sastra) dan
tata susila, akan tetapi terdengar nyaring bersemangat. Ia
menyebut "gi-hu" yang berarti ayah angkat kepada laki-laki itu.
Orang gagah itu memandang dan senyum sedih muncul di
bibirnya.
"Hong-ji (Anak Hong), kita sedang dalam perjalanan, bagaimana
bisa merayakan hari tahun baru? Sebentar lagi kalau kita sudah
sampai di tempat tinggal Sucouwmu (Kakek Gurumu) barulah kita
bisa merayakan hari baik ini. Atau barang kali kau ingin
merayakannya di kota ini? Kalau demikian, kita bisa mampir di
rumah makan dan berpesta berdua, bagaimana pikiranmu?"
Pada saat itu mereka telah memasuki kota dan bocah itu
memandang ke kanan kiri dan melihat setiap rumah memasang
meja sembahyang dengan segala macam masakan di atas meja dan
hio mengebulkan asap harum.
"Gi-hu aku tidak ingin makan minum, aku ingin dapat
menyembahyangi Ayah Ibuku..." Suara anak ini terputus-putus dan
biarpun matanya tetap bening dan tajam, namun suaranya
menunjukkan bahwa ia menahan isak tangis yang naik mendesak
dari dada ke lehernya.
Mendengar ini, hati orang gagah itu merasa perih sekali saking
terharunya. Ia menghentikan tindakan kakinya dan membawa anak
itu ke pinggir jalan di mana ia berdiri sambil mengelus-elus kepala
anak itu. Ia termenung dan terbayanglah semua pengalamannya.
Laki-laki tinggi besar yang gagah perkasa ini bukan lain adalah Lie
4
Bu Tek, seorang gagah yang dijuluki Hui-liong (Naga Terbang)
karena kalau ia mengamuk, pedangnya berkelebatan laksana seekor
naga terbang yang menyambar leher para penjahat. Adapun anak
kecil itu sebagai-mana dapat diketahui dari cara ia memanggil Lie Bu
Tek, adalah Wan Sin Hong anak angkat dari Lie Bu Tek. Kata-kata
anak tadi membuat Lie Bu Tek termenung dan terbayang akan
semua pengalamannya.
"Baiklah, Hong-ji. Mari kita menyembahyangi Ayah Bundamu
secara sederhana saja."
Dengan girang dan berterima kasih Sin Hong ikut ayah angkatnya
itu menuju ke sebuah toko yang menjual lilin, hio, dan segala
keperluan sembahyang. Setelah membeli alat-alat untuk
bersembahyang secukupnya, Lie Bu Tek lalu mengajak anak
angkatnya pergi ke sebuali tempat yang sunyi. Di tempat ini Lie Bu
Tek memasang alat-alat sembahyang, menyalakan membakar hio
dan bersembahyanglah dua orang itu dengan cara masing-masing.
Bu Tek memegang hio di tangan sambil berdiri seperti patung,
bibirnya tidak bergerak, akan tetapi dua titik air mata yang
menurum pipinya menyatakan bahwa hatinya amat terharu. Wan
Sin Hong berlutut di depan lilin dan mulutnya bergerak-gerak
mengeluarkan bisikan,
"Ayah dan Ibu yang tak pernah kukenal, aku anakmu Wan Sin
Hong menghaturkan hormat dan selamat tahun baru. Mohon restu
Ayah Ibu agar aku kelak menjadi seorang gagah dan pandai seperti
Gi-hu...."
Lie Bu Tek ikut berlutut dan memeluk anak angkatnya itu. Entah
mengapa, begitu dipeluk Sin Hong merasa sesuatu yang amat
menyedihkan hatinya sehingga tak tertahankan lagi la menangis
terisak-isak di dada ayah angkatnya. Sampai api hio habis dan lilin
kecil itu padam baru mereka berdiri lagi.
"Mari kita melanjutkan perjalanan, Sin Hong. Sucouwmu di
Puncak Hoa san sudah menanti-nanti."
"Apakah Sucouw sudah tahu akan kedatangan kita?" tanya Sin
Hong.
5
"Tahu sih belum, akan tetapi sebagai orang tentu dia
mengharapkan kedatangan orang-orang muda di hari tahun baru."
Kembali mereka melalui jalan-jalan besar yang ramai sekali.
Karena saat itu memang tiba waktunya menyalakan asap, hio
mengepul memenuhi kota. Sambil berjalan di sebelah ayah
angkatnya Sin Hong memandang ke kanan kin, melihat orang-orang
yang sedang bersembahyang. Tiba-tiba sambil menarik-narik tangan
Bu Tek, ia mengajukan pertanyaan,
"Gihu biarpun aku sudah membaca dan mengerti tentang
peraturan sembahyang akan tetapi maksudnya aku masih belum
tahu. Mengapakah nenek moyang yang sudah mati disembahyangi?
Mengapa disediakan hidangan dan masakan enak-enak bagi orang
yang sudah mati? Apakah mereka itu benar-benar mempunyai roh,
dan kalau benar, apakah roh-roh itu dapat datang untuk makan
hidangan-hidangan itu?"
Lie Bu Tek tersenyum dan diam-diam ia memuji kecerdasan otak
anak angkatnya yang dalam usia sekecil itu sudah dapat
mempergunakan pertimbangan akal budinya.
"Tentu saja roh halus tidak bisa makan hidangan-hidangan itu,
Hong-ji. Akan tetapi, bukan itulah maksud daripada
menyembahyangi nenek moyang kita. Orang bersembahyang untuk
menyatakan cinta kasih dan penghormatan, sebagai tanda bakti
kepada nenek moyang, bakti yang tak kunjung padam, baik moyang
yang masih hidup maupun sudah meninggal dunia. Seorang anak
yang berbakti dan mencinta orang tuanya, tentu selalu akan
membikin senang hati orang tuanya, dan jalan satu-satunya untuk
menyenangkan hati orang tua adalah menjaga baik-baik nama
keluarganya. Untuk dapat melakuan hal ini, orang itu harus
berperilaku baik, karena seorang yang melakukan kejahatan tak
mungkin dapat menjaga nama baik keluarga. Kebaktian yang
sesungguhnya takkan lenyap bersama dengan matinya orang tua,
biarpun orang tua sudah mati, tetap saja anak yang berbakti
menghormat dan mencinta orang tuanya dan selalu ia akan
menjaga perilaku hidupnya untuk menjaga nama baik orang tuanya
yang sudah mati itu. Karena itulah maka setiap orang
meyembahyangi nenek moyangnya, untuk mempertebal rasa
6
kebaktian ini sehingga mereka selalu takut untuk melakukan
kejahatan karena tidak ingin mencemarkan nama orang tuanya."
Sin Hong memang seorang anak yang cerdik luar biasa, maka
kata-kata ini dapat ditangkap artinya dan ia mengangguk-angguk.
"Aku pun selalu akan mengingat orang tuaku yang sudah mati
dan mengingat kepada Gi-hu yang masih hidup agar selama hidup
aku takkan melakukan perbuatan buruk yang dapat mencemarkan
nama baik Ayah Bunda dan Gi-hu."
Lie Bu Tek girang sekali dan ia mengelus-elus kepala anak
angkatnya.
"Bagus sekali prasetyamu ini, Hong-ji. Memang sudah menjadi
kenyataan bahwa nama baik orang tua akan terbawa-bawa kalau
anaknya berbuat. Bahkan nama baik orang tua yang sudah
meninggal akan terseret pula karena sekali menyebut nama
anaknya, berarti menyebut pula nama ayahnya. Sebaliknya, kalau
anaknya menjadi seorang manusia yang berprilaku balk, nama
ayahnya akan terangkat baik dan menjadi harum."
Ini pun Sin Hong dapat mengerti karena ia sudah tahu bahwa
she (nama keturunan) orang tua selalu dibawa-bawa oleh anaknya.
Percakapan mereka terhenti ketika tiba-tiba serombongan anakanak
kecil berlan-lari ke arah barat sambil berteriak-teriak girang.
"Ang-bwe-sai (Singa Buntut Merah) datang ... !!"
Benar saja serombongan pemain barongsai mendatangi di jalan
raya itu dari barat. Suara gembreng dan tambur sudah ditabuh
ramai sekali dan dari jauh sudah terlihat barongsai yang besar dan
indah sekali berlenggang-lenggok di sepanjang jalan raya. Orangorang
hartawan, pemilik-pemilik toko segera menyambutnya dengan
mercon (petasan) dan sebagian pula menggantungkan "angpauw"
(bungkusan merah terisi uang atau hadiah) di depan pintu.
Barongsai itu berlagak, main di depan pintu setiap rumah dan
dengan cara amat indah menyambar angpauw itu dan memberi
hormat kepada tuan rumah sambil mendekam-dekam dan berlutut.
7
"Di rumah Gan-wangwe (Hartawan Gan) disediakan angpauw
besar yang dipasang tinggi sekali!" terdengar beberapa orang
berteriak dengan girang.
Sebagai seorang anak-anak, Sin Hong tentu saja ikut gembira. la
menarik tangan ayah angkatnya untuk mendekati barongsai itu dan
mengagumi cara orang mainkan tari barongsai. Karena anak ini
sudah menerima latihan dasar ilmu silat dari Lie Bu Tek, maka ia
dapat mengagumi jurus permainan kaki dari pemain barongsai yang
bergerak menurut jurus-jurus permainan silat. Sekali pandang saja,
Lie Bu Tek tahu bahwa pemain barongsai ini tentulah murid dari
Siauw-limpai. Ketika ia memandang ke arah rumah gedung
Hartawan Gan, diam-diam ia menjadi gembira juga. Ang-pauw dari
hartawan Gan ini benar-benar besar, tentu terisi uang banyak atau
hadiah yang amat berharga. Akan tetapi hartawan itu sengaja
memasang ang-pauw di tempat yang amat kurang lebih tiga tombak
tingginya. Padahal, biasanya kalau ang-pauw digantungkan di atas
pintu, barongsal akan meloncat dan menyambar ang-pauw. Apakah
Barongsai Buntut Merah itu sanggup melompat setinggi itu?
Tiba-tiba dari timur terdengar suara gembreng dan tambur yang
lain lagi. Anak-anak dari timur berlarian datang dan terdengar anakanak
berterlak,
"Pek-bwe-sai (Singa Buntut Putih) datang...!"
Riuh rendah suara gembreng dan tambur kedua barongsai itu
dipukul pada saat yang sama dan di jalan raya yang sama pula. Kini
kedua barongsai yang bermain di depan setiap rumah, mulai
mendekati gedung Hartawan Gan, serombongan dari barat dan
rombongan Barongsai Buntut Putih dari timur!
Melihat suasana dan cara kedua pihak memukul tambur seperti
tambur perang. Lie Bu Tek berdebar hatinya. Dapat diramalkan
bahwa tentu akan terjadi keributan di jalan raya ini. Tidak biasa dua
Barongsai bertemu di jalan raya pada saat yang sama. Biasanya
diadakan perundingan lebih dulu dan diatur jalannya sehingga tidak
sampai bertemu di jalan.
Akan tetapi dua rombongan ini agaknya sengaja hendak bersaing
dan mencari keributan. Ketika rombongan Pek-bwe-sai sudah dekat,
8
Lie Bu Tek menjadi gelisah karena dari gerak kaki pemain-pemain
barongsai ini, tahulah ia bahwa mereka adalah anak murid dari Butong
pai.
Akan tetapi para penduduk yang sedang berpesta pora itu tidak
ada yang mempunyai dugaan seperti Bu Tek. Mereka bahkan
bergembira sekali, karena sekaligus ada dua rombongan barongsai
yang berlumba memperlihatkan permainan mereka yang indah
menarik. Terutama sekali anak-anak kecil bukan main senangnya. Di
sana-sini orang melempar lemparkan petasan ke arah dua barongsai
yang datang dari dua jurusan yang berlawanan itu. Suara tambur
dan gembreng bercampur-baur dengan suara petasan dan teriakanteriakan
anak-anak serta gelak tawa orang dewasa, benar-benar
menambah kegembiraan suasana. Tanpa disengaja para penonton
memperbesar api persaingan di antara kedua rombongan itu dengan
kata-kata demikian.
"Pek-bwe-sal lebih bagus. Lihat matanya berkilauan seperti
hidup'"
"Tidak. Ang-bwe-sai lebih indah, mulutnya bergerak-gerak dan
rambutnya lebih panjang'"
"Pek-bwe-sai lebih bagus mainnya, kakinya berloncatan dan
ekornya bergoyang-goyang, seperti singa hidup'"
"Benar, akan tetapi Ang-bwe-sai mempunyai pemain-pemain
yang pakaiannya lebih indah dan orang-orangnya lebih tegap dan
gagah."
Demikianlah, suara orang-orang yang menilai dua rombongan
barongsai itu seakan-akan menambah sakit hati dan kebencian di
antara kedua pihak. Apalalagi ketika ada yang menyatakan bahwa
permainan Pek-bwe-sai lebih indah dan permainan Ang-bwe-sai,
pihak Ang-bwe-sai tentu saja menjadi marah dan penasaran.
Memang mereka harus akui bahwa permainan barongsai Pek-bwesai
lebih indah mainnya, karena memang permainan anak murid
Butong-pai itu mengutamakan gerakan indah, sedangkan anak
murid Siauw-lim-pai mengutamakan gerakan-gerakan yang kuat.
Sebetulnya masing-masing memiliki gaya dan keindahan sendiri,
9
den kalau ditinjau oleh orang ahli silat, tentu saja permainan anak
murid Siauw lim-pai lebih baik.
Kini dua rombongan barongsai itu telah tiba di depan gedung
Gan-wangwe. Mereka agaknya sengaja mengatur agar supaya tiba
di tempat itu dalam waktu yang bersamaan. Orang-orang yang
menonton dua rombongan itu kini berkumpul menjadi satu, keadaan
ramai bukan main. Gan-wangwe sudah menyuruh para pelayan
untuk menghujankan petasan ke arah dua barongsai itu yang
seakan- akan kini menjadi "keranjingan" dan bermain dengan hebat
penuh semangat. Karena kedua barongsai itu bermain di bawah
gantungan ang-pauw, maka kelihatan seolah-olah mereka adalah
dua ekor singa yang hendak berkelahi, bukan main bagusnya.
Apalagi, dua rombongan itu sengaja pada saat memasuki gedung
itu, menyerahkan barongsai kepada ketua atau guru masing-masing
yang tentu saja lebih pandai bermain barongsai daripada anak
buahnya.
Pada saat yang telah tepat di bawah gantungan ang-pauw,
Barongsai Buntut Putih melakukan gerakan melompat ke atas.
Barongsal Buntut Merah tidak tinggal-diam melihat ang-pauw itu
hendak “dimakan” lawannya, maka ia pun melompat cepat. Indah
sekali dua gerakan itu, akan tetapi karena mereka melakukan
gerakan hampir berbareng, mulut barongsai itu saling beradu dan
tidak berhasil mencapal ang-pauw.
"Duk!” dan keduanya kembali turun ke bawah menari-nari lagi
dengan berangnya.
"Duk-duk-ceng! Duk-duk-ceng! Duk-duk ceng!” Tambur dan
gembreng kedua rombongan dipukul gencar seakan-akan mereka
memberi semangat kepada barongsai masing-masing.
"Dar-dar-dor-dor! Blung...!"
Suara petasan juga tidak kalah gencarnya dilepas oleh keluarga
dan pelayan Gan-wangwe yang tentu saja menjadi gembira sekali
melihat pertunjukan istimewa ini.
"Bagus! Hayo berlumba, siapa yang lebih pandai!"
10
"Pek-bwe-sat, tangkap ang-pauw itu lebih dulu!" Demikian
terdengar sorak sorai penonton. Tahun baru kali ini benar-benar
luar biasa dan ramai dengan adanya pertunjukan yang menarik dari
dua barongsai yang bersaingan ini.
Lie Bu Tek menahan napas. "Sin Hong, sebentar lagi mereka
akan bertarung. Alangkah bodoh dan memalukan orang-orang ini,
memperebutkan ang pauw dan lupa akan peraturan kang-ouw dan
persahabatan!" .
Akan tetapi Sin Hong tidak menjawab, karena anak ini juga amat
tertarik, memandang permainan kedua barongsai itu dengan wajah
berseri dan sepasang mata bersinar-sinar. Lie Bu Tek menunduk
dan memandang kepada anak angkatnya, dan ia tersenyum. Ia ikut
girang melihat bocah ini bergembira.
Tiba-tiba para penonton yang berada di luar sendiri berseru.
"Kim-gan-sai (Barongsat Mata Emas) datang...!"
"Aduh, bakal ramai Ini...!" teriak seorang penonton lain.
Lie Bu Tek menoleh. Ia melihat rombongan pemain barongsai
baru datang dengan cepat ke tempat itu. Rombongan ini berbeda
dengan dua rombongan yang saling berebut ang-pauw. Lebih
garang dan indah. Barongsai ini besar dan berat. Gembreng dan
tamburnya besar-besar dan suaranya amat nyaring sehingga setelah
dekat mengalahkan suara tambur dan gembreng dari dua
rombongan terdahulu.
Juga para pemainnya kelihatan gagah dan angker. Melihat gerak
kaki pemain yang menjalankan barongsai mata emas ini, diam-diam
Lie Bu Tek terkejut. Bukan orang sembarang yang memainkan
barongsai ini, akan tetapi orang yang memiliki kepandaian silat yang
berarti.
"Benar-benar bakal ramai sekarang!" PIkir Lie Bu Tek karena ia
maklum bahwa rombongan baru ini tentu bukan kebetulan datang di
tempat itu pada saat yang sama. Apalagi rombongan ini tidak
bermain di depan rumah-rumah yang dilalui melainkan langsung
menuju ke rumah Hartawan Gan!
11
Yang menarik hati Lie Bu Tek adalah ketika ia melihat betapa dua
rombongan yang sedang berebut ang-pauw itu rata-rata kelihatan
pucat dan gelisah. Apalagi para pemukul tambur dan gembreng
mata mereka tertuju ke arah barongsai mata emas yang baru
datang sehingga mereka menabuh asal bunyi saja, sama sekali tidak
mengikuti gerak-gerik barongsai masing-masing sehingga keadaan
menjadi makin ramai dan lucu! Pada saat itu Barongsai Mata Emas
telah tiba di tempat itu. Para penonton otomatis memberi jalan dan
dengan sebuah lompatan yang amat dahsyat sehingga menakutkan
sebagian penonton, barongsai ini telah tiba di bawah tempat
gantungan angpauw di mana dua barongsai buntut putih dan merah
sedang berlumba mendapatkan ang-pauw yang dipasang di tempat
tinggi itu.
Sekarang para penonton disuguhi pemandangan yang benarbenar
hebat, akan tetapi mereka kini agak merasa takut,
sungguhpun tak seorang juga mau meninggalkan tempat itu untuk
melihat pertandingan barongsai yang benar-benar tak pernah
terjadi.
Barongsai Mata Emas yang lebih besar ini ternyata dapat
bergerak jauh lebih gesit. Dengan gerakan kaki yang amat kuat, ia
menyeruduk ke kanan dan Barongsai Buntut Putih terkena
serudukan ini menjadi terjengkang ke belakang! Hampir saja
pemegang kepala barongsai jatuh kalau saja ia tidak cepat-cepat
ditolong oleh pemegang ekor barongsai. Kemudian dengan gerakan
yang serupa, sambil membalikkan tubuh dengan indahnya.
Barongsai Mata Emas menyeruduk Barongsai Buntut Merah dan
kembali barongsai ini terjengkang ke belakang.
Pengurus rombongan Barongsai Putih dan Barongsai Merah
menjadi penasaran, lalu mereka maju memprotes. Akan tetapi,
pemimpin rombongan Barongsai Mata Emas, seorang yang usianya
ada lima puluh tahun dan bertubuh jangkung kurus, melangkah
maju dengan sikap tenang akan tetapi mulut tersenyum mengejek.
"Mengapa ribut-ribut?" katanya. "Marilah kita sama lihat, siapa di
antara tiga barong barongsai yang sanggup mengambil ang-pauw
itu."
12
Agaknya pemimpin Barongsai Mata: Emas ini sudah dikenal baik
oleh rombongan Barongsai Putih dan Merah, mereka menjura
dengan sikap takut-takut lalu seorang di antara mereka berkata.
"Ciok-loya, harap maafkan kami, akan tetapi kami dengan
rombongan kami yang datang lebih dulu."
"Hm, begitukah. Kalau begitu, mengapa kalian berebut?
Sekarang begini saja, kita adukan tiga barongsai kita dan siapa yang
terjatuh dianggap kalah dan tidak berhak mengikuti perlumbaan
mengambil ang-pauw dari Gan-wangwe!"
Sambil berkata demikian, tanpa menanti jawaban ia lalu memberi
tanda kepada kawan-kawannya penabuh gembreng dan tambur.
Mereka ini agaknya sudah berunding lebih dulu karena tiba-tiba
tambur dan gembreng itu dipukul gencar, melagukan tambur
perang.
Tentu saja dua barongsai yang lain maklum akan tanda ini,
apalagi karena pihak mereka juga memainkan tambur dan
gembreng tanda bertempur, maka tiga barongsai itu lalu siap sedia
dengan gaya dan aksi masing masing. Para penonton menjadi
gembira bukan main. Sudah banyak mereka menonton pertandingan
pibu (adu kepandaian) antara ahli-ahli silat di panggung luitai
(panggung tempat adu silat), akan tetapi mengadu barongsai?
Sungguh kejadian yang amat aneh dan tak pernah terjadi!
Gan-wangwe adalah seorang yang gembira dan juga tabah. Ini
tidak mengherankan karena dia adalah seorang harlawan besar
yang selain mempunyai hubungan dengan para jagoan juga ia
menjadi kesayangan para pembesar setempat. Juga dia sendiri
memelihara jago-jago dan tukang-tukang pukul. Melihat betapa tiga
barongsai itu akan "bertanding", ia lalu memberi perintah kepada
para pelayan untuk mengeluarkan lebih banyak petasan lagi dan
sebentar saja tempat bertanding tiga barongsai itu dihujani petasan.
Benar-benar luar biasa sekali tahun baru ini!
Lie Bu Tek sendiri, biarpun ia seorang yang banyak pengalaman
dan sudah menghadapi hal yang aneh-aneh, selama hidupnya baru
kali ini melihat barongsai bertanding tiga buah banyaknya sekaligus!
la maklum bahwa pertandingan macam ini jauh lebih sulit daripada
13
pertandingan pibu biasa, karena sebagaimana diketahui, pemain
barongsai terdiri dan pada dua orang, seorang pemegang kepala
dan seorang memegang ekor. Keduanya tertutup oleh kain yang
merupakan "tubuh" barongsai sehingga sukar sekali melihat ke
depan.
Pemegang kepala yang selalu di depan, tak dapat menggerakkan
kedua tangan untuk bertempur, karena kedua tangannya sudah
dipergunakan untuk memegang kayu pegangan di dalam kepala
barongsai. Hanya kedua kaki mereka yang bebas, sedangkan
pandangan mata mereka pun amat terbatas dan terhalang yakni
melalui mulut barongsai. Dengan berdebar dan tegang Lie Bu Tek
menonton dengan asyiknya, bahkan ia lalu memanggul Wan Sin
Hong di pundaknya agar bocah ini dapat menonton dengan leluasa,
tidak terhalang oleh lain orang penonton.
Maka terjadilah "pertempuran" yang hebat. Kalau saja
pertempuran itu hanya merupakan permainan tiga barongsai
sekaligus, biarpun sudah amat indah, agaknya tidak menimbulkan
suasana yang demikian tegangnya. Tambur dan gembreng dipukul
sekeras-kerasnya, petasan hujan di atas kepala tiga barongsai itu.
"Hem, pertempuran yang curang," kata Lie-Bu Tek dalam
hatinya. "Terang sekali barongsai Mata Emas dikeroyok dua."
Memang demikianlah keadaannya. Barongsai bermata emas yang
kepalanya lebih besar dan berat dan gerakan-gerakan kakinya
demikian teratur tanda bahwa yang memainkannya memiliki ilmu
silat yang tinggi dikeroyok dua oleh barongsai Pek-bwe-sai dan Angbwe-
sai. Agaknya dua orang yang memainkan Barongsai Buntut'
Putih dan Buntut Merah ini tahu aka kelihatan lawan, muka mereka
yang tadinya berebut ang-pauw kini menjadi kawan mengeroyok
Barongsai Mata Emas. Namun, sebentar saja pertandingan itu
berakhir. Ketika Barongsai Buntut Putih dan Barongsai Buntut Merah
menyerang dari kanan kiri, menyecruduk ke arahb pemain
Barongsai Mata Emas, tiba-tiba Barongsai ini melompat keras sekali
ke belakang sehingga dua barongsat yang mengeroyoknya saoling
beradu kepala sendiri. Tiba-tiba pemain Barongsai Mata Emas
menggerakkan kakinya susul-menyusul. Terdengar suara "tak! tak!"
dan, dan pemain-pemain barongsai yang mengeroyok itu roboh
14
sambil berteriak kesakitan. Ternyata bahwa tulang kering mereka
telah patah oleh tendangan lawan tadi.
Baiknya mereka cepat-cepat melepaskan kepala barongsai
masing-masing, karena pemain Barongsai Mata Emas itu cepat
menghampiri kepada
Barongsai Buntut Putih dan
sekali ia menendang, pecahlah
kepala barongsai ini. Setelah
itu, ia menggerakkan
barongsai dan memukulkan
kepala barongsai ini ke atas
Barongsai Buntut Merah,
terdengar suara keras dan
kepala barongsai ini pun
hancur!
Otomatis penabuh-penabuh
gembreng, tambur dan
barongsai-barongsai yang
terkalahkan menghentikan
permainan mereka. Semua
orang menjadi pucat dan
semata yang terdengar
hanyalah permainan tambur dan gembreng dari Barongsai Mata
Emas, dipukul perlahan-lahan sedangkan barongsai itu sendiri
menari-nari dengan gaya sombong sekali. Kepala barongsai
diangkat tinggi-tinggi, diputar ke kanan kiri seakan-akan seekor
singa hidup mencari lawan baru! Dalam mengangkat barongsai ini
kelihatanlah muka si Pemain, dan terkejutlah Lie Bu Tek. la
mengenal muka ini, muka seorang penjahat besar di daerah selatan
Sungai Huang-ho yang bernamu Lee Kan Sek, berjuluk Thiat-say
atau Singa Besi! Agaknya dua rombongan yang dikalahkan juga
mengenal orang ini karena mereka menjadi makin ketakutan dan
gelisah sekali.
Hartawan Gan, seorang, yang gemuk pendek dan bermuka
periang, merasa hawatir juga melihat kesudahan dari permainan
ketiga barongsai ini. la lalu keluar dan dengan suara ramah-tamah
berkata.
15
"Cuwi sekalian, kami merasa terima kasih sekali bahwa cuwi dan
ketiga rombongan telah sudi meramaikan rumahku dengan
permainan barongsai yang amat indah. Karena sudah jelas bahwa
rombongan Kim-gan-sai menang ia berhak mencoba untuk
mengambil ang-pauw yang saya gantungkan di atas. Agar dapat
diketahui oleh umum, di dalam ang-pauw itu terisi emas sebanyak
lima tail. Akan tetapi, bagi rombongan yang barongsai yang
dikalahkan, saya akan menyumbang masing-masing dua tail emas
untuk memperbaiki barongsai mereka yang rusak. Harap saja
urusan ini dibikin habis sampai di sini saja."
Para penonton bersorak girang memuji kebaikan hati hartawan
itu, yang sesungguhnya melakukan sumbangan bukan karena
kebaikan hatinya, akan tetapi untuk mencegah terjadinya kerilbutan
dan terutama sekali untuk mencari nama baik dengan sumbangansumbangannya
yang royal atau tegasnya, sebagai reklame saja!
Tiba-tiba Tiat-sai Lee Kam Sek berseru keras dan sekali ia
melompat, barongsainya telah berhasil "menggigit” ang-pauw yang
tergantung setinggi tiga tombak itu.”
"Gerakan Pek liong-seng-thian (Naga Putih Naik ke Langit) yang
indah!" Tak terasa pula Lie Bu Tek memuji. Mendengar ini, dari
lubang mulut barongsai Lee Kan Sek mencari-cari siapa orangnya
yang mengeluarkan pujian ini, akan tetapi oleh karena tempat itu
penuh dengan penonton, ia tidak dapat mencarinya. Dengan
gerakan yang kuat sekali, ia melontarkan barongsai ke atas setinggi
tombak sambil berseru,
"Cong-te (Adik Cong), terimalah!"
Dan rombongan pemain Kim-gan-sai melompat seorang laki-laki
bertubuh kate dan dengan cekatan sekali ia menerima kepala
barongsai itu, demikian pula seorang pemain lain menggantikan
kedudukan pemain buntut barongsai. Demontrasi ini disambut
dengan tepuk tangan riuh oleh penonton.
Tiat-sai Lee Kan Sek lalu menghampiri rombongan Pek-bwe-sal
dan Ang hwe-sai sambil berkata sombong.
"Kalian sudah menjadi pecundang, dan lekaslah enyah dari sini!
Sebelum kami berhenti bermain di kota ini, kalian tidak boleh
16
muncul, juga tidak boleh menerima sumbangan dan siapapun juga.
Karena itu sumbangan dan Gan-wangwe juga boleh kalian terima.
Ada yang tidak setuju?" Kata-kata ini merupakan tantangan terbuka.
Akan tetapi rombongan Pek-bwe-sai dan Ang-bwe-sai yang sudah
tahu bahwa perkumpulan yang mengeluarkan Kim-gan-sai amat
kuatnya, juga di situ terdapat pula jagoan ini menjadi gentar dan
dengan kepala tunduk mereka bersiap-siap untuk pergi. Ganwangwe
yang melihat ini diam saja, karena hal itu dianggap bukan
urusannya. Juga hartawan ini tahu diri, ia tidak mau menanam bibit
permusuhan dengan perkumpulan Bu-cin-pang yang mengeluarkan
Kim gan-sai itu.
Akan tetapi pada saat itu tiga orang pengemis yang berpakaian
baru akan tetapi penuh dengan tambalan melompat maju sambil
berkata,
"Tidak adil! Tidak adil' Dari pada emas dan sumbangan diberikan
kepada jagoan-jagoan sombong yang pada hakekatnya tak lain
daripada perampok-perampok keji, lebih baik disumbangkan kepada
jembel-jembel seperti kami!" Sambil berkata demikian, seorang di
antara mereka yang bertubuh jangkung bermuka kuning bergerak
cepat sekali dan tahu-tahu ia telah merampas ang-pauw yang tadi
disambar oleh barongsai Kim-ga sai!
Bungkusan ang-pauw ini telah dipegang oleh seorang anggauta
rombongan sebagai bendahara dan orang ini tidak dapat mengelak
lagi karena gerakan pengemis itu benar-benar cepat sekali.
Bukan main marahnya rombongan Kim-gan-sai dan orang-orang
yang tadinya menonton, cepat-cepat menyingki karena maklum
bahwa tentu akan terjadi keributan hebat. Semua orang kini
mencurahkan perhatian mereka kepada tiga orang pengemis aneh
itu. Keadaan mereka benar-benar aneh. Perampas ang-pauw tadi
bertubuh kurus jangkung, bermuka kuning dan biarpun pakaiannya
penuh tambalan, akan tetapi terbuat dari kain yang baru semua!
Demikian juga dua orang kawannya memakai pakaian penuh
tambalan, yang seorang kurus kecil seperti orang cacingan, yang
kedua bertubuh gemuk dan bundar seperti katk dan mulutnya selalu
tersenyum lebar.
Ketika Lie Bu Tek ikut memandang, menjadi tertegun dan heran.
17
"Hemm, mereka ini dari Hek in-kai-pang (Perkumpulan Pengemis
Sabuk Hitam), mengapa muncul di sini?" pikirnya.
Sementara itu, pengemis kurus yang meraumpas ang-pauw, lalu
membuka bungkusan itu dan memberi dua tail kepada Pek-bwe-sai
dan Ang-bwe-sai, katanya tertawa,
"Gan-wangwe telah berbaik hati mengganti kerugian kalian, nah,
terimalah bagian kalian dan segera pergilah. Sisanya yang satu tail
untuk kami jembel-jembel miskin."
Dua rombongan yang barongsainya rusak, menerima dengan
takut-takut, akan tetapi mereka tahu diri dan cepat-cepat pergi dan
tempat itu. Hanya sebagian yang tabah saja diam-diam
mencampurkan diri dengan penonton untuk mengetahui bagaimana
kelanjutan pertengkaran itu.
Tiat-sai Lee Kan Sek menjadi merah mukanya. Alisnya berdiri dan
giginya dikerutkan. Kalau tadi ia tidak segera turun tangan, adalah
karena ia mengenaI pula pengemis-pengemis yang pada
pinggangnya diikat sabuk hitam. Ia menjura kepada Si Jangkung
sambil berkata,
"Tuan-tuan dari Hek-in-kaipang mengapa mencampuri urusan
permainan barongsai? Kalau Cuwi hendak mencari nafkah di saat
tahun baru ini, mengapa tidak mengambil jalan lain?"
Pengemis jangkung itu tertawa. "Sudah lama kami mendengar
nama perkumpulan Bu-cin-pang di kota Keng-sin-bun yang tersohor
galak dan mempunyai banyak pengurus yang gagah perkasa.
Bahkan sudah lama kami kagum akan nama ketuanya, yakni Ma Ek
Lo-eng-hiong yang berjuluk Siang-pian Giam-ong (Raja Maut
Bersenjata Sepasang Pian). Akan tetapi tidak tahunya pada hari baik
ini kami menyaksikan perbuatan yang amat galak dari Bu-cin-pang.
Perbuatan sewenang-wenang, tapi apakah tanggung jawab Bu-cinpang
ataukah kau orang she Lee yang sengaja hendak
membusukkan nama Bu-cin-pang dan memperlihatkan kegagahan?"
Thiat-sai Lee Kan Sek marah sekali, mukanya yang sudah merah
itu menjadi makin merah, matanya mendelik.
18
“Kalau aku orang she Lee memandang muka Nona Kiang Cun
Eng yang menjadi Pangcu (Ketua) Hek-in-kaipang, apa kalian kira
aku dapat menahan sabar lagi? Hai, orang-orang Hek-in kaipang!
Kalau kalian perlu sumbangan, tidak apa uang lima tail emas itu
kalian ambil, akan tetapi jangan kalian menghina nama Bu-cin-pang!
Hinaan harus dibayar dengan pukulan kecuali kalau si penghina
minta maaf sambil berlutut. Pilih saja sekarang, minta maaf atau
dihajar?"
Pengenns jungkung itu tertawa terbahak-bahak.
"Aku Hek-lo-kai (Pengemis tua Hitam) selamanya memang
menjadi pangemis, akan tetapi minta maaf kepada seorang
pencoleng? Aha, hal ini selamanya aku tidak pernah dan tak sudi
lakukan! Bagaimana dengan kalian!" Ia bertanya kepada dua orang
kawannya.
"Pengemis makan pun dari seorang pencoleng aku Siauw-mo-kai
(Pengemis Setan Cilik) tak sudi lakukan, apalagi minta maaf?" jawab
pengemis yang bertubuh kurus kecil.
"Ha, ha, ha, perutku penuh makanan dari orang-orang yang
menaruh hati kasihan kepadaku. Akan tetapi aku belum pernah
minta apa-apa dari pencoleng, apalagi minta maaf, jangan harap
Oei-bin-kai (Pengemis Muka Kuning) sudi lakukan!" jawab pengemis
gendut yang memang bermuka kuning itu sambil tertawa-tawa.
"Kurang ajar, kalau begitu kalian sudah bosan hidup!" bentak
Tiat-sai Lee Kan Sek dan di lain saat ia telah mencabut sebatang
golok besar sambil memberi tanda kepada kawan-kawannya.
Sebentar saja tiga orang pengemis itu sudah dikurung oleh sebelas
orang Bu-cin-pang yang memegang senjata tajam. Akan tetapi tiga
orang pengemis itu tidak gentar biarpun mereka hanya memegang
sebatang tongkat hitam yang tidak karuan macamnya, ada yang
bengkok-bengkok ada yang lurus.
"Serang!" Lee Kan Sek memberi aba-aba sambil menerjang
pengemis jangkung dengan goloknya. Hek-lo-kai menangkis dan
membalas dengan totokan tongkatnya. Ternyata ia lihai sekali dan
begitu menangkis dapat membalas serangan lawannya. Akan tetapi
Lee Kan Sek juga lihai ilmu goloknya, cepat dapat menangkis dan
19
terus membabat. Kawanan Bu-cin-pang sudah serentak maju dan
terjadilah pertempuran yang hebat dan mato-matian. Suara senjata
beradu dengan tongkat menerbitkan suara nyaring, tanda bahwa
ternyata tongkat-tongkat itu pun terbuat daripada logam keras
seperti baja.
Gan-wangwe cepat memasuki gedungnya, mempersiapkan
orang-orangnya untuk menjaga pintu depan, sedang dia sendiri lalu
naik ke loteng untuk menonton pertempuran itu dari atas. Orangorang
yang tadi mengerumuni tempat itu lalu bubar dan hanya
menonton dari jauh dengan hati berdebar-debar. Kalau
pertempuran sudah demikian hebat berarti akan ada nyawa
melayang dan tentu saja mereka merasa ngeri. Hanya Lie Bu Tek
memondong Wan Sin Hong masih berdiri tenang.
"Gihu, aku benci pemain-pemain barongsai itu. Mereka orangorang
jahat. Mengapa Gi-hu tidak membantu para pengemis yang
dikeroyok?" kata Sin Hong penasaran.
"Tak perlu, Kepandaian tiga orang pengemis Hek-kin-kaipang itu
tak boleh dibuat main-main dan mereka tak kan kalah kalau hanya
dikeroyok oleh sebelas orang itu," Jawab Lie Bu Tek dan melihat
pada pengemis anggauta Hek-in-kaipang itu teringatlah ia akan
semua pengalamannya dahulu dengan Nona Kiang Cun Eng, ketua
dari Hek-kin-kaipang yang cantik dan genit. Tak terasa lagi
merahlah mukanya saking malu dan jengah. Di dalam cerita
Pendekar Budiman (Hwa I Enghiong) telah diceritakan, bagaimana
Lie Bu Tek pernah terjatuh dibawah pengaruh kecantikan Kiang Cun
Eng dan menjadi seorang tak berdaya, dipermainkan seperti
boneka. Baiknya akhirnya ia dapat melepaskan diri dari pengaruh
Nona Ketua Perkumpulan Hek-kin-kaipang itu. Sekarang tak
terduga-duga ia bertemu dengan anggauta-anggauta Hek-kinkaipang,
tentu saja semua pengalaman itu terbayang kembali dan ia
merasa malu kepada diri sendiri.
Akan tetapi ucapan Lie Bu Tek tadi ternyata tidak keliru.
Kepandaian tiga orang pengemis itu benar-benar lihai. biarpun
dikeroyok oleh sebelas orang, mereka tidak terdesak, bahkan
berturut-turut telah berhasil merobohkan enam orang! Yang masih
dapat mengimbangi kepandaian mereka hanya Tiat-sai Lee Sek dan
20
empat orang kawannya, akan tetapi Singe Besi ini dengan kawankawannya
juga sudah mulai terdesak oleh permainan tongkat yang
lihai dari tiga orang pengemis itu.
Pada saat pertempuran sedang ramai-ramainya, tiba-tiba
berkelebat bayangan yang gesit sekali dan tahu-tahu di situ telah
berdiri seorang laki-laki tinggi kurus yang bermuka pucat. Laki-laki
memandang marah dan membentak,
"Berhenti! Tahan semua senjata!"
Bagi Lee Kan Sek dan kawan-kawannya yang mengenal suara ini
sebagai suara ketua mereka, tentu saja tidak berani membantah
dan cepat melompat ke belakang, Adapun tiga orang pengemis itu
pun terkejut karena bentakan nyaring sekali, tanda bahwa orangnya
memiliki lweekang yang tinggi. Mereka cepat melompat mundur dan
memandang. Orang itu mengeluarkan kata-kata yang tegas.
"Selamanya Bu-cin-pang tidak pernah ada urusan dengan Hekkin-
kaipang. Pada hari baik ini mengapa orang Hek-kin-kai- pang
sengaja menghina kami? Apakah orang Hek-kin-kaipang sudah tidak
memandang mukaku lagi ataukah sengaja hendak mencari
permusuhan?"
Hek-lo-kai yang agaknya menjadi wakil dua orang kawannya,
segera maju dan berkata. "Ma-lo-enghiong harap suka memaafkan
kami bertiga. Sesungguhnya bukan kami yang " mencari
permusuhan, tetapi karena kami melihat sepak-terjang orang she
Lee dan kawan-kawannya amat jahat dan sewenang-wenang,
terpaksa kami berlancang tangan, membantu Lo-enghiong untuk
memperingatkan mereka. Harap Lo-enghiong suka menegur mereka
itu agar mereka tidak menyeret nama Bu-cin-pang yang harum ke
lembah pecomberan."
Orang itu memang Siang-pian Ciam, Ma Ek, ketua Bu-cin-pang
yang tadi menerima laporan dari seorang anak buahnya tentang
peristiwa yang terjadi di depan gedung Gan-wanggwe. Mendengar
pengemis tinggi itu bukan minta maaf atas kesalahan mereka akan
tetapi sebaliknya menjelekkan nama baik para anggautanya, bahkan
menyuruh ia menegur anggauta-anggautanya sendiri, bukan main
marahnya. Kumisnya yang pendek itu seakan-akan berdiri dan sekali
21
tangannya bergerak tahu-tahu ia telah memegang siang-pian
(senjata ruyung lemas) yang arnanya kchijauan.
"Hm, hem, memang aku harus menegur mereka yang tidak
punya guna, mudah saja terhina oleh tiga orang pengemis
sombong. Biarlah aku yang akan menebus kebodohan mereka itu.
Sambutlah!"
Tiga orang pengemis itu terkejut sekali ketika melihat dua sinar
hijau menyambar. Mereka cepat mengangkat tongkat untuk
menangkis.
"Krak! Krak! Krak!" tiga batang tongkat itu patah pada tengah
tengahnya! Tiga orang pengemis itu menjadi terkejut sekali dan
melompat mundur dengan muka pucat.
"Kami orang orang Hek-kin-kaipang hari ini menerima pelajaran
dari Ma Ek Lo-enghlong dan mengaku kalah. Biar lain kali ketua
kami akan datang menghaturkan terima kasih," kata Hek-lo-kai
sambil menjura.
Akan tetapi sekali menggerakkan kakinya, Siang-pian Giam-ong
sudah melompat menghadapi mereka.
"Enak saja kalian ini, sudah menghajar orang-orangku akan
angkat kaki dengan mudah! Agar ketuamu Nona Kiang Cim Eng
percaya akan penuturanmu, kalian harus meninggalkan sebelah
telinga di sini.” Setelah berkata demikian, sepasang piannya
bergerak cepat hendak menghancurkan sebelah telinga tiga orang
itu.
"Traaang! Traaang!" Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika
pian itu beradu dengan sebatang pedang yang menangkis serangan
dua senjata pian itu. Lie Bu Tek ketika melihat bahaya meugancam
tiga orang pengemis itu, telah melemparkan tubuh Sin Hong ke atas
lapangan pertempuran sedangkan ia sendiri lalu melompat dan
menangkis sepasang pian itu.
Selagi Siang-pian Giam-ong yang kaget melompat ke belakang,
Lie Bu Tek berseru keras.
"Turunlah, Hong-ji!"
22
Tubuh Sin Hong tadi dilontarkan ke atas dan kini meluncur ke
bawah dan Anak yang sudah terlatih baik ini dapat meluncur turun
dengan kedua kakinya di bawah. Akan tetapi, melihat ayah
angkatnya hendak menyambut kedua kakinya ia merasa kurang ajar
sekali kalau ia membiarkan kedua tangan ayah angkatnya menerima
telapak kakinya yang kotor. Maka dengan gerakan loh-be (semacam
salto) atau poksai di tengah udara sehingga kini ia meluncur dengan
kepala di bawah. Para penonton yang melihat hal ini menahan
napas, khawatir kalau-kalau anak itu akan mendapat bencana. Akan
tetapi dengan tenang Sin Hong menggunakan kedua tangannya ke
bawah, diterima oleh kedua tangan Bu Tek yang sudah
menancapkan pedang di atas tanah dan sekali gerakan tangan
orang gagah ini membuat Sin Hong berjumpalitan dan tiba di atas
tanah dalam keadaan berdiri tegak, sedikit pun tidak bergoyang
atau kehilangan keseimbangan badan.
"Lie Bu Tek Taihiap...!" Hek-lo-kai mengenaI pendekar ini yang
dulu pernah menjadi kekasih Kiang Cun Eng ketua Hek-kin-kaipang.
"Kalian pulanglah, biarkan aku menghadapi Bu-cin-pang dan
mintakan maaf untukmu." kata Lie Bu Tek. Pertemuan dengan
anggauta-anggauta Hek-kin-kai-pang tidak menyenangkan hatinya
karena mengingatkan ia akan pengalamannya yang memalukan
dengan ketua perkumpuim pengemis itu.
Hek-lo-kai dan kawan-kawannya menjura menghaturkan terima
kasih, lalu berjalan pergi menyelinap di antara ratusan orang yang
berkumpul di tempat itu.
Lie Bu Tek mencabut pedangnya dari tanah, lalu menjura kepada
Siang-pian Giam-ong Ma Ek yang memandang dengan mata merah.
"Siang-pian Gian-ong Ma Ek Lo-enghiong siauwte Lie Bu Tek
mohon dengan hormat, sukalah Lo-enghiong menghabiskan urusan
ini sampai di sini saja dan suka memaafkan tiga orang tua dari Hekkin-
kaipang itu. Mengingat akan hari baik ini, tentu Lo-enghiong sudi
memandang muka siauwte dan memaafkan mereka."
Siang-pian Giam-ong tahu bahwa orang yang menangkis siangpiannya
ini memiliki kepandaian tinggi, maka ia berlaku hati-hati dan
biarpun ia marah sekali, bertanya.
23
"Kau ini dan golongan mana dan murid siapakah berani
mencampuri urusa Bu-cin-pang?"
Kalau Bu Tek ingin mencari perkara, tentu ia takkan
memperkenalkan perguruannya, akan tetapi oleh karena ia benarbenar
mengharapkan perdamaian, ia lalu menjawab terus terang.
"Siauw te adalah anak murid Hoa-san pai. Sehingga kita boleh
dibilang masih tetangga dekat. Sekali lagi, kalau Lo-enghiong tidak
mau memandang muka siauwte, harap mengingat perhubungan
dengan guruku, Liang GI Tojin."
Mendengar bahwa Lie Bu Tek adalah anak murid Hoa-san-pai,
Siang pian Giam- ong Ma Ek lalu tertawa bergelak dengan suara
menghina sekali.
"Aha, tidak tahunya murid Hoa-san pai. Sudah lama aku
mendengar murid-murid Hoa-san-pai banyak yang melakukan
perbuatan memalukan. Saudara Lie Bu Tek, tidak tahu apakah
benar berita-berita yang kudengar tentang anak murid Hoa-san-pai
yang tidak tahu main? Kabarnya ada seorang murid perempuan
yang telah menikah dengan seorang pangeran bangsa Kin. Menikah
dengan pangeran musuh pada saat rakyat sedang berjuang matimatian
mengusir bangsa Kin, benar-benar luar biasa sekali. Ada lagi
yang selalu menimbulkan kerusuhan, memusuhi tokoh-tokoh dari
lain partai persilatan, mengandalkan kepandaiannya sendiri.”
"Ma-enghiong, harap kau jangan menghina kami orang-orang
Hoa-san!" kata Lie Bu Tek menahan marahnya. TeIinganya sudah
panas mendengar betapa perbuatan saudara-saudara
seperguruannya dikecam demikian pedas.
"Siapa menghina aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya
belaka, bagaimana dianggap menghina? Kaulah yang, menghina
kami, kau berlancang mencampuri urusan kami. Sekarang aku
percaya bahwa memang anak murid Hoa-san-pai sombongsombong.
Agaknya Liang Gi To-jin sudah tak dapat mengajar muridmuridnya
lagi."
"Tutup mulutmu!" Lie Bu Tek membentak marah mendengar
nama suhunya dibawa-bawa. "Tarik kembali omonganmu menghina
Suhu, kalau tidak aku akan memaksamu!"
24
"Bocah sombong sambutlah siang-pian ku!" Sambil berkata Ma Ek
tertawa mengejek. "Hendak kulihat bagaimana kehendak
memaksaku?" demikian Ma Ek lalu menggerakkan kakinya maju dan
mainkan siang-pian melakukan serangan hebat.
"Hong-ji, mundur kau!" seru Lie Bu Tek kepada putera
angkatnya. Anak ini melompat mundur, akan tetapi tidak terlalu
jauh karena ia ingin sekali melihat bagaimana ayah angkatnya
memberi hajaran kepada manusia sombong itu. Sementara itu,
dengan pedangnya, Lie Bu Tek menangkis datangnya siang-pia lalu
membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya. Selama
beberapa tahun ini, kepandaian Lie Bu Tek telah meningkat cepat
karena segala pengalamannya yang sudah lalu mengingatkannya
bahwa kepandaiannya masih amat rendah tingkatnya.
Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat memang indah dan cepat.
Sungguhpun sepasang pian di tangan Ma Ek bergerak cepat dan
kuat, namun ia masih kalah kalau dibandingkan dengan Lie Bu Tek.
Pertempuran hebat terjadi dan beberapa kali terdengar suara
nyaring kalau pedang bertemu dengan pian, dan bunga api berpijar
ke sana ke mari. Dalam pertemuan senjata ini, Ma Ek selalu merasai
tangannya tergetar dan piannya tertolak kembali. Memang Lie Bu
Tek adalah seorang murid Hoa-san-pai yang memiliki tenaga
lweekang paling tinggi. Ia langsung menerima latihan dari Liang Gi
Tojin, tokoh pertama dari Hoa-san-pai.
Lie Bu Tek tahu bahwa kalau ia memperoleh kemenangan,
akhirnya ia tentu akan dikeroyok oleh orang-orang Bu-cin-pang.
Pengeroyokan ini tentu saja tidak ia takuti kalau saja ia tidak
mengingat bahwa ia berada di situ bersama Wan Sin Hong putera
angkatnya. Kalau sampai terjadi pengeroyokan, tentu keselamatan
puteranya itu akan terancam dan ia belum tentu dapat melindungi
dengan baik.
"Lepaskan senjata!" Lie Bu Tek tiba- tiba berseru keras sambil
mengerahkan seluruh tenaganya, menghantam pian kanan
lawannya dengan pedang. Terdengar suara nyaring dibarengi pekik
Siang-pian Giam-ong Ma Ek yang benar-benar tak dapat menahan
hantaman ini dan pian di tangan kanannya telah terlepas dari
pegangan!
25
Lie Bu Tek cepat menjura dan berkata, "Ma-lo-enghiong, harap
maafkan sauwte dan terima kasih bahwa kau orang tua sudah
mengalah!" Tanpa menanti jawaban lagi, Lie Bu Tek menyambar
tubuh Sin Hong dengan tangan memondong anak itu dan melompat
pergi cepat sekali.
Tepat seperti dugaannya, Ma Ek tidak mau sudah sampai di situ
saja dan kalau sekiranya Lie Bu Tek tidak lekas-lekas lari tentu ia
akan dikeroyok. Kini Ma-Ek hanya dapat menyambitkan tiga batang
piauw ke arah punggung Lie Bu Tek. Pendekar ini sudah menduga
akan hal itu, maka ia belum menyimpan pedangnya. Tanpa
menoleh, ia menggerakkan pedang ke belakang dan berhasil
menyampok runtuh tiga batang piauw itu. Di lain saat ia telah
lenyap dan sebuah tikungan jalan dan cepat-cepat ia lari keluar
kota, terus mempergunakan ilmu lari cepat mendaki Bukit Hoa-san.
"Gi-hu, kau menang mengapa melarikan diri?" tanya Wan Sin
Hong dengan suara mengandung penasaran.
"Kalau tak lari mereka akan mengeroyokku, Hong-ji."
"Lebih balk lagi! Kau bisa menghajar semua buaya darat itu Gihu.
Membasmi penjahat harus sampai dengan akar-akarnya.
Lie Bu Tek tersenyum. Kata-kata yang diucapkan oleh Sin Hong
ini adalah kata-katanya sendiri yang pernah diajarkan kepada
anaknya itu. Memang Lie Bu iek telah banyak menjejalkan sifat-sifat
pendekar kepada anaknya ini dan ternyata bahwa otak anak ini luar
biasa tajamnya, dapat mengingat setiap pelajaran, baik pelajaran
bun maupun bu.
"Mereka belum tentu penjahat-penjahat yang harus dibasmi,
Hong-ji. Keributan yang baru saja terjadi hanya disebabkan oleh
persoalan kecil belaka, tak perlu menanam bibit permusuhan hebat
karena persoalan kecil."
"Akan tetapi Ma Ek tadi telah menghina Hoa-san-pai seperti yang
Gi-hu katakan sendiri! Penghinaan bukanlah kecil. Dia mengatakan
fitnah yang keji-keji terhadap anak murid Hoa-san-pai!"
"Bukan fitnah Hong-ji, memang yang ia katakan tadi semua betul
dan pernah terjadi."
26
"Apa? Murid perempuan Hoa-san-pai menikah dengan pangeran
bangsa Kin? Tak mungkin! Bukankah menurut Gi-hu, semua murid
Hoa-san-pai membantu perjuangan mengusir orang-orang Kin?
Betulkah itu? Murid Hoa-san-pai yang mana yang telah menikah
dengan pangeran bangsa Kim?"
Lie Bu Tek menahan napas. Apa yang harus ia jawabkan? Anak
ini sudah mulai besar dan telah dapat mempergunakan akal budi
dan pikirannya. Lebih baik ia berterus terang. Ia lalu menurunkan
anak itu dan mengajaknya duduk di bawah pohon.
"Jangan kau kaget Hong-ji. Murid perempuan yang menikah
dengan Pangeran Kim itu bukan lain adalah mendiang ibumu
sendiri, Thio Ling In sumoi!"
Sin Hong melompat berdiri seperti diserang ular. Wajahnya yang
tampan Menjadi pucat sekali dan matanya memandang kepada Lie
Bu Tek seperti memandang iblis yang muncul di tengah hari.
"Gihu... kalau begitu... kalau begitu mendiang ayahku... dia...."
Lie Bu Tek mengangguk. "Mendiang ayahmu adalah pangeran
Kin itulah, namanya Wan-yen Kan dan telah menikah dengan
Ibumu, menjadi Wan Kan dan menjadi seorang Han."
"Tak mungkin! Gi-hu bilang bahwa orang-orang Kin jahat. Tak
mungkin orang Kin jahat menjadi Ayahku!" Anak ini mengeluarkan
kata-kata sambil berteriak-teriak marah, mukanya merah sekali
sekarang dan dua titik air mata mengalir ke atas pipinya, dua
tangannya yang dikepalkan erat-erat.
Lie Bu Tek menangkap tangan anak itu dan menariknya ke atas
pangkuannya lalu ia mengelus-elus rambut itu penuh kasih sayang.
"Tidak semua orang Kin jahat, anakku, seperti juga tidak semua
bangsa kita baik. Ada orang jahat tentu ada orang baik, demikian
sebaliknya. Ayahmu, biarpun seorang pangeran Kin, namun ia
benar-benar seorang gagah yang berbudi mulia. Kau tak usah
kecewa atau malu mempunyai seorang ayah seperti dia, biarpun dia
seorang pangeran musuh."
Tak tertahankan lagi menangislah Wan Sin Hong di atas
pangkuan ayah angkatnya.
27
"Hong-ji, tak baik seorang laki-laki menangis." kata Lie Bu Tek
setelah ia membiarkan anak itu menangis beberapa lamanya.
Wan Sin Hong cepat menyapu matanya dengan ujung bajunya
dan memandang kepada ayah angkatnya dengan mata memohon.
"Gihu, ceritakanlah semua tentang mendiang Ayah Bundaku,
ceritakanlah tentang Hoa-san-pai dan anak-anak muridnya.”
"Baiklah, Sin Hong. Kau akan kubawa menghadap kepada
Sucouwmu, memang baik kalau kau mendengar tentang keadaan
Hoa-san-pai agar kau tahu jelas segala persoalannya." Kemudian Lie
Bu Tek menceritakan semua kejadian yang lalu sebagaimana yang
telah dituturkan di dalam cerita “Pendekar Budiman”. Akan tetapi
bagi para pembaca yang belum pernah membaca cerita Pendekar
Budiman, baiklah kita rnendengarkan penuturan singkat dari Lie Bu
Tek.
"Tokoh Hoa-san-pai ada empat orang." Lie Bu Tek mulai
bercerita, "Pertama adalah guruku sendiri yakin Liang Gi Tojin, ke
dua Liang Bi Suthai yang sudah gugur dalam pertempuran. Liang Bi
Suthai seorang murid wanita, yakni Thio Ling In sumoi."
"Ibuku?" tanya Sin Hong.
"Ya, Ibumu. Tokoh ke tiga adalah ang Siang Tek Sianseng yang
mempunyai murid Gan Hok Seng sute."
"Kau maksudkan Paman Hui-houw (Macan Terbang) yang tinggal
di Kanglam?"
"Benar, dialah Hui-houw Gan Hok Seng yang sekarang menjadi
kepala Piauwsu di Kanglam. Kemudian, tokoh ke empat adalah Tan
Seng. Dia ini membawa seorang anak perempuan bernama Liang Bi
Lan yang kemudian menjadi murid dari semua tokoh Hoa-san,
memiliki kepandaian paling tinggi, bahkan kemudian menjadi murid
orang pandai dan akhirnya menikah dengan pendekar besar Go
Ciang Le."
"Apakah kau maksudkan Hwa I Enghiong (Pendekar Baju
Kembang))"
28
"Benar dia. Sayang sudah lama aku tidak bertemu dengan dia
dan lebih sayang lagi kau belum pernah melihatnya. Dialah
pendekar yang sudah menggemparkan dunia kang-ouw beberapa
tahun yang lalu. Kelak tentu aku akan membawamu menghadap
pendekar besar itu, karena kalau kau bisa menerima bimbingan ilmu
silat dari dia, kau akan beruntung sekali."
"Lalu bagaimana dengan Ibuku? Bagaimana dia bisa menikah
dengan seorang pangeran Kin?"
"Pada masa itu, kami semua anak murid Hoa-san pai berjuang
untuk menggulingkan pemerintah Kin. Akan tetapi ibumu bertemu
dengan seorang pemuda, yakni Ayahmu yang pada waktu itu
mempergunakan nama Han yakni Wan yen Kan. Dalam pertemuan
ini mereka saling mencintai. Ibumu sama sekali tidak tahu bahwa
Wan Kan adalah Pangeran Wanyen Kan. Setelah mereka menikah,
barulah Ibumu tahu. Hampir saja ayahmu dibunuh oleh Ibumu
sendiri, akan tetapi baiknya cinta kasih mereka terlalu mendalam
sehingga hal itu tidak pernah terjadi." Lie Bu Tek menarik napas
panjang dengan terharu sekali mengenangkan nasib sumoinya yang
ia cintai itu.
"Memang Ayah salah! Mengapa tidak secara laki-laki mengaku
bahwa dia seorang pangeran Kin? Dia mcnipu Ibu'"
"Tidak boleh kau berkata demikian, Hong-ji. Ayahmu benar-benar
seorang baik dan biarpun dia pangeran Kin, namun ia tidak suka
akan pemerintahnya sendiri. Oleh karena itulah maka ia rela
meninggalkan kedudukan sebagai pangeran, hidup sebagai orang
biasa menikah dengan lbumu. Bahkan ia boleh dibilang diusir oleh
kaisar karena nekad hendak mengawini seorang wanita Han. Namun
Ayahmu lebih memberatkan Ibu mu dari pada kedudukan dan harta
benda. Dia seorang mulia!"
Untuk beberapa lama keduanya berdiam diri. Di dalam hati Sin
Hong, kalau tadi ia membenci ayahnya, kini diam-diam merasa
bangga karena ayahnya dipuji-puji oleh ayah angkatnya.
"Mengapa kemudian Ayah Bunda mati Gi-hu? Mereka tentu masih
muda mengapa mati keduanya?"
29
Lie Bu Tek menarik napas panjang, masih berduka kalau
mengingat akan keburukan nasib Thio Ling In, sumoinya yang amat
dicintainya itu.
"Ayahmu dibunuh oleh gurunya sendiri yang bernama Ba Mau
Hoatsu. Ibumu juga."
"Mengapa, Gi-hu? Mengapa Ba Mau Hoatsu membunuhi
muridnya sendiri?"
“Ba Mau Hoatsu termasuk seorang pembela pemerintah Kin dan
memusuhi para pejuang rakyat. Melihat muridnya yang sebetulnya
seorang pangeran Kin telah lari menyeberang, yakni menikah
dengan seorang wanita pihak musuh. Ba Mau Hoatsu menjadi
marah dan juga merasa malu. Oleh karena itu, ketika kau masih
berusia setahun. Ba Mau Hoatsu datang ke rumah orang tuamu dan
membunuh mereka. Baiknya kau sedang keluar bersama inang
pengasuh sehingga kau terluput daripada bahaya maut."
Sampai lama anak itu diam saja, tangannya terkepal dan
matanya mengeluarkan sinar. Kemudian ia berkata,
"Gi-hu pada suatu hari, aku pasti akan dapat menewaskan Ba
Mau Hoatsu itu untuk membalas dendam Ayah-bundaku.” Suaranya
tenang dan tetap, biarpun diucapkan oleh anak kecil, namun
mendatangkan keseraman.
"Bagus kalau kau mempunyai pikiran demikian, Nak. Akan tetapi
kau harus belajar ilmu silat sampai tinggi. Harus jauh lebih tinggi
darit kepandaianku, malah lebih tinggi daripada kepandaian
Sucouwmu, karena ilmu kepandaian dari Ba Mau Hoatsu amat lihai.
Hanya Tayhiap (Pendekar Besar) Go Ciang Le dapat
mengalahkannya, oleh karena itu kalau saja kau dapat menghadapi
Ba Mau Hoatsu."
Mendengar ini Sin Hong kecewa dan mengerutkan kening.
"Begitu lihaikah Ba Mau Hoatsu? Pantas saja Ayah dan Ibu kalah
dan tewas. Gi-hu, kalau dia lebih lihai daripada Gi-hu atau Sucouw,
habis untuk apakah Gi-hu membawaku ke Hoa-san-pai?"
"Sin Hong, biarpun tingkat kepandaian Ba Mau Hoatsu amat
tinggi dan memang dia akan dapat mcngalahkan Sucouwmu, akan
30
tetapi, kepandaian Sucouwmu juga hebat. Untuk tingkat pertama
kau cukup menerima pelajaran daripadaku kemudian kau menerima
pula petunjuk-petunjuk dan Sucouwmu. Selain daripa itu Ayah
Bundamu dahulu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian bun
di bu, apalagi Ayahmu. Maka kau pun harus menjadi seorang yang
pandai ilmu silat dan ilmu surat. Di Puncak Hoa-san-pai. Masih ada
Liang Gi Tojin yang dapat melatih ilmu silat padamu, Juga ada
Paman Guruku, yakni Liang Tek Sianseng, seorang sasterawan yang
pandai. Dari Susiokku (Paman Guruku) inilah kau menerima
pelajaran ilmu surat."
Girang hati Sin Hong mendengar bahwa ia akan menjadi murid
Hoa-san-pai. Bagaimanapun juga, ia telah melihat sepak terjang
ayah angkatnya dan merasa kagum. la menganggap Lie Bu Tek
gagah perkasa dan ia pandai, maka kalau ia menjadi murid dan
Liang Gi Tojin, tentu ia akan menerima pelajaran ilmu-ilmu silat
yang hebat. Apalagi di sana ada Liang Tek Sianseng yang akan
mengajarnya tentang kesusasteraan, gembira hatinya.
"Kalau begitu, hayo kita melanjutkan perjalanan, Gi-hu!"
Lie Bu Tek dan Sin Hong melanjutkan perjalanan mereka
mendaki Bukit Hoa-san. Karena pemandangan alam di pegunungan
itu amat indahnya, Sin Hong merasa senang sekali. Beberapa kali
mereka berhenti di jalan untuk menikmati tamasya alam. Lie Bu Tek
yang sudah beberapa tahun tinggal di pegunungan ini ketika ia
belajar di Hoa-san-pai, menunjukkan tempat-tempat yang indah
kepada anak angkatnya.
"Di lereng depan itu terdapat tanah datar yang amat baik untuk
berlatih silat. Dahulu aku dan Ibumu, juga saudara saudara
seperguruan lain sering kali berlatih ilmu silat di situ."
Sin Hong tertarik. "Mari kita ke sana, Gi-hu."
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid II
Lie Bu Tek membawa anak itu ke tempat yang membangkitkan
kenang-kenangan lama. karena sesungguhnya hubungannya
31
dengan Thio Ling In, paling mesra adalah kalau mereka bertanding
ilmu pedang sebagai latihan di tanah datar itu.
"Gi-hu, ada orang bertempur!" tiba-tiba Sin Hong berseru sambil
menudingkan telunjuknya ke arah tanah datar itu. Memang betul, di
sana terdapat dua orang yang sedang bertempur hebat. Orang
pertama adalah seorang tosu setengah tua, dan orang ke dua
adalah seorang laki-laki bertubuh kecil yang usianya tiga puluh
lebih. Keduanya bertempur mempergunakan sebatang pedang. Akan
tetapi betapapun gesit dan lihai permainan pedang laki-laki itu, ia
masih terdesak hebat oleh lawannya.
"Ah, dia adalah Liok San!" kata Lie Bu Tek setelah ia memandang
penuh perhatian.
"Yang mana, Gi-hu?" tanya Sin Hong. "Dan siapakah Liok San
itu?"
"Yang terdesak itulah Liok San, tak salah lagi. Dia anak murid
dari Kwan-im-pai. Pernah dia berjuang melawan penjajah bersama
dengan kami. Aku harus membantunya!" Setelah berkata demikian
Lie Bu Tek lalu mencabut pedangnya dan melompat ke kalangan
pertempuran.
"Lie Bu Tek Toako...! Bagus kau datang, bantulah aku
membunuh anjing Im-yang-bu-pai ini!" seru Liok San gembira ketika
melihat Bu Tek.
Lie Bu Tek sudah mendengar tentang perkumpulan baru yang
bernama Im-yang-bu pai ini. Di Tiongkok terdapat aliran yang
menganut pelajaran atau filsafat Im-yang, sebuah pelajaran filsafat
atau kebatinan yang bersumber pada pelajaran Lo Cu. Menurut apa
yang di dengar oleh Lie Bu Tek, pada tahun-tahun terakhir ini, sifat
dari Im-yang-bu-pai sudah banyak berbeda dengan dahulu, bahkan
kalau dulu nama perkumpulannya Im-yang-kauw (Perkumpulan
Agama Im Yang) sekarang diubah menjadi lm-yang-bu-pai atau
Perkumpulan Silat Im Yang. Buruknya bahwa perhimpulan ini
setelah menjadi perkumpulan yang amat kuat, lalu berubah tinggi
hati dan memandang rendah kepada golongan lain, apalagi
terhadap perkumpulan-perkumpulan agama lain mereka amat
menghina dan memandang rendah.
32
Oleh karena inilah, maka begitu mendengar Liok San minta
tolong tanpa ragu-ragu lagi Lie Bu Tek lalu menyerbu dan
menangkis pedang tosu itu dengan pedangnya sendiri. Beradunya
dua pedang menerbitkan suara nyaring dan tahulah Lie Bu Tek
bahwa lawannya ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Maka ia
segera mainkan pedangnya dan mengeluarkan jurus-jurus ilmu
pedang Hoa-san-pai yang paling lihai. Liok San tidak tinggal diam
dan membantunya.
Adapun tosu itu, setelah merasa bahwa kepandaian Lie Bu Tek
tak boleh dipandang ringan dan ia takkan dapat menang
menghadapi dua orang ini, lalu tertawa dan berkata,
"Bagus. Hoa-san-pai memang tukang mencampuri urusan orang!
Biarlah, Pinnie memberi ampun kali ini. akan tetapi tunggu saja
hukuman dari Im -yang-bu-pai." Setelah berkata demikian ia
melompat mundur dan lari pergi dari situ.
Liok San hendak mengejar akan tetapi lengannya dipegang oleh
Lie Bu Tek. "Saudara Liok, musuh yang sudah lari tak perlu dikejar."
Liok San menghela napas. "Sayang kita tak dapat bikin mampus
keparat itu. Sekarang aku telah membawa-bawa Hoa-san-pai
sehingga dimusuhi oleh Im-yang-bu-pai, sungguh membuat hatiku
tidak enak sekali terhadap Liang Gi Totiang."
"Saudara Liok, jangan kau berkata begitu. Sejak lama kami
mendengar keburukan nama Im-yang-bu-pai, kalau sekarang
mereka memusuhi partai kami itu sudah sewajarnya. Akan tetapi,
siapakah tosu tadi dan bagaimana kau dapat bertempur dengan dia
di lereng Bukit Hoa-san ini?"
Kembali Liok San menarik napas panjang. "Kalau diceritakan
sungguh membikin hati sakit sekali. Aku telah mengantarkan
keponakanku untuk belajar di Hoa-san-pai dan telah diterima oleh
Liang Gi Totiang. Bahkan aku tinggal di puncak Hoa-san-pai selama
satu pekan. Ketahuilah, Saudara Lie, Kakakku perempuan telah
tewas bersama suaminya dalam pertempuran, dikeroyok oleh orangorang
Im-yang-bu-pai. Mula-mulanya terjadi bentrokan antara
anggauta-anggauta Kwan-im-pai kami dan anggauta-anggauta Imyang-
bu-pai sehingga tak dapat dielakkan lagi terjadinya
33
pertempuran hebat. Kami dipukul hancur, Kakakku dan suaminya
tewas dan aku sendiri dikejar-kejar. Untuk menjaga keselamatan
keponakanku, putera tunggal dari Kakakku, aku membawanya
kepada Liang Gi Totiang untuk belajar ilmu silat. Keselamatan anak
itu terancam karena selama masih ada orang Kwan-im-pai, tentu
pihak Im yang-bu-pai tidak akan mau sudah begitu saja. Buktinya,
ketika tadi aku turun gunung aku telah diserang oleh seorang di
antara mereka dan tentu aku akan tewas kalau kau tidak datang
menolong. Karena itu Lie Toako, harap kau merahasiakan adanya
Liok Kong keponakanku itu di Puncak Hoa-san. Nah, sekarang
selamat tinggal, aku harus mengumpulkan lagi kawan-kawanku
yang cerai-berai. Betapapun juga, Kwan-im-pai harus dibentuk lagi
dan memperkuat diri."
Liok San menjura lalu pergi dari situ dengan langkah cepat, Lie
Bu Tek menggeleng-geleng kepalanya.
"Kasihan sekali. Aku masih ingat akan Kakaknya yang bernama
Liok Hui seorang wanita yang gagah perkasa."
“Gi-hu, siapakah ketua dari Kwan-im-pai?" tanya Sin Hong.
"Dahulu ketuanya adalah Sin-kun Liu-toanio, seorang nenek yang
gagah perkasa dan yang membantu perjuangan merobohkan
pemerintah Kin, akan tetapi nenek itu gugur oleh seorang tosu
bernama Giok Seng Cu, murid dari seorang tokoh besar dari Tibet
yang bernama Pak Hong Siansu. Setelah Sin-kun Liu toanio
meninggal dunia, perkumpulan dipimpin oleh dua orang muridnya
yakni kakak beradik Liok Hui dan Liok San tadi. Sepak terjang kaum
Kwan-im-pai selama ini amat baik dan nama mereka harum di dunia
kang-ouw, sekarang mereka dihancurkan oleh Im-yang-bu-pai maka
dapat dinilai betapa jahatnya orang-orang Im-yang-bu-pai itu."
Lie Bu Tek lalu membawa Sin Hong naik ke puncak. Perjalanan
kali ini amat sukarnya. Tidak saja tanah yang diinjak terdiri dari batu
karang yang amat tajam, akan tetapi juga jalan yang naik amat
terjal, licin dan terhalang oleh banyak jurang-jurang yang dalam.
Kepandaian Sin Hong dalam ilmu silat masih amat rendah, maka
tentu saja ia tidak sanggup melalui jalan yang demikian sukar dan
berbahayanya. Biarpun ia memaksa untuk terjalan di dekat Lie Bu
34
Tek sehingga sepatunya pecah dan kakinya berdarah, amkhirnya ia
harus menyerah dan tak anggup berjalan lebih jauh lagi.
"Gi-hu, aku tidak kuat lagi.....” keluhnya.
Liu Bu Tek tertawa. Ia amat kagum melihat kekerasan hati anak
ini, baru menyerah kalah setelah kedua kakinya berdarah dan tak
dapat berjalan lagi. Kalau sekitranya kedua kaki yang kecil itu tidak
terluka dan biarpun sudah amat lelah, ia percaya anak ini tentu
takkan mau menyerah begitu saja. Semenjak kecilnya, Sin Hong
yang pada luarnya kelihatan lemah-lembut ini memang mempunyai
kekerasan hati yang amat luar biasa.
"Mari kau kupondong biar cepat kita tiba di puncak." katanya.
Tanpa menanti jawaban, ia menyambar tubuh anak angkatnya dan
berlarilah Lie Bu Tek cepat-cepat ke puncak. Dengan ilmu
meringankan tubuh yang sudah tinggi dan dengan pengerahan ilmu
lari cepat Cho-sang-hiu (Terbang di Atas Rumput), tanpa
banyak'susah Bu Tek telah melalui bagian yang paling sukar dari
puncak Hoa-san.
Ketika mereka tiba di puncak Hoa-san, Bu Tek melihat seorang
anak laki tengah duduk melamun di depan pondok suhunya. Anak
ini usianya kurang lebih sepuluh tahun, berwajah bersih dan
bermata cerdik. Akan tetapi. melihat keadaan anak itu, Bu Tek
mengerutkan keningnya. Ia dapat menduga bahwa anak itu tentulah
Liok Kok Ji, putera dari Liok Hui yang dibawa oleh Liok San ke atas
Hoa-san. Yang membuat hati Bu Tek tak senang adalah karena ia
melihat anak itu duduk melamun saja di dekat ladang sayur
tanaman suhunya, sedangkan cangkul dan keranjang digeletakkan
saja di atas tanali, itulah tanda kemalasan, pikir Bu Tek.
"Kau sedang bikin apa di situ?" Bu Tek menegur keras. Anak itu
terkejut sekali karena memang Bu Tek sengaja meringankan
tindakan kakinya sehingga tahu-tahu telah berada dekat dengan
anak itu. Dalam kekagetan serta kegugupannya, anak itu cepatcepat
memegang cangkul dan keranjang dan hendak mulai bekerja!
Bu Tek tersenyum dan menegur lagi. "Bukankah kau yang
bernama Liok Kong Ji?”
35
Anak itu kini melihat bahwa yang menegurnya tadi bukanlah
Liang Gi Tojin seperti yang tadi dikiranya. Pada wajahnya yang
tampan kelihatan tanda kemendongkolan hatinya, akan tetapi ia
pandai menyembunyikan perasaan dan balas menegur.
"Kau ini siapakah berani datang tempat suci! Kalau Suhu
melihatmu mengotori tempat ini, kau tentu akan mendapat marah.
Tidak tahukah bahwa kau berada di tempat kediaman tokoh besar
Hoa-san-pai. Guruku Liang Gi Tojin?
Melihat mata yang bersinar-sinar dan tabah itu, diam-diam Lie Bu
Tek memuji bahwa anak ini betapapun juga memiliki semangat
besar dan keberanian yang cukup. Sebelum ia menjawab, tiba tiba
terdengar suara halus.
"Kong-Ji, jangan kau kurang ajar terhadap Suhengmu!" Maka
muncullah seorang tosu tua di dalam pondok.
"Suhu...!" Bu Tek lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek
ini sambil menurunkan Sin Hong dari pondongannya.
"Bu Tek, alangkah lamanya kita berpisah. Selama ini, apa saja
yang kau alami?" Liang Gi Tojin, kakek itu yang menjadi tokoh
pertama dari Hoa-san-pai maju dan memegang kedua pundak
muridnya.
Adapun Liok Kong Ji ketika mendengar bahwa orang yang datang
bersama anak kecil tadi adalah Lie Bu Tek, suhengnya yang pernah
ia dengar namanya dari Liang Gi Tojin segera maju memberi hormat
dan berkata,
"Suheng, harap maafkan siauw-te yang bodoh dan tak mengenal
kakak seperguruan sendiri."
"Tidak apa, Siauw sute.” Kemudian Bu Tek memperkenalkan Sin
Hong kepada suhunya dan menuturkan semua pengalamannya.
Pada akhir penuturannya ia berkata,
"Wan Sin Hong ini adalah putera tunggal dari Sumoi Thio Ling In
dan Wan-yen Kan."
"Di mana mereka sekarang?" tanya Liang Gi Tojin.
36
"Mereka telah dibunuh oleh Ba Mau Hoatsu. Baiknya anak ini
sedang dibawa keluar oleh pelayannya. Karena teecu menganggap
bahwa anak ini harus mendapat pendidikan sebaiknya, maka teecue
membawanya pergi dan sekarang dia sudah cukup besar untuk
menerima latihan dari Suhu, oleh karena itu teecu mohon sudilah
suhu membimbingnya."
Liang Gi Tojin mengangguk-angguk dan memandang tajam
kepada Sin Hong yang berdiri di hadapannya. Mata kakek yang
tajam ini dapat melihat bakat yang amat baik dalam diri anak itu. Ia
menghela napas panjang.
"Sudah dapat dibayangkan bahwa nasib Ling In akan
menghadapi banyak rintangan dan bahaya dalam perjodohannya
dengan Pangeran Wan yen Kan. Ternyata kekhawatiranku terbukti
dan guru suaminya sendiri yang datang membunuh mereka. Ah...."
Kakek itu memandang kepada Sin Hong. "Anak, apakah kau suka
belajar ilmu silat di sini, belajar dari pinto?"
"Locianpwe adalah Suhu dari Gi-hu dan Supek dari mendiang
Ibuku, jadi adalah Sucouwku sendiri. Bagaimana teecu tidak suka
belajar ilmu silat di sini? teecu suka sekali!"
"Sin Hong, kau ingin belajar ilmu silat untuk apakah?" Tiba-tiba
kakek itu bertanya sambil memandang tajam.
Tanpa ragu-ragu Sin Hong menjawab sambil mengangkat
kepalanya.
"Seperti seringkali teecu dengar dari Gi-hu, teecu mempelajari
ilmu silat untuk dipergunakan menolong orang-orang yang
mcmbutuhkan pertolongan. Akan tetapi terutama sekali agar teecu
kelak dapat mencari musuh besar Ayah Bundaku dan memhalas
dendam!"
Liang Gi Tojin tersenyum kemudian menarik napas panjang lagi.
"Aah, Sin Hong, musuh besarmu itu adalah Ba Mau Hoatsu yang
kepandaiannya amat tinggi. Pinto sendiri takkan sanggup
mengalahkannya, apalagi engkau. Dengan menguras seluruh
pengertianku, kau masih jauh untuk dapat mengalahkannya."
37
Kata-kata ini memang sesungguhnya dan Bu Tek juga mengerti
bahwa suhunya berkata benar. Oleh karena itu ia memandang
kepada putera angkatnya dengan hati duka. Tiba-tiba di dalam
keadaan sunyi itu, terdengar Liok Kong Ji berkata riang.
"Suhu, mengapa putus asa? Adik Hong setelah tamat belajar dari
Suhu dapat melanjutkan pelajarannya, dan teecu akan
membantunya, mencari guru-guru yang pandai agar kelak dapat
merobohkan Ba Mau Hoatsu!"
Sin Hong melirik ke arah Kong Ji dan melihat pandang mata Kong
Ji penuh harapan, ia menjadi girang dan berkata.
"Teecu merasa cocok dengan pernyataan tadi. Teecu takkan
berhenti belajar untuk kemudian mencari Ba Mau Hoatsu yang
sudah membunuh Ayah Bundaku."
"Bagus, bagus, pinto berjanji akan menghabiskan waktu hidup
yang tinggal sedikit ini untuk mendidik kalian anak-anak yang
malang," kata Liang Gi Tojin dengan girang.
Demikianlah, semenjak hari itu, Kong Ji dan Sin Hong menerima
latihan-latihan ilmu silat Hoa-san-pai dari Liang Gi Tojin, dibantu
dengan penuh perhatian oleh Lie Bu Tek.
Empat tahun kemudian, tanpa ada gangguan sesuatu, dua orang
anak itu menerima gemblengan dari kakek ini dan memperoleh
kemajuan pesat sekali. Yang menggirangkan hati Liang Gi Tojin
adalah kecerdikan mereka yang luar biasa sehingga kalau
dibandingkan dengan murid Hoa-san-pai yang dahulu, mereka
berdua menang banyak. Adapun Lie Bu Tek juga tidak menyianyiakan
waktunya di gunung itu. Ia menerima pelajaran lanjutan
dari gurunya sehingga dalam waktu empat tahun, semua ilmu silat
Hoa-san-pai telah ia miliki. Liang Gi Tojin sengaja menurunkan
seluruh kepandaiannya kepada Bu Tek dan kelak kalau ia sudah
meninggal dunia, Lie Bu Tek yang berhak menjadi ketua Hoa-sanpai.
Tiga orang laki-laki dengan gerakan kaki seakan-akan terbang
naik ke Hoa-san. Yang seorang adalah Siang-pian Giam-ong Ma Ek
yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat. Orang kedua dan
ketiga adalah kakek-kakek berjubah putih. Yang pertama adalah
38
seorang kakek bongkok yang memegang tongkat hitam di tangan
kanan dan tongkat putih di tangan kiri, sedangkan orang kedua
adalah seorang kakek botak yang pada punggungnya tergantung
sepasang pedang. Yang bongkok itu adalah tokoh ketiga Im-yangbu-
pai, bernama Kwa Siang berjuluk Thian-te Siang-tung (Sepasang
Tongkat Langit Bumi). Yang kedua dan bertubuh besar pendek
adalah tokoh kedua dari Im-yang-bu-pai bernama Lai Tek berjuluk
Siang-mo-loam (Sepasang Pedang Iblis). Mereka ini memiliki
kepandaian yang amat tinggi dan tidak saja di perkumpulan Imyang-
bu-pai mereka menduduki tempat ke dua dan ke tiga dari
perkumpulan Im-yang-bu-pai juga di dunia kang-ouw nama mereka
amat terkenal karena mereka memiliki kepandaian yang amat tinggi.
"Kenapa keadaannya begini sunyi?” tanya Thian-te Siang-tang
Kwa Siang sambil berlari.
"Di dalam dunia ini, yang paling miskin anggauta dan boleh
dibilang sudah hampir bangkrut adalah partai Hoa-san-pai." kata
Giam-ong Ma Ek ketua Bu-cin-pai. "Dahulu memang Hoa-san-pai
termasuk partai yang besar dan berpengaruh, ketika empat orang
tokohnya masih hidup, yakni Liang Gi Tojin, Liang Bi Suthai, Liang
Tek Sian-seng, dan Tan Seng Lo-enghiong. Akan tetapi sekarang di
antara empat orang tokoh itu hanya tinggal Liang Gi Tojin seorang.
Dahulu empat orang tokoh itu pun mempunyai banyak sekali anak
murid, akan tetapi sekarang para murid itu banyak yang sudah
tewas, dan hanya ada beberapa gelintir orang saja yang tinggal jauh
dari Hoa-san-pai. Agaknya Liang Gi Tojin tidak mau mengumpulkan
murid-muridnya dan kalau tidak salah, sekarang orang tua itu hanya
tanggal bersama muridnya, yaitu Hui-hong Lie Bu Tek.
"Hm, sudah hampir bangkrut masih saja sombong dan suka
mencampuri urusan orang lain." Siang-mo-kiam Lai Tek tokoh ke
dua dari Im-yang-bu-pai berkata kurang senang.
"Itulah sebabnya maka mereka harus dibasmi sama sekali agar
kelak tidak menyusahkan partai kami saja," kata Giam-ong Ma Ek.
Orang tua ini memang menaruh hati dendam kepada Hoa-san-pai
setelah ia kena dikalahkan oleh Lie Bu Tek dalam keributan di hari
tahun baru sebagaimana telah dituturkan di bagian depan. Adapun
dua orang tokoh 1m yang bu-pai itu karena mendengar dari anak
39
murid mereka bahwa Liok San tokoh Kwan-im-pai melarikan diri ke
Hoa-san dan dibantu oleh Lie Bu Tek, kini datang untuk membalas
dendam pula. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Giam-ong Ma
Ek, maka ia lalu mengajak mereka untuk bersama pergi naik ke
Hoa-san.
Memang betul apa yang diceritakan oleh Ma Ek tadi. Liang Bi
Suthai tokoh ke dua dari Hoa-san-pai telah tewas oleh tokoh-tokoh
pembantu pemerintah Kin, Liang Tek Sianseng juga telah meninggal
dunia karena sakit. Sedangkan Tan Seng meninggal dunia karena
usia tua. Tinggal Liang Gi Tojin seorang diri, yang tiada nafsu lagi
untuk berurusan dengan keramaian dunia. Memang kakek ini lebih
mengutamakan ilmu batin. Banyak hal-hal yang menyakitkan hati
membuat ia makin tidak mempunyai semangat untuk membangun
kembali partai Hoa-san-pai. Harapan satu-satunya hanya tergantung
kepada mitridn}a, Lie Bu Tek, maka setelah Lie Bu Tek datang
membawa Wan Sin Hong, kakek ini mengerahkan seluruh
kepandaian dan tenaganya untuk mewariskan kepandaiannya
kepada murid tunggal ini, juga tentu saja ia memberi bimbingan
kepada dua orang murid cilik yang baru, yakni Wan Sin Hong dan
Liok Kong Ji.
Pada saat tiga orang kakek yang mempunyai maksud tidak baik
terhadap Hoa-san-pai itu berlari-lari naik bukit, melompati jurangjurang
dengan gerakan laksana burung terbang, Liang Gi Tojin
sedang duduk di luar pondok bersama Lie Bu Tek dan dua orang
murid cilik. Kini Liok Kong Ji telah berusia empat belas tahun dan
Wan Sin Hong sudah dua belas tahun, mereka kelihatan bersikap
gagah. Akan tetapi, biarpun Sin Hong lebih muda, ia ternyata lebih
halus sikapnya dan lebih luas pandangannya. Hanya dalam
kecerdikan ia tidak lebih unggul daripada Kong Ji, bahkan dalam
latihan ilmu silat, ia ketinggalan oleh suhengnya ini. Sebaliknya,
kalau Sin Hong amat tertarik dan suka mempelajan ilmu surat dan
kebatinan, adalah Kong Ji sama sekali tidak mempunyai bakat untuk
kepandaian ini.
Empat orang itu sedang menikmati hawa udara yang amat sejuk
dan segar di waktu pagi itu, dan menikmati sinar matahan yang
menyehatkan tubuh. Liang Gi Tojin bermain catur bersama Sin Hong
40
adapun Kong Ji mendengarkan keterangan tentang ilmu silat dari
Lie Bu Tek.
Tiba-tiba Lie Bu Tek berkata, "Ada tamu datang!"
Liang Gi Tojin mengangguk-angguk karena kakek ini juga sudah
tahu, adapun dua orang pemuda cilik itu celingukan mencari-cari,
karena mereka belum mengetahui akan hal ini.
Baru saja Sin Hong hendak bertanya, berkelebat tiga bayangan
orang dan sekejap kemudian tiga orang kakek berdiri di pinggir
lapangan di depan pondok sambil tersenyum menyindir.
"Aha, tak kusangka bahwa nama besar Hoa-san-pai akan
berakhir di tangan seorang kakek tiada guna tukang main catur
dengan seorang bocah," Giam-ong Ma Ek berkata mengejek.
Dua orang tokoh lm-yang-bu-pai tidak berkata apa-apa, akan
tetapi mereka lalu menggerakkan lengan baju dan bagaikan dua
ekor burung garuda saja mereka melayang ke atas pondok,
menginjak pecah genteng dan mengintai ke dalam, juga melihat
dari tempat tinggi ke sekeliling pondok. Mereka mencari Liok San
yang disangkanya berada di situ. Kemudian mereka melayang
kembali ke bawah dan berdiri di belakang Siang-pian Giam-ong Ma
Ek.
Melihat gerakan dua orang kakek tadi, diam-diam Lie Bu Tek
terkejut sekali demiklan pula Liang Gi Tojin. Menghadapi ketua Bucin-
pai tidak mengkhawatirkan hati Lie Bu Tek, akan tetapi gerakan
yang diperlihatkan oleh dua orang tadi benar-benar hebat sekali.
Liang Gi Tojin berdiri dan menjura ke arah Ma Ek. "Selamat
datang di puncak Hoa-san, Sam-wi Bengyu (Tiga Sahabat). Pinto
mengenaI Siang-pian Giam-ong Ma Ek ketua Bu-cin-pai sebagai
orang gagah perkasa, akan tetapi pinto yang sudah tua dan kurang
awas pandangan mata, belum pernah berkenalan dengan Jiwienghiong
(Dua Orang Gagah) yang ikut datang pula. Keperluan
apakah gerangan yang membawa Sam-wi datang di sini?"
Mata Siang-pian Giam-ong Ma Ek menyapu tempat itu dan
akhirnya ia memandang kepada Lie Bu Tek dengan mendelik.
41
"Lebih baik kau bertanya kepada muridmu itu, karena dialah
yang memaksa. kami datang menagih hutang kepada Hoa-san-pai."
Liang Gi Tojin tak perlu bertanya karena sesungguhnya ia telah
mendengar dari Lie Bu Tek tentang pertempuran antara muridnya
itu dengan Siang-pian Giam-ong Ma Ek, dan kemudian betapa Lie
Bu Tek menolong Liok San dan serangan anak murid Im-yang-bupai.
Mengertilah tokoh Hoa-san-pai ini bahwa mereka memang
sengaja hendak mencari keributan dan dengan dalih menagih
hutang mereka hendak merusak nama baik dan menghacurkan Hoasan-
pai.
Sebelum gurunya sempat menjawab, Lie Bu Tek yang merasa
bertanggungjawab penuh atas semua perbuatannya, melangkah
maju dan berkata kepada ketua Bu-cin-pang itu,
"Siang pian Giam-ong, untuk peristiwa kecil dahulu itu, aku yang
bodoh membantu pihak Hek-kin-kaipang yang diperlakukan
sewenang-wenang oleh murid-muridmu, dan untuk itu aku pun
sudah minta maaf kepadamu. Apakah kau masih penasaran dan
hendak menarik panjang perkara itu? Kalau demikian kehendakmu
marilah aku bersedia memenuhi kehendakmu dan untuk perkara ini
aku Lie Bu Tek yang bertanggung jawab, jangan kau membawabawa
nama Guruku dan Hoa-san-pai."
Ma Ek tertawa bergelak dengan lagak mengejek sekali. "Ha, ha,
ha, kalau buahnya pahit, pohonnya pun buruk. Kalau muridnya tidak
baik, gurunya tentu tidak benar. Membasmi pohon busuk harus
mencabut sampai dengan akar-akarnya.
"Ma Ek! Kau orang tua tidak putus menerima penghormatan yang
muda! Tutup mulutmu yang kotor, sekarang kau sudah datang, mau
apakah?" Lie Bu Tek tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi,
tangannya bergerak, pedang dicabut dan ia berdiri dengan pedang
melintang di depan dada.
"Lihat, Jiwi-cianpwe, betapa sombongnya orang Hoa-san-pai!"
kata Siang pian Giam-ong Ma Ek kepada dua orang tokoh Im-yangbu-
pai.
42
Siang-mo-kiam Lai Tek berkata dengan muka marah, "Ma
enghiong, mengapa banyak cakap dengan orang muda ini. Lekas
bereskan dia agar jangan memerahkan telinga."
Lie Bu Tek maklum bahwa ketua Bu-cin-pai ini sengaja hendak
minta pertolongan dua orang Im-yang-bu-pai itu maka ia menyindir,
"Betul, Ma Ek. Mengapa kau seperti anak kecil merengek-rengek,
tidak mau turun tangan sendiri? Apakah kau takut padaku?"
Diejek demikian itu, Ma Ek menjadi marah dan ia mencabut
siang-piannya. Semenjak kalah oleh Lie Bu Tek, ia memperdalam
ilmu silatnya, dari tadi kalau ia sengaja membakar hati dua orang
tokoh Im-yang-bu-pai, adalah karena ia merasa gentar melihat
Liang Gi Tojin yang sikapnya demikian agung dan tenang.
"Bangsat kecil, kaurasakan pembalasanku!” bentaknya dan
sepasang pian di tangannya bergerak ganas menyerang Lie Bu Tek.
Jago dari Hoa-san-pai ini tidak menjadi gentar dan menangkis
dengan pedangnya. Terdengar suara nyaring dan bunga api
beterbangan ketika dua senjata bertemu.
Ma Ek terkejut sekali. Dibandingkan dengan empat tahun yang
lalu, tenaga lweekangnya sudah meninigkat tinggi, akan tetapi
mengapa kini tangkisan Lie Bu Tek membuat tangannya tergetar? Ia
tentu saja tidak tahu bahwa selama empat tahun itu. kalau ia
memperdalam ilmu silatnya dengan tekun, musuhnya ini bahkan
telah menguras semua ilmu silat dari Hoa-san-pai dan kini telah
memiliki kepandaian yang amat tinggi, bahkan hampir setaraf
dengan kepandaian Liang Gi Tojin sendiri. Akan tetapi ia cepat
dapat menguasai hatinya dan sepasang pian tangannya diputar
cepat sekali, melakukan serangan yang mematikan ke arah bagian
tubuh yang berbahaya dari lawannya. Sepasang pian itu bergerak
dari jurusan yang berlawanan sehingga merupakan dua gulung sinar
yang membungkus tubuhnya, angin sambaran senjata berkesiur
mendatangkan hawa dingin.
Namun Lie Bu Tek tidak menjadi gentar. Ila mengimbangi
serangan lawan dengan gerakan pedangnya yang lihai. Jurus jurus
yang tersulit dan paling berbahaya dari ilmu pedang Hoa-san Kiam
hoat ia keluarkan untuk mendesak lawan yang lihai ini. Diam-diam
Bu Tek harus akui bahwa kalau saja selama empat tahun ini ia tidak
43
memperdalam kepandaiannya dengan berlatih secara rajin dari
suhunya, agaknya ia takkan mampu menghadapi ketua Bu-cin-pai
ini. Karena tahu bahwa pihak lawan masih ada dua orang yang
kelihatannya amat tangguh, Lie Bu Tek tidak mau membuang
banyak tenaga agar dapat menghadapi lain lawan dengan tenaga
masih kuat. Ia segera menggerakkan pedangnya dengan kecepatan
luar biasa serta mengerahkan seluruh tenaga lweekangnya.
"Gi-hu pasti menang!" teriak Sin Hong penuh semangat.
Kong Ji yang berdiri di dekatnya tidak berkata apa-apa, hanya
diam-diam ia memandang pertempuran itu dan kadang-kadang ia
melirik ke arah dua kakek yang pakaiannya hitam itu dengan
pandang mata penuh kekhawatiran.
Baru saja Sin Hong mengeluarkan kata-kata itu, terdengar suara
keras disusul oleh teriakan Ma Ek yang tubuhnya terguling roboh.
Ternyata bahwa pedang Bu Tek telah berhasil membabat putus pian
di tangan kanannya dan kaki pendekar Hoa-san-pai ini telah mampir
di dadanya sehingga tak dapat dicegah lagi kena dikalahkan.
Akan tetapi, sebagai ketua dari sebuah perkumpulan yang
berpengaruh dan besar. Siang-pian Giam-ong Ma Ek tidak mau
kalah muka dan cepat ia melompat berdiri dengan meringis karena
dadanya telah terluka lumayan juga. Dengan siang-pian yang
tinggal satu, yakni yang dipegang oleh tangan kiri. ia menyerang
lagi! Tiba-tiba tubuhnya terhenti di tengah serangan ini karena
lengan kanannya dipegang orang dari belakang pegangan yang
amat kuat dan juga membuat ia tidak berdaya.
"Cukup, Saudara Ma Ek, biarkan pinto yang berkenalan dengan
pedang Hoa-san-pai yang ganas!" kata orang yaitu memegang
tangannya dan ternyata orang itu adalah tokoh ketiga dari Im-yan
bu pai, yakni Thian-te Siang-tung Kwa Siang. Ma Ek diam-diam
menarik napas lega. tadi pun ia telah merasa bahwa ia bukan
tandingan jago dari Hoa-san pai itu, dan kini biarpun ia
mengundurkan diri, namun ia masih dapat menjaga mukanya,
karena ia berhenti bertempur bukan karena takut, melainkan karena
dibujuk oleh Thian-te Siang-tong Kwa Siang. Sementara itu, tokoh
ketiga dari Im-yang-bu-pai ini segera melepaskan pegangannya dan
sekali ia menggerakkan tubuh, ia telah berhadapan dengan Lie Bu
44
Tek. Dengan tongkat kanan yang hitam, serta tubuhnya
membongkok-bongkok menjadi rendah sekali, kakek ini menuding
ke arah muka Lie Bu Tek.
'Orang Hoa-san-pai, ketahuilah bahwa aku Thian-te Siang-tung
Kwa Siang dan suhengku Siang-mo-kiam Lai Tek datang untuk
menagih hutang. Kau telah berani membela keparat Liok San dan
pukul anak murid kami. Sungguh perbuatan yang amat sombong!
Bukankah selamanya Im-yang-bu pai tak pernah pagganggu Hoasan-
pai? Agaknya kau amt menyomhongkan kepandaianmu, maka
cobalah kauterima sepasang tongkatku ini!"
Sebelum Lie Bu Tek sempat menjawab, kakek ini sudah
menggerakkan tongkat kirinya yang berwarna putih menotok jalan
darah Tai-hwi-hiat di tubuh Bu Tek. Tentu saja Lie Bu Tek tidak
mudah diserang begitu saja dan cepat mengelak. Akan tetapt tibatiba
berkelebat sinar hitam dan tongkat hitam tangan kanan
lawannya sudah menyerang dengan tusukan ke arah lambungnya.
Inilah serangan yang amat lihai dan berbahaya sekali dan tahulah
dia bahwa kakek ini menyerang dengan maksud membunuh.
"Kwa-lo-enghiong, kau menghendaki pertempuran mati-matian?
Baiklah, bukan aku yang mulai lebih dulu'" bentaknya dan sekali lagi
Bu Tek mainkan pedangnya dengan hebatnya.
Namun kali ini ia menghadapi lawan yang memiliki kepandaian
amat lihai. Begitu terbentur dengan tongkat putih ia merasa telapak
tangannya dingin. terkejutlah hati Lie Bu Tek. Ia tahu bahwa
lawannya itu adalah seorang ahli lwee- keh yang sudah pandai
membagi tenaga lweekeh antara keras dun lembek. Tongkat hitam
di tangan kanan itu mengandung tenaga lweekang yang keras dan
panas, yakni tenaga Yang, sedangkan tongkat kiri yang putih itu
mengandung tenaga Im yang lembek. Akan tetapi bahayanya sama
saja karena kalau tongkat hitam Itu dapat merusak kulit daging,
adapun tongkat putih itu dapat memutus urat dan jalan darah'
"Pergunakan Ngo-heng Kiam-hoat!" Liang Gi Tojin berseru
kepada muridnya, karena ia maklum bahwa dengan ilmu pedang
biasa saja muridnya tak mungkin dapat membuat kemenangan. Bu
Tek segera merubah ilmu pedangnya dan kini pedangnya bergerakgerak
dari lima jurusan dan tenaganya juga berubah-ubah. Baru
45
beberapa belas jurus saja ia dapat mengakui keunggulan lawannya
yang benar-benar lihai sekali. Sepasang tongkat hitam dan putih itu
memiliki gerakan yang amat aneh dan dua macam hawa sambaran
tongkat yang berlawanan benar-benar membingungkan hati Bu Tek.
Ngo-heng Kiam-hoat ternyata tidak dapat menahan datangnya
desakan dari ilmu tongkat Thian-te Siang-tung, betapapun cepat Bu
Tek menggerakkan pedangnya, namun pada jurus ke tiga puluh
tongkat putih di tangan kiri lawannya dengan tepat telah menotok
dada kanannya di bagian jalan darah besar. Bu Tek mengeluarkan
seruan kesakitan dan separuh tubuhnya seperti lumpuh, pedangtnya
terlepas dari pegangan. Sebelum ia roboh, tongkat hitam lawannya
menotok lambungnya dan tubuh Bu Tek terkulai!
"Jangan bunuh Gi-hu!" Sin
Hong berseru marah dan
melompat ke depan sebelum
gurunya sempat mencegahnya.
Dengan kepalan tangannya yang
kecil ia menerjang dan menyerang
Thian-te Sian Tung Kwa Siang,
yang tertawa-tawa dan sekali ia
menendang, tubuh anak itu
terpental dan bergulingan sampai
empat tombak jauhnya! Namun
Sin Hong biar pun sakit-sakit
tubuhnya, melompat lagi dan
hendak menyerang, akan tetapi
Liang Gi Tojin membentaknya.
"Sin Hong, mundur!"
Setelah membentak muridnya, kakek Hoa-san-pai ini lalu
melangkah maju dan berkata kepada Thian-te Siang tung,
"Setelah kau berlaku kejam kepada muridku, terpaksa pinto
harus meIupakan usia tua dan minta pelajaran dari Im yang-bupai."
"Sute, biar aku menghadapinya." kata Siang-mo-kiam Lai-Tek
yang sudah mencabut sepasang pedangnya. Seperti juga tongkat
46
yang dipegang oleh Kwa-Siang, pedang ini ternyata adalah pedang
hitam dan putih dan berkilauan cahayanya.
"Liang Gi Tojin, dilihat dari sepak terjang Hoa-san-pai yang
semenjak dahulu hanya mengacau dan mencampuri urusan orang
lain, mudah diduga bahwa kalau kau bukan seorang tolol, tentu
seorang yang tidak bersih. Oleh karena itu setelah Im-yang-bu-pai
muncul menjagoi dunia kang-ouw, kami tak dapat membiarkan
partai persilatan seperti Hoa-san-pai hidup terus."
Luang Gi Tojin tersenyum, lalu mencabut pedangnya. Dengan
tenang ia berkata, "Biarpun kepandaian Hoa-san-pai tidak seberapa,
namun dalam pengertian tentang perikebajikan kiranya tidak akan
kalah oleh Im-yang-bu-pai. Sejak dahulu punto sudah mendengar
tentang lm-yang-kauw (Agama Im Yang), yang sesungguhnya
masih merupakan cabang daripada To-kauw, jadi sealiran dengan
kebatinan yang kami pelajari. Akan tetapi, semenjak Im-yang-kauw
merubah nama menjadi Im-yang-bu-pai, kiranya perkumpulan
agama ini berubah menjadi perkumpulan tukang pukul dan ahli-ahli
berkelahi yang suka membunuh orang. karena kalian sudah datang
di puncak Hoa san pai dan sudah mencelakai muridku, marilah kita
main-main sebentar."
Siang-mo-kiam Lai Tek tertawa mengejek. Ia menggerakkan
pedang kanan yang hitam terdengar suara mengaung seperti
harimau mengaum. Pedang kirinya yang putih digerakkan,
terdengar suara angin mengiuk yang amat tajam menusuk telinga.
Dengan dua kali gerakan ini saja tokoh Im-yang-bu-pai sudah
memperlihatkan kelihaiannya dan diam-diam Liang Gi Tojin terkejut.
Ia makum bahwa tenaga dari orang besar pendek ini besar sekali
dan juga sepasang pedang itu merupakan pasangan pedang
mustika. Yang putih terbuat daripada pek-kim (emas putih) dan
yang hitam terbuat daripada batu hitam yang lebih keras daripada
besi. Namun ia tidak menjadi gentar.
"Kau lihai Siang-mo-kiam akan tetapi untuk membela nama Hoa
san-pai sampai mati pun pinto takkat melangkah mundur."
"Ha-ha-ha, kau sudah bosan hidup dan ingin mampus? Baiklah,
mari kuantar kau menghadap Giam-kun (Raja Maut)!" kata Siangmo-
kiam Lai Tek yang menyerang dengan cepatnya. Sepasang
47
pedangnya berubah menjadi dua gulung sinar hitam dan putih, yang
putih bergerak dari atas dan yang hitam bergerak dari bawah atau
sebaliknya. Inilah ilmu pedang berdasarkan ilmu pedang Lo-haikiam-
hoat (Ilmu Pedang Mengamuk Lautan) dari Kun-lun-pai yang
telah dioper dan dijiplak oleh Im-yang-bu-pai dan diubah setelah
dtsesuaikan dengan ilmu silat Im yang-kiam-hoat mereka.
Liang Gi Tojin sebagai seorang tokoh yang kenamaan tentu saja
mengenal Ilmu Pedang Lo-hai-kiam-hoat dari Kun-lun pai ini, akan
tetapi oleh karena ilmu pedang ini sudah disatukan dengan Im-yang
kiam-hoat serta tokoh ke dua dari Im yang-bu-pai ini memang
memiliki kepandaian amat tinggi, kakek Hoa-san-pai ini menjadi
kewalahan sekali. Biarpun ia mengerahkaii tenaga dan kepandaian,
mainkan Hoa-san-kiam-hoat yang paling tersembunyi dan lihai,
namun tetap saja ia tidak berdaya menahan gelombang desakan
sepasang pedang lawan yang amat luar biasa. Dengan nekat kakek
Hoa-san-pai ini lalu membarengi serangan lawan. Ketika pedang
hitam di tangan kanan lawannya menusuk ke arah perutnya, ia
cepat mengelak, miringkan tubuhnya sambil membarengi membabat
ke arah leher lawan. Gerakan ini adalah gerakan nekad, karena
kalau lawan melanjutkan serangannya, tentu ia akan mati akan
tetapi di lain pihak pedangnya tentu akan mengenai sasaran pula!
Siang-mo-kiam Lai Tek tentu saja tidak sudi mengadu nyawa.
Cepat sekali menarik pulang pedang hitamnya dan pedangnya yang
putih menangkis dengan tenaga "menempel". Dua pedang itu
menempel menjadi satu dan tak dapat dipisahkan lagi! Liang Gi
Tojin cepat menggerakkan tangan kiri menonjok dada lawan. Akan
tetapi ternyata Siang-mo kiam Lai Tek lihai luar biasa. Dengan
membagi tenaga lweekangnya, ia menerima pukulan ini dan
membarengi mengayun pedang hitamnya.
"Duk!" tubuh Lai Tek terpental setombak lebih akan tetapi tangan
kiri kakek Hoa-san-pai itu putus sebatas sikunya! Darah mengalir
dengan semburan mengerikan. Sin Hong menjerit ngeri melihat
suhunya putus lengannya.
Namun kakek Hoa-san-pai ini benar- benar hebat. Tanpa
memperlihatkan sedikit pun rasa sakit, ia mengempit pedangnya
dan menggunakan tangan kanan untuk menotok pangkal lengannya,
48
menghentikan darah yang mengalir keluar. Pada saat itu, Lai Tek
sudah dapat berdiri kembali dengan wajah pucat. Biar pun ia, telah
mengerahkan lweekangnya untuk menahan pukulan tadi, namun
masih merasa betapa dadanya sakit dan sukar untuk bernapas.
Setelah napasnya normal kembali, dengan amat marah menyerbu
lagi!
Kasihan sekali Liang Gi Tojin. Dengan dua tangan masih utuh
saja ia sudah terdesak hebat. Apalagi kini ia telah kehilangan tangan
kirinya. Biarpun sambil menggigit bibir mempertahankan diri dengan
pedangnya, namun dalam jurus ke sepuluh, pedang hitam menusuk
dadanya dan pedang putih amblas ke dalam perutnya. Tanpa
mengeluarkan sedikit pun suara, kakek ini roboh tak bernyawa lagi.
"Kau... kau membunuh Suhu dan mencelakakan Gi-hu...!" Sambil
menangis Sin Hong lalu melompat dan menyerang Lai Tek. Akan
tetapi sebelum anak itu dekat dengan Lai Tek, Kwa Siang telah
menendangnya lagi dan kini tendangannya jauh lebih keras
daripada tadi sehingga tubuh Sin Hong terlempar jauh sekali,
bergulingan seperti sebuah bal karet. Namun anak ini tabah sekali.
Tanpa memperdulikan rasa sakit ia bangkit lagi dan dengan air mata
berlinangan, ia lari menyerbu lagi sambil mengepalkan dua
tangannya yang kecil.
"Kubunuh kalian!" serunya, dan kini ia menyerang Kwa Siang.
Dengan tingkat kepandaiannya yang sekarang, anak yang usianya
baru dua betas tahun ini dengan mudah akan dapat merobohka
seorang dewasa biasa. Akan tetapi ia menghadapi Thian-te Siangtung
Kwa Siang, tokoh ke tiga dari Im- yang bu-pai, tentu saja ia
tidak berdaya sama kali. Sebuah totokan yang dilakukan dengan
sebuah jari, yakni ilmu totok It-ci tiam-hoat (Totokan Satu Jari) dari
Go-bi-pai, Sin Hong seketika menjadi kaku dan berdiri seperti
patung. totokan itu ditujukan pada jalan darah yang tidak saja dapat
membikin orang menjadi kaku, akan tetap, juga mendatangkan rasa
sakit yang menusuk jantung. Tiga orang tamu yang menghancurkan
Hoa-san-pai itu menduga bahwa mereka akan melihat anak bandel
ini menjerit-jerit kesakitan dan minta ampun, akan tetapi, aneh
sekali. Anak itu berdiri seperti patung dan sepasang matanya yang
masih dapat bergerak, memandang dengan mendelik dengan
bibirnya digigit sampai berdarah tanda bahwa anak ini, menahan
49
rasa sakit yang amat hebatnya! Totokan tadi dilakukan pada pusat
jalan darah di pundak kanan, di bagian tai-hiat yang melumpuhkan
kaki tangan akan tetapi dari leher ke atas masih dapat digerakkan.
"Kau tidak minta ampun?" tanya Lai Tek dengan heran dan
kagum sekall. Sin Hong tidak menjawab, hanya mendelikan
matanya.
"Ha, ha, ha! Biar kita lihat saja sampai di mana dapat bertahan!"
kata Kwa Siang. "Sebelum minta ampun kau tak-kan kubebaskan."
"Monyet tua, jangan harap aku minta ampun!" kata Sin Hong.
Semua orang tercengang. Akibat totokan ini, kalau orang
menutup mulut masih kurang hebat, akan tetapi begtu orang yang
tertotok bicara, rasa sakit luar biasa sekali. Akan tetapi anak ini
masih berani memaki!
Adapun Thian-te Siang-tung Kwa-siang yang dimaki monyet tua
oleh Wan Sin Hong, menjadi marah sekali.
"Bocah setan kau harus mampus!" kayanya sambil
menggerakkan tongkat hitamnya ke arah kepala Sin Hong.
"Sute jangan...!" Lam Tek mencegah sambil memegang pundak
kakek bongkok itu.
"Suheng, mengapa kau melarang membunuhnya?"
"Anak ini mempunyai keberanman luar biasa, patut ia menjadi
anggauta dan calon jago Im yang-bu-pai!" Sambil berkata demikian,
Lam Tek memberi isyarat dengan matanya kepada Kwa Siang.
Thian-te Siang-tung Kwa Siang maklum akan maksud suhengnya.
Memang perkumpulan mereka selalu memandang tinggi orangorang
gagah dan anak ini kalau sampai bisa menjadi anggauta
perkumpulan mereka, berarti akan bertambah kuatlah perkumpulan
lm-yang bu-pai. Ia pun dapat melihat bahwa dalam diri anak kecil ini
terdapat bakat yang luar biasa sekali.
"Kau betul, Suheng." Kemudian menotok bebas tubuh Sin Hong
sambil berkata, "Anak baik, aku tadi hanya main-main saja."
Rasa sakit lenyap dari tubuh Sin Hong, akan tetapi anak ini
sekarang menjadi lemas dan tidak dapat mengeluarkan suara.
50
Memang Kwa Siang sengaja menawannya agar anak ini mudah
dibawa, tidak gaduh dan rewel di tengah jalan.
Selama itu, Liok Kong Ji hanya berdiri dengan muka pucat. la
dapat melihat bahwa para tamu tak diundang ini benar-benar lihai
sekali dan ia pun merasa gelisah. Biarpun ia masih kecil sekali ketika
ayah bundanya tewas dalam pertempuran melawan Im-yang-bu-pai,
namun ia masih ingat dengan baik bahwa musuh-musuh besar ayah
bundanya adalah orang-orang inilah. Mereka tentu akan
membunuhnya kalau mengetahui bahwa dia adalah putera dari
ketua Kwa-im-pai.
"He, kau... siapakah namamu? Apakah kau juga murid Liang Gi
Tojin?" tanya Lam Tek kepada Kong Ji.
Diam-diam Sin Hong memandang dan hendak melihat sikap
suhengnya itu. Alangkah heran clan kagetnya ketika ia melihat Kong
Ji tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan Lam Tek sambil
menangis.
"Locianpwe, teecu adalah seorang anak sebatangkara yang
dipaksa oleh bangsat Lie Bu Tek dibawa naik ke gunung ini dan
dijadikan pelayan! Orang tua teecu bahkan dibunuh olehnya.
Dendam teecu setinggi langit, maka sekarang Samwi Locianpwe
datang ke sini membasmi Hoa-san-pai berarti teecu terbebas dari
kesengsaraan! Teecu mohon sudilah Locianpwe menerima teecu
sebagai murid Im-yang-bu-pai. Teecu berjanji untuk belajar dengan
baik dan kelak dapat menjunjung tinggi nama baik Im-yang-bu-pai!"
Sin Hong hampir tak dapat mempercayai telinganya sendiri.
Kalau saja dapat bicara tentu akan memaki Kong Ji.
"Hmm, begitukah?" kata Lai Tek sambil memandang tajam. Ia
dapat melihat pula bahwa Kong Ji mempunyai tubuh yang amat baik
dan bakat besar untuk menjadi ahli silat, terutama sekali sepasang
mata anak itu membayangkan kecerdikan luar biasa. "Siapa
namamu?"
"Teecu bernama Kong Ji, she Lui. Ayah telah dibunuh oleh Lie Bu
Tek yang tergila-gila kepada lbu teecu. Akhirnya, karena Ibu tidak
sudi menuruti kehendaknya, Ibu pun dibunuh...." Kembali Kong Ji
menangis sedih.
51
Tiba-tiba Lai Tek mencabut pedangnya. Sin Hong sudah merasa
girang karena mengira bahwa Lai Tek tentu tahu akan kebohongan
Kong Ji dan hendak membunuh anak durhaka itu. Akan tetapi Kong
Ji tidak takut sama sekali dan memandang dengan matanya yang
tajam. Lai Tek bukan hendak membunuhnya, bahkan memberikan
pedang itu yang berwarna hitam kepada Kong Ji sambil berkata.
"Kau benar-benar telah dibikin sengsara oleh Lie Bu Tek. Nah, ambil
pedang ini dan balaslah sakit hatimu. Kau boleh membunuhnya!"
Kong Ji menerima pedang itu dan berjalan menghampiri tubuh
Lie Bu Tek yang masih menggeletak dalam keadaan tidak berdaya
lagi. Setelah terkena totokan-totokan tongkat Kwa Siang, Lie Bu Tek
tak dapat bangun kembali dan biarpun pancainderanya masih
bekerja, ia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya. Ia pun
mendengar akan semua yang dikatakan oleh Kong Ji dan kini ia
melihat anak itu mendekati sambil membawa pedang hitam dari Lai
Tek!
Sin Hong membuka matanya dan mukanya pucat. Apakah yang
akan dulakukan oleh Kong Ji? la melihat Kong Ji mendekati Lie Bu
Tek dan mengangkat pedang hitam! Kemudian pedang itu
digerakkan dengan cepat dan kuat ke bawah dan... lengan kanan
Lie Bu Tek terbabat putus pada pangkalnya dekat pu dak! Lie Bu
Tek tak mengeluarkan suara akan tetapi rasa sakit membuatnya
jatuh pingsan. Wan Sin Hong merasa begitu kaget, marah, dan sakit
hati sampai-sampai ia pun roboh tak sadarkan diri, melihat peristiwa
hebat yang mengerikan hatinya itu.
Lai Tek melompat dan sekali tangannya bergerak, ia telah
merampas pedang dari tangan Kong Ji.
"Kong Ji, mengapa kau tidak menebas batang lehernya dan
hanya memotong lengannya?" bentaknya menegur.
Kong Ji cepat berlutut di depan Siang-mo-kiam Lai Tek. "Mohon
ampun sebanyaknya, Locianpwe. Ada dua hal yang memaksa teecu
tidak mau membunuh jahanam itu. Pertama karena teecu merasa
malu dan tidak sampai hati membunuh seorang yang sudah tak
berdaya biarpun dia musuh besarku. Ke dua, karena teecu
selamanya akan masih merasa penasaran kalau teecu
membunuhnya sekarang karena ia roboh bukan karena oleh teecu.
52
Teecu ingin belajar ilmu kepandaian yang kelak akan dapat teecu
pergunakan untuk membalas dendam dan mengalahkannya dengan
kedua tangan teecu sendiri."
"Ha-ha-ha-ha! Lai-suheng, kau benar. anak ini amat
mengagumkan. Aku sendiri yang akan membimbingnya agar ia
dapat memiliki kepandaian yang melebihi semua orang Hoa-san-pai.
Lagi pula, kalau satu-satunya keturunan Hoa-san-pai dibinasakan,
siapa kelak yang akan menggembirakan hati kita? Biarkan Lie Bu
Tek hidup dan kita sama lihat saja apakah kelak dia masih berani
menjual kepandaian. Ha-ha-ha! Akan luculah kalau. Lie Bu Tek yang
tinggal sebelah tangan itu berani mencari kita untuk membuat
perhitungan terakhir!"
"Sute, urusan sudah beres. Mari kita segera kembali!" kata Lai
Tek yang segera menjura ke arah Siang-pian Giam-ong Ma Ek. "Maenghiong,
kita berpisah di sini saja. Pulanglah ke Keng-sin-bun dan
setiap kali perkumpulan Bu-can-pang hendak mengadakan atau
melakukan sesuatu, jangan lupa memberi laporan kepada kami!"
Di dalam hatinya Ma Ek merasa mendongkol sekali. Bu-cin-pai
atau Bu-cin pang adalah perkumpulannya yang besar dan ternama,
sekarang eleh pihak Im-yang-bu-pai dipandang sebagai
perkumpulan kecil saja. Akan tetapi, ia tidak dapat berbuat apa-apa
melainkan membalas dengan penghormatan dan menganggukkan
kepala. Kemudian ia pergi dari situ dengan hati puas, karena ia telah
berhasil membasmi Hoa-san-pai, yang takkan mungkin ia lakukan
tanpa bantuan dua orang tokoh Im-yang-bu pai ini.
Thian-te Siang-tung Kwa Siang memondong Kong Ji sedangkan
Lai Tek juga mengempit tubuh Sin Hong dan kedua orang kakek
yang lihai ini cepat berlari seperti terbang turun dari Hoa-san,
meninggalkan Liang Gi Tojin yang sudah tewas dan Lie Bu Tek yang
berada dalam keadaan setengah mati.
Lie Bu Tek menderita kesakitan hebat. Baiknya tubuhnya telah
terlatih baik sehingga tak lama kemudian ia dapat siuman kembali
sebelum darahnya habis mengalir keluar dari luka di pangkal
lengannya. Ia menahan napas dan mengerahkan tenaga dalam.
Dengan amat susah payah barulah ia berhasil membebaskan diri
53
dari totokan yang lihai dari sepasang tongkat Thian-te Siang-tung
Kwa Siang.
Sambil menggigit bibir, ia menggerakkan tangan kirinya dan
menotok jalan darah di pundak kanan untuk nienghentikan
darahnya yang terus mengalir keluar. Dengan jalan ini barulah ia
dapat mencegah darahnya mengalir habis. Kemudian dengan susah
payah ia bangun dan duduk bersila, mengatur pernapasannya untuk
mengobati luka yang dideritanya di dalam tubuh. Ia berusaha
sekeras mungkin untuk melupakan keadaan suhunya yang mati
berbaring di atas tanah tidak jauh dari tempat ia duduk. Pada saat
seperti itu ia harus dapat melapangkan dada dan mengosongkan
pikiran. Ia harus hidup bukan saja untuk membalas penghinaan dari
Im-yang-bu-pai, akan tetapi juga untuk mencari Sin Hong yang
dibawa lari oleh musuh.
Tak lama kemudian sesosok bayangan yang gesit dan ringan
sekali berlari-lari naik ke puncak Hoa-san. Bayangan ini adalah
seorang wanita yang berusia kurang lebih empat puluh tahun akan
tetapi masih nampak nyata kecantikannya. Ketika melihat keadaan
di tempat pertempuran tadi, wanita itu mengeluarkan seruan
tertahan dan cepat-cepat ia berlari menghampin Lie Bu Tek.
"Lie Bu Tek Taihiap... kau kenapakah?"
Bu Tek membuka matanya dan melihat wanita ini, wajahnya
berubah.
"Kiang Cun Eng, kau datang mau apakah. Apa kau juga hendak
memusuhi Hoa-san-pai?"
Kiang Cun Eng mengerutkan kening melihat betapa tangan Bu
Tek tinggal sebelah, ketika ia mengikuti pandang mata pendekar itu,
ia lebih terkejut lagi lihat mayat Liang Gi Tojin di atas tanah.
'Taihiap...!' Apakah yang terjadi? Siapa yang begitu kurang ajar
melakukan semua ini? Siapa yang memhunuh Liang Gi Tojin dan
melukaimu? Katakan, aku bersumpah untuk mengejar dan
membinasakannya'" seru wanita itu yang bukan lain adalah Kiang
Cun Eng ketua dari Hek-kin Kaipang.
54
Bu Tek menggelengkan kepalanya. "Takkan ada gunanya.
Mereka amat lihai. Yang datang adalah Siang-pian Giam-ong Ma Ek
ketua Bu-cin-pang. Akan tetapi, yang lebih lihai adalah dua orang
kawannya, yakni Thian-te Siang-tung Kwa-Siang dan Siang-mo-kiam
Lai Tek, tokoh kedua dan ketiga dari Im yang-bu pai."
"Keparat! Aku akan mengerahkan kawan-kawan untuk membalas
dendam ini!" seru Kiang Cun Eng, kemudian wanita ini berlutut dan
memegang pundak Bu Tek sambil berlinang air mata. "Taihiap,
alangkah buruk nasibmu……. Sudah bertahun-tahun aku mencarimu
tanpa hasil. Baru-baru ini aku mendengar dari anggauta-anggauta
Hek-kin-kaipang bahwa kau menolong mereka dari tangan orangorang
Bu-cin-pang. Oleh karena itu aku segera menyusul ke sini
untuk menyatakan terima kasihku. Tak tahunya aku terlambat... kau
telah dicelakai orang. Aku bcrsumpah untuk membalaskan sakit
hatimu ini, Taihiap..."
Melihat orang menangis sambil megangi pundaknya, Bu Tek
terharu sekali. Teringatlah ia akan semua pengalamannya di waktu
mudanya. Pernah ia terlibat dalam urusan asmara dengan ketua
Hek-kin-kaipang ini, dan biarpun wanita ini mempunyai watak yang
buruk dan mata keranjang, namun belum pernah Kiang Cun Eng
melakukan perbuatan jahat. Sekarang ia tidak berdaya, dan orang
satu-satunya yang dapat diminta tolong hanya Hwa I Enghiong Go
Ciang Le. Akan tetapi ia tidak tahu di mana adanya pendekar besar
itu, maka sekarang harapan satu-satunya tinggal pada ketua Hekkin
kaipang ini.
"Cun Eng, sudahlah jangan menangis. Apakah benar-benar kau
sudi menolongku?”
"Tentu saja! Tidak saja aku mengingat perhubungan kita yang
lalu," sampai di sini merahlah mukanya dan biarpun ia sudah
setengah tua akan tetapi masih kelihatan cantik, "akan tetapi juga
pihakku kini sudah menjadi musuh Bu-cin-pang dan lm-yang bu-pai.
Katakan saja cara bagaimana aku dapat menolongmu, Taihiap.
Apakah aku harus merawatmu dan mengurus jenazah Gurumu?”
"Bukan, Cun Eng. Kautinggalkan saja, aku sendiri akan sanggup
mengurus jenatah Suhu. Akan tetapi... yang amat menggelisahkan
hatiku, adalah nasib Wan Sin Hong, anak angkatku. Dia dibawa
55
pergi oleh orang-orang Im-yang-bu-pai. Kuakejarlah mereka, akan
tetapi jangan kau turun tangan, karena kau takkan menang. Mereka
amat lihai. Pergunakan akal agar supaya kau dapat rampas kembali
anak itu. Kasihan dia...”
"Balk. Taihiap. Akan kulakukan sekarang juga. Akan tetapi Kau
perlu dirawat..."
"Tak usah, kau pergilah, Cun Eng. Aku Lie Bu Tek akan berterima
kasih sekali kepadamu kalau kau dapat menolong Wan Sin Hong.
Setelah kau berhasil merampasnya dari tangan orang-orang, Imyang-
bu-pai, kau bawalah dia ke Gunung Lu-liang-san, hadapkan dia
kepada Luliang Sam Lojin (Tiga Kakek dari Gunung Luliang), mohon
perlindungan kepada tiga Locianpwe itu. Hanya di sanalah Sin Hong
akan selamat dan terbebas dari ancaman orang-orang Im-yang-bupai."
Mendengar disebutnya Luliangsan, Kiang Cun Eng kelihatan
terkejut. "Kesana...? Taihiap, tidak tahukah kau bahwa sekarang ini
Luliangsan sedang menjadi buah bibir semua tokoh kang-ouw?
Bahwa kukira tak lama lagi semua orang gagah akan menyerbu ke
sana untuk mencari dan merampas kitab peninggalan Pak Kek
Siansu?"
Bu lek mengangguk. "Aku sudah mendengar akan hal itu.
Menurut desas-desus, mendiang Pak Hong Siansu membuka rahasia
bahwa Pak Kek Siansu meninggalkan sebuah pedang yang disebut
Pak-kek-sin-kiam (Pedang Sakti daei Kutub Utara) dan sebuah kitab
pelajaran Ilmu Pedang Pak-kek Kitam-sut dan Ilmu Silat Pak kek
Sin-ciang. Akan tetapi hal itu kebetulan sekali. Kalau kau membantu
Sin Hong ke sana. tidak saja ia berada di tempat yang aman karena
kepanddian ketiga Luliang Sam-lojin amat tinggi. Juga kalau Luliangsan
diserang orang, tentu Taihiap Go Ciang Le akan melindungi
gunung itu dan karenanya. Kalau ia melihat Sin Hong tentu ia akan
membela anak itu."
"Lie Bu Tek Taihiap, kau tadi katakan bahwa anak yang bernama
Wan Sin Hong itu adalah anak angkatmu. Sebenarnya putera
siapakah?"
56
"Dia itu putera sumoiku yang telah tewas oleh musuh. Sudahlah,
Cun Eng, kalau memang berkemauan baik, lekas susul orang-orang
Im yang-bu-pai itu dan tolonglah Sin Hong...." Kiang Cun Eng lalu
bangkit berdiri dan berkata perlahan.
"Lie Bu Tek Tai-hiap, mengingat hubungan kita dahulu, aku akan
menolong anak itu dan kalau perlu akan menyediakan nyawaku
untuk menolong dia memenuhi permintaanmu. Selamat tinggal....”
"Cun Eng, kau benar-benar mulia. Semoga Thian melindungi...."
kata Lie Bu Tek terharu sambil memandang tubuh wanita itu yang
mulai berlari cepat turun gunung.
Kiang Cun Eng adalah ketua dari Hek kin-kaipang, sebuah
perkumpulan pengemis yang amat besar dan berpengaruh.
Anggauta-anggauta Hek-kin-kaipang tersebar luas di seluruh kota
dan jumlah mereka sampai ribuan orang. Oleh karena itu, begitu
turun dari Hoa-san, Cun Eng dapat mengumpulkan orang-orangnya.
Mudah saja baginya untuk mencari tahu ke jurusan mana orang
orang Im-yang-bu-pai itu lari, dan cepat ia lalu mempergunakan
seekor kuda yang baik untuk mengejar. Di samping ini ia pun
memberi perintah kepada anak buahnya untuk melakukan persiapan
dan menyelidiki keadaan dua orang tokoh besar itu. Ia maklum
bahwa kalau sampai dua orang tokoh besar itu membawa Sin Hong
ke kota Lam-si di kaki Bukit Kim-san yang menjadi pusat
perkumpulan Im- yang bu-pai, akan sukarlah baginya merampas
anak itu. Jalan satu-satunya adalah berusaha merampasnya di
tengah perjalanan.
Tanpa mengingat lelah, siang malam Kiang Cun Eng
membalapkan kudanya, bertukar-tukar kuda di tiap kota di mana
anak buah Hek-kin-kaipang sudah siap untuk membantu ketua
mereka. Dengan cara inilah ketua Hek-kin-kaipang ini berhasil
mendahului perjalanan Thian-te Siang-tung Kwa Siang dan Siangmo-
kiam Lai Tek yang membawa dua orang anak dan sedang
menuju ke Lam-si.
Kiang Cun Eng menyebar mata-mata di setiap kota dan gerakgerik
kedua orang ini diawasi baik-baik oleh semua pengemis
anggauta Hek-kin kaipang. Dari penyelidikan ini tahulah Kian Cun
Eng, yang mana adanya Wan Sin Hong, karena tadinya ia ragu-ragu
57
melihat bahwa dua orang tokoh itu membawa dua orang anak kecil.
Ketika mendengar pelaporan dari para penyelidiknya, terharulah hati
Cun Eng.
Di sepanjang jalan, Sin Hong diperlakukan buruk sekali. Hal ini
adalah karena sikap yang keras kepala dari anak ini, sama sekali
tidak sudi memperlihatkan sikap tunduk. Biarpun disiksa, tidak diberi
makan dan diancam, tetap saja memperlihatkan sikap bermusuhan
kepada dua orang tokoh 1m yang-bu-pai itu. Apa lagi terhadap
Kong Ji, Sin Hong memperlihatkan sikap membenci dan menghina
sekali. Tak pernah ia mau bicara dengan Kong Ji, dan pandang
matanya seakan- akan ia hendak menghancurkan kepala Kong Ji.
Sebaliknya, Kong Ji amat cerdik. Ia pandai mengambil hati dua
orang tokoh Im-yang-bu-pai itu sehingga ia makin disayang. Bahkan
atas bujukan Kong Ji, Sin Hong amat dibenci oleh kedua orang tua
itu sehingga kalau saja Lui Tek tidak sayang melihat keberanian Sin
Hong, ia tentu sudah dibunuh di tengah perjalanan.
"Kalian boleh lakukan apa yang kalian suka kepadaku, akan
tetapi dengarkanlah. Aku Wan Sin Hong bersumpah bahwa aku akan
membalas kejahatan Im yang-bu-pai, Bu-cin-pang dan anjing hina
dina ini yang mengaku bernama Lui Kong Ji!” Suara ini adalah
makian yang keluar dari mulut Wan Sin Hong ketika untuk ke sekian
kalinya Kong Ji memukul sesuka hati atas perintah kedua orang
tokoh Im-yang-bu-pai.
Mereka berempat telah tiba di dalam sebuah hutan di sebelah
barat daerah gunungan Kim-san dan bermalam di sebuah kuil tua
yang sudah kosong. Seperti biasa, Sin Hong memperlihatkan sikap
bermusuhan dan kali ini secara main-main Lai Tek menyuruh Kong
Ji yang mencoba untuk memaksa Sin Hong hertekuk lutut dan minta
ampun. Akan tetapi, biarpun pukulan-pukulan Kong Ji telah
membuat darah keluar dari bibirnya yang pecah-pecah, hasilnya
malahan membuat Sin Hong naik darah dan ia memaki-maki serta
menyumpah nyumpah.
"Ha-ha-ha, Sin Hong. Kau benar-benar tak tahu diri. Sebentar
lagi akan mampus, bagaimana kau masih dapat bersumpah untuk
membalas dendam,” kata Kong Ji tak kenal malu. Anak ini benarbenar
cerdik, ia tak khawatir kalau-kalau Sin Hong akan membuka
58
rahasianya bahwa dia adalah keturunan ketua Kwan-im-pai, karena
ia tahu akan kejantanan hati Sin Hong. Pantang bagi Sin Hong
untuk mengkhianatinya, biarpun ia telah berlaku jahat kepada Sin
Hong. Hal ini ia yakin betul apalagi kalau dipikir bahwa ia telah
berhasil merebut hati kedaua orang tokoh Im yang-bu-pai sehingga
kalau sekiranya Sin Hong membuka mulut membongkar rahasianya,
dua orang itu tak mau percaya kepada murid termuda dari Hoa-sanpai
itu.
"Kong Ji, baik masih hidup maupun sudah mati, aku selalu akan
mengejarmu dan membalas dendam. Kalau masih hidup, kelak
kedua tanganku sendiri yang akan merenggut nyawamu, kalau aku
sudah mati nyawaku akan menjadi setan penasaran yang akan
mengejarmu selama kau masih hidup!"
Pucat wajah Kong Ji mendengar ini. Biarpun kata-kata ini
dikeluarkan oleh seorang anak kecil, akan tetapi kehebatannya
membuat bulu tengkuknya merenung saking seramnya. Juga dua
orang tokoh Im-yang-bu-pai saling pandang dan merasa mengkirik.
Hebat sekali keteguhan hati anak ini dan mereka mau tidak mau
memandang kagum kepada anak kecil yang usianya paling banyak
baru dua belas tahun itu. Sin Hong dengan muka benjol-benjol dan
bibir berdarah, berdiri dengan kedua kaki dipentang lebar, dalam
bayangan api lilin ia kelihatan amat gagah dengan sepasang mata
bersinar-sinar, kedua tangan dikepal.
"Suheng, kalau tidak dihabiskan, anak ini benar-benar merupakan
bahaya besar di kemudian hari," kata Kwa Siang samhil
menundukkan muka, tidak kuat menentang pandang mata Sin Hong
yang berapi-api dari sepasang mata kecil yang jarang berkedip itu.
Siang-mo-kiam Lai Teak menarik napas panjang. "Sayang bahan
yang sebaik ini terpaksa harus dilenyapkan. Tunas begini baik
terpaksa harus dicabut. Tak kusungka hatinya sekeras baja,
pendiriannya sekokoh bukit. Memang tidak ada jalan lain kecuali
melenyapkannya, karena dia ini kelak memang merupakan bahaya
besar bagi Im-yang-bu-pai."
-oo0mch-dewi0oo59
Jilid III
“JIWI Locianpwe, biarkan teecu membunuh tikus bermulut jahat
ini!" kata Kong Ji girang. Anak ini memang akan -merasa amat lega
dan gembira kalau Sin Hong sampai tewas, karena bahaya satusatunya
bahwa rahasianya akan terbongkar berada di tangan Sin
Hong. Kalau Sin Hong mati, tentu ia akan aman dan dapat
melanjutkan cita-citanya, yakni ilmu silat dari Im-yang-bu-pai, yang
mempunyai banyak orang pandai.
Kwa Siang mengangguk. "Lakukanlah!” Biarpun Kwa Siang sudah
amat biasa membunuh orang tanpa berkedip mata, -melihat
kegagahan Sin Hong yang sedemikian rupa ia menjadi lemah dan
tidak tega untuk menjattuhkan tangan maut kepada anak luar biasa
ini.
Kong Ji pernah belajar ilmu silat, tidak saja dari orang tuanya,
juga pamannya yaitu Liok San, dan paling akhir ia belajar dari Liang
Gi Tojin, oleh karena ini, tanpa sebuah senjata pun di tangan, tentu
saja ia tahu bagaimana harus mengirim pukulan tangan kosong
untuk merenggut nyawa. Selama ini ia berhati-hati sekali sehingga
dalam setiap gerakannya, tidak terlihat ilmu dari Kwan-im-pai dan ia
hanya memperlihatkan ilmu silat Hoa-san-pai yang memang tidak
mengherankan orang karena ia sudah berada empat tahun di
puncak Gunung Hoa-san. Sambil tersenyum mengejek dan matanya
yang tajam itu berapi dan kejam sekali, Kong Ji berjalan perlahan
menghampiri Sin Hong. Sebaliknya, Wan Sin Hong berdiri dengan
tenang dan tabah. Ia maklum bahwa kalau saja ia tidak menderita
luka-luka akibat siksaan yang diterimanya selama ini, akan dapat
menghadapi dan melawan Kong Ji. Ia tak usah kalah oleh Kong Ji
dalam hal ilmu silat sungguhpun tidak dapat memastikan apakah ia
akan menang. Akan tetapi, pada waktu itu tubuhnya sudah amat
lemah. Tidak saja menerima siksaan dan luka-luka, juga ia tidak
diberi makan sudah dua hari sehingga tubuhnya lemah sekali.
"Anjing tak berjantung, kau mau membunuh aku? Bunuhlah,
sama saja bagiku, hidup atau mati aku tetap akan membalasmu
kelak!" kata Sin Hong samhil berdiri tegak.
60
Kong Ji menjadi semakin marah mendengar makian ini. Dengan
tangan kanan dikepalkan sambil mengerahkan semua tenaganya, ia
menghantam ke arah pelipis Sin Hong. Kalau pukulan ini tepat
mengenai sasaran, tak dapat diragukan lagi Sin Hong tentu akan
putus nyawanya. tidak saja pukulan ini mengandung tenaga yang
dahsyat, juga yang dipukul adalah bagian kepala yang paling lemah
dan yang menjddi pusat semua urat syarat.
Sin Hong maklum pula bahwa ia tidak berdaya melawan, namun
tentu saja tidak mau mampus begitu saja. biarpun ia tidak
mengenal takut dan tidak takut mati, namun ia akan membela diri
sedapat mungkin. Melihat datangnya pukulan ke arah pelipisnya, ia
menggerakkan kepalanya ke belakang sehingga pukulan itu
melayang di depan matanya dan menyambar tempat kosong.
Kong Ji marah sekali dan untuk kedua kalinya ia melayangkan
pukulannya kini ia menonjok ke arah dada kiri Sin Hong. Pukulan ini
pun merupakan pukulan maut karena kalau mengenai sasaran
jantung anak itu akan tergoncang dan dapat menyebabkan
kematiannya, Sin Hong miringkan tubuhnya, akan tetapi karena
tubuhnya sudah lemas kurang bertenaga, maka gerakannya itu
kurang cepat sehingga pukulan yang dahsyat itu masih mengenai
lengannya di atas siku.
"Krak...!" Patahlah tulang lengan dari Sin Hong. Anak ini meringis
kesakitan dan air mata terloncat keluar saking hebatnya rasa sakit
yang dideritanya. Namun tidak sedikit pun keluhan keluar dari
mulutnya dan biarpun kedua kakinya gemetar, ia masih dapat
menjaga keseimbangan tubuhnya dan tidak roboh terguling.
Pada saat itu, sebelum Kong Ji menyerang lagi untuk
menewaskan Sin Hong, terdengar suara halus dari luar.
"Tahan...! Jangan mendahului kami membunuh musuh besar
kami!"
Kong Ji kaget dan menengok, demikian pula dua orang tokoh Im
yang bu-pai memandang ke arah luar kuil bobrok. Ternyata bahwa
yang datang adalah Kiang Cun Eng, anggauta-anggauta Hek-inkaipang!
Kuil itu telah dikurung oleh seratus orang pengemis Hekkin-
kaipang dan kedatangan ketua perkumpulan pengemis itu
61
benar-benar tepat sekali, karena terlambat satu menit saja, tentu
nyawa Sin Hong sudah melayang akibat serangan serangan Kong Ji
yang ganas dan keji.
Ketika mengenal siapa orangnya yang menahan Kong Ji
membunuh Sin Hong, dua orang tokoh Im-yang-bu-pai itu saling
pandang dan muka mereka menjadi merah. Lalu melompat berdiri
dan tangan kanan mereka meraba gagang senjata.
'Biarpun perkumpulan kami jauh lebih tinggi kedudukannya
daripada Hek-kin-kai-pang, namun kami masih mengingat bahwa
Hek-kin-kaipang adalah perkumpulan tua yang ternama juga, maka
kami tidak pernah mengganggu. Sekarang Kek kin-kaipang dengan
puluhan orang anggautanya mengepung dan mengganggu kami,
apakah artinya ini?”
Kiang Cun Eng memberi hormat dan tersenyum manis. "Jiwi
Locianpwe, mohon maaf sebanyaknya. Kalau tidak ada setan cilik ini
di situ, mana kami berani mengganggu Jiwi? Perkenalkanlah, aku
adalah Kiang Cun Eng ketua Hek-kit kaipang yang bodoh dan
rendah. Kami telah mendatangi Hoa-san-pai untuk membasmi partai
yang telah berkali-kali menghina kami dan menjadi musuh besar
kami, akan tetapi ternyata kami didahului oleh Jiwi Locianpwe yang
gagah perkasa. Oleh karena setan cilik ini adalal ahli waris terakhir
dari Hoa-san-pai, maka kami mohon kepada Jiwi sudilah
memberikan anak ini kepada kami untuk kami bikin korban
sembahyang, guna menyembahyangi roh-roh para anggauta kami
yang ditewaskan oleh orang-orang Hoa-san pai. Bagi Jiwi, kiranya
membunuh Liang Gi Tojin dan Lie Bu Tek saja sudah cukup. Harap
sudi mengalah kepada kami dan memberi kesempatan kepada kami
untuk membalas dendam kami kepada keturunan Hoa-san-pai yang
terakhir ini."
Thian-te Siang-tung Kwa Siang yang tadi menegur, memandang
kepada suhengnya dan mereka berdua merasa curiga. Sudah lama
mereka mendengar nama Kiang Cun Eng sebagai ketua Hek-kinkaipang
yang lihai ilmu silatnya dan banyak akal. Tentu saja mereka
berdua tidak takut menghadapi ilmu silat ketua Hek-kin-kai-pang ini,
akan tetapi mereka merasa curiga kalau-kalau mereka akan ditipu.
62
"Hm, siapa percaya omonganmu?" kata Siang-mo-kiam Lai Tek
sambil, memandang tajam. Di bawah sinar api penerangan yang
suram, wajah Kiang Cun Eng masIh nampak cantik jelita seperti
gadis berusia remaja saja. "Bagaimana kalau kami menolak
permintaanmu?"
Kiang Cun Eng menjura. "Locianpwe, bagi aku sendiri, ditolak
masih tidak apa-apa, akan tetapi para anggauta Hek-kin-kaipang
yang seratus orang banyaknya ini sudah tidak sabar lagi. Mereka
semua haus darah anak Hoa-san-pai itu, maka terserah kepada
Locianpwe apakah hendak mengalah atau tidak. Akan tetapi, aku
tidak tanggung kalau semua kawanku ini tidak mau menerima begini
saja dan ramai-ramai akan menyerbu untuk berebut membinasakan
anak itu.”
Kwa Siang hendak marah akan tetapi Lai Tek memberi isyarat
dengan matanya. Tokoh ke dua dari Im-yang-pai ini bukan orang
bodoh. Ia pikir tidak ada untungnya untuk memperebutkan tentang
siapa yang akan membinasakan anak Hoa-san-pai itu. Alangkah
bodohnya kalau tidak mau mengalah dan kemudian bentrok dengan
Hek-kin-kaipang yang pada saat itu terdiri dari seratus orang. Siepa
saja yang membunuh anak ini, apa bedanya? Pihak Im-yang-bu-pai
hanya ingin melihat anak ini binasa agar kelak tidak menimbulkan
bencana.
"Kiang-kaipangcu, biarlah kami mengalah. Akan tetapi kau harus
membinasakan anak ini di tempat ini juga, disaksikan oleh kami!"
katanya. Mendengar ucapan ini, Kwa Siang mengangguk-angguk
menyatakan setuju. Memang kalau anak itu dibunuh di sini, apa
bedanya?
"Baik dan terima kasih!" kata Kiang Cun Eng sambil membentak.
"Anak setan, kau ke sinilah!" Sekali saja ia menjambret, ia telah
dapat menjambak rambut Sin Hong dan diseretnya anak itu
mendekat.
Sin Hong menggigit bibirnya menahan rasa sakit dan pedas pada
kulit kepalanya.
"Siluman perempuan, kau hendak membunuh lekas bunuh! Siapa
takut mampus?" ia balas membentak sambil iiendelikkan matanya.
63
"Bocah setan, pernah apa kau dengan Lie Bu Tek ?" tanya Kiang
Cun Eng memperkeras jambakannya sehingga dua orang tokoh Imyang-
bu-pai menjadi girang dan hilang kecurigaannya. Ternyata
bahwa ketua dari Pek-kin-kaipang ini lebih keras hati lagi dan
mereka tentu akan melihat kematian yang amat menarik hati dari
anak kecil itu!
"Lie Bu Tek adalah ayah angkatku, kau siluman perempuan
tanya-tanya ada perlu apakah?"
"Bagus, kalau begitu kau harus mampus?" bentak Kiang Cun Eng
sambil mencabut pedang di tangan kanan. Akan tetapi bukannya ia
menggunakan pedang untuk menabas batang leher Sin Hong,
sebaliknya ia lalu menyambar tubuh anak itu dengan lengan kirinya,
memondongnya lalu meloncat cepat sekali keluar dari kuil!
"Celaka, kita tertipu!" teriak Kwa Siang dan cepat menggerakkan
tangan kanannya yang sejak tadi telah memegang tiga pelor besi.
Tiga buah senjata rahasia itu menyambar ke arah Kiang Cun Eng,
akan tetapi wanita gagah ini memutar pedangnya. Terdengar suara
nyaring dan tiga buah' pelor besi itu terpental. Akan tetapi Cun Eng
merasa betapa telapak tangannya yang memegang pedang tergetar
dan kesemutan!
Kwa Siang dan Lai Tek mencabut senjatanya dan meloncat untuk
mengejar. Akan tetapi baru saja tiba di depan pintu, mereka telah
dihadang oleh seratus orang anggauta Hek kin-kaipang.
"Bagus mulai hari ini Im-yang-bu-pai akan membasmi Hek-kinkaipang!"
teriak Kwa Siang marah sekali dan bersama suhengnya ia
lalu mainkan senjata dan mengamuk hebat. Kepandaian dua orang
kakek ini memang lihai sekali. Andaikata Kiang Cun Eng ikut
mengeroyok, ketua Hek-kin-kaipang ini pun takkan menang
menghadapi mereka. Apalagi sekarang Hek-kin-kaipang telah
banyak kehilangan jago-jagonya. Dahulu Kiang Cun Eng masih
mempunyai pembantu-pembantu yang amat sakti ketika Cun Eng
masih muda. Akan tetapi para pembantunya itu telah tua sekali dan
sekarang semua anggauta Hek-kin-kaipang pandai ilmu silat, namun
menghadapi dua orang tokoh Im-yang-bu pai yang amat lihai itu,
mereka roboh seorang demi seorang bagaikan rumput dibabat.
64
Naintin para anggauta Hek-kin-kaipang sudah amat terkenal
sebagai orang-orang yang setia sampai mati kepada perkumpulan
dan ketua mereka. Biarpun maklum bahwa dua orang itu sama
sekali bukan lawan mereka, namun mereka taat akan perintah yang
dikeluarkan oleh Kiang Cun Eng untuk menghalangi dua orang
musuh itu melakukan pengejaran terhadap ketua mereka. Biarpun
banyak sekali kawan-kawan mereka yang roboh binasa, namun
mereka sama sekali tidak mau memberi jalan dan terus mengepung
Kwa Siang dan Lai Tek. Dua orang tokoh Im-yang-bu-pai itu
menjadi makin marah. Benar-benar mereka tak berdaya untuk
mengejar Cun Eng, dan terpaksa mereka mengamuk terus sehingga
puluhan orang anggauta Hek-kin-kaipang roboh, terluka atau tewas.
Baiknya mereka bertempur di luar kuil dan keadaan malam hari itu
gelap sehingga hal ini mengurangi banyakn)a korban yang jatuh.
Setelah mengurung dan mengeroyok dua orang Im-yang-bu-pai
itu cukup lama dan yakin bahwa ketua mereka sudah melarikan dan
cukup jauh hingga tak mungkin akan tersusul oleh pengejarpengejarnya,
para anggauta Hek-kin-kaipang tiba-tiba melenyapkan
diri di dalam gelap. Hebatnya dan rapinya barisan pengemis ikat
pinggang hitam ini adalah ketika mereka melenyapkan diri, tiap
orang menyambar tubuh seorang kawan yang terluka atau tewas
sehingga ketika lenyap, mereka yang jadi korban juga lenyap dari
tempat itu!
Akan tetapi, seorang anggauta Hek-kin-kaipang tak dapat
melarikan diri cukup cepat karena ia berada di dekat Lai Tek. Sekali
saja Siang-mo-kiam Lai lek menggerakkan tangannya, ia telah dapat
menangkap pundak orang ini yang segera dibantingnya ke bawah.
Pengemis itu mengeluh dan tak dapat berdiri lagi.
"Hayo katakan ke mana perginya ketuamu Kiang Cun Eng," kata
Lei Tek tiambil mengancam dengan pedangnya. Akan tetapi
pengemis itu diam saja tidak menjawab dan tidak bergerak.
"Bangsat rendah, kau ingin disiksa?" Kwa Siang ikut mengancam
dengan marah sekali.
"Sahabat, kalau kau mengaku dan memberi tahu kepada kami ke
mana perginya ketuamu, kami akan mengampuni nyawamu," kata
pula Lai Tek. Namun pengemis tetap menutup mulutnya.
65
"Jiwi locianpwe, mengapa tidak memanggang hidup-hidup agar
dia suka mengaku?" tiba-tiba Liok Kong Ji yang sudah keluar dari
kuil memberi usulnya.
Melihat tiga musuh besar ini, pengemis yang tertangkap itu
tersenyum mengejek. "Kau kira aku orang macam apa? Biar kau
akan membunuhku, aku takkan mengkhianati perkumpulan dan
pangcu. Mau bunuh boleh bunuh, tak sudi aku mengobrol lebih lama
dengan anjing-anjing besar kecil screndah kalian!"
"Krak!!" Kepala pengemis itu pecah dan isi kepalanya hancur
berantakan ketika tongkat Kwa Siang melayang dan menghantam
kepalanya. Kwa Siang yang berhati keras dan berangasan itu tak
dapat menahan sabar lagi.
"Ah, mengapa kau terburu nafsu, Sute? Ke mana kita harus
mengejar ketua Hek-kin-kaipang?" Lai Tek menyesal.
"Apa sih perlunya dikejar-kejar, Suheng? Kelak apa sukarnya bagi
kita untuk memenggal leher ketua Hek-kin-katpang untuk membalas
dendam atas hinaannya kali ini. Tentang setan cilik yang dibawanya
pergi, andaikata Kiang Cun Eng menipu kita dan tidak
membunuhnya, apa sih yang patut ditakuti? Lebih baik kita lekas
pulang ke Lam-si melaporkan semua hal ini kepada bengcu
(pemimpin) kita."
Siang-mo-kiam Lai Tek menarik napas panjang. Ia tahu akan
watak suhengnya yang selain keras juga amat berani. Lagi pula,
kalau dipikir-pikir, memang mereka tidak mempunyai lain jalan
untuk mengejar Kiang Cun Eng. Kalau mereka berusaha
mencarinya, tentu berarti akan terlambat tiba di kota Lam-si yang
sudah dekat dan hal ini amat berbahaya. Bengcu mereka adalah
seorang yang jauh lebih keras hati daripada Kwa Siang. Sekali ia
marah, ia mampu membunuh seorang anggauta atau murid seketika
itu juga kalau si murid ini salah atau melanggar perintahnya!
"Baiklah, Sute. Marl kita langsung ke Lam-si saja. Bengcu tentu
sudah menunggu-nunggu kita."
Demikianlah, Thian te Siang-tung Kwa Siang, Siang-mo-kiam Lai
Tek, dan Liok Kong Ji atau sebaiknya kita sebut Lui Kong Ji karena
anak yang berhati keji dan khianat ini sudah mengganti she (nama
66
keturunan), berangkat cepat-cepat ke kota Lam-si di kaki bukit Kimsan.
Pada keesokan harinya, tibalah mereka di kota Lam-si. Kong Ji
merasa kagum melihat sebuah gedung yang kokoh kuat dan besar
sekali di sebelah barat kota. Di depan gedung ini tergantung papan
nama perkumpulan Im-yang-bu-pai dengan tulisan yang merah,
besar dan gagah. Di depan pintu gerbang duduk beberapa orang
penjaga yang pakaian aneh, yakni seperti yang dipakai oleh Kwa
Siang dan Lai Tek, setengah hitam setengah putih'
Melihat Kwa Siang dan Lai Tek, semua penjaga berdiri tegap
memberi hormat.
"Di mana bengcu?" tanya Lai Tek.
"Bengcu sedang berlatih silat di lian-bu-thia (ruang berlatih silat),
melarang orang mendekati tempat itu," seorang penjaga memberi
keterangan.
Lai lek maklum bahwa larangan ini berlaku untuk semua
anggauta kecuali dia dan Kwa Siang yang merupakan "tangan kanan
kiri" dari ketua Im-yang-bu-pai. Maka ia mengajak Kong Ji dan
sutenya memasuki gedung, terus menuju ke lian-bu-thia. Ruangan
ini lebar dan dikurung oleh empat pintu tertutup daun pintunya.
Tiba-tiba mereka mendengar sambaran-sambaran angin yang
dahsyat sekali sehingga daun-daun pintu tergetar seakan-akan
didorong dari sebelah dalam. Dua orang tokoh lm yang-bu-pai itu
saling pandang dengan heran dan kagum.
"Kong Ji, kau tinggal di sini saja, sekali-kali tak boleh ikut masuk
ke dalam," kata Lai Tek kepada anak itu yang tidak mengerti apa
yang terjadi di sebelah dalam ruangan lian-bu-thia atau di balik
empat pintu itu.
Adapun Lai Tek dan Kwa Siang berlutut di luar sebuah pintu
kemudian Lai Tek berseru,
"Bengcu yang mulia, hamba berdua datang menghadap."
Sambaran angin pukutan makin menghebat dan tiba-tiba pintu di
depan dua orang tokoh Im-yang-bu-pai itu terpentang lebar dan
67
angin pukulan masih menyerang keluar, membuat Kwa Siang dan
Lai Tek jatuh bergulingan! Dapat dibayangkan betapa hebatnya
pukulan itu yang anginnya saja dapat membuat pintu terpentang
dan dua orang lihai seperti Lai Tek dan Kwa Siang sampai tak dapat
menahan dan bergulingan.
Lai Tek dan Kwa Siang terkejut bukan main. Mereka bangkit dan
duduk lagi dengan muka pucat, akan tetapi keduanya tersenyum
girang.
"Bengcu telah berhasil melatih ilmu pukulan dengan tenaga Tinsan-
kang (Tenaga Menggetarkan Gunung)!" kata Lai Tek.
Terdengar suara ketawa menyeramkan dari balik pintu dan tibatiba
bagaikan bayangan seorang iblis, di depan dua orang tokoh Imyang-
bu-pai itu telah berdiri seorang kakek yang menyeramkan.
Kakek ini rambutnya panjang terurai ke pundak, matanya lebar dan
tubuhnya tinggi besar. Pakaiannya seperti pakaian seorang tosu,
bertangan lebar dan amat longgar nienutupi tubuhnya. Inilah
bengcu atau ketua dari Im-yang bu-pai atau boleh juga disebut
pendiri dari Im-yang-bu-pai karena sebelum dia datang yang ada
hanya Im yang-kauw. Setelah kakek yang sakti ini datang dan
mengusai Im-yang-kauw, dia lalu mendirikan Im-yang-bu-pai yang
amat berpengaruh.
Bagi pembaca yang sudah membaea cerita Pendekar Budiman,
orang ini tidak asing lagi, karena ia sesungguhnya adalah Giok Seng
Cu, tosu yang nenjadi murid dari Pak Hong Siansu tokoh terbesar
dari Tibet. Ilmu kepandatan Giok Seng Cu amat tinggi, apalagi
akhir-akhir ini ia selalu memperdalam ilmu silatnya setelah ia kena
dikalahkan Go Ciang Le yang berjuluk Hwa I Enghiong. Sebetulnya
pendekar besar Go Ciang Le masih terhitung saudara
seperguruannya. Karena guru dan Go Ciang Le adalah Pak Kek
Siansu yang menjadi suheng dari Pak Hong Siansu. Hanya bedanya,
kalau Pak Kek Siansu, menjadi seorang pertapa suci, adalah Pak
Hong Siansu tersesat jauh, memasuki hek-to (jalan hitam).
Melihat kedatangan dua orang kaki tangannya, Giok Seng Cu
tertawa. Ia merasa grrang sekali bahwa ilmu pukulan yang sedang
dilatihnya itu berhasil baik.
68
"Masih jauh daripada memuaskan. katanya berulang-ulang.
"Sedikitnya naik dua tingkat lagi baru dapat menghadapi Hwa I
Enghiong!"
Dua orang tokoh lm-yang-bu-pai terkejut mendengar ini. Ketua
mereka sudah demikian dahsyat kepandaiannya hingga kalau
dibandingkan dengan kepandaian mereka, mereka bukan apa- apa.
Masa sekarang ketua ini harus naik dua tingkat kepandaiannya baru
dapat menghadapi Hwa I Enghiong? Hampir mereka tak dapat
percaya.
"Sesungguhnyakah?" Kwa Siang yang kasar menyatakan
keheranannya, "Sampai dimanakah lihainya Go Ciang Le?"
Giok Seng Cu tertawa terbahak, suara ketawanya memecahkan
telinga rasanya sehingga Kong Ji tak terasa lagi menutup kedua
telinganya dengan tangan, baru berani membukanva kembali
setelah orangtua itu menghentikan ketawanya.
"Kau tahu apa? Go Ciang Le telah mewarisi kepandaian Pak Kek
Siansu, ilmu silatnya lihai luar biasa. Kalau aku tidak dapat
merampas pedang Pak-kek-sin-kiam dan kitab rahasia dari Supek
yang ditinggalkan di Luliang-san, aku masih belum mampu
mengalahkannya. Namun menghadapi Luliang Sam-lojin pun bukan
hal yang amat mudah. Setahun lagi kalau Tin-san-kang yang kulatih
sudah sempurna, barulah aku akan menyerbu ke Luliang-san!"
Kemudian kakek berambut panjang ini menahan kata-katanya dan
merasa bahwa ia telah bicara terlalu hanyak, maka sambungnya,
"Eh, Lai Tek dan Kwa Siang, bagaimana dengan tugas kalian
menghukum Hoa-san pai? Dan siapa anak setan ini?"
“Hoa-san-pai telah hamba basmi, Liang Gi Tojin dapat
ditewaskan, dan Lie Bu Tek menjadi orang cacad tiada guna selama
hidupnya. Adapun anak bernama Lui Kong Ji, Ayah Bundanya tewas
dalam tangan Lie Bu Tek. Karena melihat dia berbakat, hamba lalu
membawanya untuk menjadi murid hamba," kata Kwa Siang.
Adapun anak itu ketika tadi melihat Giok Seng Cu bertanya tentang
dia, menjadi ketakutan dan siang-siang sudah berlutut tanpa berani
mengangkat mukanya.
69
Kwa Siang dan Lai Tek lalu menuturkan semua pengalaman
mereka, juga tentang anak angkat dari Lie Bu Tek yang tadinya
mereka bawa akan tetapi
kemudian dirampas oleh
Kiang Cun Eng.
"Mengapa kalian
menguruskan anak kecil
itu? Hek-kin-kaipang tak
boleh dipandang ringan,
anggautanya banyak
sekali. Belum waktunya
bagi kita untuk menanam
permusuhan dengan
mereka.” Giok Seng Cu
menegur setelah
mendengar semua
penuturan mereka.
"Menurut keterangan
Kong Ji, anak itu bukan
orang sembarangan,
melainkan keturunan dari
Wan-yen dan murid
wanita Hoa-san-pai, kalau tidak dibinasakan, tentu kelak akan
mendatangkan bencana," kata Lai Tek.
Giok Seng Cu menggerakkan tangannya. “Hah, takut apa
menghadapi bocah itu? Biar dia dibawa oleh Kiang Cun Eng, biar
ada seratus Kiang Cun Eng melatihnya, dia akan bisa berbuat apa
terhadap kita?" Kemudian kakek berambut panjang yang
menyeramkan itu memandang ke arah Kong Ji.
"Angkat mukamu!" bentaknya. Kon Ji terkejut dan menurut.
"Kwa Siang, kau tidak salah, anak ini berbakat. Akan tetapi kita
tidak tahu akan wataknya. Kau boleh mendidiknya, akan tetapi
kalau kelak kulihat dia berbahaya, aku akan melenyapkannya."
Kwa Siang menyatakan baik dan Kong Ji yang tahu diri segera
mengangguk-anggukkan kepalanya, menghaturkan terima kasih
70
kepada kakek berambut panjang yang galak itu. Anak ini cerdik
sekali, maka ia menjaga sedapat mungkin untuk menarik hati semua
orang dan beberapa bulan kemudian ia telah dapat mengambil hati
Giok Seng Cu sendiri sehingga ia diakui sebagai murid termuda dari
lm-yang-bu-pai.
--oo0mch-dewi0oo--
Gunung Luliang-san menjulang tinggi, puncaknya tertutup oleh
mega-mega putih. Akan tetapi kalau orang berada di puncak itu, ia
akan melihat mega yang berwarna semu hijau. Oleh karena puncak
Luliang-san ini oleh mendiang Pak Kek Siansu, dinamakan Jeng inthia
(Ruangan Mega Hijau). Di puncak ini terdapat sebuah bangunan
pondok sederhana dan kuat, pondok yang sudah kosong. Di
halaman pondok terdapat dua makam yang letaknya berhadapan,
kurang lebih lima tombak jarak antara dua makam ini. Itulah makam
Pak Kek Siansu dan sutenya, Pak Hong Siansu yang tewas dalam
pertandingan ilmu kepandaian secara hebat di depan pondok.
Setelah keduanya tewas Go Ciang Le mengubur jenazah kedua
orang tua sakti itu.
Semenjak Pak Kek Siansu tewas, Jeng-in-thia tidak pernah
ditinggali orang. Adapun ketiga murid Pak Kek Siansu yang juga
merangkap menjadi pelayan- pelayannya, kini tinggal di lereng
gunung, dan hanya sekali waktu datang ke Jeng-in-thia untuk
membersihkan bekas tempat tinggal guru mereka.
Tiga murid ini adalah Luliang Sam to-jin, tiga orang kakek dari
Gunung Luliang san. Yang tertua adalah Luliang Ciangkun atau
Panglima Luliang-san, kedua Luliang Siu-cai atau Sasterawan
Luliang-san, sedangkan ke tiga adalah Luliang Nungjin atau Petani
Luliang-san. Mereka telah berusia lanjut, telah menjadi kakek-kakek,
namun mereka dianggap sebagai locianpwe yang dihormati dan
disegani oleh semua golongan dalam dunia persilatan. Namun,
mereka telah lama mengasingkan dirie selalu tinggal di lereng
Luliang-san dan tidak pernah turun ke dunia ramai. Bahkan watak
mereka amat aneh, Sama sekali mereka tidak mau berhubungan
dengan manusia.
71
Kalau ada yang berani mendaki bukit Luliang-san, setiba di lereng
tempat tinggal mereka, pasti orang itu akan mereka usir, secara
halus maupun kasar!
Oleh karena inilah maka tidak ada orang kang-ouw yang berani
naik ke sana, karena mereka segan menghadapi Luliang Sam-lojin
yang memiliki kepandaian amat tinggi. Ketika Pak Hong Siansu
menyerbu Luliang-san (diceritakan dalam Pendekar Budiman), tiga
orang kakek ini terluka hebat oleh Pak Hong Siansu yang menjadi
susiok (paman guru) mereka sendiri, Luliang Ciangkun patah-patah
lengan kanannya sehingga kini lengan kanan itu menjadi bengkok
dan tak dapat dipergunakan untuk mainkan pedangnya yang lihai
dan ia terpaksa bermain pedang dengan tangan kiri. Luliang Siu-cai
patah tulang pundaknya sehingga kini tulisannya yang biasa indah
sekali menjadi coret-coretan jelek, juga menyebabkan gerakan ilmu
silatnya kaku, Luliang Nungjin patah-patah kakinya sehingga kini
kalau berjalan menjadi terpincang-pincang.
Akan tetapi, biarpun telah menjadi orang-orang bercacad,
kepandaian mereka tidak berkurang, bahkan kini makin matang dan
berisi. Mereka memang sudah memisahkan diri dari dunia ramia,
akan tetapi oleh karena pengalaman yang dulu-dulu membuat
mereka maklum bahwa pengasingan diri itu belum tentu berarti
mereka terbebas daripada gangguan orang-orang jahat, maka
mereka tidak lupa untuk melatih diri dan memperdalam ilmu
kepandaian mereka.
Luliang Sam-lojin maklum bahwa suhu mereka meninggalkan
sebatang pedang pusaka dan kitab pelajaran ilmu silat yang
disembunyikan di puncak Luliang-san. Suhu mereka pernah
berpesan sebelum meninggal dunia kepada mereka.
"Pedangku Pak-kek-sin-kiam dan kitab ilmu silat Pak-kek-sinkiamsut
serta Pak kek-sin-ciang kusembunyikan di sekitar Jeng-inthia.
Akan tetapi kalian takkan dapat mempelajarinya, karena untuk
mempelajari ilmu itu, harus ada seorang yang masih bersih lahir
batinnya, seorang anak yang berbakat baik dan bertulang pendekar
budiman. Kiranya hanya Ciang Le yang akan dapat mewarisinya.
Akan tetapi biarlah kita serahkan jodoh pedang dan ilmu itu kepada
Thian. Jangan beritahukan kepada siapapun juga, biarkan orang
72
yang berjodoh menemukannya sendiri. Akan tetapi hati-hati dan
jagalah jangan sampai dua benda itu terjatuh ke dalam tangan
orang jahat."
Pesanan ini ditaati betul oleh mereka. Memang mereka pernah
mencarI di dalam pondok, akan tetapi tidak dapat menemukan
pedang dan kitab itu dan akhirnya mereka hanya menjaga di lereng
bukit dengan penuh kewaspadaan. Bagi mereka yang sudah tua,
memang sudah kurang nafsu untuk memiliki pedang pusaka dan
kitab rahasia itu, karena untuk apakah? Luliang Ciangkun sudah
cukup berbahagia kalau ia bisa bersilat pedang di tangan kiri pada
malam terang bulan sambil diselingi minum arak sampai mabok.
Luliang Siu-cai biar pun tulisannya sudah buruk, cukup berbahagia
untuk menulis sajak-sajak indah sambil minum arak di bawah sinar
bulan purnama. Adapun Luliang Nungjin dapat tertawa sepuas
hatinya kalau ia melihat hasil pertaniannya amat subur dan baik,
melihat ladang tanamannya menghijau dan berombak seperti lautan
teduh kalau tertiup angin gunung. Memang beberapa kali sute
mereka yakni Go Ciang Le, datang mengunjungi mereka dan
bersembahyang di depan makam Pak Kek Siansu, namun Ciang Le
tidak pernah bertanya tentang pedang dan kitab, juga tak pernah
menemukan benda-benda itu. Maka mereka juga diam saja, taat
akan perintah suhu mereka.
Pada suatu pagi sejuk dan bersih, dari kaki Gunung Luliang-san
berjalan seorang wanita yang menuntun seorang anak laki-laki,
mendaki gunung. Mereka ini adalah Kiang Cun Eng dan Wan Sin
Hong. Setelah berhasil merampas Wan Sin Hong dari tangan dua
orang tokoh Im-yang-bu-pai, Kiang Cun Eng langsung membawa
anak itu menuju ke Luliang-san, untuk memenuhi pesan Lie Bu Tek,
yakni menghadapkan anak itu kepada Luliang Samlojin.
Kiang Cun Eng telah merawat luka-luka Sin Hong di dalam
perjalanan. Tulang lengan kiri yang patah akibat pukulan Kong Ji,
telah disambung dan diobati. Karena Sin Hong masih anak-anak dan
tulangnya masih dalam masa pertumbuhan, maka penyambungan
itu mudah dilakukan dan setelah bersambung, menjadi putih seperti
sediakala. Kalau saja luka itu terjadi setelah ia dewasa, agaknya ia
akan menderita cacad untuk selamanya.
73
Sin Hong tadinya membenci Kiang Cun Eng yang dikiranya juga
seorang jahat seperti yang lain-lain. Akan tetapi betapa wanita itu
merawatnya, memperlakukan dengan sikap manis dan baik dan
ternyata bahwa perampasan itu dilakukan dengan maksud
menolongnya, menjadi amat berterima kasih dan terharu. Apalagi
setelah ia mendengar laporan pengemis Hek-kin-kaipang yang
bertemu di jalan bahwa ketika menghadapi dua orang tokoh imyang-
bu-pai, tiga puluh orang anggauta Hek-kin-kaipang tewas dan
luka-luka, hati Sin Hong menjadi perih sekali.
"Kiang-pangcu, mengapa kaulakukan semua uni untukku?
Mengapa Hek –kin- kaipang membelaku sampai mengorbankan
puluhan nyawa orang?" tanya Hong ketika ia mendengar akan
laporan anggauta perkumpulan itu dan Cun Eng sedang mengobati
luka-lukanya.
Cun Eng mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang, lalu
menarik napas sambil berkata, "Anak yang baik, agaknya memang
aku harus menebus semua dosa dengan jalan menolongmu, biarpun
harus mengorbankan nyawaku sendiri. Aku lakukan semua ini untuk
memenuhi permintaan Ayah angkatmu dan aku sudah berjanji akan
memenuhi permintaannya itu biarpun dengan taruhan nyawaku dan
nyawa kawan-kawanku."
Berlinang air mata anak itu mendengar keterangan ini. "Budimu
besar sekali, Pangcu, Aku Wan Sin Hong bersumpah akan membalas
budi terhadap Hek-kin-kaopang …..”
"Hush... kalau ada persoalan budi, terima kasihmu harus kau
tujukan kepada Lie Bu Tek. Dia sekarang menjadi manusia bercacad
dan hidup sengsara di Hoa-san....."
"Gi hu...!" Sin Hong menangis ketika diingatkan kepada ayah
angkatnya yang ia lihat dirobohkan oleh musuh-musuhnya.
"Apakah... apakah Gihu tidak mati…..?”
Cun Eng menggelengkan kepalanya. "la tidak mati," lalu
menuturkan perjumpaannya dengan Lie Bu Tek di puncak Hoa-san.
“Kalau Gi-hu belum tewas, aku mau kembali saja ke sana.
Kasihan dia terluka hebat, siapa yang merawatnya?" kata Sin Hong
yang segera bangun dari pembaringannya.
74
Cun Eng, memegang pundaknya. "Tenanglah, Sin Hong. Ayah
angkatmu tidak apa-apa biarpun ia telah terluka namun pihak Im
yang-bu-pai sudah puas dan kiranya takkan mengganggunya. Kau
menurutlah saja padaku, karena seperti sudah kukatakan tadi, aku
melakukan semua ini untuk memenuhi pesanan Ayah Angkatmu itu.
Kau tentu seorang anak yang patuh kepada kehendak Gihu-mu itu,
bukan?"
Sin Hong mcngangguk sambil menahan air matanya, dan
demikianlah, ia ikut dengan Cun Eng menuju ke Luliang-san. Karena
kesehatannya telah pulih kembali, ia dapat melakukan perjalanan
berlari-lari cepat sambil dituntun oleh Cun Eng.
Melihat gunung besar di mana Cun Eng mengajaknya naik, Sin
Hong tak dapat menahan keinginan tahunya, maka bertanyalah dia,
"Kiang-pangcu, kita sedang menuju ke manakah?"
Kiang Cun Eng menghentikan perjalanan dan menjawab,
"Sin Hong, kiranya perlu kau ketahui akan rencana dari Ayah
angkatmu dan mengapa kita berada di sini. Menurut kehendak Ayah
angkatmu, aku harus membawamu ke Gunung Luliang-san ini dan
menyerahkan kau ke dalam perlindungan Luliang Sam-lojin, tiga
orang kakek yang berilmu tinggi. Hanya dalam perlindungan
merekalah kau akan aman dan pihak Im yang-bu-pai takkan berani
mengganggumu lagi"
"Siapakah Luliang Sam-lojin?" tanya Sin Hong.
"Mari kita lanjutkan perjalanan dan sambil berjalan akan
kuceritakan padamu." Mereka berjalan lagi dan sedapat mungkin
Cun Eng menuturkan tentang keadaan Luliang Sam-lojin. Tentu saja
penuturannya kurang jelas karena sesungguhnya Kiang Cun Eng
sendiri belum pernah bertemu muka dengan tiga orang kakek itu,
hanya mendengar saja nama mereka yang terkenal. Namun
mendengar tentang Luliang Sam lojin yang oleh Cun Eng dituturkan
memiliki kepandaian yang luar biasa lihainya sehingga orang-orang
Im-yang-bu-pai takkan berani mengganggunya, Sin Hong merasa
senang sekali. Ia memang ingin belajar ilmu silat tinggi dan kiranya
hanya tiga orang kakek itulah yang boleh diharapkan untuk
membimbungnya sehingga tercapai cita-citanya.
75
Sejak dari kaki gunung, mereka tidak melihat dusun atau orang
yang tinggal di daerah itu. Keadaannya amat sunyi hanya
diramaikan oleh suara burung. Perjalanan makin sukar, menanjak,
dan melalui jalan yang licin dan juga berbahaya. Terpaksa Cun Eng
menggendong Sin Hong di punggungnya, karena amat berbahaya
bagi orang yang tidak memiliki ilmu silat tinggi untuk melalui jalan
seperti itu. Sekali saja terpeleset orang akan terguling ke dalam
jurang!
Ketika mereka mendekati lereng gunung, jalan mulai penuh batu
karang dan di kanan kiri menjulang tinggi dinding-dinding batu
karang, tiba-tiba Sin Hong berseru,
"Kiang-pangcu, lihat. Batu karang ini penuh tulisan yang aneh"
Kiang Cun Eng menghentikan kakinya dan menengok ke kiri.
Betul saja, dinding batu karang itu penuh dengan coretan hurufhuruf
yang menggores dalam-dalam seperti dipahat. Ketika
menengok ke kanan, di situ pun terdapat banyak tulisan. Heranlah
ia bagaimana orang dapat menuliskan huruf-huruf di tempat seperti
itu. Selain batu karang itu keras sekali sehingga untuk memahat
huruf itu tentu akan memakan waktu lama sekali, juga tulisantulisan
itu ada yang terdapat di dinding bagian atas. Kalau tiada
mempergunakan tangga yang tinggi bagaimana menuliskannya?
"Alangkah buruknya tulisan itu......” kata Kiang Cun Eng. Sebagai
seorang wanita, biarpun ia pernah mempelajari sastera yang
diperhatikan hanya dari pandangan sudut keindahan.
“Hebat sekali tulisan itu" Hampir berbareng Sin Hong berseru.
"lh, apanya yang hebat? Hurufnya petat-petot, coretannya
mcncong dan tidak rata, apanya yang indah?” Kiang Cun Eng
mencela.
"Tulisannya memang buruk, Pangcu. Akan tetapi coba baca!"
Kiang Cun Eng menurunkan Sin Hong dari gendongan dan
membaca tulisan yang berada paling dekat. Tulisan itu demikian
buruknya sehingga Cun Eng membaca lambat dan penuh perhatian.
“Menyerah berarti akan terpelihara.
Bengkok berarti akan menjadi lurus.
76
Kosong berarti akan menjadi penuh.
Rusak berarti akan diperbaiki.
Sedikit berarti akan menjadi cukup.
Mempunyai banyak berarti akan menjadi bingung.
Maka orang bijaksana menggenggam Kesatuan.
Dan menjadi tauladan bagi manusia di dunia.
Ia tidak menonjolkan diri.
maka jelas kelihatan.
Ia tidak membenarkan diri.
maka kebenarannya terkenal.
Ia tidak menyomhongkan diri,
maka dihargai orang.
Ia tidak memuji diri. maka terpuji.
Justru ia tidak pernah bermusuh.
Maka tiada orang di dunia dapat
bermusuh padanya.
Tepat sekali ujar-ujar kuno bahwa:
Menyerah berarti akan terpelihara.
Yang menyerah akan terpelihara sepenuhnya.
Dan dunia akan memuji tinggi padanya.”
'Sajak apakah ini, begini sulit dimengerti?" Kiang Cun Eng
kembali mencela. Memang, ketika mempelajari ilmu surat, ketua
Hek-kin-kaipang ini tidak pernah membaca kitab-kitab kuno karena
ia memang tidak suka akan isi kitab yang dianggapnya hanya
memusingkan otaknya belaka.
“Pangcu, bagaimana kau tidak mengenalnya? Itulah sebuah sajak
dari dalam kitab To Tek Kheng!" kata Sin Hong.
"To Tek Kheng? Hm, pernah aku mendengar nama kitab ini, akan
tetapi tak pernah aku membaca isinya, Nah, kalau sajak yang di
sana itu, baru baik namanya," kata Cun Eng.
Sin Hong menengok ke kanan dan melihat sajak yang ditulis atau
lebih tepat diukir di dinding kanan. Tulisannya tetap buruk sekali,
akan tetapi susunan sajaknya benar-benar indah, dan romantis,
sungguhpun isinya hanya merupakan pujian terhadap sinar bulan,
air telaga, arak dan wanita cantik sebagaimana seringkali ditulis oleh
penyair dan pujangga kuno.
77
"Sin Hong kau mengerti bahwa tulisan yang kubaca tadi dari
kitab To Tek Kheng. Apakah juga kau mengerti juga artinya yang
demikian sulit?" tiba-tiba Cun Eng bertanya.
Merah wajah Sin Hong, seorang anak kecil seperti dia,
bagaimana dapat menyelami arti daripada ujar-ujar yang demikian
sulit? Ia tersenyum dan menjawab,
"Kiang-pangcu aku sendiri sesungguhnya amat bodoh. Aku hanya
mengerti dari keterangan guru-guru sastera yang pernah
mengajarkan isi dari semua sajak itu yang pada pokoknya hanya
nasihat dari Pujangga Besar Lo Cu yang menyuruh orang
mengosongkan diri, menyerah, merendah dan tunduk kepada
Hukum Alam atau To, membiarkan diri bersikap seperti air pula
yang mencari jalan kembali ke samudera, atau yang terkenal
dengan istilah mencari diri pribadi. Maksudnya entahlah, aku sendiri
belum mengerti." Sesungguhnya, biarpun masih kecil namun otak
Sin Hong cerdik sekali dan ia sudah dapat menangkap maksud
daripada filsafat ini, hanya ia tidak berani menyatakan kepada Cun
Eng. Baginya ia lebih tertarik akan ujar-ujar dari Guru Besar Khong
Hu Cu, karena baginya, ujar-ujar Lo Cu terlalu dalam dan terlalu
muluk, di luar daripada kenyataan hidup yang membutuhkan
dorongan semangat dan kemajuan menurut jalan yang benar dan
baik.
Mereka melanjutkan perjalanan. "Heran sekali, siapakah yang
begitu iseng menuliskan segala macam sajak kuno di tempat seperti
itu?" Sin Hong berkata perlahan, "Dia itu biarpun tulisannya buruk,
tentulah seorang saterawan besar."
Mendengar ini, kembali Cun Eng menghentikan kakinya. "Ah,
sekarang aku ingat. Penulisnya tentulah Luliang Siucai!"
"Siapa dia?"
"Dialah orang ke dua dari Luliang Sam lojin. Yang pertama
adalah Luliang Ciangkun, ke dua Luliang Siucai, dan ke tiga Luliang
Nungjin."
Sin Hong menjadi heran dan kagum. Benar-benar aneh, pikirnya.
Tiga kakek Luliang-san itu memakai nama Panglima, Sasterawan,
dan Petani. Tak lama kemudian, jalan batu karang telah dilalui dan
78
mereka tiba di lereng bukit yang hijau dan penuh tanaman segar.
Jauh sekali bedanya dengan daerah yang baru saja dilalui.
"Pangcu, di lereng ini tinggal banyak sekali petani!" tiba-tiba Sin
Hong yang berpemandangan awas itu berseru.
"Mengapa kau berkata demikian?"
"Lihat sawalt-sawah itu!. Demikian lebar dan luas. Kalau bukan
banyak petani rajin yang mengerjakannya, siapa lagi?"
Kiang Cun Eng mumbenarkan pendapat ini. Akan tetapi mereka
memandang ke sara ke mari, di daerah itu sunyi sepi tidak kelihatan
sebuah pun rumah orang. Di manakah tinggalnya para petani itu?”
Tiba-tiba entah dari mana datangnya, seorang berpakaian petani
jalan mendatangi sambil memanggul cangkul. Kiang Cun Eng dan
Sin Hong memandang dengan mata menyatakan kaget dan heran.
Mereka sama sekali tidak tahu dari mana datangnya orang itu dan
yang amat mengherankan mereka adalah pacul yang dipanggul oleh
orang itu. Pacul itu gagangnya hanya sebatang akan tetapi amat
panjang dan ujung gagangnya itu ada cabangnya sebanyak enam
dan di setiap ujung cabang terdapat sebuah pacul! Jadi pada
hakekatnya pacul yang segagang itu mempunyai mata cangkul
sebanyak enam buah yang jauhnya dari satu kepala yang lain ada
tiga kaki. Benar benar pacul yang amat aneh.
Petani yang sudah tua itu berjalan terpincang-pincang, ternyata
kakinya bengkok-bengkok. Hal ini dapat dilihat nyata karena
celananya hanya sebatas lutut dan kedua kakinya berkulit putih
bersih, berbeda dengan petani biasa. Tanpa menoleh, petani itu lalu
masuk ke dalam sawah berlumpur dan cepat mengerjakan paculnya
yang aneh.
"Hebat sekali orang itu…..!" Kiang Cun Eng berseru perlahan
ketika ia melihat bagaimana petani itu bekerja. Ayunan cangkulnya
cepat dan keras dan tiap kali ia menarik paculnya, enam mata
cangkul itu telah mencabut atau memacul rumput-rumput liar yang
mengganggu sayur-sayuran yang ditanamnya. Biarpun sayursayuran
itu tumbuh dekat, namun ke enam mata cangkul itu
mengenai tepat pada sasarannya, yakni rumput-rumput liar dan
sama sekali tidak mengganggu tanamannya sendiri!
79
Biarpun Cun Eng bicara perlahan sekali, namun tiba-tiba petani
itu menunda pekerjaannya dan sekali ia melompat ia telah berdiri di
hadapan Cun Eng dan Sin Hong! Gerakan ini luar biasa sekali
cepatnya, dan jarak antara mereka lebih dri lima tombak, namun
sekali melompat kakek pincang itu telah berada di situ. Dan yang
lebih mengagumkan hati Cun Eng dan Sin Hong adalah kaki kakek
itu masih bersih dan sama sekali tIdak terkena lumpur padahal
kalau orang menginjak sawah berlumpur itu, kedua kakinya tentu
akan amblas sedikitnya sampai pergelangan kaki!
"Kalian ini siapakah? Apakah datang hendak mencuri sayur
mayur yang kutanam?" tegur kakek petani pincang itu. Ia
memandang kepada Cun Eng hanya sebentar saja akan tetapi
matanya kini menatap wajah Sin Hong penuh perhatian.
"Penghuni gunung ini benar amat aneh," kata Sin Hong sebelum
Cun Eng menjawab, membikin kaget kepada ketua Hek-kin-kaipang
itu, "Lopek yang baik, kau menanam begini banyak sayur-mayur,
dimakan sendiri takkan habis. Mengapa demikian pelit dan takut
orang mengambilnya? Apakah sekian banyaknya sayur dapat kau
makan habis?"
Kalau Kiang Cun Eng amat terkejut dan khawatir, adalah petam
itu tertawa berkakakan mendengar pertanyaan Sin Hong. "Ha, ha,
ha, kau tahu apa, bocah? Tentu saja aku tidak makan habis sayuran
ini, aku menanamnya hanya untuk melihat hasil kerjaku. Asal
tanamanku hidup subur dan indah, aku sudah puas, siapa
menginginkan hasilnya untuk dimakan?"
Sin Hong melongo. "Jadi sayur-sayuran yang ditanam ini akhirnya
akan membusuk begitu saja?"
"Tentu saja! Tidak ada sesuatu yang takkan tua layu dan mati di
dunia. Akan tetapi itu yang menyenangkan hatiku, kalau sudah mati,
aku dapat mencangkul dan menanam lagi, bukankah itu amat
menggembirakan hati? Soal mencuri, biarpun hanya mencuri sayur,
namanya tetap mencuri dan aku paling benci kejahatan!”
Cun Eng tak sangsi lagi dengan siapa ia berhadapan, maka ia
membentak Sin Hong. "Jangan kurang ajar, Sin Hong'" Setelah itu ia
lalu menjatuhkan diri berlutut di depan petani itu sambil berkata,
80
"Locianpwe, mohon maaf sehanyaknya atas kelancangan teecu
berdua."
Kakek petani itu nampak kaget lalu tersenyum.
"Eh, apa-apaan sih ini? Aku seorang petani bodoh yang hanya
bisa mencangkul dan menanam mengapa kausebut locianpwe
segala'"
"Mohon Locianpwe sudi memaafkan kalau tadi teecu buta tidak
tahu bahwa teecu berhadapan dengan Luliang Nungjin yang mulia."
Mendengar sebutan ini, Sin Hong tercengang dan perlahan-lahan
ia lalu menjatuhkan diri berlutut pula, akan tetapi ia mengangkat
mukanya memandang kepada kakek petani itu penuh selidik.
Kakek petani itu memang Luliang Nungjin. la tertawa, kemudian
memandang tajam kepada Cun Eng. "Siapakah kau yang bermata
tajam? Kita belum pernah bertemu dan sudah lama sekali aku tak
meninggalkan gunung, bagaimaa kau bisa mengenalku?"
Sebelum Cun Eng menjawab, kembali Sin Hong saking herannya
mengeluarkan kata-kata yang keras, "Aneh, aneh! Para Locianpwe
di Luliang-san memang orang-orang aneh. Tadi aku sudah melihat
hasil pekerjaan Luliang Siucai, yang menggunakan pahat mengukir
huruf huruf jelek menuliskan sajak-sajak indah. Sekarang Locianpwe
ternyata adalah Luliang Nungjin, petani yang menanam banyak
sekali sayur mayur tanpa memakan hasil sawah ladangnya!"
Melihat kejujuran dan ketabahan Sin Hong, Luliang Nungjin
gembira sekali. "Anak goblok, Luliang Siucai tak pernah memegang
pahat. Ia menulis huruf-huruf itu dengan coretan jari telunjuknya!"
Mendengar ini Sin Hong menjulurkan lidahnya dan menjadi
bengong. Bahkan Cun Eng sendiri bergidik memikirkan betapa
lihainya orang yang menggunakan jari tangan mencoret-coret di
dinding batu karang setinggi itu! Buru-buru ia menganggukanggukkan
kepala dengan hormat dan berkata,
"Sekali lagi mohon Locianpwe memaafkan kami, terutama atas
kelancangan mulut anak ini. Teecu adalah Kiang Cun Eng….."
81
"Hm, Jadi kau ketua Hek-kin-kaipang" Luliang Nungjin memotong
kata-kata orang.
"Benar demikian, Locianpwe."
"Hm, kau tentu menghadapi kesulitan. Makin besar
perkumpulannya, makin pusing mengurusnya."
"Memang betul seperti yang dikatakan Locianpwe, teecu datang
ini hendak memohon pertolongan. Teecu...."
"Stop...! Tak perlu menceritakan urusanmu. Urusanmu bukan
urusanku. Aku tidak ingin mendengar lebih lanjut. Kau dan bocah ini
lekas-lekas turun gunung. Kami tidak membolehkan siapa juga
mengganggu ketenteraman di Luliang-san."
"Locianpwe, mohon belas kasihan dari Locianpwe, teecu bukan
datang untuk keperluan teecu sendiri, melainkan...."
"Sudah, sudah! Kalau aku membiarkan kau bicara juga, tentu dua
orang Suhengku takkan mau membiarkan."
"Locianpwe...."
"Diam, lihat mereka sudah datang! Kau boleh mendengar
sendiri."
Tanpa dapat diketahui sebelumnya, tahu-tahu dua orang kakek
telah berada di situ. Cun Eng dan Sin Hong memandang. Yang
seorang adalah seorang kakek bertubuh tinggi besar yang
berpakalan seperti panglima perang. Jenggotnya panjang dan
wajahnya yang gagah membuat ia kelihatan seperti Kwan In Tiang
atau Kwan Kong tokoh besar di jaman Sam Kok. Orang ke dua
adalah seorang yang halus gerak-geriknya, berpakaian sebagai
seorang sasterawan dengan kuku tangan terpelihara baik-baik.
"Sute, siapakah mereka ini?" Luliang Ciangkun bertanya dengan
suara yang besar.
"Kiang Cun Eng ketua Hek-kin-kai-pang dan bocah ini... entah
siapa," Jawab Luliang Nungjin.
Tiba-tiba tubuh tinggi besar dari Panglima Bukit Luliang itu
bergerak dan ia telah menubruk Kiang Cun Eng! Wanita ini kaget
sekali dan hendak mengelak karena mengira bahwa kakek itu
82
menyerangnya. Akan tetapi, tahu-tahu ia merasa sesuatu bergerak
di punggungnya dan ketika ia merabanya ternyata bahwa pedang
yang tadinya tergantung di punggungnya telah dirampas oleh
Luliang Ciangkun!
Cun Eng terkejut sekali, akan tetapi Luliang Siucai dengan
suaranya yang halus berkata, "Orang yang datang di Luliang-san
tidak boleh membawa-bawa senjata."
Sementara itu, Luliang Ciangkun memandang pedang rampasan
dengan senyum mengejek. "Pedang apa ini? Ha percuma saja
dibawa-bawa!" Ia lalu bersilat dengan pedang itu. Bukan main
cepatnya gerakan pedangnya dan angin dingin menyambarnyambar
dari gerakan pedang. Cun Eng dan Sin Hong melongo
menyaksikan ilmu pedang yang hebat ini. Tiba-tiba pedang itu
meluncur menyambar batu karang dan menimbulkan suara keras
sekali. Batu karang sebesar dua tubuh orang itu terbelah akan tetapi
pedangnyapun patah menjadi dua!
"Pedang buruk, pedang tiada gunanya..." Luliang Ciangkun
berkata sambil melemparkan gagang pedang dengan gaya jijik dan
tidak senang.
"Hebat," pikir Cun Eng. Tiga orang kakek ini benar-benar lihai.
Sasterawan itu dapat menulis di batu karang dengan mencoratcoretkan
telunjuknya, tanda bahwa lweekangnya sudah tinggi sekali.
Petani itu pun dapat mempergunakan pacul sedemikian rupa
sehingga pacul itu dapat menjadi senjata luar biasa lihainya.
Sedangkan Panglima ini sudah tak dapat disangsikan lagi kelihalan
ilmu pedangnya dan besarnya tenaga.
"Sam-wi Locianpwe mohon sudi meng-ampunkan teecu yang
bodoh. Sesungguhnya teecu berani datang ke tempat ini untuk
memenuhi permintaan Lie Bu Tek dari Hoa san-pai."
"Hoa-san-pai? Apa yang terjadi dengan Hoa-san-pai?" Luliang
Ciangkun melangkah maju. Tiga orang kakek ini memang
mempunyai hubungan yang amat baik dengan Hoa-san-pai dan di
antara semua partai persilatan hanya kepada Hoa -san pai mereka
menaruh hati suka. Hal ini adalah karena sute mereka yang
terkasih, yaitu Go Ciang Le, termasuk keturunan dari Hoa san-pai,
83
bahkan isteri dari Go Ciang Le yang bernama Liang Bi Lan juga
seorang anak murid Hoa-san-pai yang terkasih.
Mendengar pertanyaan ini, Cun Eng Ialu menuturkan
pengalamannya.
"Ketua Hoa-son.pai, Liang Gi Tojin, telah tewas oleh dua orang
tokoh Im-yang-bu pai, yaitu Thian-te Siang tung Kwa Siang dan
Siang-mo-kiam Lai Tek, dibantu oleh Siang-pian Giam-ong Ma Ek
ketua Bu-cin-pai. Juga Lie Bu Tek Taihiap telah terluka hebat dan
menjadi penderita cacad. Anak ini adalah murid termuda dari Hoasan-
pai, juga menjadi anak angkat dari Lie Bu Tek Taihiap. Dia ini
bernama Wan Sin Hong, putera tunggal dari Wan Kan dan Ling In
yang tewas oleh Ba Mau Hoatsu." Kemudian Cun Eng menuturkan
tentang pesanan Lie Bu Tek dan menutup penuturannya dengan
suara memohon.
"Sam-wi Locianpwe, oleh karena keselamatan anak ini selalu
terancam oleh pihak Im-yang-bu-pai, maka untuk memperkuat
pesanan Lie Bu lek Taihiap, teecu mohon dengan hormat sudilah
Sam-wi Locianpwe menaruh hati kasihan dan menolong anak ini.
Hanya di tempat inilah Sin Hong dapat terhindar dari kekejaman Imyang-
bu-pai."
"Tidak bisa! Kami bukan pengasuh anak-anak!" bentak Luliang
Ciangkun dengan suara keras sambil membuka lebar matanya.
"Dengan Im-yang-bu-pai kami tidak ada sangkut paut kami
sudah mengasingkan diri dari dunia ramai!" kata Luliang Nungjin.
Liuliang Siucai juga menyambung tenang, "Kiang-pangcu, kami
sudah mencuci tangan dari urusan dunia dan tidak mau terlibat
dengan permusuhan dan urusan orang-orang kang-ouw. Menyesal
sekali kami tak dapat menerima permintaan Hoa-san-pai atau
permintaanmu.”
"Sam-wi Locianpwe..., harap Sam-wi tolonglah! Im yang-bu-pai
amat jahat dan menjagoi di dunia kang-ouw. Banyak yang sudah
menjadi korban keganasan mereka, teecu tidak minta banyak,
hanya minta perlindungan dan tempat bagi anak ini...."
84
"Sekali tidak bisa tetap tidak bisa!" Luliang Ciangkun membentak
marah., "Kalian berdua pergilah!”
Kiang Cun Eng tak dapat menahan kekecewaan hatinya, sampai
dua butir air mata menitik turun di atas pipinya. Ia hendak
memohon dan membantah lagi, akan tetapi tiba-tiba Sin Hong
bangkit berdiri dan menarik bangun Kian Cun Eng sambil berkata
keras,
"Pangcu, mengapa begini merendahkan diri seperti pengemispengemis
kelaparan?" Tidak saja Cun Eng yang terkejut, bahkan
tiga orang kakek itu mengerling ke arah Sin Hong. Anak itu berdiri
tegak dengan kedua kaki terpentang lebar dan dua tangan terkepal,
matanya tertuju ke arah tiga orang kakek itu dengan pandangan
marah.
"Kiang-pangcu, Gihu telah menjatuhkan kepercayaan dan
harapannya di tempat yang salah dan pada orang-orang yang bukan
semestinya. Mencari perlindungan dari orang orang jahat harus
datang pada orang-orang bijaksana dan gagah perkasa, bukan pada
orang-orang jahat pula!"
Cun Eng menjadi pucat. "Sst, Sin Hong, jangan kurang ajar!"
Luliang Ciangkun menggerakkan tangannya dan dalam sedetik
saja leher baju Sin Hong sudah ia pegang dan anak itu kini
tergantung pada tangan Panglima Luliang-San, seperti seekor kelinci
dipegang pada kedua telinganya.
"Setan cilik, kau bilang apa? Kauanggap kami orang-orang
jahat?"
"Locianpwe," kata Sin Hong dengan suara sama sekali tidak
takut, "kalau kau membantingku sekali saja kau dapat
membunuhku?"
“Tentu, setan cilik. Sekali banting kaupasti mampus!" kata
Luliang Ciangkun marah.
"Nah, kalau terjadi demikian, bukankah kau jahat sekali? Seorang
tua gagah menangkap dan membunuh anak kecil.”
85
Mendengar ini, lemaslah tangan Luliang Ciangkun dan ia
melepaskan Sin Hong.
"Bocah kurang ajar. Lekas kaukatakan mengapa kau anggap
kami jahat. Tanpa alasan berarti kaulah yang jahat, menuduh orang
sesuka hati."
"Tentu saja teecu mempunyai alasan yang kuat. Locianpwe tidak
memandang persahabatan dengan Hoa-san-pai dan tidak mau
membantu Kiang-pangcu yang memohon tolong, itu boleh dibilang
belum jahat. Akan tetapi, Locianpwe bertiga tahu bahwa Im-yangbu-
pai jahat sekali, akan tetapi berpeluk tangan saja tidak mau
membantu mereka yang tertindas. Ada pepatah kuno yang
menyatakan bahwa orang yang tidak mau mencegah dilakukannya
perbuatan jahat, orang yang melihat seorang penjahat tanpa turun
tangan dan membiarkan saja berarti bahwa orang itu membantu
penjahat dan dengan sendirinya menjadi penjahat juga. Teecu
mendengar bahwa para pendekar perkasa di dunia kangouw siap
mengorbankan nyawa sendiri untuk memberantas kejahatan dan
menolong orang-orang yang menjadi korban kejahatan. Akan tetapi
Sam-wi Locianpwe tinggal diam saja bahkan menolak permohonan
tolong, tentu saja mendatangkan kesan bahwa Sam-wi juga jahat."
Tiga orang kakek itu saling pandang dengan alis terangkat.
Mereka merasa "bohwat" (Tak berdaya membantah) terhadap katakata
Sin Hong dan kemudian mereka tertawa bergelak.
"Ha, ha, ha, setan cilik ini lihai sekali lidahnya!" kata Luliang
Ciangkun.
"Biarkan dia di sini membantu mencangkul sawah!" kata Luliang
Nungjin.
“Tidak, kalau dia di sini, berarti kita akan mengundang keributan
saja," kata Luliang Siucai yang berpikiran lebih luas, "biarlah ia
tinggal di Jeng-in-thia di puncak, mengurus makam dan
membersihkan pondok. Di sana takkan ada orang dapat
melihatnya."
"Bagus, begitupun baik. Kita tak usah repot setiap hari
membersihkan tempat itu. Biar dia menjadi bujang kecil!'" kata
Luliang Ciangkun dan Luliang Nungjin.
86
"Teecu mohon belajar silat dari Sam-wi Locianpwe!" Sin Hong
membantah. "Untuk apa kalau hanya menjadi bujang? Teecu kelak
akan menuntut balas, kalau tidak ada yang memberi pelajdran ilmu
silat dan kelak tak dapat menuntut balas, lebih baik sekarang juga
musuh-musuh teecu mendapatkan teecu agar tee-cu dapat
mengadu nyawa. Apa artinya
tinggal di tempat ini kalau tidak
diberi pelajaran ilmu silat?"
Kiang Cun Eng merasa
gelisah sekali menyaksikan
kekebalan dan keberanian Sin
Hong, akan tetapi Luliang
Ciangkun sambil tertawa
bergelak, kembali menangkap
leher baju Sin Hong dan
membawanya berlari seperti
terbang menuju ke puncak.
"Belajar silat? Lihat dulu
sampai di mana
kemampuanmu!" kata Panglima
dari Luliang-san ini.
"Pangcu, sekarang lebih baik
kau lekas lekas pergi dari sini dan jangan kau memberi tahu kepada
siapapun juga bahwa anak itu berada di sini,” kata Luliang Siucai.
Kiang Cun Eng berlutut dan menghaturkan terima kasihnya. Akan
tetapi ia teringat akan anak itu dan setelah melakukan perjalanan
dengan Sin Hong, ia merasa sayang dan suka kepadanya.
“Locianpwe, anak itu mempunyai penasaran besar, maka teecu
mohon kemurahan hati Sam-wi Locianpwe untuk memberi
bimbingan kepadanya," katanya.
"Bodoh!" Luliang Nungjin membentak. "Anak itu sudah berada di
sini, kalau ia menjadi orang bodoh kelak, apakah kami tidak akan
malu?"
87
Bukan main girangnya hati Cun Eng mendengar ini, ia
menghaturkan terima kasihnya lagi, lalu cepat-cepat turun dari
lereng Gunung Luliang-san.
Sin Hong adalah anak yang jujur, tabah dan mempunyai banyak
sifat sifat baik. Ia juga amat cerdik dan tahu bahwa biarpun tiga
orang kakek Luliang-san itu wataknya aneh, namun mereka amat
lihai dan memiliki kepandaian tinggi. Oleh karena itu, setelah ia
dibawa oleh Luliang Ciangkun ke Jeng-in-thia (Ruang awan hijau), ia
tidak memperlihatkan sikap melawan lagi, bahkan tanpa diperintah
lagi ia lalu bekerja, membersihkan ruangan yang berupa pondok
sederhana itu. Juga ia merasa amat hormat kepada dua buah
makam tua yang berada di depan pondok. Ia tidak tahu makam
siapakah itu, akan tetapi ia merawat kedua makam itu, mencabuti
rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar makam dan menanam
bunga-bunga yang indah.
Setelah membawa dia ke puncak, Luliang Ciangkun lalu
meninggalkannya tanpa pesanan sesuatu. Akan tetapi Sin Hong
tidak merasa takut ditinggalkan seorang diri di puncak. Biarpun ia
tidak diberi makan dan tidak diberi tahu ke mana harus mencari
makan, anak ini mempergunakan akalnya sendiri. Ia mencari dan
mendapatkan pohon-pohon berbuah di puncak itu dan ia dapat
mencari makannya sendiri, sungguhpun hanya berupa buah-buahan
belaka.
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid IV
SETELAII sepekan lebih tinggal di Jeng-in-thia, Sin Hong merasa
heran dan juga girang sekali. Entah mengapa, biarpun hanya makan
buah-buahan. la tidak merasa perutnya lapar dan perih, bahkan ia
merasa tubuhnya sehat dan selalu segar. Tentu saja ta tidak tahu
bahwa pohon-pohon berbuah yang berada di puncak itu adalah
tanaman dari mendiang Pak Kek Siansu yang menanam buahbuahan
yang amat besar khasiatnya bagi kesehatan tubuh. Juga
hawa di puncak itu bersih serta baik sekali, maka anak ini merasa
semangatnya terbangun dan tubuhnya tak pernah terasa lesu.
88
Saking gembira berada di tempat aman dan menyenangkan, Sin
Hong setiap hari melatih ilmu silatnya yang empat tahun lamanya ia
pelajari di Hoa-san. Tidak lupa setiap pagi, sambil menghadapi
cahaya matahari, ia bersilat di Jeng-in-thin, di atas tanah datar yang
bersih dan sepenuhnya menerima cahaya matahari. Di belakangnya
menjulang tinggi batu karang, dan di sebelah kanannya terdapat
jurang yang amat curam dan dalam. Di sebelah kirinya terdapat dua
makam yang berhadapan di belakang makam-makam itu adalah
pondok bekas tempat tinggal Pak Kek Siansu yang kini ia jadikan
tempat bermalam. Kalau sudah berlatih silat, Sin Hong lupa waktu.
Baru ia berhenti setelah sinar matahari membakar kulitnya sehingga
peluhnya memenuhi seluruh tubuh serta membuat pakaiannya
basah semua. Biasanya, sudah dekat tengah hari baru ia berhenti
dan merasa lapar lalu makan buah-buah yang mudah didapat di
puncak itu. Oleh karena ini, Sin Hong tak pernah merasa sunyi dan
bosan, bahkan ilmu silatnya dari Hoasan-pai maju pesat sekali.
Sebulan kemudian, pada suatu hari Sin Hong asyik bersilat di
tempat biasa, yakni di pinggir jurang. Matahari sudah naik tinggi
sehingga bayangannya menjadi pendek. Saking asyiknya ia tidak
tahu bahwa sejak tadi tiga orang kakek Luliang-san tengah
memandang ke arahnya dengan kagum. Setelah Sin Hong berhenti
bersilat dan duduk bersila sambil mengatur pernapasan
sebagaimana diajarkan oleh mendiang Liang Gi Tojin kepadanya,
barulah tiga orang kakek Luliangsan itu bertindak menghampirinya.
Melihat mereka, Sin Hong segera menjatuhkan diri berlutut.
"Sam-wi Locianpwe, banyak terima kasih teecu haturkan atas
kebaikan budi Sam-wi membolehkan teecu tingggal di sini. Teecu
merasa seperti tinggal di dalam sorga."
"Bocah gendeng, apakah kau pernah melihat sorga?" Luliang
Ciangkun mencela, akan tetapi kini kakek ini tidak marah lagi,
bahkan matanya memandang dengan penuh rasa suka kepada Sin
Hong. Memang, tiga orang kakek itu merasa suka sekali kepada Sin
Hong. Hal ini tidak mengherankan karena tadi pagi-pagi benar
mereka sengaja naik untuk melihat anak yang mereka perbolehkan
tinggal di puncak sampai sebulan lamanya.
89
Hal pertama-tama yang menyambut mereka adalah
pemandangan indah di sekitar pondok. Apalagi di depan pondok di
mana terdapat dua makam, terjadi perubahan istimewa. Rumputrumput
liar dan alang-alang telah dilenyapkan dan sebagai gantinya,
di situ tertanam bunga-bunga yang mulai mekar. Juga batu-batu
putih dikumpulkan dan diatur di sepanjang pingir lorong dan pondok
ke makam sehingga merupakan jalan kecil yang amat manis dan
indah. Ketika mereka mendekat, makam-makam itu sendiri amat
bersih dan terpelihara. Demikian pula pondok kecil bekas tempat
tinggal suhu mereka itu terawat baik-baik dan amat bersihnya.
"Hm, benar-benar tidak rugi membolehkan anak itu tinggal di
sini," kata Luliang Ciangkun.
"Bukan tidak rugi, malah menguntungkan. Memang anak itu tahu
diri dan berbakat baik," kata Luliang Nungjin.
"Akan tetapi di manakah dia? Mengapa tidak kelihatan? Di dalam
pondok pun tidak ada," kata Luliang
Kemudian mereka mencari dan kemudian mereka melihat anak
itu sedang berlatih silat di dekat jurang. Diam-diam tiga orang kakek
itu melihat dan memuji bahwa anak itu memang memiliki bakat
yang amat baik. Ilmu silat Hoa-san-pai yang dimainkan tidak ada
yang tercela, bahkan gerakan-gerakannya mengandung dasar yang
amat kuat.
"Hm, tidak percuma anak itu menerima latihan dari mendiang
Liang Gi Tojin sendiri. Di antara murid-murid Hoasan-pai, boleh
dibilang tidak ada yang sebaik dia bakatnya. Biarpun kembangankembangan
ilmu silat Hoa-san-pai masih belum dikuasai
sepenuhnya, akan tetapi gerakan kaki tangannya sudah mempunyai
dasar yang amat kuat," kata Luliang Ciangkun yang memang amat
suka melihat tunas baik.
"Kalau diberi pelajaran, anak itu tentu dapat menerima dengan
amat mudah dan baik," kata Luliang Nungjin perlahan sambil
menonton terus.
"Aku memang hendak memberi pelajaran satu dua ilmu pukulan
padanya, hitung-hitung untuk upahnya merawat tempat ini," kata
Luliang Ciangkun gembira.
90
"Aaah... apakah kiranya dia ini yang berjodoh dengan Suhu?"
kata Luliang Siucai perlahan. Dua orang saudara seperguruannya
tertegun mendengar ini dan mereka saling pandang penuh arti.
"Siapa tahu...." kata Petani Luliang-san.
"Betapapun juga, biarkan Suhu sendiri memberi keputusan. Kalau
memang ia berjodoh, seperti pesan Suhu, tentu ia akan bisa
mendapatkan pusaka peninggalan Suhu." kata Luliang Ciangkun.
Tiga orang kakek ini menonton terus. sampai anak itu berhenti
berlatih kelelahan. Diam-diam mereka kagum sekali melihat betapa
anak itu berlatih dengan penuh ketekunan dari pagi sampai hampir
tengah hari. Jarang terdapat seorang anak kccil berlatih ilmu silat
seorang diri tanpa ada yang memberi bimbingan dengan demikian
rajin. Apalagi kalau mendapat bimbingan guru pandai!
"Sin Hong, suka benarkah kau belajar ilmu silat?" tanya Luliang
Ciangkun.
Dengan wajah berseri girang Sin Hong yang masih berlutut
mengangkat kepalanya. "Tentu saja, locianpwe. Teecu akan belajar
dengan giat dan rajin dan teecu berjanji kelak akan menjunjung
tinggi semua perintah dan nasihat serta pelajaran Sam-wi
Locianpwe dengan sumpah bahwa teecu akan mampus sebagai
seorang rendah kalau teecu melanggarnya, asal saja Sam-wi
Locianpwe sudi memberi bimbingan kepada teecu yang bodoh."
"Hm, hm, kau mudah sekali bersumpah dan berjanji. Akan tetapi,
tidak apa, kaulah sendiri yang bersumpah, bukan kami yang minta.
Memang kami bermaksud memberi pelajaran kepadamu, karena kau
sudah berada di sini."
"Samwi Suhu yang mulia, teecu memberi hormat!" kata Sin Hong
sambil berlutut dan mengangguk-angguk delapan kali sebagai tanda
pengangkatan guru.
"Eh, eh, nanti dulu. Kau boleh belajar ilmu silat, akan tetapi kau
harus menganggap kami sebagai saudara-saudara seperguruan!"
kata Luliang Ciangkun.
Sin Hong mengangkat muka memandang heran. Luliang Siucai
memberi penjelasan,.
91
"Jangan kau heran atas ucapan Suheng tadi, Sin Hong.
Ketahuilah bahwa kami bertiga memang tidak berhak mengangkat
murid. Hanya mendiang Suhu yang berhak mengambil murid, kami
tidak! Oleh karena kau sudah berada di sini dan merawat makam
Suhu, kau boleh dianggap sebagai murid Luliang-san dan berhak
pula mempelajari dasar ilmu silat kami. Akan tetapi, kau boleh
menganggap sebagai murid bungsu dari mendiang Suhu Pak Kek
Siansu, sedangkan kami hanya Suheng-suhengmu yang memberi
bimbingan mewakili Suhu yang sudah tidak ada lagi. Nah, kalau
hendak berjanji, berjanjilah di depan makam Suhu."
Sin Hong melirik ke arah dua makam di depan pondok. "Yang
manakah makam Suhu? Dan makam yang satu lagi, makam
siapakah?"
Luliang Siucai menarik napas panjang. "Kau agaknya memang
berjodoh untuk tinggal di sini dan mengetahui semua. Ketahuilah,
yang berada di sebelah kanan itu adalah makam Suhu Pak Kek
Siansu, adapun yang di sebelah kiri adalah makam Pak Hong Siansu,
yakni Susiok (Paman Guru) kita. Suhu dan Susiok saling serang dan
saling bunuh di tempat ini.” Kemudian dengan singkat Luliang Siucai
menceritakan peristiwa yang dahulu terjadi (Baca Pendekar
Budiman) yakni tentang Pak Hong Siansu yang menyerbu ke
Luliang-san dan bertemu dengan Pak Kek Siansu sehingga keduanya
mengalami kebinasaan.
"Susiok telah menempuh jalan sesat. Suhu takkan dapat
dikalahkannya kalau saja Susiok tidak berlaku curang. Dan sampai
sekarang, dari pihak Susiok masih saja terdapat ancaman, yakni
muridnya yang bernama Giok Seng Cu. Tahukah kau siapa Giok
Seng Cu? Bukan lain adalah ketua dari Im-yang-bu-pai yang
sekarang, yang sudah menghancurkan Hoa-san-pai."
Pucat wajah Sin Hong mendengar Kalau begitu, musuh besarnya
yang membunuh Liang Gi Toon adalah anak buah dari Giok Seng Cu
yang menurut hubungan sekarang masih terhitung saudara
seperguruan dengan dia!
"Giok Seng Cu yang kini menjadi ketua Im-yang-bu-pai amat
lihai, karena dia telah mewarisi kepandaian Susiok Pak Hong Siansu.
Akan tetapi biarpun ia tersesat seperti gurunya, kita harus
92
memandang muka Suhu dan jangan bermusuhan dengan dia. Oleh
karena itulah kami juga tidak mau turun gunung untuk
memperbesar permusuhan yang mula-mula terjadi antara Suhu dan
Susiok. Amat tidak pantas permusuhan antara keluarga sendiri
diperbesar," kata Luliang Siu-cai.
"Teecu dapat inengerti ucapan dan pendirian Sam-wi Suhu.
Teecu berjanji akan mentaati dan takkan mencari permusuhan
dengan Im-yang-bu-pai, kecuali kalau mereka yang mulai terlebih
dahulu. Adapun tentang sakit hati Hoa-sanpai, hanya akan teecu
balas kepada mereka yang bersangkutan, yakni Than te Siang-tung
Kwa Siang dan Siang-mo-Thian Lai Tek, juga Siang-pian Giam-ong
Ma Ek," kata Sin Hong.
Mendengar kata-kata ini, tiga orang kakek itu menjadi girang
sekali. Tak mereka duga bahwa biarpun masih kecil, Sin Hong
ternyata memiliki pemandangan luas dan pertimbangan yang
matang. Demikianlah, sejak hari itu, Sin Hong menerima latihan dan
gemblengan ilmu silat dari Luliang Sam-lojin. Dasar anak ini memiliki
kecerdikan otak yang luar biasa, maka biarpun ia menerima latihan
dan tiga orang, akan tetapi karena tiga orang ini memang memiliki
kepandaian dan sumber yang sama, ia dapat menerima dengan
baik. Dasar ilmu silat Luliang-san yang diciptakan oleh Pak Kek
Siansu telah dipelajarinya dan dengan amat girang anak ini
mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang baru ini jauh lebih hebat
deripada ilmu silat Hoa-sanpai yang pernah dipelajarinya. Kini
kerajinannya makin menghebat. Tidak hanya di waktu pagi ia
berlatih, bahkan setiap saat kalau ia sudah selesai mengerjakan
tugasnya merawat tempat itu, ia berlatih ilmu silat. Tidak jarang di
waktu malam gelap ia berlatih ilmu silat seorang diri.
Tiga orang kakek itu secara bergiliran naik ke puncak dan setelah
memberi petunjuk serta melihat anak itu berlatih, mereka turun lagi.
Tidak pernah mereka bermalam di puncak dan meninggalkan anak
itu berlatih seorang diri.
Setahun berjalan dengan amat cepatnya dan kini kepandaian Sin
Hong sudah maju pesat. Selain dasar-dasar ilmu silat tinggi dari
Luliang-san, juga Sin Hong dalam waktu setahun itu menerima
pelajaran istimewa dari ketiga suhengnya. Dari Luliang Nungjin ia
93
menerima latihan ilmu menimpuk dengan "senjata rahasia" yang
aneh, yakni tanah lempung yang menempel di kakinya, sudah cukup
tangguh untuk menghadapi lawannya. Biarpun hanya tanah
lempung, akan tetapi kalau sudah ia pergunakan sebagai senjata
rahasia, kehebatannya sama dengan pelor besi. Sin Hong melatih
diri dengan ilmu menimpuk ini dan karena tenaga lwekangnya
memang belum hebat, tentu saja ia tidak dapat meniru Luliang
Nungjin yang mampu menembus kulit dan daging lawan dengan
tanah lempungnya! Sin Hong sebaliknya melatih diri menimpuk
dengan jitu ke arah jalan darah-jalan darah dari tubuh lawan
sehingga biarpun "pelor lumpur" di tangannya takkan menembusi
kulit lawan, namun dapat dipergunakan untuk menimpuk jalan
darah'
Dari Luliang Ciangkun, ta menerima latihan ilmu silat pedang dan
untuk latihan ini, Sin Hong mempergunakan sebaang ranting pohon
sebagaimana disuruh oleh suhengnya itu. Ia mempelajari Ilmu
Pedang Soan Hong-kiam hoat (Ilmu Pedang angin Puyuh) dan kini
mengertilah Sin long mengapa Panglima Gunung Luliang demikian
hebat kalau main pedang karena pedangnya itu mengeluarkan angin
berputar-putar yang dahsyat sekali. Ia ahu bahwa kalau ia sudah
mahir mengatur tenaga lweekang dan gwakang (halus dan kasar),
ia pun akan dapat main pedang sehebat suhengnya.
Sebaliknya, Luliang Siucai memberi pelajaran ilmu silat yang
berdasarkan huuf-huruf tulisan indah! Biarpun pelajaran ini
kelihatannya lucu namun justeru pelajaran inilah yang akan
membuat Sin Hong cepat maju. Sasterawan Gunung Luliang itu
memberi tahu bahwa gerakan ilmu silat mempunyai keselarasan
dengan gerakan menulis huruf. Sebagai contohnya sasterawan tua
ini dengan ke dua tangannya menuliskan huruf-huruf pertama dari
ayat kitab Tiong Yong (Se buah di antara Empat pelajaran dari Nabi
Khong Hu Cu).
Thian Beng Ci Wi Seng
Siu Seng Ci Wi To
Siu To Ci Wi Kouw
Dalam gerakan menuliskan huruf-huruf ini yang dilakukan amat
indah, kaki tangan Luliang Siucai teratur rapi sehingga merupakan
gerakan ilmu silat yang luar biasa. Coretan-coretan diganti dengan
94
pukulan atau tangkisan, coretan pertama dilakukan dengan tangan
kiri sedangkan coretan berikutnya dengan tangan kanan. Kedudukan
kaki disesuaikan dengan huruf yang sedang ditulisnya. Misalnya
menulis huruf pertama yang berbunyi "Thian", kuda-kuda kaki
dipentang, tubuh tegak tangan kiri melakukan pukulan rata dengan
kepala sedangkan tangan kanan menyusul pukulan sebatas pundak.
Demikian pula dengan gerakan selanjutnya, menurutkan sifat
coretan dari huruf yang dituliskan dengan gerakan silat. Pelajaran ini
amat menarik hati Sin Hong, karena di waktu dahulu ia memang
pernah mempelajari dan membaca kitab Tiong Yong. Oleh karena ia
sudah hafal akan bunyi ayat-ayat di dalam kitab Tiong Yong, maka
lebih mudah baginya untuk mempelajari ilmu pukulan ini. Teringat
akan coretan hurufnya saja memudahkan dia untuk mengingat
gerakan silatnya. Ia pun tahu akan maksud ayat pertama tadi yang
artinya kurang lebih seperti berikut,
Karunia Tuhan adalah Watak Aseli.
Selaras dengan Watak Aseli
disebut Jalan Kebenaran
Mencari Jalan Kebenaran disebut Pelajaran.
Anak yang amat cerdik ini setelah menerima pelajaran ilmu silat
berdasarkan huruf-huruf indah ini, diam-diam mengerti bahwa kalau
ia sudah mahir dalam ilmu silat tinggi, tentu ia dapat menggubah
ilmu silat sendiri berdasarkan huruf-huruf lain. Tentu saja ia harus
mencari ayat atau sajak yang kiranya takkan dikenal oleh orang lain,
karena kalau sekali saja lawan mengenaI barisan sajak atau hurufhuruf
yang dimainkan sebagai ilmu tentu gerakan-gerakannya sudah
diketahui lebih dulu oleh lawan!
Tiga orang kakek Luliangsan itu, ketika melihat betapa cerdik dan
luar biasa adanya "sute" mereka, diam-diam merasa makin kagum
dan girang sekali. Mereka hampir yakin bahwa inilah orang atau
anak yang dimaksudkan oleh suhu mereka dalam pesanannya,
agaknya anak inilah yang patut menerima warisan ilmu silat dan
pedang dan Pak Kek Siansu. Akan tetapi, sesuai dengan pesanan
suhu mereka, mereka tidak berani membuka rahasia. Hanya mereka
telah memberi jalan kepada Sin Hong, yakni dengan memberi tahu
kepada anak itu bahwa anak itu kini boleh mencari tahu keadaan di
puncak, boleh melihat dan membuka apa saja, bahkan kalau anak
95
itu mendapatkan sesuatu, yang didapatkan itu boleh menjadi milik
dan haknya.
Tentu saja biarpun amat cerdik, Sin Hong sama sekali tak pernah
menduga bahwa tiga orang "suheng" itu menyindirkan sesuatu.
Anak ini sudah merasa amat puas karena dapat belajar ilmu silat
tinggi, hanya satu hal yang membuat hatinya penasaran, yakni
tentang Inti Ilmu SIlat Pak-kek Sin-ciang. Menurut tiga orang
suhengnya, ilmu silat ini turunan dari Pak Kek Siansu. Akan tetapi,
tiga orang kakek itu hanya baru mempelajari tiga bagian saja dan
Pak-kek- Sin-ciang, bahkan menurut mereka Hwa I Enghiong Go
Ciang Le yang kepandaiannya jauh lebih tinggi dari mereka pun
baru menerima enam bagian saja dari Pak-kek Sin-ciang!
"Bagaimana siauwte dapat mempelajari Pak kek Sin-ciang?"
tanya Sin Hong.
Tiga orang suhengnya saling pandang.
"Kiranya hanya Sute Go Ciang Le yang dapat mengajarkannya
kepadamu," kata Luliang Siucai.
"Akan tetapi Suheng Go Ciang Le hanya memiliki enam bagian.
Bagaimana caranya kalau siauwte ingin mempelajari Pak -kek Sinciang
sampai sempurna dan lengkap?" mendesak anak itu.
Luliang Siucal menarik napas panjang. Ia maklum bahwa untuk
dapat mempelajari ilmu itu selengkapnya, harus mendapatkan kitab
yang disembunyikan dan dirahasiakan oleh suhunya, pula dengan
bantuan kitab itu pun belum tentu orang dapat mempelajari
selengkapnya karena Ilmu Silat Pak- kek Sin-ciang bukan
sembarang ilmu. Amat sukar dan membutuhkan ketekunan luar
biasa.
"Hanya mendiang Suhu yang mempunyai ilmu itu selengkapnya.
Pada masa ini tidak ada seorang pun di dunia yang dapat
memainkan Pak-kek Sin-ciang," kata Luliang Siucay.
"Suheng, kalau begitu, selain mendiang Suhu, apakah tidak ada
orang lain yang lihai sekali seperti Suhu kepandaiannya?" tanya Sin
Hong.
96
Luliang Ciangkun tertawa, demikian Luliang Nungjin dan Luliang
Siucay.
"Jangan melantur!" kata Panglima Luliang san. "Gunung Thai-san
yang tersohor tinggi pun, tak berani menganggap diri sendiri paling
karena di atasnya masih ada awan. Di atas awan masih ada bulan,
di atas bulan masih ada matahari dan bintang. Tentu saja ada
banyak sekali orang-orang lihai yang kepandaiannya setingkat
dengan Suhu akan tetapi karena kami sudah lama tidak turun
gunung, kami tidak tahu lagi si-apakah jago-jago ternama di waktu
ini."
"Menurut pendapatku, kiranya tidak ada lagi locianpwe yang
kepandaiannya setingkat dengan Suhu," kata Luliang Siucay, "kalau
pun ada, tentu dia sudah tua atau sudah mati. Di antara jago-jago
sekarang, kiranya sukar mencari tandingan seperti Sute Go Ciang
Le."
Sin Hong menjadi makin kagum. Kalau Suhengnya, Go Ciang Le
yang baru mempelajari enam bagian dari Pak-kek Sin-ciang sudah
dapat menjagoi dunia, apalagi kalau sudah mempelajari ilmu silat itu
sepenuhnya!
"Bagaimana dengan kepandaian Ba Mau Hoatsu?" tanyanya tibatiba.
Luliang Siucai mengerutkan alisnya. "Hm, kau teringat akan
musuh besarmu? Kepandaian Ba Mau Hoatsu amat tinggi, kiranya
tidak kalah oleh kepandaian Giok Sang Cu ketua Im-yang-bu-pai.
Akan tetapi dibandingkan dengan kepandaian Go sute, ia tentu
masih kalah."
"Bicara tentang Go-sute, mengapa sudah tiga tahun lebih dia
tidak datang ke Luliang-san?" tanya Luliang Nungjin dengan suara
kecewa dan menyesal.
Tiba-tiba terdengar suara keras sekali dan sekaligus percakapan
itu berhenti. Semua orang memasang telinga baik-baik. Suara itu
terulang lagi dan kini terdengar lapat-lapat suara orang berteriak,
"Luliang Sam-lojin...! Keluarlah menemui kami...!"
97
"Ada orang naik Luliang-san!" Pang-lima Luliang-san berkata
sambil mengerutkan ails. "Sin Hong, kau jangan pergi ke manamana.
Kiranya bukan orang baik yang berani naik ke sini!" Ia lalu
berkelebat dan lenyap dan diikuti oleh dua orang sutenya yang
turun dari puncak sambil mengerahkan ilmu lari cepat mereka. Sin
Hong berdiri dengan bengong, hatinya berdebar. Siapakah mereka
yang datang ke gunung ini? Ia merasa menyesal sekali bahwa
kepandaiannya masih jauh daripada sempurna, sehingga ia tidak
dapat membantu tiga orang suhengnya untuk bersiap sedia, kalaukalau
yang datang adalah pihak musuh.
Luliang Sam-lojin yang herlari cepat, seperti terbang menuruni
puncak Jeng-in-thia, sudah maklum bahwa yang datang adalah
orang berkepandaian tinggi. Baru suara yang dapat dikirim dari
lereng sampai terdengar ke puncak itu saja sudah menyatakan
betapa tingginya Ilmu Coan im-jip-bit (Mengirim Suara dari Tempat
Jauh) dari orang itu.
"Ji-sute dan Sam-sute, hati-hatilah. Kurasa kedatangan mereka
bukan mengandung maksud baik," kata Luliang Ciangkun.
Ketika mereka telah tiba di lereng, mereka melihat dua orang
kakek berdiri tegak.
"Hm, sudah kuduga, tentu dia yang datang," kata Luliang
Ciangkun perlahan.
"Benar, Giok Seng Cu datang tentu tak mengandung maksud
baik. Apalagi dia datang dengan Ba Mau Hoatsu!" kata Luliang
Siucai.
"Celaka," kata Luliang Nungjin, "Jangan-jangan Ba Mau Hoatsu
sudah tahu bahwa putera Wanyen Kan berada di sini."
"Kita harus membelanya mata-matian!" kata Luliang Ciangkun
yang sudah merasa sayang sekali kepada Sin Hong. Dua orang
sutenya menyatakan setuju.
Mereka kini telah berhadapan dengan dua orang kakek itu yang
bukan lain adalah Giok Seng Cu ketua Im-yang-bu-pai dan Ba Mau
Hoatsu seorang hwesio tinggi besar, tokoh Tibet yang kenamaan.
98
Karena tidak ada hubungan sesuatu dengan Ba Mau Hoatsu,
ketiga Luliang Sam lojin tidak memperdulikannya akan tetapi Luliang
Ciangkun menegur Giok Seng Cu yang bagaimanapun juga masih
sutenya sendiri, yakni murid dari Pak Hong Siansu, paman gurunya.
"Giok Seng Cu sute, tidak sari-sarinya kau datang ke Luliang-san,
tidak tahu ada keperluan apakah?" Sambil berkata demikian Luliang
Ciangkun dan dua orang saudaranya memandang kepada Giok Seng
Cu dengan penuh keheranan. Alangkah besar perubatan pada diri
murid Pak Hong Siansu ini setelah menjadi ketua lm-yang-bu-pai.
Wajahnya jadi amat menyeramkan dengan rambutnya yang
panjang, seperti seorang iblis saja.
Giok Seng Cu tertawa bergelak dan dari suara ketawa ini timbul
getaran yang hebat, tanda bahwa kakek ketua lm-yang -bu-pai ini
sekarang telah memiliki khikang yang jauh lebih tinggi daripada
dahulu.
"Ha, ha, ha! Luliang Sam-lojin, apa-apaan kau menyebutku Sute?
Gurumu dan Guruku sudah bermusuhan, tidak ada alasannya
mengapa kita masih ada ikatan saudara seperguruan lagi.”
Luliang Ciangkun mendongkol sekali, akan tetapi ia menahan
sabar. "Baiklah, sesukamu Giok Seng Cu. Akan tetapi ketahuilah
bahwa biarpun dari pihakmu ada perasaan bermusuh, dari pihak
kami tidak ada perasaan seburuk itu. Sekarang katakan, apakah
maksud kedatanganmu dan mengapa pula Ba Mau Hoatsu ikut
datang ke tempat ini? Kami sudah lama mencuci tangan dan tidak
mau berhubungan dengan dunia ramai, oleh karena itu kami harap
kalian suka pergi dan jangan mengganggu kami lagi."
Ba Mau Hoatsu mengeluarkan suara di hidung bernada mengejek
sekali. "Aha, benar-benar Luliang Sam-lojin bukan merupakan tuan
rumah yang ramah tamah,", katanya menyindir.
Adapun Giok Seng Cu yang mendengar pengusiran ini, menjadi
marah dan sepasang matanya yang lebar itu menjadi makin
melotot.
"Luliang Ciangkun, omongan apakah yang kau keluarkan itu? Aku
sengaja datang untuk menengok makam Guruku, apakah engkau
berani melarangku?"
99
Kata kata ini disusul oleh suara ketawa mengejek dari Ba Mau
Hoatsu sedangkan Luliang Sam-lojin itu saling pandang dengan tak
berdaya. Alasan yang diambil oleh Glok Seng Cu memang tepat dan
mereka bertiga merasa tidak enak hati untuk melarang orang ini
naik ke puncak menengok makam suhunya yang memang berada di
dalam ruang puncak Jeng-in-thia.
Pada saat itu, terdengar suara orang berkata dari bawah, "Aha,
di atas sudah ramai kiranya'"
Semua orang memandang dan ketiga Luliang Sam-lojin tertegun
ketika mereka melihat tiga orang kakek berlari naik dengan
kecepatan seperti terhang saja. Setelah tiga orang itu dekat mereka
mengenal bahwa mereka bukanlah orang-orang sembarangan,
melainkan ciang-bu-jin (ketua) dari partai-partai besar. Orang
pertama adalah seorang tosu berjenggot panjang yang tubuhnya
tinggi kurus dan dia ini bukan lain adalah Bu Kek Siansu ketua dari
Bu-tong-pai. Orang ke dua adalah seorang hwesio gundul, yakni
Kian Hok Taisu ketua dari Go-bi-pai, sedangkan orang ke tiga adalah
tosu jenggot pendek bertubuh gemuk yang terkenal sebagai ketua
Teng-san-pai bernama Pang Soan rojin.
Luliang Sam-lojin benar-benar kaget sekali mehhat kedatangan
tiga orang ketua partai-partai besar karena mereka tahu bahwa
mereka adalah ketua-ketua partai yang berkepandaian tinggi dan
yang jarang sekali mau meninggalkan gunung apabila tidak
menghadapi urusan besar. Ada keperluan apakah gerangan maka
tokoh-tokoh besar dunia persilatan itu turun dari pertapaan dan
datang ke Luliang-san?
Juga wajah Giok Seng Cu dan Ba Mau Hoatsu berubah ketika
mereka lihat orang-orang yang baru datang. Juga mereka ini masih
belum tahu apakah gerangan maksud kedatangan tiga orang ketua
partai persilatan yang kepandaiannya tak boleh dipandang ringan
ini.
"Luliang Sam-lojin, kebetulan sekali Sam-wi berada di sini.
Semoga semua sehat-sehat saja selama ini," kata Bu Kek Siansu
sambil menjura, diikuti oleh dua orang yang lain.
100
Tiga orang kakek Luliang-san itu membalas penghormatan
mereka, lalu Luliang Ciangkun bcrtanya,
"Sungguh kunjungan dari tamu-tamu agung yang tak terduga
dulu oleh kami. Para ciangbujin dan Bu-tong, Gobi, dan Teng-san
datang memberi penghormatan yang besar, tidak tahu apakah yang
dapat kami lakukan untuk Sam wi yang terhormat"
Bu Kek Siansu dengan muka merah menjawab gagap, pinto
(aku)... pinto hanya ingin melihat dan menikmati keindahan puncak
Luliang-san yang tersohor!"
"Pinceng (Aku)... ingin menyaksikan makam dari Pak Kek Siansu
yang mulia," kata Kian Hok Taisu ketua Go-bi-pai dan seperti juga
Bu Kek Siansu, jawabannya ragu-ragu dan gugup serta mukanya
merah.
Ketiga kakek Luliang-san yang benar-benar tidak dapat menduga
apakah gerangan maksud kedatangan mereka semua, menjadi main
heran dan mereka kini memandang kepada orang ke tiga, yakni
Pang Soon Tojin, mengharapkan jawaban yang lebih terus terang
dan jujur. Pendeta ketua Teng-san-pai ini terkenal sebagai seorang
kasar yang jujur sekali, akan tetapi pada saat itu ia pun agaknya
merasa ragu-ragu untuk berterus terang, maka jawabnya,
"Maksud kedatangan pinto…. hemm, agaknya tidak jauh bedanya
dengan maksud kedatangan ketua lm-yang bu-pai!" Sambil berkata
demikian, ia memandang kepada Giok Seng Cu dan Ba Mau Hoatsu.
Giok Seng Cu menjadi marah. "Kau... pemakan rumput dan
Teng-san-pai, apakah hubungan Im yang-bu-pai dengan Teng-sanpai?
Aku datang untuk menengok makan guruku, tak seorang pun di
dunia ini boleh melarangku! Akan tetapi kau... tentu mempunyai
maksud tertentu yang tidak baik” Setelah berkata demikian, Giok
Seng Cu lalu berlari cepat menuju ke puncak gunung.
Luliang Sam lojin saling pandang dan Luliang Ciangkun menghela
napas. "Dia berkata benar. Kami tak dapat melararig seorang murid
mengunjungi makam Suhunya. Akan tetapi untuk orang lain,
menyesal sekali kami tidak membolehkan naik ke puncak. Harap
Cuwi suka kembali saja dan membatalkan niat Cuwi mengganggu
ketentraman Puncak Luliangsan."
101
Sebelum ada yang menjawab, tiba-tiba dari bawah naik pula
serombongan orang dan mereka ini ternyata adalah tokoh-tokoh
dan Siauw-lim, Khongtong-pai, Thian-san-pai, dan Kun lun-pai!
Bahkan ada pula beberapa orang gagah dan dunia kung-ouw
seakan-akan mereka naik ke Luliang san untuk memenuhi undangan
pesta'
Melihat mereka tiba-tiba Ba Mau Hoatsu tertawa bergelak sampai
perutnya yang gendut itu tergoyang-goyang.
"Ha, ha, ha, Luliang Sam-lojin. Karena semua orang sudah
datang lebih baik aku terus terang saja. Aku yakin bahwa mereka
semua ini naik untuk mencari pusaka peninggalan Pak Kek Siansu,
yakni pedang pusaka Pak-kek Sin-kiam, kitab rahasia Pak-kek Sinciang!"
Tiga orang murid Pak Kek Siansu berubah air mukanya.
Bagaimana rahasia ini dapat bocor dan diketahui orang-orang gagah
di dunia? Kemudian mereka teringat kepada Giok Seng Cu. Ah,
tentu Giok Seng Cu telah mendengar dari Pak Hong Siansu dan
orang itu secara sembrono telah membuka mulut sehingga semua
orang mengetahuinya dan kini, mereka berbondong-bondong
datang untuk mencari pusaka itu. Luliang Ciangkun dan dua orang
sutenya maklum pusaka itu memang tak ternilai harganya bagi ahli
silat. Siapa yang memilikinya akan menjagoi di dunia kang-ouw!
"Bohong belaka berita itu!" kata Luliang Ciangkun. "Tidak ada
apa-apa di sini dan terus terang saja, kami sendiri pun tidak tahu
apakah betul-betul ada -pusaka itu. Kalaupun ada, bukan
diperuntukkan seorang di antara Cuwi, bahkan kami sendiri tidak
melihatnya."
"Berani kau bersumpah bahwa pusaka itu tidak berada di
tanganmu?" tanya seorang pendatang baru, murid Kun-lunpai.
Luliang Ciangkun memandangnya dengan mata mendelik. "Aku
tidak biasa bersumpah, juga tidak biasa membohong' Mungkin Suhu
meninggalkan pusaka, akan tetapi bukan untuk kami, juga bukan
kau atau siapa saja' Pendeknya, kami melarang siapapun juga naik
ke puncak mengotorkan tempat peristirahatan Suhu" Sambil berkata
demikian, Luliang Ciangkun menghunus pedangnya, Luliang Nungjin
102
siap dengan paculnya dan Luliang Siucai telah mengeluarkan
senjatanya yang berupa alat tulis (pit).
Ba Mau Hoatsu tertawa bergelak dan sekali tangannya bergerak
ia telah mememegang sepasang senjata roda yang menyeramkan.
Pendeta murtad ini memang lihai sekali dengan senjata rodanya itu
dan ia berkata.
"Cuwi sekalian. Sudah terang bahwa Pak Kek Siansu
meninggalkan pusaka, dan kalau pusaka itu tidak diwariskan kepada
Luliang Sam-lojin, berarti bahwa siapa pun yang mendapatkan
pusaka itu berarti menjadi ahli warisnya pula. Oleh karena itu,
sudah menjadi hak kita untuk mencari pusaka itu, untuk melihat
siapa yang berjodoh. Tentang Luliang Samlojin, bagaimana mereka
bisa melarang kita kalau aku sudah mengeluarkan senjataku? Ha,
ha, ha!" Suara ketawa dari Ba Mau Hoatsu terdengar sampai jauh
dan menyakitkan anak telinga.
Tiba-tiba suara ini dijawab oleh suara lain, suara yang nyaring
dan keras sekali, yang mengatasi suara ketawa Ba Mau Hoatsu.
Semua orang memandang ke atas karena suara itu datang dan atas.
Tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat luar biasa, terbang di
atas kepala mereka. Itulah seekor burung raksasa, seekor rajawali
emas (kim-tauw) yang indah dan kuat. Tanpa menoleh ke bawah,
sambil mengeluarkan pekik yang keras tadi, burung itu meluncur
cepat menuju ke puncak Luliang-san!
Orang-orang yang berada di situ tidak mengenaI burung ini, akan
tetapi Ba Mau Hoatsu berubah air mukanya. "Celaka kalau dia
datang juga, habis harapan kita…,” tanpa terasa dia berkata
perlahan.
"Siapakah yang kau maksudkan, Ba Mau?" Kian Wi Taisu dari Gobi-
pai bertanya.
"Kim-tiauw itu adalah binatang peliharaan See-thian Tok-ong...."
jawab Ba Mau Hoatsu dan suaranya agak gemetar. Semua orang
terkejut sekali. Biarpun nama See-thian Tok-ong (Raja Racun dari
Dunia Barat) baru beberapa tahun muncul di dunia kang-ouw,
namun setiap orang sudah mendengarnya. Tokoh besar ini datang
dari barat dan kini tinggal di Tibet. Pengaruhnya luar biasa besarnya
103
sehingga sekarang pun dapat dilihat betapa Ba Mau Hoatsu yang
datang dari Tibet pula kelihatan jerih melihat burung kim-tiauw itu.
Kalau seorang tokoh seperti Ba Mau Hoatsu sampai takut, apalagi
yang lain!
"Pinto pernah mendengar bahwa See-Thian Tok-ong Locianpwe
kalau bepergian menunggang kim-tiauw. Akan tetapi burung tadi
tidak ditunggangi orang," kata Pang Soan Tojin ketua Teng-san-pai
hati-hati.
"Mungkin akan datang belakangan...." kata Ba Mau Hoatsu
perlahan.
Tiba tiba di antara para pendatang yang berdiri paling belakang,
tersentak kaget dan melompat menjauhkan diri dari jalan kecil yang
membawa mereka ke lereng itu.
"Ular... ular berbisa...!" ceriak mereka. Serentak mereka
mencabut senjata untuk membinasakan ular-ular itu.
Serombongan ular yang banyaknya tidak kurang dari tiga puluh
ekor merayap naik dengan cepat luar biasa. Ular-ular itu macammacam
warna kulitnya, ada yang merah, loreng-loreng hitam putih,
kuning, dan lain-lain. Akan tetapi semuanya kecil-kecil, tidak lebih
satu setengah kaki panjangnya. Biarpun demikian, uap kehitaman
yang tersembur keluar dari mulut mereka menandakan bahwa ularular
ini adalah ular-ular berbisa yang amat berbahaya.
Ular-ular itu melihat banyak orang, tidak menjadi takut, bahkan
lalu bergerak siap-siap hendak menyerang. Kepala mereka diangkat
tinggi dari tanah dan sikap mereka seperti hendak menyerbu.
"Jangan turun tangan...!" tiba-tiba Ba Mau Hoatsu berseru dan
mukanya menjadi pucat. Semua orang terkejut dan memandang
kepada hwesio Tibet ini dengan heran. "Ban-beng Sintong putera
dari See-thian Tok-ong telah datang..." kata pula Ba Mau Hoatsu.
Sebelum semua orang tahu siapa adanya Ban-beng Sin-tong (Bocah
Sakti Bernyawa Selaksa)
Ba Mau Hoatsu sudah menghadap ke bawah dari mana ular-ular
itu merayap naik samba berkata,
"Ban-beng Sin-tong, sejak kapan menyusul ke sini?"
104
Hening sesaat dan ular-ular itu seperti patung, tidak bergerak.
Semua orang memandang dengan hati berdebar. Pemandangan ini
memang amat menyeramkan. Tak lama kemudian terdengar suara
ketawa anak kecil, disusul dengan teguran,
"Paman Ba Mau ternyata telah tiba di sini!" Kata-kata ini disusul
dengan suara mendesis yang aneh. Lebih aneh lagi, setelah ularular
itu mendengar suara mendesis, lalu mereka bergerak dan
berkumpul menjadi satu, melingkarkan tubuh dan tidak bergerak.
Lalu muncullah seorang anak tanggung yang berkepala gundul.
Anak ini usianya ada lima belas tahun,. akan tetapi tubuhnya
pendek seperti orang yang sudah matang pikirannya, mulutnya
tersenyum mengejek. Melihat kepala yang gundul, orang akan
mengira dia seorang hwesio kecil. Dengan tindakan perlahan lahan
melewati kumpulan ular tadi dan menghadapi Ba Mau Hoatsu.
"Paman Ba Mau, aku mewakili Ayah untuk menyampaikan
pesannya yang ditujukan kepadamu atau kepada siapa saja yang
berada di Luliang-san," katanya tanpa memperdulikan sekian
banyaknya tokoh kang-ouw yang berada di situ:
"Apakah pesannya?" tanya Ba Mau Hoatsu dengan suara
merendah.
"Ayah pesan bahwa siapa saja yang mendapatkan pedang atau
kitab, harus diserahkan kepadaku untuk kubawa pulang ke barat."
Kata-kata yang sederhana ini membuat para tokoh kang-ouw
yang berada di situ menjadi merah mukanya. Mereka amat marah
mendengar kesombongan luar biasa ini. Apalagi kalau dilihat bahwa
yang mengeluarkan kata-kata itu hanya seorang bocah gundul yang
berusia belasan tahun. Biarpun See-thian Tok-ong terkenal sekali,
namun di antara mereka kecuali Ba Mau Hoatsu, belum ada yang
membuktikan sendiri, bahkan bertemu dengan orangnya pun belum.
Kalau saja See thian Tok-ong sendiri yang datang dan bersikap
sesombong itu belum tentu mereka mau menurut, apalagi sekarang
yang datang hanya seorang anak kecil yang sombong? Seorang
kakek dari Khong-tong-pai yang bernama Ciu Kak, berjuluk Sinciang
(Tangan Sakti), melompat maju dan membentak,
105
“Kau ini badut cilik dari mana mau menjual lelucon di sini?
Pergilah, siapa takut ular-ularmu."
"Jangan kurang ajar...!" Ba Mau Hoatsu membentak marah dan
hendak menampar kakek itu, akan tetapi bocah gundul itu
tersenyum dan mengangkat tangannya mencegah Ba Mau Hoatsu
membelanya. Dengan senyum sindir ia menghadapi Ciu Kak dan
bertanya,
"Kau betul-betul tidak takut kepada ular-ularku? Berani
kauperlihatkan bahwa kau tidak takut?"
Ciu Kak adalah seorang tokoh Khongtong-pai yang sudah
memiliki kepandaian tinggi, selain ilmu silatnya yang tinggi juga ia
terkenal pandai mempergunakan senjata rahasia piauw.
"Mau bukti? Lihat kubunuh seekor ularmu!" katanya dan ketika
tangan kanannya bergerak, berkelebatlah sebatang piauw, meluncur
ke arah ular-ular yang masih melingkar dan tidak bergerak di atas
tanah!
Akan tetapi, berbareng dengan suara mendesis yang keluar dari
mulut Ban-beng Sin-tong, serentak ular-ular itu bergerak. Ular yang
terserang piauw, tiba-tiba melejit dan dengan cepat luar biasa dapat
mengelak dari serangan piauw yang kini menancap dan amblas di
dalam tanah. Kemudian ular itu bergegerak dan... bukan main
hebatnya. Ular berwarna kehitaman yang kecil itu melakukan
gerakan menyambar, melompat seakan-akan terbang dan bagaikan
sebatang anak panah ia menuju ke arah leher Ciu Kak. Tokoh
Khong-tong-pai ini sudah tinggi kepandaiannya maka biarpun amat
terkejut, ia mengelak dan tangan kirinya menyambar untuk
memukul ular itu. Namun pada saat itu ia membuka lebar-lehar
matanya dan wajahnya menjadi pucat sekali. Ternyata bahwa ketika
ular itu menyerangnya, ular-ular yang lain serentak melompat dan
menyambar ke arahnya, berjumlah tiga puluh ekor. Kini tak
mungkin lagi ia mengelak, tubuhnya penuh dengan ular yang
menggigit. Jangankan digigit demikian banyak ular, baru seekor dari
sekian banyaknva ular itu saja kalau menggigit akan mendatangkan
maut yang merampas nyawa. Sambil mengeluarkan teriakan
menyayat hati, Ctu Kak roboh. Seluruh kulit muka dan tubuhnya
berubah hitam, busa hitam pula keluar dari mulutnya dan ia tidak
106
bernyawa lagi! Ular-ular itu merayap turun dan kembali berkumpul
di tempat yang tadi seperti anjing-anjing peliharaan yang
mendekam puas dan bangga setelah memenuhi perintah tuannya.
Semua orang memandang dengan mata terbelalak dan merasa
ngeri sekali. Seorang laki-laki gemuk dan rombongan Khong-tongpai
melompat maju dengan marah sekali. Dia adalah Song Can Gi,
suheng dari Ciu Kak dan di dalam Khong tong-pai ia terhitung tokoh
ke lima yang amat lihai. Sambil membentak keras ia mengeluarkan
senjatanya, yakni sebatang toya yang berat dan besar. Telunjuknya
yang besar dan bergajih menuding ke arah muka anak gundul itu
dan ia memaki.
"Iblis kecil kau sungguh keji! Kau datang-datang membunuh
orang! Biarpun kau putera See-thian Tok-ong atau anak siluman
siapapun juga. aku tidak takut. Song Can Ci memang mempunyai
kebiasaan membunuhi iblis-iblis macam kau!" Tanpa memberi
peringatan toya besarnya menyambar ke arah kepala Banbeng Sintong.
Semua orang terkejut karena keadaan itu benar-benar amat
menggelisahkan. Song Can Gi adalah seorang tokoh besar dari
Khong-tong-pai dan tentu saja mereka dapat memaklumi
kemarahan Song Can Gi melihat sutenya tewas oleh keroyokan ularular
itu. Sebaliknya, anak itu adalah putera dari See-thian Tok-ong,
maka semua orang tidak ada yang berani campur tangan. Mereka
hanya memandang dengan hati berdebar karena toya di tangan
Sung Can Gi sudah terkenal kehebatannya.
Akan tetapi anak itu sambil terseyum mengejek, bahkan
memasukkan ke-dua tangan di saku bajunya dan mengelak dengan
gerakan kaki yang amat ringan. Toya yang mengenai tempat kosong
itu menyambar lagi, kini terputar bagaikan ombak mengamuk,
mengancam tubuh anak itu yang masih saja mengelak ke sana ke
mari.
Ba Mau Hoatsu merasa khawatir sekali. "Saudara Song Can Gi,
melihat mukaku, jangan kau teruskan seranganmu itu" Beberapa
kali ia berseru. Ia tahu bahwa kalau sampai anak itu mendapti
celaka sedangkan dia berada di situ tanpa membantu atau
107
mencegah orang mencelakakannya, pasti ia akan mendapat marah
besar dari See-tlitan Tok-ong!
Akan tetapt Song Can Gi sudah naik darah. Melihat beberapa
belas jurus serangannya gagal mengenai tubuh Ban bong Sin-tong,
ia menjadi amat penasaran dan makin marah, toyanya kini
menyambar-nyambar hebat, mengeluarkan angin dan bunyi
bersuitan, mengancam hebat tubuh bocah gundul itu. Akan tetapi
benar-benar gerakan Ban-beng Sin-tong amat mengagumkan.
Dengan amat gesitnya ia dapat selalu meluputkan dari ancaman
toya. Kini kedua tangan anak itu tertarik keluar dari saku bajunya
dan di kedua tangannya kelihatan dua ekor ular kecil yang berwarna
merah.
"Celaka...." seru Ba Mau Hoatsu dan kakek luar biasa ini
meloncat maju, sepasang rodanya bergerak ke atas.
"Praaang...!" Song Can Gi berseru kaget dan toyanya patah
menjadi dua bertemu dengan senjata roda di tangan Ba Mau
Hoatsu. Ia melompat mundur dengan kaget sekali, lalu menegur.
"Ba Mau Hoatsu, mengapa kau mencampuri urusanku?"
Ba Mau Hoatsu tidak menjawab, sebaliknya ia menjura kepada
anak gundul itu dan berkata, "Ban-beng Sin-tong, harap kau suka
menahan marahmu dan jangan menimbulkan urusan besar. Khongtong-
pai selama ini tidak pernah memusuhi kami, tidak perlu
menanam bibit permusuhan besar dengan mereka."
Semua orang memandang kepada Banbeng Sin-tong yang berdiri
tegak. Dua tangannya masih terangkat dan kini kelihatan dua ekor
ular merah yang panjangnya hanya setengah kaki itu menggeliatgeliat
di antara jari-jari tangannya. Sepasang mata bocah gundul ini
bagaikan mengeluarkan api, memandang kepada Song Can Gi yang
menjadi bergidik ngeri. Mata itu seperti bukan mata manusia, mata
siluman agaknya yang dapat memandang seperti itu.
Anak itu ragu-ragu mendengar omongan Ba Mau Hoatsu. "Hm,
melihat muka Paman Ba Mau aku mau mengampunt nyawa anjing
tua itu. Akan tetapi sekali Ang-coa-ong (Raja Ular Merah) dan
isterinya keluar dari saku, sebelum makan jantung musuhku ia akan
gelisah." Semua orang berdiri bulu tengkuknya mendengar ini.
108
Pandangan mata bocah itu beredar, menatap muka para tokoh itu
seorang demi seorang.
"Kwan-kongcu (Tuan Muda she Kwan), harap kau jangan mencari
korban lain orang...." kata Ba Mau Hoatsu. Mendengar ini, bocah
gundul itu tiba-tiba memandang kepada mayat Ciu Kak. "Ah,
biarpun sudah hitam, jantungnya belum busuk." Ia lalu melepaskan
sepasang ular merah itu ular itu terbang ke arah mayat Ciu Kak.
Benar-benar ular itu terbang karena dari dekat punggungnya
kelihatan sepasang sayap merah yang kecil seperti ikan. Inilah
semacam hut-coa (ular terbang) yang terdapat di pegunungan barat
dekat Go-bi san, ular yang jarang sekali terlihat manusia, namun
terkenal amat jahat dan bisanya tiada obat penolaknya lagi.
Sepasang ular merah itu luncur dan seperti berebutan mereka
nienyerang dada kiri mayat Ciu Kak dan... tak lama kemudian
mereka telah membuat lubang pada dada itu dan lenyap ke dalam
dada! Semua orang me mandang dengan muka pucat. Ketika dua
ekor ular Itu keluar mulut mereka menggigtt benda merah
kehitaman yang telah terbagi dua oleh mereka.
Ternyata bahwa benda itu adalah jantung dari mayat Ciu Kak!
Dengan lahapnya kedua ekor ular itu makan jantung itu,
menelannya habis lalu, mengembang kan sayapnya, terbang
kembali ke tangan Ban-beng Sin-tong yang mengangkat ke dua
tangannya. Setelah sepasang ular itu dimasukkan ke dalam saku
dan lenyap dari pandangan mata, barulah para tokoh bernapas lega.
Pertstiwa tadi benar- benar mendebarkan jantung karena selama
hidup belum pernah mereka menyaksikan pemandangan yang
demikian mengerikan.
"Bagaimana, Paman Ba Mau. Sudah adakah di antara kalian
mendapatkan pedang dan kitab?" bocah itu bertanya sambil
memandang ke sekelilingnya. Pandangannya tajam menyelidik dan
seandainya di antara mereka ada yang sudah mendapatkan bendabenda
yang disebutkannya tadi, agaknya dia akan menjadi gentar
dan mungkin akan menyerahkan benda benda itu.
"Belum Kwan-kongcu. Kami bahkan sedang berunding, karena
kami tidak diperbolehkan naik ke puncak oleh Luliang Sam-lojin."
109
Mata kecil yang bundar itu mencari-cari. "Luliang Sam-lojin? Yang
manakah mereka? Mengapa mereka melarang?"
Luliang Ciangkun dan dua orang sutenya setelah menyaksikan
peristiwa tadi, merasa amat benci dan muak di dalam hati terhadap
bocah gundul ini. Bocah seperti ini adalah calon siluman jahat yang
kelak hanya akan menimbulkan bencana di dunia, pikir mereka.
"Kami bertiga yang disebut Luliang Sam-lojin. Sesuai dengan
nama sebutan ini, kami bertigalah yang tinggal di sini dan
berkewajiban menjaga ketenteraman Luliang-san."
"Oho, jadi kalian bertiga yang disebut Luliang Sam-lojin? Ayah
sering kali menyebut nama kalian sebagai orang-orang gagah
ternyata benar kata Ayah. Kalian adalah tiga orang yang aneh,
seorang panglima, seorang petani, dan seorang sasterawan. Ha, ha,
benar-benar hebat! Ah, Luliang Sam-lojin, aku bernama Kwan Kok
Sun, putera dan Ayah yang disebut See-thian tok-ong. Benar sekali
pendapatmu bahwa orang-orang yang hanya membikin ribut ini
kalian larang naik ke puncak, bukan?" kata-kata bocah ini terclengar
manis budi. akan tetapi mengandung tantangan dan ancaman
hebat.
Biarpun hatinya berdebar, Luliang Ciangkun membusungkan
dada dan berkata, "Sudah menjadi tugas kami menjaga keteraman
puncak Luliang-san. Oleh karena puncak itu menjadi puncak
peristirahatan mendiang Suhu di waktu hidup dan sesudah mati,
maka kami terpaksa melarang siapapun juga pergi ke sana, biarpun
untuk itu kami mempertanggung dengan nyawa kami. Maaf saja,
Siauhiap, kami tak dapat membiarkan siapapun juga naik ke
puncak!"
Terdengar suara ketawa ganjil dari anak itu, akan tetapi sebelum
ia melakukan sesuatu tiba-tiba terdengar pekik burung kim-tiauw,
dan burung itu terbang cepat sekali, lalu turun di depan Ban beng
Sin-tong Kwan Kok Sun. Burung ini besar sekali, kepalanya hampir
setinggi kepala orang dewasa dan paruhnya yang kuat kini
menggigit sebatang pedang dengan sarungnya.
110
"Kim-tiauw yang baik, ternyata kau telah berhasil mendapatkan
pokiam (pedang pusaka)!" kata Kwa Kok Sun sambil mengambil
pedang itu dari paruh kim-tiauw.
"Pak-kek Sin-kiam...'" tak terasa lagi Luliang Ciangkun berseru
heran ketika melihat pedang ini. Dia dan dua orang sutenya tentu
saja mengenaI pedang pusaka milik suhunya ini dan alangkah besar
keheranan mereka mengapa pedang yang disembunyikan oleh
suhunya itu kini bisa berada di paruh kim-tiauw.
Mereka sendiri sudah pernah mencoba untuk mencari kitab dan
pedang, namun sia-sia. Bagaimana pedang itu kini berada di paruh
kim-tiauw? Untuk mengetahui hal ini baiklah kita menengok
keadaan di puncak Luliang-san dan peristiwa yang terjadi di situ
semenjak terjadi keributan di lereng gunung.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, setelah melihat bahwa
Luliang Sam-lojin tak dapat melarangnya, Giok Seng Cu berlari cepat
sekali naik ke puncak Luliang-san. Baru satu kali ia naik ke sini akan
tetapi ia sudah tahu di mana letak pondok dari Pak Kek Siansu yang
berada di Jeng-in-thia (Ruang Awan hijau).
Pandangan pertama yang dilihat oleh matanya mengherankan
dia. Beda benar keadaan Jeng-in-thia di waktu sekarang dengan
dulu. Apalagi ketika ia melirik ke arah dua makam yang berada di
depan pondok. Ia tertegun. Tak disangkanya bahwa bukan saja
makam Pak Kek Siansu terawat baik-baik, bahkan makam Pak Hong
Siansu gurunya juga terawat sekali.
Tadinya ia hendak nielewati saja dua makam itu karena
sesungguhnya ia naik ke Jeng-in-thia bukan bermaksud menengok
kuburan suhunya seperti yang dikatakan di lereng gunung terhadap
Luliang Sam-lojin, melainkan untuk mencari peninggalan Pak Kek
Siansu, yakin pedang Pak-kek dan kitab Pak-kek Sin-ciang. Akan
tetapi ketika ia melihat seorang anak berusia kurang lebih sembilan
tahun sedang mencabuti rumput-rumput di sekitar dua makam itu,
ia menghentikan tindakan kakinya dan memandang dengan mata
melirik.
"Eh. kau siapakah?" bentaknya mendekat
111
Anak itu adalah Wan Sin Hong. Ketika tiga kakek Luliang-san
turun dari puncak, hati anak ini penasaran sekali dan- menyesal
mengapa ia tak diperbolehkan ikut. Untuk menghilangkan kekesalan
hatinya, ia mencabuti rumput membersihkan makam. Kini tiba-tiba
saja, tanpa diketahui, di situ muncul seorang kakek berambut
panjang yang berwajah menyeramkan. Ia segera bangun berdiri dan
membalas pertanyaan orang.
"Locianpwe, kau siapakah? Bagaimana bisa naik ke sini? Di mana
adanya Luliang Sam-lojin?" la menyebut Locianpwe karena ia dapat
menduga kakek ini tentulah seorang tokoh kang-ouw yang lihai dan
ia cukup berhati-hati untuk tidak tidak menyebut "suheng" kepada
Luliang Sam-lojin.
Mendengar anak itu balas bertanya tanpa menjawab
pertanyaannya, Giok Seng Cu bergerak maju dan di lain saat Sin
Hong sudah tertangkap baju lehernya. Gerakan ini luar biasa
cepatnya namun kalau Sin Hong mau, tentu saja ia dapat mengelak
karena anak ini pun tidak percuma menerima latihan-latihan selama
setahun di puncak Luliang san. Akan tetapi ia amat cerdik dan
sengaja tidak mau mengelak agar jangan menimbulkan kecurigaan
di hati Giok Seng Cu. Benar saja, kakek menyeramkan ini ketika
mendapat kenyataan bahwa anak itu tidak bisa silat sama sekali,
hilang kecurigaannya dan memandang rendah. Ia mengira bahwa
anak ini tentulah anak dusun yang dipekerjakan di situ untuk
membersihkan tempat ini. Maka dengan sebal ia lalu melemparkan
tubuh anak itu ke atas tanah sehingga Sin Hong jatuh bergulingan.
"Ha-ha-ha, seorang kacung berani kurang ajar, ditanya tidak
menjawab sebaliknya balas bertanya. Bocah nakal, hayo bilang apa
kerjamu di sini"
Sin Hong memutar otaknya, lalu menjawab berani, "Seperti
Locianpwe katakan tadi, aku bekerja sebagai kacung tukang
membersihkan kedua makam ini. Locianpwe siapakah dan mau apa
datang ke sini?"
"Anak setan, kau tidak tahu dengan siapa berhadapan maka
berani bersikap kurang ajar! Hayo lekas berlutut di depan Giok Seng
Cu Sucouw, ketua Imyang-bu-pai dan beritahukan namamu!"
112
Bukan main kagetnya hati. Sin Hong mendengar bahwa kakek ini
adalah ketua Im-yang-bu-pai, musuh besar perkumpulan yang
sudah membinasakan dan membasmi Hoa-san-pai. Wajahnya merah
dan ia harus menekuk perasaan hatinya yang ingin sekali
memberontak dan menyerang kakek ini. Ia maklum bahwa kakek ini
lihai sekali, maka ia harus berlaku hati-hati. Akan tetapi berlutut? Ia
tidak sudi!
"Aku bernama Tan A Kai dan aku tidak kenal apa itu Im-yang-bupai.
Dimana adanya Luliang Sam-loheng?" Sin Hong terkejut bukan
main. Perasaan hatinya yang marah itu ternyata membuat ia lupa
akan sebutannya terhadap Luliang Sam-lojin yang hendak
disembunyikan sehingga tanpa disadarinya ia menyebut Samloheng!
Giok Seng Cu tentu saja juga terkejut. "Apa? Jadi kau adalah sute
dari Luliang Sam-lojin?" tiba-tiba ia mendapat pikiran lain. Kalau
anak ini menyebut loheng atau suheng kepada Luliang Sam-lojin,
berarti anak ini pun menjadi murid Pak Kek Siansu yang sudah
tewas. Hal ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa anak ini
agaknya akan mempelajari ilmu silat dari kitab Pak kek Sinciang!
Tiba-tiba ia menubruk ke depan hendak menangkap Sin Hong.
Akan tetapi anak ini sekarang karena kesalahan lidahnya, maklum
akan datangnva bahaya, lalu cepat mengelak sehingga Giok Seng
Cu menubruk tempat kosong. Memang Sin Hong memiliki tubuh
yang ringan dan gerakan yang cepat sekali, apa lagi ia memang
berbakat baik maka setelah menerima gemblengan ilmu silat dari
Liang Gi Tojin kemudian dari Luliang Samlojin, ia telah memiliki
kepandaian yang lumayan.
Kecurigaan Giok Seng Cu makin menebal melihat anak "dusun"
itu dapat mengelak dari tubrukannya. Ia menubruk lagi dengan
cepat akan tetapi dengan mainkan Ilmu Silat Jiauw pouw-poan-Soan
(Tindakan Kaki Berputaran) ia selalu dapat meluputkan diri dari
terkaman kakek itu. Namun tentu saja ia kalah jauh oleh Giok Seng
Cu dan hal ini Sin Hong maklum amat baiknya, maka ia cepat
melarikan diri setelah mendapat kesempatan.
113
"Setan cilik, lekas serahkan Pak kek-Sin kiam dan Pak-kek Sinciang-
pit-kip (Kitab Rahasia Ilmu Silat Pak-kek Sinciang), baru aku
mengampunimu!" bentak Giok Seng Cu sambil mengejar.
Sin Hong menjadi bingung. Dengan beberapa lompatan saja Giok
Seng Cu sudah mendahuluinya dan menghadang di depannya, lalu
cepat menubruk lagi. Kini tubrukannya bukan tubrukan
sembarangan, karena kakek ini sudah merasa tidak sabar lagi dan
mempergunakan tenaganya. Hampir saja tubuh Sin Hong dapat
diterkam, baiknya anak ini cepat sekali mempergunakan Ilmu Silat
Juikut-kang (Ilmu Lemaskan tulang), sehingga begitu diterkam,
kulitnya menjadi licin dan gerakannya yang gesit membuat ia dapat
membebaskan diri lagi. Giok Seng Cu yang tadinya sudah merasa
girang dapat menangkap anak itu, terkejut sekali ketika tiba-tiba
anak itu terlepas dan ia kena peluk sebuah batu karang yang berada
di belakang Sin Hong. Terdengar suara keras dan batu karang itu
remuk dalam pelukan Giok Seng Cu. Inilah kehebatan tenaga Tinsan-
kang dari kakek itu yang amat mendongkol kena memeluk batu
karang sehingga ia menge rahkan tenaga membikin remuk batu itu.
Sementara itu, Sin Hong sudah berlari cepat naik ke atas puncak.
Giok Seng Cu mengejar terus dan kini kakek ini makin marah.
“Setan cilik, apa kau ingin mampus?" bentaknya dan dengan
ginkangnya yang sudah sempurna itu tentu saja ia kembali dapat
menyusul Sin Hong. Kini anak ini sudah tiba di tebing jurang di
puncak bukit, tempat di mana ia biasa berlatih silat.
“Kau mau lari ke mana?" tiba-tiba Sin Hong mendengar bentakan
ini dan sebuah tangan yang besar menyambar ke arah lehernya. Sin
Hong maklum bahwa ia harus melawan mati-matian dan tahu pula
akan kekejian kakek ini, maka cepat ia menyelundup ke bawah
untuk menghindarkan diri dari tangkapan ke arah leher ini. Ia
berhasil mengelak, akan tetapi tangan kiri Giok Seng Cu menyambar
dari belakang dan sebelum Sin Hong dapat mengelak, pundaknya
sudah kena dicengkeram.
Sin Hong meringis dan mengigit bibir agar mulutnya jangan
mengeluarkan jeritan. Bukan main sakitnya pundaknya yang
dicengkeram itu, serasa tulang-tulangnya hancur dan rasa sakit
menembus sampai ke dalam tulang-tulangnya.
114
“Anak setan, lekas katakan dimana adanya pedang dan kitab
peninggalan Pak Kek Siansu?" bentak Giok Seng Cu. Kalau
menurutkan wataknya, karena ia sudah marah dan dibikin jengkel
oleh Sin Hong, tentu ia akan membunuh anak ini tanpa banyak
cingcong lagi. Akan tetapi oleh karena ia naik ke puncak ini adalah
hendak mencari pedang dan kttab itu, maka ia tidak membunuh Sin
Hong. Ia kini menaruh harapannya pada keterangan anak ini.
Sin Hong menggeleng kepalanya. "Aku tidak tahu tentang
pedang dan kitab!" suaranya masih lantang dan penuh ketabahan
sungguhpun rasa sakit membuat wajahnya penuh peluh.
"Bohong...! Kau menjadi sute Luliang Sam-loan, tentu kau
mempelajari ilmu peninggalan Pak Kek Siansu!"
"Aku tidak bohong!" kata Sin Hong, kini keberaniannya meluapluap
karena rasa sakit dan kekejaman kakek ini membuatnya marah
dan membangkitkan semangat perlawanannya. "Memang betul aku
belajar ilmu silat peninggalan Suhu Pak Kek Siansu, akan tetapi aku
dibimbing oleh Suheng-suhengku. habis kau mau apa? Aku tidak
tahu tentang kitab dan pedang yang kau obrolkan!"
"Bangsat cilik, kau benar-benar tidak takut mampus!"
"Siapa takut mampus kalau semua keluargaku sudah habis?
Kalau semua orang yang kucinta sudah kaubasmi? Kau penjahat
terbesar di dunia ini!"
Tangan Giok Seng Cu sudah diangkat ke atas untuk menjatuhkan
pukulan, akan tetapi ia menahan tangannya dan memandang
dengan mata terbuka lebar.
"Eh, eh, kau mengacobelo! Baru kali ini kita hertemu. Kapan aku
membinasakan keluargamu?"
"Giok Seng Cu, bukan tanganmu, akan tetapi anak buahmu yang
membunuh Liang Gi Tojin dan melukai Lie Bu Tek. Liang Gi Tojin
adalah Suhuku dan Lie Bu Tek adalah ayah angkatku."
"Kau... kau siapakah? Dan bagaimana bisa berada di sini?"
"Tentang bagaimana aku bisa berada di sini bukan urusanmu.
Aku bernama Wan Sin Hong dan Lie Bu Tek adalah ayah angkatku."
115
Tiba-tiba Giok Seng Cu tertawa bergelak. "Ha, ha, aku sudah
mendengar tentang kau! Bagus, sekarang kau berada di sini,
sebetulnya aku harus membunuhmu, akan tetapi kalau kau bisa
memberi petunjuk kepadaku di mana adanya pedang dan kitab, aku
takkan membunuhmu."
"Aku tidak tahu!"
Giok Seng Cu maklum dari pandangan mata anak ini bahwa ia
menghadapi seorang anak yang bersemangat baja dan memiliki
keberanian besar, maka sambil menyeringai masam ia
menggerakkan tangan menekan pundak kiri Sin Hong.
Kim Sin Hong tak dapat menahan lagi rasa sakit yang menembus
jantungnya.
Seakan-akan ia merasa sesuatu yang amat dingin menusuk
jantungnya dan seketika itu ia menggigil kedinginan dan mukanya
menjadi biru.
"Aduh...." ia mengeluh dan ketika Giok Seng Cu melepaskan
tangannya, Sin Hong roboh terguling dan duduk dengan tubuh
terasa dingin sekali. Anak ini diam-diam merasa terkejut karena ia
sudah pernah mendengar dari Luliang Sam-lojin bahwa di antara
tokoh-tokoh kang-ouw, terdapat orang-orang yang memiliki
pukulan-pukulan keji sekali, di antaranya pukulan yang penuh
dengan tenaga "yang" sehingga lawan yang terkena pukulan ini
akan terbakar oleh tenaga yang membikin darah menjadi panas dan
korban ini akan tewas di saat itu juga. Akan tetapi pula pukulan
yang mengandung tenaga "im", yang merangsang ke dalam tubuh
dan menghancurkan tenaga "yang" di dalam tubuh, memperbesar
tenaga "im" sehingga jalan-jalan darah terpengaruh dan akibatnya
orang itu akan terserang rasa dingin. Di dalam tubuh terdapat dua
macam hawa panas dingin yang bertentangan. Kalau dua tenaga
yang bertentangan ini seimbang kekuatannya, orangnya akan sehatsehat
saja. Sebaliknya kalau tenaga "im" jauh lebih besar, orang itu
akan menderita kedinginan hebat dan akhirnya ia akan menjadi
penderita yang takkan dapat hidup lama. Sekarang Sin Hong dapat
menduga bahwa ia terserang oleh pukulan yang mengandung
tenaga "im" dan pukulan ini ia rasakan sedemikian hebatnya
116
sehingga ia merasa tubuhnya kaku-kaku saking dinginnya. Ketika ia
melihat ke arah tangannya, kuku jari tangannya sudah menjadi biru!
Melihat bahwa dirinya takkan tertolong lagi, Sin Hong menjadi
nekad.
"Bangsat tua bangka yang keji seperti siluman. Biar hari ini aku
Wan Sin Hong bertempur mati-matian dengan kau!" Ia menggigit
bibir, sedapat mungkin menahan serangan hawa dingin di tubuhnya
dan melompat lalu menyerang kakek itu dengan pukulan-pukulan
yang ia pelajari dari Luliang Siucai. Ia mainkan pukulan yang
digerakkan dari tulisan huruf-huruf sehingga Giok Seng Cu
memandang dengan kagum dan juga kaget. Sekecil ini sudah dapat
mempelajari ilmu silat huruf, benar-benar menunjukkan bahwa
kelak anak ini akan menjadi seorang yang lihai. Biarpun Sin Hong
baru berusia sembilan tahun, namun pukulan seorang anak yang
telah melatih diri dengan ilmu silat tinggi tak boleh dibuat mainmain,
apalagi pukulan itu ditujukan kepada jalan darah kematian di
dada Giok Seng Cu.
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid V
MENGHADAPI serangan Sin Hong, Giok Seng Cu tertawa
bergelak. Tentu saja sebagai seorang tokoh besar, dapat
menghadapi serangan ini dengan mudah. Ia menangkap tangan Sin
Hong yang memukulnya, memegang tangan itu erat-erat sambil
mengerahkan tenaga. “Krak!” Tulang lengan Sin Hong patah!
"Ha-ha-ha, biarlah kau setan cilik sekarang menjadi setan
penasaran di lembah Luliang-san... ha-ha-ha!" Sambil berkata
demikian, Giok Seng Cu lalu melepaskan anak itu ke dalam jurang
dari tebing yang amat curam itu!
Tubuh Sin Hong melayang ke bawah dan sungguhpun
pengalaman ini membuat nyawanya seakan-akan sudah
meninggalkan tubuhnya dan semangatnya juga terbang, namun
kesadaran anak ini masih penuh! Ia tidak mau pingsan dan
kemauannya yang keras ini benar-benar luar biasa dan mengatasi
117
perasaannya sehingga ia masih dapat bertahan! Anak ini ingin
menghadapi kematian dengan kedua mata terbuka.
Pada saat itu, selagi Giok Seng Cu tertawa bergelak, tiba-tiba dari
atas terdengar pekik yang nyaring dan seekor burung yang besar
menyambar turun menyerang dengan paruhnya yang kuat itu ke
arah kepala Giok Seng Cu! Kakek ini kaget sekali, cepat ia melompat
ke samping sambil menangkis dengan tangannya.
"Plak!" Tubuh Giok Seng Cu terhuyung saking kerasnya gerakan
burung akan tetapi burung itu sendiri terpental jauh dan beberapa
helai bulunya rontok, melayang-layang ke bawah. Hajaran yang
keras dari tangan Giok Seng Cu membikin binatang itu menjadi
jerih. Sambil mengeluarkan pekik keras ia melayang terus dan
terbang meluncur ke bawah mengejar tubuh Sin Hong yang sedang
melayang turun.
Binatang tetap binatang. Betapapun ia dilatih oleh orang-orang
pandai, kim-tiauw itu tetap saja seekor binatang yang bodoh.
Melihat ada sesuatu melayang turun, ia hanya menurutkan nalurinya
dan cepat ia menyambar turun, tidak tahu apakah yang melayang
itu. Pada saat itu, Sin Hong sudah hampir pingsan karena sukar
baginya untuk bernapas dalam keadaan melayang cepat sekali itu.
Tiba-tiba ia merasa pundaknya sakit dan tubuhnya seakan-akan
dirobek menjadi dua, tersentak keras sekali, akan tetapi kini ia tidak
melayang ke bawah. Ketika ia memandang, ternyata ia berada
dalam cengkeraman seekor burung kim-tiauw yang besar sekali. Ia
kaget akan tetapi berbareng girang, karena ia mendapat harapan
untuk hidup. Kalau ia terbanting ke bawah, tak dapat disangkal lagi
bahwa ia tentu akan mati dengan tubuh hancur lebur. Kini di dalam
cengkeraman kim-tiauw, belum tentu ia akan mati. Memang Sin
Hong amat pemberani dan berhati keras, tidak mudah putus asa.
Sebaliknya, ketika burung itu melihat bahwa yang
dicengkeramnya adalah seorang anak manusia, ia lalu melayang
turun perlahan di dasar jurang, melepaskan tubuh itu setelah
berada tiga kaki di atas tanah. Tubuh Sin Hong terbanting perlahan
di atas tanah yang lunak hingga ia kaget dan heran. Ternyata
tempat itu bukan merupakan dasar jurang yang menyeramkan,
sebaliknya merupakai tempat yang indah sekali. Ia terjatuh di atas
118
tanah yang mengandung rumput hijau dan tebal. Keadaan di situ
terang karena mendapat sinar matahari dan atas dan dari sebelah
kanan, sedangkan di sana-sini tumbuh pohon-pohon yang
mengandung buah-buahan. Dasar jurang itu ternyata merupakan
sebuah lereng bukit Luliang-san yang tak dapat didatangi orang dari
kaki gunung, karena terhalang oleh jurang-jurang yang luar biasa
dalamnya dan lebarnya. Agaknya jalan satu-satunya untuk tiba di
tempat itu hanyalah dari atas tebing itulah!
Sin Hong teringat akan burung itu, maka buru-buru ia
menghampiri sambil menjatuhkan diri berlutut di depan kim-tiauw.
“Kim-tiauw-koko, aku Wan Sin Hong telah menerima budi
pertolonganmu dan nyawaku telah kau selamatkan. Mudah -
mudahan kelak aku dapat membalas budi-mu ini, tiauw koko!"
Burung itu agaknya terlatih sekali dan aguknya mengerti akan
maksud anak ini. Akan tetapi ia hanya mengeluarkan bunyi tidak
karuan lalu beterbangan berputar-putar di sekitar tempat itu,
mencari sesuatu. Melihat burung itu kebingungan dan seperti
mencari sesuatu, Sin Hong lalu bangun berdiri.
"Tiauw-ko, apakah yang kaucari?" tanyanya berulang-ulang, akan
tetapi tentu saja burung itu tidak dapat menjawab.
Memang burung ini sedang mencari sesuatu. Majikan kecilnya,
yaitu Ban-beng Sin-tong Kwan Kok Sun, berkali-kali menyuruhnya
mencari sebatang pedang dan sebuah kitab agar burung ini
mengerti maksudnya. Kim burung itu terbang ke sana ke mari
melihat-lihat kalau-kalau di tempat itu ada dua barang yang
dikehendaki majikannya.
Melihat burung itu terus mencari-cari biarpun tubuhnya sendiri
terasa sakit-sakit dan hawa dingin terus menerus menyerang
dadanya, Sin Hong lalu bangkit berdiri dan ikut pula mencari. Anak
ini memang berperasaan halus, mudah dendam dan mudah
mengingat budi. Ia berjalan terhuyung-huyung ke sana-sini akhirnya
ia melihat sebuah gua di depan.
"Hm, siapa tahu kalau-kalau di dalam gua itulah benda yang
dicari oleh tiauw-ko," pikirnya. Tanpa takut-takut atau ragu-ragu ia
lalu memasuki gua itu dan berjalan perlahan ke dalam. Ternyata
119
gua itu merupakan terowongan yang tidak begitu gelap. Ia masuk
terus dan berjalan maju. Setelah berjalan ada seratus tindak, tibalah
ia di sebuah ruangan gua yang lebar dan berbentuk bundar. Disitu
terdapat sebuah batu yang sudah licin agaknya dahulu seringkali
dipakai duduk orang, dan di sebelah baru itu terdapat sebuah peti
hitam. Sin Hong tertarik sekali dan ia lalu menghampiri peti itu. Ia
membuka tutupnya, akan tetapi tidak kuat, ia menjadi penasaran
dan mengerahkan tenaga, namun tetap saja tidak dapat ia
membuka tutup peti itu. Bahkan dadanya terasa sakit. Akan tetapi
setelah ia mengerahkan tenaga lweekang, biarpun dadanya sakit,
rasa dingin yang menyerang jantungnya berkurang. Ini adalah
karena pengerahan tenaga itu mempercepat jalan darahnya
sehingga biarpun hanya sedikit, ada hawa "yang" mengalir di jalan
darahnya.
"Aku telah berada di tempat ini secara kebetulan sekali, dan tidak
mati terbanting juga karena kehendak Thian. Masa aku tidak dapat
membuka peti ini?" Kembali Sin Hong mengerahkan tenaganya dan
kali ini berhasil. Peti itu memang tidak dikunci hanya agak sukar
dibuka karena sudah terlalu lama tidak dibuka sehingga berkarat.
Ternyata bahwa peti itu terbuat daripada besi.
Setelah peti terbuka Sin Hong melihat dua benda di dalamnya,
yaitu sebatang pedang dan sebuah kitab yang sudah kuning!
Hatinya berdebar keras.
"Ah... inikah agaknya dua macam benda yang dicari oleh Giok
Seng Cu... ? Dia bilang... dua benda ini peninggalan dart Pak Kek
Siansu…… guruku...."
Dengan hati gembira, lupa akan tubuhnya yang sudah terluka
berat dan tidak ada harapan untuk hidup lagi itu Sin Hong lalu
menjatuhkan diri berlutut di depan peti yang terbuka itu.
"Suhu, banyak terima kasih atas kemuliaan Suhu yang sudah
meninggalkan pedang dan kitab ini untuk teecu...."
Karelia di dalam ruangan itu agak gelap, tak mungkin baginya
membuka dan membaca kitab itu, maka ia lalu mengambil
pedangnya dan membawa pedang itu keluar. Biarpun ia belum
mempelajari isi kitab, akan tetapi ia sudah belajar ilmu pedang dari
120
Luliang Ciangkun dan dengan adanya pedang itu di tangannya, ia
akan mempunyai pembantu yang boleh diandalkan. Ia tidak tahu
keadaan di tempat aneh itu, maka untuk melindungi dirinya, ada
baiknya kalau ia membawa pedang itu keluar.
Ketika ia mencabut pedang itu dari sarugnya, ia terkejut dan
matanya menjadi silau. Di tempat agak gelap, pedang itu
mengeluarkan cahaya yang menyilaukan mata. Girang sekali
hatinya.
"Pedang pusaka yang hebat...." pikirnya cepat ia memasukkan
pedang itu ke dalam sarung dan menalikan tali sarung ke
pinggangnya. Setelah itu Sin Hong berjalan keluar. Kegirangan
besar membuat ia melupakan serangan hawa dingin yang seperti
hendak membikin tubuhnya kaku.
"Hee, tiauw-koko, apakah kau belum menemukan barang yang
kaucari-cari?" tanya Sin Hong sambil berdiri dan tiba-tiba ia
mengeluarkan bunyi ke arah Sin Hong. Anak itu masih tertawa-tawa
dan mengira bahwa burung itu hendak turun di dekatnya. Akan
tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba burung itu menyerangnya
dengan pukulan sayap!
Andaikata Sin Hong tahu bahwa ia akan diserang dan sudah
berjaga diri, agaknya ia pun takkan dapat menghadapi burung ini
dan takkan dapat mengelak dari serangannya, karena burung itu
amat kuat dan serangan sayapnya benar-benar cepat sekali. Apalagi
Sin Hong tidak mengira sama sekali, maka tubuhnya terkena
pukulan sayap yang besar sehingga sambil berseru kesakitan dan
kaget anak ini terguling sampai jauh. Dalam bergulingan ini, ia
merasa sesuatu direnggut dari tubuhnya dan ketika ia dapat
mclompat berdiri, ia melihat bahwa pedang dan sarungnya yang tadi
diikatkan di pinggang, telah dirampas oleh burung itu dengan
cakarnya dan kini pedang itu telah berada di paruh kim-tiauw.
"He, tiauw-ko, itu pedangku...! Kembalikan...!" Sin Hong
menahan rasa sakit-sakit pada tubuhnya dan mengejar, tetapi
burung itu sudah mementang sayap dan sekejap mata saja ia telah
terbang tinggi, lalu lenyap dari pandanga mata.
Sin Hong membanting-banting kakinya lalu menangis!
121
"Sin Hong, kau manusia gublok! Kau tak berotak!" ia memaki diri
sendiri berkali-kali. "Seharusnya kau tahu bahwa Kim-tiauw itu
mencari-cari pedang dan kitab...." Teringat akan kitab, hatinya
terhibur. Baiknya kitab itu tidak dibawa ke luar. Akan tetapi hatinya
juga menjadi gelisah. Tentu burung aneh itu dipelihara oleh seorang
kang-ouw yang berkepandaian tinggi pula. Kalau burung itu
membawa pedang kepada majikannya, tentu majikannya itu akan
tahu bahwa kitabnya pun berada di situ, lalu datang mengambilnya.
Berpikir demikian, anak ini cepat berlari masuk ke dalam gua, akan
tetapi kelelahan dan sakit di tubuhnya demikian hebat sehingga
setibanya di dekat peti, ia terhuyung-huyung dengan kepala terasa
pening, tubuh sakit-sakit dan dada dingin bukan main. Ia cepat
menghampiri batu licin itu dan merebahkan diri di situ. Pada saat itu
ia roboh pingsan di atas batu!
-oo0mch-dewi0oo-
Kim-tiauw yang berhasil merampas pedang Pak kek Sin-kiam,
terbang keluar fari jurang. Pada saat itu, Giok Seng Cu masih berdiri
di tebing bertolak pinggang dan memandang ke bawah, ke dalam
jurang yang tidak kelihatan dasarnya itu. Hatinya juga gelisah sekali,
karena ia sekarang teringat bahwa kim-tiauw itu tentu binatang
peliharaan dari See-thian Tok-ong, tokoh di Tibet yang seringkali
disebut-sebut oleh sahabatnya Ba Mau Hoatsu. Burung rajawali
emas mana lagi yang dapat membuat ia terpental dalam sekali
serangan?
Tiba-tiba ia melihat burung itu terbang dari bawah dan di
paruhnya terlihat sebatang pedang dengan sarungnya yang buruk.
"Celaka, burung keparat itu telah mendapatkan Pak-kek Sin
kiam," kata Giok Seng Cu dan ia cepat berlari turun dari puncak.
Akan tetapi secepat-cepatnya seorang dapat berlari
mempergunakan ilmu lari cepat, tak mungki ia dapat mengejar
seekor burung rajawali terbang. Maka burung itu tentu saja sudah
lama tiba di lereng sebelum Giok Seng Cu keluar dari puncak.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, burung rajawali
emas telah memberikan pedang itu kepada Ban-beng Sin-tong Kwan
122
Kok Sun. Bocah gundut yang aneh itu mencabut pedang dari
sarungnya. Semua orang menjadi silau melihat cahaya keemasan
keluar dari pedang yang amat indah itu.
"Kau telah mencuri pedang Guru kami!" Luliang Ciargkun berseru
marah. Sambil berkata demikian ia mencabut pedangnya dengan
sikap hendak menyerang. Gurunya sudah berpesan agar ia dan
sutenya menjaga supaya pedang dan kitab jangan terjatuh ke dalam
tangan penjaat. Dan anak siluman ini benar-benar jahat dan
berbahaya sekali kalau Pak-Sin-kiam terjatuh di dalam tangannya.
Ban-beng Sin-tong Kwa Kok Sun tertawa menyeringai, akan
tetapi pandangan matanya penuh ancaman.
"Luliang Ciangkun, pedang ini disembunyikan oleh Gurumu dan
kau sendiri mengaku tidak mengetahui tempat penyimpanannya.
Sekarang ditemukan oleh burungku, berarti bahwa aku berjodoh
dengan pedang ini. Kau ribut ribut mau apa sih?”
Lain-lain tokoh yang berada di situ juga memandang kepada
pedang itu dengan mata mengilar. Akan tetapi mereka tidak berani
bergerak karena maklum akan kelihaian anak gundul itu dan ularularnya.
Bahkan Ba Mau Hoatsu memandang dengan hati berdebar.
Ingin sekali ia mengulur tangan merampas pedang. Kalau ia lakukan
hal ini, ia percaya bahwa ia sanggup merampas pedang. Ia tahu
bahwa kepandaiannya sendiri jauh melampaui kepandaian bocah
gundul itu, akan tetapi kalau ia teringat akan ayah dan ibu anak ini
ia bergidik dan membuat ia ragu-ragu untuk turun tangan.
Sementara itu, Luliang Sam-tojin sudah memegang senjata
masing-masing, dan Luliang Ciangkun membentak,
"Bagaimana juga. tidak boleh orang mengambil pusaka Luliangsan
begitu saja dari tempat ini. Kembalikan pedang Pak kek Sinkiam,"
Kwan Kok Sun sambil tersenum sindir menggerak-gerakkan
pedang pusaka itu di tangan kanan sedang tangan kirinya sudah
dimasukkan ke dalam saku baju dimana tersimpan sepasang ular
merah tadi, lalu melirik ke arah Bau Hoatsu.
123
Paman Ba Mau, kau pikir bukankah kakek Luliangsan ini tidak
tahu aturan sama sekali?"
Ba Mau Hoatsu semenjak tadi memandang ke arah pedang di
tangan bocah gundul itu, dan ia hampir tidak mendengar kata-kata
ini. Memang dia sendiri ingin sekali merampas pedang itu, maka
jawabnya perlahan dan ragu-ragu.
"Hmm...."
Luliang Ciangkun sudah tidak dapat menahan sabar lagi.
"Serahkan pedang kami!" bentaknya sambil menyerang ke depan,
berusaha merampas Pak-kek Sin-kiam.
Akan tetapi, biarpun sikapnya tenang, bocah gundul itu ternyata
gesit luar biasa. Sekali tangannya bergerak berkelebat bayangan
keemasan dan pedang Pak-kek Sin-kiam sudah digerakkan dari
samping, memapaki dan menyabet pedang besar di tangan Luliang
Ciangkun.
Panglima Gunung Luliang ini terkejut sekali karena gerakan lawan
yang masih muda ini benar-benar cepat luar biasa. Ia tahu bahwa
sekali saja pedangnya ber temu dengan Pak-kek Sin kiam,
pedangnya yang besar dan juga bukan sembarangan pedang itu
pasti akan terbabat putus! Ia menarik kembali pedangnya dan kini
menyerang dengan sambaran dari bawah.
Lagi-lagi Kwan Kok Sun menangkis, lalu membalas menyerang.
Luliang Ciangkun kembali menghindari pertemuan pedang dan
sekarang kedua orang ini bertanding pedang dengan hebatnya.
Sama sekali di luar dugaan para tokoh kang-ouw yang berada di
situ, ilmu pedang dari Ban-beng Sin-tong benar-benar luar biasa
sekali. Memang dia telah mendapat gemblengan dari ayah
bundanya, maka tentu saja ia memiliki kepandaian tinggi. Apalagi
sekarang dia memegang Pak-kek Sin-kiam, kelihatan bertambah
hebat. Luliang Ciangkun yang tidak berani mengadu pedang, segera
didesak dengan hebat oleh bocah itu. Yang lebih hebat Kwan Kok
Sun sama sekali tidak mengeluarkan tangan kiri dari saku bajunya.
Oleh karena ini, gerakan pedang di tangan kanannya kelihatan kaku
tidak ada imbangannya. Akan tetapi, hal ini tidak mengurangi
kehebatan gerakan pedangnya, bahkan Luliang Ciangkun dan yang
124
lain-lain maklum bahwa tangan kiri itu lebih berbahaya daripada
tangan kanan. Sekali tangan kiri itu keluar, tentu akan membawa
sepasang ular terbang dan hal itu benar-benar merupakan bahaya
maut yang mengerikan sekali!
Melihat suheng mereka terdesak, Luliang Nungjin dan Luliang
Siucai tidak tanggal diam.
"Kembalikan pedang kami, kalau tidak kita harus bertempur
mengadu nyawa di sini!" kata Luliang Nungjin sambil menggerakkan
pacutnya yang aneh, disusul oleh Luliang Siucai yang menggerakkan
pitnya.
Pacul dari Luliang Nungjin berujung enam dan sekali gagangnya
digerakkan, enam mata cangkul menyerang tubuh Kwan Kok Sun
dari enam jurusan! Bocah gundul itu terkejut sekali, apalagi ketika
pedang Luliang Ciangkun dan pit Luliang Siucai menyusul pula
dengan serangan dari ilmu silat tinggi yang amat berbahaya!
Biarpun ia berpedang pusaka, namun bagaimana ia dapat
menangkis sekaligus senjata-senjata hebat ini? Sambil memutar
pedangnya, ia melompat mundur, dan terdengar suara keras.
Ternyata bahwa di antara enam mata cangkul, dua buah terbabat
putus oleh Pak-kek Sin-kiam. Akan tetapi pit di tangan Luliang Siucai
hampir saja mengenai sasaran, dan baju Kwan Kok Sun robek di
bagian pundaknya.
Bocah gundul itu menjadi pucat. Ia melirik ke arah Ba Mau
Hoatsu, akan tetapi hwesto tinggi besar ini diam saja tidak bergerak
membantunya. Hal ini membikin mendongkol hati Kwan Kok Sun. Ia
mengeluarkan suara keras seperti pekik seekor binatang buas, lalu
pedangnya diputar sedemikian rupa, tangan kirinya mengeluarkan
dua ekor ular merah. Pada saat itu juga, atas perintah pekikan tadi,
burung kim-tiauw ikut menyerbu dan puluhan ular yang tadi
melingkar di tanah, mulai bergerak menyerbu ke arah Luliang Samlojin!
Inilah serangan yang hebat sekali! Ketiga kakek dari Luliang-san
ini cepat memutar senjata mereka. Luliang Nungjin mengajukan diri
menghadapi kim-tiauw, karena dengan paculnya yang masih
bermata empat itu ia dapat menghadapi serangan burung itu dari
atas. Beberapa kali ia terhuyung-huyung karena beturan pacul
125
dengan sayap burung, akan tetapi ia berhasil membuat rontok
beberapa helai bulu sayap dari burung itu sendiri berkali-kali
memekik kesakitan.
Luliang Ciangkun dan Luliang Siucai sibuk sekali menghadapi
serbuan puluhan ekor ular itu. Mereka melompat ke sana ke mari
untuk menghindarkan diri dari gigitan ular dan pedang serta pit
kedua kakek ini telah berhasil membunuh beberapa ekor ular. Tibatiba
dua bayangan merah berkelebat ke arah mereka. Ternyata
bahwa Ban-beng Sin-tong telah melepaskan sepasang ular
terbangnya yang langsung menyerang dengan luncuran hebat ke
arah Luliang Ciankun dan Luliang Siucai.
Dua orang kakek ini maklum akan bahaya besar ini. Cepat
mereka melompat jauh sambil memutar senjata, tetapi Kwan Kok
Sun tidak tinggal diam. Anak gundul ini segera melompat maju dan
menggerakkan pedang pusaka membantu perjuangan anak-anak
buahnya yang mengerikan itu.
Keadaan Luliang Sam lojin benar-benar terdesak hebat kali ini.
Juga Luliang Nungjin sudah pening kepalanya karena sebuah
tamparan sayap telah nyerempet pelipisnya, terasa bagaikan dipukul
oleh palu godam dan sakitnya bukan main. Tenaga pukulan itu
sedikitnya ada lima ratus kati dan kalau orang lain yang terkena
sambaran ini tentu sudah pecah kepalanya.
Pada saat itu sesosok bayangan yang cepat sekali gerakannya
terbang berlarian dari puncak gunung. Dia bukan adalah Giok Seng
Cu. Setelah tiba ditempat pertempuran, ia melihat semua tokoh
kang-ouw menonton pertempuran yang sedang berjalan dengan
amat seru dan hebatnya. Namun Giok Seng Cu tidak memperhatikan
semua itu. Seluruh perhatiannya ditujukan kepada pedang Pak Sinkiam
yang terpegang dan dimainkan oleh seorang bocah gundul.
Melihat bocah ini, biarpun belum bertemu muka, dapat menduga
bahwa ini tentulah putera See-thian Tok-ong karena ia pernah
dengar penuturan Ba Mau Hoatsu.
Tiba-tiba ia melompat maju ke dalam medan pertempuran.
126
"Sahabat kecil bukankah kau putera dari See-thian Tok-ong yang
mulia? Pinto adalah Giok Seng Cu ketua Im yang-bu-pai. Marilah
Pinto bantu kau menghabiskan Luliang Sam-lojin yang sombong itu"
Tentu saja Ban-beng Sin-tong Kwan kok Sun menjadi girang
sekali. Memang ia ingin melihat ketiga orang lawannya itu lekaslekas
binasa karena ia mendongkol melihat ular-ularnya banyak
yang mati.
"Terima kasih, Totiang. Ayah tentu akan berterima kasih
kepadamu," jawabnya gembira.
Giok Seng Cu sengaja melompat di dekat Kwa Kok Sun,
kemudian ia merendahkan tubuhnya dan mengerahkan tenaga Tin
sang-kang yang hebat. Sambil mengeluarkan seruan dahsyat kedua
tangannya memukul ke depan, ke arah Luliang Nungjin yang sedang
sibuk menghadapi serbuan kim-tiauw. Angin pukulan yang hebat
sekali menyambar ke arah dada Luliang Nungjin. Kakek ini tahu
akan datangnya serangan pukulan, akan tetapi oleh karena
perhatiannva ditujukan kepada kim-tiauw yang menyambarnyambar
di atasnya, ia tidak sempat mengelak dan tiba-tiba ia
merasa dadanya digempur oleh tenaga tidak kelihatan yang hebat
sekali. Ia menahan napas dan mengerahkan lwee-kangnya, namun
terlambat. Tubuhnya tersentak dan ia muntah-muntah ….. darah
merah tersembur keluar dari mulutnya. Pada saat itu, seeker ular
merah menyerbunya dan sekali patok pada lehernya, robohlah
Luliang Nungjin dan tubuhnya seketika itu juga berubah menjadi
merah! Ia tewas dalam saat itu juga dan ular merah itu lalu
merayap masuk dari mulutnya untuk segera keluar kembali
menggigit sebuah jantung yang masih berlepotan darah!
Pemanclangan ini mengerikan sekali hingga semua orang
menjadi pucat. Adapun Kwan Kok Sun mengeluarkan suara seperti
iblis. Pada saat itu, terjadilah hal yang sama sekali tidak didugaduga
olehnya.
127
Giok Seng Cu melihat kesempatan baik, kembali menggerakkan
kedua tangannya. Tangan kanan memukul dengan tenaga Tin-sankang,
sedangkan tangan
kiri maju merampas
pedang Pak-kek Sin-kiam!
Kwan Kok Sun mana
kuat menghadapi pukulan
Tin-san kang? Ia sudah
berusaha mengelak, akan
tetapi pundaknya masih
terkena pukulan itu dan
sebelum ia tahu apa yang
terjadi, pedangnya
dirampas oleh gerakan
tangan kiri Giok Seng Cu
yang mainkan ilmu Silat
Kin-na-jiu!. Kwan Kok Sun
terhuyung-huyung
dengan muka pucat.
Bocah gundul ini telah
menderita luka di dalam
tubuh maka ia cepatcepat
bersila untuk mengumpulkan napas dan mengerahkan tenaga
dalam. Giok Seng Cu melompat jauh dan berlarit seperti terbang
cepatnya turun gunung!
“Giok Seng Cu, kau curang...!" bentak Ba Mau Hoatsu dan
hendak mengejar, akan tetapi melihat Kwan Kok Sun terluka, ia
khawatir akan keadaan anak itu. Kalau sampai terjadi apa-apa
dengan anak itu, ia ikut bertangung jawab di hadapan See-Thian
Tok-ong, maka ia membatalkan niatnya mengejar Giok Seng Cu.
Lagi pula, andaikata ia dapat mengejar, apakah dia dapat
mengalahkan ketua Im-yang-bu-pai itu? Tadi ia melihat kehebatan
Tin-san-kang. Kalau kiranya Giok Seng Cu tidak memegang Pak-kek
Sin-kiam, mungkin ia masih dapat melawannya. Akan tetapi dengan
pedang pusaka itu di tangan, berbahaya sekali!
Semua tokoh kang-ouw melihat Giok Seng Cu kabur membawa
pedang serentak berlari mengejar. Kini setelah pedang itu berada di
128
tangan ketua Im-yang-bu-pai, mereka berani untuk mencoba-coba
merampas.
Adapun Ba Mau Hoatsu setelah melihat Kwan Kok Sun bersila
meramkan mata, lalu mengeluarkan sepasang rodanya. Ia melihat
Luliang Ciangkun dan Luliang Siucai mengamuk hebat membunuhbunuhi
ular itu, sedangkan sambaran-sambaran ular merah tak
pernah mengenai sasaran.
Tanpa banyak cakap lagi, Ba Mau Hoatsu lalu menggerakkan
sepasang rodanya dan menyerbu, menyerang dua orang kakek
Luliang-san itu.
"Ba Mau Hoatsu, semenjak dahulu kau memang iblis jahat!" seru
Luliang Ciangkun marah sekali. Pedangnya berkelebat menyambarnyambar
dan kini ia benar-benar nekad. Tanpa memperdulikan
serangan-serangan ular ia menyerbu dengan hebat kepada hwesio
gundul itu. Ba Mau Hoatsu menyambuti serangannya dan kedua
orang ini bertempur seru. Memang tingkat kepandaian Ba Mau
Hoatsu masih lebih tinggi daripada Luliang Ciangkun, maka sebentar
saja Si Gundul mendesaknya. Apalagi Luliang Ciangkun sudah lelah
dan ular-ular yang telah dididik dapat membedakan kawan atau
lawan itu masih tetap menyerangnya dari bawah. Luliang Siucai kini
menghadapi kim-tiauw yang dibantu oleh beberapa ekor ular pula.
Dalam keadaan amat terdesak ini, kedua kakek itu masih
mengamuk hebat. mereka tidak mengharapkan hidup lagi setelah
melihat kematian Luliang Nungjin yang amat mengerikan. Cita-cita
mereka hanya membasmi lawan sebanyak-banyaknya. Akan tetapi,
pada saat itu Kwan Kok Sun sudah berdiri lagi. Lukanya biarpun
cukup hebat namun tidak membahayakan jiwanya. Kini melihat Ba
Mau Hoatsu membantunya dan melihat dua orang kakek Luliang-san
masih mengamuk, semua kemarahannya akibat hilangnya pedang,
dijatuhkan kepada dua orang kakek itu.
"Paman Ba Mau, minggir...! serunya sambil menggerakkan kedua
tangannya, Ba Mau Hoatsu cepat melompat ke samping dan dari
kedua tangan Kwan Kok Sun tersebar debu hijau yang menyambar
ke arah Luliang Siucai dan Luliang Ciangkun. Dua orang kakek ini
cepat mengelak, akan tetapi mereka segera terbatuk-batuk karena
debu itu ternyata dengan cepatnya telah mempengaruhi mereka.
129
Sedikit saja debu itu memasuki mulut, celakalah orangnya. Luliang
Siucai dan Luliang Ciangkun merasa tenggorokan mereka gatal-gatal
sekali dan tak tahan pula mereka terbatuk-batuk dan tak dapat
menggerakkan senjata. Pada saat itu, tentu saja ular-ular tidak
tinggal diam dan menyerbu. Juga sepasang ular terbang itu
menyambar seperti kilat dibarengi dengan sambaran kim-tiauw dari
atas!
Dalam sekejap mata saja, Luliang Ciangkun dan Luliang Siucai
roboh tak bernapas lagi. Kepala mereka pecah terhantam sayap
kim-tiauw, kaki mereka bengkak-bengkak tergigit oleh ular dan dada
mereka bolong disambar oleh sepasang ular merah!
"Sin-tong, apakah kau terluka berat?” Ba Mau Hoatsu cepat
menghampin Kwan Kok Sun.
Bocah gundul itu menggeleng kepala sambil mengerutkan
keningnya. "Kurang ajar sekali bangsat tua Giok Seng Cu! Aku
bersumpah untuk membasminya!"
"Tenanglah, Sin-tong. Tadi pun aku hendak mengejarnya, akan
tetapi aku tidak tega meninggalkan kau yang terluka. Apalagi
kepandaian Giok Seng Cu amat tinggi, lebih-lebih setelah ia dapat
merampas Pak-kek Sin-kiam. Mari kita pulang saja, agaknya Ayah
Bundamu akan mudah sekali merampas pedang itu dari tangan Giok
Seng Cu."
Kwan Kok Sun mengangguk-angguk. “Seluruh Im-yang-bu-pai
harus dibasmi habis sampai ke akar-akarnya'"
Diam-diam Ba Mau Hoatsu bergidik. Ia kenal watak anak ini,
kenal pula kehebatan orang tuanya, maka ia merasa beruntung
bahwa bukan dia yang diancam. Baiknya aku tadi membantunya
pada saat terakhir, pikirnya puas. Akan tetapi alangkah kagetnya
ketika bocah itu menegurnya,
"Paman Ba Mau, mengapa tidak sejak tadi-tadi kau membantuku
menghadapi Luliang Sam-lojin?”
Ba Mau Hoatsu dengan muka merah dan hati berdebar-debar
cepat menjawab, "Ah, Sin-tong. Mengapa aku harus turun tangan?
Hal ini hanya akan merendahkan namamu dan nama besar Ayah
130
Bundamu. Tanpa aku pun kau tidak akan kalah. Akan tetapi tentu
saja aku seta siap sedia dan pasti akan niembantumu kalau tadi kau
terdesak oleh Luliang Sam-lojin. Serangan Giok Seng Cu kepadamu
sama sekali di luar dugaanku. Siapa yang mengira demikian
sedangkan tadinya ia membantumu"
Kwan Kok Sun puas dengan jawaban ini. Ia lalu mengumpulkan
ular-ularnya yang masih hidup, mengantongi sepasang ular merah
yang sudah kenyang makan jantung manusia, kemudian bersuit
memanggil kim-tiauw yang turun di depannya.
"Kim-tiauw, kau terbanglah pulang dan berikan surat kepada
Ayah Bundaku," kata Kwan Kok Sun setelah mencoret-coret
sepotong kertas. Kim-tiauw menerima kertas itu yang oleh Kwan
Kok Sun diikatkan kepada kakinya, kemudian setelah menganggukanggukkan
kepalanya, rajawali besar itu terbang melayang dan
sebentar saja lenyap dari pandangan mata.
"Eh, Ban-beng Sin-tong, apakah kau sendiri tidak pulang?"
Bocah itu menggelengkan kepalanya. “Mengapa pulang? Nanti
tentu harus kembali ke Tiong-goan (pedalaman Tiongkok). Daripada
membuang waktu, lebih baik Ayah dan Ibu yang datang ke sini,
sementara itu kita dapat menyelidiki di mana adanya Giok Seng Cu!"
"Akan tetapi, yang didapatkan oleh kim-tiauw hanya pedang saja,
di mana adanya kitab ilmu silat itu? Apakah tidak lebih baik kalau
kita mencoba mencari kitab itu di puncak?"
"Kau benar, Paman Ba Mau! Mengapa aku sebodoh ini'?" Kwan
Kok Sun timbul kembali kegembiraannya dan kedua orang ini lalu
mendaki puncak Luliang-san, sama sekali tidak memperdulikan
mayat-mayat yang bergelimpangan di situ dalam keadaan
mengerikan sekali.
Ban-beng Sin-tong dan Ba Mau Hoatsu mencari-cari di puncak
Luliang-san, membongkar pondok bekas tempat tinggal Pak Kek
Siansu. Pondok itu didirikan di bawah puncak batu karang yang
menjulang tinggi, kokoh kuat seperti sang raksasa hitam. Yang amat
mengagumkan, batu karang ini berbentuk seperti kepala naga
sehingga setelah kini pondok yang merupakan penutupnya
terbongkar, batu karang ini nampak dari jauh amat menyeramkan.
131
Ba Mau Hoatsu meraba-raba batu karang itu dan matanya
memandang penuh perhatian.
"Agaknya bentuk kepalanya ini buatan manusia," katanya, "Lihat,
bukankah bentuk mata dan tanduk di atas itu ada bekas guratan
senjata tajam?"
Kwan Kok Sun memandang, kemudian tubuhnya bergerak
melompat ke atas Dalam sekejap mata ia telah berada di puncak
batu karang itu dan memeriksanya.
"Benar, memang buatan manusia. Akan tetapi entah apa
maksudnya maka batu karang ini diukir sebagai kepala naga, lalu
ditutup dengan bangunan pondok," katanya.
Mereka memeriksa dengan teliti karena menduga bahwa di dalam
batu karang ini agaknya terletak tempat rahasia penyimpanan kitab.
Akan tetapi, biarpun dengan sepasang rodanya Ba Mau Hoatsu
sudah memecahkan bagian-bagian batu karang, sia-sia saja
hasilnya. Akhirnya Kwan Kok Sun berkata gemas,
"Setan tua itu pintar sekali menyembunyikan kitabnya. Siapa tahu
kalau-kalau ia bawa kitab itu ke dalam lubang kuburannya?"
Ba Mau Hoatsu ragu-ragu dan merasa ngeri. Betapapun jahatnya,
selama hidupnya belum pernah ia menggalil kuburan orang. Anak
ini, yang usianya masih begitu muda, sudah mengusulkan
membongkar kuburan dengan suara demikian dingin, seakan-akan
membicarakan sebuah hal biasa saja. Akan tetapi ia harus akui
bahwa usul itu baik sekali, karena siapa tahu kalau-kalau kitab
rahasia itu benar-benar disembunyikan di dalam kuburan. Kalau tadi
ketika masih melihat pedang pusaka, biarpun hatinya ingin
merampas, Ba Mau Houtsu belum berani melakukannya, karena
biarpun ada pedang itu di tangan, percuma saja ia menghadapi See-
Thian Tok ong dan isterinya serta anaknya ini. Akan tetapi, kalau ia
dapat memiliki kitab kek-sin-clang-pit-kip dan telah mempelajari
isinya sampai tamat, kiranya ia tidak usah takut lagi menghadapi
Raja Racun itu. Ia tahu bahwa ilmu silat dari Pak Kek Siansu sangat
tinggi, kalau ia dapat mewarisi ilmu silat dari Pak Kek Siansu, ia
tidak takut lagi menghadapinya.
"Baik sekali Sin-tong. Mari kita mencari di dalam kuburan itu."
132
Demikianlah, dua orang manusia jahanam ini tanpa ragu-ragu
lagi lalu membongkar kuburan Pak Kek Siansu dan Pak Hong Siansu.
Dengan sepasang rodanya Ba Mau Hoatsu menghantam batu-batu
nisan sampai hancur, kemudian dibantu oleh Kwan Kok Sun, ia
mulai menggali tanah bergunduk yang saling berhadapan.
Berkat kepandaian dan tenaga mereka yang sudah tinggi,
sebentar saja dua buah makam itu sudah terbongkar. Dahulu ketika
mengubur jenazah Pak Kek Siansu dan Pak Hong Siansu, pendekar
besar Go Ciang Le tidak sempat mempergunakan peti mati karena di
tempat seperti puncak Gunung Luliang-san itu, dari mana bisa
mendapatkan peti mati? Maka Hwa I Enghiong Go Ciang Le hanya
mengubur mereka begitu saja dengan penuh penghormatan dan
kesedihan.
Kini setelah kuburan dibongkar, Ba Mau Hoatsu dan Kwa Kok Sun
hanya mendapatkan tulang belulang yang hampir sama besar dan
bentuknya sehingga mereka tidak dapat membedakan mana tulang
kerangka Pak Kek Siansu dan yang mana Pak Hong Siansu. Dilihat
begitu saja, selain tulang-tulang ini, tidak terdapat apa-apa lagi di
kuburan itu. Namun Kok Sun masih merasa penasaran. Ia tanpa
ragu-ragu lagi menggunakan kakinya untuk menendang tulangtulang
itu keluar dari lubang kuburan lalu memeriksa dasar lubang.
Namun kembali usahanya sia-sia karena di situ betul-betul tak
tersembunyi sesuatu.
"Jahanam betul, kita bersusah payah tanpa guna!” Kok Sun
memaki dan menyepaki tulang-tulang itu sehingga berserakan ke
mana-mana. Diam-diam Mau Hoatsu mengutuk Kok Sun. Anak ini
terlalu keji hatinya, pikirnya. Betapa pun juga, ia tidak sampai hati
memperlakukan tulang-tulang manusia seperti itu, setidaknya ia
masih menghormati bekas-bekas terakhir dari tubuh orang-orang
besar seperti Pak Kek Siansu dan Pak Hong Siansu.
"Lebih baik sekarang kita mencari Giok Seng Cu," katanya
perlahan. Anak gundul itu mengangguk dan keduanya lalu berlari
cepat turun dari puncak Lulian-san, meninggalkan tulang-tulang
yang berserakan itu. Ketika mereka tiba di lereng tempat
pertempuran tadi, Kok Sun masih dapat menyeringai dan melempar
133
ludah ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan di situ dan yang
mengeluarkai hawa busuk.
Tentu saja mereka tidak pernah mimpi bahwa di balik batu
karang yang mereka amuk di puncak terdapat terowongan yang
menuju ke bawah dan yang tersambung dengan terowongan di
mana Sin Hong menemukan pedang dan kitab.
Anak ini setelah sadar dari pingsannya, merasa tubuhnya dingin
sekali. Ia teringat bahwa ia telah menderita luka hebat akibat
pukulan Giok Seng Cu. Ia merasa malas untuk bangun. Alangkah
nikmatnya tidur di atas batu itu, nikmat sekali dan kalau ia teruskan
tak lama lagi ia akan terbebas daripada hidup yang penuh
pendentaan dan kekecewaan. Akan tetapi aku harus berusaha
menghajar yang berkeliaran di muka bumi sebelum melakukan halhal
yang merusak manusia-manusia lain yang tidak berdosa.
Sin Hong merayap keluar dari gua dan mencari buah-buah dari
pohon yang banyak tumbuh di sekitar lereng tersembunyi itu.
Setelah makan beberapa butir buah yang manis rasanya, ia merasa
tubuhnya tidak begitu sakit-sakit dan tidak terlalu dingin lagi. Ia
cepat kembali ke gua dan dibawanya keluar kitab dari dalam peti
itu. Sin Hong mulai membalik-balik lembaran kitab yang berisi
pelajaran Pak-kek Sin-ciang dan alangkah girangnya ketika ia
melihat bahwa dalam buku selain ilmu silat juga terdapat petunjukpetunjuk
untuk melatih lweekang yang tinggi.
Hlarapannya untuk sembuh timbul kembali. Ia pernah
mendengar dari Liang Gi Tojin, juga dari Luliang Sam-lojin bahwa
kalau orang sudah melatih diri dengan ilmu lweekang yang
sempurna, tubuhnya akan dapat terlindung dari pada pukulan
lweekang dan dapat memperkuat hawa di dalam tubuhnya. Maka
pertama kali yang dilatihnya adalah lwee-kang dan cara-cara
bersamadhi serta peraturan bernapas. Benar saja, beberapa pekan
kemudian setelah melatih diri dengan tekun dan rajin, dapat
menahan rasa dingin sehingga tidak sangat menderita, biarpun tidak
dapat mengusir rasa dingin itu yang berarti bahwa racun atau luka
yang diderita oleh bagian dalam dadanya ternyata masih belum
lenyap. Berkat latihan lweekang yang tinggi, ia dapat bertahan terus
dan racun pukulan Giok Seng Cu itu tidak dapat menjalar. Ia dapat
134
hidup akan tetapi mukanya selalu pucat seperti tidak berdarah dan
sekali-sekali ia mengalami serangan hawa dingin yang membuatnya
menggigil kedinginan di dalam gua yang sudah diterangi oleh api
unggun besar yang dibuatnya.
Demikianlah, terasing dari dunia ramai, Wan Sin Hong melatih
diri dengan amat tekunnya. Di luar gua ia melatih ilmu silat Pak-kek
Sin-ciang yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Akan tetapi setiap
jurus mempunyai pecahan yang bermacam-macam dan tanpa
disadari anak ini telah melatih bagian-bagian tertinggi daripada ilmu
silat dari berbagai cabang persilatan. Memang, Pak Kek Siansu
menciptakan ilmu silat ini berdasarkan pengalaman-pengalaman dan
pengertiannya akan ilmu silat tinggi dari berbagai cabang. Ia
mengumpulkan jurus-jurus terlihai dari cabang persilatan yang ada,
kemudian menggabung jurus-jurus ini menjadi Ilmu Silat Pak-kek
Sin-ciang. Setiap jurus ilmu silat ini, baru dapat dimainkan masakmasak
oleh Sin Ho setelah dilatihnya setiap hari selama sebulan
lebih,
Setiap hari di depan gua yang merupakan terowongan itu Sin
Hong bermain silat. Gcrakannya perlahan agar setiap gerakan tidak
salah, lambat-lambat dan diperhatikannya baik-baik. Akan tetapi
kalau jurus ini sudah dihafal dan dikuasainya benar-benar ia bersilat
dengan cepat dan orang yang melihatnya akan merasa kagum sekali
karena tubuh anak kecil ini sukar dlikuti gerakannya dengan mata
saking cepatnya!
Tanpa ia ketahui sendiri, ia telah memperoleh kemajuan yang
luar biasa sekali dan berkat latihan lweekang dan khikang menurut
petunjuk kitab itu, telah mempunyai sinkang di dalam tubuhnya,
yakni tenaga sakti yang telah terkandung dalam jalan darahnya
sehingga tenaga ini telah ada dalam setiap gerakannya tanpa ia
mengerahkan lwekang. Akan tetapi tentu saja semua ini tidak
diketahui oleh Sin Hong sendiri. Yang membuat anak ini kecewa
adalah pedang pusaka yang telah dirampas oleh burung rajawali
emas, karena justeru di dalam kitab pelajaran ilmu silat itu terdapat
pelajaran ilmu pedang yang luar biasa dan sukar dipelajari. Biarpun
jalan gerakan dan ilmu pedang itu didasarkan Ilmu Silat Pak kek-sinciang-
hoat, namun akan lebih sempurna kalau ia berlatih
mempergunakan pedang yang aselinya, yakni Pak kek Sin-kiam
135
yang memang disesuaikan dengan ilmu pedang itu. Sebagai
gantinya, ia mempergunakan sebatang ranting pohon dan berlatih
dengan amat tekunnya.
-oo0mch-dewi0oo-
Kita tinggalkan dulu Wan Sin Hong yang tanpa diketahui oleh
seorang pun berlatih ilmu silat tinggi di tempat tersembunyi itu, dan
mari kita menengok keadaan Liok Kong Ji yang kini sudah berganti
nama keturunan, yakni menjadi Lui Kong Ji untuk menyembunyikan
keadaan sebenarnya.
Seperti telah kita ketahui, putera dari ketua Kwan-im-pai dengan
amat licik dan curangnya, telah dapat mengangkat diri dan
dipercaya oleh tokoh-tokoh Im-yang-bu-pai. Untuk menyelamatkan
diri sendiri, Kong Ji tidak segan-segan untuk membabat putus
sebelah lengan Lie Bu Tek dan menyiksa Sin Hong. Memang dalam
diri Kong Ji terdapat watak yang luar biasa jahatnya, sungguh hal
yang amat aneh apabila diingat akan watak ibunya yang gagah
perkasa dan mulia. Kong Ji merupakan seorang anak yang luar biasa
sekali, tidak saja hatinya kejam, curang dan jahat, akan tetapi ia
memiliki kecerdikan yang luar biasa, serta bakat yang tinggi untuk
menjadi seorang ahli silat.
Dengan kecerdikannya, Kong Ji dapat menyesuaikan diri dengan
apa saja yang berada di sekitarnya. Ia pandai membawa diri
sehingga kalau tadinya para tokoh Im-yang-bu-pai dan juga
ketuanya masih menaruh curiga kepadanya, sekarang kecurigaan
mereka lenyap dan berganti oleh kasih sayang besar. Karena Giok-
Seng Cu sendiri tanpa ragu-ragu mengangkatnya menjadi murid
sehingga mulai saat itu Kong Ji menjadi murid termuda dari Imyang-
bu-pai. Akan tetapi, biarpun paling muda, ilmu kepandaiannya
meningkat jauh lebih cepat dari pada yang lain-lainnya, karena ia
berkenan mendapat pimpinan dan latihan-latihan dari Giok Seng Cu
sendiri! Kecerdikan dan bakat yang luar biasa membuat ia mudah
saja memahami pelajaran ilmu silat partai ini dan melihat
kemajuannya, tokoh-tokoh lm-yang-bu-pai makin sayang
kepadanya.
136
Dalam waktu setahun ia telah menerima dasar-dasar ilmu silat
yang diturunkan oleh Giok Seng Cu, kemudian ketika Giok Seng Cu
pergi ke Luliang san, Kong Ji menerima latihan-latihan dari Siangmo-
kiam Lai Tek dan Thian-te Siang-tung Kwa Siang, tokoh ke dua
dan ke tiga dari Im-yang-bu-pai. Dalam menerima pelajaran dari
dua orang tokoh ini saja Kong Ji telah dapat mempergunakan
kecerdikan serta kelicinannya sedemikian rupa sehingga dua orang
tokoh itu seakan-akan berlumba menuangkan segala kepandaian
mereka kepadanya. Caranya demikian. Pada suatu hari dengan
sengaja ia memancing percakapan dengan Thian-te Siang-tung Kwa
Siang dengan sebuah pertanyaan.
"Ji-suheng (Kakak Seperguruan dua), di antara saudara saudara
di perkumpulan kita yang kepandaiannya paling tinggi di bawah
Suhu hanya kau dan Twa-suheng (Kakak Seperguruan Pertama).
Akan tetapi mengapa Twa-suheng bersenjata pedang dan kau
bersenjata sepasang tongkat? Siapakah yang terlebih lihai antara
kau dan Twa-suheng?"
Kwa Siang tidak sadar bahwa dia sedang "dibakar", maka sambil
tersenyum ia menjawab "Siauw-sute, kau ini aneh aneh saja.
Biarpun Suheng lebih tua menjadi murid Suhu daripadaku, namun
kami memilika keahlian masing-masing. Pedangnya lihai, namun
tongkatku yang sepasang ini pun jarang menemukan tandingan."
'Aku percaya, Ji-suheng, kepandaian dalam ilmu silat memang
hebat sekali dan aku tidak percaya bahwa pedang Twa suheng akan
dapat menangkan sepasang tongkatmu. Akan tetapi Twa-suheng
berulang-ulang menyatakan bahwa raja sekalian senjata adalah
pedang dan karenanya Twa-suheng memaksaku untuk lebih
memperhatikan pelajaran ilmu pedang."
Kwa Siang menjadi penasaran dan mengerutkan kening. Biarpun
terhadap suhengnya sendiri, merasa tidak senang kalau ilmu
tongkatnya direndahkan dan dianggap kalah oleh ilmu pedang.
"Siapa bilang? Aku berani menghadapi lawan berpedang yang
manapun juga!" serunya tak senang.
Kong Ji cepat-cepat memegang lengan Kwa Siang. "Aku percaya
sepenuhnya, Ji-suheng. Oleh karena itu, biarpun di depan Twa137
suheng aku menyatakan kesanggupanku untuk memperhatikan
nasihatnya, namun di dalam hatiku aku mengambil keputusan untuk
mempelajari tongkat dengan mendalam. Dengan memiliki
kepandaian ilmu tongkat seperti kau, kelak aku akan
memperlihatkan kepada Twa-suheng bahwa ilmu tongkatmu tak
boleh dipandang ringan!"
Girang hati Kwa Siang mendengar ini dan tanpa ragu-ragu lagi ia
mulai mempelajari ilmu tongkat yang menjadi kebanggaannya itu
kepada Kong Ji. Harus diketahui bahwa baik Kwa Siang maupun Lai
Tek menjadi murid Giok Seng Cu setelah mereka tua dan telah
memiliki kepandaian tinggi. Mereka hanya menerima tambahan ilmu
silat dari Giok Seng Cu, sedangkan ilmu tongkat dari Kwa Siang itu
pun hasil pelajaran yang dahulu, bukan yang didapatkannya dari
Giok Seng Cu. Oleh karena itu, tentu saja Kong Ji menjadi untung
dan menerima pelajaran-pelajaran tinggi dari Kwa Siang.
Demiklanlah, di hadapan Lai Tek, anak ini bicara lain dan ia pun
berhasil membakar hati Lai Tek sehingga twa- suhengnya ini betulbetul
mencurahkan tenaga untuk membimbingnya mempelajari ilmu
pedangnya agar tidak kalah oleh Kwa Slang! Dengan siasat yang
amat licin, Kong Ji dapat membuat dua orang tokoh itu seakan-akan
bersaingan dan berlumba menurunkan kepandaian masing-masing
kepadanya dan hal itu sudah tentu dia yang untung dan menjadi
tukang tadah!
Kedatangan Giok Seng Cu dari Luliang-san disambut dengan
gembira oleh anak buahnya. Akan tetapi tosu rambut panjang ini
datang dalam keadaan kelihatan amat lelah dan wajahnya
memperlihatkan tanda bahwa ia amat gelisah dan khawatir. Ia
segera mengumpulkan murid-muridnya yang paling tua, yakni Siang
mo-kiam Lai Tek, Thian-te Siang-tung Kwa-siang, dan dua orang
murid lain yang kepandaiannya sudah tinggi. Juga Kong Ji tidak
ketinggalan karena biarpun ia murid termuda, namun ia amat
disayang dan Giok Seng Cu tahu bahwa kelak yang boleh
diharapkan hanyalah Kong Ji ini. Semua orang duduk menghadap
guru besar itu yang berkata dengan suara lambat.
"Mulal saat ini, kalian jangan lengah. Semenjak dari Luliang-san,
aku telah dihejar-kejar oleh banyak sekali tokoh kang-ouw yang
138
lihai. Mungkin sekali di antara mereka ada yang terus mengejar ke
sini, biarpun aku masih bersangsi apakah mereka begitu tidak tahu
malu untuk mengacau Im-yang-bu pai di sarang sendiri. Betapapun
juga, kalian harus menjaga dan mengerahkan kawan-kawan untuk
menyelidik. Rumah perkumpulan ini pun harus dijaga siang malam
secara bergilir. Pendeknya, sekarang kita menghadapi bahaya dan
sekali-kali jangan lengah."
"Suhu, mengapa mereka itu memusuhi Suhu? Mengapa mereka
mengcjar-ngejar terus secara tak tahu malu'" tanya Kwe Siang. Lai
Tek juga memandang dengan mata mengandung pertanyaan. Akan
tetapi sebelum Giok Seng Cu menjawab, Kong Ji mendahuluinya.
"Tentu untuk merampas Pak-kek Sin-kiam, apa lagi?"
Semua orang terkejut, termasuk Giok Seng Cu yang menoleh
kepada murid cilik yang berdiri di sebelah kirinya ini. Tangannya
terulur dan tahu-tahu pergelangan tangan Kong Ji sudah dipegang
erat-erat. "Bagaimana kau bisa menduga begitu?” tanyanya keras
dengan mata memandang tajam.
Kong Ji tidak takut, bahkan tersenyum. “Suhu, apa sih sukarnya
menebak teka-teki ini? Teecu sudah mendengar bahwa Suhu pergi
ke Luliang-san untuk mencari pedang dan kitab dan teecu sudah
tahu pula bahwa pedang itu adalah Pak-kek Sin-kiam sedangkan
kitab itu adalah kitab rahasia peninggalan Pak Kek Siansu. Kemudian
Suhu pulang dengan pakaian kusut dan tubuh lelah serta
membayangkan kegelisahan, tanda bahwa Suhu menghadapi
sesuatu yang memusingkan. Akan tetapi suara Suhu itu tenang dan
sinar mata Suhu membayangkan kegembiraan. Mudah bagi teecu
untuk menduga bahwa Suhu tentu telah berhasil mendapatkan dua
benda itu. Hanya teecu masih belum mengerti mengapa Suhu
kelihatan gelisah. Kemudian Suhu menyatakan bahwa orang-orang
kang-ouw mengejar-ngejar Suhu, maka apa lagi kehendak mereka
itu kalau bukan mengejar Suhu untuk merampas sesuatu yang
bcrharga? Karena inilah tee-cu menduga bahwa Suhu tentu telah
berhasil dan mereka itu mengejar untuk merampas pedang Pak-kek
Sin-kiam!"
139
Giok Seng Cu menjadi kagum luar biasa. Ia melirik ke
pakaiannya, akan tetapi dari luar pedang pusaka yang
disembunyikan di balik baju itu tidak kelihatan.
"Di antara kedua benda berharga mengapa kau menyangka
bahwa pedang pusaka yang kau dapatkan?" tanyanya curiga.
"Teecu menduga sembarangan Suhu. Karena bagi teecu, apa sih
artinya kitab ilmu silat bagi Suhu yang sudah berkepandaian tinggi?
Tentu bagi Suhu pedang itu yang lebih penting, maka teecu
menduga bahwa Suhu tentu telah mengambil pedangnya."
Giok Seng Cu melepaskan cekalannya tertawa girang dan
memandang kepada murid-muridnya. "Di antara kita, tak seorang
pun yang mampu menandingi kecerdikan Kong Ji! Kau benar sekali
Kong Ji, dan aku girang melihat kecerdikanmu. Akan tetapi
bagaimana dengan ilmu silatmu? Apakah selama aku pergi, kedua
Suhengmu telah melatihmu baik-baik?”
Kwa Siang ingin memamerkan hasil latihannya kepada sute yang
disayang itu, maka ia berkata. "Sute, mengapa kau tidak
niemperlihatkan ilmu tongkat yang telah kaupelajari kepada Suhu?"
"Haruskah teecu memperlihatkan sedikit kepandaian yang teecu
terima dari Jiwi-suheng?" tanya Kong J i kepada gurunya. Anak ini
sengaja berkata "sedikit kepandaian" agar suhunya tidak puas dan
menurunkan ilmu silatnya yang lihai, terutama Tin san-kang!
Giok Seng Cu mengangguk-anggukkan kepalanya yang
rambutnya riap-riapan itu. "Coba kauperlihatkan kepandalanmu."
Kwa Siang melemparkan sepasang tongkat hitam putih ke arah
Kong Ji yang menerimanya dengan gaya indah. Kemudian anak ini
bersilat di ruangan itu, bersilat dengan cepat dan baik sekali sesuai
dengan petunjuk dan ajaran Kwa Siang. Thian-te Siang-tung ini
melirik-lirik ke arah Lai Tek sambil tersenyum-senyum bangga.
Sebagai penerima ilmu silatnya ternyata sute yang kecil itu tidak
mengecewakannya. Biarlah Lai Tek melihat bahwa ilmu tongkat
yang ia turunkan kepada Kong Ji tak boleh dipandang rendah.
Giok Seng Cu mengangguk-angguk. "Hmm, Kwa Siang baik sekali
sehingga mau menurunkan kepandaian tunggalnya kepadamu, Kong
140
Ji. Akan tetapi, apa yang kaupelajari dan Lai Tek?" tanyanya setelah
anak itu berhenti bersilat dan mengembalikan sepasang tongkat itu
kepada Kwa Siang.
"Teecu juga mempelajan sedikit ilmu pedang dari Twa suheng."
"Kaumainkan Sute, agar Suhu dapat memeriksa dan menilainya."
Lai Tek mendesak sambil meloloskan pedangnya untuk
dipergunakan oleh sutenya. Akan tetapi Kong Ji pura-pura tidak
melihat twa-suheng ini menyodorkan pedang. Ia bahkan
menghampiri Giok Seng Cu dan berkata, "Bolehkah teecu
memperlihatkan ilmu pedang dan Twa-suheng dengan
mempergunakan Pak-kek Sin-kiam, Suhu?"
Tiba-tiba Giok Seng Cu meloncat dan menangkap leher baju
Kong Ji dan diangkatnya tubuh anak itu ke atas. Hampir saja ia
membanting bocah ini dan semua sudah menjadi pucat. Kwa Siang
dan Lai Tek cukup mengenaI watak suhu mereka, yakni kalau sudah
marah, belum puas kalau belum membunuh orang. Akan tetapi
aneh, anak itu diturunkan lagi dan Giok Seng Cu duduk sambil
menarik napas panjang.
"Kong Ji jangan sekali-kali kau menyebut-nyebut Pak-kek Sinkiam
lagi. Mengerti?"
Kong Ji yang sudah pucat itu mengangguk-angguk dan berlutut
di depan suhunya. Kemudian ia menerima pedang dari Lai Tek dan
bersilat pedang, ditonton oleh Giok Seng Cu.
"Hm, kau sudah mendapat kemajuan lumayan. Kau harus lebih
banyak berlatih lweekang agar siap sedia menerima latihan-latihan
langsung dari aku sendiri."
Kong Ji menjadi girang sekali dan buru-buru berlutut
menghaturkan terima kasth kepada gurunya.
Semenjak hari itu, benar saja rumah perkumpulan Im-yang-bupai
yang amat besar itu dijaga rapi dan kuat oleh para anggauta Imyang-
bu-pai. Sedangkan Giok Seng Cu selalu mengeram diri di
dalam kamarnya dan pedang Pak-kek Sin kiam tak pernah terpisah
dari tubuhnya. Yang dipercaya hanya Kong Ji seorang. Hanya murid
termuda inilah yang mengawaninya tidur di kamarnya.
141
"Kong Ji, aku sewaktu-waktu perlu beristirahat dan tidur. Kalau
aku tidur pulas, kau berjaga dan cepat membangunkan aku kalaukalau
ada musuh datang," katanya. Oleh karena itu, semenjak hari
itu Kong Ji tidur di dalam kamar itu bersama Giok Seng Cu. Bahkan
guru besar ini sudah demikian percaya sehingga ia pernah
memperlihatkan Pak kek Sin-kiam yang membuat anak itu bergidik
ketika melihat cahaya terang keluar dari mata pedang itu.
Biarpun Kong Ji berwatak jahat dan curang, namun ia tak dapat
melupakan pembunutian kepada ayah bundanya dilakukan oleh
orang-orang Im-yang-bu-pai. Dengan amat cerdik, ketika bercakapcakap
dengan Lai Tek dan Kwa Siang. Ia memancing percakapan
tentang perkumpulan-perkumpulan kang-ouw dan menyinggungnyinggung
perkumpulan Kwan-im-pai. Akhirnya ia berhasil
memancing dan mendapat keterangan bahwa yang membinasakan
ayah bundanya adalah seorang tokoh Im-yang-bu-pat ang berjuluk
Sin chio (Tombak Sakti), Thio Seng juga murid dart Giok Seng Cu
dan dalam urutan murid-murid Giok Seng Cu, ia terhitung murid ke
lima dan kepandaiannya tidak kalah jauh oleh Kwa Siang atau Lai
Tek.
Semenjak mendapat keterangan bahwa suheng yang inilah
pembunuh ayah bundanya, diam-diam Kong Ji mencari ketika untuk
membalas dendam. Akan tetapi tentu saja amat sukar baginya,
karena selain ia kalah jauh dalam hal kepandaian silat, juga tak
mungkin ia membunuh suheng sendiri di Im-yang-bu-pai. Kini
setelah suhunya pulang dan ia mendapat kepercayaan tidur di
dalam kamar suhunya, diam-diam otaknya yang penuh akal itu
bekerja.
Pada siang hari diam-diam ia menemui Sin-chin Thio Seng dan
mengajaknya bercakap-cakap.
"Ngo-suheng (Kakak Seperguruan Lima), setiap malam aku
merasa ngeri tidur di kamar Suhu," katanya perlahan setelah
mereka bercakap-cakap agak lama dan suasana sudah hangat dan
ramah-tamah.
Thio Seng memandangnya heran. "Eh mengapa, Sute? Apakah
Suhu suka mengigau? Ataukah dengkurnya terlalu keras?"
142
Kong Ji tersenyum, menggelengkan kepala. "Bukan demikian,
yang membikin aku merasa ngeri adalah... Pak-kek Sin-kiam
itulah...." Anak ini sengaja memperlihatkan sikap ketakutan.
Sin-chio Thio Seng tertarik sekali. Kalau tidak dimulai oleh Kong Ji
bicara tentang pedang pusaka itu saja ia tidak akan berani,
mengingat akan larangan suhunya.
"Kenapa sih?” Ia mendesak.
"Kalau diceritakan kepadamu kau tentu tidak percaya, Suheng.
Pedang itu di waktu tengah malam buta, bisa keluar dari sarungnya
dan beterbangan seperti naga bernyala-nyala di dalam kamar...."
Kembali Kong Ji bergidik dan mukanya menjadi pucat. Inilah
kelihaian anak itu, setelah mempelajari lweekang ia dapat menahan
jalan darah yang mengalir naik ke mukanya sehingga wajahnya
menjadi pucat. Tentu saja kepandaian ini dimiliki pula oleh Thio
Seng yang sudah lihai namun pada saat itu ia mengira bahwa
sutenya benar-benar merasa ngeri dan pucat.
"Aah, mana ada kejadian seperti itu? Kau terpengaruh oleh
dongeng, Sute."
"Aku berani bersumpah, Ngo-suheng. benar-benar hal itu terjadi,
kalau kau tidak percaya, kau boleh membuktikan sendiri.”
Thio Seng makin tertarik akan tetapi tentu saja ia tidak berani
membuktikan, karena tidak ada jalan untuk dia membuktikan
peristiwa itu.
"Tak mungkin, Suhu tentu akan marah besar kalau tengah
malam buta aku datang ke kamarnya," katanya menyesal.
Sebenarnya ia pun merasa iri hati melihat suhunya demikian sayang
dan percaya kepada Kong Ji.
"Mengapa harus masuk ke kamar? Aku mau menolongmu, Ngosuheng.
kalau kau benar-benar hendak mcmbuktikan omonganku
tadi. Malam ini Suhu tentu akan tidur nyenyak, karena malam tadi
dia tidak tidur sama sekali. Nah, lewat tengah malam kau boleh
datang dan berdiri di luar jendela kamar. Aku akan membuka daun
jendela kalau pedang itu sudah beterbangaan di dalam kamar nanti
kau dapat melihat sendiri."
143
"Bagaimana kalau Suhu mengetahui aku berada di sana?"
"Tak mungkin. Suhu setelah percaya bahwa aku berada dan
menjaga di sampingnya, kalau tidur pulas sekali. Dan pula, apa
salahnya kalau kau hanya menyaksikan keanehan itu? Mungkin
Suhu sendiri kalau bangun dan melihat pedang itu beterbangan,
takkan memperhatikan hal yang lain lagi."
Karena amat tertarik, Thio Seng menyanggupi dan berjariji akan
datang dan berdiri di luar jendela menjelang tengah malam hari itu.
Kong Ji girang bukan main di dalam hatinya dan diam-diam mencaci
maki suhengnya ini, "Jahanam keparat, sekarang tibalah saatnya ku
membalas dendam atas kematian Ayah Bundaku!"
Malam hari itu, ketika suhunya hendak tidur ia berbisik,
"Suhu, malam ini harap Suhu jangan tidur." Giok Seng Cu
terkejut sekali. “Eh, mengapa? Apa yang terjadi?"
Kong Ji menjatuhkan diri
berlutut di depan suhunya.
"Mohon ampun kalau tee-cu kali
ini salah menduga, Suhu. Akan
tetapi teecu mempunyai dugaan
bahwa seorang murid Suhu
sedang merencanakan untuk
mencuri Pak-kek Sin -kiam Selain
ini...."
“Gila! Siapa dia? Hayo lekas
ceritakan!"
"Harap Suhu bersabar. Teecu
hanya menduga saja dan kalau
tidak ada buktinya tidak enaklah
kalau Suhu terburu nafsu
memanggilnya. Ada seorang murid
yang selalu bertanya tentang Pak-kek Sin-kiam, bahkan
menanyakan apakah malam hari ini Suhu akan tidur dan pada saat
apa Suhu biasanya tidur pulas. Ia bertanya pula di mana Suhu
menyimpan pedang itu, pendeknya sikapnya amat mencurigakan.
144
Oleh karena itu, harap Suhu jangan tidur dan kita lihat bersama
siapa orangnya yang akan muncul."
Giok Seng Cu marah sekali. "Baik aku akan pura-pura tidur
mendengkur dan dia yang berani datang akan kupenggal lehernya
dengan pedang ini!" Kakek itu naik ke pembaringan dan pedang
Pak-kek, Sin-kiam telah dilolos dari sarungnya dipegang olehnya.
Kong Ji menunggu dengan hati berdebar. Bagaimana kalau Thio
Seng tidak berani datang? Menjelang tengah malan Giok Seng Cu
memperkeras dengkurnya dan tiba-tiba Kong ji mendengar tindakan
kaki yang amat ringan di luar jendela kamar itu. Ia berdebar girang,
diam-diam mendekati suhunya dan menowel lengannya. Suhunya
masih mendengkur, akan tetapi membuka mata dan berkedip
kepadanya. Kong Ji berjalan ke jendela dan membuka daun jendela
itu. Di luar berdiri seorang laki-laki dan bukan lain orang itu adalah
Thio Seng.
Begitu jendela dibuka dan melihat bahwa yang datang adalah
muridnya ke lima, yakni Sin-chio Thio Seng, Giok Seng Cu tak dapat
menahan kemarahan hatinya lagi. Sambil berseru keras ia melompat
dan tubuhnya melayang melalui jendela. Memang benar pada saat
itu Thio Seng melihat pedang terbang Pedang Pak-kek Sin kiam
yang sudah terhunus dari sarungnya, mengeluarkan cahaya terang
dan kini pedang yang berada di tangan Giok Seng Cu itu seakanakan
terbang keluar jendela, dan dalam sekelap mata saja
menggelindinglah kepala Thio Seng yang sudah terbabat putus
lehernya oleh Pak-kek Sin-kiam'
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid VI
ADA saat itu tiba-tiba terdengar seruan, "Giok Seng Cu, serahkan
pedang Pak-kek Sin kiam itu kepada kami!" seruan ini disusul oleh
melayangnya lima bayangan orang yang gesit sekali dari atas
genteng.
Giok Seng Cu menggerakkan pedangnya. Sinar emas berkelebat
di antara cahaya penerangan yang keluar dari jendela kamar.
145
Terdengar suara "Trang! Trang! Trang!" dan tiga batang golok yang
dipegang oleh para penyerang itu telah terbabat menjadi dua
potong! Tiga orang ini terkejut sekali dan cepat melompat ke atas
genteng, akan tetapi yang dua orang lagi tak sempat melarikan diri
karena kembali Pak-kek Sin kiam telah digerakkan dan kini yang
terbabat bukan senjata mereka, melainkan tubuh mereka! Seorang
terbabat putus pinggangnya dan yang ke dua terbelah dadanya.
Demikian hebatnva Pak-kek Sin-kiam pedang pusaka itu.
Pada saat itu, di atas genteng terdengar sayap burung
menggelepar dan bayangan burung yang amat besar meluncur
lewat. Melihat ini tiba-tiba Giok Seng Cu memegang tangan Kong Ji,
“Lekas siapkan diri, kita pergi malam ini juga!"
Dengan cepat Giok Seng Cu mengumpulkan anak buahnya yang
sudah datang ke tempat itu. "Thio Seng hendak berkhianat dan dua
mayat ini adalah mayat musuh yang hendak merampas pedang. Aku
akan pergi bersama Kong Ji. Kalau ada orang-orang kang-ouw
datang, jangan mencari permusuhan dengan mereka. Bilang saja
aku pergi membawa pedang Pak-kek Sin-kiam, kalau tidak percaya
mereka boleh menggeledah. Akan tetapi sekali lagi, jangan
menyerang mereka, apalagi kalau ada bocah gundul membawa ular
dan burung rajawali, jangan sekali-kali mencari permusuhan dengan
mereka. Nah, urus mayat-mayat ini dan jaga perkumpulan baikbaik.
Untuk sentara, Lai Tek boleh memimpin saudara-saudaramu."
Setelah berkata demikian, Giok Seng Cu lalu menyambar tubuh
Kong Ji yang sudah membawa buntalan pakaian, dan lenyap di
dalam gelap malam. Lai Tek, Kwa Siang dan yang lain-lain tahu
bahwa tentu telah terjadi penyerangan dari luar, akan tetapi biarpun
mereka akui akan kelihaian para penyerang yang dapat menerobos
masuk tanpa diketahui oleh penjaga, sudah terbukti suhunya
menang. Mengapa sekarang suhunya melarikan diri seperti orang
ketakutan? Mereka tak menemukan jawaban, maka setelah pagi
tiba, mereka diam-diam mengurus jenazah Thio Seng dan dua
orang yang ternyata adalah orang-orang muda dengan tubuh
gagah.
-oo0mch-dewi0oo146
"Suhu dengan mudah merobohkan lima orang lawan. mengapa
takut menghadapi seekor burung?" tanya Kong Ji pada keesokan
harinya ketika suhunya mambawanya berlari jauh sekali
meninggalkan kota Lam-si di kaki Bukit Kim-san. Setelah setengah
malam Giok Seng Cu berlari cepat sambil menggendong Kong Ji.
"Anak bodoh, aku tidak takut menghadapi tokoh kang-ouw dari
manapun juga, akan tetapi kau tak tahu. Burung kim-tiauw yang
terbang di atas rumah kita malam tadi adalah milik dari Ban-beng
Sin-tong Kwan Kok Sun, bocah gundul yang seperti iblis!”
''Ban-beng Sin tong? Bocah sakti macam apakah dia, Suhu?"
"Dia benar-benar lihai, memelihara ular-ular berbisa dan burung
kim-tiauw. Akan tetapi aku tidak takut menghadapinya, yang harus
ditakuti adalah ayah bundanya, kabarnya kepandaian mereka luar
biasa tingginya."
"Suhu, kepandaian Suhu sudah menjulang setinggi langit.
Dengan Tin-san-kang dan pedang pusaka itu di tangan, siapakah
kiranya yang dapat menandingi Suhu ?"
Giok Seng Cu tertawa sambil melepaskan lelah, duduk di bawah
pohon besar, "Kong Ji, jangan kau bermimpi di tengah hari!
Kepandaian manusia tidak ada batasnya dan biarpun Gunung Thaisan
amat tinggi, masih saja ada awan dan langit di atasnya, belum
bicara tentang bulan, matahari dan bintang-bintang! Memang belum
tentu aku kalah oleh iblis tua See-thian Tok-ong ayah dari Ban-beng
Sin-tong, akan tetapi aku ngeri mendengar namanya. Dugaanmu
dahulu bahwa aku lebih mementingkan pedang Pak-kek Sin-kiam
tidak betul. Kalau saja aku bisa mendapatkan kitab yang berisi ilmu
silat dari Pak Kek Siansu dan sudah mempelajari isinya aku tak usah
berlari pergi dari ancaman siapapun juga" Kakek ini lalu
menceritakan tentang kitab peninggalan Pak Kek Siansu seperti
yang pernah ia dengar dari mendiang gurunya, yakni Pak Hong
Siansu.
"Kepandaian Pak Kek Siansu yang masih terhitung Supekku (Uwa
Guruku) sendiri itu dahulu itu terhitung di tingkat paling atas. Oleh
karena itu, siapa yang dapat menemukan kitabnya dan mewarisi
ilmu silatnya, tentu akan menjagoi dunia. Melihat betapa putera
147
See-thian Tok-ong jauh-jauh dari Tibet datang mencari kitab itu,
dapat dibayangkan betapa hebatnya kitab itu dan ajarannya. Tentu
lebih tinggi dan kepandaian See-thian Tok-ong sendiri. Sayang aku
tidak dapat menemukan kitab itu."
Kong Ji kagum bukan main. Tadinya ia mengira bahwa suhunya
adalah orang yang paling lihai, tidak tahunya masih ada See-thian
Tok-ong dan anak isterinya, bahkan kini masih ada yang lebih hebat
lagi, yakni kitab pusaka peninggalan Pak Kek Siansu. Mendengar
adanya sekian banyak orang-orang lihai di dunia Kong Ji menjadi
mengilar dan nafsunya untuk menjadi murid Giok Seng Cu agak
mendingin. Ia inginl menjadi orang yang menjagoi seluruh dunia
kang-ouw, akan tetapi cita-citanya takkan tercapai kalau ia hanya
terima menjadi murid kakek ini, pikirnya.
"Suhu apakah Pak Kek Siansu tidak meninggalkan muridmuridnya?"
tanyanya hati-hati agar suara hatinya tidak ddengar oleh
suhunya.
"Ada, Luliang Sam-lojin adalah muridnya, akan tetapi tiga orang
tua dari Luliang-san itu biarpun lihai belum mewarisi Ilmu Silat Pakkek
Sin ciang seluruhnya."
"Kalau begitu, di dunia tidak ada yang dapat mainkan Pak-kek
Sin-ciang?"
"Ada, yakni murid termuda dan Pak Kek Siansu bernama Go
Ciang Le dan disebut Hwa I Enghiong. Dia pun baru mempelajari
setengahnya lebih namun ia sudah bisa menjagoi dunia kang-ouw
sampai bertahun-tahun."
"Apakah dia lebih lihai dan See-thian Tok-ong?"
"Mungkin, dahulupun ilmu silatnya sudah hebat sekali. Hayo kita
lanjutkan perjalanan." kata Giok Seng Cu dan kini tidak
menggendong Kong Ji lagi karena merasa bahwa ia sudah jauh
meninggalkan orang-orang yang mengejarnya.
Kong Ji makin kagum. Tak disangkanya bahwa di atas See-thian
Tok-ong masih ada Go Ciang Le yang dipuji-puji gurunya, padahal
Go Ciang Le mempelajari setengahnya dari Ilmu Pak-kek Sin-ciang!
Alangkah beruntungnya kalau dia bisa mempelajari ilmu silat itu.
148
Sepekan kemudian mereka tiba di sebuah kota kecil dan Giok
Seng Cu mengajak Kong Ji bermalam dalam sebuah hotel. Mereka
lelah sekali karena melakukan perjalanan jauh siang malam jarang
beristirahat. Dalam perjalanan ini, Giok Seng Cu selalu berlaku hatihati
juga ketika bermalam di hotel. Ia tidur bergantian dengan
muridnya.
Menjelang tengah malam, telinga Kong Ji yang sudah tajam
pendengarannya, tiba-tiba menangkap suara tindakan kaki di atas
genteng. Ia cepat menggoyang-goyang tubuh suhunya, akan tetapi
ternyata Giok Seng Cu juga sudah bangun dan menaruh jari tangan
di depan mulut.
"Shh, sejak tadi aku sudah mendengar," bisik kakek ini. Kong Ji
menjadi merah mukanya. Dia baru saja mendengar akan tetapi
suhunya sudah sejak tadi tahu bahwa ada orang datang di atas
genteng hotel.
Mereka diam tak bergerak, menahan napas dan memasang
telinga. Di atas genteng terdengar gerakan kaki tiga orang dan
gerakan itu amat lincah dan ringan tanda bahwa orang-orang itu
memiliki kepandaian tinggi sekali. Yang terdengar hanya gerakan
antara sepatu dan genteng kalau orang-orang itu tidak bersepatu,
tentu takkan mengeluarkan suara sedikit pun juga.
Terdengar bisik-bisik di atas genteng. Kong Ji tak dapat
mendengar jelas, akan tapi Giok Seng Cu segera tertawa bergelak,
"Tua bangka-tua bangka dari Bu-tong, Go-bi dan Teng-san,
kalian benar-benar tak tahu malu. Malam-malam seperti maling
datang di sini mau apakah?" bentaknya sambil melompat bangun
dengan Pak-kek Sin-kiam di tangan.
Tadinya Giok Seng Cu bersangsi dan amat gelisah karena
mengira bahwa yang datang adalah See-thian Tok-ong, akan tetapi
setelah mendengar bisik-bisik mereka dan tahu bahwa yang datang
adalah Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai, Kian Hok Taisu ketua Go-bi
dan Pang Soan Tojin ketua Teng-san-pai, ia memandang rendah
dan berani menegur mereka.
149
Setelah mengeluarkan kata-kata itu, Giok Seng Cu melompat
keluar dari kamarnya dan terus berlari keluar hotel. Kong ji
mengikutinya dari belakang.
Di luar hotel, di bawah penerangan lampu di depan pintu
pekarangan hotel berdiri tiga orang kakek. Seorang tojin tinggi
kurus berjenggot panjang, yakni Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai,
seorang hwesio tinggi besar ketua Go-bi-pai yang bernama Kian Hok
Taisu dan orang ke tiga adalah Pang Soan Tojin, tosu jenggot
pendek bertubuh gemuk, ketua Teng-san-pai.
Kian Hok Taisu ketua Go-bi-pai menjura kepada Giok Seng Cu.
"Toyu (sahabat), kami datang hanya untuk bertanya secara
terang-terang kepadamu tentang kitab Pak-kek Sin ciang-pit-kip."
Giok Seng Cu mengeluarkan senyuman menyeringai. "Siapa yang
tahu tentang kitab itu? Kalau kalian datang hendak merampas
pedang, boleh kalian coba. Ini dia pedangnva sudah kupegang!"
Mendengar tantangan ini, tiga ciangbunjin (ketua partai besar)
menjadi merah mukanya. "Giok Seng Cu, kau sombong," kata Pang
Soan Tojin. "Kami tidak begitu tertarik oleh pedang, di tempat kami
sendiri sudah banyak. Yang membuat kami datang ini adalah untuk
bertanya apakah benar-benar kau tidak mendapatkan kitab itu
ketika naik ke puncak Luliang-san?"
"Aku tidak mendapatkan kitab itu. Nah, kau percaya atau tidak
bukan urusanku, akan tetapi aku tidak sudi kalian minta aku
bersumpah. Habis kalian mau apa?" Giok Seng Cu tetap bersikap
menantang.
“Nanti dulu, Toyu," kata Kian Hok Taisu yang lebih sabar, "Kami
sama sekali tidak bermaksud bermusuhan denganmu. Kalau betul
kau tidak mendapatkan kitab itu, marilah kita berempat membawa
pedangmu itu kembali ke Luliang-san. Hanya dengan pedang itu
kiranya kita akan dapat menemukan kitab peninggalan Pak Kek
Siansu Locianpwe."
Giok Seng Cu mengerutkan kening. "Omongan apa ini? Mengapa
harus membawa pedang ini untuk mendapatkan kitab itu?"
150
Kian Hok Taisu menarik napas panjang. "Kabar tentang pedang
dan kitab amat bersimpang siur. Boleh jadi sekarang apa yang kami
dengar berbeda dengan apa yang kaudengar, Giok Seng Cu. Akan
tetapi kami mendengar bahwa pedang dan kitab itu tak pernah
berpisah. Sekarang pedang sudah di tanganmu, untuk mencari
kitab, sebaiknya kau bersama kami membawa pedang itu naik
kembali ke puncak Luliang-san."
Giok Seng Cu berpikir sejenak, kemudian berkata, "Pedang sudah
di tanganku, yang berhak mencari dan mendapatkan kitab hanya
aku seorang. Andaikata kita berempat naik ke sana kemudian kitab
itu kita dapatkan, siapakah yang akan berhak memiliki kitab itu?"
Tiga orang kakek itu saling pandang dengan tersenyum, lalu
dengan suara tegas Kian Hok Taisu berkata. "Tentu saja akan kita
bakar musnah sesuai dengan rencana tokoh-tokoh kang-ouw dan
ketua-ketua partai persilatan besar."
'Gila...!" Giok Seng Cu membentak marah. "Apakah kalian sudah
gila? Semua orang mencari dan memperebutkan kitab itu dan kalian
hendak membakarnya kalau dapat menemukannya?”
Kian Hok Taisu mengangguk. "Pak Kek Siansu adalah seorang
tokoh besar yang budiman dan seorang guru besar yang patut
dihormati dan patut dijadikan locianpwe yang nomor satu di dunia.
Ilmunya yang terdapat dalam kitab itu amat tinggi dan memang
tepat kalau dimiliki oleh seorang gagah seperti Pak Kek Siansu. Akan
tetapi siapa berani tanggung kalau ilmu itu terjatuh ke dalam tangan
orang yang tidak cocok? Bagaimana kalau kepandaian itu terjatuh
ke dalam tangan yang berwatak jahat? Bukankah itu hanya akan
menimbulkan kekacauan dan akhirnya akan memusingkan kami
semua?"
"Gila...! Aku tidak setuju. Kitab kelak pasti akan terjatuh ke dalam
tanganku, seperti halnya pedang ini,” kata Giok Seng Cu.
Diantara tiga orang kakek itu, paling berangasan wataknya
adalah Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai. Mendengar ini lalu
mengeluarkan suara di hidung berkata, "Lebih celaka lagi kalau
jatuh ke dalam tanganmu." Biarpun kata-kata ini sangat singkat
saja, namun mendengar ucapan yang tadi dikatakan oleh Kian Hok
151
Taisu, sama halnya dengan memaki Giok Seng Cu sebagai seorang
jahat yang berbahaya!
Naik darah Giok Seng Cu mendengar itu. “Ini pedangku, dan
akulah yang berhak membawanya ke mana saja. Aku tidak mau ikut
kalian ke Luliang-san habis kau mau apa?"
Kian Hok Taisu melangkah maju "Kalau begitu, berlakulah baik
kepada kami, memandang persahabatan lama. Toyu, Berilah kami
pinjam Pak-kek Sin-kiam itu untuk sementara waktu, kami
bersumpah bahwa pedang ini pasti akan kami kembalikan apabila
kami sudah berhasil membasmi kitab peninggalan Pak Kek Siansu."
"Ha-ha-ha, enak saja kau bicara, Kian Hok Taisu. Mulut manusia
bisa didengar, akan tetapi siapakah yang bisa mendengar suara hati
manusia? Sedangkan biasanya, suara mulut dan hati selalu
bertentangan! Tidak, pedang ini adalah milikku, siapapun juga tidak
boleh pinjam." Sambil berkata demikian Giok Seng Cu
menyarungkan pedang itu kembali di balik bajunya yang lebar.
"Giok Seng Cu, kau sendiri merampas pedang itu dari tangan
Ban-beng Sin-tong secara curang" teriak Pang Soan Tojin.
Sinar mata Giok Seng Cu penuh ancaman dan sindiran. "Habis
kau mau apa" Kalau kau mampu merampas dari tanganku, baik
dengan jalan curang atau tidak, kau boleh coba-coba"
"Kau menantang?"
Sambil berkata demikian, Pang Soan Tojin lalu bergerak
memukul, ke arah dada Giok Seng Cu.
Giok Seng Cu tidak inengelak, sebaliknya lalu menangkis sambil
mengerahkan tenaganya. Dua lengan yang kuat bertemu dan Pang
Soan Tojin terhuyung-huyung tiga tindak ke belakang.
"Ha, ha, tidak berapa berat tenagamu!" Giok Seng Cu mengejek
dan cepat seperti kilat ia mengirim pukulan dengan tubuh hampir
berjongkok. Inilah ilmu pukulan dengan tenaga Tin-san-kang yang
hebat!
152
Sebagai ahli-ahli silat tinggi, Bu Kek Siansu dan Kian Hok Taisu
maklum akan hebatnya serangan ini, maka keduanya sambil berseru
keras maju menangkis untuk menolong Pang Soan Tojin.
"Duk...!" Sepasang lengan Giok Seng Cu yang dipukulkan
tertangkis oleh ketua Bu-tong dan ketua Go-bi dan akibatnya Bu Kek
Siansu dan Kian Hok Taisu terjengkang hampir roboh. Baiknya
mereka telah memiliki tenaga lweekang yang tinggi, kalau tidak
mereka tentu akan mendenta luka atau tulang lengan mereka akan
sakit dan dingin sekali, maka cepat-cepat mereka menggunakan
tangan kiri untuk mengurut pangkal lengan ini membereskan jalan
darah masing-masing.
"Lihai sekali..." kata Pang Soan Tojin pucat. Baru sekarang tiga
orang tokoh ini mengenal Tin-san-kang dan tahu bahwa kepandaian
Giok Seng Cu masih lebih tiggi daripada mereka. Maka ketiganya
cepat mengeluarkan senjata masing-masing. Pang Soan Tojin
mengeluarkan sebuah pian baja, Bu Kek Siansu mengeluarkan
sebatang pedang yang dipegang tangan kiri sedangkan Kian Hok
Taisu mengeluarkan sepasang senjata kaitan.
"Ha. ha, ha! Hendak mengadu senjata? Bagus. majulah!" Giok
Seng Cu menantang tanpa mengeluarkan senjata.
Tiga orang ketua partai besar itu maju menubruk dan
menggerakkan senjata mereka yang lihai. Tiba-tiba berkelebat sinar
keemasan dan terdengar suara keras. Tahu-tahu sebuah pian baja
dan sebuah senjata kaitan terbabat putus sedangkan Bu Kek Siansu
sendiri kalau tidak cepat-cepat menarik kembali pedangnya, tentu
akan terbabat putus pula pedangnya oleh pedang Pak-kek Sin-kiam
yang dengan cepat sekali telah dikeluarkan oleh Giok Seng Cu dan
digerakkan sekaligus membabat senjata- senjata lawan!
Bukan main kagetnya tiga orang kakek itu. Dalam ilmu silat,
mungkin mereka tidak kalah jauh oleh Giok Seng Cu dan dengan
melakukan pengeroyokan mereka tentu akan menang. Akan tetapi
tanpa senjata, amat berbahaya menghadapi ketua Im-yang-bu-pai
yang memiliki tenaga Tin-san-kang yang ganas itu, sedangkan
dengan senjata juga payah menghadapi pedang Pak-kek Sin kiam
yang ampuh sekali. Mereka berseru dan sekali berkelebat tiga orang
kakek itu melarikan diri, lenyap ditelan gelap malam.
153
Giok Seng Cu tertawa berkakakan lalu membetot dengan tangan
Kong Ji dan pada saat itu juga ia kabur pergi meninggalkan hotel
itu. Ia tidak takut akan datangnya lawan-lawannya, hanya ia merasa
khawatir kalau-kalau tersusul oleh Ban-beng Sin-tong dan ularularnya
apalagi kalau ayah bunda anak iblis itu datang!
Suhu, Tin-san-kang dan Pak-kek Sin-kiam hebat sekali...." Kong
Ji mecmuji suhunya setelah mereka pergi jauh.
Giok Seng Cu menarik tangan Kong Ji dan berkata.
“Muridku, kau sekarang menghadapi tugas berat. Kau tidak boleh
ikut dengan aku, karena ada pekerjaan yang harus kau lakukan. Kau
dengar tadi bahwa para tokoh kang-ouw dengan mati-matian
mencari kitab peninggalan Pak Kek Siansu. Kalau mereka merampas
dan memilikinya saja masih tidak apa, aku dapat mencoba
merampasnya kembali. Akan tetapi celakalah kalau sampai mereka
membakarnya. Karena itu, kau harus kembali ke Lam-si. Kau
membawa suratku dan mulai saat ini kaulah yang mewakili aku
memimpin kawan-kawan lm-yang-bu-pai."
"Akan tetapi, Suhu, kepandaianku masih amat rendah ..... "
"Tidak apa-apa, bukankah ada aku di belakangmu? Selama aku
masih hidup, siapa yang berani membantahmu?"
"Biarpun demikian, sedikitnya Suhu harus menurunkan Tin-sankang
ke teecu agar teecu tidak malu untuk mewakili Suhu."
Giok Seng Cu tersenyum. "Bocah tolol. Kau kira gampang saja
memiliki Tin-san-kang? Kau harus melatih diri sampai bertahuntahun.
itu pun kalau kuat."
"Tidak apa, Suhu. Biarlah teecu mempelajari kauw-koat (teori)
saja dulu, perlahan-lahan teecu akan melatih diri."
"Baiklah, baiklah. Sebentar kau akan kuajar kauw-koatnya.
Sekarang dengarlah pesanku dan perhatikan baik-baik. Orang-orang
kangouw berusaha mendapatkan kitab itu. Aku tidak dapat keluar
karena See-thian Tok-ong tentu mencariku untuk merampas pedang
ini. Maka aku akan bertapa di Lembah Maut.
"Lembah Maut? Di manakah itu, Suhu?"
154
"Lembah Maut yang kumaksudkan berada di lembah Sungai Weiho
di barat kota Sian, di kaki Gunung Cin-leng-san. Adapun kau
kembali ke Lam-si, kumpulkan kawan-kawan dan suruh mereka
menyelidiki ke Luliang-san. Suruh kedua Suhengmu, Thian-te Siang
tung Kwa Siang dan Siang-mo-kiam Lai Tek untuk memimpin
kawan-kawan ke Luliang-san. Syukur kalau kalian dapat mencari
sendiri kitab peninggalan Pak-kek Siansu, kalau sampai terdapat
oleh tokoh kang-ouw, rampas saja. Kemudian setelah berhasil, bawa
kitab itu kepadaku di kaki Gunung Cin-leng-san di Lembah Maut.
Mengerti?”
"Baik, Suhu. Teecu mengerti." Kong Ji lalu mengulang pesan
suhunya ini dengan cermat sehingga Giok Seng Cu menjadi puas.
"Awas, di antara semua murid lm-yang bu-pai kalau sampai
berani mengkhianatiku dan tidak menjalankan perintah, aku akan
datang menghancurkan kepalanya. termasuk kau, Kong Ji"
Kong Ji berlutut, "Mana berani tee-cu mengkhianati Suhu? Teecu
bahkan akan membela dengan selembar nyawa teecu agar cita-cita
Suhu ini tercapai."
"Bagus sekali, muridku. Memang, terus terang saja kunyatakan
kepadamu bahwa apabila kitab itu sudah terdapat olehku, kelak
kaulah orang yang akan mewarisi pedang dan isi kitab. Aku sudah
tua dan hanya kau muridku yang akan menjadi ahli warisku dan
menjagoi di dunia kang-ouw. Nah, sekarang perhatikan baik-baik
Ilmu Silat Tin-san kang yang hendak kuajarkan kauw-koatnya
padamu."
Di dalam hutan itu Kong Ji mendengarkan ajaran suhunya.
Otaknya memang cerdik luar biasa sehingga seluruh teori Tin-sankang
dapat dihafalkan baik baik diluar kepala dalam waktu dua hari!
Kemudian gurunya bersilat memperguna Tin-san-kang, juga
gerakan-gerakan untuk memudahkan latihannya, dapat dihafalkan
dalam waktu sehari. Tentu saja kalau ia yang bersilat tenaga Tinsan-
kang belum timbul, hal ini membutuhkan latihan lweekang yang
lama.
Gtok Seng Cu puas sekali, lalu membuat surat yang menyatakan
bahwa selama ia tidak ada, maka mengangkat Ko Ji menjadi
155
wakilnya di Im-yang-bu-pai sehingga boleh dibilang Kong Ji yang
masih kecil itu diangkat menjadi ketua sementara! Setelah
menerima pesanan- pesanan suhunya, Kong ji dengan hati girang
lalu meninggalkan suhunya, pulang ke Lam-si.
Thian-te Siang tung Kwa Siang, Siang-mo-kiam Lam Tek dan
yang lain-lain menyambut kedatangan Kong ji dengan gembira
karena mendengar bahwa suhu mereka selamat, akan tetapi diamdiam
kedua tokoh ini mendongkol juga melihat bahwa suhu mereka
lebih percaya kepada Kong Ji daripada kepada mereka sehingga
mengangkat anak itu menjadi wakil ketua. Akan tetapi, mereka
tentu saja tidak berani membantah kehendak suhu mereka dan
beramai-ramai mereka menjura tanda menghormat kepada Kong Ji.
Tentu saja anak itu menjadi girang bukan main.
"Sebelum aku menyampaikan pesan dari Suhu, lebih dulu aku
ingin tahu apakah yang telah terjadi semenjak Suhu pergi," tanya
Kong Ji kepada Lai Tek, dengan lagak seorang atasan bertanya
kepada bawahannya.
Lai Tek terpaksa menceritakan bahwa ada beberapa tokoh kangouw
yang datang, akan tetapi sesuai dengan nasehat Giok Seng Cu,
mereka tidak mencari permusuhan dengan orang-orang kang-ouw
itu bahkan memberi kesempatan kepada mereka untuk melakukan
penggeledahan, kemudian orang-orang kang-ouw itu pergi lagi
tanpa terjadi sesuatu keributan.
"Bagus, dengan demikian untuk sementara waktu kita aman,"
kata Kong Ji. "Akan tetapi kita tidak boleh tinggal diam. Mereka itu
semua berdaya mencari kitab peninggalan Pak Kek Siansu, dan
menurut pesan Suhu, kita pun harus mencari kitab itu mendahului
mereka." Anak ini lalu menceritakan semua pesanan suhunya yang
didengarkan dengan penuh perhatian oleh para anggauta Im-yang
bu pai. Kong Ji berulang-ulang menekankan ancaman Giok Seng Cu
kepada mereka yang berkhianat dan tidak menurut kepadanya
sehingga semua anak murid, termasuk Lai Tek, menjadi gentar dan
biarpun mendongkol terhadap Kong Ji, mereka tidak berani
menyatakannya berhadapan.
156
"Kalau begitu biarlah aku dan Kwan Jiwi memimpin saudarasaudara
kita pergi ke Luliang-san untuk mencari kitab itu," kata Lai
Tek menyatakan usulnya.
Akan tetapi Kong Ji menggeleng-geleng kepalanya, "Tidak Twasuheng.
Tidak demikian caranya mendapatkan kitab rahasia itu." Lai
Tek dan semua orang memandang kepada anak itu dengan heran
dan juga tak mengerti. Anak sakecil ini menjadikan pemimpin partai
demikian besar. Ah, celaka, salah-salah samua bisa kacau-balau,
pikir mereka.
"Sute, bagaimana pendapatmu?” tanya Lai Tek. Di antara mereka
semua hanya Lai Tek dan Kwa Siang saja yang berani menyebut
sute kepada Kong Ji. Yang lain-lain, biarpun Kong Ji terhitung
saudara muda seperguruan, menyiebutnya Siauw-pangcu (ketua
kecil).
"Begini, kita harus menyebar beberapa orang kawan dan mereka
ini harus mendesas-desuskan di luaran bahwa Suhu tidak saja
mendapatkan pedang Pak-kek Sin-kiam, akan tetapi diam-diam juga
telah mendapatkan kitab peninggalan Pak Kek Siansu."
Tiba-tiba Kwa Siang bangkit berdiri dan mengeluarkan sepasang
tongkatnya:
"Sute, kau hendak mengkhianati Suhu?" bentaknya.
Kong Ji tersenyum dan memandang rendah. "Ji suheng, apakah
kau hendak membantah pesan Suhu bahwa kau harus tunduk
kepada perintahku? Kau ingat akan ancaman Suhu?"
Kwa Siang menjadi pucat. Ia kalah gertak dan duduk kembali.
"Akan tetapi kau.... usulmu ini...?
"Tenang dan dengarkan baik-baik. Aku sama sekali tidak
mengkhianati Suhu. Pertama, karena sesungguhnya Suhu tidak
mendapatkan kitab itu, ke dua, karena selain aku, tidak ada orang
lain yang mengetahui dimana tempat Suhu bersembunyi. Aku
sengaja hendak menyebarkan berita ini sehingga tokoh-tokoh
kangouw tidak ribut mencari kitab di atas puncak Luliang-san, akan
tetapi perhatiannya terpecah dan kini mereka mencari Suhu yang
tidak mereka ketahui tempatnya! Dengan akal ini, bukanlah kita
157
akan lebih mudah mencari kitab itu di Luliang-san, tanpa ada
saingannya?"
Semua orang melongo. Benar-benar seperti siluman anak ini,
pikir Lai Tek. Bagaimana seorang bocah belasan tahun mempunyai
siasat yang demikian lihai? Memang tepat sekali siasat ini. Kalau
semua tokoh kang-ouw, apalagi See-tin Tok-ong, ikut mencari ke
Luliangan tentu pihak lm-yang-bu-pai akan menghadapi saingan
hebat dan sukarlah mendapatkan kitab itu. Andaikata terdapat oleh
tokoh lain lalu mereka merampas, juga hal ini bukan pekerjaan
mudah, karena tokoh yang berhasil mendapatkan kitab tentulah
seorang yang berkepandaian amat tinggi.
“Kau memang benar, Sute. Baiklah dan Sute Kwa Siang
menjalankan tugas menyebar berita palsu ini," katanya.
Kembali Kong Ji menggelengkan kepala menyatakan tidak setuju.
"Keliru, Twa-suheng. Kau keliru. Kalau kau dan Ji-suheng yang
keluar mengabarkan berita ini, para tokoh kang-ouw pasti takkan
percaya. Bahkan kau dan Ji-suheng yang menjadi tokoh-tokoh
utama di Im-yang-bu-pai, akan menimbulkan kecurigaan mereka
dan tentu mereka akan mengira bahwa ini hanya siasat belaka. Hal
ini amat berbahaya. Lebih baik menyuruh kawan-kawan tingkat
rendah sehingga para tokoh kang-ou mengira bahwa mereka itu
bocor mulut.
Kembali semua orang kagum sekali. Pantas saja Giok Seng Cu
memberi kekuasaan kepada anak ini untuk memimpin Im-yang-bupai
karena memang otaknya cerdik luar biasa.
Namun, seorang di antara para murid Im-yang-bu-pai yang
bernama Sio Cin, menjadi penasaran dan marah sekali. Ia tidak
percaya bahwa bocah kecil ini mampu menjalankan kemudi
perkumpulan mereka yang demikian besar dan berpengaruh. Tibatiba
ia melompat berdiri dan berkata,
"Aku Siong Cin hanya menduduki tingkat ke delapan, akan tetapi
kiranya kepandaianku tidak akan kalah oleh Lui Kong Ji Sute yang
masih bocah. Apakah - kita semua kaum tua bangka yang sudah
kenyang makan asam garam dunia harus menuruti segala ocehan
seorang bocah yang masih hijau? Hm, bagaimana kalau orang158
orang kang-ouw mendengar tentang ini? Kita mesti menjadi buah
tertawaan belaka"
"Siong-suheng apakah kata-katamu ini berarti bahwa kau hendak
mengingkari perintah Suhu?" tanya Kong Ji dan sepasang matanya
bercahaya.
"Sudah bertahun-tahun aku ikut Suhu dan selalu setia. Aku sudah
membuktikan bahwa aku seorang Im-yang-bu-pai tulen, setia lahir
batin dan siap sedia mengorbankan nyawa demi kebaikan
perkumpulan kita. Akan tetapi kau ini siapakah? Baru juga setahun
lebih berada disini. Kepandaian apa yang kauandalkan sehingga kau
berani menerima menjadi wakil ketua Im-yang-be-pai? Bagaimana
kalau ada musuh datang? Kiraku kau akan bersembunyi terlebih
dulu. Ha, ha, ha!"
Merah wajah Kong Ji. Ia melompat turun dari bangkunya,
memandang tajam kepada Siong Cin.
"Begitu anggapmu, ya? Siong-suheng, tahukah kau kepandaian
apa yang paling hebat dari Suhu?"
"Tentu saja aku tahu. Baru saja Sughu mendapatkan Ilmu
Pukulan Tin-san-kang. Kiraku melihat saja kau pun belum
pernah...!"
"Hm, tua bangka bodoh. Kaulihat baik-baik, kenalkah kau ini...??"
Setelah berkata demikian, Kong Ji menggerakkan tubuhnya yang
berputar-putar sebentar di atas tumitnya. kemudian tubuhnya itu
hampir berjongkok dan kedua tangannya mendorong ke depan, ke
arah Siong Cin sambil mengeluarkan seru "haaaiii...!"
Siong Cin adalah murid Giok Seng dan kepandaiannya sudah
tinggi, biarpun tidak selihai Lai Tek atau Kwa Siang, namun jarang
ada orang dapat menang darinya. Kini dengan mata terbelalak
melihat gerakan sutenya yang kecil dan tahu-tahu ia merasa
dadanya terdorong hebat sekali. Ia mengerahkan tenaga dan
mencoba menerima tenaga ini, namun ia tidak kuat dan roboh
terjengkang! Inilah pukulan Tin san-kang, gerakan ke tujuh. Kong Ji
memang cerdik sekali!. Setelah halal akan kauw-koat (teori) Ilmu
Silat Tin-san-kang, disepanjang jalan ia melatih diri terus menerus
pada bagiaan ke tujuh ini, bagian yang dianggap paling mudah.
159
Oleh karena itu, ia mendapatkan hasil dan apabila mainkan jurus ke
tujuh ini, ia telah dapat mengeluarkan tenaga Tin-san-kang,
walaupun tentu saja belum hebat. Namun cukup kuat untuk
merobohkan seorang seperti Siong Cin.
Bukan main kagetnya semua orang, terutama sekali Lai Tek dan
Kwa Siang. Mereka sendiri belum pernah diberi pelajaran Tin-sankang,
namun mereka sudah tahu bahwa gerakan tadi benar-benar
ilmu Tin-san-kang dari suhu mereka. Biarpun tenaga pukulan Kong
Ji belum hebat, masih kalah jauh lweekangnya dengan mereka,
namun mereka harus akui bahwa mereka tidak dapat melakukan
gerakan tadi dan tidak dapat memiliki atau membangunkan tenaga
Tin-san-kang.
"Itulah Tin-sang-kang...!" Lai Tek berkata kagum.
Siong Cm merangkak bangun. Baiknya tenaga dari Kong Ji masih
belum hebat, sehingga ia hanya terdorong dan roboh terjengkang
saja, tidak sampai mengalami luka di dalam dadanya. Akan tetapi
wajahnya menjadi pucat sekali keringat dingin mengalir dari
dahinya.
"Maaf, Siauw-pangcu. Mataku seperti buta. Biarpun masih kecil,
ternyata kau patut sekali menjadi ketua mewakili Suhu," katanya
sambil duduk kembali, tidak berani berkutik lagi.
Kong Ji tersenyum lalu duduk kembali "Masih baik aku
mengetahui bahwa bukan maksudmu mengkhianati Suhu, kalau
tidak, aku tadi dapat mempergunakan seluruh tenagaku dan kiranya
kau tak kan hidup lagi." Kata-kata ini tentu saja bohong belaka,
karena tadi ia sudah mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi
tak seorang pun mengetahui dan semua orang memandangnya
makin kagum. Benar-benar lucu sekali, para anggauta pengurus
yang rata-rata sudah berusia empat puluh tahun ke atas itu
sekarang tunduk terhadap bocah berusia tiga belas tahun!
"Nah, sekarang harap lekas-lekas bersiap-siap. Aku tugaskan
Siong Cin Suheng dan empat orang kawan lain untuk menyiarkan
berita bohong itu, kemudian kita menanti sampai sebulan barulah
kita mencari kitab di Luliang-san. Untuk tugas ini, aku sendiri
160
bersama Twa-suheng dan Ji-suheng akan berangkat ke Luliangsan."
Kim tak ada yang berani membantah dan Siong Cin segera
berangkat mengajak empat orang saudaranya.
-oo0mch-dewi0oo-
Sambil menanti hasil daripada siasatnya Kong Ji tidak membuang
waktu secara sia-sia. Ia melatih diri dengan Ilmu Pukulan Tin-sankang,
dan tentu saja bocah yang cerdik ini melatih diri di tempat
yang tersembunyi agar jangan ada lain orang dapat melihatnya.
Berkat keuletan, dan ketekunannya, dalam beberapa hari saja ia
telah memperoleh kemajuan yang pesat. Ia melatih ilmu pukulan ini
sejurus demi sejurus, tidak meningkat kepada yang lain jurus
sebelum yang sejurus itu baik betul gerakannya. Juga ia dengan
rajin melatih lweekangnya agar dapat segera memiliki sinkang
sehingga dapat melakukan pukulan Tin-san-kang sebaiknya.
Kong Ji maklum akan kehebatan ilmu pukulan ini, buktinya baru
saja mempelajari sejurus, dan jarak setombak lebih ia telah berhasil
merobohkan Siong Cin. Padahal kalau ia bertanding silat dengan
suhengnya itu, belum tentu ia dapat bertahan dua puluh jurus!
Maka ia berlatih dengan amat rajin tak kenal lelah.
Berita bohong sebagai siasat yang di sebarkan oleh Siong Cin dan
kawan-kawannya, ternyata berhasil baik sekali sebagaimana
diperhitungkan oleh Kong Ji. Para tokoh kang-ouw yang tadinya
masih ubek-ubekan mencari di sekitar Luliangsan, kini menujukan
perhatiannya kepada Giok Seng Cu. Mereka tahu bahwa ketua Imyang-
bu-pai ini tidak berada di sarangnya, maka mereka mulai
mencari tempat persembunyian kakek ini. Akan tetapi siapakah yang
mengira bahwa Seng Cu bersembunyi di Lembah Maut, sebuah
tempat yang kabarnya menjadi tempat tinggal siluman dan iblis
belaka. Jarang ada orang berani masuk ke lembah karena andaikata
berhasil masuk, belum tentu dapat keluar kembali dengan tubuh
masih bernyawa.
161
Tempat itu menjadi sarang dari binatang buas dan ular-ular serta
binatang berbisa yang lain, belum terhitung rawa-rawa beracun dan
jurang-jurang dalam yang berbahaya sekali.
Kurang lebih sebulan setelah berita itu tersiar luas, Kong Ji
dengan gembira dan bangga mendapat berita dari penyelidiknya
bahwa kini Luliang-san telah kosong ditinggalkan oleh para tokoh
yang hendak mencari kitab rahasia. Ia telah bersiap-siap dengan Lai
Tek dan Kwa Siang untuk segera berangkat ke bukit itu.
Akan tetapi, pagi-pagi hari sebelum ia berangkat, terjadilah
peristiwa hebat sekali. Pada pagi hari itu, seperti biasa para
anggauta Im-yang-bu-pai siap sedia menjalankan tugas masingmasing.
Mereka ini memang masing-masing mempunyai pekerjaan,
ada yang menjadi piaw-su (pengawal barang antaran), ada yang
menjadi pegawai, ada pula yang mengurus kelenteng dan
sebagainya. Nama Im-yang-bu-pai sudah amat terkenal, maka
untuk menjaga keselamatan harta benda dan nyawa, banyak kaum
hartawan mempekerjakan anggauta Im-yang-bu-pai, biarpun
dengan bayaran tinggi.
Matahari belum kelihatan, namun sinarnya telah mengusir embun
pagi. Keadaan di luar Im-yang-bu-pai masih sunyi. Bahkan jalanjalan
di kota Lam-si masih sepi. Rumah dan toko-toko masih belum
membuka pintu. Dari jauh terdengar suara anjing menggonggong
riuh-rendah, akan tetapi tiba-tiba suara anjing itu berhenti dan
lenyap, seakan-akan leher anjing-anjing itu dicekik. Dan kalau
kiranya ada orang yang datang di tempat anjing-anjing itu
menggonggong, yakni pintu gapura kota, orang itu tentu akan
ketakutan setengah mati melihat beberapa ekor anjing menggeletak
di jalan dengan tubuh hitam seluruhnya dan sudah mati.
Pagi hari itu memang terjadi hal yang paling aneh dan
mengerikan sekali. Seorang penduduk kota yang bangun terlalu
pagi, keluar dari rumah hendak mengeluarkan kuda yang
kandangnya berada di belakang rumahnya. Tiba-tiba ia mendengar
suara menggeleparnya sayap burung yang keras sekali. Ketika ia
menengok ke atas, ia menjadi pucat melihat seekor burung rajawali
besar sekali melayang di atasnya. Yang membikin ia ketakutan
162
hebat adalah ketika ia melihat bahwa di atas punggung burung itu
ada seorang nenek tua yang duduk!
"Ada siluman...!" la berteriak keras. Tiba-tiba burung itu
menyambar turun dan sekali mengulur kuku, leher orang itu sudah
kena dicengkeram oleh burung rajawali, tubuhnya dibawa terbang
agak tinggi, lalu dilemparkan ke bawah. Orang itu jatuh di atas
tanah dengan leher hampir putus dan kepala pecah!
Seorang lain yang pagi-pagi menunggang kudanya hendak keluar
kota setibanya di dekat pintu gapura, terkejut sekali melihat anjinganjing
kota menggeletak tak bernyawa di tengah jalan. Ia menarik
kendali kudanya hendak melompati bangkai-bangkai anjing itu akan
tetapi tiba-tiba kudanya berjingkrak sambil mengeluarkan ringkik
ketakutan mengangkat kedua kaki depan. Tiba-tiba beberapa ekor
ular meluncur cepat menggigit kuda itu yang meringkik-ringkik lalu
roboh, berkelojotan lalu mati. Penunggang kuda itu terlempar dan
mukanya pucat sekali. Ia melihat belasan ekor ular mengeroyok
kuda itu, seakan- akan berpesta hendak menikmati daging kuda.
Orang itu melompat bangun dan hendak lari. Pada saat itu ia
melihat seorang bocah gundul memandang kepadanya dengan
menyeringai. Bocah ini biar pun sikapnya aneh, tidak begitu
menakutkan boleh dibilang bersih dan tampan akan tetapi seorang
kakek yang berdiri belakang bocah gundul itu benar-benar
membuatnya terbelalak dan tak dapat bergerak seperti patung,
hanya berdiri memandang,. Kakek ini kepalanya juga gundul seperti
botak, hidungnya panjang sekali, matanya lebar dan mulutnya
besar, kulitnya kehitaman dan yang paling menakutkan adalah sinar
matanya yang berwarna kebiruan!
Bocah gundul itu tertawa, "Ayah, ada santapan pagi yang baik
untuk siang-coa-ong (sepasang raja ular)." Kakek itu hanya
menyeringai sehingga wajahnya menjadi makin menakutkan.
Bocah gundul itu lalu mengeluarkan sesuatu dari sakunya, dan
ternyata bahwa yang dikeluarkan adalah dua ekor ular merah yang
amat kecil. Ia menggerakkan tangan, dua ekor ular itu terbang
meluncur dan tahu-tahu sudah menempel di dada penunggang kuda
tadi. Orang ini menjerit merasa dadanya sakit. Ia masih sempat
melihat dua ekor ular itu masuk ke dalam dadanya, melalui lubang
163
yang entah kapan terdapat di dadanya. Orang itu merasa sakit luar
biasa. Ia memegang dan membetot buntut ular akan tetapi tiba-tiba
ia merasa sakit yang membuat semua uratnya pecah kepalanya
pening, lalu jatuh dan nyawanya melayang pada saat dua ekor ular
itu memperebutkan jantungnya yang masih hidup'
Keadaan sunyi kembali. Bocah gundul itu dan kakek yang
menyeramkan tadi berjalan dengan tenang menuju ke rumah besar
perkumpulan Im-yang-bu-pai. Ketika mereka tiba di depan rumah
itu, dari atas melayang turun seekor burung rajawali merah yang
ditunggangi oleh nenek tadi. Sebelum burung tiba di tanah, nenek
itu sudah meloncat ke bawah dan gerakannya bahkan lebih gesit
dan ringan dan pada burung itu sendiri. Nenek ini ternyata tidak
menyeramkan. Bahkan masih jelas kelihatan bahwa dahulunya tentu
cantik molek. Hanya sekarang di dahi dan pipinya terdapat lekuklekuk
dan keriput-keriput yang membuat wajah yang cantik itu
menjadi aneh dan galak. Sepasang matanya seperti kunang-kunang,
kecil dan bergerak selalu.
Mereka inilah See-thian Tok-ong (Raja Racun dari Negara Barat),
seorang manusia iblis yang luar biasa kejamnya. Bersama isterinya
yang bernama Kwan ji Nio dan puteranya yang bernama Kwan Kok
Sun yang dalam hal keganasan tidak kalah oleh See than Tok-ong
sendiri.
See-thian Tok ong adalah tokoh besar dari dunia barat yang
melawat ke timur dan ketika ia tiba di Tibet, dengan cepat ia
menjagoi di daerah itu. Bahkan Ba Mau Hoatsu sendiri ketika
menyaksikan kelihaiannya, tidak berani turun tangan dan secara
pengecut sekali menyembah dan mengangkatnya menjadi tokoh
pertama di Tibet! Karena Ba Mau Hoatsu memang cerdik dan pandai
mengambil hati, maka begitu lama ia masih selamat, bahkan
dianggap sebagai pembantu yang baik hati oleh See-thian Tok-ong.
Dari Ba Mau Hoatsu inilah ia mengetahui keadaan Tionggoan
(pedalaman Tiongkok) serta semua hal tentang dunia kang-ouw di
Tionggoan.
Adapun isterinya yang bernama Kwan ti Nio sebenarnya adalah
seorang wanita Han. Ayah dari Kwan Ji Nio adalah seorang penjahat
besar yang dimusuhi oleh pemerintah dan tokoh-tokoh kang-ouw
164
sehingga penjahat she Kwan ini melarikan diri bersama isterinya ke
dunia barat. Di sana isterinya melahirkan anak perempuan, yakni
Kwan Ji Nio yang akhirnya menjadi isteri dari See thian Tok-ong.
Kwan Ji Nio memiliki ilmu silat yang amat tinggi pula biarpun tidak
dapat menang dari suaminya namun dalam hal ilmu ginkang
(meringankan tubuh), suaminya masih kalah olehnya! Wanita ini
sudah memiliki ilmu Tee in-ciang (Lompatan Tangga Awan)
sehingga di udara dapat menggerakkan tubuh untuk mumbul lagi
atau berganti arah lompatan. Ilmu ini hanya dapat dilakukan oleh
seorang ahli silat yang sudah tinggi sekali ginkangnya.
Pada saat ayah bunda dan anak ini tiba di pintu pekarangan
rumah perkumpulan Im-yang-bu-pai, beberapa ekor ayam telah
keluar dan berkokok sambil berkejar-kejaran di halaman itu. Tibatiba
terdengar bunyi. "Keok! Keok! Keok" dan ayam-ayam itu diam
tak bergerak lagi, menjadi makanan dua puluh ekor lebih ular-ular
beracun yang berjalan mendahului majikan mereka.
Mendengar suara ayam yang aneh ini, lima orang anggauta Im
yang bu-pai memburu keluar. Mereka menjadi pucat sekali melihat
ayam-ayam itu mati dikeroyok ular. Ketika mereka mengangkat
kepala mereka melihat tiga orang aneh memasuki pintu pekarangan.
Sebagai ahli-ahli silat tentu saja mereka tidak takut dan cepat berlari
keluar untuk menegur siapa gerangan orang-orang aneh yang
membawa ular-ular jahat itu.
"Siapa kalian? Hayo usir ular-ular jahat kalian itu dan...."
Baru saja berkata sampai di sini, See-thian Tok-ong
menggerakkan kedua tangannya berulang-ulang ke depan dan lima
orang itu roboh terjungkal tak bernapas lagi!
Lima orang anggauta Im-yang-bu-pai itu telah terkena pukulan
maut dari See-thian Tok-ong yang disebut Hek-tok ciang (Pukulan
Racun Hitam). Begitu mereka roboh, seluruh tubuh mereka menjadi
hitam dan mereka tewas pada saat itu juga, tanpa mendapat
kesempatan berteriak sama sekali.
See -thian Tok-ong dan anak isterinya berjalan perlahan, terus
maju menghampiri rumah perkumpulan Im-yang-bu-pai. Burung
rajawali merah berloncat-loncatan di belakang mereka, sedangkan
165
ular-ular yang kini sudah kenyang makan bangkai-bangkai ayam,
mulai merayap menghampiri mayat lima orang anggauta Im-yangbu-
pai itu.
Mendengar suara orang jatuh di luar, beberapa orang anggauta
Im-yang-bu-pai memburu keluar dan alangkah terkejut hati mereka
melihat lima orang kawan mereka telah tewas dengan muka hitam,
sekali, menggeletak di pekarangan dan ular-ular yang menjijikkan
merayap-rayap di sekeliling mayat-mayat itu. Mereka juga
memandang kepada tiga orang pendatang yang sikapnya tenang
itu, maka tahulah mereka bahwa yang datang adalah musuhmusuh.
Cepat mereka berlari masuk dan tak lama kemudian
gembreng tanda bahaya dipukul gencar di ruang -belakang.
Dalam sekejap mata saja, pekarangan rumah perkumpulan Imyang-
bu-pai telah penuh orang. Ada empat puluh lebih anggauta
Im-yang-bu-pai berkumpul di situ, mengurung pekarangan dan di
tangan mereka terlihat bermacam senjata.
See-thian Tok-ong dan anak isterinya tidak bergerak, hanya
berdiri di tengah pekarangan sambil tersenyum-senyum dan
memandang ke sekeliling mereka. Makin banyak anggauta Im-yangbu-
pai yang datang, makin bersinar-sinar mata mereka.
"Datanglah yang banyak! Datanglah semua jangan ada yang
ketinggalan!" berkali-kali Ban-beng Sin-tong Kwan Kok Sun berkata
perlahan.
Im-yang bu-pai adalah perkumpulan yang amat berpengaruh dan
besar serta memiliki anggauta yang ratusan orang jumlahnya. Akan
tetapi anggauta-anggauta itu tidak semua berada di Lam-si dan
pada waktu itu yang berada di situ hanya lima puluh orang lebih.
Kemudian munculiah Lui Kong Ji bersama Lai Tek Kwa Siang dan
beberapa orang pengurus Im-yang-bu-pai atau murid-murid Giok
Seng Cu. Melihat ular-ular dan burung kim-tiauw, semua pengurus
dapat menduga bahwa mereka berhadapan dengan See-thian Tokong
sehingga mereka rata-rata menjadi jerih dan wajah mereka
pucat. Hanya Kong ji seorang yang bersikap tenang dan bocah ini
bertindak maju dengan tabah sekali, bahkan berada di tempat
terdepan menghadapi See-thian Tok-ong. Hal ini tidak saja
mengagumkan para anggauta Im-yang-bu-pai, bahkan See-thian
166
Tok-ong dan isterinya juga memandang dengan kagum atas
keberanian bocah tampan itu.
"Sam-wi yang baru datang ini bukankah See-thian Tok-ong
Locianpwe bersama isteri dan putera yang terhormat? Kami dari Imyang-
bu-pai tak mengetahui lebih dulu akan kunjungan ini dan
terlambat menyambut, mohon maaf sebesarnya," kata Kong Ji.
Kwan Kok Sun cemberut, lbunya memandang dengan mata
bersinar marah, akan tetapi See-thian Tok-ong tiba-tiba tertawa
bergelak "Ha-ha-ha, alangkah lucunya mendengar kata-kata tadi
keluar dari mulut seorang bocah. Ha-ha-ha … bocah ini lucu
sekali...!"
Akan tetapi isterinya membentak sambil mendelik kepada Kong
Ji.
"Setan cilik! Mulutmu lancang sekali. Mana ketuamu? Hayo suruh
dia keluar!"
Dengan tenang Kong Ji menjura. "Mohon maaf, ketua kami tidak
ada di sini, dia sedang pergi...."
Tiba-tiba See-thlan Tok-ong yang tadi tertawa-tawa membentak
keras,
"Tutup mulutmu! Kaukira aku tidak tahu bahwa Giok Seng Cu
pergi melarian diri secara pengecut sekali? Yang kami maksudkan
adalah ketua yang menjadi pemimpin di saat ini, atau wakil dari
Giok Seng Cu." Suaranya mengancam dan wajahnya nampak bengis
sekali jauh berbeda dengan tadi ketika ia tertawa-tawa.
Namun Kong ji memiliki ketabahan luar biasa. Ia menghadap ke
arah See-hian Tok-ong dan berkata, suaranya tegas dan sedikit pun
tidak gemetar.
"Terimalah hormatku, Locianpwe. Pada saat ini, boanpwe (aku
yang rendah) yang menjadi ketua lm-yang-bu-pai menggantikan
Giok Seng Cu pangcu kami yang sedang pergi."
See-thian Tok-ong, Kwan Ji Nio dan Kwan Kok Sun tertegun.
Mereka sudah seringkali mendengar dan melihat hal yang anehaneh
di dunia kang-ouw, akan tetapi melihat seorang bocah paling
167
hanya berusia dua-tiga belas tahun mengaku menjadi ketua Imyang-
bu-pai, mereka benar-benar merasa geli, heran, aneh dan
tidak percaya.
"Jangan main gila, bocah nakal. Apakah kau sudah bosan hidup
berani mempermainkan See-thian Tok-ong?" bentak tokoh barat itu.
"Ayah, biar Ang-coa-ong mengambil jantung!" kata Kwan Kok
Sun sambil merogoh saku hendak mengeluarkan ular merah. Akan
tetapi ayahnya mencegah.
"Nanti dulu, Kok Sun. Aku hendak mendengar apakah dia benarbenar
berani membohongi kita."
Melihat keberanian Kong Ji, Lai Tek menjadi kagum sekali dan
kini ia khawaIir kalau kalau anak ini dibunuh oleh tiga orang tamu
aneh itu, maka ia lalu maju menjura.
"Saya bernama Lai Tek dan menjadi murid tertua dari Suhu Giok
Seng Cu. Memang benar bahwa anak ini adalah Siauw-pangcu kami,
menggantikan Suhu. Dia tidak membohong. Mohon Locianpwe sudi
memaafkan kalau ia terlalu berani bicara mengingat usianya yang
masih muda. Perkenankan saya mewakili Im yang-bu-pai bertanya
kepada Sam-wi apakah gerangan maksud kedatangan Sam-wi di
sini?”
Dengan matanya yang bundar, See-hian Tok-ong menyapu
semua orang yang berada di situ, kemudian mulutnya menyeringai
kejam ketika ia berkata,
"Pertama-tama, si jahanam Giok Seng Cu telah berani merampas
pedang dari tangan anakku, maka kami harus mengambil pedang
itu kembali berikut kepalanya."
Tiba, tiba suara ketawa Kong Ji menjawab kata-kata ini.
"Locianpwe," Kata Kong Ji selagi semua orang heran
memandangnya, "Boanpwe rasa Locianpwe takkan dapat
membuktikan ancaman itu."
Kembali See-thian Tok-ong melengak "Setan cilik, apa
maksudmu? Hati-hati menjaga mulutmu, kau!"
168
"Kalau Locianpwe tahu di mana adanya Suhu pada saat ini, masa
Locianpwe bertiga susah payah datang ke sini'? Di dunia, betapa
pun lihai dia, tak mungkin ada orang mengetahui di mana adanya
Suhu."
Sepasang mata See thian Tok-ong terputar-putar, kemudian ia
berkata lagi kepada Lai Tek, "tadi maksud kedatanganku yang
pertama sudah kunyatakan, adapun yang ke dua, karena ketua Imyang-
bu-pai telah berani menghina puteraku, maka hari ini Im-yangbu-
pai harus terbasmi sampai ke akar-akarnya. Kami datang untuk
membinasakan kalian semua... kecuali dia ini!" Berbareng denga
ucapan terakhir ini, tangan kirinya menyambar dan tahu-tahu Kong
Ji telah dipegang tengkuknya oleh See-thian Tok-ong. Kong Ji
merasa tubuhnya lemas seluruhnya. Percuma saja ia mencoba
untuk mengerahkan lweekang agar terlepas dari pegangan kakek
ini. Ia tidak berdaya sama sekali bagaikan sehelai rumput kering
dalam tangan See thian Tok-ong. Kakek ini melemparkan tubuh
Kong-Ji ke dekat burung rajawali sambil berseru.
"Kim-tiauw, kau jaga dia jangan boleh lari!"
Kemudian, didahului oleh bentakan-bentakan menyeramkan,
See-thian Tok-ong, Kwan Ji Nio dan Kwan Kok Sun mulai
mengamuk. Semenjak tadi, Lai Tek, Kwa Siang dan kawankawannya
sudah siap sedia mendengar omongan See-thian Tokong.
Lai Tek dan Kwa Siang dapat -menduga bahwa di antara tiga
orang aneh ini, yang paling berbahaya tentulah See-thian Tok-ong
sendiri, maka Lai Tek segera mencabut sepasang pedangya. Kwa
Siang mencabut sepasang tongkatnya. Mereka berdua lalu
menyerbu dan menghadapi See-thian Tok-ong. Adapun anggautaapggauta
Im-yang-bu-pai lainnya yang kepandaiannya sudah tinggi
mengurung Kwan Ji Nio.
See-thian rok-ong tertawa bergelak sama sekali ia tidak
mengeluarkan senjata dan menghadapi dua orang tokoh Im-yangbu-
pai itu dengan tangan kosong saja. Lai Tek berjuluk Siang-mokiat
(Sepasang Pedang Iblis) sedangkan Kwe-Siang berjuluk Thiante
Siang-tung (Sepasang Tongkat Langit Bumi). Ilmu kepandaian
mereka sudah amat tinggi dan ini sudah terbukti ketika mereka
berdua menyerbu ke Hoa-san-pai, Liang Gi Tojin ketua Hoa-san-pai
169
sendiri tidak kuat menghadapi mereka dan sampai tewas demikian
pula Hui-liong Lie Bu Tek Naga Terbang sampai roboh terluka berat.
Kini menghadapi See-thian Tok-ong tokoh baru yang menggegerkan
dunia kang-ouw, mereka mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaian.
Akan tetapi, See-thian Tok-ong hanya menghadapi mereka
dengan tangan kosong belaka. Tentu saja Lai Tek dan Kwa Siang
menjadi penasaran sekali. Mereka merasa dipandang rendah dan
dihina. Masa mereka berdua dengan senjata mereka yang sudah
terkenal itu kalah dikeroyok seorang lawan bertangan kosong?
Mereka berbesar hati karena pihak lawan hanya ada tiga orang
ditambah ular-ular kecil dan seekor burung, sedangkan mereka
berkawan sampai lima puluh orang.
Akan tetapi, ilmu silat dari See-thian Tok-ong benar-benar hebat.
Tidak saja gerakannya amat lihai dan kuat serta gesit, juga ilmu
silatnya yang dimainkan untuk menghadapi desakan dua orang
tokoh Im-yang-bu-pai itu amat luar biasa, jauh berbeda dari ilmuilmu
silat yang pernah dilihat oleh Lai Tek dan Kwa Siang. Juga
dalam menggerakkan tangan kaki, tiada hentinya Raja Racun ini
mengeluarkan suara yang aneh, memekik-mekik dan menggereng
seperti seekor binatang buas. Setiap gerakan tangan dilakukan
sambil mengeluarkan pekik yang berlainan, akan tetapi dari suara ini
seakan-akan timbul tenaga mujijat yang menahan gerakan senjata
lawan, bahkan kadang-kadang membuat kacau gerakan ilmu silat
Lai Tek dan Kwa Siang. Akibatnya, beberapa kali dua orang tokoh
Im-yang-bu-pai ini beradu senjata dengan kawan sendiri. Jari-jari
tangan See-thian Tok-ong amat cekatan dan kuat, juga orang ini
berani mati sekali sehingga beberapa kali ia berani menerima
sabetan pedang Lai Tek dengan tangan! Jari-jari tangannya dengan
tepat dapat menyentil pedang itu sehingga terpental membalik atau
menyeleweng menghantam tongkat Kwa Siang yang sudah
menyambar pula. Benar-benar hebat dan sukar untuk dapat
dipercaya.
Kwan Ji Nio, isteri dari See-thian Tok-ong dikeroyok oleh lima
orang. seperti juga suaminya, nyonya tua ini tidak mempergunakan
senjata, akan tetapi melihat gerakannya, ia lebih mengagumkan
daripada suaminya, walaupun tentu para pengeroyok tidak selihai
170
Lai Tek dan Kwa Siang yang mengeroyok See thian Tok-ong.
Gerakan nyonya ini cepat bukan main, sebentar-sebentar melompat
dan terapung di udara bagaikan seekor burung menyambar. Karena
kegesitannya yang luar biasa, ia lebih cepat berhasil daripada
suaminya. Baru belasan gebrakan saja ia telah berhasil menjambret
kepala seorang pengeroyok dan entah dengan pukulan apa, orang
ini roboh terguling dengan tubuh tak berdaya lagi. Ternyata bahwa
jalan darah dan urat terpenting di kepalanya telah kena ditotok
putus oleh nyonya lihai ini! Gentarlah para pengeroyoknya, namun
anggauta- anggauta Im-yang-bu-pai tidak mundur, bahkan kini ada
sepuluh orang maju membantu untuk mengeroyok nyonya tua yang
lihai sekali ini.
Tiba-tiba terdengar jerit dan pekik menyeramkan dari para
anggauta Im-yang bu-pai. Anak-anak murid yang kepandaiannya
kurang lihai, bagaikan rumput dibabat roboh menjerit-jerit dan
tubuh mereka menjadi hitam. Inilah akibat yang hebat dan
perbuatan Ban-beng Sin-tong Kwan Kok Sun. Bocah gunclul ini
setelah melihat ayah bundanya mengamuk, sambil tersenyumsenyum
menyeringai sehingga wajahnya yang tampan itu ada
persamaannya dengan ayahnya, lalu mengeluarkan suara mendesis
dengan mulutnya. Serentak ular-ular kecil yang tadinya
menggerogoti mayat lima orang anggauta Im-yang-bu-pai, bergerak
dan menyerang orang-orang yang masih hidup. lebih hebat lagi. Kok
Sun mengeluarkan sepasang ular merah dari sakunya dan sekali
melepas ular-ular itu terdengarlah pekik menyeramkan dari orangorang
yang terkena gigitan ular merah berbisa ini. Para angauta Imyang-
bu-pai seorang demi seorang roboh dalam keadaan yang
mengerikan.
Kong Ji memandang semua ini dengan hati berdebar. Ia tadi
dilempar jatuh dan sudah duduk, akan tetapi ia tidak berani
bergerak karena di dekatnya berdiri burung kim-tiauw yang besar
dan kelihatan galak itu, yang memandangnya tanpa berkedip. Anak
ini tadi sengaja mengeluarkan kata-kata yang terdengar kurang
ajar, akan tetapi sebetulnya melakukan semua itu dengan siasat
yang rapi, Kong Ji ketika mendengar bahwa See- thian Tok-ong
hendak merampas pedang dan membunuh Giok Seng Cu, maklum
bahwa tentu Raja Racun ini belum mengetahui di mana tempat
171
sembunyi Giok Seng Cu. Kemudian ia mendengar bahwa tiga orang
luar biasa itu datang hendak membasmi Im-yang-bu-pai maka
sengaja menyindir kepada See-thian Tok-ong bahwa Raja Racun ini
tak mungkin dapat merampas pedang karena tidak tau di mana Giok
Seng Cu bersembunyi. Dengan kata-kata ini, sama halnya dengan
menyatakan bahwa di dunia tidak ada orang lain yang mengetahui
di mana adanya Giok Seng Cu, kecuali dia sendiri! Kata-kata ini
sengaja ia keluarkan untuk menolong diri sendiri, untuk melepaskan
diri dari bahaya maut. Otaknya yang cerdik sudah memperhitungkan
bahwa dia takkan dibunuh karena See-thian ok-ong pasti akan
membutuhkannya untuk mencari Giok Seng Cu. Ia yakin bahwa
yang menyindir tadi dapat dimengerti oleh See-thian Tok-ong,
bahwa hanya anak inilah yang tahu tempat persembunyian Giok
Seng Cu. Dan perhitungannya memang tidak meleset. Buktinya ia
mendengar sendiri bahwa See-thian Tok-ong hendak membunuh
semua orang Im-yang-bu-pai, kecuali dia sendiri.'
Kini melihat sepak terjang See-thian Tok-ong dan anak isterinya,
diam-diam Kong Ji merasa kagum sekali. Inilah baru pantas disebut
orang-orang berkepandaian tinggi, pikirnya. Aku harus dapat
mewarisi kepandaian See-thian Tok-ong. Maka sambil menonton
pertempuran otak anak ini bekerja dan ia sudah mempersiapkan
siasat untuk dapat mempelajari ilmu silat dari See-thian Tok-ong.
Pertempuran berjalan makin seru dan hebat. Orang-orang Imyang-
bu-pai yang menjadi korban bertumpuk-tumpuk, mayat
bergelimpangan di sana-sini, menimbulkan pemandangan yang
amat mengerikan. Lam Tek dan Kwa Siang tahu bahwa mereka
menghadapi bencana hebat sekali, akan tetapi karena tidak ada
jaIan keluar, mereka mengamuk dengan nekad mendesak See-thian
Tok-ong dengan sekuat tenaga. Betapapun juga dua orang tokoh
lm-yang-bu-pai ini memang berkepandaian tinggi, maka tiba-tiba
See thian Tok-ong yang mulai marah karena belum juga dapat
mengalahkan mereka, berseru keras sekali. Tahu-tahu ia telah
mengeluarkan dua buah senjata yang amat aneh. Senjata ini
merupakan sepasang tangan manusia yang sudah kering, dengan
kuku-kuku panjang. Kedua tangan ini dalam keadaan
mencengkeram, seperti kuku-kuku burung garuda yang sedang
menyerang. Adapun kuku pada jari-jari tangan itu berwarna macam172
macam, ada yang hitam, putih, kuning, merah dan hijau. Inilah
sepasang senjata yang oleh pemiliknya dinamai Ngo-tok-mo-jiauw
(Cakar Iblis Berbisa Lima), sepasang senjata dari See-thian Tok-ong
yang amat lihai dan jarang sekali dikeluarkan.
Begitu sepasang tangan ini menyambar, Lam Tek dan Kwa Siang
mencium bau yang busuk sekali dan mereka cepat melompat ke
belakang dan kepala mereka terasa pening karena bau yang keras
itu. Akan tetapi, tiba-tiba sepasang tangan itu "terbang" mengejar,
terlepas dari pegangan See-thian Tok-ong! Inilah kejadian yang
amat tidak mereka duga dan kedua orang tokoh lm-yang-bu-pai
saking kagetnya tidak keburu menangkis lagi. Mereka hanya
mengelak cepat namun masih saja sepasang tangan itu menyerang
mereka, Lai Tek kena tergores pundaknya, sedangkan Kwa Siang
tergores oleh kuku tangan kedua pada tangannya.
Seketika itu juga, Kwa Siang menjerit dan roboh. Tubuhnya
berubah merah sekali dan ia berkelojotan terus mati. Ia terkena Ang
tok (Racun Merah) dari kuku merah, sedangkan Lai Tek tak sempat
menjerit lagi karena ia sudah roboh, dengan tubuh berubah kuning,
terkena guratan kuku yang mengandung Oei-tok (Racun Kuning),
See-thian Tok-ong tertawa bergelak dan sepasang cakar iblis itu
tiba-tiba tersentak dan terbang kembali kepadanya, disambut oleh
kedua tangan dan disimpan kembali ke dalam saku bajunya!
Pertunjukan yang diperlihatkan oleh See-thian Tok-ong ini
sebetulnya tidak aneh. Bagi orang yang melihatnya, memang tentu
mengira bahwa sepasang cakar iblis itu dapat "terbang" menyerang
musuh dan terbang kembali kepada pemiliknya, akan tetapi
sebetulnya bukan demikian. Sepasang tangan itu bukanlah tangan
iblis, melainkan tangan manusia biasa yang secara kejam dipenggal
di tengah-tengah bagian lengan oleh See-thian Tok-ong. Raja Racun
ini memilih tangan yang kuat tulangnya dan sehat kulit serta uraturatnya,
memotongnya, lalu mengeringkannya. Memang sebelum
pemilik tangan itu dipotong lengannya, kuku-kukunya dibiarkan
panjang lebih dulu. Setelah kedua tangan itu kering, kuku-kukunya,
juga jari-jarinya lalu direndam air racun, setiap kuku semacam racun
yang amat luar biasa. Kemudian, See-thian Tok-ong
mempergunakan sehelai tali hitam yang halus sekali, besarnya
hanya serambut, akan tetapi kuat dan tak dapat putus. Dengan tali
173
ini ia dapat membuat tangan itu seakan-akan terbang. Ujung tali
yang agak panjang terikat pada kancing di saku bajunya dan apabila
ia melemparkan dua tangan itu lenyap. Juga dengan menggerakkan
tali-tali halus itu ia dapat menarik kembali senjatanya.
Setelah Lai Tek dan Kwa Siang roboh binasa keadaan orangorang
lm yang-bu- pai makin kacau-balau. Berturut turut mereka
roboh binasa dan akhirnya sebagian kecil tak dapat menahan
ketakutan mereka lagi, terus melarikan diri tunggang-langgang.
Akan tetapi, suami isteri dan anak-anak itu memang berwatak
kejam seperti iblis.
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid VII
MEREKA tidak membiarkan orang-orang Im-yang-bu-pai itu
melarikan diri, cepat mengejar dan menjatuhkan serangan maut
sehingga akhirnya habislah semua orang Im-yang-bu-pai yang
jumlahnya ada lima puluh orang itu. Semua menggeletak tak
bernyawa lagi, kecuali Kong Ji yang mau tak mau terpaksa
memandang semua itu dengan kedua matanya sendiri. Akan tetapi,
benar-benar aneh dan luar biasa, melihat kejadian yang bagi orang
lain akan menimbulkan kengerian hebat di dalam hati ini, bagi Kong
Ji sama sekali tidak demikian. Di dalam hatinya, bocah ini bahkan
bersorak girang karena ia memang selalu menganggap lm-yang-bupai
sebagai musuh-musuh yang membinasakan ayah bundanya. Ia
bahkan girang dan puas, serta memuji tinggi kegagahan See-thian
Tok-ong dan anak isterinya. Sesungguhnya, betapapun kejamnya
ayah ibu anak itu, kalau dibandingkan dengan watak dasar di dalam
dada Kong Ji mereka masih kalah jauh.
Kong Ji selalu memperlihatkan sikap baik hanya dengan satu
maksud, yakni mencari ilmu yang tinggi untuk diri sendiri. Orang
lain, baik orang itu memusuhinya maupun melepas budi baik
kepadanya, ia tidak ambil perduli sama sekali. Kekejian See-thian
Tok-ong dan anak isterinya hanya ditujukan kepada musuhmusuhnya
atau kepada mereka yang dianggap merintangi
kehendaknya. Sebaliknya kekejian Kong Ji tidak memilih bulu, sudah
174
dibuktikan betapa ia dapat berlaku keji terhadap Lie Bu Tek, orang
yang telah menolongnya!
Setelah semua orang lm-yang-bu-pai tewas, tiba-tiba Kwan Ji Nio
melompat dan menyambar leher Kong Ji. "Ini yang paling jahat
harus dibikin mampus!" bentaknya sambil mengangkat tangan
kanan. Kong Ji terkejut sekali, akan tetapi ia tidak berdaya dan
hanya memandang kepada nenek itu dengan mata tak kenal takut.
“Isteriku jangan bunuh dia!" Tiba-tiba See-thian Tok-ong berseru.
Tangan yang sudah diangkat ke atas diturunkan kembali, juga
tubuh Kong Ji dilepas ke bawah dan nyonya tua itu menoleh kepada
suaminya.
"Kenapa setan cilik ini tidak boleh dibunuh?" tanyanya.
"Ibu, dia harus membawa kita ke tempat persembunyian Giok
Seng Cu," kata Kok Sun dengan suara menyesal, seolah-olah ia
kecewa melihat kebodohan ibunya.
See-thian Tok-ong tertawa bergelak. “Nah, kaulihat. Bukankah
Kok Sun sekarang sudah cerdik sekali! Ia telah melampaui Ibunya
dalam kecerdikan. Ha, ha, ha !"
Kwan Ji Nio cemberut dan mendelik kepada puteranya, kemudian
ia menudingkan ke telunjuknya di depan hidung Kong Ji. "Setan
cilik, benarkah kau dapat menunjukkan tempat persembunyian Giok
Seng Cu? Hayo mengaku yang betul, kalau tidak kuhancurkan
kepalamu."
Menghadapi tiga orang aneh yang amat ganas itu, tentu saja
Kong Ji merasa berdebar hatinya. Akan tetapi ia memang seorang
bocah yang memiliki kecerdikan luar biasa sekali. Dengan
tersenyum- senyum ia mengelus-elus leher kim-tiauw yang berdiri di
dekatnya, lalu berkata,
"Sungguh tidak enak bicara di dekat mayat-mayat yang
bercumpukan ini. bagaimana kalau kita pergi dari sini dan mencari
tempat yang enak untuk bicara. Lagi pula, aku ingin sekali naik ke
punggung burung ini."
175
Kwan Ji Nio marah sekali mendengar kekurangajaran Kong Ji,
akan tetapi See- thian Tok-ong tertawa bergelak, "Bocah ini ada
isinya. Kepalanya tidak kosong!”
Adapun Kok Sun juga tertarik sekali melihat keberanian Kong Ji.
Sambil tersenyum mengejek ia berkata, "Benar-benar kau berani
naik ke punggung kim-tiauw bersamaku?"
"Mengapa tidak berani? Aku pun laki- laki," jawab Kong Ji.
"Ayah mari kita bicarakan saja di luar kota ini, di hutan sebelah
selatan. Biar dia merasai dijungkir-balikkan oleh kim-tiauw!" kata
Kok Sun sambil tertawa. Ayahnya tertawa juga dan menganggukanggguk.
Kwan Ji Nio mengomel, "Anak ini kalau tidak dibikin
mampus kelak akan menimbulkan kerewelan belaka." Diam-diam
Kong Ji mencatat semua ini dan ia telah mendapat kepastian bahwa
di antara tiga orang itu, yang paling bahaya baginya adalah Kwan Ji
Nio, maka diam-diam ia telah berjanji kepada diri sendiri bahwa
kelak ia harus melenyapkan wanita tua ini lebih dulu dari muka
bumi!
"Isteriku, sabarlah. Pedang dan kitab belum terdapat, mengapa
tidak bisa bersabar?” kata See-thian Tok-ong yang memberi tanda
kepada Kok Sun untuk melanjutkan niatnya.
Kok Sun tersenyum dan berkata kepada Kong Ji. "Kalau kau
benar-benar bukan perempuan, hayo naiki punggung kim-tiauw dan
terbang bersamaku."
Kong Ji tanpa memperlihatkan muka takut, segera melompat ke
atas pungung kim- tiauw, akan tetapi baru saja ia tiba di punggung,
burung itu menggoyang badannya dan... tubuh Kong Ji terlempar
seakan-akan dilontarkan oleh tenaga kuat sekali. Baiknya Kong Ji
sudah melatih diri dengan tekun sehingga ia memiliki kepandaian
yang boleh juga, maka ia dapat mengatur keseimbangan badannya,
mempergunakan gerakan Lee-hi-ta-teng (Ikan Lee Meloncat) dan
dapat tiba di atas tanah pada kedua kakinya.
"Berbahaya sekali...." tak terasa lagi ia berkata perlahan. Kok Sun
tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya.
176
"Kau curang!" Kong Ji berkata marah. "Mengapa tidak menyuruh
burungmu diam?"
"Naiklah lagi, tadi aku hanya ingin melihat apakah kau takkan
terbanting matang biru oleh kim-tiauw," kata Kok Sun dan kali ini ia
memegangi leher burung itu. Kong Ji tanpa ragu-ragu melompat lagi
dan kali ini burung itu tidak bergerak. Kok Sun juga melompat
duduk di belakang Kong Ji, kemudian menepuk leher burung itu.
"Kim-tiauw, terbanglah ke selatan!"
Sebelum Kong Ji dapat bersiap-siap, tahu-tahu burung itu telah
membuka sayapnya dan Kong Ji merasa seperti jantungnya ditariktarik
ketika tiba-tiba ia mumbul ke atas cepat sekali. Hampir ia
terengah-engah karena sukar bernapas ketika angin bertiup keras
dari depan. Ketika ia memandang ke bawah, semua tampak kecil.
Kepalanya pening akan tetapi ia memiliki kekerasan hati. Sambil
menggigit bibir ia menekan perasaannya. Masa ia harus kalah oleh
bocah gundul yang duduk di belakangnya?
Tiba-tiba terdengar suara See-thian ok-ong dan bawah, "Kok
Sun, jangan sampai ia jatuh terbanting mampus, kita masih
memerlukan bantuannya!"
Terdengar Kok Sun tertawa dan berdebarlah jantung Kong Ji. Kini
setelah berada di punggung burung, dibawa terbang di angkasa, i
merasa tak berdaya sama sekali. Akan tetapi, burung ini takkan
dapat menggangguku, pikirnya. Aku berada di punggungnya dan
kalau ku mau, aku dapat memukul lehernya dengan tenaga Tin-sankang,
masa ia tidak mampus? Ia menjadi lega dengan pikiran ini,
dan dengan erat ia memegang leher burung kim-tiauw.
Sebentar saja mereka telah tiba di atas hutan kecil di sebelah
selatan kota Lam-si. Tiba-tiba Kok Sun tertawa dan mengeluarkan
suara bersuit tiga kali. Ini merupakan perintah bagi kim-tiauw
karena burung itu segera menukik ke bawah kepala di bawah ekor
di atas! Hampir saja Kong Ji terjungkal dari tempat duduknya. Ia
memegang erat-erat leher burung dan hatinya berdebar keras.
Terpaksa ia meramkan matanya ketika melihat betapa pohon di
bawah seakan-akan terbang naik hendak menubruknya.
"Ha, ha, ha, kau takut?"
177
"Siapa takut? Kalau kau tidak takut masa aku harus takut?"
jawab Kong Ji sambil membuka matanya.
"Bagus, awas kali in'!" seru Kok Su yang kembali bersuit pandang
dua kali Burung itu kini memukulkan sayapnya dan tahu-tahu
berjungkir balik dengan punggung di bawah! Hal ini sama sekali
tidak terduga oleh Kong Ji. Ia mempererat pelukannya pada leher
burung, akan tapi karena pelukannya mencekik leher burung itu
menggerakkan lehernya dan terlepaslah pegangannya. Tubuh Kong
Ji melayang ke bawah!
Ketika tubuh Kong Ji berputaran dari atas ke bawah dan hatinya
tidak karuan rasanya, semangatnya sudah terbang, tiba-tiba ia
merasa kakinya dipegang orang dan terdengar suara Kok Sun,
"Sekarang masih tidak takut?"
Kong ji berada dalam keadaan berbahaya dan menakutkan sekali.
Kini burung itu telah biasa lagi terbangnya. Kok Sun duduk di atas
punggungnya dan sebelah tangannya memegangi Kong Ji yang
berada dalam keadaan tergantung di bawah. Namun Kong Ji yang
cerdik masih teringat akan teriakan Tok-ong. Dirinya dibutuhkan
oleh keluarga iblis ini dan takkan dibunuh, maka dengan suara keras
ia menjawab.
"Seorang gagah tidak takut mati!"
Kok Sun benar-benar kagum. Dia sendiri kalau dibegitukan tentu
akan merasa amat takut.
"Kau benar-benar patut dijadikan kawan. Siapa namamu?"
"Namaku Lui Kong Ji.”
Burung itu telah turun dan hampir mendarat, Kok Sun
menggerakkan tangannya dan tubuh Kong Ji terdorong oleh tenaga
besar, lalu tiba di tanah dengan kaki di atas. Diam-diam Kong Ji
kagum sekali. Hebat sekali tenaga Kok Su dan ia masih kalah
dengan pemuda gundul ini.
Yang membuat Kong Ji lebih terheran dan kagum adalah ketika
ia melihat bahwa See-thian Tok-ong dan Kwan Ji Nio telah berada di
situ pula! Dapat berlari cepat mendahului seekor kim-tiauw yang
178
terbang, benar-benar dapat dibayangkan betapa tingginya ginkang
dua orang aneh ini.
"Nah, bocah yang tabah, sekarang ceritakan di mana tempat
sembunyinya Giok Seng Cu," kata See-thian Tok-ong kepada Kong
Ji.
"Nanti dulu, Locianpwe. Boanpwe Lui Kong Ji sama sekali bukan
hendak membangkang terhadap perintah Locianpwe. Akan tetapi
kalau Locianpwe ada permintaan terhadap boanpwe, agaknya sudah
sepatutnya pula kalau boanpwe juga mengajukan permintaan
sebagai imbalannya kepada Locianpwe."
Sepasang mata yang bundar dari See-thian Tok-ong memandang
tajam dan hatinya mulai curiga.
"Hemm, siapa bisa percaya omonganu? Kau agaknya licik dan
cerdik sekali Lui Kong Ji, coba kau ceritakan dulu hubunganmu
dengan Giok Seng Cu. Kamu pernah apakah dengan dia dan
bagaimana kau bisa dipilih menjadi wakilnya di Im-yang-bu-pai?"
"Boanpwe adalah muridnya. Dan boanpwe suka menjadi
muridnya bukan sekali-kali karena boanpwe suka kepada Im-yngbu-
pai, akan tetapi oleh karena boanpwe sengaja hendak mencari
ilmu kepandaian agar kelak dapat membalas musuh besar boanpwe.
Dengan susah payah boanpwe melayani Suhu sehingga mendapat
kepercayaan dari Suhu, akan tetapi sebelum boanpwe mendapatkan
ilmu kepandaian, keburu datang urusan pedang dan kitab sehingga
boanpwe menjadi gagal dalam cita-cita boanpwe. Ada pun tentang
pedang Pak-kek Sin-kiam dan kitab peninggalan Pak-kek Sianseng
boanpwe sudah mendengar keterangan sejelasnya dari Suhu, oleh
karena itu kalau Locianpwe menghendaki dua benda itu kiranya
boanpwe seorang yang akan dapat memberi petunjuk."
See-thian Tok-ong mengelus-elus jenggotnya. Bocah ini benarbenar
cerdik sekali dan berbahaya, pikirnya.
"Kong Ji, kau bicara berputar-putar. Katakan apa kehendakmu
untuk penukaran petunjuk tempat sembunyi Giok Se Cu?"
Tiba-tiba Kong Ji menangis dan jatuhkan diri berlutut di depan
See-thu Tok-ong. "Boanpwe tidak minta banyak hanya mohon
179
imbalan sedikit berupa pelajaran ilmu silat tinggi agar kelak
boanpwe dapat membalas dendam kepada musuh besar boanpwe."
"Hm, hm, jadi kau minta diterima menjadi muridku?"
“Demikianlah permohonan teecu. Kalau Locianpwe sudi
menerima teecu menjadi murid tidak saja teecu akan menunjukkan
di mana tempat persembunyian Giok Seng Cu, bahkan teecu akan
membantu sampai Locianpwe mendapatkan pedang dan kitab."
"Enak saja kau bicara!" Kwan Ji Nio membentak. "Aku bahkan
akan membunuhmu!"
See-thian Tok-ong memberi tanda dengan matanya kepada Kwan
Ji Nio, kemudian ia bertanya kepada Kong Ji, "Bagaimana kalau aku
menolak permintaanmu?"
"Terpaksa teecu pun akan membungkam."
"Bangsat, kau harus mampus!" kembali Kwan Ji Nio membentak,
akan tetapi pandang mata suaminya mencegah turun tangan.
"Kong Ji, kau mendengar sendiri. nyawamu berada di tangan
kami, dan kalau kau menolak memberi tahu di mana tempat
sembunyi Giok Seng Cu, kami akan membunuhmu."
"Akan menyiksamu sampai mati," kata Kwan Ji Nio.
"Ayah, kalau ular-ular disuruh mengeroyoknya, tentu ia akan
mengaku," kata Kok Sun.
Akan tetapi Kong Ji sama sekali tidak takut. "Locianpwe, sudah
teecu nyatakan tadi bahwa hidup teecu hanya untuk membalas
dendam terhadap musuh besar. Kalau Locianpwe tidak mau
menerima teecu sebagai murid dan teecu tidak bisa memiliki
kepandaian tinggi untuk dapat membalas dendam terhadap musuh
besar, hidup juga percuma. Teecu lebih baik mati. Mati sekarang
atau besok sama saja. Mati sekaligus atau siksa pun sama juga.
Kalau Locianpwe menolak mau membunuh teecu, mau mengubur
hidup-hidup, diberi makan ke ular atau membakar hidup-hidup
teecu akan terima. Teecu tidak takut mati.”
Tertegun juga See-thian Tok-ong mendengar ini. Tiba-tiba Kok
Sun bicara dalam bahasa asing dengan ayahnya untuk beberapa
180
lama tiga orang itu bercakap-cakap dalam bahasa yang tidak
dimengerti oleh Kong Ji. Mereka ini bicara dalam bahasa India dan
Kok Sun menuturkan bahwa Kong Ji memang benar-benar tidak
takut mati, hal ini sudah dibuktikannya ketika mereka naik di
punggung kim-tiauw. Kemudian mereka bertiga berunding
bagaimana untuk menghadapi bocah bandel ini.
Akhirnya See-thian Tok-ong tertawa bergeIak dan berkata
kepada Kong Ji.
“Eh, Lui Kong Ji. kau ini memang bocah cerdik dan licik seperti
iblis. Akan tetapi jangan kaukira bahwa kami takut kepadamu.
Sekarang begini saja. Kami menerima permintaanmu, akan tetapi
kami anggap bahwa kau menggadaikan nyawa kepada kami selama
lima tahun. Bagaimana?"
Kong Ji terkejut. Ia maklum bahwa ia pun menghadapi tiga orang
yang cerdik sekali, maka ia harus berlaku amat hati-hati.
"Menggadaikan nyawa bagaimana maksud Locianpwe?"
"Begini. Kau menunjukkan tempat persembunyian Giok Seng Cu
dan membantu kami mencari kitab dan pedang. Sementara itu, kami
tidak membunuhmu menitipkan nyawamu kepadamu selama lima
tahun. Dalam waktu lima tahun itu kau boleh menerima pelajaran
ilmu silat dariku. Akan tetapi, selewatnya lima tahun, kami tidak
bertanggung jawab atas nyawamu lagi dan kau sudah bukan
muridku lagi."
Kong Ji berpikir keras. "Jadi kalau sudah lewat lima tahun,
Locianpwe akan membunuh teecu?"
See-thian Tok-ong bergelak. "Hal itu tidak dapat dibicarakan
sekarang. Mungkin sekali tergantung sepenuhnya kepadamu sendiri
dan baru lima tahun kemudian aku dapat memastikan apakah harus
dibunuh atau tidak."
"Kalau teecu menolak syarat mi?"
"Kau dibunuh sekarang juga dan kami akan mencari sendiri
tempat sembunyi Giok Seng Cu," kata See-thian Tok-ong dengan
suara dingin, hatinya sudah mendongkol sekali terhadap bocah yang
selalu cerdik dan licik ini.
181
Kong Ji bukan seorang bocah luar biasa kalau ia tidak dapat
menangkap nada suara Raja Racun maka cepat-cepat ia
mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata, "Teecu terima
syarat itu!"
"Kau harus bersumpah!" kata See-thian Tok-ong dan suaranya
terdengar gembira.
"Bersumpah bagaimana, Suhu?" tanya Kong Ji yang menyebut
"suhu" kepada See thian Tok-ong.
"Bersumpah bahwa kau benar-benar akan membantu mencari
pedang dan kitab, bahwa kau tidak akan menipuku dan benar-benar
menerima penggadaian nyawa selama lima tahun!"
Kong Ji berpikir cepat. Celaka, tua bangka ini benar-benar pintar
sekali dan mengikat diriku. Kalau begini aku tigi besar, pikirnya.
"Suhu untuk bersumpah teecu tidak keberatan, akan tetapi teecu
juga minta imbalannya untuk sumpah
"Anak setan! Kau berani supaya aku bersumpah pula? Kau tidak
percaya bahwa aku telah menerimamu sebagai murid?" bentak Seethian
Tok-ong dan kedua tangannya terkepal keras. Kalau Kong Ji
membenarkan dugaan ini, tentu ia akan memukul hancur kepala
bocah ini.
"Mana teecu berani tidak percaya pada Suhu? Hanya teecu minta
Suhu berjanji akan menurunkan ilmu-ilmu tinggi kepada teecu
selama lima tahun itu."
See-thian Tok-ong menghela napas panjang, "Kau memang
pintar dan cerdas. Baiklah, aku berjanji akan menurunkan
kepandaian tinggi, tentu saja kalau otakmu tidak terlalu tumpul."
Dengan girang Kong Ji lalu bersumpah. Kemudian menceritakan
semua pengalamannya dengan Giok Seng Cu, menceritakan pula
akan pertemuan Giok Se Cu dengan ketua ketua partai besar.
"Kitab rahasia itu hanya dapat dicari dengan menggunakan
pedang Pak-kek Sinkiam!" tambahnya, "dan teecu yakin pula bahwa
agaknya pedang itu merupakan kunci yang dapat membawa Suhu
ke tempat tersimpannya kitab rahasia peninggalan Pak Kek Siansu."
182
See-thian Tok-ong girang sekali. "Bagus, mari kita menyusul Giok
Seng Cu di Lembah Maut!"
-oo0mch-dewi0oo-
Giok Seng Cu bersembunyi di dalam sebuah gua yang terdapat di
Lembah Maut. Ia merasa aman dan setiap hari Giok Seng Cu
berlatih ilmu silat dengan pedang Pak-kek Sin-kiam. Kepandaiannya
memang tinggi sekali maka setelah memiliki pedang pusaka itu,
dengan mudah ia dapat menciptakan semacam ilmu pedang yang
lihai. Ia hendak mempertinggi kepandalannya karena ia maklum
bahwa sebelum mendapatkan kitab rahasia peninggalan Pak Kek
Siansu, keadaannya masih berbahaya. Di dalam lembah ia boleh
merasa aman. Memang keadaan lembah itu bukan main
berbahayanya. Letaknya di tepi Sungai Wei-ho, di kaki bukit Cinleng
san. jarang ada orang berani memasuki Lembah Maut, karena
biarpun ia berkepandaian tinggi, sekali saja kurang hati-hati, ia
dapat tewas terjerumus ke dalam jurang atau rawa tertutup rumput.
Baiknya Giok Seng Cu pernah satu kali datang ke tempat ini dengan
gurunya, Pak Hong Siansu. Kalau bukan gurunya itu yang
mencarikan jalan, biar Giok Seng Cu sendiri agaknya akan ragu-ragu
untuk memasuki daerah ini.
"Takkan ada musuh berani memasuki Lembah Maut." pikirnya,
"biarpun andai kata See-thian Tok-ong yang lihai sanggup
memasuki daerah ini, belum tentu ia dapat menemukan tempat
sembunyiku."
Pada suatu hari, ketika ia sedang berdiri di depan guanya, ia
mendengar suara sayup-sayup sampai, datang dari luar hutan.
“Suhuuu...!"
Giok Seng Cu tidak mengenaI suara itu, karena hanya terdengar
lapat-lapat. Hm, agaknya ada musuh datang mencariku, pikirnya.
Akan tetapi ia tidak takut, bahkan lalu menyelundup dan dengan
jalan bersembunyi di balik rumpun, ia berindap indap menghampiri
tempat dari suara itu datang.
183
Suhu... teecu Lin Kong Ji berada di sini...!" kembali terdengar
suara itu. Giok Seng Cu girang sekali dan cepat ia melompat keluar
dari tempat persembunyiannya, lalu berlari cepat menghampiri Kong
Ji.
"Kong Ji, kau sudah datang?" serunya dan diam-diam kakek ini
merasa kagum melihat muridnya yang kecil itu sudah berhasil tiba di
tempat ini. "Baiknya kau tidak lancang masuk ke dalam lembah ini,
sungguh berbahaya kalau kau masuk ke sini."
Dengan matanya yang tajam Kong Ji melihat bahwa Giok Seng
Cu tidak membawa pedang Pak-kek Sin-kiam. Anak ini dengan
siasatnya telah berunding dengan See-thian Tok-ong untuk
memancing keluar suhunya, karena daerah itu amat sukar lagi
berbahaya.
"Suhu, lekas bawa teecu ke tempat yang aman, teecu ada
pembicaraan yang amat penting bagi keselamatan Suhu!"
Giok Seng Cu kaget mendengar ini. Tanpa banyak cakap lagi ia
lalu memegang tangan muridnya dan dibawa ke dalam hutan, terus
menuju ke goa tempat sembunyinya.
"Ada apakah? Ceritakan lekas!" katanya setelah mengambil Pak
kek Sin-kiam yang disembunyikan di dalam gua. Giok Seng Cu
memang berlaku hati-hati sekali. Tidak berani ia membawa-bawa
pedang itu keluar lembah agar jangan menimbulkan perhatian orang
lain yang melihatnya.
"Celaka, Suhu. See-thian Tok-ong telah membunuh semua
saudara di Lam-si dan sekarang ia bersama anak isterinya yang lihai
telah mengejar ke sini dengan napas terengah-engah dan cepat
Kong Ji menuturkan betapa Lai Kwa Siang dan semua murid Imyang-
bu-pai yang berada di Lam-si telah dibunuh oleh keluarga Seethian
Tok-ong.
"Baiknya teecu sempat melarikan terlebih dulu untuk memberi
tahu kepada Suhu. Kalau tidak tentu teecu akan tewas pula dan
tidak ada orang yang memberi tahu kepada Suhu."
Pucat wajah Glok Seng Cu mendengar ini. "Di mana mereka
sekarang?"
184
"Mereka kabarnya mengejar teecu, karena mereka tidak tahu
tempat Suhu bersembunyi. Akan tetapi teecu rasa ada baiknya kalau
Suhu lekas-lekas keluar dari tempat ini dan mencari tempat -
persembunyian lain."
"Kalau begitu, hayo kita pergi cepat-cepat, Kong Ji."
"Suhu, janganlah Suhu repot-repot karena teecu. Pergilah Suhu
sendiri. Dengaan adanya teecu, Suhu hanya akan terhalang dan tak
dapat bergerak cepat. Kalau sampai teecu menjadi penghalang dan
Suhu dapat dikejar oleh mereka, apakah artinya teecu bersusah
payah mencari Suhu? Biarlah, tinggalkan teecu di sini. Kalau mereka
mendapatkan tee-cu, mereka toh tidak mempunyai kepentingan
apa-apa terhadap diri teecu?"
Giok Seng Cu terharu. "Anak baik... murid yang berbakti! Kau
melepas budi sar untuk membela Suhumu. Apakah yang dapat
kuberikan untuk membalas jasamu."
"Sudah menjadi kewajiban seorang murid untuk berbakti kepada
gurunya. Teecu tidak mengharapkan sesuatu, hanya teecu minta
sedikit petunjuk tentang ilmu mempergunakan Tin-san-kang, karena
telah teecu latih namun masih teecu belum dapat mainkan dengan
sempurna. Mempelajari kauw-koat (teori) saja benar-benar sukar."
Giok Seng Cu tertawa. "Memang dulu aku belum
memberitahukan rahasia pukulan itu. Nah, sekarang dengar baikbaik
dan lihat!" Giok Seng Cu lalu memberi petunjuk dan bersilat di
depan Kong Ji, diperhatikan baik-baik oleh anak yang cerdik ini.
Setelah Kong ji mengerti betul, Giok Seng Cu lalu meninggalkannya.
"Biar teecu tinggal di sini seorang diri untuk melatih Tin-sankang,"
kata Kong Ji sebelum ia berangkat.
Sambil berlari cepat, Giok Seng Cu keluar dari Lembah Maut itu.
Akan tetapi, alangkah kagetnya tiba-tiba dari balik pohon-pohon
besar melompat keluar tiga bayangan orang dan tahu-tahu Seethian
Tok-ong, Kwan Ji Nio, Kwan Kok Sun, burung rajawali emas
dan puluhan ekor ular berbisa telah berjejer menghadang
perjalanannya! Inilah siasat yang dijalankan oleh Kong Ji. Dengan
cerdik ia memancing Giok Seng Cu keluar dari lembah untuk
dihadapi oleh See-thian Tok-ong, sedangkan untuk
185
pengkhianatannya, ia tidak dicurigai oleh Giok Seng Cu, sebaliknya,
malah mendapat tambahan pelajaran ilmu silat dan dipuji-puji!
Sampai saat itu pun, Giok Seng Cu tak pernah mengira bahwa
muridnya itu yang mengkhianatinya. Setelah Giok Seng Cu pergi
diam-diam Kong Ji juga keluar dari gua itu dan mengikuti perjalanan
suhunya ini, maka kini ia yang bersembunyi di balik rumpun alangalang
dapat melihat apa yang terjadi di situ.
"Siapakah kalian yang berani menghadang perjalanan pinto?"
tanya Giok Seng Cu dengan suara dibikin tenang sedapatnya. Ia
sudah pernah melihat Kwan Kok Sun, akan tetapi belum pernah
bertemu dengan See-thian Tok-ong dan isterinya. Biarpun iz
sekarang dengan mudah dapat mengerti bahwa yang dihadapinya
adalah keluarga iblis itu, namun ia pura-pura tidak tahu.
Kwan Kok Sun tertawa menyeringai, "Giok Seng Cu, apakah kau
sudah lupa lagi kepadaku atau pura-pura lupa? Kau telah merampas
pedang itu dari tanganku, sekarang kami datang untuk
mengambilnya kembali berikut kepalamu!"
"Hm, agaknya pinto berhadapan dengan See-thian Tok-ong dan
keluarganya,” kata pula Giok Seng Cu.
See-thian Tok-ong mengeluarkan suara di hidungnya, lalu
berkata,
"Giok Seng Cu pernah satu kali bertemu dengan mendiang
Suhumu, Pak Hong Siansu. Dia adalah seorang yang mengutamakan
persahabatan. Aneh sekali kau ini muridnya mengapa begitu curang
dan sampai hati menipu puteraku pura-pura membantu kemudian
bahkan merampas pedang dan memukulnya. Kau sudah terang
harus dihukum, mau kata apa lagi?"
Merah muka Giok Seng Cu. Memang dalam hal berebut pedang
dengan Kok Sun ia telah berlaku licik. Kalau saja dalam perebutan
dahulu itu ia berlaku secara laki-laki dan mengandalkan kepandaian,
belum tentu See-thian Tok-ong hendak membunuhnya. Akan tetapi,
sudah menjadi bubur, hal itu telah terjadi dan tak dapat diubah
pula, maka ia tidak dapat mundur lagi.
"Sesukamulah, See-thian Tok-ong. Hanya hendaknya kauingat
bahwa pedang ini adalah peninggalan Supek Pak Kek Siansu, maka
186
akulah yang berhak mewarisinya. Sekarang pedang sudah di
tanganku, kalau ada yang menghendakinya, boleh mencoba
mengambilnya dan tanganku."
Inilah sebuah tantangan. Kwan Ji Nio sudah tak sabar lagi dan
hendak menyerang, akan tetapi suaminya mengangkat tangan
mencegahnya. See-thian Tok-ong maklum bahwa sebagai murid Pak
Hong Siansu, Giok Seng Cu memiliki kepandaian tinggi, apalagi
pedang pusaka di tangan, ia merupakan lawan berbahaya bagi
isterinya.
"Kim-tiauw, rampas pedangnya'" bentaknya kepada burung yang
berdiri di dekat Kok Sun.
Burung itu mengeluarkan pekik yang nyaring sekali, membuka
sayap terbang ke atas lalu menyambar ke arah Giok Seng Cu. Kakek
ini tidak gentar dan cepat mengerahkan tenaga, memukul dengan
tenaga Tin-san-kang.
"Bruk!" Tubuh burung itu terpental sebelum bertemu dengan
tangan Giok Seng Cu. Beberapa helai bulu sayapnya rontok dan
sambil mengeluarkan bunyi cecuitan, burung itu tidak berani maju
lagi hanya terbang berputaran di atas.
See-thian Tok-ong marah sekali, mengeluarkan suara mendesis
sebagai perintah kepada ular-ular yang berada dibelakang Kok Sun.
Empat puluh lebih ular merayap cepat dan menyerang Giok Seng
Cu. Kakek ini bergidik dan jijik sekali melihat sekian banyaknya ular
menyerangnya. Kembali ia mengerahkan tenaga, kedua tangannya
didorong ke depan, ke arah ular-ular itu.
Hebat sekali tenaga Tin-san-kang. Debu mengepul, batu-baru
kecil terlempar dan sedikitnya ada tujuh ekor ular yang hancur
tubuhnya terkena hawa pukulan Tin-san-kang! Ular- ular yang lain
terlempar ke belakang dan mereka juga jerih menghadapi kakek
yang berkepandaian tinggi itu.
Kong Ji yang mengintai dari balik rumpun alang-alang, kagum
bukan main dan ia merasa girang bahwa kini ia telah dapat memiliki
Tin-san-kang yang sempurna, tinggal melatihnya saja. Ia
memandang terus dan kali ini Kok Sun rogoh sakunya. Agaknya
bocah gundul ini hendak mengeluarkan sepasang ular merahnya
187
yang lihai, akan tetapi See-thian Tok-ong mencegahnya. Raja Racun
ini maklum, bahwa betapapun lihai Siang ang-coa, tak mungkin
dapat melawan Giok Seng Cu dan ia merasa sayang kalau sepasang
ular itu akan mati.
"Biarkan aku sendiri menghadapinya!” Tiba-tiba tubuh See-thian
Tok-ong bergerak dan ia telah menyerang dengan pukulan berat ke
arah dada Giok Seng Cu.
Kakek rambut panjang ini tidak berani berlaku ayal karena ia
dapat menduga akan kehebatan lawannya. Cepat ia merendahkan
tubuh dan mendorongkan kedua tangan ke depan, mempergunakan
hawa pukulan Tin-san kang untuk memukul lawan. Giok Seng Cu
yang sudah berpengalaman maklum bahwa ia tidak boleh beradu
tangan dengan kakek ini, karena ia mehhat bahwa kedua tangan
See-thian Tok-ong mengeluarkan sinar menghitam yang
mencurigakan, tanda bahwa sepasang tangan itu tentu
mengandung racun jahat.
Dua hawa pukulan yang dahsyat bertemu di udara dan akibatnya
Giok Seng Cu terhuyung tiga tindak, akan tetapi See-thian Tok-ong
juga terdorong ke belakang. Tenaga mereka seimbang! Bukan main
kagetnya Kong Ji yang menonton dari tempat sembunyinya. Tenaga
sin-kang dari Giok Seng Cu sudah hebat, akan tetapi kini dapat
dilawan See-thian Tok-ong. Ia makin gembira karena ia telah
menjadi murid See-thian Tok-ong yang ternyata memiliki
kepandaian yang tinggi pula.
"Biar kita mengadu nyawa di sini seru Giok Seng Cu marah. Ia
maklum bahwa lawannya tidak dapat dirobohkan dengan Tin-sankang
dan kalau ia melayani dengan tangan kosong, ia tentu akan
kalah, karena lawannya itu bertangan maut. yakni kedua tangannya
mengandung hawa pukulan yang berbisa. Cepat dicabutnya pedang
Pak-kek Sin-kiam dan berkelebatlah sinar yang menyilaukan mata
ketika ia melakukan serangan pertama.
See thian Tok-ong terkejut melihat hebatnya serangan ini, cepat
ia membanting tubuh ke kiri dan di lain saat ia telah mencabut
sepasang tangan, senjatanya yang mengerikan itu. Baru saja kedua
tangan kering itu digerakkan, Giok Seng Cu sudah mencium bau
yang amat keras sehingga ia menjadi gentar. Ia teringat akan nama
188
julukan lawannya, yakni Raja Racun, maka tahulah ia bahwa
sepasang tangan kering itu tentu mengandung bisa yang amat
berbahaya. Cepat ia menggerakkan pedangnya, diputar sedemikian
cepatnya sehingga merupakan segulungan sinar yang menyelimuti
tubuhnya.
Kong Ji makin kagum dan diam-diam timbul keinginannya untuk
memiliki pedang luar biasa itu. "Benar-benar senjata pusaka yang
ampuh," pikirnya.
Namun, betapapun hebat gerakan pedang Giok Seng Cu, ia
menghadapi lawan yang amat tangguh. Ilmu silat dari See-thian
Tok-ong amat luar biasa dan aneh gerakannya, sepasang tangan
kering itu bergerak-gerak ke atas dan ke bawah, bahkan tidak takut
kadang-kadang beradu dengan pedang! Hal ini adalah karena
gerakan yang amat tepat sehingga tiap kali bertemu dengan
pedang, tangan itu beradu dengan pinggiran pedang, bukan dengan
mata pedang, karena kalau bertemu dengan tajamnya pedang tentu
akan terbabat putus. Pertempuran berjaIan amat serunya dan Giok
Seng Cu harus mengakui bahwa kalau ia tidak memegang Pak-kek
Sin-kiam, tentu ia takkan dapat bertahan demikian lamanya.
"Aku harus dapat lari dari sini...,” pikirnya sambil memutar
pedang makin cepat.
Akan tetapi, tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali
gerakannya dan tahu-tahu sebatang tongkat kecil menyambar ke
arah kepala Giok Seng Cu. Hampir saja ujung tongkat itu mengenai
kepalanya. Bukan main kagetnya ketua Im-yang-bu-pai ini. Sudah
terasa ujung tongkat itu menggores rambutnya ketika ia cepat
mengelak. Ketika ia melihat bahwa penyerangnya itu adalah Kwan Ji
Nio, hatinya makin gentar. Dari gerakan serangan tadi ia menduga
bahwa kepandaian Kwan Ji Nio ini kiranya lebih lihai daripada
kepandaian suaminya! Padahal sebenarnya tidak demikian. Kwan Ji
Nio memang lebih lihai dalam hal ilmu meringankan tubuh, maka
penyerangannya cepat bukan main dan kelihatannya memang lebih
lihai dari suaminya, akan tetapi sebetulnya tingkat kepandaiannya
masih kalah jauh oleh See-thian Tok-ong.
Karena hatinya sudah gentar, permainan pedang Giok Seng Cu
agak kalut dan tiba-tiba sebuah kuku senjata tangan dari See-thian
189
Tok-ong berhasil menggoes kulit lengan kanannya. Giok Seng Cu
merasa kulit lengannya gatal-gatal bukan main sehingga hampir
saja pedangnya terlepas. Ia cepat memutar pedang dengan tangan
kanan sedangkan tangan kirinya melancarkan pukulan-pukulan Tin
san-kang ke arah dua orang musuhnya.
Kwan Ji Nio telah maklum akan kehebatan Tin-san-kang dan tahu
pula bahwa ia takkan kuat menahan pukulan-pukulan ini, maka
cepat ia meloncat mundur mengandalkan ginkangnya yang luar
biasa. Adapun See-thian Tok-ong juga menggerakkan tangan kiri
untuk menolak hawa pukulan lawan.
Akan tetapi kesempatan itu tidak dilewatkan percuma oleh Giok
Seng Cu. Sekali ia melompat, ia telah berlari masuk hutan.
"Tinggalkan pedang!" teriak See-thian Tok-ong mengejar. Juga
Kwan Ji Nio ikut pula mengejar.
Giok Seng Cu tadinya hendak mengandalkan keadaan di lembah
itu untuk menyelamatkan diri. Ia sudah mengenal baik keadaan di
lembah yang liar itu dan kalau ia dapat masuk ke dalam hutan yang
lebat, agaknya dua orang lawannya takkan berhasil mengejarnya.
Akan tetapi tiba-tiba ia mendengar suara sayap burung dan ketika ia
memandang ke atas, ia melihat kim-tiauw tadi beterbangan di atas
dan mengeluarkan bunyi nyaring.
"Burung jahanam...!" makinya. Ia menahan gemas dan menyesal
mengapa ia tak mempunyai gendewa dan anak panah untuk
membunuh burung itu. Dengan adanya kim-tiauw yang terus
mengikutinya, tak mungkin lagi ia bersembunyi. dan dua orang
suami isteri itu telah menyusulnya dan mengirim serangan-serangan
hebat. See-thian Tok-ong menyetang dengan tangan berbisa,
sedangkan Kwan Ji Nio menggerakkan tongkat bambunya dengan
cepat sekali.
"Celaka aku kali ini...." Giok Seng Cu mengeluh ketika tiba-tiba
merasa tangan kanannya makin gatal-gatal, dan rasa gatal itu
menyerang sampai ke pundaknya. Ia maklum bahwa itu tentulah
akibat dari serangan tangan berbisa yang dipegang oleh See-thian
Tok-ong dan kini racunnya telah masuk ke dalam lengannya. Tibatiba
ia berseru keras dan dari tangan kanannya menyambar sinar
190
keemasan ke arah leher See-thian Tok-ong. Kakek ini terkejut sekali.
Cepat ia mengelak akan tetapi tetap saja sinar itu telah melanggar
ujung baju di lengannya sehingga ujung baju itu terbabat putus.
Baiknya ia cukup cepat mengelak sehingga tidak terluka. Ketika ia
memandang ke depan, Giok Seng Cu telah lari jauh masuk ke dalam
hutan.
See-thian Tok-ong tidak mau mengejar. "Tidak perlu mengejar
dia, pokiam (pedang pusaka) telah diberikan kepadaku. Ia
menghampiri pedang Pak-kek Sin-kiam yang tadi dilontarkan
kepadanya dan kini pedang itu tertancap ambles ke dalam batang
pohon. Dicabutnya pedang itu dan dipandanginya dengan penuh
kesayangan.
"Kau yang akan membawaku ke tempat kitab dan akulah yang
akan dapat mewarisi Ilmu Silat Pak-kek Sin-ciang hoat. Ha, ha,
ha...!" See-thian Tok-ong tertawa gembira.
"Suhu, teecu menghaturkan kionhi (selamat)!" Tiba-tiba Kong Ji
keluar dari tempat persembunyiannya berlutut di depan See-thian
Tok-ong.
"Ha, anak baik, kau telah membantu banyak." Tentu saja Seethian
Tok-ong dan isterinya sudah tahu bahwa Kong Ji bersembunyi
di situ. "Mari sekarang kita mencari kitab di puncak Lulilang-san,”
ajaknya.
Siasat Kong Ji untuk memancing keluar Giok Seng Cu, oleh Seethian
Tok-ong dianggap sebagai bukti kebaktian anak itu
kepadanya. Oleh karena itu, ia makin merasa suka kepada Kong Ji.
Bahkan anak ini dengan sikapnya yang mengasih dan pandai
mengambil hati, akhirnya dapat juga menangkan hati Kok Sun yang
menganggapnya sebagai seorang sahabat yang baik sekali. Hanya
Kwan Ji Nio seorang yang masih bersikap dingin kepadanya,
sungguhpun rasa benci dari nenek ini tidak sehebat dulu.
Rasa sayang dari See-thian Tok-ong kepadanya terasa oleh Kong
Ji karena ia dapat mengetahui hal ini dari cara Raja Racun itu
memberi pelajaran silat kepadanya. Kini mulailah See-thian Tok-ong
menurunkan rahasia latihan ilmu lwee kang dari barat dan di
191
sepanjang perjaianan menuju ke Luliang-san tiap kali ada
kesempatan. Kong Ji selalu melatih diri dengan pelajaran baru ini.
Setelah tiba di puncak Luliang-s See thian Tok-ong dan isterinya
merasa amat kagum dan suka sekali melihat puncak yang indah itu.
"Benar-benar tempat yang amat menyenangkan," katanya,
"pantas sekali tempat seperti ini disukai oleh mendiang Pak Kek
Siansu. Memang amat baik untuk menjadi tempat bertapa dan
istirahat." Ia segera mengambil keputusan untuk tinggal di puncak
itu. Bahkan lalu memperbaiki bekas pondok Pak Kek Siansu yang
sudah diobrak-abrik dan dirusak oleh Kok Sun, puteranya sendiri
ketika bersama Ba Mau Hoatsu mencari kitab rahasia.
-oo0mch-dewi0oo-
Agar tidak membingungkan pembaca baik diceritakan bahwa Ba
Mau Hoatsu telah kembali ke Tibet seteLah See-thian Tok-ong
menyusul puteranya ke Tiong- goan. Dengan adanya See-thian Tokong
sekeluarga turun dari Tibet untuk mencari kitab, Ba Mau Hoatsu
merasa ada harapan baginya lagi untuk ikut-ikut mencari kitab itu,
maka ia pun lalu berpamit dan kembali ke Tibet, di mana melatih
diri dengan ilmu silatnya.
See-thian Tok-ong dan anak isterinya, dengan bantuan Kong Ji
mulailah mencari kitab peninggalan Pak Kek Siansu. Akan tetapi
usaha mereka sia-sia. Seluruh puncak telah mereka jelajahi dan
periksa, namun tidak ada hasilnya. Kitab rahasia itu tak dapat
ditemukan.
Berbulan-bulan mereka mencari dan selama itu Kong Ji mulai
menerima latihan-latihan ilmu silat dari See-thian Tok-ong. Raja
Racun ini tertarik sekali melihat kecerdikan Kong Ji dan setelah
melatih beberapa bulan, ia mendapat kenyataan bahwa bakat dalam
diri anak ini bahkan lebih besar daripada puteranya sendiri. Setiap
gerakan dan latihan lwee-kang dapat ditangkap dengan mudah oleh
Kong Ji. Akan tetapi tentu saja See-thian Tok ong belum berani
menurunkan kepandaiannya yang sejati dan hanya memberi
pelajaran ilmu-ilmu silat yang tidak begitu hebat. Namun Kong Ji
tetap sabar. Anak ini pandai sekali menyembunyikan lepandaian192
kepandaian yang pernah dipelajarinya, bahkan suhunya sendiri tidak
tahu bahwa ia kini telah mulai dapat menjalankan Ilmu Pukulan Tinsan-
kang dari Giok Seng Cu! Dalam pandangan See-thian Tok-ong,
Kong Ji masih dangkal Ilmu pengetahuannya dalam ilmu silat,
padahal anak ini diam-diam telah memiliki ilmu-ilmu silat, dari
Kwan-im-pai dari Hoa-san-pai, dan juga dari Giok Seng Cu.
Pelajaran lweekang yang agak dalam telah mulai diturunkan oleh
See-thian Tok-ong kepada Kong Ji setelah hampir setahun mereka
tinggal di puncak Jeng in-thia (Ruang Awan Hijau). Lweekang ini
berbeda cara melatihnya dengan lweekang di Tiong-on karena
untuk siulian (bersamadhi), Kong Ji harus berdiri dengan kaki di atas
dan kepala di bawah. Mula-mula hal ini amat sukar. Baru sebentar
saja kepalanya terasa pening dan darah turun ke bawah membuat
mukanya merah sekali. Juga ia tak dapat tahan lama membiarlan
kakinya lurus ke atas, sehingga ia harus mencari bantuan batu
karang untuk menyangga kedua kakinya. Namun berkat latihan
yang amat tekun, beberapa bulan kemudian ia telah dapat berdiri
berjam-jam dengan kepala di bawah dan kaki di atas. Kemudian ia
diberi pelajaran melakukan gerakan kaki tangan dengan keadaan
tubuh berjungkir balik, yakni kepala di bawah dan kaki di atas. Ini
adalah gerakan-gerakan untuk melatih tenaga dalam tubuh dan
untuk memperkuat lweekangnya.
Semenjak menerima pelajaran itu, setiap pagi, tanpa mengenaI
lelah, Kong Ji terlihat berlatih seorang diri di dekat jurang di Jeng-inthia,
dengan kepala di bawah, kedua kali di atas, kedua lengan
dibentangkan kemudian ia bergerak-gerak dan berputar-putar cepat
sekali! Hatinya penuh cita-cita yakni untuk menjadi jagoan nomor
satu di dunia persilatan. Ia tidak tahu bahwa tempat di mana ia
berlatih, kadang-kadang seorang diri dan kadang-kadang berdua
dengan Kok Sun, dahulu adalah tempat berlatih Wan Sin Hong di
bawah pimpinan Luliang Sam lojin. Juga, ia tidak pernah mengimpi
bahwa pada saat ia berlatih di tempat itu, tak jauh dari situ, yakni di
dalam jurang, kurang lebih seratus tombak dalamnya dari tepi
jurang, seorang anak laki-laki lain tengah berlatih ilmu yang
dilatihnya, dan anak itu bukan lain adalah Wan Sin Hong yang
sedang berlatih ilmu silat menurut petunjuk kitab peninggalan Pak
Kek Siansu!
193
-oo0mch-dewi0oo-
Tiga tahun telah berlalu amat cepatnya. Selama itu, See-thian
Tok-ong dan anak isterinya tinggal di puncak Luliang san dan
mereka tiada henti dan bosannya mencari kitab peninggalan Pak
Kek Siansu yang tanpa hasil. Mereka mulai putus asa dan sikap Seethian
Tok-ong terhadap Kong Ji mulai berubah, kini seringkali ia
mengeluarkan kata-kata kasar.
Namun kakek ini menepati janjinya. Ia melatih Kong Ji dengan
sungguh-sungguh sehingga anak ini mewarisi ilmu silat yang amat
tinggi. Kong Ji tidak menyia-nyiakan waktunya, siang malam tiada
bosannya ia melatih diri sehingga biar lambat akan tetapi tentu ia
mulai mengejar kepandaian Kwan Kok Sun si Bocah Gundul yang
kini telah menjadi orang pemuda, namun tetap saja kepalanya
selalu digunduli. Kong Ji sendiri pun sudah menjadi seorang pemuda
tanggung yang tampan dan bertubuh jangkung. Memang kalau
dilihat begitu saja agaknya Kong Ji masih kalah oleh Kok Sun, akan
tetapi andaikata mereka bertempur, sudah dapat dipastikan bahwa
Kok Sun akan kalah. Hal ini adalah karena di samping pelajaran ilmu
silat yang ia dapat dari See-thian Tok-ong, juga Kong Ji diam-diam
telah menyempurnakan ilmu-ilmunya yang lain yang didapat dari
ajaran mendiang Liang Gi Tojin dan Giok Seng Cu, terutama sekali
ilmu pukulan Tin-san-kang dari Giok Seng Cu. Akan tetapi dengan
amat cerdiknya, ilmu ini ia simpan rapat-rapat dan keluarga itu tidak
mengetahuinya.
Pada suatu malam Kong Ji mendengar percakapan antara Seethian
Tok-ong dan isterinya, percakapan yang amat mengejutkan
hatinya.
"Kita membuang waktu percuma saja, dasar kau yang mudah
ditipu oleh anak setan itu!" kata Kwan Ji Nio kepada suaminya.
"Ahh, kau tahu apa?" jawab See-thian Tok-ong sambil tertawa.
"Kalau ada dia, bagaimana kita bisa mendapatkan pedang pusaka
dari Pak Kek Siansu.”
"Untuk apa pedang pusaka itu? Yang penting adalah kitab itu,
ternyata tidak ada di sini." Kemudian Kwan JI Nio menyambung
194
dengan suara perlahan, "bocah setan itu kulihat amat maju. Kelak
kalau hatinya membalik, kitalah yang akan bertambah seorang
musuh yang membahayakan."
"Ha, ha, isteriku, kau terlalu kecil hati. Apa sih bahayanya bocah
itu? Tidak bisa didapatkannya kitab sungguh-sungguh bukan
salahnya. Dan aku sudah berjanji menerimanya sebagai murid
selama lima tahun. Masih setahun lebih aku harus melatihnya,
kemudian, andaikata kau hendak membunuhnya, apa sih sukarnya.
Biar dia belajar dua atau tiga tahun lagi, menghadapi Kok Sun saja
belum tentu menang. Apa yang perlu kita takuti?"
Percakapan itu terhenti dan Kong Ji menjauhkan diri. Ia duduk
termenung di pinggir jurang tempat ia berlatih silat. Celaka,
pikirnya. Apa artinya aku belajar setahun dua tahun lagi kalau
akhirnya aku akan mereka bunuh juga? "Ah, kalau saja aku bisa
mempelajan ilmu dari kitab peninggalan Pak Kek Siasu, aku tidak
akan takut menghadapi mereka!" Sudah lama bocah yang cerdik ini
sering kali memandang ke dalam jurang dan timbul pikirannya
bahwa besar sekali kemungkinan kitab rahasia itu disembunyikan di
dasar jurang. Bukankah pedang itu pun menurut Kok Sun,
didapatkan oleh kim-tiauw di dasar jurang?
Ia sengaja tidak menyatakan dugaannya ini kepada See-thian
Tok-ong, karena memang ia tidak ingin keluarga iblis itu
mendapatkan kitab yang ia sendiri ingin memilikinya. Akan tetapi
setelah mendengar percakapan antara suami isteri itu, ia
mendapatkan akal. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri
untuk menarik simpati dan kasih sayang mereka, adalah membantu
mereka mendapatkan kitab, sehingga dengan jalan ini ia dapat
membuktikan kesetiaan dan kebaktiannya.
"Suhu," katanya pada keesokan harinya kepada See-thian Tokong,
"bagaimana dengan hasilnya mencari kitab rahasia itu?"
Kening kakek itu berkerut dan sepasang matanya kelihatan
marah,
"Perlu apa kau bertanya-tanya? Membantu pun tidak becus!"
tegurnya marah.
"Maaf, Suhu. Sudahkah dicari di dasar jurang itu?"
195
"Kau ngelindur! Jurang yang tidak kelihatan dasarnya itu,
bagaimana bisa periksa?"
"Teecu sanggup menuruni jurang itu!”
See-thian Tok-ong tertegun, demikian juga Kwan Ji Nio dan Kok
Sun.
"Jangan kau main-main, kupatahkan batang lehermu nanti!"
bentak Kwan Ji Nio.
"Subo, mana teecu berani main-main Dulu yang mendapatkan
Pak-kek Sin kiam adalah kim-tiauw, kalau sekarang teecu naik di
punggung kim-tiauw dan menyuruh burung itu terbang turun ke
jurang apakah sukarnya? Siapa tahu kalau-kalau di dalam jurang
itulah tempat disimpannya kitab rahasia peninggalan Pak Kek
Siansu."
"Bagus, bagus! Kau betul sekali, muridku yang baik!" kata Seethian
Tok-ong dan sepasang matanya yang lebar itu memandang
kepada isterinya seakan-akan berkata bangga. "Apa kataku?
Muridku ini bukannya seorang yang tidak ada gunanya!”
Kim-tiauw dipanggil dengan siutan keras. Burung yang sedang
beterbangan di atas itu meluncur turun dan hinggap di atas tanah,
di depan See-thian Tok-ong.
"Kim tiauw, kaubawa Kong Ji ke dasar jurang, ke tempat di mana
dahulu kau mendapatkan pedang ini!” kata See-thian Tok-ong
sambil memperlihatkan Pak-kek Sin-kiam kepada burung itu.
Adapun Kong Ji sudah meloncat ke atas punggung kim-tiauw dan
berkata, "Kim-tiauw yang baik, hati-hatilah kau terbang ke dalam
jurang." Anak ini kelihatannya gembira sekali, memang sebenarnya
dia gembira karena ia memang ingin sekali mendapatkan kitab yang
dicari-cari oleh semua orang kang-ouw itu.
Burung rajawali emas itu mengeluarkan pekik nyaring, lalu
membuka sayap dan terbang tinggi. Setelah berputar beberapa kali
di atas jurang, ia lalu menukik turun dengan cepatnya. Kong Ji
hampir tak berani membuka matanya saking ngeri melihat betapa
burung itu membawanya meluncur turun ke dalam jurang yang
tidak kelihatan dasarnya itu.
196
Akan tetapi, ia segera berseru girang dan heran ketika burung itu
tiba di atas sebuah lereng Bukit Luliang-san yang indah sekali
pemandangannya. Burung itu turun dan Kong Ji juga meloncat
turun dari punggungnya sambil memandang ke kanan kiri,
mengagumi keindahan tamasya alam di sekitar itu.
"Kim-tiauw, di manakah kau dahulu mendapatkan pedang?"
tanyanya berulang ulang.
Burung itu tentu saja tidak dapat menjawab, akan tetapi agaknya
ia mengerti akan maksud pertanyaan Kong Ji.
Ia meloncat-loncat dan tiba di depan gunung karang di mana
terdapat sebuah batu besar sekali tersandar pada lamping batu
karang yang menjadi gunung itu. Ia berbunyi berkali-kali dan
kelihatan bingung. Memang, dahulu ia merampas pedang dari
tangan anak kecil yang keluar dari gua, akan tetapi sekarang di situ
tidak kelihatan ada gua lagi.
Kong Ji amat cerdik. Agaknya burung ini memberi tanda bahwa
pedang didapatkan di batu ini, pikirnya. Ia lalu mendorong batu
besar itu akan tetapi berat batu itu ada seribu kati kiranya maka
biarpun ia mendorong kuat-kuat, batu itu tidak bergeming. Kimtiauw
itu mengangguk-angguk dan berbunyi terus, maka makin
curigalah Kong Ji.
"Mundurlah, Kim-tiauw!" bentaknya. Burung itu sudah pandai
mendengar perintah dan suara Kong Ji sudah dikenal olehnya, maka
ia cepat meloncat dan terbang menjauhi tempat itu,
Kong Ji berjumpalitan, berdiri dengan kepala di bawah dan kedua
kaki di atas, berlatih sebentar mengumpulkan lweekangnya.
Sekarang, setelah jauh dari See-thian Tok-ong dan anak isterinya
barulah ia mendapatkan kesempatan untuk mencoba kepandaian,
yakni Tin sa kang yang ia pelajari dari Giok Seng Cu.
Setelah tulang-tulang berbunyi berkerotokan. Kong Ji meloncat
berdiri seperti biasa, merendahkan tubuh, mengerahkan seluruh
tenaga lweekang yang ada di tubuhnya, lalu mendorong batu yang
bersandar pada gunung karang itu sambil mengeluarkan Ilmu Tinsan-
kang.
197
Dan dia berhasil! Batu itu bergoyang- goyang, namun tidak dapat
menggelinding pergi. Kong Ji merasa yakin bahwa di balik itu atau
bawahnya terdapat rahasia yang akan membawariya ke tempat
penyimpanan kitab peninggaian Pak Kek Siansu. Ia berhenti untuk
bernapas dan beristirahat.
"Masa aku kalah oleh batu ini?" pikirnya. Dengan sekuat tenaga,
kembali ia mendorong batu itu, melakukan gerakan mendorong
Ilmu Tin-san-kang jurus terakhir yang paling besar tenaganya yakni
dengan kedua kaki menjejak tanah dan kedua tangannya
mendorong ke depan, kepala tunduk dan tubuh hampir jongkok.
Kini ia berhasil! Batu itu bergeser sedikit dan alangkah girangnya
ketika ia melihat bahwa di belakang batu itu terdapat sebuah gua
yang gelap! Biarpun batu penutup gua itu hanya tergeser sedikit,
akan tetapi cukup lebar untuk dia menyelinap masuk.
Tanpa ragu-ragu dan tidak kenal takut, Kong Ji masuk ke dalam
gua. Akhirnya ia tiba di sebuah ruangan yang cukup luas, dan
alangkah girangnya ketika ia melihat di dalam ruangan itu ada batubatu
licin seperti tempat duduk, dan sudut ruangan terdapat sebuah
peti! Berdebarlah hatinya. Tak salah lagi, inilah tempat rahasia itu,
pikirnya. Ia memandang sekeliling dengan siap sedia, kalau-kalau
ada orang di dalam gua itu, akan tetapi keadaannya sunyi sekali.
Kong Ji sudah memiliki kepandaian yang tinggi sehingga kalau di
dekat situ terdapat orang tentu ia akan dapat mendengar jalan
pernapasan orang itu.
Dengan hati kebat-kebit ia menghampiri peti dan membuka
tutupnya. Tutup peti itu berat sekali, akan tetapi dengan
lweekangnya yang sudah tinggi, ia berhasil membukanya tanpa
banyak sukar. Hampir saja ia berteriak girang ketika ia melihat
sebuah kitab tebal di dalam peti' itu. Kegirangannya meluap-luap
karena ia dapat membaca huruf-huruf sampul buku yang ditulis
besar-besar dengan jelas dan berbunyi : PAK KEK SIN CLANG HOAT
PIT KIP (Kitab Pelajaran Ilmu Silat Pak-kek-sin-ciang).
Akan tetapi ia merasa menyesal sekali ketika membuka kitab itu,
karena ia tidak dapat membacanya. Hanya beberapa buah huruf
saja dapat dibacanya karena sesungguhnya Kong Ji sudah banyak
198
lupa akan huruf-huruf yang belum lama dipelajari dan tidak pernah
ia pergunakan.
Ia termenung sebentar, kemudian mengembalikan kitab di dalam
peti, menutupnya kembali, kemudian ia memeriksa keadaan di
dalam gua. Setelah merasa yakin bahwa ia tidak mendapatkan apaapa
lagi, ia lalu keluar dari dalam gua. Dari luar gua ia
mempergunakan kepandaian dan tenaganya untuk menggeser
kembali batu itu menutupi gua dan sama kali tidak kelihatan dari
luar. Dipandang dari luar batu itu tidak menimbulkan kecurigaan,
seperti batu besar biasa yang terletak di dekat batu karang seperti
gunung itu.
Dengan kakinya Kong Ji meratakan tanah di mana jejak kakinya
nampak, kemudian ia memanggil kim-tiauw dan melompat ke atas
punggungnya. "Kim-tiauw, mari kita naik lagi ke tempat Suhu,”
katanya.
Kim-tiauw terbang ke atas dan di -sepanjang penerbangan naik
Kong Ji memperhatikan pinggiran jurang, karena sudah mengambil
keputusan untuk kelak kembali seorang diri di dalam jurang ini dan
mempelajari isi kitab itu setelah ia pandai membaca.
Setelah tiba di depan See-thian Tok-ong dan anak isterinya yang
menanti sampai kehilangan sabar, Kong Ji berkata.
"Tidak ada apa-apa, Suhu. Hanya lereng bukit kosong, penuh
batu karang besar-besar. Kim-tiauw juga kelihatan bingung,
agaknya pedang Pak-kek Sin-kiam itu ia pungut begitu saja dari
dasar jurang yang ternyata merupakan lereng juga itu. Kitabnya
kalau memang ada tentu tidak disimpan di tempat seperti itu."
See-thian Tok-ong nampak kecewa sekali. Kwan Ji Nio
menyumpah-nyumpah lalu berkata kepada suaminya,
"Kalau kitab itu memang tidak ada mengapa susah-susah
dipikirkan? Dengan kepandaian yang ada pada kita, siapakah yang
mampu mengalahkan kita?"
Tiba-tiba Kok Sun berkata, "Ayah siapa tahu kalau Kong Ji kurang
teliti mencarinya. Biar aku sendiri yang melihat keadaan di bawah
sana bersama kim-tiauw."
199
Kong Ji terkejut sekali akan tetapi dengan cerdiknya ia dapat
menekan perasaan hatinya sehingga mukanya tidak menunjukkan
sesuatu, bahkan ia berkata dengan lagak mendongkol, "Kalau Kok
Sun Twako tidak percaya kepadaku, baiklah kaulihat sendiri!"
Kok Sun hanya tertawa dan cepat melompat ke punggung kimtiauw
dan menyuruh burung itu terbang masuk kedalam jurang.
Hati Kong Ji berdebar. Celaka, pikirnya, kalau sampai setan gundul
ini mendapatkan kitab, tidak saja kitab itu akan terjatuh ke tangan
See-thian Tok-ong, bahkan dia sendiri tentu akan dibunuh oleh Raja
Racun.
"Kau bilang tidak menemukan apa-apa di bawah sana? Betulkah
itu? Hm, kau akan melihat sendiri akibatnya kalau kau membohongi
kami." Kwan Ji Nio berkata sambil tersenyum dan memandang
kepada Kong Ji. Nyonya ini merasa benci kepada Kong Ji, benci
yang ditimbulkan oleh iri hati, karena bocah ini lebih tampan
daripada puteranya sendiri.
"Subo, memang teecu tidak mendapatkan sesuatu. Kalau teecu
mendapat sesuatu di bawah sana, tentu sudah teecu bawa naik.
Andaikata Kok Sun Twako mendapat kitab itu di bawah sana, itulah
karena Twako memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada
teecu," jawab Kong Ji merendah. Ia pikir bahwa jawaban ini
mungkin akan menolongnya terbebas daripada kecurigaan
andaikata benar-benar Kok Sun mendapatkan kitab rahasia itu.
Di dalam hati Kong Ji timbul ketegangan luar biasa selama
menanti munculnya kim-tiauw dan Kok Sun. Ia gelisah sekali, akan
tetapi diam-diam ia berpikir, takkan mungkin Kok Sun kuat
mendorong batu besar itu. Ia tahu bahwa tenaga lweekang dari Si
Gundul itu sudah kuat sekali, akan tetapi tidak banyak selisihnya
dengan tenaganya sendiri. Tadi pun kalau tidak mengerahkan Tinsan-
kang takkan mungkin ia dapat menggeser batu. Dengan pikiran
ini, hatinya menjadi lega.
Tak lama kemudian terdengar suara kim tiauw dan muncullah
burung besar itu. Kok Sun duduk di atas pungungnya dan dari muka
Si Gundul ini dapat diduga bahwa ia pun gagal dalam usahanya
mencari kitab.
200
"Benar, Kong Ji, di sana tidak apa-apa melainkan batu-batu besar
dan batu karang," kata Kok Sun setelah melompat turun.
Kong Ji tanpa disadarinya tersenyum mengejek dan merasa
girang sekali, hanya dia masih khawatir kalau-kalau See-thian Tokong
sendirilah yang mencoba karena Raja Racun itu pasti dapat
meggeser batu yang menutupi gua di mana tersimpan kitab itu.
Tiba-tiba Kwan Ji Nio menyambar memegang pundaknya dengan
kuat sekali. Kong Ji terkejut dan memandang.
"Bocah setan, mengapa kau tersenyum sindir melihat kegagalan
anakku? Kau senyembunyikan rahasia apakah? Hayo mengaku!”
Kong Ji terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa nenek ini
demikian cerdik dan demikian tajam pandangan matanya. Kalau ia
tidak dapat memberikan alasan, tentu mereka akan menjadi curiga
dan akan memaksanya mengaku akan rahasia hatinya.
"Maaf...," ia sengaja berkata gagap, "teecu... teecu tadi merasa
penasaran karena Kok Sun Twako tidak percaya kepada teecu dan
pergi memeriksa sendiri. Sekarang melihat Twako tidak
mendapatkan apa-apa, tanpa disengaja teecu tersenyum, mohon
Subo sudi memaafkan."
"Kau anak setan, kau sekarang saja sudah berani menghina
anakku, apalagi kelak kalau sudah pandai. Kok Sun, hayo beri
hajaran kepadanya yang sudah berani mentertawakanmu!" kata
nyonya tua itu dengan marah.
See-thian Tok-ong diam saja, bahkan membuang muka ketika
Kong Ji memandang kepadanya untuk minta bantuan. Hati Kong Ji
mulai gelisah. Setan tua ini karena sekarang melihat aku tak dapat
membantunya mendapatkan kitab, tak mau perduli lagi kepadaku.
Ia memandang kepada Kok Sun. Si Gundul ini hanya tersenyum saja
dan memandang juga kepadanya dengan mata menyelidik.
"Kong Ji kau memang kurang ajar kepadaku. Akan tetapi aku
sebenarnya takkan melakukan sesuatu. Hanya karena Ibu yang
minta maka terpaksa aku harus mentaatinya. Bangunlah, dan mari
kita berlatih sebentar!"
201
Kong Ji tidak mengerti akan maksud Kok Sun. Biasanya Si Gundul
ini amat baik terhadapnya dan ia pun sudah merasa yakin bahwa ia
telah berhasil menarik hati Kok Sun dan mendapatkan kasih
sayangnya sebagai saudara. Tiba-tiba mata Kok Sun berkejap. Kong
Ji memang cerdik, maka tahulah ia akan maksud Kok Sun. Si Gundul
ini mengajak ia mengadu kepandaian untuk menghilangkan
kemarahan hati ibunya dan kalau Kong Ji sudah terkalahkan
olehnya, agaknya kemarahan ibunya akan berkurang terhadap Kong
Ji. Memang hal ini perlu sekali karena kalau kemarahan ibunya tidak
dipadamkan, ada kemungkinan Kong Ji akan dibunuh pada saat itu
juga.
"Baiklah, Twako, kalau kau hendak memberi hukuman padaku,
silakan," kata Kong Ji sambil melompat berdiri.
"Kong Ji kaulawan dia. Tidak boleh puteraku memukul lawan
tanpa lawannya itu membalas," tiba-tiba See-thian Tok-ong berkata.
Kakek ini biarpun tentu saja membela putera sendiri, namun ia
merasa tersinggung kehormatannya kalau melihat Kong Ji dipukul
tanpa memperlihatkan perlawanan. Setidaknya anak ini pernah
belajar kepadanya dan sekaranglah waktunya untuk menguji sampai
di mana hasil pelajaran itu. Memang aneh watak orang seperti Seethian
Tok-ong. Ia tidak akan peduli andaikata isterinya membunuh
Kong Ji, ia tidak ingat sama sekali tentang nasib anak ini. Akan
tetapi ia ingin melihat hasil daripada ajarannya dan dapat bangga
karena hasil yang baik.
"Nah, Kong Ji, Ayah sudah mengijinkan kita mengadu
kepandaian, hitung-hitung latihan!” kata Kok Sun gembira, memang
Si Gundul ini tidak mempunyai maksud buruk terhadap Kong Ji,
hanya ingin mengalahkan dalam pertempuran agar ibunya puas.
Terpaksa Kong Ji bersiap sedia menanti serangan Kok Sun.
Serangan tiba ketika Kok Sun berseru keras dan memukul dengan
tangannya yang kecil tetapi kuat. Kong Ji cepat mengelak dan
membalas serangan lawan. Bertempurlah dua orang pemuda
tanggung ini dengan seru dan hebatnya. Masing-masing
mengeluarkan tipu-tipu dan gerak silat yang mereka pelajari dari
See-thian Tok-ong. Kakek ini berdiri tegak menonton dan mulutnya
tersenyum, kepalanya beberapa kali mengangguk-angguk. Dan
202
sambaran angin pukulan-pukulan kedua orang pemuda itu, tahulah
ia bahwa kepandaian mereka sudah amat maju dan mengagumkan.
Setiap gerakan tidak ada yang salah. Akan tetapi diam-diam ia
terkejut sekali. Tidak pernah disangkanya bahwa Kong Ji yang
secara terpaksa menjadi muridnya itu, benar-benar hebat sekali.
Gerakannya tenang, tetap, dan penuh tenaga. Tipu-tipunya amat
licin dan cerdik sehingga kalau saja Kok Sun tidak mewarisi
kepandaian ginkang (ilmu meringankan tubuh) dari ibunya, tentu
sudah terkena tipu dalam pertempuran itu.
Memang Kong Ji dalam pertempuran ini tidak mau mengalah.
Inilah penyakitnya. Kalau saja ia mengalah dan mandah dipukul dan
dikalahkan dalam pertempuran ini, agaknya kemarahan Kwan Ji Nio
akan padam dan ia akan selamat. Akan tetapi, selain cerdik sekali,
Kong Ji mempunyai kelemahan, yakni tak mau menyerah kalah
terhadap siapapun juga. Biasanya, di dalam menyerah ia
menyembunyikan siasat yang membuat ia menarik keuntungan
besar, yakni yang disebut siasat mengalah untuk menang. Akan
tetapi menghadapi Kok Sun ia lupa akan siasat ini. Darah mudanya
membuat ia tidak mau kalah begitu saja terhadap Kok Sun.
Nafsunya untuk menjadi jagoan dan menangkan semua orang,
menguasai seluruh tubuhnya. Ia bertempur dengan hati-hati dan
penuh semangat. Hanya kecerdikan otaknya saja yang menahannya
sehingga ia tidak mempergunakan Tin-san-kang terhadap Kok Sun
melainkan mainkan ilmu silat yang ia pelajari dari See-thian Tokong.
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid VIII
KWAN Kok Sun merasa penasaran sekali. Kong Ji baru paling
lama, empat tahun belajar silat dari ayahnya, sedangkan ia
digembleng sejak kecil. Bagaimana sampai lima puluh jurus belum
juga ia dapat mengalahkan Kong Ji? Tentu saja ia tidak tahu bahwa
sebelum belajar kepada See-thian Tok-ong, Kong Ji sudah menerima
latihan sejak kecil dari ayah bundanva, kemudian menerima latihan
Liang Gi Tojin dan yang terakhir dari Giok Seng Cu.
203
Kok Sun mulai marah. Beberapa kali ia mengejapkan mata
kepada Kong Ji akan tetapi Kong Ji agaknya tidak mengerti dan
selalu menghadapi serangannya dengan sungguh-sungguh. Padahal
Kok Sun hanya main-main saja dan ingin mengalahkan Kong Ji
dengan menolongnya. Melihat bahwa sudah terang Kong Ji tidak
mau mengalah, timbul kemarahan di dalam hati pemuda gundul ini.
Ia mengeluarkan seruan keras dan kini ia menyerang dengan
sungguh-sungguh. Kagetlah Kong Ji karena kini sambaran angin
pukulan Kok Sun amat berbahaya ditujukan kepada anggauta
tubuhnya yang lemah dalam pukulan-pukulan maut. Tadinya,
biarpun ia juga bersungguh-sungguh tentu saja tidak bermaksud
bertempur sampai dapat membinasakan lawan, cukup kalau ada
yang kalah saja. Akan tapi sekarang Kok Sun bertempur untuk
membunuhnya. Perubahan gerakan Kok Sun int tentu saja membuat
ia terdesak.
Kok Sun mendesak terus dan pada suatu saat, pemuda gundul ini
melakukan pukulan dengan kedua tangan, setelah tendangan
berantai yang ia lakukan dapat ditangkis oleh Kong Ji. Pukulan
kedua tangan ini amat cepat, kuat dan ganas sehingga tidak
mungkin dapat ditangkis lagi oleh Kong Ji. Pukulan ini mengarah
dada dan kalau ia sampai terkena pukulan ini, ia tentu akan tewas
atau sedikitnya akan menderita luka di dalam tubuh yang amat
berbahaya.
Dalam keadaan yang amat terdesak itu, Kong Ji tidak mempunyai
daya lain kecuali mempergunakan Tin-san-kang dan menangkis
pukulan tadi. Dua pasang telapak tangan bertemu amat kerasnya
dan tubuh Kok Sun terjengkang ke belakang. Begitu ia melompat
bangun, darah segar keluar dari mulut Kwan Kok Sun!
"Jahanam, kau telah melukai anakku!" bentak Kwan Ji Nio dan
cepat ia menyerang dengan sebuah totokan ke arah kepala Kong Ji.
Kali ini Kong Ji tidak dapat berpura-pura lagi, untuk melinclungi
tubuhnya, kembali ia mempergunakan Tin-san-kang memukul ke
arah nyonya tua itu. Baiknya kepandaian Kwan Ji Nio sudah amat
tinggi sehingga cepat sekali ia dapat menghindarkan diri, akan
tetapi diam-diam ia terkejut sekali karena pukulan Kong Ji tadi
204
benar-benar berbahaya sehingga ia masih dapat merasai sambaran
angin yang luar biasa ketika mengelak.
"Dari mana kau mempelajari pukulan itu?" See-thian Tok-ong
berseru dan sekali ia bergerak, ia telah berhasil menotok pundak
Kong Ji sehingga tubuhnya menjadi lemas dan ia roboh duduk tanpa
berdaya lagi.
"Teecu mendapatkan pelajaran dari Suhu Giok Seng Cu," katanya
perlahan.
"Celaka dia memperdayai!" kata Kwat Ji Nio. "Dengan
kepandaian yang ia dapat dan sana-sini, ia kelak merupakan orang
yang berbahaya bagi kita. Baik bikin mampus saja bocah ini!"
See-thian Tok-ong merasa setuju dengan maksud isterinya. ia
pun tadi terkejut sekali. Ternyata bahwa kepandaian Kong Ji sudah
demikian tangguhnya sehingga bocah ini dapat menghadapi
isterinya dengan Tin-san-kang sehingga hampir saja istennya roboh
pula. Ia tidak berkata apa-apa hanya menghampin puteranya dan
menotok dada puteranya di bagian tai-kong-hiat untuk
menyembuhkan luka bekas akibat benturan tangan Kong Ji yang
mengandung tenaga Tin-san-kang.
"Tahan dulu, Ibu!" Kok Sun tiba-tiba berseru ketika melihat
ibunya mengangkat tangan hendak membinasakan Kong Ji. "Aku
yang ia hina, aku pula yang berhak membunuhnya. Biar ia dijadikan
makanan untuk ang--coa (ular merah)." Sambil berkata demikian,
Kok Sun merogoh saku baju mengeluarkan sepasang ular merah
yang membelit-belit di antara jari tangannya.
Kong Ji maklum bahwa nyawanya takkan tertolong lagi, akan
tetapi ia memandang dengan berani kepada Kok Sun. Hampir saja ia
membuka mulut dan membuka rahasia tentang kitab yang berada di
dalam gua di dasar jurang, Akan tetapi ia menahan mulutnya. Apa
gunanya? Ia telah yakin bahwa biarpun ia memberi kitab itu kepada
See-thian Tok-ong, harapannya sedikit sekali baginya untuk dapat
membebaskan diri dari mereka itu. Akhirnya ia pun akan dibunuh
juga dan kalau sampai terjadi demikian dia yang rugi besar.
"Kwan Kok Sun, kau sudah kalah olehku, sekarang hendak
membunuh secara curang. Baik, lepaskan ang-coa itu, aku tidak
205
takut mati. Aku mati sebagai seorang gagah, akan tetapi kau,
kecuranganmu ini akan membikin busuk namamu selama kau
hidup!"
Kok Sun menjadi merah mukanya. Dengan gemas ia lalu
melepaskan ular-ularnya ke arah Kong Ji yang memandang
datangnya dua ekor ular merah terbang itu dengan mata terbuka
lebar. Nasib Kong Ji sudah tak dapat diulur lagi agaknya'
Akan tetapi, pada saat yang amat berbahaya itu, tiba-tiba
berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu seorang anak
perempuan kecil dengan sebatang ranting bambu di tangan telah
berdiri di dekat Kong Ji. Dengan dua kali menggerakkan ranting
bambu, ia dapat memukul sepasang ular merah itu. Dua ekor ular
itu terpelanting dan tak bergerak lag' karena kepala mereka telah
remuk Hanya ekor mereka yang bergerak-gerak lemah dan
menggeliat-geliat sebelum nyawa mereka meninggalkan tubuh.
Semua orang, termasuk Kong Ji terbelalak memandang ke arah
anak perempuan itu. Dia adalah seorang anak perempuan berusia
paling banyak sepuluh tahun, rambutnya diikat dengan pita dan
dibagi dua sehingga rambut yang panjang itu tergantung di atas
pundak, yang satu di belakang yang satu di depan. Mukanya mungil
dan lucu, mulutnya selalu tersenyum akan tetapi sepasang matanya
amat tajam. Bajunya berwarna merah dan pakaiannya longgar
sekali dengan baju lebar, akan tetapi tidak mengganggu gerakannya
yang amat lincah. Gadis cilik itu memandang kepada dua bangkai
ular, lalu dengan muka memperlihatkan kejijikan, ia membuang
ranting itu jauh-jauh.
"Siauw Suhu, kau benar-benar curang dan betul kata Saudara ini
bahwa namamu akan membusuk sepanjang masa kalau tadi kau
jadi membunuhnya!" katanya kepada Kok Sun. Dan sebutannya
terhadap Kok Sun, ia mengira bahwa Kok Sun yang berkepala
gundul adalah seorang hwesio cilik.
"Kau siluman cilik dari manakah berani mencampuri urusanku?"
bentak Kok Sun dengan marah sekali melihat sepasang ular yang
disayanginya telah mampus. Sikapnya seperti hendak menerjang
gadis cilik itu.
206
“Hm, kau kok galak amat? Tentu kau hwesio jahat!" kata anak
perempuan itu sambil tersenyum mengejek. "Kalah menang dalam
pertempuran bukan hal aneh akan tetapi membunuh lawan dengan
cara keji seperti yang akan kaulakukan tadi siapakah yang tidak
penasaran hatinya? Ular-ular itu busuk dan jahat akan tetapi yang
melepasnya lebih busuk dan jahat lagi."
"Siluman bermulut kotor, kau minta dihancurkan kepalamu!" Kok
Sun membentak sambil memukul.
Akan tetapi, sekali kedua kakinya digerakkan, anak perempuan
itu telah lompat ke belakang jauh sekali, gerakannya gesit seperti
seekor burung walet saja sehingga Kok Sun menjadi melongo,
bahkan Kwan Ji Nio yang memiliki gin-kang tinggi tak terasa
mengeluarkan suara pujian.
"Kaukira aku takut padamu"
Aku hanya merasa jijik beradu
tangan dengan kau manusia
busuk dan jahat!" gadis cilik itu
melakukan gerakan seperti
orang menari, akan tetapi
dalam pandangan mata Seethian
Tok-ong dan Kwan Ji Nio,
gadis itu bukannya menari,
melainkan melakukan ilmu silat
yang luar biasa sekali dan telah
siap menghadapi lawannya.
"Kok Sun tahan dulu...!" kata
See thian Tok-ong kepada
puteranya. Puteranya itu telah
terluka oleh Tin-san-kang dari
Kong Ji, dan anak perempuan
agaknya bukan bocah
sembarangan, maka ia khawatir kalau Kok Sun akan kalah. Juga ia
tertarik sekalI kepada bocah ini.
"Anak, siapakah kau? Dan dengan siapa kau datang?" tanyanya.
Sebelum anak itu menjawab, dari jauh terdengar suara keras.
207
"Hui Lian, kautunggu kami...!'
Baru saja suara itu lenyap gemanya tiba-tiba berkelebat
bayangan dua orang dan di situ telah berdiri sepasang suami isteri
setengah tua yang amat gagah. Yang laki-laki berusia kurang lebih
tiga puluh enam tahun dan wajahnya tampan sikapnya gagah sekali,
biarpun nampak kehalusan budi dari gerak-geriknya yang halus.
Pakaiannya sederhana, ditutup oleh baju luar yang lebar, yang aneh
sekali sedikit baju dalamnya yang kelihatan di dekat leher, berwarna
dan berkembang-kembang seperti baju wanita! Adapun yang wanita
juga amat gagah sikapnya, wajahnya cantik manis dan lemah
lembut, akan tetapi bibirnya yang bentuknya indah itu
membayangkan kekerasan hati. Di punggungnya kelihatan gagang
pedang dengan ronce-ronce berwarna merah.
Sepasang suami isteri ini, begitu tiba di tempat itu, lalu mcnyapu
keadaan di situ dengan pandang mata mereka. Laki-laki gagah
berbaju kembang itu memandang tajam kepada See-thian Tok-ong.
Kwan Ji Nio, dan Kwan Kok Sun, kemudian matanya bercahaya
seperti berapi. Ia melangkah malu menghampiri See-thian Tok-ong
dan berkata, suaranya lemah lembut akan tetapi matanya berkilat.
"See-thian Tok-ong, kiranya kau dan anak isterimu berada di
puncak Luliang san. Tentu kau dapat menceritakan kepadaku siapa
orangnya yang telah menewaskan ketiga Luliang Sam-lojin?"
See-thian Tok-ong terkejut. Bagaimana orang ini dapat
mengenalnya begitu bertemu muka? Ia selamanya belum pernah
melihat suami isteri ini, akan tetapi melihat sikap mereka, ia hampir
dapat menduga. Untuk melenyapkan keraguannya ia balas
bertanya,
"Kau telah tahu bahwa aku adala See-thian Tok-ong, sebaliknya
kau ini siapakah? Ada hubungan apa kau dengan Luliang Samlojin?"
Laki-laki itu menjawab, "Aku bernama Go Ciang Le, dia ini
isteriku dan Hui Lian itu adalah puteri kami, Lulian Sam-lojin adalah
suheng-suhengku...."
"Ah, jadi kau yang disebut Hwa Enghlong (Pendekar Baju
Kembang) dan isterimu ini Sianli Engcu (Bayangan Bidadari)?"
208
Tanya See-thian Tok-ong dengan terheran-heran dan sikap
mengejek. Ia sudah mendengar nama besar Hwa I Enghiong atau
Go Ciang Le sebagai seorang pendekar besar dan jarang
tandingannya pada masa itu, akan tetapi ia tidak mengira sama
sekali bahwa pendekar besar ini ternyata hanyalah seorang yang
masih muda dan kelihatannya tidak mengesankan sama sekali.
"See-thian Tok-ong, kau tentu sudah mendengar bahwa aku
adalah murid Pak Kek Siansu dan sute dari Luliang Sam-lojin, oleh
karena itu aku berhak untuk bertanya mengapa kau berada di sini
dan apakah kau yang telah menewaskan ketiga orang suhengku?"
kata pula Ciang Le.
Sebelum See-thian Tok-ong menjawab, Kwan Ji Nio
mendahuluinya. Nenek ini melangkah maju, menudingkan telunjuk
tangan kirinya ke muka Ciang Le sambil nemaki, "Macam inikah
yang disebut Hwa I Enghiong? Kiraku orangnya hebat seperti
namanya, tidak tahunya hanya seorang yang sombong dan tak tahu
aturan. Kalau kami tanggal di sini kau mau apa? Andaikata benar
Luliang Sam-lojin kami yang menewaskannya, kau mau apa?'"
Baru saja nyonya tua ini habis mengucapkan kata-kata itu,
terdengar bentakan nyaring dan Liang Bi Lan, isteri dari Go Ciang
Le, melompat maju dan menampar dengan tangannya ke arah
muka Kwan Ji Nio!
Kwan Ji Nio merasa ada sambar angin ke arah mukanya, cepat ia
menangkis sambil mengerahkan tenaga.
"Plak!" Dua tangan beradu, disusul suara "plak" yang lain dan
tubuh Kwan Ji Nio terhuyung ke belakang. Ternyata bahwa biarpun
tamparan tangan kanan dapat ditangkis, tangan kiri Liang Bi Lan
dapat menyusul cepat dan tanpa dapat dicegah lagi, pipi kanan
Kwan Ji Nio telah kena ditampar'
"Kau ini siluman wanita tua sungguh tak tahu malu!" Bi Lan
memaki sambil tersenyum sindir. "Dengarlah jawabanku. Kalau
memaksa hendak merampas tempat tinggal orang, kami akan
mengusir kalian dari Puncak Luliang-san. Adapun andaikata benarbenar
kalian telah membunuh Luliang Sam-lojin, kami akan
menghancurkan kepala kalian sebagai pembalasan dendam!"
209
Berbeda dengan suaminya yang tenang dan sabar sekali, Bi Lan
memang berwatak keras, mudah gembira dan mudah marah.
Kwan Ji Nio marah dan juga terkejut sekali. Ia merasa heran
bagaimana lawannya itu berhasil menamparnya, gerakan tangan
lawannya benar-benar amat aneh dan tidak terduga. Dia tidak tahu
bahwa Bi Lan adalah murid Hoa-san-pai yang paling lihai, selain itu
ia pun menjadi murid dan Coa-ong Sin-kai dan telah mempelajari
pula ilmu silat dan ilmu pedang dari Thian-te Siang-mo.
Kepandaiannya amat tinggi dan gerakannya tadi adalah jurus dari
ilmu Silat Ouw-wan ciang yang lihai.
"Bangsat, kau hendak bertempur? Baik, bersiaplah untuk
mampus" Kwan Ji Nio sudah mengeluarkan tongkatnya yang kecil
dan berbahaya, akan tetapi pada saat itu, See-thian Tok-ong
memegang lengannya, mencegahnya memulai perketahian. Seethian
Tok-ong adalah seorang yang cerdik. Ia dapat melihat
kelihaian Bi Lan dan melihat sikap yang tenang dari Ciang Le, ia pun
agak keder juga. Dengan tersenyum ia menjura kepada Ciang Le
dan berkata,
"Hwa I Enghiong, memang pihakku yang tak tahu diri. Tempat ini
adalah bekas tempat tinggal Pak Kek Siansu kau sebagai murid
Luliang-san tentu saja berhak menyuruh kami pergi. Kami pun
hendak pergi karena di tempat ini kami tidak ada urusan apa-apa.
Adapun tentang tewasnya Luliang Sam-lojin, See-thian Tok-ong
tidak tahu menahu bukan aku yang membunuh mereka."
Ciang Le melangkah maju. "See-thin Tok-ong. Kita berdua adalah
laki-laki sejati dan bukan anak-anak yang suka membohong. Benarbenarkah
kau tidak membunuh ketiga suhengku'"
"Kau tidak percaya kepadaku? Aku bersumpah bahwa bukan aku
yang membunuh mereka. Selamat tinggal!" See thian Tok-ong
mengajak isteri dan puteranya untuk pergi meninggalkan tempat
itu.
Ciang Le tak dapat berbuat sesuatu dan hanya memandang
dengan kecewa. Telah bertahun-tahun pendekar ini tak pernah naik
ke Luliang-san. Sekarang selagi ada kesempatan, sambil membawa
isterinya ia naik ke Luliang-san untuk mengunjungi ketiga orang
210
suhengnya, akan tetapi alangkah marah, menyesal dan dukanya
ketika ia menemukan ketiga suhengnya telah menjadi rangka yang
berserakan di lereng gunung. Adapun puterinya Hui Lian yang
merasa amat gembira melihat pemandangan alam yang amat indah
di puncak, mendahului ayah bundanya dan berlari-lari naik bagaikan
seekor burung cepatnya. Kebetulan sekali Hui Lian melihat Kong Ji
yang hendak dibunuh oleh Kok Sun, maka ia lalu menolongnya.
Ketika mehhat See-thian Tok-ong dan anak isterinya pergi, Ciang
Le hanya berdiri memandang. See-thian Tok-ong telah bersumpah
bahwa ia tidak membunuh Luliang Sam-lojin, maka Ciang Le merasa
bahwa tak pantas sekali kalau mendesak dan mencari permusuhan
dengan tokoh yang amat terkenal itu.
Akan tetapi, tiba-tiba Kong Ji berseru keras,
"Go-locianpwe, jangan percaya kepada Raja Racun itu. Dia telah
membawa pergi pedang Pak-kek Sin-kiam dari puncak ini!"
Mendengar seruan ini, Ciang Le tidak membuang waktu lagi,
cepat melompat dan lari mengejar See-thian Tok-ong. Liang Bi Lan
dan puterinya juga berlari cepat mengejar.
"See-thian Tak-ong, tunggu dulu!" seru Ciang Le ketika ia sudah
hampir dapat menyusul rombongan See-thian Tok-ong.
See-thian Tok-ong terkejut dan berhenti. Ia tidak takut karena ia
yakin bahwa pendekar besar itu tentu percaya kepada sumpahnya.
Lagi pula, biarpun yang mcmbunuh Luliang Sam-lojin adalah
puteranya, namun ia tidak membohong kalau ia bersumpah bahwa
ia tidak membunuh mereka.
"Hwa I Enghiong, ada urusan apa maka kau menyusulku?"
tanyanya.
"See-thian Tok-ong, kau telah mengambil dan membawa pergi
pusaka Luliang- pai, harap kau suka mengembalikannya kepadaku,"
kata Ciang Le dengan suara tenang.
See-thian Tok-ong cukup cerdik. Ia dapat menduga bahwa
tentulah Kong Ji telah membuka rahasia dan memberi tahu kepada
Ciang Le tentang Pak-kek Sin kiam, maka ia pun tidak mau berpurapura
lagi dan bertanya,
211
"Apakah kaumaksudkan Pak-kek Sin-kiam?"
"Betul! Pedang itu adalah pusaka peninggalan Suhu Pak Kek
Siansu, maka tidak boleh kau membawanya pergi dari sini."
"Hwa I Enghiong, kau benar-benar keterlaluan. Apakah kau purapura
tidak mendengar bahwa Pak Kek Siansu diam-diam
meninggalkan sebatang pedang dan sebuah kitab? Apakah kau tidak
mendengar bahwa semua orang di dunia kang-ouw berebutan untuk
mendapatkan dua benda itu? Siapa yang mendapatkannya, berarti
sudah berjodoh. Aku memang mendapatkan pedang Pak-kek Sinkiam,
akan tetapi bukan mencuri darimu. Itu menandakan bahwa
akulah yang berjodoh memiliki Pak-kek Sin-kiam."
“Hm, See-thian Tok-ong, enak saja kau bicara, seolah-olah kau
tidak mengerti akan peraturan dan kesopanan kang-ouw. Pedang itu
adalah milik Suhu dan sebuah pedang pusaka partai persilatan
takkan jatuh ke dalam tangan orang lain, melainkan kepada murid
atau cucu muridnya. Apakah kau sengaja hendak melanggar
peraturan ini'"
"Ha-ha-ha, Hwa I Enghiong, kau bukan bicara dengan seorang
bocah! Kalau memang Pak Kek Siansu meninggalkan pedang dan
kitab untuk murid-muridnya mengapa disembunyikan sehingga
Luliang Sam-lojin sendiri tidak tahu di mana tempat
penyimpanannya? Kalau andaikata Pak Kek Siansu meninggalkan
untukmu, mengapa dua macam benda itu tidak berada di
tanganmu?"
"Sungguhpun begitu, See-thian Tok- ong, akan tetapi tak seorang
pun boleh membawa pergi pusaka Luliang-pai begitu saja. Kau telah
melanggar wilayah Luliang-pai, bahkan telah mencuri pedang kalau
sekarang kau tidak mau mengembalikan sama halnya dengan kau
mencari permusuhan dengan Luliang-pai."
"Perduli apa?" Kwan Ji Nio membentak marah. "Kalau kau becus,
kau boleh merampas pedang itu kembali dan kami"
"Hm, kalau begitu maafkan aku yang muda terpaksa
menggunakan kekerasan!" kata Ciang Le dan sebelum See-thian
Tok-ong dapat menjawab, tangan kanan Ciang Le telah
menyerangnya dengan sebuah dorongan kuat sekali dan tangan
212
kirinya meluncur ke arah pinggang di mana tergantung pedang Pakkek
Sin-kiam.
Bukan main kagetnya See-thian Tok-ong. Gerakan dari Ciang Le
demikian kuat dan cepat, baru anginnya saja sudah terasa olehnya.
Cepat ia melompat ke belakang sambil menangkis dan begitu kedua
kakinya menginjak bumi ia terus saja mencabut keluar Pak-kek Sinkiam.
Ciang Le kagum sekali melihat pedang itu, pedang suhunya yang
belum pernah dilihatnya. Akan tetapi ia tidak dapat mencurahkan
perhatiannya kepada pokiam itu karena segera sinar pedang itu
telah menyambar-nyambar menyerangnya. Namun dengan amat
gesitnya Ciang Le dapat mengelak, bahkan beberapa kali kedua
tangannya yang kosong bergerak merampas pedang. Dihadapi
dengan tangan kosong, See-thian Tok-ong terkejut dan juga kaget.
Tak disangkanya bahwa ilmu kepandaian pendekar Luliang-san ini
benar-benar hebat. Siapa orangnya yang dapat menghadapinya
dengan tangan kosong apalagi kalau mempergunakan pedang Pakkek
Sin-kiam?
Sebaliknya, Ciang Le diam-diam harus mengakui pula kelihaian
ilmu pedang lawannya. Ia sengaja bertangan kosong dan mainkan
Ilmu Silat Thian-hong-ciang-hwat yang ia pelajari dari Pak Kek
Siansu karena ia tidak bermaksud membunuh lawannya, hanya akan
merampas kembali pedang suhunya.
Tetapi tiba-tiba terdengar seruan nyaring dari Kwan Ji Nio telah
bergerak menyerang dengan sebatang ranting bambu. Serangannya
cukup berbahaya, lagian amat cepatnya sehingga Ciang Le benarbenar
merasa tak sanggup lagi menghadapi dengan tangan kosong.
Terpaksa ia mencabut keluar pedang Kim-kong-kiam. Kilauan sinar
keemasan yang hanya kalah sedikit oleh sinar Pak-kek Sin-kiam
nampak bergulung-gulung. Kwan Kok Sun yang melihat dua orang
tuanya sudah mengeroyok Ciang Le, hanya berdiri menonton. Ia
maklum bahwa kepandaiannya masih terlampau rendah untuk
mencampuri pertempuran itu.
Tak lama kemudian, datanglah Liang Bi Lan dan Go Hui Lian di
tempat itu. *Melihat suaminya telah dikeroyok, Bi Lan segera
mencabut pedang dan menggempur Kwan Ji Nio. Terpaksa nyonya
213
tua ini menghadapi Bi Lan dan kini pertempuran terbagi menjadi
dua.
"Hwesio cilik, apakah kau juga ingin kepalamu benjut? Majulah,
tanganku sudah gatal-gatal!" kata Hui Lian sambil mengejek kepada
Kok Sun.
Kok Sun tidak meladeni bocah perempuan ini, pura-pura tidak
melihatnya dan asyik menonton orang tuanya. Akan tetapi. Hui Lian
sambil tertawa-tawa mengejek, melompat di depannya, menaruh
telunjuk di pucuk hidung dan menjulurkan lidahnya.
"Aha, hanya galak menghadapi orang yang lemah, akan tetapi
pengecut kalau bertemu dengan lawan yang gagah," kata Hui Lian.
Kok Sun merasa panas perutnya. Ia bersuit keras dan serentak
ular-ularnya merayap maju mengepung Hui Lian. Bahkan burung
kim-tiauw yang tadinya beterbangan di atas kini turun menyambar
ke arah nona cilik itu dengan sepasang kaki siap mencengkeram dan
patuknya yang besar terbuka mengerikan.
Hui Lian tidak takut menghadapi kim-tiauw, akan tetapi ia merasa
jijik dan ngeri melihat puluhan ekor ular itu.
"Kau memang siluman ular!" bentaknya dan tangannya cepat
merogoh dan beberapa kali tangannya bergerak. Jarum-jarum halus
yang bersinar emas melayang ke arah ular-ular itu. Sebentar saja
enam ekor ular menggeliat-geliat dengan kepala tertembus jarumjarum
Kim-kong-touw-kut-ciam (Jarum-jarum Sinar Emas Penembus
Tulang), kepandaian tunggal dari ayahnya yang telah diwarisinya
semenjak ia masih sangat kecil!
Ular-ular yang lain menjadi marah sekali, akan tetapi kembali
beberapa ekor ular mampus terkena sambaran jarum-jarum itu.
Kim-tiauw pada saat itu menyambar.
"Lian Jl, awas dari atas...'" teriak Bi Lan yang biarpun sedang
menghadapi Kwan Ji Nio, namun masih memperhatikan keadaan
puterinya.
Hui Lian tentu saja sudah tahu akan .datangnya sambaran
burung, cepat ia mengelak sambil menangkis dengan tangan
kirinya.
214
"Jangan...!" Bi Lan berseru namun terlambat, Hui Lian sudah
menangkis sambaran burung. Lengannya yang kecil bertemu
dengan sayap burung itu dan tubuh Hui Lian terpental jauh
bergulingan bagaikan seekor trenggiling.
Ciang Le mengerti bahwa kini kalau pertempuran dilanjutkan, ia
harus terpaksa membunuh tiga orang lawannya ini, maka dengan
gerakan yang cepat sekali, pedangnya membuat lingkaran
menyerang See-thian Tok-ong yang cepat meloncat mundur.
Kcsempatan itu dipergunakan oleh Ciang Le untuk meloncat ke
dekat Kok Sun. Sekali tangannya bergerak, bocah gundul itu telah
ditotok lemas dikempit tubuhnya. Kemudian Ciang Le meloncat lagi
mendekati puterinya yang ternyata telah bangun berdiri, tidak
menderita luka hanya kaget saja. Bi Lan sudah meloncat mendekati
puterinya.
"See-thian Tok-ong, aku tidak kalau permusuhan dilanjutkan
sampai berlarut-larut karena urusan pedang saja. Kau telah mencuri
pedang Luliang pai, sekarang terpaksa aku menangkap puteramu."
"Hwa I Enghiong, mengapa kau demikian curang? Lepaskan
putera kami!" seru Kwan Ji Nio.
"Kembalikan dulu pedang Pak-kek Sin-kiam," kata Ciang Le. "Aku
berlaku sabar dan menghendaki kembalinya pedang itu dengan
jalan damai."
See thian Tok-ong tersenyum mengejek, lalu melemparkan
pedang itu kearah Ciang Le yang menyambut dengan tangannya.
Setelah itu, Ciang Le membebaskan totokannya pada Kok Sun dan
melepaskan Si Gundul itu yang cepat-cepat berlari mendekati orang
tuanya.
“Untuk apa pedang macam itu? Tanpa pedang pun kalau aku
mau, aku masih mampu mengalahkanmu!" kata See-thian Tok-ong.
Ciang Le tersenyum. "Mungkin juga, See-thian Tok-ong.
Kepandaianmu memang tinggi."
Mendengar jawaban ini, merahlah muka See-thian Tok ong. Sikap
Ciang Le benar-benar amat mengherankan hatinya dan bahkan
memukul kesombongannya. Dalam jawaban yang sederhana dan
215
memuji ini tersembunyi ejekan yang bahkan lebih menikam hati
daripada kalau Ciang Le menjawab dengan sombong.
"Hayo kita pergi!" katanya dengan hati mengkal kepada anak
isterinya. "Kok sun, kauseret dan bawa bajingan kecil itu!"
Kok Sun tidak menjawab, melainkan berlari cepat naik ke puncak
untuk mengambil Kong Ji yang masih duduk dalam keadaan tidak
berdaya karena telah tertotok jalan darahnya.
"Jangan ganggu dia...!" tiba-tiba Hui Lian berseru keras dan
dengan tiga kali loncatan jauh ia telah mendahului Kok Sun dan
menghadang di tengah jalan sambil bertolak pinggang. "Kalau kau
terus naik dan hendak mengganggu korbanmu itu, lebih dulu
kepalamu yang gundul akan kuhajar!"
Merah sekali muka Kok Sun, akan tetapi ia tidak berani berlaku
lancang menyerang bocah perempuan yang galak ini. Ia hanya
menoleh kepada ayahnya untuk minta pertimbangan.
“Lian-ji, anak di atas itu tiada sangkut pautnya dengan kita,
biarkan mereka membawanya pergi!" kata Hwa I Enghiong Go Ciang
Le kepada putennya.
"Tidak, Ayah! Tak dapat kita biarkan saja orang disiksa dan
dibunuh oleh mereka ini," bantah Hui Lian yang memang manja dan
berani membantah orang tua kalau ia menganggap dia sendiri betul.
"Bagus. bagus!" See-thian Tok-ong mengangguk-anggukkan
kepala sambil tersenyum mengejek. "Hwa I Enghiong berkata tidak
mencari permusuhan, akan tetapi sengaja hendak menghina kami!
Bocah setan di atas puncak itu adalah muridku, apakah aku sebagai
gurunya tidak boleh membawanya pergi?"
Ciang Le tak berdaya, pula tadi sekali saja melihat wajah Kong ji
yang tampan dengan sepasang mata yang aneh, ia sudah
mempunyai perasaan tidak suka yang ias sendiri tidak tahu apa
sebabnya.
"Hm, kalau dia muridmu, ambillah," katanya. Kok Sun hendak
melangkah lagi, akan tetapi Hui Lian tetap menghadangnya.
216
"Siapa saja yang maju, baik kau setan gundul atau Ayah maupun
Ibumu; harus merobohkan aku lebih dulu!" bentak Hui Lian marah
sekali.
"Hwa I Enghiong, bagus sekali sikap putrimu……” Kwan Ji Nio
menyindir dan nyonya tua ini sebetulnya sudah marah sekali, hanya
ia tidak berani mendahului suaminya bertindak.
"Hui Lian...!" Ciang Le membentak telinganya merah.
"Ayah, aku tidak lega melihat mereka membunuh orang yang
tidak berdaya." Hui Lian berkata kepada ayahnya dengan suara
memohon.
"Bodoh, bocah di atas itu adalah muridnya. Kita tidak berhak
mencampuri urusan mereka. Mau dibunuh atau tidak terserah
kepada gurunya, apa hubungannya dengan kita!"
"Akan tetapi, Ayah...."
"Hui Lian, jangan kau membantah Ayahmu!" Ciang Le mulai
marah.
"Akan tetapi, anak tidak suka kalau kelak ada yang mengira
bahwa kita adalah orang-orang yang bong-im pwe-gi (tidak
mengenaI budi)."
Ciang Le membuka lebar matanya bahkan Bi Lan caper bertanya,
"Lian-ji (Anak Lian), mengapa kau berkata demikian?"
"Ayah dan Ibu, bukankah tadi orang di puncak itu yang memberi
tahu tentang pedang Pak-kek Sin-kiam? Bukankah dia telah melepas
budi kepada kita sehingga pedang pusaka Luliang-pai telah dapat
dirampas kembali? Masa sekarang melihat dia terancam bahaya
maut, kita diam saja. Anak khawatir sekali kelak dunia kang-ouw
akan mencela nama kita.”
Ciang Le tertegun. Benar juga kata-kata puterinya! Apalagi ketika
tiba-tiba See-thian Tok-ong mengeluarkan makian keras,
"Anak setan tak kenal budi! Jadi dia pula yang membuka rahasia
tentang pedang? Anak macam itu harus kucekik lehernya!" Ia
melompat hendak menuju ke puncak, akan tetapi tiba-tiba
217
bayangan Ciang Le berkelebat dan tahu-tahu pendekar ini telah
berdiri di depannya.
"Sabar See-thian Tok-ong! Daerah ini termasuk daerah Luliangpai,
dan aku tidak memperbolehkan kau naik ke puncak. Sudah
terlalu lama kau mengacau dan mengotorkan tempat kami."
"Jadi kau tetap hendak melindungi -muridku, hendak
mencampuri urusan antara guru dan murid?"
Sebelum Ciang Le menyahut, kembali terdengar kata-kata Hui
Lian yang nyaring.
"Biarpun dia itu muridnya, kurasa dia jauh lebih baik daripada
gurunya. Aku pernah mendengar bahwa siapa yang dimaki-maki
dan dicela orang jahat, itu adalah seorang baik-baik, sebaliknya
siapa yang dipuji dun disayang oleh orang jahat, dia itu pun seorang
yang busuk!"
"Hui Lian, diam kau!" bentak Ciang Le, kemudian ia berkata
kepada See thian Tok-ong, "See-thian Tok-ong, jangan katakan
bahwa kami yang mencari gara-gara. Kau sendiri yang sudah
melakukan pelanggaran di tempat kami. Sekarang aku tidak
memperbolehkan kau naik ke puncak. Kalau kau mau panggil anak
itu turun ke bawah aku takkan ambil peduli lagi."
See-thian Tok-ong maklum bahwa alasan ini hanya dicari-cari
saja, akan tetapi kuat juga, dan ia tidak berdaya untuk
melanggarnya. Maka ia lalu berseru, ditujukan ke arah puncak,
"Kong Ji, hayo kau turun dan ikut aku pergi dari sini!"
Sunyi sesaat lalu terdengar jawaban Kong Ji, "Suhu, teecu tidak
dapat menggerakkan tubuh'"
"Bergulinglah ke kanan, benturkan jalan darah di pundak kanan
ke atas batu runcing setelah tangan kananmu dapat -bergerak
pijatlah jalan darah di punggung!"
Sunyi pula agak lama, dan semua orang tahu bahwa Kong Ji
tentu sedang melakukan perintah gurunya membebaskan diri
daripada totokan itu. Tak lama kemudian, terdengar Kong Ji berkata
dengan nada suara girang.
218
"Teecu sudah bebas!!"
"Lekas kau turun ke sini dan berangkat turun gunung
bersamaku!"
Kong Ji tertawa dan tetap tidak mau memperlihatkan dari.
"Suhu, apakah Suhu kira teecu tidak tahu? Begitu teecu berada di
depan Suhu, tentu nyawa teecu akan dicabut!"
“Turunlah dan jangan banyak cakap! Aku, gurumu yang
memerintah supaya kau turun!"
"Tidak mungkin, Suhu. Bagaimanapun juga, teecu masih suka
hidup!" Memang Kong Ji amat cerdik. Ia tadinya merasa heran
mendengar suara suhunya menyuruh dia membuka totokan dan
menyuruhnya dia turun gunung. Kemudian ia dapat menduga
bahwa tentu Hwa I Enghiong tidak mengijinkan mereka naik ke
puncak, maka ia juga mempergunakan kesempatan ini untuk
menolong nyawanya.
"Kong Ji, kau hendak murtad terhadap Gurumu sendiri? Tidak
ingatkah kau betapa kami selalu sayang kepadamu dan telah
menurunkan banyak ilmu silat kepadamu?"
Kembali Kong Ji tertawa lalu berkata, "See-thian Tok-ong,
sekarang aku bukan muridmu dan kaukira aku tidak tahukah bahwa
selama ini kau tidak menganggap aku sebagai murid yang betul?
Kau mau mengajarku hanya karena telah berjanji. Orang gagah
bilang bahwa It-gan-ki-jut, su-ma-lam-twi (Sekali perkataan keluar,
empat ekor kuda tak dapat menarik kembali)' Akan tetapi, apa yang
kaulakukan? Baru empat tahun lebih dengan keji kau dan anak
isterimu tadi hendak membunuhku. Siapa mau turut mengantarkan
nyawa padamu?"
Mendengar jawaban Kong Ji yang berkukuh tidak mau turun dari
puncak Luliang-san dan tak mau menurut kehendaknya untuk pergi
bersama dari situ, See-thian Tok-ong menjadi mendongkol sekali. Ia
merasa telah ditipu oleh Kong Ji dan kini ia baru merasa menyesal
mengapa dulu-dulu ia tidak bunuh mampus saja bocah yang cerdik
itu.
219
Sementara itu mendengar kata-kata Kong Ji, timbul rasa suka di
hati Ciang Le terhadap bocah yang dtanggapnya berani dan tabah
itu. Ia melangkah maju menghadapi See-thian Tok-ong dan berkata,
"See-thian Tok-ong, kau sudah mendengar sendiri bahwa anak
itu tidak mau turun dari puncak, dan kau tidak bisa memaksanya.
Oleh karena itu, kuharap kau dan anak isterimu segera turun dari
sini, jangan sampai terjadi salah paham diantara kita."
See-thian Tok-ong membanting kakinya dan sebuah batu yang
berada di bawah kakinya menjadi hancur. Ia menyeringai pahit dan
sambtl memandang tajam ia menjawab.
"Bukan karena kami takut kepadamu, Hwa I Enghiong, hanya
karena kami tidak mau disebut pendatang yang mengacaukan
tempat tinggal orang lain maka kali ini aku mengalah. Biarlah lain
kali kita bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik dan di
sana kita akan menentukan siapa yang lebih unggul antara kita."
"Hm, soal nanti tak usah dibicarakan sekarang," Bi Lan
menyahut, "kami akan selalu melayani tantanganmu, di manapun
juga kami berada, See-thian Tok-ong.
Terdengar Kwan Ji Nio tertawa bergelak, suara tertawa yang
mengandung kemaralian besar, kemudian menarik tangan putranya
dan berlari turun gunung, Suaminya lalu menggapai ke arah ularular
dan kim-tiauw, lalu dia pun menyusul istri dan anaknya. Ularular
merayap cepat turun gunung dan di atas, kimtiauw terbang
meluncur dengan gagah.
Ciang Le menarik napas panjang. "Mereka itu benar-benar
merupakan lawan-lawan yang tangguh. Baiknya tidak terjadi
pertempuran yang lebih hebat. Aku khawatir sekali, karena kalau
sampai terjadi demikian tidak ringan menghadapi racun-racun."
Baru saja kata-kata ini habis diucapkan, tiba-tiba terdengar suara
gaduh di puncak gunung. Ciang Le, Bi Lan dan Hui Lian cepat berlari
naik dan mereka melihat Kong Ji seperti orang gila mencabut
beberapa batang pohon muda.
"Eh, apa yang kaulakukan?" Hui Lian bertanya heran.
220
Kong Ji menoleh dan melihat Ciang Le dan anak isterinya, Kong Ji
serta merta menjatuhkan diri berlutut sambil menangis!
"Locianpwe, kalau tidak Iocianpwe bertiga yang datang
menolong, pasti tee-cu sudah mampus sekarang. Terima kasih
banyak atas budi pertolongan Locianpwe. Sungguh tidak salah kalau
dulu Ayah Bunda teecu, juga Ayah angkat teecu serta Guru teecu
sendiri menyatakan bahwa Go-locianpwe adalah seorang pendekar
yang paling mulia dan gagah di waktu ini."
Mendengar kata-kata ini, Ciang Le mengerutkan kening. Anak ini
mempunyai sifat penjilat, pikirnya.
"Kaucabuti pohon-pohon itu ada apakah?" tanyanya.
"Locianpwe, See thian Tok ong yang jahat itu telah menyebar
racun pada pohon-pohon ini. Lihat saja, pohon-pohon ini telah layu
dan kering, kalau sampai pohon-pohon ini membusuk di sini, maka
racunnya akan menjalar dan akhirnya seluruh tetumbuhan di puncak
Luliang- san ini akan musnah!"
Ciang Le melihat dan ia terkejut sekali. Sebagai seorang kangouw
yang telah berpengalaman luas ia pernah mendengar akan
adanya racun yang dapat membasmi tetumbuhan dengan jalan
menyebarkan semacam penyakit pohon yang menular. Memang
betul bahwa pohon-pohon kecil yang dicabuti oleh Kong Ji telah
pada kering dan layu. Yang berbahaya sekali, kalau tetumbuhan di
situ sudah dijalari penyakit ini, siapa saja yang makan daun pohonpohon
yang sakit, baik manusia maupun binatang akan tewas
terkena racun yang amat berbahaya!
"Hayo kita kumpulkan pohon-pohon, sekitar tempat ini dan bakar
habis!" kata Ciang Le cepat-cepat. Tanpa banyak cakap lagi mereka
lalu bekerja dan berkat kepandaian Ciang Le dan Bi Lan yang tinggi,
sebentar saja pohon-pohon di sekitar tempat yang disebari racun itu
telah bersih tercabut, ditumpuk disitu. Ciang Le lalu membakar
semua pohon yang sebentar saja sudah menjadi kering itu dan tak
lama kemudian asap hitam mengepul di puncak Luliang-san.
Keadaan di puncak menjadi gundul dan buruk, akan tetapi bersih
daripada bahaya racun yang sengaja disebar oleh See-thian Tok-ong
sebelum ia meninggalkan puncak itu. Kong Ji yang amat cerdik
221
sudah dapat mempelajari sedikit banyak tentang racun yang
menjadi keistimewaan suhunya, maka melihat keadaan beberapa
batang pohon di tempat itu, ia dapat menduga bahwa See-thian
Tok-ong telah menyebar racun. Apalagi kalau ia teringat bahwa
memang See-thian Tok-ong tadi berdiri di dekat pohon-pohon itu.
Maka untuk mencari muka baik, ia segera turun tangan mencabuti
pohon-pohon itu sebelum Ciang Le naik ke Luliang-san.
Setelah pekerjaan membasmi racun pada pohon-pohon itu beres.
Kong Ji kembali berlutut di depan Ciang Le.
"Oleh karena See thian Tok-ong tentu akan selalu berurusan
untuk membunuh teecu, maka teecu mohon dengan sangat sudilah
kiranya Locianpwe menaruh belas kasihan kepada teecu dan sudi
menerima teecu menjadi murid."
Sudah berada di ujung lidah Cia Le untuk segera menolak
permintaan ini karena selain ia memang timbul rasa tidak suka
kepada pemuda cilik ini, juga memang tidak berhasrat menerima
murid baru. Akan tetapi ia merasa kasihan juga melihat keadaan
bocah ini, apalagi kalau ia teringat betapa anak ini tadi menyatakan
bahwa ayah bunda dan gurunya pernah mengenalnya.
"Kau siapakah dan putera siapa? Mengapa bisa menjadi murid
See-thian Tok ong?" tanyanya.
Sambil kadang-kadang mengusap kedua matanya dengan ujung
lengan baju Kong Ji menjawab,
"Teecu bernama Liok Kong Ji. Mendiang ibu teecu pernah
mengenaI Locianpwe dan Ibu teecu bernama Liok Hui, ketua dan
Kwan-im-pai." Kemudian Kong Ji menuturkan betapa ibu dan
ayahnya itu terbunuh oleh orang-orang Im-yang-bu-pai dan betapa
ia dibawa lari oleh pamannya, yakni Liok San dan dibawa mengungsi
ke Hoa-san di mana ia belajar ilmu silat kepada Lie Bu Tek dan
Liang Gi Tojin.
Baru bercerita sampai di sini, Ciang Le sudah memegang
pundaknya dan bertanya dengan suara bergetar, "Apa yang terjadi
di Hoa-san dan ke mana perginya Liang Gi Tojin dan Lie Bu Tek
Twako?" Juga Bi Lan ingin sekali mendengar tentang bekas gurunya
dan suhengnya itu. Sebelum naik ke Luliang-san, memang mereka
222
telah mengunjungi Hoa san, akan tetapi mereka tidak menemukan
seorang pun di puncak Hoa-san dan keadaan di situ yang sudah
rusak tak terpelihara membuat mereka merasa bingung dan juga
sedih sekali.
Mendengar pertanyaan ini, Kong Ji mengucurkan air matanya
dengan deras. "Ah, Locianpwe, memang orang-orang jahat
merajalela di dunia ini dan karenanya teecu bersumpah untuk
belajar ilmu silat setinggi-tingginya agar kelak dapat membasmi
musuh-musuh besar itu!"
Bi Lan tidak sabar lagi. "Hayo ceritakan apa yang terjadi di
puncak Hoa-san!"
"Suhu Liang Gi Tojin yang sudah menerima teecu sebagai murid
telah... telah tewas oleh dua orang anggauta Im-yang-bu-pai, juga
Twa-suheng Lie Bu Tek; terluka hebat, barangkali sudah tewas
pula."
Bi Lan tak dapat menahan air matanya, sedangkan Ciang Le
menjadi pucat.
"Keparat betul Im-yang-bu-pai. Awas, akan kubasmi kalian!'
teriak Hui Lan.
"Teruskan ceritamu, Kong Ji. Apa, yang terjadi selanjutnya?"
Kong Ji lalu bercerita betapa ia dipaksa oleh orang-orang Imyang-
bu-pai untuk menjadi pelayan. Kemudian ia bercerita pula
tentang usaha Giok Seng Cu ketua Im-yang-bu-pai untuk mencari
pedang dan kitab peninggalan Pak Kek -Siansu di puncak Luliangsan.
"Jadi Giok Seng Cu yang menjadi ketua Im-yang-bu-pai? Pantas
saja kalau begitu...!" kata Bi Lan sambil mengerling ke arah
suaminya. Diam-diam Ciang Le merasa tidak enak sekali karena
biarpun telah mengambil jalan masing-masing yang bertentangan.
Giok Seng Cu adalah murid Pak Hong Siansu.
"Teruskan!" katanya singkat kepada Kong ji.
Kong Ji melanjutkan ceritanya. Ia menuturkan betapa Giok Seng
Cu berhasil merampas pedang, kemudian menyembunyikan diri.
223
Betapa See-thian Tok-ong dan anak isterinya yang marah kepada
Giok Seng Cu lalu membasmi orang-orang lm-yang bu-pai, akan
tetapi memaksanya ikut untuk menunjukkan tempat sembunyi Giok
Seng Cu.
"Teecu terpaksa membawa mereka ke tempat sembunyi Giok
Seng Cu, oleh karena biarpun ketua lm-yang-bupai itu telah berlaku
baik dan tidak membunuh teecu, namun anak buahnya yang
membanasakan Ayah Bunda teecu, maka ia pun merupakan musuh
besar teecu pula. Selain ini, teecu juga dipaksa oleh See thian Tokong
bahkan diberi janji bahwa teecu akan diberi pelajaran ilmu silat
selama lima tahun."
Kemudian ia menuturkan betapa Giok Seng Cu terpaksa
menyerahkan pedang Pak-kek Sin-kiam kepada See-thian Tok ong
dan betapa See-thian Tok-ong dan anak isterinya mencari-cari kitab
peninggalan Pak Kek Siansu dengan sia-sia belaka sehingga
akhirnya marah kepadanya dan hendak membunuhnya, akan tetapi
baiknya keburu datang Hui Lian yang menolongnya.
"Kalau begitu, kau juga tahu pula apa yang terjadi dengan
Luliang Sam-lojin. Siapa yang telah membunuh mereka?” tanya
Ciang Le.
Kembali sepasang mata Kong Ji bercucuran air mata ketika ia
mendengar pertanyaan ini, sehingga sukar baginya untuk bicara.
Akhirnya dengan suara terputus-putus ia berkata,
"Locianpwe, kalau diingat sungguh. membikin sakit sekali hati
teecu. Sakit hati teecu bertumpuk-tumpuk setinggi langit dan teecu
bersumpah kelak akan menuntut balas. Hanya seorang bodoh
macam teecu bagaimanakah dapat memenuhi harapan itu? Kecuali
kalau Locianpwe menaruh hati kasihan kepada teecu dan sudi
menurunkan sedikit ilmu kepada teecu yang bodoh...."
"Soal itu kita bacarakan nanti, sekarang ceritakan dulu apa yang
telah terjadi dengan Luliang Sam lojin" tanya Ciang Le kurang sabar.
Dengan pandai sekali Kong Ji mengarang cerita, agar ia dapat
terlibat ke dalam penstiwa pembunuhan itu dan agar ia menarik
perhatian Ciang Le. Memang dia sudah mendengar dari Giok Seng
Cu sendiri bagaimana Luliang Sam-lojin terbinasa oleh Kwan Kok
224
Sun atas bantuannya dan bantuan Ba Mau Hoatsu ketika mereka
semua memperebutkan pedang Pak-kek Sin-kiam.
"Ketika itu, teecu diajak oleh Giok Seng Cu naik Luliang-san,"
Kong Ji mulai menutur dengan gaya sedemikian rupa sehingga ia
nampak bersungguh-sungguh dan berduka sekali. "Akhirnya dengan
bantuan Kim-tiauw, rombongan See-thian Tok-ong berhasil
mendapatkan pedang Pak-kek Sin-kiam dalam perebutan pedang
dan usaha mencari kitab itu. Melihat ini, Giok Seng Cu merampas
pedang itu dan tangan putera See-thian Tok-ong sehingga akhirnya
menimbulkan sakit hati dan pihak See thian Tok-ong. Dalam
keributan itu diam diam teecu memberi tahu hal perebutan pedang
kepada Luliang Sam-lojin yang berada di puncak bukit, karena teecu
merasa tidak patut sekali pedang pusaka Luliang-san diperebutkan
oleh orang luar. Juga teecu yang menganggap Giok Seng Cu
sebagai musuh besar, tidak rela melihat dia mendapatkan pedang
itu. Akan tetapi, sayang sekali Giok Seng Cu mengetahui perbuatan
teecu itu dan teecu pasti akan dibunuh mati kalau saja tidak Luliang
Samlojin yang menolong teecu. Kemudian terjadi pertempuan
antara Luliang Samlojin melawan orang-orang jahat yang hendak
merampas pedang itu. Giok Seng Cu, Ba Mau Hoatsu, Kwan Kok Sun
dibantu oleh ular-ular clan burungnya mengeroyok sehingga
akhirnya Luliang Sam-lojin tewas. Pedang dibawa pergi oleh Giok
Seng Cu, dan teecu juga dipaksa olehnya dibawa pulang. Hanya
nasib baik saja yang mencegah teecu terbunuh mati oleh Giok Seng
Cu. Selanjutnya, seperti sudah teecu ceritakan tadi, pedang itu
terampas olah See-thaan Tok-ong, dan teecu juga dtbawa ke
tempat ini."
Setelah menuturkan semua ini, kembali Kong Ji menangis. Kong
Ji tahu bahwa dalam semua penuturan itu, banyak membohong.
Akan tetapi ia berani melakukan itu karena ia merasa aman. Wan
Sin Hong bocah satu-satunya yang mengetahui rahasianya, telah
mampus dilemparkan ke dalam jurang. Hanya Lie Bu Tek orang ke
dua yang kiranya tahu akan perbuatannya di puncak Hoa-san. Akan
tetapi tak mungkin, ketika mempergunakan pedang membabat
putus pangkal lengan Lie Bu Tek, jago Hoa-san itu sedang pingsan
dan tidak akan tahu siapa yang membabat putus lengannya.
225
Andaikata Lie Bu Tek tahu akan hal ini dan akhirnya Ciang Le
atau orang-orang lain mendengar pula, Kong Ji juga tidak amat,
khawatir karena ia telah mempunyai alasan dan jawaban yang tepat
untuk membela. Memang anak ini luar biasa sekali cerdik dan
licinnya, akan tetapi biarpun Ciang Le sendiri yang biasanya bermata
tajam dan berperasaan halus, dapat ditipu oleh Kong Ji yang
wajahnya tampan dan halus sehingga kalau tadinya dalam hati
Ciang Le timbul sedikit rasa curiga dan tidak suka, perasaan itu
lenyap oleh cerita dan penuturan Kong Ji yang menarik hati.
Hui Lian mewarisi hati budiman seperti ayahnya, maka
mendengar semua penuturan Kong Ji yang tentu saja menonjolkan
penderitaannya, menjadi kasihan sekali sampai mengucurkan air
mata. Kalau ayah bundanya berlinang air mata karena menyedihi
kematian Liang Gi Tojin, Lie Bu Tek yang tak ada beritanya lagi,
kematian Luliang Sam-lojin dan kehancuran Hoa-san-pai dan
Luliang-pai, Hui Lian menyedihi nasib buruk Kong Ji. Memang anak
ini belum pernah bertemu lengan orang-orang tua yang sudah
tewas itu, maka bagaimana mana bisa merasa sedih?
"Ayah, nasib Kong Ji ini amat menyedihkan, mengingatkan aku
akan nasib Enci Soan Li," katanya dan dalam suaranya mengandung
permohonan agar ayahnya suka menolong bocah ini.
Ciang Le menarik napas panjang. ' "Terlalu banyak orang
bersengsara karena perbuatan jahat orang-orang yang rendah budi.
Kalau aku menerimanya sebagai murid, bukan karena ia bernasib
buruk, melainkan mengingat bahwa ia adalah putera dari ketua
Kwan-im-pai, apalagi ia telah berguru kepada Liang Gi Tojin
sehingga anak ini boleh dibilang masih terhitung sute (adik
seperguruan) dari Ibu mu."
Hum l_ian melompat kegirangan dan menghampiri Kong Ji. "Kau
diterima menjadi murid Ayah. Kau kini menjadi Suhengku!"
Kong Ji berlutut dan mengangguk- anggukkan kepala delapan
kali di depan Ciang Le sambil menyebut "Suhu"! Kemudian ia pun
berlutut di depan Bi Lan yang disebut sebagai "Subo" olehnya.
"Orang-orang jahat terlalu banyak. Sudah bertahun-tahun aku
mengasingkan diri dari dunia kangouw karena merasa jemu
226
mendengar kejahatan-kejahatan yang tiada habisnya itu. Akan
tetapi orang-orang seperti Giok Seng Cu, Ba Mau Hoatsu, See-thian
Tok-ong dan kaki tangan mereka memang patut dibasmi. Belajarlah
baik-baik, siapa tahu kaulah orangnya yang akan mampu
membasmi, mereka."
Bukan main girangnya hati Kong Ji. "Teecu akan perhatikan baikbaik
ajaran Suhu, bahkan kalau Suhu sudi, teecu juga ingin sekali
belajar ilmu surat agar kelak tidak tersesat menjadi orang jahat."
Biarpun mulutnya bicara demikian, namun hati Kong Ji berpendapat
lain. Ia ingin belajar ilmu surat hanya dengan maksud agar kelak ia
dapat membaca dan mempelajari ilmu di dalam kitab peninggalan
Pak Kek Siansu yang ia dapatkan di dalam gua di dasar jurang di
puncak Luliang-san itu!
Semenjak saat itu Kong Ji ikut dengan Ciang Le, dibawa ke
selatan untuk belajar ilmu silat dari pendekar besar ini, bersamasama
dengan Go Hui Lian. Kong Ja sama sekali tidak tahu bahwa
diam-diam Ciang Le bersama isterinya merencanakan untuk
menjodohkan dia dengan Gak Soan Li, murid dan suami isteri
pendekar ini.
-oo0mch-dewi0oo-
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Wan Sin Hong yang berada
di dasar jurang di puncak Luliang-san. Baiklah kita tinggalkan dulu
Kong Ji yang demikian baik nasibnya sehingga setelah menjadi
murid dan Liang Gi Tojin, Giok Seng Cu, dan See thian Tok-ong, kini
kembali dengan kecerdikannya diterima menjadi murid dari Ciang
Le! Mari kita ikuti perjalanan Wan Sin Hong, bocah yang benarbenar
telah mengalami penderitaan hebat itu.
Sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, Sin Hong yang
dilempar jatuh ke dalam jurang oleh Giok Seng Cu telah tertolong
oleh kim-tiauw, kemudian secara kebetulan sekali anak ini
mendapatkan gua di mana ia melihat pedang Pak-kek Sin-kiam dan
kitab peninggalan Pak Kek Sian-su. Sudah dituturkan di bagian
depan betapa pedang itu dibawa keluar gua oleh Sin Hong dan
227
kemudian dirampas oleh kim-tiauw yang membawanya terbang
pergi.
Tubuh Sin Hong terluka hebat. Tulang lengannya telah patah
oleh pukulan Giok Seng Cu, bahkan tubuhnya dibagian dalam telah
menderita luka hebat akibat pukulan tenaga lweekang sehingga
anak ini merasa seringkali terserang demam yang membuat tulangtulangnya
dingin sekali.
Berkat latihan-latihan ilmu silat dan cara bersamadhi dan
pengaturan napas yang ia pelajari dari kitab peninggalan Pak Kek
Siansu, ia memperoleh kemajuan yang amat luar biasa tanpa
disadarinya sendiri. Luka di dalam tubuhnya telah terusir dan ia
telah memperoleh hawa sinkang di dalam tubuhnya, bahkan tulang
lengannya yang patah dapat tersambung kembali dalam keadaan
baik dan wajar.
Bertahun-tahun ia berlatih dengan rajin dan tekunnya. Seluruh isi
kitab telah dihafalkannya diluar kepala dalam waktu dua tahun,
setelah hafal ia lalu membakar habis kitab itu, karena di halaman
terakhir dari kitab itu terdapat tulisan Pak Kek Siansu yang berbunyi,
"Setelah isi kitab habis dipelajari, bakarlah kitab ini agar jangan
terjatuh ke dalam tangan orang jahat."
Sin Hong adalah seorang anak cerdik. Ia tahu bahwa kitab ini
dicari oleh orang-orang kang-ouw, maka setelah hafal betul-betul ia
membakar kitab itu sambil berlutut menghaturkan terima kasih
kepada Pak Kek Siansu. Kemudian ia menaruh kitab tebal sebagai
penggantinya di dalam peti dan disampul kitab yang sebetulnya
hanya sebuah kitab sejarah ia tulis huruf-huruf besar, PAK KEK SIN
CIANG HOAT PIT KIP'. Memang di dalam gua itu terdapat beberapa
jilid kitab tebal dan kuno peninggalan Pak Kek Siansu.
Pada suatu hari, baru saja ia selesai berlatih di lereng bukit yang
tersembunyi itu, terdengar suara keras dan dari puncak gunung
kelihatan debu mengepul dan terdengar suara hiruk-pikuk. Tiba-tiba
Sin Hong melihat sebuah batu yang besar sekali menggelinding
turun dengan kecepatan luar biasa, menghancurkan batu-batu kecil
yang tertimpa di bawahnya. Ketika tiba di dasar jurang yang
sebetulnva merupakan lereng itu, batu besar itu masih terus
228
menggelundung ke arah dia sendiri! Sin Hong terkejut sekali.
Tempat di mana ia berdiri sempit sekali, di kanan kirinya terdapat
jurang, maka tidak mungkin baginya untuk menghindarkan diri dari
serbuan batu besar yang memenuhi tempat itu. Terpaksa ia lalu
memasang kuda-kuda dan sesuai dengan petunjuk di dalam kitab, ia
melakukan dorongan ke depan. Inilah gerakan yang disebut Sinciang-
tut-san (Tangan Sakti Mendorong Bukit). Melihat bahwa pada
waktu itu Sin Hong baru berusia kurang lebih sebelas tahun,
tubuhnya kecil dan batu itu amat besarnya yang menggelundung
dengan kekuatan ribuan kati, gerakan Sin Hong ini menggelikan
hati.
Akan tetapi, dengan latihan yang tekun berkat petunjuk dan kitab
yang mengandung ilmu luar biasa sekali, di dalam tubuh Sin Hong
telah mengalir hawa sinkang yang hebat dan gerakannya adalah
gerakan dan ilmu mendorong yang amat tinggi, maka ketika batu
besar itu telah dekat dan bertemu dengan kedua telapak tangannya,
batu itu tertahan dan diam tak bergerak!
Sin Hong girang sekali dan dia lalu mendorong dan bermain
dengan batu besar itu. Akhirnya dia mendapat pikiran yang baik
sekali. Gua itu terbuka saja, mudah dilihat dan dimasuki orang.
Maka ia lalu mendorong batu besar itu dan pergunakan sebagai
penutup gua.
Semenjak pengalaman ini, terbukalah mata Sin Hong bahwa
latihan-latihannya di tempat itu telah menghasilkan tenaga yang
luar biasa. Cepat ia mengingat ingat bagian latihan sinkang dan
mulai hari itu, ia tekun mempelajari dan memperdalam latihan
dengan jalan bersamadhi, mengatur pernapasan dan berlatih
sinkang. Ia rajin sekali dan tidak jarang ia kelihatan duduk
menghadapi batu karang, bersamadhi dan menahan napas. sampai
akhirnya napas yang keluar dari lubang hidungnya mendatangkan
getaran aneh. Sampai sehari penuh ia duduk bersila menghadapi
batu karang. Tidak jarang timbul kenakalannya sebagai kanak-kanak
ketika ia merasa bahwa tenaga sinkang sudah berkumpul di dalam
tubuh berputar-putar cepat merupakan bola api panas yang dapat
perintah dengan daya cipta ia menyalurkan hawa ini ke jari-jari
tangannya dan menggunakar jari-jari tangan menggurat-gurat batu
karang. Hebat sekali akibatnya. Setelah tenaga sinkang itu
229
terkumpul di jari tangannya, baginya batu karang itu merupakan
tanah lempung yang lunak sekali!
Pakaiannya sudah sobek sana-sini. Kadang-kadang ia memotong
bagian bawah untuk menambal bagian yang sobek sehingga
pakaiannya itu tidak karuan macamnya. Namun semua
kesederhanaan pakaian ini tidak mengurangi ketampanan wajahnya
yang berkulit putih dengan sepasang mata yang bersinar sinar
bagaikan bintang.
Tiga tahun lewat dengan cepatnya dan selama itu, Sin Hong
hidup di tempat rahasia ini seorang diri, tak pernah bertemu dengan
seorang pun manusia. Akan tetapi anak ini biarpun hidup dalam
keadaan kesepian dan sengsara, namun tidak kecil hati. Semangat
dan cita-citanya besar sekali. Kalau ia teringat akan nasibnya,
teringat akan kematian orang tuanya, kemudian tentang Hoa-sanpai
yang rusak oleh orang-orang lm-yang-bu-pai, teringat betapa
ayah angkatnya yang tercinta, yang menjadi pengganti orang
tuanya itu telah dihina dan disiksa oleh orang Im-yang-bu-pai,
kematian Liang Gi Tojin, kemudian teringat pula akan kekejian Kong
Ji, semua ini membangkitkan semangatnya. Bangkitnya rasa
penasaran dan menguatkan cita-citanya untuk membalas semua
kejahatan yang dilakukan orang kepadanya dan kepada orang-orang
yang dikasihinya.
Setelah tinggal empat tahun lebih di dalam gua itu, pada suatu
hari selagi Sin Hong bersamadhi di sebelah dalam dari gua yang
ditutupnya dengan batu besar, ia mendengar suara di luar gua.
Cepat ia masuk ke dalam terowongan dan bersembunyi, menanti
dengan hati berdebar. Apakah yang akan terjadi.' Manusia manakah
yang dapat datang di tempat itu? Tak lama kemudian, ia melihat
batu penutup gua bergeser sedikit, seperti didorong orang dari luar.
Kemudian ia melihat tubuh seorang pemuda tanggung memasuki
gua. Sebagaimana pembaca dapat menduga, yang masuk itu adalah
Kong ji yang turun ke dalam jurang naik kim-tiauw.
Keadaan di situ suram, maka Sin Hong tidak dapat mengenal
siapa orang yang masuk ke dalam gua. ia mengintai saja dan
dengan hati geli ia melihat orang itu membuka peti dan melihat
kitab sejarah yang ia letakkan di dalam peti untuk menipu orang. Ia
230
melihat anak tanggung itu mengembalikan buku, berjalan keluar
dan menutupkan kembali batu penutup gua. Diam-diam Sin Hong
memuji, karena tidak sembarang orang, apalagi masih pemuda
tanggung, dapat mendorong batu itu. Setelah terjadi peristiwa ini,
legalah hatinya. Biarkan semua orang kang-ouw datang ke sini dan
mendapatkan kitab itu. Kitab aselinya toh sudah ia bakar, sudah ia
"pindahkan" isinya ke dalam otaknya. ia berlatih makin giat karena
maklum bahwa kalau ia sudah keluar dari tempat sembunyi ini
kelak, ia akan mejumpai orang-orang yang pandai dan jahat.
Setelah tinggal bertahun-tahun di tempat itu, Sin Hong sering kali
melakukan pemeriksaan di daerah yang terasing ini. Benar-benar
daerah itu tak mungkin dapat didatangi orang lain. Untuk keluar dari
jurang itu, biar orang memiliki kepandaian tinggi, kalau dia tidak
bersayap, tak mungkin dilakukannya. Jalan keluar dari lereng itu
sama sekali tidak ada karena lereng itu dikelilingi oleh jurang yang
amat curam. Pendeknya tempat ini merupakan tempat terkurung
yang memisahkan orang dari luar. Tidak ada jalan keluar lagi bagi
mereka yang jatuh ke dalamnya.
Akan tetapi Sin Hong tidak merasa khawatir. Ia maklum bahwa
pasti ada jalan keluar, karena kalau tidak, bagaimana Pak Kek
Siansu dapat menyimpan pedang dan kitab di dalam gua itu?
Setelah hapal akan semua isi kitab ia mulai mencari rahasia jalan
keluar itu. Ia berjalan terus ke dalam gua yang di sebelah dalamnya
merupakan terowongan itu. Memang tidak mudah berjalan melalui
terowongan yang demikian gelapnya. Namun berkat kemauannya,
Sin Hong sekarang dapat bergerak dengan ringan dan panca
inderanya luar biasa tajamnya. Dari suara angin ia dapat
menangkap lubang manakah yang membawa dia ke arah
pembebasan. Di dalam terowongan itu terdapat lubang-lubang yang
menjurus ke lain tempat dan orang lain pasti akan tersesat jalan dan
sukar untuk keluar kembali.
Akhirnya Sin Hong tiba di jalan buntu setelah melalui jalan
terowongan yang menaik. Ketika ia meraba dengan tangannya,
hatinya berdebar. Ternyata bahwa akir jalan terowongan ini adalah
sebuah daun pintu! Ia mendorong terus dengan pengerahan
tenaga. Daun pintu terbuka dan ia berada di balik sebuah
pembaringan, dalam sebuah kamar! Akan tetapi, ketika ia mencoba
231
untuk mendorong pembaringan itu, ia gagal. Pembaringan itu
terbuat daripada baja dan agaknya dipasangi alat rahasia sehingga
tak mungkin dapat dipindahkan dari depan pintu rahasia ini. Ia
mencoba lagi namun tetap saja sia-sia.
Sebagai seorang anak yang cerdik, Sin Hong tidak mau
mengerahkan semua tenaga untuk merusak pembaringan itu,
melainkan ia masuk kembali ke dalam terowongan.
"Kalau Pak Kek Siansu bisa mondar-mandir di tempat ini,
mengapa aku tidak? Tentu ada rahasianya untuk membuka
penghalang pikirnya. Sin Hong memang amat tekun dalam
menghadapi sesuatu. Ia meraba-raba di dalam gelap di sepanjang
dinding terowongan di belakang daun pintu itu. Lama sekali setelah
mencari dengan susah payah, akhirnya ia mendapatkan pemecahan
rahasianya. Ternyata bahwa tempat tidur ini mempunyai palangpalang
baja yang menancap dan menembus ke dalam gua dan
dipalang dari dalam sehingga tentu saja takkan dapat dibuka dari
luar. Palang itu pun tertutup oleh batu karang dan berada di tempat
yang bersembunyi sekali. Dengan merogohkan lengan sampai ke
siku, barulah Sin Hong dapat menyentuh palang itu dan menariknya
ke atas. Terdengar suara bergerit dan terbukalah jalan keluar
karena tempat tidur itu bergeser ke kanan!
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid IX
“BAGUS, jalan keluar ke dunia ramai, terbuka bagiku!" seru Sin
Hong girang sekali. Ia tidak ingin kembali, karena di dalam jurang
itu tidak ada apa-apanya lagi yang penting baginya. Seluruh isi kitab
telah pindah ke dalam kepalanya, kitab itu sendiri telah dibakarnya
habis.
Di dalam peti bekas tempat kitab rahasia, kini terletak sebuah
kitab sejarah kuno yang tiada artinya, sedangkan gua tempat
penyimpanan kitab itu pun telah tertutup dengan batu besar yang
dulu menggelinding dari atas. Orang biasa saja takkan mungkin
dapat menggeser batu itu dan mendapatkan gua. Andaikata ada
232
yang mendapatkan gua itu pun, apa artinya? Paling-paling
mendapatkan kitab sejarah!
Sin Hong melangkah keluar melalui pinggir tempat tidur yang
sudah tergeser ke kanan. Dengan tangannya ia lalu mendorong
tempat tidur itu kembali ke tempat semula dan terdengar suara
hiruk-pikuk di balik gua terowongan itu Sin Hong terkejut dan ia
hendak melihat apa yang terjadi. Ditariknya tempat tidur itu, akan
tetapi sia-sia! Ternyata bahwa palang yang berada di dalam gua
telah turun sendiri mengunci ke bawah sehingga sekarang tempat
itu takkan mungkin dapat dibuka orang dari luar.
“Lebih baik lagi," kata Sin Hong. "Tempat ini takkan dapat
diganggu orang lain."
Ia lalu berjalan ke arah pintu kamar itu dan ketika ia membuka
daun pintu, kembali ia tertegun. Ternyata bahwa kamar itu berada
pula di dalam sebuah gua. Akhirnya ia teringat dan dengan girang ia
berjalan keluar gua. Tidak salah dugaannya, ia telah berada di
puncak Luliang-san, di Puncak Jeng-in-thia (Ruang Awan Hijau)
sebelah timur! Dahulu sering kali melihat-lihat gua dan tempattempat
lain di sekitar Jeng-in-thia, bahkan pernah ia masuk ke
dalam gua ini. Ia teringat akan penuturan Luliang Sam-lojin bahwa
gua ini adalah tempat bersamadhi Pak Kek Siansu. Siapa mengira
bahwa di dalam gua yang sederhana yang hanya terdapat sebuah
tempat tidur kuno yang kotor, terletak rahasia daripada tempat
penyimpanan kitab dan pedang? Seorang pun takkan dapat mengira
bahwa di belakang dinding batu kurang di mana tempat tidur itu
berada, terdapat pintu rahasia yang dapat membawa orang ke
dasar jurang yang berada di Jeng-in-thin!
Sin Hong berlari masuk kembali ke dalam gua, lalu menjatuhkan
diri berlutut di depan tempat tidur yang dahulu dipergunakan oleh
Pak Kek Siansu untuk bersamadhi.
"Suhu Pak Kek Siansu, teecu Wan Sin Hong menghaturkan terima
kasih atas segala kemurahan hati Suhu."
Setelah bersamadhi beberapa lama, ia lalu keluar dari gua. Angin
puncak yang sejuk menampar mukanya dan ia merasa sehat dan
segar. Melihat keadaan di puncak Luliang-san yang dikenalnya amat
233
baik ini, teringatlah ia akan Luliang Sam-lojin. Hatinya berdebar
kalau ia teringat akan peristiwa empat tahun lebih yang lalu. Puncak
ini diserbu oleh orang-orang jahat seperti Giok Seng Cu dan yang
lain-lain, dan kalau sampai Giok Seng Cu dapat tahu di puncak, pasti
Luliang Sam lojin niengalami bencana ia maklum akan watak ketiga
orang kakek itu yang pasti takkan memperbolehkan siapapun juga
naik ke puncak Luliang-san.
Teringat akan semua ini, Sin Hong lalu berlari cepat turun dan
puncak. Baru beberapa langkah saja ia berhenti dan merasa heran
sekali. ia telah berlatih lweekang dan ginkang menurut petunjuk dan
kitab peninggalan Pak Kek Siansu, akan tetapi tak disangkanya
bahwa tubuhnya sekarang demikian gesit dan ringan sehingga baru
melompat beberapa kali saja ia sudah berada di tempat jauh dari
puncak! Tentu saja Sin Hong menjadi girang sekali dan anak ini
sengaja mengambil jalan yang sukar. ia melompati jurang yang dulu
dianggapnya tak mungkin ia lompati, bahkan Luliang Sam Lojin
sendiri kalau melompati jurang ini mengerahkan tenaga ginkang
mereka. Akan tetapi sekarang dengan amat enak dan mudah ia
melompat dan di lain saat ia telah berada di seberang jurang!
Sambil menari kegirangan Sin Hong berlari terus ke arah lereng
gunung di mana dahulu menjadi tempat tinggal Luliang Sam-lojin.
Di sana sunyi saja, tidak kelihatan bayangan seorang pun manusia.
"Apakah mereka pergi turun gunung? Ataukah … ada sesuatu
yang hebat terjadi?” tanya Sin Hong di dalam hatinya sambil
memandang ke sekeliling tempat itu. Sunyi saja di situ, dan biarpun
biasanya Sin Hong berada di dasar jurang yang amat sepi, namun
pada saat itu ia benar-benar merasa betapa sunyi tempat itu, sunyi
yang mendebarkan hati. Biasanya ia mendengar Luliang Siucai
bernyanyi atau membaca sajak,. mendengar Luliang Ciangkun
tertawa-tawa sambil minum arak atau mainkan pedang, melihat
Luliang Nungjin bekerja rajin di sawahnya. Kini semua itu lenyap
dan keadaan di situ seperti mati.
"Luliang Sam-loheng...'" tak terasa lagi Sin Hong berteriak
dengan hati duka. Hanya gema suaranya saja yang menjawabnya
dari jurusan hutan batu karang.
234
Dengan hati berat Sin Hong berlari naik ke atas dan melompat ke
atas sebuah batu karang yang tinggi. Dari tempat tinggi itu ia
memandang ke sekelilingnya, dan tiba-tiba ia melihat gundukan
tanah sebanyak tiga gunduk! Itula tanda bahwa ada tiga makam di
tempat itu!
"Sam-loheng...." dan ia melompat turun dari batu karang dan
terus berlari menghampiri tempat itu.
Benar saja, di depannya terdapat kuburan berjajar dan biarpun di
situ tidak terdapat tanda sesuatu maupun bongpai (batu nisan)
namun Sin Hong seakan-akan melihat mayat tiga orang tua yang
dikasihinya itu membujur di bawah tanah. Memang sesungguhnya
tempat ini adalah tempat di mana Ciang Le mengubur jenazah
Luliang Sam Lojin yang telah menjadi tulang-tulang berserakan
ketika pendekar besar itu tiba di Luliang-san.
"Sam-loheng, siauwte bersumpah akan mencari orang-orang
yang membunuh Sam-wi Lo-heng dan akan membalas sakit hati
ini..." Sin Hong menangts di depan tiga kuburan itu. Betapa ia
takkan merasa duka? Di dalam dunia ini, selain Luliang Sam-lojin,
tidak ada lagi orang yang menaruh perhatian kepadanya, kecuali
Liang Gi Tojin dari Hoa-san-pai yang sudah tewas dan Lie Bu Tek,
ayah angkatnya. Tiba-tiba Sin Hong melompat berdiri ketika teringat
kepada ayah angkatnya.
"Gihu telah dianiaya oleh orang-orang Im-yang-bu-pai dan
lengannya dibacok putus oleh jahanam keparat Kong Ji Bagaimana
sekarang keadaannya? Apakah masih hidup?" Setelah bertanyatanya
di dalam hatinya sendiri dengan perasaan gemas terhadap
Kong Ji, ia lalu melompat dan berlari turun dari bukit Luliang-san
bagaikan terbang cepatnya.
Setelah melakukan perjalanan jauh, makin terbuka mata Sin
Hong bahwa sungguhnya ia telah mewarisi ilmu yang amat luar
biasa dari kitab peninggalan Pak Kek Siansu. Di antara ilmu-ilmu
silat tinggi yang ia pelajari, terdapat pula pelajaran ilmu lari dan
ilmu melompat jauh yang disebut Liok-te-hui-teng-kang hu. Ketika
berada di dasar jurang tidak ada tempat yang cukup luas bagi Sin
Hong untuk mencoba kepandaian ini akan tetapi sekarang setelah ia
keluar dari tempat itu, ia mendapat kesempatan banyak untuk
235
mencobanya. Dan ia sendiri merasa tertegun ketika melihat hasil
daripada latihan-latihannya selama. tiga tahun lebih itu. Ilmu
melompat jauh ini setelah ia coba, tubuhnya bagaikan dilemparkan
oleh tenaga yang kuat sekali sehingga ia setengah melayang-layang
di udara!
"Alangkah senangnya hati Gi-hu kalau ia melihat kemajuanku,"
katanya perlahan dan kembali air matanya berlinang dengan penuh
keharuan kalau ia teringat akan nasib Lie Bu Tek. Maka
dipercepatlah larinya untuk segera dapat tiba di Hoa-san karena ia
berniat pergi ke Hoa-san untuk mencari ayah angkatnya itu.
Pada suatu pagi, setelah keluar dari drretan hutan-hutan besar,
tibalah ia di sebuah dusun yang rumah-rumahnya amat sederhana.
Tak sebuah pun di antara rumah-rumah itu yang beratap genteng,
semua beratap daun kering. Alangkah miskinnya penduduk dusun
ini, pikir Sin Hong. Akan tetapi, setelah ia memasuki dusun, ia
menjadi heran sekali. Ternyata bahwa dusun itu kosong, tidak ada
seorang pun kelihatan diluar pintu yang terbuka, dan keadaannya
amat sunyi. Akan tetapi, jelas nampak bahwa rumah-rumah ini
belum lama ditinggalkan para penghuninva. Pelatarannya masih
bersih bekas disapu.
Sin Hong merasa perutnya lapar sekali. Semenjak kemarin sore ia
tidak bertemu dengan dusun dan tidak bisa mendapatkan pohon
bcrbuah di dalam hutan yang dilaluinya. Harapannya akan
mendapatkan makan di dusun itu lenyap seketika setelah ia melihat
bahwa dusun itu benar-benar kosong melompong. Apa akal? Ia
tidak bisa membiarkan saja perutnya yang kelaparan. Kalau ia tidak
mempergunakan hawa di dalam tubuh melindungi perut dan
dadan)a, mungkin sekali ia telah terserang penyakit.
"Sebetulnya amat memalukan, akan tetapi apa daya, terpaksa
kulakukan juga...." Dengan muka merah, Sin Hong mulai mencari
cari di dalam rumah-rumah kosong itu, untuk melihat kalau- kalau
ada sesuatu yang dapat dimakan.
"Sial dan memalukan sekali...." gerutunya berkali-kali ketika ia
keluar-masuk rumah tanpa mendapat apa-apa. üntuk minta-minta
seperti pengemis, ia tak merasa hina dan rendah apabila ia merasa
perutnya lapar, akan tetapi untuk mencari-cari makanan di dalam
236
rumah orang seperti seorang maling, benar-benar Sin Hong merasa
rendah dan malu sekali.
Akan tetapi setelah memasuki sepuluh buah rumah lebih. Sin
Hong tak menemukan sesuatu kecuali seguci arak yang dibawanya
keluar. ia merasa amat lapar dan haus dan juga terheran-heran
mengapa sedikit sisa makan yang ia lihat ternyata sudah merupakan
abu di depan setiap rumah, agaknya ketika para penghuni rumah
pergi, mereka membakari makanan yang ada di situ. Terlihat periukperiuk
hangus dengan isinya yang sudah menjadi abu dan arang di
depan pintu.
"Apa yang terjadi di tempat ini?" pikirnya. Kemudian karena ia
tak mungKin dapat memecahkan teka-teki ini, ia lalu mengangkat
guci araknya dan menempelkan mulut guci pada bibirnya, siap
hendak minum araknya.
Tiba-tiba ia mendengar
desir angin dan dengan tenang
Sin Hong menggerakkan
tangan yang memegang guci
ke samping, menunda
minumnya. Sebatang senjata
rahasia piauw meluncur lewat
di samping guci. Kalau ia tidak
menggerakkan guci, pasti guci
arak itu akan terpukul pecah
oleh piauw tadi. Ia heran
sekali. Sudah jelas bahwa
pelempar piauw itu seorang
ahli yang pandai, akan tetapi
kalau mau menycrang secara
menggelap kenapa piauw itu
ditujukan kepada guci arak?
la mendengar seruan keheranan dan cepat Sin Hong
membalikkan tubuhnya. Yang berseru keheranan adalah seorang
tosu berjenggot dan berambut hitam, orang yang agaknya
melepaskan piauw tadi dan kini terheran karena melihat piauwnya
tidak mengenai sasaran. Adapun di sebelah tosu ini berthri seorang
237
tosu lain, seorang tosu yang rambut dan jenggotnya sudah putih
semua akan tetapi mukanya demikian sehat dan segar sehingga
kulit mukanya itu nampak kemerahan. tosu tua ini berseru,
"Anak yang baik, lekas kaulempar jauh-jauh guci arak itu dan
jangan minum isinya!"
Telinga Sin Hong tajam luar biasa setelah ia berlatih ilmu silat
tinggi dari kitab peninggalan Pak Kek Siansu. ia mendengar suara ini
amat mengandung perasaan ngeri dan cemas luar biasa. Maka
otomatis ia cepat melempar pergi guci arak itu ke tempat jauh. Guci
itu pecah dan isinya mengalir keluar.
"Bagus! Senang hatiku melthat kau baru. saja terlepas daripada
bahaya maut yang mengerikan," kata pula kakek berjenggot putih
itu dan kini mukanya menunjukkan keramahan yang sekaligus
menawan hati Sin Hong.
Anak ini cepat menghampin mereka dan menjura.
"Jiwi Totiang (Bapak Pendeta Berdua) siapakah dan mengapa
aku harus membuang guci arak itu pada saat aku merasa amat
lapar dan haus?" tanyanya. Sin Hong pernah belajar ilmu surat dari
Luliang Siucai dan telah banyak membaca kitab tentang sejarah dan
kebatinan, telah pula mendengar banyak nasihat dari Luliang Siucai
tentang pribadi dan sopan santun, maka sikapnya tidak
mengecewakan sebagai seorang bocah yang tahu akan aturan.
Kakek berjenggot itu tersenyum mengangguk-angguk dan
mengelus-elus jenggotnya sambil berkata, "Aneh... aneh... kau
bukan bocah dusun! Dari manakah kau? Dan siapa namamu, bocah
yang kelaparan akan tetapi baik budi bahasamu?"
Sin Hong tidak ingin namanya diketahui orang karena ia maklum
bahwa banyak sekali musuh yang pasti akan mencari dan
menewaskannya kalau mengetahui bahwa ia masih hidup, maka ia
lalu menjawab,
"Aku bernama Tan A Kai, seorang anak perantau yang tak tentu
tempat timggalku. Aku kebetulan lewat di sini lalu perutku lapar
sekali, maka karena tidak ada seorang pun di dusun ini, aku… aku
238
lancang memasuki rumah untuk mencari makanan." Muka Sin Hong
menjadi merah sekali ketika mengucapkan pengakuan ini.
Kakek itu tertawa terbahak-bahak. "Anak baik, kau masih dapat
merasa malu untuk perbuatan itu, bagus sekali! Nah, kaumakanlah
ini kalau lapar!" Dari saku bajunya, kakek itu mengeluarkan sebutir
buah berwarna merah yang diberikannya kepada Sin Hong. Sambil
mengucapkan terima kasih Sin Hong menerima buah itu dan segera
dimakannya. Alangkah girangnya ketika mendapat kenyataan bahwa
buah itu amat manis dan wangi dan yang lebih mengherankan lagi
habis satu saja perutnya menjadi kenyang!
"Bolehkah aku mengetahui nama Ji wi Totiang?" tanya Sin Hong
seteLah menghabiskan buah itu.
"Untuk apa kau tanya-tanya? Pergilah, kanii ada pekerjaan!" Tosu
berjenggot hitam membentaknya. Sin Hong melirik. Baru sekarang
ia memperhatikan tosu ini, karena tadi seluruh perhatiannya tertarik
oleh keadaan tosu yang ramah tamah dan bermuka terang itu.
Sekali lihat saja Sin Hong merasa tidak suka kepada tosu ini. Alis
tosu ini tebal, matanya tajam dan wajahnya cukup tampan akan
tetapi tekukan bibirnya membayangkan sesuatu yang tak
disukainya. Dari sikap dan kedudukan kedua kakinya, Sin Hong
dapat menduga bahwa tosu nil adalah seorang ahli silat kelas tinggi.
"Maaf kalau aku berlancang mulut," jawabnya tenang, "Aku
bertanya karena aku ingin sekali mengetahui keadaan di dusun ini
yang amat aneh. Aku adalah seorang bocah perantau, bagaimana
akan jawabku kalau kelak ada orang bertanya?, Sebuah dusun
kosong, lalu ada dua orang pendeta datang dan melarang aku
minum arak dari guci yang kudapatkan di dusun. Benar-benar bisa
bikin orang lain menaruh hati curiga. Akan tetapi, kala Ji-wi tidak
mengaku, sudahlah, biarkan aku pergi dan sini pun tidak apa!"
Akan tetapi sebelum Sin Hong berjalan pergi, kakek tua yang
berjenggot putih itu menahannya dengan ketawanya yang ramah
tamah dan suaranya yang halus.
"Anak, tidak baik bagi seorang anak kecil untuk marah-marah
dan mendongkol. Kau ingin tahu siapa kami? Dengarlah, aku disebut
orang Kwa Siucai (Sasterawan she Kwa) tukang mendongeng dan
239
juga tukang mengobati orang sakit. Adapun toyu (Sahabat) ini baru
kemarin kujumpai dan kenal, namanya Kim Kong Tojin, menurut
keterangannya seorang tosu dan Kun-lun-san. Adapun tentang
dusun ini, juga menurut penuturan Kim Kong To-yu ini, telah
kedatangan iblis penyebar racun dan maut, maka aku diminta
datang untuk menyelidiki dan kalau perlu menolong mereka yang
menjadi korban." Sambil berkata demikian, dengan wajahnya yang
jujur dan ramah tosu berjenggot putih itu memandang kepada Kim
Kong Tojin dengan tajam.
Sin Hong adalah seorang anak yang mempunyai kecerdikan dan
kecepatan berpikir. Melihat sikap Kim Kong Tojin, dapat menduga
bahwa tosu ini bukan seorang baik, sebaliknya mellhat sikap Kwa
Siucay' yang ramah tamah ia dapat menduga pula bahwa ahli
pengobatan tentu secara terpaksa berada di tempat ini, dipaksa oleh
Kim Kong Tojin.
"Akan tetapi ke mana perginya semua penghuni dusun, dan
siluman apakah yang mengganggu tempat ini?" Sin Hong pura-pura
ketakutan dan memandang ke kanan kiri.
"Sebagian besar penghuni dusun telah tewas dan yang lain telah
melarika diri karena takut," kata Kim Kong Tojin dengan sikap
menakut -nakuti Sin Hong sungguh pun ia merasa mendongkol
sekali terpaksa harus bercakap-cakap dengan seorang bocah di
tempat itu. "Segala sesuatu di tempat ini mengandung racun, kalau
tadi terus minum arak itu, sekarang kau tentu sudah menjadi
mayat!"
"Dan tidak dapat mengganggu engkau …." di dalam hatinya Sin
Hong berkata. "Tosu ini tentu mengandung maksud tertentu.
Dengan adanya aku di sini, ia akan bercuriga dan akan melakukan
sesuatu dengan bersembunyi. Agaknya ada sesuatu yang
mengancam kakek sasterawan ini. Lebih baik aku mengamati dari
jauh." Setelah berpikir demikian ias lalu berkata dengan suara takuttakut.
"Aduh celaka! Kalau begitu apa perlunya aku lama-lama berada
di tempat terkutuk ini. Terima kasih Ji-wi Totiang, aku mau pergi
saja!" Tanpa menanti jawaban, ia lalu berlari-lari seperti seorang
240
anak yang ketakutan. Terdengar kedua orang kakek itu tertawa
melihat ia lari ketakutan.
Memang apa yang diduga oleh Sin Hong tidak meleset jauh.
Sebagaimana mungkin masih ada pembaca yang ingat. Kwa Siucai
adalah seorang tersohor sebagai seorang ahli dongeng cerita-cerita
rakyat dan juga amat tinggi ilmunya dalam hal pengobatan. Di
dalam cerita Pendekar Budiman, Kwa Siucai ini pernah menolong
jiwa pendekar besar Ciang Le ketika pendekar ini terluka oleh
senjata rahasia beracun.
Kwa Siucai adalah seorang perantau dan ketika merantau sampai
di dekat dusun itu, ia bertemu dengan Kim Kong Tojin yang
menceritakan bahwa di dusun itu berjangkit penyakit yang aneh.
Banyak penduduk tewas karena siapa pun juga yang tinggal di
dusun itu sehanis makan atau minum lalu mati. Hal ini tentu saja
menarik perhatian Kwa Siucai sebagai ahli pengobatan, akan tetapi
mata kakek ini masih tajam dan ia merasa bercuriga terhadap Kim
Kong Tojin. Ia sudah luas pengalamannya dan banyak tokoh-tokoh
kang-ouw yang dikenalnya, namun belum pernah ia mengenaI tosu
ini yang mengaku sebagai orang dari Kun-lun san. ia hendak
menolak, akan tetapi Kim Kong Tojin berkata dengan nada suara
tidak senang,
"Kwa Siucay kau sebagai seorang ahli pengobatan, mendengar
akan adanya malapetaka ini bagaimana bisa menolak permintaanku
untuk menyelidiki dan memberi pengobatan? Orang yang mati telah
kusingkirkan, bahkan yang masih hidap sudah pada pergi
meninggalkan dusun. Kalau racun atau siluman penyebar racun itu
tidak dibasmi, bagaimana aku bisa disebut ahli silat yang
menjunjung tinggi kegagahan dan kau sebagai seorang ahli
pengobatan yang suka menolong orang?"
Kwa Siucai dapat mendengar nada ancaman dalam kata-kata ini
maka ia tertawa dan berkata. "Baiklah, To-yu, aku akan ikut kau ke
sana. Akan tetapi, biarpun soal pengobatan adalah tanggunganku,
namun kalau muncul siluman-siluman jahat kaulah yang
menghadapinya."
"Jangan khawatir, Kwa Siucai, siluinan-siluman jahat adalah
makananku sehari-hari. Akan tetapi apakah kiranya kau dapat
241
membereskan wabah yang aneh itu? Apakah betul-betul kau ahli
dalam hal pengobatan racun seperti yang sering kali kudengar?
Menurut pendengaranku di dunia kang-ouw banyak sekali tokoh
tokoh mempergunakan ribuan macam bisa yang aneh-aneh seperti
halnya tokoh besar See-thian Tok-ong."
Kwa Sweat mainkan bibirnya dan sepasang matanya bersinarsinar.
“Hmm, orang semacam See thian Tok-ong amat sombong.
Biarpun aku belum pernah melihat mukanya, namun aku dapat
membayangkan bahwa orang-orang yang memakai nama Raja
Racun bukanlah orang yang baik, mungkin bukan manusia.
Penggunaan racun untuk merobohkan orang lain adalah kejahatan
yang securang-curangnya."
"Akan tetapi dapatkah kiranya Kwa Siucai menyembuhkan dan
menolak semua racun dari Raja Racun itu dengan pengobatan?"
"Mengapa tidak?" jawab Kwa Siucay menantang. "Semua racun
yang ia keluarkan akan dapat kulawan dengan pengetahuanku
tentang obat-obatan pemberian alam yang maha kuasa."
Demikianlah, dua orang itu berangkat ke dusun dan kebetulan
sekali mereka melihat Sin Hong hendak minum arak dari guci-guci
yang didapatkannya dari dalm rumah. Kwa Siucai cepat menyuruh
Kim Kong Tojin mencegah bocah itu melanjutkan minumnya dan
Kim Kong Tojin cepat melemparkan piauwnya, akan tetapi tak
tersangka-sangka bocah itu menggerakkan guci sehingga piauwnya
tidak mengenai sasaran. Mula-mula Kim Kong Tojin merasa terkejut
dan heran. Ia telah terkenal dengan ilmunya menimpuk dengan
senjata rahasianya, mengapa dalam jarak yang paling jauh empat
puluh kaki ia tidak dapat menimpuk guci yang demikian besarnya?
Akan tetapi ia segera mendapat pikiran bahwa gerakan bocah itu
adalah kebetulan saja, bukan karena ia kurang pandai menimpuk
atau karena bocah itu memiliki kepandaian, semua tentu hanya
kebetulan saja.
Setelah Sin Hong lari pergi dari situ Kwa Siucai bersama Kim
Kong Tojin lalu masuk ke dalam dusun dan sasterawan itu mulai
melakukan pemeriksaan. Dalam rumah pertama, begitu masuk ia
menggerakkan hidungnya dan mengerutkan kening.
242
"Hm, aneh sekali. Bagaimana di tempat seperti ini bisa terdapat
seekor Pek-gan-coa (Ular Mata Putih)?"
"Apa maksudmu, Kwa Siucai?" tanya Kim Kong Tojin dan air
mukanya berubah.
"Diam dan tunggulah saja," kata sasterawan itu yang segera
duduk bersila di tengah ruangan rumah yang berlantai tanah itu.
Dari dalam sakunya ia mengeluarkan sebuah bungkusan besar yang
ketika dibuka terisi beberapa puluh macam bungkusan kertas kecilkecil.
ia memilih sebuah bungkusan kecil setelah membaca tulisantulisan
di atas setiap bungkusan. Bungkusan itu dibukanya dan ia
menjemput sedikit bubuk warna biru yang disebarkan di depannya.
Tercium bau yang wangi oleh Kim Kong Tojin ketika sasterawan itu
menyebarkan bubuk biru ini, dan kepalanya menjadi pening. Buruburu
ia melangkah mundur menjauh dan menonton semua itu dari
jarak jauh dengan hati berdebar.
Sunyi beberapa lama. Kwa Siucai duduk tak bergerak sambil
meramkan mata seperti orang bersamadhi. Kim Kong Tojin juga
tidak berani bergerak. Tak lama kemudian terdengar suara
mendesis dari atas. Kwa Siucai tetap tidak bergerak, akan tetapi Kim
Kong Tojin menggerakkan mata memandang ke atas. Alangkah
ngerinya ketika ia melihat seekor ular yang kecil akan tetapi
panjangnya tidak kurang dari dua kaki, merayap turun tiang. Ular itu
warnanya biru, akan tetapi sepasang matanya putih mengerikan.
Lidahnya yang hitam terjulur keluar masuk dari mulutnya. Dengan
perlahan ular itu merayap turun terus menghampiri Kwa Siucai!
Kim Kong Tojin tetap tidak bergerak, akan tetapi diam-diam ia
telah memegang sebatang senjata rahasia piauw di tangan kanan,
siap untuk memmpuk ke arah ular itu kalau binatang berbisa ini
menyerang Kwa Siucai. Akan tetapi ular itu tidak menyerang Kwa
Siucai, melainkan menghampiri bubuk biru yang tersebar di depan
sasterawan itu lalu... bagaikan seekor binatang yang jinak ia
menjulurkan lidah dan menjilati tepung biru itu! Kelihatan enak
sekali ia makan tepung itu sehingga sebentar saja tepurg itu sudah
habis. Ular itu masih menggunakan lidah untuk menjilati tanah
bekas tempat tepung tersebar, akan tetapi tiba-tiba ia diam tak
bergerak'
243
Kwa Siucai tertawa dan melompat berdiri. "Hm, seekor ular ini
saja sudah cukup membunuhi semua penghuni dusun, ia lalu
membungkuk dan memegang ular itu pada lehernya. Ular itu masih
hidup akan tetapi tubuhnya lemas tak bertenaga sedikitpun juga.
"Eh, Kwa Siucai, bagaimana ia bisa menjadi begitu lemas?" tanya
Kim Kong Tojin dengan kagum.
"To-yu, kau tidak tahu. Pek-gan-coa ini adalah ular yang paling
berbahaya dan gigitannya sukar diobati. Entah bagaimana ia dapat
datang ke suni, pada hal biasanya ular macam ini hanya hidup di
daerah utara yang dingin. Kau lihat bukankah dengan obatku aku
mampu bikin dia tak berdaya? Juga orang yang menjadi korban
gigitannya, kalau belum lewat sehari semalam, aku sanggup
mengobatinya."
Kim Kong Tojin mengangguk angguk kagum. "Apakah namanya
obat tadi, Kwa Siucai? Bolehkah aku bertanya agar kelak kalau ada
aku dapati orang tergigit olehnya, boleh aku mencoba
menolonginya?"
Kwa Siucai tersenyum. "Tidak mudah, To-yu. Tidak mudah untuk
mempelajari ilmu pengobatan, jauh lebih sukar daripada
mempelajari ilmu silat. Kalau tidak demikian, mengapa aku lebih
suka mempelajari ilmu pengobatan? Obat tadi adalah sari bunga
bwee biru dari utara. Sudahlah, kita bertmtung sekali bertemu
dengan ular ini. Memanggangnya sampai hangus, arangnya dapat
menjadi obat penawar racun yang manjur." Kwa siucai memasukkan
ular itu ke dalam saku bajanya yang lebar, lalu menyimpan kembali
bungkusan obatnya.
Di rumah ke dua dan ke tiga, ternyata bahwa racun yang
tersebar di situ adalah racun ular mata putih juga. Akan tetapi di
rumah ke empat, baru saja memasuki rumah, Kwa Siucai
mengeluarkan seruan tertahan.
"To-yu, mundurlah, Jangan masuk dalam rumah ini. Berbahaya
sekali!" serunya.
Kim Kong Tojin melompat mundur akan tetapi mengintai dari
balik daun pintu, melihat apa yang hendak dilakukan oleh
sasterawan tua itu. Kwa Siaucai berhenti di tengah ruangan rumah
244
yang agak gelap ini, lalu mengeluarkan sebungkus garam dan
mencampur garam halus itu dengan obat bubuk warna putih.
Kemudian ia menyebarkan bubukan ini ke sudut-sudut ruangan, ke
atas dan ke tempat-tempat yang dapat dipakai bersembunyi
binatang kecil.
Bau apek memenuhi ruangan itu tiba-tiba melayang sebuah
bayangan kecil yang berwarna kuning emas dan sebelum ia dapat
mengelak, tahu-tahu lengan kiri Kwa Siucai telah tergigit oleh seekor
kelabang yang besarnya melebihi Ibu jari kaki! Kelabang itu
menggigit lengan di bawah saku dan tidak mau melepaskan lagi.
Baju Siucai bukan apa-apa baginya dan segera gigitannya telah
mengenai kulit.
Kwa Siucai terhuyung-huyung dan cepat ia berlari keluar. Sampai
di luar, ia cepat menjatuhkan diri duduk dan dengan langan kanan,
ia mengeluarkan bungkusan obatnya. Kim Kong Tojin memburu dan
bendak mencahut pedangnya, akan tetapi Kwa Siucai berseru.
"Jangan sentuh!!"
Kwa Siucai mengeluarkan sebungkus obat bubuk warna putih,
mengambil guci araknya dan menuangkan sedikit arak ke dalam
tutup guci. Obat bubuk warna putih itu ia tuangkan pula
setengahnya ke dalam tutup guci yang dijadikan cawan, kemudian
ia mengambil pula sebutir pil warna merah yang segera ditelannya.
Setelah itu ia minum arak yang bercampur obat itu.
Sehabis minum obat itu ia menjadi tenang. Sambil tersenyum ia
mengamat-amati kelabang yang masih melingkar di lengannya dan
ia mengangguk-angguk.
"Benar-benar aneh. Apakah dunia utara dan selatan sudah
kiamat sehingga binatang-binatang berbisa macam ini bisa
berkumpul di sini?" Ia menengok ke arah Kim Kong Tojin yang
memandang kepadanya dengan gelisah.
"To-yu, tahukah kau binatang apa ini? Inilah kelabang kulit emas
yang hanya terdapat di daerah selatan yang panas. Sekali gigit saja
ia mencwaskan orang dan setiap makanan yang dilaluinya juga akan
mengandung racun jahat."
"Akan tetapi kau... kau telah digigitnya, Kwa Siucai...."
245
"Tidak apa, bukankah aku tukang mengobati gigitan-gigitan
binatang berbisa? Aku takkan apa-apa, sebaliknya binatang ini akan
menjadi milikku." Sambil tertawa-tawa girang Kwa Siucai lalu
menjatuhkan beberapa banyak bubuk obat putih itu ke arah kepala
dan tubuh kelabang yang masih menempel pada lengannya. Tibatiba
kelabang itu melepaska gigitannya. Jatuh di atas menggeliatgeliat
dan kemudian diam tak bergerak, mati!
"Ha, minyak dari tubuhnya akan menjadi obat yang manjur bagi
penyakit gatal," kata Kwa Siucal girang dan cepat ia masukkan
kelabang yang sudah menjadi bangkai itu ke dalam saku bajunya
yang lain lagi.
Semua rumah itu dimasuki oleh Kwa Siucai dan makin besar
keheranannya ketika di rumah-rumah ia mendapatkan binatangbinatang
berbisa yang amat berbahaya seperti kalajengking, segala
macam ular dan kumbang. Baiknya Kwa Siucai benar-benar ahli
dalam hal pengobatan, bahkan beberapa kali ia terkena gigitan
binatang berbisa. Dalam menghadapi binatang-binatang berbisa
yang datang dari segala penjuru itu memang aneh dan berbahaya,
ia sampai beberapa kali membuka kitab tebal kecil yang selalu
dibawanya di dalam saku untuk mempelajari kembali agar jangan
sampai salah memperrgunakan obat penolaknya.
“Heran, heran, apakah yang terjadi di dusun ini? Apakah benarbenar
ada siluman yang datang mengganggu? Tak mungkin
binatang-binatang itu dapat datang dari jarak yang ribuan lie
jauhnya!" Beberapa kali sasterawan itu menggeleng-gelengkan
kepalanya akan tetapi tiba-tiba ia melangkah mundur ketika
pandangan matanya bertemu, dengan pandang mata Kim Kong
Tojin. Ia melihat sesuatu yang mengerikan dalam pandang mata
tosu itu.
Tosu itu tersenyum menyeringai. "Kwa Siucai, bukankah kau tadi
menantang See-thian Tok-ong? Nah, sekarang kau telah mencoba
kelihayannya, apakah kau merasa ngeri? Ha, ha, ha!"
Kwa Siucai menjadi pucat. "Jadi. semua ini adalah perbuatan
See-thian Tok-ong? Jadi dia sengaja mengorbankan dusun ini untuk
mencoba kepandaianku? Dan kau... tentu bukan bernama Kim Kong
Tojin! Celaka, aku telah tertipu...!”
246
"Ha- ha-ha, kau benar-benar pandai sekali menerka, Kwa Siucai.
Aku memang bukan bernama Kim Kong Tojin, melainkan Tek Goan
It dari Im-yang-bu-pai.”
"Apa kehendak See-thian Tok-ong? Apa kehendakmu dariku?"
"Kehendak kami? Ini!" Secepat kilat Tek Goan It memukulkan
tangan kanannya ke arah dada Kwa Siucai sedangkan tangan kirinya
merampas kitab kecil dan bungkusan obat. Kejadian ini terjadi
dengan cepat dan tak terduga sekali dan tahu-tahu Kwa Siucai
sudah roboh.
Sin Hong yang semenjak tadi mengintai dari jauh, tadinya
terheran-heran dan ngeri menyaksikan semua binatang berbisa itu
dan kagum bukan main melihat kepandaian Kwa Siucai. Dia masih
kecil dan biarpun semenjak kanak-kanak ia telah mengalami banyak
penderitaan akibat perbuatan orang -orang jahat, namun ia masih
tidak mengira bahwa akan ada orang yang dapat berlaku securang
tosu yang datang bersama Kwa Siucai itu. Oleh karena inilah maka
ia tidak sempat mencegah terjadinya penyerangan Tek Goan It
kepada Kwa Siucai.
Setelah Kwa Siucai terpukul jatuh, Sin Hong melompat keluar dan
membentak,
"Bangsat berbatin rendah!"
Akan tetapi, sebelum ia turun tangan ia melihat wajah Tek Goan
It menjadi pucat sekali dan terhuyung-huyung lalu roboh. Ketika Sin
Hong mendekati, ia segera melompat mundur kembali dengan
penuh keheranan dan kengerian. Ternyata bahwa entah apa
sebabnya Tek Goan It telah tak bernyawa lagi. Kitab dan bungkusan
obat masih dicengkeram oleh tangan kirinya!
Terdengar keluhan perlahan dan Sin Hong cepat menghampiri
Kwa Siucai, lalu berlutut.
"Sayang sekali aku datang terlambat Kwa Siucai. Apakah lukamu
hebat?"
Kwa Siucai mencoba untuk bangun akan tetapi tak dapat karena
tulang-tulang iganya telah remuk terkena pukulan Tek Goan It. Kwa
Siucai sudah tua dan memang tidak mengerti ilmu silat maka mudah
247
saja ia terpukul, sedangkan Tek Goan It adalah tokoh lm-yang-bu
pai yang berkepandaian tinggi. Mungkin pembaca masih ingat
bahwa dulu Tek Goan It inilah yang mengejar Liok Sun, dan
kemudian bertempur dengan Lie Bu Tek di Bukit Hoa-san.
Sin Hong membantu Kwa Siucai duduk. Sasterawan ini
muntahkan darah segar, kemudian napasnya terengah-engah.
Setelah ia melihat tubuh Tek Goan It rebah tak bernyawa lagi. Kwa
Siucai tertawa! Sin Hong merasa heran atas kematian Tek Goan It,
kini melihat sastewan itu tertawa, ia merasa makin heran lagi.
"Ha, dikira aku seorang sasterawan yang lemah dan tak mampu
membalas? Sayang hanya orang macam Tek Goan It ini yang
bertukar nyawa dengan aku, sungguh tidak berharga! Kalau saja
See-thian Tok-ong yang mati bersamaku, aku tidak akan
penasaran!"
Kwa Siucai memandang dan agaknya baru sekarang ia
memperhatikan bocah itu.
"Kau bocah aneh, kau bukan bocah sembarangan. Matamu
tajam, kau cerdik dan wajahmu membayangkan budi yang luhur.
Eh, siapakah kau sebenarnya? Nama Tan A Kai tentu palsu!"
Merah wajah Sin Hong. "Sesungguhnya, Kwa Siucai, aku adalah
Wan Sin Hong, seorang anak perantau. Aku adalah murid Pak Kek
Siansu."
"Apa...? Pak Kek Siansu sudah meninggal dunia...."
"Betul, akan tetapi akulah yang mewarisi kitabnya."
Wajah Kwa Siucai menjadi terang dan ia nampak girang sekali.
"Bagus! Pak Kek Siansu adalah sahabatku yang baik. Bagus, Sin
Hong, kau pun menjadi muridku pula. Terimalah kitab ini, ambil
bungkusan obat-obat itu Pelajari baik-baik... tolonglah orang-orang
yang menderita sengsara dengan kepandalanniu dari Pak Kek
Siansu dan dari aku...." Tiba-tiba tubuh saterawan itu menjadi
lemas, ia muntahkan daral segar lagi dan matanya tertutup untuk
selamanya.
248
Sin Hong menjadi terharu sekali, dan juga ia merasa bingung.
Sasterawan ini mengangkat ia sebagai murid dan memberi warisan
berupa kitab pengohatan dan sebungkus obat-obatan yang amat
manjur dan yang tadi sudah ia saksikan kehebatan khasiat obatobat
itu. Akan tetapi, ia pun mcnyaksikan betapa tosu yang
bernama Tek Goan It itu terus saja tewas begitu menyentuh kitab.
Ia dapat menduga bahwa tentu sampul kitab itu diberi racun yang
amat hebat. Bagaimana ia dapat menyimpan kitab itu tanpa terkena
racunnya? Memang bisa mengambil dengan tangan ditilami kain,
akan tetapi selanjutnya bagaimana ia dapat membaca kitab itu kalau
ia takut terkena racunnya?
"Bagaimana nanti sajalah, sekarang paling perlu menyimpannya,"
pikir Sin Hong. ia lalu mengambil kain pembungkus obat-obatan itu
dan menghampiri mayat Tek Goan It. Akan tetapi alangkah
kagetnya ketika ia merasa tangannya panas seperti terbakar. Ia
telah memberi tilam kain itu pada tangannya namun begitu
menyentuh kitab, ia merasa jari-jari tangannya seperti dibakar api
yang luar biasa panasnya!
"Celaka, racun ini hebat sekali!" serunya sambil melepaskan lagi
kitab itu yang jatuh di atas tanah. Ketika ia melihat tangannya,
ternyata kulit tangannya menjadi hangus. Cepat Sin Hong
mengeruhkan tenaga simkang di tubuhnya ke arah jari itu dan
akhirnya ia berhasil mengusir hawa panas yang membakar
tangannya.
"Lihai sekali..."...... katanya perlahan sambil menengok ke arah
jenazah Kwa Siucai. "Suhu, maafkan teecu. Terpaksa teecu tidak
berani membawa kitab dan akan teecu tanam saja di sini agar
jangan terjatuh ke dalam tangan orang lain. Hanya obat-obat ini
saja yang akal teecu bawa, sungguhpun tanpa kitab itu teecu tidak
tahu bagaimana harus mempergunakannya."
Sambil berkata demikian, Sin Hong lalu mengumpulkan
bungkusan kecil dari obat-obatan itu untuk dimasukkan ke dalam
kain pembungkus besar yang tadi dipakai untuk mengambil kitab.
Dalam pekerjaan ini ia melihat tulisan-tulisan di atas kertas
pembungkus dari tiap bungkusan. Ia segera meneliti tulisan dan
alangkah girangnya ketika ia melihat tulisan pada sebuah
249
bungkusan yang berbunyi : PENAWAR RACUN SAMPUL KITAB.
Dengan gtrang ia membuka bungkusan ini yang terisi bubuk warna
hijau. Ia menjemputnya sedikit dan menggosok-gosokkan obat int
pada tangannya yang terbakar. Seketika itu juga hangus pada
tangannya lenyap dan tangan itu terasa nyaman dan sejuk sekali.
"'Terima kasih, Kwa Siucai. Kau benar benar seorang suhu yang
baik!"
Sin Hong mempergunakan bubuk obat hijau itu untuk menggosok
kedua tangannya dan kini tanpa ragu-ragu lagi ia mengambil kitab
kecil yang terlempar di atas tanah. Tak terjadi sesuatu pada kedua
tangannya. Sin Hong tidak mau bekerja kepalang tanggung,
sebelum ia mempelajari tentang pengobatan dan penolak racun,
untuk menjaga keselamatan, ia lalu mempergunakan obat hijau itu
untuk dibalurkan kepada seluruh permukaan sampul buku sehingga
kini ia akan selalu aman kalau menjamah kulit buku itu.
Setelah melakukan semua ini, ia menyimpan kitab dan obatobatan
di dalam saku bajunya, kemudian ia menggali untuk
menanam jenazah Kwa Siucai. Kebaikan dasar watak Sin Hong
terbukti ketika tanpa ragu-ragu ia menggali lubang untuk mengubur
jenazah Tek Goan It.
Akan tetapi baru saja ia menyelesaukan penggalian lubang untuk
tokoh Im-yang-bu-pai ini, tiba tiba terdengar bentakan keras,
"Bocah lancang kau berbuat apa?” Pada saat itu menyambar
angin dari belakangnya. Sin Hong cepat miringkan tubuh dan
bersiap sedia untuk menjaga diri. Akan tetapi orang yang baru
datang itu tidak jadi menyerangnya ketika melihat bahwa ia hanya
seorang bocah biasa saja. Yang datang ternyata adalah kakek
tanggi besar yang berwajah bengis.
Sin Hong tidak kenal siapa adanya orang ini, akan tetapi ia dapat
menduga bahwa yang berhadapan dengan dia ini tentu bukan orang
baik-baik. Maka sambil tersenyum ia menjawab tenang,
"Orang tua, aku melihat dua orang ini saling bunuh di tempat ini,
maka karena kasihan aku lalu mengubur jenazah mereka. Apakah
ini salah dan lancang?''
250
Kakek tinggi besar yang kepala gundul dan berhidung panjang
bengkok itu memandang dengan matanya yang tajam, kemudian
membentak bengis, "Jembel cilik, hayo katakan siapa namamu!"
"Namaku? Aku bernama Tan A Kai."
"Apa kerjamu di sini?"
“Suda kukatakan tadi, aku mengubur mayat ini, adapun
pekerjaanku, karena kau bilang aku jembel tentu saja seorang
jembel pekerjaannya mengemis."
"Kau hilang tadi! mereka itu saling bunuh? Betulkah? Awas,
jangan kau membohong!"
"Bagaimana aku berani membohong? Aku melihat dengan kedua
mata sendiri betapa kakek tua itu dipukul dadanya oleh tosu jahat
ini."
"Kwa Siucai tak mungkin mampu membunuh Tek Goan It!" kata
kakek gundul yang baru datang.
Sin Hong memang cerdik, maka ia tidak menyebut nama dan
pura-pura ttdak tahu siapa adanya dua orang yang saling
membunuh. ia hanya berkata,
"Memang Kakek tua itu tidak balas membunuhnya, akan tetapi
begitu pembunuh itu merampas kitab milik Si Tua, ia lalu jatuh dan
mati scketika."
Kakek gundul nampak kaget sekali.
"Apa...? Di mana kitab itu? llayo katakan, di mana kitab itu
sekarang?"
Sin Hong memang cerdik, akan tetapi di samping kccerdikannya,
ia pun tabah dan jujur. Ia menjawab dan masih kelihatan tenang
saja, "Kitab itu oleh Kakek Tua telah diwariskan kepadaku."
Mendengar ini, tiba-tiba kakek gundul itu mengulurkan tangan
hendak memegang pundak Sin Hong. Akan tetapi sebelum
sambaran tangannya mengenai sasaran, dengan enak Sin Hong
sudah meloncat setombok ke belakang, gerakannya seperti kapas
ringannya.
251
Kakek itu melongo, akan tetapi tadi ia memandang rendah
kepada anak ini dan sama sekali tidak mengira bahwa anak itu
mengerti ilmu silat, maka bentaknya,
"Kau sebenarnya siapakah?"
"Tan A Kai namaku, anak jembel....!
"Setan, berani kau main-main terhadap See-thian Tok-ong? Kalau
tidak melihat kau akan mengubur mayat Tek Goan It, sudah taditadi
kau kubikin mampus. Berikan kitab itu kepadaku?
Kini Sin Hong benar-benar terkejut. inikah orangnya yang
bernama See-thian Tok ong, yang amat terkenal dan juga yang
sudah ia saksikan kekejian dan kejahatan bekas tangannya? Untuk
memancing keluar kepandaian Kwa Siucai See-thian Tok-ong telah
membasmi sebuah dusun dengan mempergunakan binatang berbisa
yang amat keji.
Akan tetapi Sin Hong memang tidak kenal takut. ia merasa
dirinya tidak bersalah, maka perlu apa ia harus takut?
"See-thian Tok-ong atau siapapun juga tidak boleh minta kitab
yang sudah diwariskan oleh Kwa Siucai kepadaku. Dan aku tidak
ada urusan apa-apa dengan See-thian Tok-ong." Sehabis berkata
demikian, Sin Hong lain melompat pergi.
"Bocah Setan. perlahan dulu!" Tubuh See-thian Tok-ong bergerak
cepat, melompat sambil menggerakkan tangan kanan memukul ke
arah punggung Sin Hong. Namun karena See thian Tok-ong masih
belum mengenal siapa sebetulnya anak ini dan hanya mengira
bahwa bocah ini tentu murid seorang pandai yang kalau
dibandingkan dengan tingkatnya sendiri tentu amat jauh, ia tidak
mempergunakan seluruh tenaga, bahkan pukulannya juga tidak
amat bcrbahaya bagi Sin Hong.
Sin Hong mendengar sambaran angin pukulan yang tidak berapa
hebat, cepat membalikkan tubuh dan mengangkat tangan kirinya
menangkis, sambil mengerahkan tenaga lweekang dan berbareng
kedua kakinya menotol tanah dengan gerakan Garuda Terbang ke
Langit, semua gerakan yang disertai ginkang amat tinggi
252
"Plak!" kedua lengan, yang satu besar yang satu kecil itu beradu
amat kerasnya.
"Ayaaa...'" See-thian Tok-ong berseru saking terkejutnya. Ia
merasa betapa lengan bocah yang kecil itu empuk seperti kapas dan
amat dingin seperti salju sehingga tenaganya sendiri lenyap disedot
oleh hawa dingin yang keluar dari lengan kecil itu. Ia menjadi
terkejut dan amat terheran oleh karena maklum bahwa itulah
penggunaan lweekang tingkat tinggi. Orang yang dapat
mempergunakan lmkang (tertaga Im) sampai mengeluarkan hawa
dingin, atau mempergunakan Yang-kang sampai mengeluarkan
hawa panas, bukanlah orang sembarangan, dan hanya dapat
dilakukan oleh ahli silat kelas tinggi. Bagaimana seorang bocah
sekecil ini dapat menangkis serangannya dengan tenaga Im-kang
dengan hebatnya? Lebih-lebih ketika ia melihat betapa sambil
menangkis tadi, tubuh bocah itu telah mencelat seperti kilat
cepatnya, melompat dengan kedua tangan dikembangkan seperti
sayap dan berapa kali kedua lengan bergerak sehingga tubuh yang
kecil itu pun terapung sebelum kedua kaki menginjak tanah. Benarbenar
seperti seekor burung garuda yang sedang terbang dan
menggerak-gerakkan sepasang sayapnya. Hal ini tentu saja bukan
hal yang amat aneh bagi seorang sakti seperti See-thian Tok-ong,
Akan tetapi yang bikin ia bengong terlongong adalah karena bocah
yang sekecil itu mana mungkin melakukan hal ini semua?
Sebaliknya, Sin Hong juga terkejut sekali ketika merasa lengan
tangan kirinya yang bertemu dengan lengan See- thian Tok ong,
terasa gatal, dan sakit. Ketika ia melihat tangannya, ternyata kulit
lengannya telah menjadi merah sekali, tanda bahwa pukulan lawan
tadi mengandung hawa beracun yang amat berbahaya! Ia diamdiam
bergidik. Ia maklum bahwa kakek gundul itu tadi memandang
rendah kepadanya sehingga tidak mengerahkan seluruh tenaga
serta tidak mempergunakan ilmu pukulan yang berbahaya. Akan
tetapi baru sedikit tenaga dan semacam ilmu pukulan biasa saja
akibatnya telah membuat ia terluka oleh hawa beracun, apalagi
kalau kakek itu menyerangnya sepenuh hati! Maka ia tidak berani
lagi mencoba untuk mengadu kepandaian, dan melarikan din
secepat mungkin. Girang hatinya karena ternyata bahwa dalam hal
ginkang, ia masih mengatasi kepandaian kakek itu.
253
See-thian Tok ong mengejar terus akan tetapi makin lama makin
tertinggal jauh. Akan tetapi, sambil mengejar, See-thian Tok-ong
berseru berkali-kali.
“Ji Nto..., Kok Sun...! Anak itu membawa kitab Kwa Siucai,
tangkap...!"
Mendengar ini, Sin Hong maklum bahwa See-thian Tok-ong
masih mempunyai kawan-kawan yang tentu berkepandaian amat
tinggi pula, maka ia lalu mempercepat larinya sehingga tak lama
kemudian ia telah jauh meninggalkan See-thian Tok-ong yang
menjadi bingung karena kehilangan jejak bocah yang dikejarnya.
Akan tetapi, tiba-ttba Sin
Hong mendengar bentakan keras
dari belakang, "Bocah nakal
tinggalkan kitab dan kepalamu!"
Ia menoleh dan melihat
seorang perempuan tua yang
berwajah cantik mengejarnya
dengan lari cepat seperti
terbang, di tangannya
memegang sebatang tongkat
kecil!. Sin Hong terkejut
menyaksikan cara nenek itu
berlari cepat. ia telah
mempelajari ilmu berlari cepat
dari kitab peninggalan Pak Kek
Siansu, akan tetapi sebetulnya
biarpun anak ini sudah
menghafal seluruh isi kitab di
luar kepala, namun dalam waktu empat tahun saja, bagaimana ia
dapat melatih diri dengan sempurna?
Sebaliknya, Kwan Ji Nio adalah seorang tokoh kang-ouw yang
memang amat terkenal akan kepandaiannya berlari cepat dan dalam
hal ginkang suaminya sendiri pun tidak dapat menangkan dia. Kini,
biarpun ia amat terheran-heran menyaksikan bocah yang dapat
berlari cepat, akhirnya ia setelah mengerahkan seluruh tenaga dapat
juga menyusul Sin Hong.
254
"Jangan harap dapat melarikan diri!” Kwan Ji Nio berseru keras
dan rantingnya bergerak cepat, menotok ke arah pinggang Sin
Hong. Seperti juga kesalahan suaminya tadi, Kwan Ji Nio ternyata
amat memandang ringan kepada bocah ini, yang dikiranya hanya
pandai berlari cepat saja. Oleh karena itu, totokan rantingnya juga
tidak berbahava, hanya cukup untuk merobohkan bocah itu.
Sin Hong yang sudah tajam sekali pendengarannya, tahu bahwa
totokan ranting itu tidak berbahava baginya, maka ia mengerahkan
sinkangnya sambil berlari terus. Ujung ranting mengenai jalan darah
di pinggangnya, akan tetapi alangkah terkejutnya hati Kwan Nio
ketika merasa betapa rantingnya itu melengkung dan terpental
seakan-akan menotok baja!
Akan tetapi dengan pekik nyaring nyonya tua ini telah mencelat
lagi dan tahu-tahu sudah berada di hadapan Sin Hong, mencegat
larinya. Adapun Sin Hong pada saat itu sudah memegang sebatang
ranting yang dipungutnya di bawah pohon ketika ia tadi melarikan
diri lagi. Kini menghadapi Kwan Ji Nio yang gerakannya luar biasa
cepatnya itu, ia tidak membuang waktu lagi dan cepat ia
menggerakan rantingnya dengan tipu terlihai dari Pak-kek-sin-kiamsut!
Kwan Jii Nio memutar rantingnya, akan tetapi segera ia berseru
kaget ketika tiba-tiba tangannya terasa lemas dan ranting yang
dipegangnya terlepas dari tangan. Ternyata bahwa dalam
segebrakan itu Si Bocah yang aneh telah dapat menotok urat
nadinya secara demikian ajaib. Hal ini tentu saja amat mengejutkan
hati Kwan Ji Nio sehingga ia berdiri bengong dan tidak mengejar
lagi ketika melihat Sin Hong melarikan diri lebih cepat lagi.
Di sepanjang jalan, Sin Hong merasa menyesal dan kecewa
bukan main.
'Mengapa aku berani-berani keluar dari gua sebelum
kepandalanku sempurna? Hm, benar-benar seperti katak dalam
sumur. Baru saja bertemu dengan dua orang, haI tenaga dan ilmu
silat sudah terang aku bukan tandingan See-thian Tok-ong,
sedangkan dalam ilmu ginkang aku tak mampu mengatasi nenek
tadi!" Ia berlari terus dan berjanji di dalam hatinya bahwa kalau
sudah selesai tugasnya mencari ayah angkatnya. ia akan kembali ke
255
dalam gua di jurang Jeng-in-thia di puncak Luliang-san untuk
menyempurnakan ilmu kepandaiannya.
Anak yang baru berusia kurang lebih tiga betas tahun ini tidak
sadar bahwa di dalam tuhuh dan otaknya, ia telah memiliki dasar
kepandaian yang jauh melebihi kepandaian See-thian Tok-ong
maupun Kwan Ji Nio. Ilanya tentu saja kurang matang melatihnya,
apalagi ia berlatih ilmu tanpa ada yang memberi petunjuk, kecuali
sebuah kitab peninggalan Pak Kek Siansu.
Setelah jauh meninggalkan Kwan Ji Nio dan See-thian Tok-ong
yang mengejarnya, Sin Hong merasa lega. ia berhenti di bawah
pohon dan membuka-buka kitab peninggalan Kwa Siucai. Dengan
cepat matanya menelan huruf-huruf yang tertulis di dalam kitab,
terutama sekali ia mencari cara-cara pengobatan untuk luka akibat
pukulan beracun. Alangkah girangnya bahwa di dalam kitab itu
terdapat daftar yang menuturkan tentang ratusan macam luka
akibat pukulan beracun. Dengan mudah ia mendapatkan catatan
tentang luka yang dideritanya ketika lengannya bertemu dengan
lengan See-thian Tok ong tadi. Kulit lengannya merah sekali dan
berbintik-bintik terasa gatal dan perih. Berkat petunjuk di dalam
kitab, ia dapat mengambil obat penawarnya dari bungkusanbungkusan
obat dan benar saja, sekali dioleskan, obat itu telah
mengusir rasa gatal dan warna merah.
Sin Hong lalu menjatuhkan diri berlutut menghadapi kitab dan
bungkusan berisi obat itu.
"Suhu Kwa Siucai, teecu menghaturkan terima kasih atas warisan
yang Suhu tinggalkan untuk teecu. Teecu bersumpah akan
mempergunakan kepandaian dan obat-obat serta petunjuk kitab ini,
bukan saja untuk menjaga diri, juga untuk .mengobati orang lain
yang perlu dengan pertolongan teecu."
Baru saja Sin Hong menyimpan kitab serta bungkusan obat,
hendak melanjutkan perjalanannya menuju Hoa san, tiba-tiba
terdengar pekik nyaring dan dari atas menyambar turun seekor
rajawali yang amat besar!
Sin Hong mengelak cepat dan debu mengebul tinggi ketika
burung itu menghantam tanah dengan sayapnya. Kembali burung
256
itu menyerang Sin Hong dengan sepasang cakarnya yang berkuku
tajam meruncing, dan dengan sepasang sayapnya yang lebar lagi
kuat. Juga paruhnya mengancam hebat.
"Kaukah ini, kim-tiauw yang baik...?"
Sin Hong berseru girang ketika mengenal burung rajawali yang
dahulu telah menyelamatkan nyawanya ketika ia dilemparkan ke
dalam jurang oleh Giok Seng Cu.
Akan tetapi burung itu tidak mengenalnya lagi, dan tentu saja
kim-tiauw ini hanya tunduk akan perintah See-thian Tok-ong dan
anak isterinya. ia memang disuruh mencari Sin Hong, maka begitu
bertemu ia menyerang dan hendak mencengkeram bocah itu.
Sin Hong mengelak ke sana ke mari. Kalau ia mau, dengan
pukulan ia akan dapat menghancurkan kepala burung atau
memecahkan dadanya akan tetap ia tidak tega melakukan ini. Ia
telah di tolong oleh burung ini dan tentu saja masih ingat baik akan
budi ini, bahkan ingin sekali membalas. Ketika burung itu terus
menerus menyerangnya, Sin Hong mendapatkan akal. ia mengelak
dan tiba- tiba dengan gerakan kilat, tubuhnya telah berada di atas
rajawali, duduk di punggung di antara sayap-sayap!
Kim-tiauw kebingungan. Tidak dapat menyerang bocah yang
sudah duduk di atas punggungnya itu. Akan tetapi ia tidak bodoh.
Cepat ia meniekik dan terbang tinggi, lalu bergulingan di udara'
Kalau saja Sin Hong bukan anak yang tabah, tentu ia akan jatuh
terguling, atau akan takut setengah mati. Akan tetapi Sin Hong
cepat memegang leher kim-tiauw dan ketika tubuh itu bergulingan,
ia tidak meramkan mata, bahkan tertawa-tawa.
Kim-tiauw menjadi kewalahan. Akhirnya ia berlaku cerdik dan
cepat terbang, hendak membawa bocah ini ke hadapan majikannya.
Sin Hong yang tahu ke mana arah terbang burung ini terkejut
sekali. Ia teringat bahwa burung yang dapat merampas pedang Pakkek
Sin-kiam ini, tentulah bukan sembarangan dan mungkin sekali
peliharaan orang pandai. Kini burung itu menyerangnya, bahkan
membawanya kembali ke tempat See thian Tok-ong berada. Tentu
burung ini binatang peliharaan See-thian Tok-ong, pikirnya.
257
"Kim-tiauw, jangan terbang ke sana. Bawa aku ke Hoa-san!"
serunya keras di dekat kepala burung itu. Akan tetapi mana burung
itu mau mendengar perintahnya? Ia bahkan terbang makin cepat.
Terpaksa Sin Hong menepuk punggung binatang itu yang tibatiba
kehilangan tenaga sepasang sayapnya sehingga ia meluncur
jatuh ke bawah seperti sebuah batu. Cepat Sin Hong membebaskan
totokannya dan membentak lagi. "Bawa aku ke Hoa-san!"
Begitu punggungnya ditepuk, kim-tiauw itu sembuh kembali dan
mendapatkan kembali tenaganya yang hilang, maka cepat terbang
menuju ke tempat See-thian Tok-ong sambil memekik ketakutan.
Akan tetapi Sin Hong tentu saja tidak mau membiarkan hal ini
terjadi. Berkali-kali, asalkan burung itu membawanya terbang ke
tempat musuh, ia menepuk punggungnya, dan baru membebaskan
setelah mereka meluncur ke bawah mendekati pohon-pohon.
Akhirnya kim-tiauw itu maklum bahwa bocah yang
menunggangnya harus diturut perintahnya. Binatang hanya mau
mngerti dan tunduk kepada kekerasan. Kali ini kim-tiauw tidak
melanjutkan terbang membalik dan berputaran di udara. Sin Hong
masih ingat jurusan mana yang harus ia ambil, maka sambil
menunjuk ke utara ia berkata, "Hayo bawa aku terbang ke sana!"
Kim-tiauw itu tidak banyak rewel lagi dan segera terbang ke arah
yang dikehendaki oleh Sin Hong. Alangkah senangnya hati bocah
itu. Ia merangkul leher kim-tiauw, menepuk-nepuk dan mengeluselus
kepalanva sambil berkata,
"Kim-tiauw yang balk. Kita telah menjadi sahabat sekarang.
Percayalah, aku takkan melupakan budimu dan kelak mudah
mudahan aku akan dapat membalasmu."
Kim-tiauw tidak dapat menjawab, hanya mempercepat
terbangnya karena takut kalau-kalau anak itu akan mencuri tenaga
sepasang sayapnya lagi. Kalau ada orang yang kebetulan melihat
Sin Hong naik di atas punggung seekor burung rajawali yang
demikian besarnya, tentu orang itu akan menyangka bahwa ia
melihat dewa atau iblis. Karena, siapakah pernah melihat atau
mendengar, kecuali dalam dongeng, orang menunggang burung?
Akan tetapi burung kim-tiauw itu memang bukan sembarangan
258
burung, melainkan binatang peliharaan See thian Tok-ong yang
sudah jinak dan lagi memang ia seekor burung besar yang amat
kuat. Adapun penunggangnya, Wan Sin Hong, juga bukan
sembarangan bocah, melainkan murid dari mendiang Pak Kek
Siansu, bocah yang sudah mewarisi kitab peninggalan dari pertapa
sakti itu. Dengan amat tepatnya Sin Hong dapat mengarahkan
terbangnya burung kim-tiauw menuju Hoa-san.
-oo0mch-dewi0oo-
Lie Bu Tek telah semhuh dari luka- lukanya dan kini ia menjadi
seorang yang buntung sebelah tangannya, yakni pada pangkal
lengan kanan dekat pundak. Dengan kekuatan batin yang luar biasa
Lie Bu Tek berhasil juga menahan semua kesengsaraan. ia harus
hidup terus tidak untuk membalas semua perbuatan jahat dari
orang-orang lm-yang bu-pai, akan tetapi terutama sekali untuk
mencari Wan Sin Hong, anak angkatnya. Seringkali ia turun gunung
dan bertanya-tanya di dunia kangouw kalau-kalau ada orang yang
mellhat anak itu, akan tetapi usahanya sia-sia belaka. Tak seorang
pun dapat memberi keterangan kepadanya di mana adanya anak
itu.
Di dalam usahanya mencari Sin Hong, Lie Bu Tek mendengar
pula banyak hal terjadi di dunia kang-ouw, di antaranya mendengar
betapa Luliang Sam-lojin tewas ketika orang-orang kang-ouw
menyerbu ke gunung itu untuk mencari pusaka peninggalan Pak Kek
Siansu. Ia hanya bisa menarik napas panjang dengan duka sekali,
karena dengan kepandaiannya yang terbatas, apalagi setelah
sebelah lengannya putus, ia bisa berbuat apakah? Yang membikin ia
merasa duka sekali adalah keadaan Sin Hong yang masih belum
diketahuinya sama sekali. Tak seorang pun tokoh kang-ouw pernah
melihat anak itu, dan sudah lama ia mencari Kian Cun Eng ketua
Hek-in-kaypang, namun sia-sia belaka. Bahkan para anggauta Hekkin-
kaipang yang dijumpainya, mempunyai kedukaan yang sama
yakni mereka kehilangan ketua itu yang tidak mereka ketahui ke
mana lenyapnya!
Dalam pikiran Lie Bit Tek, tentu Kiang Cun Eng membawa Sin
Hong ke tempat rahasia dan hal ini merupakan hiburan baginya.
259
Selama ia tidak mendengar bahwa anak itu telah binasa, masih
mempunyai harapan untuk kelak berjumpa pula. Ia percaya penuh
akan kesetiaan Kiang Cun Eng yang agaknya merasa lebih aman
untuk menyembunyikan sendiri anak itu dari ancaman malapetaka
musuh-musuhnya.
Setelah bertahun-tahun mencari, Lie Bu Tek mendengar berita
tentang dibasminya Im-yang-bu-pai oleh See-thian Tok ong, dan hal
ini amat menggembirakan hatinya. Apalagi ketika ia mendengar
bahwa dua orang musuh besarnya, yakni Lai Tek dan Kwa Siang,
tokoh ke dua dan ke tiga dari Im-yang-bu-pai yang telah menyerbu
Hoa-san, tewas pula oleh See-thian Tok-ong, hatinya memuji
keadilan Thian yang membasmi orang-orang jahat. Tanpa turun
tangan ada orang lain yang membalaskan sakit hati Hoa-san-pai. Ia
merasa puas, lalu ia kembali ke Hoa san-pai di mana Lie Bu Tek
mengasingkan diri dari dunia ramai, bertapa untuk memperdalam
ilmu batinnya.
Lie Bu Tek adalah seorang ahli pedang tunggal dari ilmu pedang
Hoa-san-pai. Sekarang setelah tangan kanannya tidak ada lagi dan
ia sudah malas berlatih, tentu saja ilmu silatnya banyak mundur.
Akan tetapi sebaliknya, oleh karena tekun bersamadhi dan
memperkuat tenaga batin, lweekangnya otomatis maju dengan
pesat.
Lima tahun lewat dengan cepat. Lie Bu Tek tak pernah
meninggalkan tempat pertapaannya di puncak Hoa-san lagi,
sungguhpun ia masih belum melupakan Sin Hong dan selalu kalau ia
tidak bersamadhi, pikirannya penuh dengan bocah yang dikasihinya
itu. Pada suatu hari, selagi ia duduk di depan tempat pertapaannya
sambil merenungkan nasib dan pengalaman yang lalu, tiba-tiba dari
udara terdengar pekik keras. Lie Bu Tek memandang ke atas dan
amat heranlah ketika melihat titik hitam jauh di angkasa yang
bergerak-gerak dan kemudian meluncur turun. Kini baru ia melihat
bahwa titik itu adalah seekor burung rajawali yang besar dan indah.
Makin besar keheranannya ketika burung itu sudah terbang dekat,
ia melihat bahwa di punggung burung raksasa itu duduk seorang
pemuda cilik.
-oo0mch-dewi0oo260
Jilid X
“GIHU...!" sebelum burung itu hinggap di atas tanah, Sin Hong
sudah mendahuluinya melompat turun dan langsung berlutut di
depan Lie Bu Tek yang duduk di atas batu. Burung itu setelah bebas
dari penunggangnya, memekik keras dan terbang tinggi, kemudian
menghilang di balik puncak.
Lie Bu Tek duduk bengong, hampir tak dapat percaya kepada
mata sendiri. Bahkan beberapa kali ia menggosok kedua matanya
merasa seperti dalam mimpi.
"Sin Hong...?" suaranya setengah berbisik.
"Gi-hu, ampunkan anak yang tidak berbakti, baru sekarang dapat
menghadap Gi-hu, membiarkan Gi-hu hidup dalam kesengsaraan,"
kata Sin Hong yang tak dapat menahan keharuan hatinya sehingga
air matanya bercucuran.
"Hong ji, anakku...!" Lie Bu Tek menubruk dan di lain saat
mereka berpelukan, tanpa dapat mengeluarkan kata-kata.
Lie Bu Tek dapat menekan perasaannya lebih cepat, dan tiba-tiba
ia tertawa di antara air matanya.
"Sin Hong' Ha-ha-ha, mengapa kita bertangisan? Ahh... lima
tahun lebih ku menanti dan kini kau tiba-tiba jatuh dari udara! Kau
benar-benar mengejutkan hatiku, anakku. Biarkan aku melihatmu
baik-baik!" Ia berdiri dan memegang dua pundak Sin Hong,
menjauhkan tubuh anak itu agar la dapat memandang wajahnya.
Keduanya berpandangan, wajah mereka penuh keharuan akan
tetapi dua pasang mata berseri penuh kebahagiaan.
"Sin Hong, lima tahun... aku hampir putus asa... dan sekarang,
kau sudah begini besar...!" Kembali pendekar Hoa-san pai ini
mendekap dan memeluk anak angkatnya.
"Gi-hu, apakah kau sehat-sehat dan balk-baik saja" Sin Hong
bertanya sambil memandang ayah angkatnya dengan penuh
keharuan, apalagi ketika tak disengaja ia memandang ke arah
261
lengan kanan yang sudah buntung sehingga lengan baju yang
kanan tergantung kosong di samping pinggang.
Bu Tek tersenyum. "Baik-baik dan sehat anakku. Eh, ke mana
perginya burung rajawali tadi?"
'Burung itu bukan punyaku, Gi-hu. Dapat kupinjam dari See
thian Tok-ong."
Lie Bu Tek terkejut. "Apa? Kau bersahabat dengan siluman tua
dari barat itu?”
Sin Hong tersenyum. "Jangan khawalir, Ayah. Aku dapat mcmilih
siapa yang patut dijadikan sahabat dan siapa pula yang tidak. Aku
meminjamnya tanpa ia ketahui."
"Mari kita masuk ke dalam, Nak. Aku ingin sekali mendengar
semua pengalamanmu." Mereka berdua sambil bergandengan
tangan lalu masuk kembali ke dalam pondok kecil di puncak Hoasan
itu. Sin Hong lalu menuturkan semua pengalamannya dengan
sejelasnya.
Bukan main girangnya hati Lie Bu Tek mendengar betapa anak
angkatnya telah menjadi ahli waris dari Pak Kek Siansu. Ketika ia
mendengar tentang Kwi Siucai yang terbunuh oleh Im-yang-bu-pai
yang bernama Tek Goan It, ia mengerutkan kening.
"Sudah kudengar bahwa lm-yang-bu pai dibasmi oleh See-thian
Tok-ong, akan tetapi sekarang seorang tokoh Im-yang-bu-pai
bekerja sama dengan siluman dari barat itu, benar-benar aneh.
Apakah bisa jadi See thian Tok-ong mempergunakan orang-orang
bekas anggauta Im-yang-bu-pai? Sin Hong, biarpun kau sudah
mempelajari ilmu yang tinggi, namun kita terkurung oleh orang
orang jahat yang berilmu tinggi dan keselamatanmu masih
terancam. Apalagi kalau Ba Mau Hoat tahu bahwa kau adalah
keturunan dari Wan-yen Kan tentu kau akan dibunuhnya. Oleh
karena itu mari kita pergi mencari Hwa I Enghiong Go Ciang Le,
hanya dia lah kiranya yang akan dapat melindugimu. Apalagi, dia
juga murid Pak Kek Siansu, jadi masih terhitung Suhengmu. Dia
pasti akan suka memberi bimbingan padamu kalau kau ceritakan
bahwa kau yang mendapatkan kitab peninggalan Pak Kek Siansu."
262
Akan tetapi Sin Hong menggelengkan kepalanya. "Tidak Gi-hu.
Sudah terang bahwa sehingga kini Hwa I Enghiong yang tersohor
sebagai pendekar gagah budiman, tidak muncul, biarpun dunia
sudah kotor oleh orang-orang jahat. Untuk apa kita mencari-cari dia.
Aku bahkan ingin memperdalam kepandaianku di tempat
persembunyianku itu, karena aku sudah merasa bahwa kepandaian
See-thian Tok-ong dan yang lain-lain amat tinggi. Marilah kau ikut
dengan aku, Gi-hu.”
Lie Bu Tek tentu saja tidak mau berpisah lagi dari putera
angkatnya setelah kini bertemu, maka ia tidak membantah ketika
Sin Hong mengajaknya pergi ke Luliang-san. Tadinya Lie Bu Tek
masih ragu-ragu untuk percaya bahwa anak angkatnya ini, memiliki
kepandaian tinggi, akan tetapi setelah Sin Hong membawanya lari
cepat, terutama sekali ketika mereka harus melompati jurang –
jurang lebar, bukan main kagumnya hati pendekar Hoa-san-pai ini.
Tidak saja kepandaian anak itu jauh melebihi dirinya sendiri bahkan
Sin Hong tanpa ragu-ragu memegang tangannya dan menariknya
melompat, jurang yang terlalu lebar dan berbahaya bagi Lie Bu Tek.
"Hebat sekali, anakku. Memang Suhu Liang Gi Tojin sendiri
agaknya takkan mampu melompat sambil menarik aku seperti yang
kaulakukan ini." Sin Hong tersenyum bangga dan girang mendengar
pujian ayah angkatnya.
"Gihu, aku telah menerima budi mendiang Pak Kek Siansu.
Kepandaian Suhu Pak Kek Siansu tak terbatas, dan kitab
peninggalannya itu mengandung sari pelajaran yang takkan ada
habisnya biarpun kumelatih diri sampai puluhan tahun. Oleh karena
itu, biarlah kita berdua bersembunyi di sana dan selain aku
memperdalam ilmu silatku, Gi-hu bisa mempelajari ilmu silat yang
sesuai de ngan Gi-hu."
Lie Bu l ek menarik napas panjang mukanya memperlihatkan
sinar kecewa.
"Tak mungkin, Hong-ji. Ilmu silat mengandalkan kecepatan gerak
kaki tangan, terutama sekali gerakan kedua tangan untuk
mengimbangi gerakan tubuh. Dengan tanganku tinggal sebelah,
biarpun andaikata aku mempelajari ilmu silat amat tinggi, kiranya
takkan dapat mainkan ilmu silat itu dengan sempurna."
263
"Gi-hu terlalu memandang rendah kepada diri sendiri. Mengapa
Gi-hu harus berputus asa? Ilmu yang ditinggalkan Suhu Pak Kek
Siansu, jangankan dipelajari oleh seorang seperti Gi-hu yang
biarpun sudah kehilangan sebelah lengan, akan tetapi memiliki
bakat dan kepandaian silat, bahkan andaikata dipelajari oleh
seorang yang sudah buntung dua lengannya dan tidak sepandai Gihu,
orang itu tentu akan memetik sari pelajaran yang amat berguna
bagi dirinya.”
Lie Bu Tek tertegun. la mcndapat kenyataan bahwa biarpun anak
angkatnya ini masih belum dewasa, namun cara bicaranya demikian
keras, bersemangat, dan juga berisi. Ia dapat menduga bahwa ini
semua dilahirkan oleh pengalaman pengalaman dan derita-derita
pahit getir yang dialami oleh anak itu.
"Baiklah, Hong-ji," katanya dan memaksa supaya suara dan
mukanya mengandung kegembiraan. "Aku akan belajar lagi dan
kaulah sekarang yang harus memberi pimpinan kepadaku dalam
ilmu silat'"
Padahal kata-kata ini bagi Lie Bu Tek hanya untuk menghibur
dan menyenangkan hati Sin Hong belaka, karena ia masih tidak
percaya kalau ia akan dapat mewarisi ilmu silat tinggi setelah
tangan kanannya buntung.
Setelah tiba di puncak Luliang-san Sin Hong mengajak Lie Bu Tek
menuju ke Jeng-in-thia (Ruang Awan Hijau), dan jago Hoa-san-pai
ini mengagumi keindahan tempat itu.
"Benar-benar patut menjadi tempat kediaman seorang sakti dan
suci seperti Pak Kek Siansu," ia memuji berkali-kali. "Sin Hong, di
manakah tempat rahasia yang menjadi tempat tinggalmu selama
lima tahun itu?"
"Di sana, Gi-hu. Di dasar sana itu." Sin Hong menunjuk ke jurang
yang tidak kelihatan dasarnya.
Lie Bu Tek terkejut. "Jadi kau telah dilempar oleh Giok Seng Cu
ke dalam jurang ini?" Ia memandang ke dalam jurang dan bergidik.
"sekarang... bagaimana kita bisa masuk ke sana? Kau sendiri bilang
bahwa jalan menuju ke sana sudah tertutup ketika kau keluar dari
gua."
264
"Memang tadinya aku berpikir demikian, Gi-hu. Akan tetapi aku
telah mempelajari keadaan di dasar jurang dan kurasa dengan
menggunakan akal, aku dapat turun ke dasar jurang ini."
"Apa katamu? Turun dari sini? Kau bilang dasar jurang ini dari
sini jauhnya tak dapat diukur!"
"Memang betul demikian, Gi-hu. Ketika kim-tiauw terbang
membawaku ke dalam jurang, mengingat waktunya yang lama
sebelum ia tiba di dasar, kiranya dalamnya jurang ini tidak kurang
dari pada setengah li! Akan tetapi, aku mempunyai akal untuk turun
ke bawah, mempergunakan sebatang tambang yang kuat dan
dibantu dengan sebatang pedang yang tajam."
"Tentang pedang, kiraku pedang ini cukup tajam, kalau
dugaanku cocok bahwa pedang itu hendak kaupergunakan untuk
membacok batu karang atau pohon di lereng jurang. Akan tetapi
tentang tambang di manakah kita bisa mendapatkan tambang yang
panjangnya sampai tengah lie" tanya Lie Bu Tek sambil lebarkan
matanya, karena ia menganggap akal dari anak angkatnya itu tak
masuk akal dan tak mungkin dilaksanakan lagi pula amat
berbahaya.
"Di sini terdapat akar pohon yang amat kuat, Gi-hu. Memang
panjangnya tidak mungkin ada yang sampai setengah lie, akan
tetapi kiranya ada yang panjangnya sampai lima tombak. Dengan
akar itu pun sudah cukup bagiku. Harap Gi-hu jangan khawatir, aku
sudah perhitungkan masak-masak bahwa aku pasti akan dapat
mencapai dasar jurang dengan aman dan selamat. Kemudian aku
akan membuka gua itu dari terowongan agr Gi-hu dapat masuk.
Baiklah sekarang Gi-hu melihat gua rahasia tempat bertapa
mendiang Suhu Pak Kek Siansu dan menunggu aku di sana."
Dengan perasaan tidak nyaman, Lie Bu Tek mengikuti Sin Hong
ke gua yang menjadi pintu masuk ke tempat persembunyian dan
yang kini tertutup oleh tempat tidur baja yang tak mungkin digeraki
dan dipindah karena menjadi satu dengan palang baja penutup
pintu gua itu.
265
"Harap Gi-hu menanti di sini, dengan sabar dan tenang, tak lama
tentu aku akan datang membukakan pintu rahasia untuk Gi-hu,"
kata Sin Hong.
Akan tetapi ketika ia hendak meninggalkan ayah angkatnya, Lie
Bu Tek berkata,
"Sin Hong, biarpun aku percaya penuh akan kecerdikan dan
kemampuanmu, namun usaha menuruni jurang yang hendak
kaulakukan itu amat berbahaya. Bagaimana kalau... sampai terjadi
sesuatu yang mengerikan? Apakah tidak lebih baik kita tanggal di
puncak yang indah ini saja dan kau pun dapat menyempurnakan
pelajaranmu di sini? Bukankah seluruh isi kitab itu telah kauhafal
semua?"
"Maksud Gi-hu ini memang baik. Akan tetapi kurang tepat. Gi-hu
sendiri maklum bahwa orang-orang jahat seperti See thian Tok-ong
itu amat berbahaya. Kita tidak tahu apakah mereka takkan
menyusul ke tempat ini, dan kalau sampai mereka mendapatkan
kita di sini sebelum kita membuat persiapan dan kepandaian kita
belum maju, apakah hal itu takkan lebih berbahaya lagi? Tidak, Gihu
harap tenang. Lebih baik kita menyembunyikan diri di dasar
jurang. Di sana aman, buktinya aku berada di sana sampai lima
tahun tanpa ada gangguan dari siapapun juga."
"Akan tetapi kalau gagal... kalau tambang itu putus...."
Sin Hong tersenyum. Sepasang matanya yang tajam itu bersinarsinar
penuh semangat. "Jangan khawatir, Gi-hu. Aku akan menjaga
diri baik-baik dan bukankah ujar-ujar kuno menyatakan bahwa,
siapa yang bercita-cita dan berkemauan baik, selalu akan mendapat
perlindungan dari pada Thian Yang Maha Kuasa?"
Akhirnya Lie Bu Tek tak dapat membantah lagi dan ia hanya
menarik napas panjang dan diam-diam berdoa untuk keselamatan
anak angkatnya itu ketika dengan gerakan lincah sekali Sin Hong
berkelebat pergi dari situ.
Sin Hong membawa pergi pedang Lie Bu Tek, sebuah pedang
yang cukup baik dan tajam. Ia mencari sebatang akar pohon yang
kuat dan ulet, memilih yang paling panjang. Betapapun panjangnya
sebatang akar, tidak lebih dari empat tombak. Dengan hati tabah ia
266
lalu menghampiri jurang, mencari batu karang yang kuat lalu
membuat pengait. Ujung akar itu ia talikan sedemikian rupa
sehingga merupakan lingkaran yang dapat dikaitkan pada batu
karang. Kemudian ia merayap turun melalui tambang akar itu.
Setelah tiba di ujung akar yang tergantung di udara, ia lalu
mempergunakan kakinya menginjak batu karang di lereng jurang,
dengan pedangnya ia membuat tempat untuk mengaitkan tambang.
Pedang yang tajam itu baik sekali untuk membacok batu karang
sehingga terdapat tempat untuk mengaitkan akar yang cukup kuat.
Setelah kepastian bahwa tempat itu kuat, ia lalu menancapkan
pedang pada lereng jurang, bergantung dengan tangan kiri pada
gagang pedang kedua kaki menekan batu karang di lereng jurang
dan tangan kanan digerakkan sedemikian rupa pada akar yang
masih bergantung sehingga ujung akar atas yang tadi dikaitkan
pada batu karang terlepas ke bawah.
Dengan amat cekatan, Sin Hong kembali memasang ujung
tambang itu pada batu karang ke dua dan meluncurlah ke bawah
seperti tadi. Usaha ini ia lakukan berulang kali, lebih dari lima belas
kali sebelum ia berhasil menginjakkan kaki di dasar jurang.
Pekerjaan sehebat itu memang amat berbahaya. Sekali saja
tambang putus atau kakinya tergelinci pasti tubuhnya akan hancur
di bawah jurang. Untuk dapat melakukan hal seperti itu, tidak hanya
membutuhkan kecerdikan, keuletan dan kepandaian tinggi, akan
tetapi juga membutuhkan ketabahan yang luar biasa. Agaknya sukar
mencari orang ke dua, apa lagi yang masih belum dewasa seperti
Sin Hong yang berani melakukan pekerjaan seperti itu.
Lie Bu Tek merasa tidak enak sekali menanti di gua itu.
Tubuhnya sebentar panas sebentar dingin kalau ia membayangkan
bahaya yang dapat mengancam diri anak angkatnya selagi
menuruni jurang yang demikian curamnya. Hatinya angin sekali
membawa dia keluar dari gua, berlari ke tepi jurang untuk melihat
keadaan Sin Hong, akan tetapi ia menguatkan hatinya dan tetap
menanti di situ sambil berdoa kepada Thian agar supaya anak
angkatnya itu selamat.
Tentu saja ia harus menunggu lama. Tidak saja pekerjaan
menuruni jurang dengan cara seperti yang dilakukan oleh Sin Hong
itu memakan waktu lama juga setelah anak itu berhasil mendarat di
267
dasar jurang, ia harus mempergunakan waktu yang cukup lama
untuk berjalan memasuki terowongan sehingga tiba di gua di mana
Lie Bu Tek menantinya dengan hati tidak karuan rasanya.
Akhirnya Lie Bu Tek mendengar sesuatu di balik tempat tidur
bekas tempat Pak Kek Siansu. Batu karang yang menjadi dinding di
belakang tempat tidur bergerak dan terbuka dan... muncullah Sin
Hong dengan wajah berseri.
"Hong-ji...!" Lie Bu Tek melompat dan memeluknya dengan
kedua mata basah dan muka pucat.
"Gi-hu, kau amat khawatir dan cemaskah? Lihat, anakmu Sin
Hong tidak kurang sesuatu!" kata anak itu dengan jenaka, padahal
kedua telapak tangannya masih ada tanda darah karena betapa pun
kuatnya, kulit telapak tangannya lecet-lecet ketika ia menuruni
tambang dari tempat setinggi itu.
Cepat mereka masuk ke dalam pintu rahasia dan Sin Hong lalu
menutup kembali pintu rahasia gua itu dari sebelah dalam.
Lenyaplah mereka dari pandangan mata, bahkan lenyap dari dunia
ramai, berada di tempat yang tak mungkin didatangi oleh manusia
lain.'
-oo0mch-dewi0oo-
Sebagaimana telah dituturkan di dalam cerita Pendekar Budiman,
pemerintah penjajah Kin makin lama menjadi makin lemah karena
gempuran- gempuran perjuangan rakyat jelata yang patriotik yang
dipimpin oleh orang-orang gagah di seluruhnya propinsi yang
terjajah.
Serangan dari barisan-barisan rakyat yang memberontak di mana
mana membuat pemerintah Kin menjadi lemah sekali sehingga
terpaksa Raja Kin menarik kembali bala tentaranya dari selatan,
timur dan barat, lalu mengumpulkan kekuatan induk pasukan untuk
menjaga keselamatan istana dan daerahnya yang terdekat. Hanya di
daerah utara saja mereka aman.
Akan tetapi, pemerintah Kin yang sudah berada di jurang
keruntuhan itu tidak tahu atau tidak mengira sama sekali bahwa
268
justru dari daerah utara inilah datangnya malapetaka yang akan
menamatkan sejarah kejayaan mereka. Bagaikan awan-awan hitam
yang kecil-kecil bertemu dan berkelompok lalu berkumpul menjadi
satu gumpalan awan besar menghitam, kekuatan baru ini
mengancam angkasa di sebelah utara.
Kekuasaan baru ini bukan lain adalah orang-orang Mongol yang
tadinya tidak dipandang mata oleh pemerintah Kin. Bangsa Mongol
adalah suku bangsa pengembara dan pemburu yang gagah berani.
Mereka hidup berkelompok, tidak mempunyai tempat tanggal
tertentu, melainkan menjelajah di sepanjang tapal batas Mongol.
Mereka hidup bebas menguasai daerah yang amat luas, daerah
yang dijadikan tempat mereka mendapatkan makanan, daerah di
mana mereka hidup berkeluarga berpindah-pindah, sesuka hati
mereka, menurut keadaan. Apabila di suatu tempat mereka
mendapatkan penghasilan cukup, pindahlah mereka di daerah lain
dalam wilayah itu juga untuk mencari hasil yang lebih mencukupi
untuk keluarga mereka. Wilayah mereka ini, dari Pegunungan Altaisan
di barat sampai ke pegunungan yang subur dan yang cocok
untuk pekerjaan mereka.
Suku bangsa Mongol ini, sebagaimana telah dituturkan di atas,
adalah pemburu-pemburu yang gagah berani. Di samping memburu
binatang hutan, mereka melihara hewan ternak, terutama lembu,
domba dan kuda. Oleh pekerjaan inilah mereka rata-rata merupakan
penunggang kuda yang pandai.
Keadaan hidup mereka yang boleh di bilang sukar kalau
dibandingkan dengan orang-orang di pedalaman Tiongkok sebelah
selatan, penghidupan yang penuh kekerasan dan penderitaan itulah
agaknya yang menjadikan mereka sebagai bangsa yang keras hati,
bersatu dan kuat. Kekuatan mereka semata-mata hanyalah hewan
ternak dan kuda. Makanan mereka yang terutama adalah daging
sapi atau domba dan susu merupakan kegemaran mereka pula,
terutama sekali susu domba.
Betapapun kasar dan keras hati, suku bangsa Mongol ini harus
diakui mempunyai semangat persatuan yang kokoh kuat, berdisiplin
dan jujur. Semboyan mereka "bersatu kita kokoh, bercerai kita
roboh". Hal ini memang bukan hanya semboyan kosong belaka,
269
namun sudah sering kali terjadi sebagai kenyataan. Daerah itu
merupakan daerah pegunungan yang amat sukar, dan agaknya
orang akan sukar hidup menyendiri saja, selain sukar mendapatkan
makan, juga sukar karena bahaya mengintai dari mana-mana,
bahaya diterkam binatang buas, diterkam kelaparan dan kehausan.
Tadinya suku bangsa Mongol memang tidak begitu kuat, bahkan
bisa disebut lemah. Bukan lemah saja, melainkan suku bangsa
Mongol pernah tunduk kepada suku bangsa lain yang lebih besar
dan kuat seperti suku bangsa Kerait dan Naimad. Akan tetapi,
semenjak akhir abad ke sebelas terjadi perubahan hebat pada suku
bangsa Mongol yang tadinya hidup berkelompok-kelompok dan
berpencar itu. tiba tiba saja mereka menjadi amat kuat bahkan
suku-suku bangsa lain satu demi satu digempur dan ditundukkan
dan ditarik menjadi anggauta sehingga suku-suku bangsa itu
bersatu dan menjadi satu bangsa!
Mengapa demikian? Tak lain oleh karena di dalam keluarga suku
bangsa Mongol ini lahir seorang Mongol yang berjiwa besar seorang
yang oleh mereka dianggap mendapat wahyu dari sekalian Dewa.
Orang inilah yang dalam usia kurang lebih lima belas tahun, sudah
dapat merampas kekuasaan dan menjadi pimpinan suku bangsa
Mongol dan membawa bangsanya itu ke arah kemajuan dan
kekuatan yang maha hebat. Siapakah dia? Bukan lain adalah Temu
Cin, pemuda perkasa yang bercita-cita tinggi. Temu Cin inilah
pemuda yang kelak akan menggemparkan dunia Tiongkok dan
namanya takkan pernah terhapus dari catatan sejarah, karena
dialah kelak terkenal sebagai Khan atau raja besar, raja pertama
dari sekalian suku bangsa di wilayah Mongol!
Pada suatu hari, ketika matahan baru saja muncul dan
memancarkan cahayanya yang kemerahan di permukaan Padang
Pasir Gobi, kelihatan serombongan manusia berjalan, didahului oleh
bayangan mereka. Dari letak bayangan yang berada di depan
mereka, dapat diketahui bahwa rombongan ini sedang menuju ke
barat.
Mereka itu terdiri dan seratus orang lebih, semua laki-laki dan
masih muda-muda. Melihat dan cara mereka berjalan, dapat diduga
bahwa mereka adalah sebarisan orang muda yang terlatih baik.
270
Biarpun pakaian mereka tidak seragam namun jelas tampak dan
mudah diduga bahwa mereka adalah sepasukan tentara atau orangorang
yang sedang dalam perjuangan.
Memang benar demikian. Mereka itu adalah rombongan orang
Mongol dan ialah pasukan pilihan yang dipimpin sendiri oleh Temu
Cin, seorang pemuda yang berusia paling banyak dua puluh tahun.
Temu Cin kelihatan gagah sekali dengan tubuhnya yang kekar kuat,
wajahnya yang segi cmpat dengan dagu jelas memperlihatkan
kekerasan hatinya. Dadanya membusung, pundaknya bidang dan
langkahnya seperti seekor harimau. Sepasang matanya sipit dan
kecil, namun selalu seperti ada dua titik api bernyala dalam
sepasang mata itu. Telinganya lebar dan panjang dan biarpun
wajahnya tak dapat disebut tampan, namun ia benar-benar
kelihatan gagah.
Rombongan itu nampak lelah. Biarpun pagi hari itu matahari
belum naik tinggi, namun hawa panas dart lautan pasir itu
membakar dan membuat napas menjadi sesak. Telah semalam
penuh mereka berjalan, didahului oleh Temu Cin yang berjalan terus
tanpa berhenti, juga tak pernah mengeluarkan kata-kata.
Seorang Mongol yang tinggi besar akan tetapi kurus, dengan
jenggot pendek, mendahului kawan-kawannya menyusul Temu Cin.
"Kawan-kawan sudah kelihatan lelah sekali. Apakah tidak baik
kalau kita beristirahat sebentar?" ia melapor sambil mengusulkan
kepada pimpinan muda itu.
Tanpa menghentikan langkahnya, Temu Cin menjawab, matanya
mengerling tajam penuh celaan kepada kawan yang melapor ini,
"Obika, kita takkan mengaso sebelum sampai di Telaga Gasyun
Nor, di mana kawan-kawan kita menanti dengan kuda-kuda yang
sudah dipersiapkan. Kalau kita berjalan cepat, menjelang tengah
hari kita akan sampai di sana."
"Akan tetapi lihatlah, kawan-kawan kita sudah lelah…. Boleh jadi
kita berdua kuat, akan tetapi mereka tidak sekuat kita. Apakah kau
tidak kasihan?" kata-kata ini diucapkan keras oleh Obika sehingga
terdengar oleh semua anak pasukan yang segera mengeluarkan
suara menggumam, tanda setuju dengan usul Obika.
271
Temu Cin ketika mendengar betapa suara derap kaki pasukannya
menjadi kacau dan mehhat mereka ragu-ragu untuk melanjutkan
perjalanan tiba-tiba berhenti dan membalikkan tubuhnya. Ia melihat
beberapa orang sudah amat payah dan kelelahan, akan tetapi masih
saja terus berjalan. Tiba-tiba tangan kanan Temu Cin bergerak dan
tahu-tahu telah mencabut sebatang golok yang bersinar merah.
Semua orang terkejut, terutama sekali Obika, akan tetapi sebelum
ada yang sempat menduga-duga, golok itu bergerak dan leher
Obika telah putus kena sambaran golok. tubuhnya terhuyung dan
sebuah tendangan dari Temu Cin membuat tubuh itu terlempar.
Darah mengalir keluar, diisap oleh pasir yang kehausan.
"Dia ini pengecut dan pengacau. Kata-katanya beracun,
melemahkan semangat kawan-kawan, tak patut pengecut ini berada
di barisan kita! Kita terkalahkan oleh musuh yang ribuan jumlahnya,
yang sampai sekarang masih mengejar kita. Kalau kita beristirahat
berarti kita akan mampus semua di tangan musuh. Kita berjalan
cepat selama setengah hari lagi dan kalau kita sudah tiba di Telaga
Gasyun Nor, tidak saja kita akan selamat, bahkan kita akan dapat
menggempur dan menghancurkan musuh yang telah menghina kita.
Siapa sekarang mau bicara tentang mengaso? Siapa.??"
Semua orang diam, tak berani bergerak. Mereka semua tahu
bahwa tak seorang pun yang mampu melawan Temu Cin, baik
dalam ilmu berkelahi, dalam ilmu berperang, maupun dalam
perdebatan.
"Yang masih kuat bantu kawan yang lemah, kalau perlu yang
sudah tidak kuat boleh digendong, dipanggul, atau di seret.
Betapapun juga, kita harus cepat-cepat tiba di Gasyun Nor!"
Kembali rombongan itu maju, bahkan lebih cepat dari tadi. Katakata
pemimpin muda itu membangkitkan semangat anak buah dan
jenazah Obika ditinggalkan di situ, terlentang dengan leher putus,
membuat tempat yang sesunyi itu nampak makin sepi.
Ketika rombongan ini tiba di dekat Telaga Gasyun Nor, dari jauh
Temu Cin sudah melihat bahwa di situ terjadi suatu. Ia melihat
orang-orangnya bertempur, mengeroyok beberapa orang yang
bermain pedang secara luar biasa hebatnya. Banyak sudah kawankawannya
yang mengeroyok menggeletak mandi darah. Temu Cin
272
yang biarpun sudah melakukan perjalanan semalam suntuk dan
setengah hari, masih dapat berlari cepat menghampiri tempat
pertempuran di dekat telaga itu. Dan ia melihat pertempuran yang
amat menarik hatinya. Sepasang orang muda bangsa Han sedang
dikeroyot oleh puluhan orang anak buahnya, akan tetapt anak
buahnya itu dapat diumpamakan sebagai nyamuk-nyamuk
menyerang dua nyala api lilin. Pemuda dan gadis bangsa Han itu
bukan main hebatnya, di mana juga pedang mereka berkelebat,
tentu seorang pengeroyok roboh.
"Tahan semua senjata...!" Suara Temu Cin memang amat
berpengaruh dan seketika itu juga, semua pengeroyok
mengundurkan diri.
Siapakah adanya pemuda dan gadis yang demikian luar biasa
ilmu silatnya hingga anak buah Temu Cin yang terkenal gagah
perkasa itu seakan-akan nyamuk menghadapi api bagi mereka?
Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh tahun, tubuhnya
jangkung kurus wajahnya tampan akan tetapi kepucatan, sepasang
matanya bersinar-sinar dan selalu bergerak-gerak bola matanya,
menandakan bahwa ia amat cerdiknya, pakaiannya mewah dan
menambah anggun sikapnya yang memang gagah. Adapun gadis itu
paling banyak berusia tujuh belas tahun, lincah dan manis, pada
wajah yang jelita itu terbayang kejenakaan dan kegembiraan hidup,
sepasang matanya bersinar terang membayangkan hati yang jujur
dan terbuka, mulutnya mungil kemerahan selalu tersenyum akan
tetapi kadang-kadang tertarik garis yang membayangkan kekerasan
hati luar biasa. Kadang-kadang sikap gadis cilik ini agak kasar dan
tidak pedulian, bahkan masih kekanak-kanakan, namun semua ini
tidak mengurangi kelucuannya dan membikin orang menaruh rasa
sayang.
Pemuda ini bukan lain Liok Kong Ji, sedangkan gadis itu adalah
Go Hui Lian. Bagaimanakah dua orang muda ini bisa tiba-tiba
berada di dekat Telaga Gasyu Nor, di tempat yang demikian
jauhnya, jauh di utara di perbatasan Negara Mongol? untuk
mengetahui semua ini baiklah kita mundur dulu dan mengikuti
perjalanan Liok Kong Ji, anak yang amat cerdik itu.
273
Telah dituturkan di bagian depan betapa dengan akal dan
kecerdikannya Kong Ji dapat menarik hati Pendekar Besar Go Ciang
Le dan isterinya sehingga dia kemudian dibawa oleh Ciang Le untuk
dididik sebagai muridnya! Dengan hati girang sekali Kong Ji ikut
dengan Ciang Le dan isterinya, juga bersama Hui Lian, menuju ke
tempat tinggal pendekar besar itu.
Ciang Le tinggal bersama isteri dan puteri tunggalnya di atas
sebuah pulau kecil di selatan. Pulau ini disebut Pulau Kim-bun atau
Pulau Pintu Emas karena pulau ini memang seakan-akan merupakan
pintu dari daratan Tiongkok sebelah selatan. Disebut pintu emas
karena para saudagar yang datang berlayar membawa barangbarang
dagangan yang amat berharga yang membuat perdagangan
di situ ramai sekali sehingga pintu berupa pulau ini amat penting
kedudukannya, amat berharga seperti emas. Di atas pulau ini
tinggal seratus lebih keluarga dan merupakan tempat yang ramai.
Rumah pendekar ini berada di sebelah utara dari pulau itu,
dengan pekarangan yang amat luas karena Cilang Le sengaja
membeli tanah yang luas di mana ia menghibur diri dengan hidup
bercocok tanam. Selain itu, ia memang memilih tempat yang sunyi,
jauh dari kota dan di tempat ini ia hidup berbahagia dengan
isterinya yang tercinta, yakni Liang Bi Lan, dan puterinya yang
mereka sayang Go Hui Lian. Selain mereka bertiga masih ada
seorang gadis cantik yang bernama Gak Soan Li karena memang
bakatnya besar luar biasa. Juga anak ini amat penurut, dan biarpun
ia seorang murid terkasih dari Ciang Le dan isterinya, namun ia
seorang anak tahu diri dan hidup di dalam rumah gurunya tak
pernah menganggur. Setiap saat orang melihat dia bekerja
membantu pekerjaan para pelayan sehingga boleh dibilang bahwa
semua pekerjaan rumah tangga berada di tangan Soan Li. Bi Lan
atau. Nyonya Go suka sekali melihat kerajinan anak itu, dan semua
pekerjaan rumah tangga beres oleh Soan Li tanpa dia sendiri turut
campur, sedangkan semua pelayan amat taat kepada gadis ini yang
memang manis budi dan pandai mengatur rumah tangga.
Seringkali, kalau sedang bercakap-cakap, Ciang Le menyatakan
kekagumannya terhadap murid tunggalnya ini dan di samping ini ia
menyatakan kekerasan hatinya melihat puterinya sendiri semakin
manja dan malas, sungguhpun harus mereka akui bahwa watak Hui
274
Lian jauh lebih gembira dan jenaka daripada Soan Li yang pendiam.
Tanpa adanya Soan Li di situ, pekerjaan rumah tangga akan repot
sekali. Sebaliknya tanpa adanya Hui Lian di situ, kegembiraan akan
lenyap karena kejenakaan anak ini seakan-akan cahaya matahari
yang menyinar dan menggembirakan hati semua orang. Kalau Hui
Lian anaknya gembira dan jenaka, cerewet dan manja, adalah Soan
Li amat pendiam, halus gerak geriknya, dan amat sopan santun
terhadap suhu dan subonya.
Gak Soan Li adalah seorang anak yatim piatu. Rumah ayah
bundanya yang bekerja sebagai buruh di Pulau Kim-bun, pada
waktu ia baru berusia enam tahun, terbakar dan kedua orang
tuanya tewas dalam malapetaka ini. Hanya Soan Li seorang diri
yang selamat. Karena menaruh hati kasihan terhadap anak yatim
piatu ini, Bi Lan dan Ciang Le lalu mengulurkan tangan dan
menolong anak ini membawanya ke rumah mereka dan Ciang Le
yang melihat bakat baik anak ini lalu mengambilnya sebagai murid.
Peristiwa itu terjadi belum lama sejak Ciang Le dan isterinya
tinggal di pulau itu dan pada masa itu, Hui Lian baru berusia
setengah tahun. Soan Li memperlihatkan sikap baik sekali dan ia
mencinta Hui Lian setelah Hui Lian menjadi besar. Akhirnya, setelah
Ciang Le dan Bi Lan berkali-kali menegurnya, baru ia mau menyebut
"sumoi” kepada Hui Lian, sedangkan Hui Lian menyebutnya "suci”
(kakak seperguruan).
Bakat Soan Li dalam ilmu silat luar biasa sekali sehingga ia
mendapat kemajuan pesat. Bersama dengan Hui Lian ia berlatih
silat, juga ia menerima pelajaran pekerjaan kerajinan tangan seperti
nyulam dan lain lain. Hui Lian selalu mendapat petunjuk dari Soan
Li, maka tidak mengherankan apabila hubungan kedua orang gadis
cilik itu menjadi makin erat saja. Di luar dugaan semua orang makin
besar Soan Li kelihatan makin cantik manis, dan Ciang Le serta Bi
Lan sendiri menjadi kagum dan girang. Mereka mempunyai seorang
murid yang tidak mengecewakan. Slapakah yang takkan bangga dan
girang melihat dua orang gadis cilik itu? Masing-masing memiliki
keistimewaan sendiri. Soan Li lemah lembut tidak akan ada yang
menduga bahwa dia mempunyai kepandaian silat yang tinggi,
gerak-geriknya halus, pakaiannya seperti wanita lemah, bicaranya
halus dan sikapnya pendiam. Sebaliknya, Hui Lian lincah sekali, baru
275
dari gerak-geriknya saja. orang tentu akan tahu bahwa gadis ini
memiliki kepandaian tinggi, bicaranya terus terang dan jujur, suka
ketawa mudah menangis. Kalau Soan Li boleh diumpamakan
setangkai bunga teratai putih yang indah dan tenang, adalah Hui
Lian seperti setangkai mawar hutan yang merah, penuh semangat.
Ketika Ciang Le dan Bi Lan sambil mengajak Hui Lian pergi
meninggalkan pulau untuk merantau dan mengunjungi Luliang-san,
Soan Li menunggu di rumah untuk menjaga rumah. Hati gadis amat
kecewa dan berduka. Baru kali ini ia ditinggal seorang diri dan ia
merasa amat kehilangan. Setelah tiga orang itu pergi barulah ia
tahu bahwa mereka bertiga itu amat disayangi, bahwa ia merasa
seperti menjadi sebagian daripada keluarga Go, dan hidupnya akan
sengsara tanpa mereka.
Oleh karena itu, alangkah girang hati Soan Li ketika beberapa
bulan kemudian Ciang Le bersama anak isterinya datang kembali
dari perjalanan mereka. Dan bersama tiga orang ini, Soan Li melihat
seorang pemuda tanggung yang sebaya dengan dia, yakni Liok
Kong Ji. Pada waktu itu, Kong Ji telah berusia empat belas tahun
dan Soan Li telah berusia lima belas tahun, sedangkan Hui Lian baru
berusia sepuluh tahun. Kalau Soan Li menyambut kedatangan guru
seanak isteri itu dengan penuh kegembiraan akan tetapi sama sekali
tidak memperhatikan kepada Kong Ji, adalah sebaliknya Kong Ji
berdebar hatinya dan diam-diam pemuda cilik ini mengaku bahwa ia
berhadapan dengan seorang bidadari yang lemah lembut. Ia
menduga-duga siapakah gerangan gadis yang cantik dan halus
gerak-geriknya ini.
Hui Lian yang amat gembira bertemu dengan Soan Li segera
memeluk dan berkata, "Soan Li Suci, lihatlah dia ini adalah murid
baru dari Ayah. Namanya Liok Kong Ji, orangnya cerdik dan
kepandaiannya sudah lihai sekali. Eh, Kong Ji Suko, inilah Gak Soan
Li Su-ci, murid Ayah Ibu yang cantik lemah lembut dan dalam hal
kepandaian, ia tidak kalah olehmu'"
Ciang Le hanya menggeleng-geleng kepala saja menyaksikan
kejenakaan putrinya sedangkan Bi Lan hanya tersenyum akan tetapi
diam-diam ia memperhatikan muka kedua orang murid itu.
276
Kong Ji berseri wajahnya dan dari sinar matanya dapat
tertangkap kekaguman besar, sebaliknya Soan Li bersikap dingin,
bahkan tidak melirik ke arah Kong Ji. Akan tetapi ia balas menjura
ketika Kong Ji memberi hormat dan berkata.
"Gak-sumoi, aku yang bodoh kelak mohon banyak petunjuk
darimu."
Soan Li tidak menjawab, hanya tersenyum hormat. Di dalam
hatinya ia tidak senang mendengar sebutan sumoy yang diucapkan
dengan nada manis dibuat-buat itu.
-oo0mch-dewi0oo-
Hui Lian menghadapi Kong Ji sambil tertawa. "Kong Ji Suko,
bagaimana sih kau ini. Biarpun kau nampaknya lebih jangkung,
namun kau bilang bahwa usiamu lebih tua empat tahun dari aku,
sedangkan Suci lebih tua lima tahun, jadi kau lebih muda setahun
dari Suci. Maka kau harus menyebut Suci pula, tidak boleh Sumoi.
Apalagi baru sekarang kau menjadi murid Ayah, sedangkan Suci
sudah delapan tahun'"
"Benarkah begitu?" Kong Ji berkata sambil tersenyum, lalu
menjura kepada Soan Li. "Suci, mohon maaf sebanyaknya atas
kekeliruan siauwte."
Soan Lt merah mukanya, dan ia hanya menjawab lambat, "Tidak
mengapa." Kemudian gadis ini berpaling kepada Ciang Le dan
berkata,
"Suhu kemarin ada datang seorang tamu yang mengaku sebagai
kenalan baik dari Suhu. Sekarang dia menanti di kamar tamu.
Namanya...."
Tiba-tiba dari dalam rumah gedung keluar berlari seorang lakilaki
setengah tua dan begitu melihat Ciang Le, ia berseru girang.
"Go-taihiap, akhirnya kau pulang juga...!"
Ciang Le menengok, demikian pun semua orang dan yang hebat
adalah Kong Ji. Begitu melihat orang ini, mukanya berubah pucat,
namun dengan ketabahannya yang luar biasa serta tenaga lwee277
kang yang sudah dimilikinya, ia dapat menekan perasaannya dan
dapat menyalurkan darah ke mukanya sehingga muka ini menjadi
merah kembali.
"Liok San-twako, kiranya kau yang datang? Kebetulan sekali. lihat
siapa yang ikut datang bersama ini!" Ciang Le menunjuk kepada
Liok Kong Ji. Liok San laki-laki setengah tua menengok ke arah Kong
Ji dan kalau sekiranya ia melihat iblis, agaknya ia tak demikian kaget
seperti ketika ia memandang kepada Kong Ji.
"Kau...??" Tiba-tiba, bagaikan seekor harimau ganas yang
melihat mangsanya, ia menubruk dan mengirim pukul keras ke arah
dada Kong Ji yang sedang berdiri tegak.
Ciang Le dan Bi Lan
terkejut sekali. Ciang Le
hendak mencegah, namun
tidak keburu karena serangan
ini memang tidak terduga
sama sekali. Sedangkan Kong
Ji semenjak tadi sudah
mengawasi gerak- gerik
pamannya ini, akan tetapi
melihat cara Liok San
memukul, ia tidak
menghindar dan memasang
dadanya.
"Bukk...!" Dada Kong Ji
terpukul keras dan akibatnya,
anak itu terpental dan
bergulingan sampai dua
tombak lebih, akan tetapi Liok
San meringis kesakitan sambil
memegangi tangan kanannya.
Liok Kong ji tidak terluka hanya terpental saja. Ia lalu melompat
berdiri maju menghampiri Liok San dan menjatuhkan diri berlutut
sambil menangis. "Siokhu (Paman), kalau anak bersalah,
bunuhlah...."
278
Liok San memandang dengan mata terbelalak. Dari pukulannva
tadi maklumlah ia bahwa kepandaian keponakan ini sudah amat
tinggi, jauh leblh tingi daripada kepandaiannya sendiri!
"lblis…. setan...." Kemudian ia berpaling kepada Ciang Le yang
memandang keheran-heranan "Go taihiap, harap maafkan aku akan
tetapi... bolehkah bicara dengan kau dan anak ini bertiga saja?" Ia
lalu berpaling kepada Bi Lan dan menjura. "Go-hujin, maafkan aku
sebanyak-banyaknya atas tingkah laku yang, amat tidak sopan ini."
Liang Bi Lan nampaknya tidak senang akan tetapi ketika melihat
isyarat mata suaminya, ia menggerakkan pundak. "Tidak apa... mari
Hui Lian, dan Soan Li kita masuk ke dalam dan istirahat!" Maka
tanpa mengeluarkan sepatah kata terhadap tamu itu, Bi Lan lalu
berjalan masuk diikuti oleh Hui Lian dan Soan Li, juga para pelayan
yang tadi ikut menyambut, sekarang disuruh masuk semua. Hanya
Hui Lian yang mengomel panjang pendek, terdengar oleh Liok San
karena cukup keras, "Benar-benar tamu yang aneh dan kasar!" Akan
tetapi Bi Lan mendelik kepadanya dan gadis cilik tidak berani
membuka mulut lagi.
Kini Ciang Le tinggal di luar bersama Liok San dan Liok Kong ji.
Anak ini masih berlutut sambil menangis sedih, tidak berani
mengangkat mukanya. Hatinya berdebar penuh kekhawatiran
karena masih belum tahu apa sebabnya pamannya datang-datang
memukulnya. Namun otaknya yang licin bekerja keras dan tangisnya
itu adalah siasat untuk melemahkan pamannya yang sedang marah
itu.
Liok San tidak mempedulikan keadaan Kong Ji sebaliknya lalu
berpaling kepada Ciang Le sambil berkata, "Go-tayhiap, tentu kau
merasa heran melihat perbuatanku." Ia menghela napas dan
memandang ke arah Liok Kong ji yang masih berlutut sambil
membuka telinganya baik-baik, "Sebetulnya kedatanganku ke pulau
ini untuk mencarimu justru hubungan dengan setan ini, siapa ia
malah datang bersamamu."
"Apakah yang terjadi, Liok-toako. Terangkanlah dulu apa
sebabnya kau datang mencariku dan apa sebabnya marah-marah
kepada Kong Ji.”
279
"Belum lama ini aku naik ke Hoa-san untuk menengok bocah ini
yang sudah lama kutinggalkan untuk berguru kepada Liang Gi Tojin
dan Lie Bu Tek Taihiap. "Siapa kira di Hoa-san telah kosong aku
tidak mendapatkan siapapun juga di puncak itu. Tidak kusangka
bahwa Hoa- san-pai yang begitu besar telah musnah.
"Aku pun tahu akan hal itu, Liok twako," kata Ciang Le karena
melihat tamunya itu menunda bicaranya.
"Kemudian aku mendengar Hoa-san-pai telah dimusnakan oleh
dua orang tokoh Im-yang-bu-pai. Liang Gi Tojin telah tewas oleh
mereka dan Lie Bu Tek Taihiap …...." Liok San memandang kepada
Kong Ji dengan sinar mata penuh kebencian.
Kong Ji diam-diam terkejut sekali. Dengan kepala tunduk ia
mendengarkan semua cerita ini dan kini otaknya yang sangat cerdik
dapat menduga bahwa pamannya tentu telah mendengar tentang
perbuatannya membuntungi lengan Lie Bu Tek. Akan tetapi secepat
kilat, otaknya sudah mempersiapkan jawaban yang tepat. Memang
anak ini lihai luar biasa.
Adapun Ciang Le yang mendengar kata-kata Liok San kemudian
melihat orang itu memandang kepada Kong Ji menjadi terheran,
maka ia lalu berkata, "Bukanlah Lie Bu Tek Toako juga telah terluka
hebat? Tahukah kau di mana adanya dia sekarang?"
Liok San menggeleng kepalanya dengan sedih, "Aku tidak tahu
dia berada di mana, akan tetapi yang hebat sekali adalah berita
yang kudengar bahwa ketika orang-orang Im-yang-bu-pai itu
menyerbu ke Hoa-san dan membasmi Hoasan-pai, anak ini, iblis
kecil yang tak berjantung ini, dia telah... telah membuntungi sebelah
lengan kanan Lie Bu Tek Taihiap!"
Kembali Liok San bernafsu sekali dan amarahnya meluap-luap.
Scpasang matanya menjadi merah dan ia seperti hendak menelan
bulat-bulat bocah yang berlutut di depannya. "Kau keparat jahanam.
Ketika masih kecil, Ayah Bundamu tewas oleh orang-orang Im-yangbu-
pai, kemudian kau kubawa ke Hoa-san-pai, ditolong oleh Liang
Gi Tojin dan Lie Bu Tek Taihiap, diterima menjadi murid. Bagaimana
kau begitu keji untuk membantu orang-orang Im yang bu pai
musuh-musuh besarmu dan bahkan kau berani sekali membuntungi
280
lengan Lie Bu Tek Taihiap?" Setelah berkata demikian, Liok San
sudah mengangkat tangannya untuk memukul kepala Kong Ji yang
masih tunduk.
Akan tetapi Ciang Le cepat menangkap tangannya dan
mencegahnya. Pendekar ini juga berubah air mukanya. Hatinya
berguncang dan berita ini adalah berita yang luar biasa hebatnya.
"Kong Ji, kau bangkitlah. Berdirilah dan jawab tuduhan Pamanmu
tadi. Benar-benarkah kau telah melakukan hal keji itu?" kata Ciang
Le.
Dengan perlahan Kong Ji bangun berdiri. Lalu ia berdiri tegak
dengan tenang menghadapi Ciang Le dan Liok San. Ia telah mencari
jalan dan otaknya yang cerdik sudah mendapat siasat yang
berbahaya namun berani sekali. Dengan pandang mata tenang
penuh keberanian untuk membuktIkan kejujuran hatinya, ia
menghadapi Ciang Le. Anak ini maklum bahwa Ciang Le memiliki
pandangan mata yang tajam dan seandainya mulutnya dapat
membohong, namun kalau pandang matanya tidak diatur lebih dulu,
mungkin akan dapat diketahui oleh Ciang Le. Maka sebelum
membuka mulut, lebih dulu ia menenteramkan hati dan
mengerahkan tenaga sehingga sepasang matanya memandang
tenang penuh kejujuran. Bahkan kini bibirnya tersenyum sedikit
sehingga wajahnya nampak cakap dan senang.
"Suhu dan Siokhu, seorang laki-laki harus berani bertanggung
jawab atas semua perbuatannya, apalagi kalau perbuatan itu
berdasarkan sesuatu yang memaksanya melakukannya. Teecu juga
tidak akan menyangkal, memang teecu telah mempergunakan
pedang dari Siang mo-kiam Lai Tek tokoh Im-yang-bu-pai untuk
menabas putus lengan kanan dari Lie Bu Tek Twa-suheng!" Katakata
ini diucapkan dengan sikap begitu sewajarnya dan berani
sehingga Ciang Le dan Liok San berdiri ternganga keheranan.
"Setan jahat, kau benar-benar keji dan tidak punya liangsim!"
Liok San membentak, suaranya tergetar saking marahnya.
Akan tetapi Ciang Le berkata dengan suaranya yang
mengandung pengaruh hebat. "Kong Ji mengapa kaulakukan itu?
Hayo lekas katakan apa alasannya dan bagaimana hal itu terjadi!"
281
Liok Kong Ji merasa lebih gentar menghadapi kata-kata Ciang Le
ini dari pada bentakan Liok San, namun ia dapat menguasai diri dan
tetap tenang.
"Suhu dan Siokhu, andaikata jiwi (Anda berdua) yang menjadi
teecu pada waktu seperti itu apakah yang jiwi lakukan? Anak
tanggung ini bertanya, sikapnya seakan-akan dia bukan sedang
diperiksa dan dituntut, melainkan seperti ia bercakap-cakap
seenaknya dengan dua orang tua itu.
“Lebih baik aku mati daripada berlaku pengecut'" Liok San
berseru marah.
“Teruskan saja ceritamu dan majukan alasanmu, Kong ji, dan
jangan menyinggung yang bukan-bukan!" Kini suara Ciang Le mulai
mengancam.
"Suhu, agaknya Suhu lebih mengerti akan keadaan daripada
Siokhu yang tak dapat mengendalikan hawa kemurahan. Seperti
telah teecu tuturkan kepada Su-hu, dua orang tokoh Im-yang-bupai,
yakni Siang-mo-kiam Lai Tek dan Thian-te Siang-tung Kwa
Siang, tokoh ke dua dan ke tiga dari Im-yang-bu-pai, menyerbu
Hoa-san-pai. Suhu Liang Gi dan Suhu Lie Bu Tek membela diri,
namun mereka kalah. Suhu Liang Gi Tojin tewas Sian Suheng
sendiri terluka hebat. Tinggal teecu dan Sin Hong yang berada di
sana menghadapi mereka."
"Kau maksudkan Sin Hong putera angkat Lie Bu Tek Toako?"
tanya Ciang Le penuh perhatian.
"Ya, betul dia, Suhu. Karena Adik Sin Hong yang dibawa ke Hoasan
untuk belajar bersama-sama teecu."
"Hayo teruskan!" Ciang Le mendesak. "Setelah begitu, mengapa
kau membuntungi lengan Suhengmu itu dengan pedang lawan?"
"Suhu, teecu seringkali mendengar nasehat dari Suhu Liang Gi
Tojin dan Suheng Lie Bu Tek bahwa siapa yang lemah harus
berakal, sehingga kekalahan tenaga dapat ditebus dengan
kemenangan siasat. Teecu pada saat itu maklum bahwa nyawa
Suheng takkan dapat ditolong lagi dan pasti akan terbunuh oleh dua
orang Im-yang-bu-pai itu, demikian pula nyawa teecu dan Sin Hong
282
pasti akan tewas. Oleh karena itu terpaksa teecu mempergunakan
siasat, menyatakan kepada dua orang lm-yang-bu-pai itu bahwa
teecu dan Sin Hong menaruh hati dendam kepada Hoa-san-pai,
teecu sengaja memutar balikkan kenyataan dan menyatakan hendak
berguru kepada Im- yang-bu-pai."
"Bangsat rendah!" Liok San memaki marah, akan tetapi Ciang Le
memberi isyarat agar supaya Kong Ji melanjutkan ceritanya.
"Sebelum mereka itu menyatakan sesuatu teecu mendahului
mereka agar mereka jangan membunuh Suheng, akan tetapi agar
mereka memberi kesempatan kepada teecu untuk membunuhnya
membalas sakit hati teecu."
"Keparat jahanam!" kembali Liok San memaki.
"Teecu lalu dicoba oleh dua orang takoh lm yang-bu-pai, diberi
pinjam pedang oleh Siang-mo-kiam Lai Tek untuk melakukan
pembunuhan itu. Teecu tidak membunuh Suheng Lie Bu Tek,
melainkan membuntungi sebelah lengannya yang sudah terluka itu."
"Setan kecil, kau memang jahat!" Liok San tak dapat menahan
kemarahana lagi. "Kalau kau memang seorang yang mengenal budi,
seharusnya kau melawan sekuat tenaga dan lebih baik kau mati
dalam membela Hoa-san-pai daripada kau melakukan hal yang amat
pergecut dan khianat itu!"
Adapun Ciang Le memandang kepada Kong Ji penuh kekaguman.
Ia heran sekali melihat keberanian anak ini, berani mengaku semua
perbuatan itu seakan-akan tidak merasa bersalah. Apakah anak ini
mempunyai alasan yang kuat mengapa ia melakukan semua itu.
"Kong Ji, sekarang ceritakan mengapa kau lakukan hal yang
sekeji itu."
"Suhu, seperti sudah teecu sebut tadi, seorang yang lemah harus
dapat mempergunakan siasat halus. Pada waktu itu, Suhu sudah
tewas dan Suheng terluka berat. Teecu sendiri bersama Sin Ho ada
mempunyai daya apakah? Kalau teecu menurutkan nafsu seperti
dinyatakan oleh Siokhu tadi, tentu teecu dan Sin Hong dalam
sejurus saja akan tewas pula, dan Suheng Lie Bu Tek juga tentu
akan mereka bunuh. Kalau terjadi demikian, bukankah itu berarti
283
bahwa semua murid Hoa-san-pai akan terbinasa dan siapakah kelak
yang akan membalaskan sakit hati itu? Harap Suhu suka
pertimbangkan dengan adil. Kalau teecu menurutkan nafsu hati dan
melawan, tidak akan ada gunanya sama sekali kecuali
mengantarkan nyawa dengan sia-sia. Sebaliknya, dengan siasat
yang telah teecu lakukan, tidak saja Suheng Lie Bu Tek terlepas
daripada bahaya maut dan hanya kehilangan lengan sebelah, juga
tee-cu dan Sin Hong selamat."
"Akan tetapi, dengan berbuat demikian kau telah merendahkan
diri dan menyeret namamu ke dalam lumpur kehinaan, Kau dapat
dianggap pengecut besar dan orang berkhianat yang amat rendah!
Ini lebih hebat daripada maut!" kata Ciang Le dan hati pendekar ini
berdebar, heran dan kagum ia mendengar siasat yang amat cerdik
itu, namun ia pun ragu-ragu karena hanya orang yang rendah budi
saja yang kiranya dapat mempergunakan dan menjalankan siasat
seperti itu.
"Apa boleh buat, Suhu. Sakit hati teecu terhadap Im-yang-bu-pai
begitu besar, cita-cita teecu untuk kelak membalas dendam
demikian hebat sehingga tee-cu berani mengorbankan apa saja.
Teecu berani mengorbankan nama baik, berani mengorbankan
perasaan yang hancur ketika teecu membuntungi lengan Suheng.
Bahkan kalau sekarang Suhu dan Siok menganggap teecu berdosa
dan harus bunuh, teecu rela karena dalam kematian ini pun
merupakan pengorbanan teecu yang hendak membalas dendam
kepada musuh-musuh kita itu. Suheng sendiri pasti akan
memaafkan teecu karena dengan perbuatan itu tidak saja Suheng
bebas dari kematian, juga telah memberi kesempatan kepada
Suheng, teecu dan Sin Hong untuk kelak mencari musuh- musuh
besar dan membalas dendam."
Ciang Le kini merasa kagum sekali. Liok San sendiri bengong,
karena setelah ia pikir-pikir, memang apa yang dilakukan oleh Kong
Ji itu masuk akal dan bahkan cerdik sekali! Oleh karena itu sekarang
ia tidak dapat mengeluarka kata-kata, hanya memandang kepada
keponakannya dengan mata terbelalak dan kadang-kadang ia
menoleh kepada Ciang Le untuk melihat apa yang akan dikatakan
oleh pendekar besar ini.
284
"Kong Ji, jadi kau melakukan semua itu bukan karena kau ingin
hidup dan menyelamatkan diri sendiri?"
"Bukan, Suhu. Demi Tuhan Yang Maha Kuasa, teecu melakukan
itu bahkan demi kelamatan Suheng, keselamatan Sin Hong, dan
agar teecu mendapat kesempatan membalas dendam."
"Jadi kau benar-benar bercita-cita membalas dendam atas
kehancuran Hoa-san-pai?"
"Teecu bersumpah, bukan hanya untuk membalas dendam atas
kehancuran Hoa-san-pai, akan tetapi juga untuk luka yang diderita
oleh Suheng Lie Bu Tek, untuk kematian Suhu Liang Gi Tojin, untuk
kematian Ayah Bunda teecu dan untuk kejahatan orang- orang Imyang-
bu-pai." kata Liok Kong Ji penuh semangat, kemudian ia
menjatuhkan diri berlutut lagi dan menangis. Tangisnya demikian
sedih dan sama sekali tidak kelihatan dibuat-buat sehingga Ciang Le
yang demikian awas pandangan matanya, masih kalah dan dapat
tertipu oleh anak yang memang lihai dan berbahaya sekali itu.
"Liok toako, kau mendengar sendiri keterangan Kong Ji. Anak ini
bersemangat besar, dan menurut pendaputku. perbuatannya atas
diri Lie Bu Tek Toako itu bukanlah hal yang jahat, bahkan
menunjukkan bahwa ia cerdik sekali. Aku berani tanggung bahwa
Lie Bu Tek Toako pasti takkan marah kepadanya.
Liok San menarik napas, kelihatan lega sekali. "Sesungguhnya,
Taihiap, tiada kesenangan yang lebih besar bagiku daripada
mendengar keponakanku bebas dari kesalahan. Akan tetapi, tidak
ada kedukaan yang lebih besar bagiku dari pada mendengar dia
berdosa. Kalau dia dianggap berdosa, aku sendiri yang akan
membunuhnya, akan tetapi sukurlah kalau Taihiap berpendapat
demikian. Aku hanya menyerahkan anak kakakku ini kedalam
bimbingan Taihiap."
Ciang Le memandang kepada Kong Ji yang masih berlutut. "Kong
Ji, selanjutnya apa yang terjadi dengan Lie Bu Tek Toako dan
dengan Sin Hong?"
"Tentang Lie Bu Tek Suheng, teecu tidak tahu lagi karena
semenjak itu, teecu dibawa pergi oleh orang-orang Im-yang-bu-pai
dan ketika teecu pergi, Suheng masih rebah di puncak Hoa-san
285
dalam keadaan pingsan. Adapun Adik Sin Hong memang karena
tertarik dan percaya kepada teecu, dua orang tokoh lm-yang-bu-pai
itu membawa teecu dan Sin Hong pergi, dengan maksud untuk
diambil murid. Akan tetapi Adik Sin Hong ternyata tidak dapat
menahan nafsunya. sepanjang jalan ia memaki-maki dua orang
tokoh Im-yang-bu-pai itu sehingga mereka menjadi hilang
kesabaran. Tentu Adik Sin Hong dibunuh oleh mereka kalau saja
tidak keburu datang orang-orang Hek-kin-kaipang yang
menolongnya dan membawanya pergi."
"Hek-kin-kaipang? Siapa yang memimin mereka?" Ciang Le
bertanya.
"Teecu tidak kenal, hanya pemimpinnya seorang wanita cantik,
dan pemimpin itu berhasil membawa lari Sin Hong, akan tetapi anak
buahnya, puluhan orang yang tewas dalam tangan kedua tokoh Imyang-
bu-pai itu."
"Kiang Cun Eng….” Ciang Le berkata lirih dan terkenanglah ia
akan pengalamannya ketika masih muda. Pernah ia digoda oleh Cun
Eng yang cantik genit (baca Pendekar Budiman). Ia menarik nafas
panjang dan merasa bersukur bahwa akhirnya wanita itu melakukan
sesuatu yang baik, yakni menolong Sin Hong putera dari Wan-yen
Kan.
"Jadi kau selama ini menjadi murid Im-yang-bu-pai?" tanya Liok
San di hatinya tetap saja tidak senang kalau mengingat betapa anak
ini, yang orang tuanya terbunuh oleh Im-yang-bu-pai, bahkan
menjadi murid musuh besar mereka.
"Tidak, Siokhu, anak hanya sebentar saja tinggal di sana.
Kemudian datang See-thian Tok-ong yang menghancurkan Im-yangbu-
pai." Ia lalu menceritakan secara singkat kepada pamannya ini
tentang semua pengalamannya tentu saja ia atur demikian rupa
sehingga ia tidak melakukan sesuatu pelanggaran yang
memburukkan namanya. Ia bahkan menceritakan betapa dengan
akalnya ia dapat membikin musuh besar yang membunuh ayah
bundanya, yakni Sin-chio Thio Seng, tokoh ke lima dari Im-yang bupai,
terbunuh sendiri oleh Giok Se Cu.
286
"Demikianlah, Siokhu. Dengan masuknya anak di dalam Im-yangbu-
pai, tidak saja anak dapat membalas dendam kepada orang yang
membunuh Ayah Bunda, juga dengan pertolongen See-thian Tok
ong, Im-yang bu-pai dapat dihancurkan." Selanjutnya ia
menceritakan pengalamannya ketika ikut See-thian Tok-ong dan apa
kemudian ia tertolong oleh Go Ciang Le ketika hendak dibunuh oleh
Raja Racun itu dan kemudian ikut dengan Ciang Le sebagai
muridnya.
Liok San menarik napas panjang, hatinya lega sekali. "Sudahlah,
baiknya Go Taihiap berpemandangan luas. Aku merasa tenteram
hatiku kalau kau berada di bawah pengawasannya. Belajarlah baikbaik
dan kau harus taat kepada Suhumu."
Ciang Le yang masih teringat akan nasib Lie Bu Tek dan Sin
Hong berkata kecawa. "Sayang sekali kita tidak tahu bagaimana
dengan nasib Lie-twako dan anak Sin Hong. Apakah mereka masih
hidup? Kalau masih hidup di mana mereka bersembunyi?"
"Go-talhiap, biarlah aku akan mengembara dan mendengardengar.
Kita agak mudah untuk mencari Sin Hong, biarlah aku
mencari di mana adanya Kiang-kaipangcu, ketua Hek kin-kaipang
itu. Mungkin anak itu dapat ditemukan, hanya aku masih bingung ke
mana harus mencari Lie Bu Tek Taihiap."
Ciang Le girang sekali. Ia baru datang di rumah dan tak dapat ia
pergi lagi dalam waktu dekat.
"Terima kasih kalau kau mau menyelidiki tempat mereka,"
katanya.
Liok San hanya satu hari tinggal di Pulau Kim-bun, dan pada
keesokan harinya setelah banyak meninggalkan nasihal bagi
keponakannya ia lalu pergi. Sebelum ia pergi, lebih dulu Ciang Le
diam-diam mengajak ia berembuk tentang maksud hati Ciang Le
dan isterinya, yakni hendak menjodohkan Liok Kong Ji dengan Gak
Soan Li. Tentu saja Liok San menerima dengan girang dan segera
menyetujui, maka antara dua orang tua ini telah mengadakan ikatan
perjodohan yang belum saatnya diberitahukan kepada dua orang
muda yang bersangkutan.
-oo0mch-dewi0oo287
Kong Ji berlatih ilmu silat di bawah gemblengan Ciang Le dengan
penuh ketekunan. Sebegitu jauh ia dapat menyembunyikan
kepandaiannya sehingga Ciang Le sendiri tidak tahu bahwa anak itu
telah pandai ilmu silatnya, bahkan telah dapat mempelajari Ilmu
Pukulan Tin-san-kang yang lihai dan ilmu silatnya yang aneh dari
See-thian Tok-ong. Bersama-sama Hui Lian dan Soan Li, Kong Ji
berlatih siang malam dan ketekunannya benar-benar mengagumkan
hati Ciang Le dan isterinya. Dalam kelicinan dan kecerdikan, Kong Ji
dapat membuat dirinya seakan-akan paling bodoh antara tiga orang
anak muda yang belajar ilmu silat dari Hwa I Enghiong Go Ciang Le.
Makin lama, Kong Ji merasa makin tertarik kepada Soan Li akan
tetapi sebaliknya gadis ini entah mengapa mempunya i rasa tidak
suka kepada pemuda mi. Kalau dekat dengan Kong Ji, ia merasa
seakan-akan dekat dengan seekor ular yang berbahaya dan sukar
dimengerti isi hatinya. Namun di luarnya ia tentu saja bersikap biasa
seperti lajimnya seorang terhadap saudara seperguruannya.
Kong Ji adalah seorang yang cerdik, biarpun Soan Li tidak
menyatakan isi hatinya namun pemuda ini dapat menduga bahwa
gadis cantik itu tidak suka kepadanya. Maka ia pun dapat
membatasi diri, dan pada umumnya, sikap Kong terhadap siapapun
juga amat sopan dan menghormat serta taat terhadap Ciang-Le dan
Bi Lan, pendiam dan tak pernah berkelakar di hadapan Soan Li,
akan tapi ia amat rapat hubungannya dengan Hui Lan. Memang Hui
Lan berwatak gembira dan jujur dan Kong Ji adalah seorang ahli
dalam mengatur sikap, seorang yang dapat menyesuaikan diri
dengan siapapun juga ia berhadapan, maka ia dapat mengambil hati
semua orang. Bahkan Soan Li sendiri tidak mempunyai alasan
mengapa ia tidak suka kepada Kong Ji. Pemuda itu cukup tampan,
sikapnya baik dan sopan santun, namun ada sesuatu yang
mengganjal hatinya dan membuat ia merasa tidak enak kalau
berhadapan dengan Kong Ji.
Setelah mendengar penuturan Kong Ji tentang peristiwa di Hoasan.
Ciang Le berlaku amat hati-hati. Diam-diam ia sering kali
mengamat-amati kelakuan Kong-Ji, dan biarpun selama bertahuntahun
Kong Ji tidak pernah memperlihatkan watak yang jahat,
288
namun pendekar ini tetap berlaku hati-hati dalam memberi
pelajaran ilmu silat. Kalau ia mwnurunkan seluruh kepandaiannya
kepada puterinya dan kepada Soan Li, dan bahkan menurunkan ilmu
silat Pak-kek Sinkang kepada dua orang gadis ini, adalah pada Kong
Ji ia hanya memberi latihan ilmu silat. Ia tidak berani menurunkin
Pak-kek Sin-ciang kepada murid ini, hanya menurunkan Ilmu Silat
Thian-hong ciang-hoat yang juga lihai. Namun selihai-lihainya Thianhong-
ciang-hoat, tentu saja tidak dapat menyamai kehehatan ilmu
Silat Pak-kek Sin-Ciang. Sebagaimana telah dituturkan di dalam
cerita Pendekar Budiman. Go Ciang Le hanya menerima sedikit saja
Ilmu Silat Pak-kek sin-Ciang, namun bagian yang tidak seberapa ini
sudah cukup untuk mengangkat tinggi namanya dan jarang ada
orang kang-ouw yang dapat menghadapi ilmu silat ini.
Kong Ji bukan seorang yang mempunyai kccerdasan luar biasa
kalau ia tidak tahu.bahwa ia dibeda-bedakan oleh gurunya. Namun
ia tidak berkecil hati.
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid XI
KU sudah tahu di mana tempat penyimpanan kitab peninggalan
Pak Kek Siansu, biarpun aku tidak diberi pelajaran Ilmu Silat Pak-kek
Sin-ciang, kelak ia dapat mempelajari sendiri." pikirnya. Akan tetapi
ia masih belum puas kalau belum dapat "mencuri" pelajaran ini,
maka ia pada suatu hari mendekati Hui Lian. Bercakap-cakap di
dalam taman yang luas sambil berlatih silat seperti biasa.
"Sumoi, aku heran sekali mengapa sampai sekarang aku belum
mendapat latihan Ilmu Silat Pak-kek Sin-ciang," demikian Kong Ji
memancing.
"Jangan kecil hati, Suheng. Ilmu silat itu tidak mudah. dan untuk
dapat mainkan ilmu silat itu, diperlukan dasar yang kuat. Kau baru
beberapa tahun berlatih di bawah bimbingan Ayah, tentu saja belum
waktunya bagimu untuk mempelarinya. Menurut Ayah, ilmu silat ini
kalau dipelajari oleh orang yang belum kuat dasarnya, bukannya
mendatangkan keuntungan, bahkan amat berbahaya, akan merusak
dasar yang sudah ada dan yang masih lemah."
289
Melihat betapa gadis itu bicara sunguh-sungguh, tidak seperti
biasanya bergurau, Kong Ji percaya bahwa Hui Lian bicara
sebenarnya.
"Sumoi, biarpun aku tidak akan berlatih ilmu silat itu, akan tetapi
aku ingin sekali mempelajari kauw-koatnya (teori silatnya). Apa sih
salahnya mempelajari teorinya saja? Sumoi, bcrlakulah murah
kepadaku dan harap kau suka mengajarkan teorinya kepadaku."
"Aku tidak berani, Suheng."
"Tidak berani? Mengapa tidak berani Sumoi?"
"Ayah akan marah. Aku dan juga Suci sudah bersumpah takkan
membuka rahasia Pak-kek Sin-ciang kepada orang lain."
"Akan tetapi, Sumoi, aku toh bukan orang lain? Kelak aku pun
tentu akan menerima ilmu itu dari Suhu. Kalau kau memberi tahu
tentang teorinya kepadaku, itu bukan berarti kau melanggar
sumpah, karena aku bukan orang lain"
Hu Lian orangnya jujur sekali. Memang ia berotak terang dan
cerdik, akan tetapi bukan kecerdikan seperti yang dipunyai oleh
Kong Ji, yakni kecerdikan yang sifatnya curang. Kecerdikan Hui Lian
hanya untuk mempelajari sesuatu, dan karena wataknya jujur, maka
sekali ia percaya orang ia akan percava habis-habisan. Demikian
pun terhadap Kong Ji yang pandai membawa diri, ia sudah menaruh
kepercayaan sebulatnya.
"Kalau dipikir-pikir memang betul kata-katamu, Suheng. Akan
tetapi sebaiknya kutanyakan dulu kepada Ayah."
"Tak usah, Sumoi. Kalau begatu lebih baik kau jangan
mengajarku. Suhu tentu akan marah kepadamu dan kepadaku yang
dianggap lancang. Sebetulnya aku pun tak amat terburu-buru,
karena...." Kong Ji menghentikan sebentar kata-katanya dan
memandang kepada Hui Lian seakan-akan hendak menyampaikan
sesuatu yang penting. "Sumoi, dapatkah kau menyimpan rahasia?"
"Tentu saja!" Pada waktu itu, Hui Lian baru berusla empat belas
tahun sifatnya masih kekanak-kanakan, maka ia ingin sekali
mendengar apa yang akan dikatakan oleh Kong Ji.
290
"Sumoi, harap jangan katakan kepada siapa juga. akan tetapi
sebetulnya, ketika ikut dengan See-thian Tok-ong, aku pun
menerima beberapa pelajaran ilmu silat yang kiranya tidak kalah
lihai oleh Pak-kek Sin-ciang. Kalau kau mau menuturkan kepadaku
tentang teori Pak-kek Sin-ciang aku akan mengganti dengan
beberapa ilmu pukulan yang aneh-aneh. Boleh kaupilih, kalau kau
menolak, bagiku tidak ada ruginya karena kelak aku pun pasti akan
menerima Ilmu Pak-kek Sin ciang dari Suhu, sebaliknya kaulah akan
rugi karena kau tidak jadi mempelajari ilmu dari See-thian Tok-ong."
Hui Lian bukan anak bodoh, dia maklum bahwa kepandaian Kong
Ji masih jauh kalau hendak dibandingkan dengan kepandaiannya
sendiri, maka kata-kata ini tentu saja menimbulkan senyumannya.
"Suheng, ilmu aneh apakah yang kau sebutkan tadi? Coba
kauperlihatkan dulu, hendak kulihat apakah cukup berharga untuk
ditukar dengan Pak-kek Sin-ciang?"
Kong Ji menunjuk kepada sebatang pohon yang berbunga.
Bunganya berwarna, putih dan berada agak tinggi, paling rendah
tiga tombak dari tanah.
"Sumoi, kalau kau mengambil bunga di tangkai pohon itu,
bagaimana caramu yang terbaik?" tanyanya.
Hui Lian menggerakkan sepasang alisnya sambil memandang ke
atas, lalu tersenyum. "Banyak caranya, Suheng. Pertama kali
dengan jalan memanjat pohonnya."
"Tidak pantas bagi seorang gadis memonjat pohon!" Kong Ji
mencela.
"Aku dapat melompat ke atas dan memetik bunga-bunga itu
sambil duduk di atas cabang." Hui Lian berkata lagi.
"Memang bisa dengan jalan itu, akan tetapi cabang pohon itu
basah dan kotor, pakaianmu tentu akan kotor. Belum lagi banyak
semutnya, kau dikeroyok dan digigit."
"Habis, kalau kau bagaimana akan kaulakukan, Suheng?" tanya
Hui Lian.
"Itulah, aku mempunyai semacam ilmu pukulan yang sambil
duduk di sini aku dapat dipergunakan untuk memukul runtuh semua
291
bunga yang kauinginkan tanpa memanjat pohon atau membiarkan
diri dikeroyok semut."
Hui Lian tertawa dan merasa kasihan kepada Kong Ji. Baru
kepandaian seperti itu saja dibanggakan, pikirnya. "Ah, Suheng. Apa
sih sukarnya itu? Kalau yang kaumaksudkan aku pun dapat
runtuhkan semua kembang itu dengan pukulan-pukulan lweekang
dari tempat ini.”
"Dengan pukulan Pak-kek Sin-ciang?” tanya Kong Ji tertarik.
"Ya, dan kau boleh saksikan ini!" Hui Lian menggerak-gerakkan
kedua lengannya secara aneh, tiba-tiba ia memukul ke arah atas
pohon. Angin pukulan dahsyat menyambar, cabang- cabang pohon
bergoyang-goyang seperti ada tangan kuat yang menggoyangnya.
Beberapa kembang jatuh ke bawah, bersama banyak yang
melayang-layang.
“Tidak baik, tidak balk!" Kong Ji menggeleng-geleng kepalanya
mencela.pukulan itu terlalu kasar, hanya baik untuk membinasakan
musuh dan mengusir ulat dari pohon. Kalau untuk memetik bunga
terlalu kasar dan merusak bungga-bunga. Lihat bunga-bunga yang
runtuh itu pada rusak, bukan?"
"Apa kau bisa memukul dan menjatuhkan kembang-kembang
seperti yang lakukan tadi, Suheng?" Hui Lian penasaran karena
dicela, padahal pukulannya hebat sekali dan patut dipuji, sedangkan
ia tahu bahwa ilmu kepandaian Kong Ji belum sampai pada tingkat
penggunaan tenaga lweekang seperti tadi. Ia telah mempergunakan
jurus pukulan dari Pak-kek Sin-ciang yang disebut Angin Laut
Memukul Ombak", dan dengan tenaga lweekang yang dikerahkan,
hawa pukulannya telah berhasil merontokkan bunga-bunga dan
daun.
"Kau!that saja Sumoi, dan nanti boleh menilai sendiri apakah ilmu
pukulanku ini patut untuk ditukar dengan teori Pak- kek Sin-ciang!"
Sambil berkata demikian, Kong Ji duduk bersila di bawah pohon,
menahan napas, mengerahkan tenaga Tin-san-kang, kemudian dua
tangannya digerak-gerakkan mengeluarkan bunyi seperti tulang
patah patah setelah itu, dengan gerakan halus dan lambat ia
292
meluncurkan tangan dengan telunjuk ke atas, gerakannya cepat dan
ia hanya menudingkan telunjuknya ke arah setangkau bunga.
Benar-benar aneh dan seperti ilmu sihir apa yang dilakukan oleh
pemuda itu. Tiap bunga yang ditunjuk oleh jarinya, segera patah
tangkainya dan melayang perlahan ke bawah, lalu diterima dengan
tangannya dan benar saja bunga-bunga itu masih utuh! Kong Ji
dengan gerakan seperti itu telah meruntuhkan sepuluh tangkai
bunga, kemudian ia tersenyum, memegang bunga-bunga itu pada
tangkainya menjadi satu dan memberikannya kepada Hui Lian.
“Kaulihat, bukankah bunga-bunga ini seperti baru habis dipetik
saja!"
Hui Lian menerima bunga-bunga itu dan terkejut dan heran
bukan main. tidak percaya bahwa apa yang diperlihatkan tadi
adalah demonstrasi tenaga lwekang yang luar biasa, dan mengira
bahwa Kong Ji memang mempelajari ilmu sihir.
"Itulah hoatsut (ilmu sihir)!" seru gadis cilik ini.
Kong Ji tertawa. "Boleh kausebut apa saja, akan tetapi bukankah
ilmu ini berguna sekali dan sukakah kau mempelajarinya untuk
ditukar dengan teori Pak-Sin-ciang"
"Iloatsut termasuk ilmu sesat atau ilmu hitam, dan Ayah
melarangku mempelajari ilmu sesat!" katanya dengan mata masih
terheran-heran.
"Jangan bilang begitu, Sumoi. Yang kuperithatkan tadi sama
sekali bukan hoatsut, melainkan ilmu pukulan yang amat berguna."
"Berguna untuk pertandingan? Bukan hanya untuk mengambil
kembang?"
"Ya, berguna untuk menghadapi yang bagaimanapun juga."
"Bagus, kalau begitu, mari kita coba. Kau hadapi Pak-kek Sinciang
dengan ilmu yang aneh tadi, kalau benar-benar kulihat ilmu
itu berguna, aku tidak keberatan untuk menukar dengan teori Pakkek
Sin-ciang."
Sebetulnya Kong Ji hendak menyembunyikan kepandaiannya dan
ia merasa takut sekali kalau-kalau suhunya melihat dia telah mahir
293
ilmu Tin-san-kang Giok Seng Cu dan ilmu silat barat dipelajarinya
dari See-thian Tok-ong. Akan tetapi ia tidak takut kalau Hui Lian
akan membocorkan rahasianya ini karena kalau gadis itu sudah
menukarnya dengan Pak-kek Sin-ciang, bukankah berarti gadis itu
melanggar larangan ayahnya dan tentu tidak berani membocorkan
rahasia itu?
"Baik, marilah kita main-main sebentar, Sumoi. Akan tetapi, Pakkek-
sin-ciang amat berbahaya dan hebat, jangan kau memukul
benar-benar sehingga aku akan tewas dt tanganmu!"
Hui Lion tersenyum manis. "Orangnya gagah akan tetapi takut
mati! Suheng, kau belum tahu akan sifat Pak-kek-sin-ciang. Ilmu ini
adalah ilmu bersih, ilmu silat yang luar biasa ciptaan seorang suci
seperti Sucouw Pak Kek Siansu, mana dapat disamakan dengan ilmu
memukul dan membunuh orang? Jangan kamu khawatir, aku hanya
akan melihat sampai di mana gunanya ilmu yang hendak kau
ajarkan kepadaku itu. Bersiaplah!”
Kong Ji slap dengan kuda-kuda yang dipelajarinya dari See-thian
Tok-ong. Ia gemmbira sekali karena sebelum mempelajari kauwkoat
dari Pak--kek Sin-ciang, ia memang hendak lebih dulu menguji
sampai di mana kehebatan ilmu yang amat terkenal namun amat
dirahasiakan ini. Pertama-tama ia hendak menghadapi Hui Lian
dengan ilmu silat barat yang empat tahun lamanya ia pelajari dari
Raja Racun itu. Kuda-kudanya kuat sekali dan tubuhnya miribf,
kedua lengan diatur sedemikian rupa sehingga seluruh bagian tubuh
yang berbahaya atau lemah terlindung rapat-rapat.
Hui Lian memandang sebentar, kemudian Kong Ji mehhat
sesuatu yang aneh. Gadis itu berdiri tegak lalu meramkan mata, tak
bergerak seperti patung untuk beberapa detik, kemudian tanpa
membuka matanya ia berseru, "Suheng, terimalah seranganku!"
Baru saja kata-kata ini habis diucapkan, tubuhnya bergerak
secepat kilat dan sebelum Kong Ji tahu apa yang terjadi, telinganya
terasa pedas dan panas karena sudah kena disentil oleh tangan Hui
Liab! Ia kaget setengah mati, gerakan gadis itu tidak terduga sama
sekali dan biarpun matanya masih belum dibuka gadis itu ternyata
telah dapat menyentil telinganya!
294
Hui Lian sudah melompat mundur dan berkata, "Hati-hatilah,
Suheng, jaga baik- baik dan pergunakan ilmumu yang tadi!"
Kong Ji mendongkol sekali kepada See-thian Tok -ong. ia sudah
melatih diri selama empat tahun dengan ilmu silat yang diajarkan
oleh See-thian Tok-ong akan tetapi sekarang ilmu silat itu sewaktu
menghadapi Hui Lian, baru segebrakan saja sudah kelihatan tidak
ada gunanya!
Tentu saja ia tidak tahu bahwa bukan ilmu silat dan See thian
Tok-ong yang kurang lihai, yang menjadi sebab adalah karena dia
belum tahu akan sifat Ilmu silat Pak Kek Sin-ciang. Kalau ia tidak
berlaku sembrono, baru melihat Hui Lian bergerak dengan mata
meram saja, ia sudah akan berlaku lebih hati-hati. Memang Ilmu
Silat Pak kek Sin-ciang bukanlah ilmu silat biasa saja. Latihannya
amat berat dan benar seperti dikatakan oleh Hui Lian, tidak
sembarangan orang dapat mempelajarinya. Harus memiliki dasar
yang kuat dulu, bukan dasar jasmaniah saja melainkan terutama
sekali dasar yang kuat dalam batinnya.
Ketika Soan Li dan Hui Lian mulai melatih untuk mempelajari ilmu
ini, dengan susah payah barulah mereka berhasil. Tiga hari tiga
malam tak pernah bergerak pindah dari tempatnya, hidup hanya
dari udara yang dihisap saja, ini masih belum hebat, yang paling
berat adalah menjalankan latihan menghindarkan cahaya matahari
selama tiga hari tiga malam. Si murid harus tinggal dalam kamar
atau gua yang gelap dan tidak dapat ditembusi sinar matahari, dan
bersamadhi di situ. Dan di dalam latihan itu, yang menjadi guru lalu
menggoda murid itu dengan berbagai jalan.
Setelah kuat menghadapi semua ini dan karenanya kekuatan
batin si murid sudah cukup teguh, barulah perlahan-lahan ia boleh
menerima latihan Ilmu Silat Pak-kek Sin-ciang! Inilah sebabnya
maka tadi Hui Lian bersilat sambil menutup matanya, oleh karena
tingkat gadis ini masih rendah dalam ilmu ini. Tanpa menutup
matanya, ia kurang dapat memusatkan perhatiannya dan makin
rapat matanya ditutup, gerakan ilmu silatnya makin sempurna.
Seluruh panca indera dapat dipusatkan dan dengan pendengaran
dan perasaan saja ia sudah dapat menghadapi lawan yang
295
bagaimana tangguhpun. Oleh karena itu, biarpun matanya meram,
dengan mudah ia dapat menyentil telinga suhengnya!
"Balk, Sumoi, kau boleh menyerang lagi." kata Kong Ji dan kini ia
memasang kuda-kuda rendah sekali dan mulailah mainkan Ilmu Silat
Tin-san-kang! Hui Lian mulai menyerang lagi, cepat dan dahsyat
sekali, akan tetapi sifatnya lemah dan lembut. Memang Ilmu Silat
Pak-Sin-ciang itu dapat dimainkan menurut sikap pemainnya, dan
sesuai pula dengan wataknya. Hui Lian seorang wanita, maka sifat
ilmu silatnya itu lemah-lembut, namun ia berwatak gembira dan
jenaka, maka cepat dan dahsyat gerakan kaki tangannya.
Kong Ji cepat mengelak dan menggerakkan lengan untuk
menangkis, sambil mengerahkan tenaga Tin-san-kang, namun tidak
sepenuh tenaga. Dalam gebrakan pertama ini, akibatnya keduanya
terkejut bukan main. Biarpun sudah mengelak dan menangkis, tetap
saja tangan Hui Lian menyerempet pundak Kong Ji, demikian cepat
dan tidak terduga serangan ilmu dilat itu. Sebaliknya, ketika hawa
tangkisan tangan Kong Ji menolaknya Hui Lian merasa ada tenaga
luar biasa mendorongnya, sehingga kuga-kuda kakinya sang teguh
itu menjadi miring.
Hui Lian tidak membuang waktu dan menyerang terus karena
tangkisan tadi membuat ia penasaran, juga gembira. mulai
menduga bahwa ilmu silat yang diperlihatkan oeh Kong Ji ini "ada
isinya” juga ia heran melihat ilmu silat yang dilakukan dengan kudakuda
demikian rendahnya sehingga kadang-kadang Kong Ji sampai
hampir menyentuh tanah.
Kini terjadilah pertandingan yang hebat sekali. Biarpun hanya
latihan yang sifatnya main-main atau hanya menguji ilmu silat,
namun keduanya benar-benar bersilat dengan baiknya sehingga
bagi orang yang tidak begitu paham dengan ilmu silat tinggi pasti
mengira bahwa mereka sedang bertempur mati-matian!
Kong Ji kagum bukan main oleh ilmu silat itu. Gerakannya
demiklan sepat dan aneh, sama sekali tidak dapat diduga
perubahannya dan tahu-tahu setiap gerakan merupakan ancaman
hebat. Kalau saja tidak memiliki tenaga Tin-san- kang yang memang
sudah ia pelajari secara mendalam dan sempurna pasti takkan
mampu menghadapi Hui Lian secara berimbang. Tidak ada ilmu silat
296
yang pernah dipelajarinya, yang akan dapat menandingi Pak-kek
Sin-ciang ini. Sebaliknya Hui Lian juga kagum dan terheran-heran.
Memang, gerakan dari Kong Ji tidak begitu lihai, kurang cepat dan
banyak terdapat lowongan-lowongan, namun yang membikin ia
terkejut dan heran adalah hawa pukulan yang keluar dari sepasang
lengan suhengnya. Hawa itu demikian kuat sehingga tanpa
menyentuh tangannya, suhengnya sudah dapat menangkis dan
menolak semua serangannya!
Hal ini tIdak aneh, Kong Ji pernah diberi penjelasan yang amat
lengkap dari Giok Seng Cu tentang Tin-san-kang dan pemuda Ini
sudah melatih diri dengan amat tekun sehingga biarpun belum
boleh dikatakan bahwa ilmunya Tin-san-kang sudah dapat
mengimbangi Giok Seng Cu, namun sedikitnya ia telah mempelajari
delapan bagian dan tenaganya sudah terkumpul sedikitnya enam
bagian. Kalau dia mau, dengan pukulan maut agaknya ia dapat
merobohkan Hui Lian. Sebaliknya, biarpun sudah bertahun-tahun
belajar Pak-kek Sin-ciang, namun ilmu ini amat luas dan sukar
dipelajari sehingga kepandaian Hui Lian, dalam ilmu ini masih
kurang baik. Ilmunya bermain pedang warisan ayahnya jauh lebih
baik dari ilmunya bertangan kosong.
Ilmu Silat Pak-kek Sin-ciang bukan sembarang ilmu, Go Ciang Le
sendiri yang mendapat julukan pendekar besar dan semua orang
takluk menghadapi ilmu silatnya Pak kek Sin-ciang, sebetulnya,
belum mempelajari seluruh ilmu silat hebat ini. Ketika ia berguru
kepada Pak Kek Siansu dan menerima latihan ilmu silat ini, ia
mencapai tingkat enam atau tujuh bagian, karena keburu disuruh
turun gunung oleh suhunya (baca Pendekar Budiman). Apalagi,
setelah mendekati kematiannya, Pak Kek Siansu memperbaiki lagi
ilmu silatnya yang semuanya ia tuliskan di dalam kitab rahasia yang
akhirnya ditemukan oleh Wan Sin Hong.
Kembali pada pertandingan antara Kong Ji dan Hui Lian,
keduanya saling mengagumi dan pada suatu detik, Hui Liang
mendesak hebat dengan pukulan kearah lambung Kong Ji dengan
tangan kanan, dibarengi dengan tangan kiri menotok pundak. Kong
Ji terkejut menghadapi serangan hebat ini, terpaksa melompat ke
belakang dan mendorong dengan kedua tangannya ke depan.
namun kurang cepat, pundaknya masih terkena totokan, namun
297
meleset dan hanya bajunya di pundak yang robek, sedangkan Hui
Lian terkena dorongan hawa pukulan itu sehingga tersentak mundur
sampai tiga tindak!
Kong Ji tertawa sambil memegangi baju yang robek di bagian
pundaknya. "Sumoi, benar-benar hebat Pak kek-Sin- ciang tadi. Aku
takluk benar-benar!"
Akan tetapi Hui Lian tidak tertawa, bahkan memandang dengan
tajam dan sikapnya sungguh-sungguh. "Suheng, kau hebat.
Bagaimana kau dapat
menyembunyikan ilmu
kepandalanmu yang sudah tinggi
itu? Kalau kau mau memukul
kiranya aku takkan kuat
melawanmu, bahkan Suci Soan
agaknya tidak bisa menangkan
kau! Ilmu silat apakah yang
dimainkan sambil merendahkan
tubuh seperti itu?"
Kong Ji tertawa sambil
memegangi baju yang robek di
bagian pundaknya.
Kong Ji berpikir bahwa kalau
dia menyebut Tin-san-kang dari
Giok Seng Cu, boleh jadi gadis
ini akan terkejut, maka sengaja memutarbalikkan kenyatan dan
membohong, "Ah, itulah ilmu silat yang dipelajari dari Sce-thian Tok
ong, entah apa namanya, akan tetapi ilmu silat ini dari barat
datangnya dan sama sekali bukan ilmu sesat."
Memang, Tin-san-kang bukan ilmu sesat, berbeda dengan ilmu
silat yang ia pelajari dari See-thtan Tok-ong, karena pukulan dari
ilmu silat Raja Racun itu mengandung hawa beracun yang jahat dan
yang tentu saja tidak diperlihatkan oleh Kong Ji.
"Hebat benar ilmu silat itu, hawa pukulannya tidak kalah oleh
Pak-kek Sin-ciang." Hui Lian memuji.
298
"Sumoi, kuharap dengan sangat kau sudi memegang teguh
perjanjian, dan jangan membocorkan hal ini kepada Suhu. Aku takut
Suhu akan marah. Bagaimana sekarang pendapatmu? Sukakah kau
belajar ilmu silat ini dan sebagai gantinya kau memberi tahu
kepadaku tentang teori Pak-kek Sin-ciang. Setujukah?"
"Boleh, dan ini bukan berarti bahwa aku mengajar PaK-kek Sinciang
kepadamu, Suheng, karena kau pun kelak akan diberi
pelajaran oleh Ayah. Dan tentu ilmu silatmu itu aku senang sekali
kau dapat mempelajarinya." Hui Lian memandang ke wajah
suhengnva yang kini sudah merupakan pemuda berusia delapan
belas tahun itu dengan kagum. Ia kini mulai mempunyai pandangan
lain terhadap Kong Ji, tidak lagi berani memandang rendah bahkan
ia kagum sekali karena keadaan pemuda itu benar-benar jauh
daripada persangkaannya semula.
Demikianlah, dengan diam-diam, tanpa diketahui oleh Go Ciang
Le dan yang lain-lain, kedua orang muda ini saling menukar ilmu
silat dan mereka mempunyai hubungan yang makin erat. Setelah
merima Ilmu Silat Tin-san-kang dari Kong Ji, sikap Hui Lan terhadap
pemuda ini- lebih erat dan rapat, dan ia yang berwatak jujur benarbenar
percaya akan kebaikan dan kesayangan hati Kong Ji
terhadapnya. Bahkan dalam usahanya untuk membalas kebaikan
Kong Ji, Hui Lian seringkali bertanya kepada Soan Li tentang Sinciang
yang ia belum tahu betul, untuk kemudian diberikan dan
dijelaskan kepada Kong Ji. Dengan jalan inilah, Kong Ji yang amat
cerdik itu akhirnya dapat mengenaI Pak-kek Sin-ciang, walaupun
hanya teorinya.
Setelah tahu dari Hui Lian betapa sukarnya mempelajari Pak-kek
Sin-ciang, Kong Ji merasa kecewa sekali. Memang betul ia telah
mencoba menjalani syarat-syaratnya, akan tetapi memang pada
dasarnya watak pemuda ini tidak bersih, maka ia selalu gagal
menghadapi godaan daripada nafsu dan perasaan sendiri dalam
samadhi. Oleh karena itu ia memang dapat mainkan Pak-kek Sinciang
yang ia pelajari dari Hui Lian, akan tetapi yang ia miliki hanya
"kulitnya" saja dan isinya bukan Pak-kek Sin-ciang sesungguhnya,
melainkan ia isi dengan tenaga Tin-san-kang dan lweekang yang ia
dapat pelajari. dari See-thian Tok ong. Oleh campuran ini, maka
ilmu silat Pak-kek-sin-ciang yang dimiliki oleh Kong Ji menjadi
299
berubah sifatnya, sudah menyeleweng daripada aselinya, namun
harus diakui bahwa tidak berkurang kelihaiannya bahkan boleh
dibilang lebih ganas dan berbahaya bagi lawan, sungguhpun intinya
tidak sekuat aselinya.
Empat tahun telah lewat dengan cepatnya. Kong Ji telah menjadi
seorang pemuda dua puluh dua tahun, tubuhnya jangkung dan
wajahnya tampan. Soan Li telah menjadi seorang gadis yang
usianya dua puluh tiga tahun, sifatnya lemah-lembut, namun pada
wajahnya yang cantik itu terbayang kematangan jiwa yang
membuat ia makin pendiam dan hemat dengan kata-kata.
Sebaliknya Hui Lian Iaksana sinar matahari yang bercahaya terang,
telah menjadi seorang gadis berusia delapan belas tahun yang tentu
saja cantik jelita, namun juga manja, nakal dan gembira.
Dalam waktu empat tahun ini, kepandaian mereka bertiga telah
meningkat tinggi. Selama delapan tahun Kong Ji menerima latihanlatihan
dari Ciang Le dan selain itu, ia pun telah menguasai ilmu
Pak-kek Sin-ciang yang dapat ia pelajari dari Hui Lian. Hatinya diamdiam
mendongkol sekali dan timbul kebencian, terhadap Ciang Le
karena ternyata bahwa suhunya ini benar-benar tidak menurunkan
Pak-kek Sin-ciang kepadanya! Namun, dengan amat pandainya ia
menyembunyikan perasaannya itu, bahkan makin mendekati Hui
Lian. Terhadap Soan Li, diam-diam hatinya masih menaruh cinta,
namun karena Soan Li makin dingin terhadapnya, lama-lama
perhatian itu ditujukan kepada Hui Lian. gadis yang jujur dan
berhati polos itu.
Adapun Hui Lian seorang gadis remaja yang masih hijau, tidak
dapat menangkap maksud buruk di hati Kong Ji, dan menghadapi
rayuan dan sikap mengasih dari Kong Ji pun percaya bahwa hatinya
telah terpikat oleh pemuda ini.
Pada suatu malam, Hui Lian tidak dapat tidur karena hawa terlalu
panas. Musim panas telah tiba dan kamarnya demikian panas tidak
enak sehingga ia membuka pintu dan berjalan ke belakang, dengan
maksud hendak pergi ke taman mencari hawa segar. Ketika ia lewat
dekat ruangan belakang, ia mendengar ayah bundanya bercakapcakap
dengan Soan Li. Ia mendengar Soan Li terisak, maka
tertariklah hatinya. Dian-diam mendekati pintu dan mendengarkan
300
percakapan itu. Kalau saja sucinya tidak menangis, tentu dia tidak
mau melakukan pengintaian, akan tetapi karena sucinya menangis,
sebagai seorang wanita, sudah sewajarnya kalau ia ingin tahu
sekali. tidak berani muncul begitu saja, maka tiada lain jalan
baginya kecuali berdiri di luar pintu dan mendengar percakapan
mereka.
"Soan Li mengapa kau menangis. Ingat kau sudah berusia dua
puluh tiga tahun, sudah lebih cukup bagimu untuk berumah
tangga," kata Bi Lan dengan suaranya yang halus.
"Semenjak kau berusia tujuh belas tahun, banyak sudah orang
ternama di dunia kang-ouw dan orang-orang bangsawan kaya raya
di daerah ini datang meminangmu, akan tetapi kau selalu menolak.
Hal itu memang kami anggap betul, karena kami sendiri pun ingin
memilihkan seorang suami yang baik untukmu, Soan Li. Akan tetapi,
menurut pandanganku, Kong Ji seorang yang cukup baik dipandang
dari sudut kepandaiannya maupun dari sikapnya. Dia tepat sekali
menjadi suamimu, dan ketahuilah, semenjak kami bertemu dengan
Kong Ji, memang aku dan Subomu telah merencanakan hendak
menjodohkan kau dan Kong Ji. Hanya karena kami menganggap
bahwa sebelum kalian tamat belajar belum tepat melangsungkan
perjodohan, maka baru sekarang ini kami memberitahukan
padamu," kata Ciang Le panjang lebar sehingga Soan Li dan Bi Lan
merasa agak heran. Tidak biasanya Ciang Le bicara demikian
banyaknya.
Mendengar ini, Soan Li makin terengah-engah menangisnya.
Kemudian ia dapat menguasai dirinya dan berkata lirih,
"Suhu, dan juga Subo, mohon ampun sebanyaknya. Suhu dan
Subo maklum bahwa teecu tidak hanya menganggap Suhu dan
Subo sebagai guru, bahkan teecu menganggap sebagai ayah bunda
sendiri.” Sampai di sini, Soan Li kembali mengalirkan air mata
karena terharu. Adapub Hui Lian yang mendengarkan percakapan
dari luar, wajahnya berubah pucat sekali, hatinya perih dan tak
terasa pula dua titik air mata melompat ke atas sepasang pipinya. Ia
merasa telah jatuh cinta kepada Kong Ji, dan percaya pula bahwa
pemuda itu suka kepadanya, ada pun hubungan Kong Ji dengan
Soan Li demikian jauh dan dingin. Sekarang mendengar bahwa
301
Kong Ji hendak dijodohkan dengan Soan Li, maka ia merasa terkejut
sekali. Dadanya berdebar-debar dan ia ingin sekali mendengar apa
yang akan dikatakan oleh Soan Li.
"Muridku yang baik, kau pun kami anggap sebagai anak sendiri.
Kami menganggapmu sebagai kakak dari Hui Lian oleh karena itulah
maka kami sengaja memilih-milih jodoh yang tepat untukmu," kata
Bi Lan dengan suara menghibur dan ia mengelus-elus rambut gadis
itu yang duduk di atas bangku rendah di sebelahnya.
Mendengar ini, makin membanjir air mata dari mata Soan Li.
Gadis ini menjatulikan diri berlutut dan menyembunyikan mukanya
di pangkuan Bi Lan.
"Anak. mengapa kau kelihatan begItu berduka? Apakah yang
mengganggu pikiranmu?” tanya Ciang Le yang bermata tajam dan
yang dapat menduga bahwa tentu ada sesuatu yang terkandung di
dalam hati muridnya ini.
"Teecu, layak dipukul mati...." kata Soan Li. "Seharusnya teecu
berterima kasih atas budi kecintaan Suhu dan Subo, rela untuk
mengorbankan nyawa teecu yang tidak berharga untuk Suhu dan
Subo, akan tetapi sekarang, baru urusan perjodohan saja teecu
sudah memperhkatkan sikap tidak menyenangkan...."
"Katakanlah, apa yang kaupikirkan, Soan Li?" tanya Bi Lan, kini
ingin tahu juga apa yang hendak diajukan Soan Li sebagai alasan
keberatan terhadap perjodohan itu.
"Sesungguhnya amat sukar teecu bicara, dan seyogyanya teecu
minerima saja tanpa banyak rewel. Akan tetapi, karena teecu
anggap bahwa hal ini harus teecu kemukakan demi kebaikan Suhu
dan Subo sendiri, terutama demi kebaikan Adik Hui Lian, terpaksa
teecu memberanikan diri membuka mulut. Teecu rela menerima
hukuman setelah teecu bicara, dan setelah Suhu mendengar
keterangan teecu, teecu pun siap menerima semua keputusan."
Hui Lian makin terkejut dan detak jantungnya menghebat. Apa
maksud Soat Li maka membawa-bawa namanya dalan urusan itu?
"Semenjak Liok-sute datang ke sini entah mengapa teecu selalu
merasa tidak suka kepadanya. Teecu sering kali menegur perasaan
302
sendiri dan menganggap bahwa teecu tentu keliru. Akan tetepi
akhir-akhir ini, ternyata perasaan teecu itu tidak membohongi teecu.
Ada sesuatu yang membuat teecu terpaksa harus berterus terang
kepada Suhu dan Subo tentang din Liok-sute...."
Sampai di sini, kembali Soan Li kelihatan ragu-ragu dan pada
saat itu tiba-tiba Ciang Le menengok ke arah pintu sambil
membentak dengan alis berkerut, "Hui Lian sejak kapan kau belajar
menjadi pengintai? Hayo kau masuk saja!”
Hui Lian kaget bukan main. ia memang tahu betul akan kelihaian
ayahnya, namun dapat mengetahui kedatangannya biarpun ia telah
mempergunakan ginkangnya, itulah hebat! Ia makin kagum kepada
ayahnya dan dengan muka merah sekali ia masuk melalui pintu ke
dalam ruang belakang ini.
"Ayah, aku merasa panas di kamar dan hendak ke taman...."
katanya gagap. "Aku tahu, kau mendengar percakapan kami dan
berdiri di luar pintu. Hui Lian, jangan sekali-kali kau berbuat hal
seperti itu lagi. Kalau mau masuk, masuk saja, kalau tidak lebih baik
pergi menjauh, jangan mendengar percakapan orang!" kata
ayahnya.
Hui Lian menundukkan mukanya dan ia lalu duduk di atas sebuah
bangku rendah tak jauh dan ayahnya.
Melthat munculnya Hui Lian, Soan menjadi makin tidak enak hati.
Ia berkali-kali memandang kepada Suhunya kemudian kepada Hui
Lian, hatinya berat sekali untuk bicara.
"Soan Li kauteruskan keteranganmu. Tak usah kau berlaku
sungkan dan tak usah kau menyembunyikan sesuatu. Biar pun Hui
Lian berada di sini, namun adalah Sumoimu atau seperti Adikmu
sendiri. Kita semua adalah sekeluarga dan sekarang ini adalah
percakapan keluarga yang tak boleh diadakan segala macam
rahasia!" kata pula Ciang Le dan biarpun suaranya halus dan
tenang, namun mengandung pengaruh besar dan membuat hati
Soan Li dan Hui Lian tunduk dan takut.
"Suhu dan Subo, demi kebahagian rumah tangga Suhu, teecu
akan berterus- terang. Ada sesuatu dalam diri Liok-sute yang ganjil,
303
seakan-akan dia menyembunyikan sesuatu rahasia yang aneh dan
menakutkan."
Ciang Le mengangguk. "Sejak dulu aku pun mempunyai
keraguan, dari sinar matanya memang ada sesuatu yang aneh.
Karena itu aku tidak mau menurunkan Ilmu Pak kek Sin-ciang
kepadanya. Akan tetapi sikapnya selama delapan tahun ini baik
sekali sehingga keraguanku lenyap dan dia mendatangkan kesan
baik dalam hatiku."
"Akan tetapi Suhu, belum lama ini tecu kebetulan sekali melihat
dia... melatih diri dengan Pak-kek Sin-ciang!"
Keterangan ini demikian mengejutkan hingga keadaan di situ
sunyi, Hui Lian menundukkan mukanya. Ciang Le memandang
kepada Soan Li dengan mata terbelalak, sedangkan Bi Lan
mengerling ke arah puterinya.
'Apa kaubilang? Betul-betulkah itu? Apakah boleh jadi dia
mengintai ketika aku memberi latihan kepada kau dan Hui Lian?"
"Entahlah, Subo. Hanya teecu mellhat gerakannya itu, biarpun
boleh dibilang baik sekali, namun isinya tidak seperti sebagaimana
mestinya. Isi pukulan dan jurus-jurus Pak-kek Sin ciang yang dia
mainkan itu adalah hawa pukulan yang aneh dan dahsyat."
"Aneh, aneh sekali. teruskan keteranganmu, Soan Li. Apa pula
yang kau ketahui tentang Sutemu itu."
"Teecu memberitahukan hal ini karena itu adalah sesuatu yang
amat ganjil sehingga teecu pikir Suhu akan dapat berlaku hati-hati.
Dan soal ke dua, membuat teecu berani menyatakan tidak setuju
akan perjodohan itu, bukan sekali kali hanya berdasarkan rasa tidak
suka teecu kepadanya, akan tetapi sesungguhnya...." Sampai di sini
Soan Li memandang kepada Hui Lian dan mukanya menjadi sedih.
"Teruskan saja, Soan Li. Kau tidak mengadu atau bicara jahat,
akan tetapi demi kebaikan bersama,” kata Bi Lan. Nyonya ini
maklum bahwa tentu ada suatu dengan diri Hui Lian, dan ia sudah
merasa tegang dan cemas.
"Sumoi, kauampunkan Cicimu ini yang jahat dan rendah budi.
Namun aku terpaksa... demi kebaikanmu sendiri...." Hu Lian
304
mengangkat mukanya. Gadis ini mempunyai kejujuran dan di
samping ini juga ketabahan, maka sambil tersenyum akan tetapi
mukanya pucat ia berkata,'
“Teruskanlah Suci. Tak usah khawatir kalau memang yang keluar
dari mulut adalah hal-hal yang sebenarnya."
"Suhu, dan juga Subo. Teecu melihat bahwa hubungan antara
Adikku Hui Lian dan Liok Sute amat erat, amat rukun dan baik.
Bahkan, kalau teecu tidak salah kira di antara mereka ada rasa suka
yang besar. Dan selain itu... mereka sering kali berlatih bersama
dan Sumoi seakan-akan amat tertarik kepadanya. Hal inilah yang
menggelisahkan hati teecu selama ini. Menurut anggapan teecu,
Sute hendak mempermainkan Sumoi, sangat boleh jadi dia sengaja
menarik hati Sumoi yang masih amat muda ini untuk….. untuk dapat
belajar Pak-kek Sin-ciang."
"Suci kau tak tahu malu!" Hui Lian membentak sambil berdiri,
mukanya merah dan matanya bersinar-sinar. "Kau... kau iri hati...!!"
"Hui Lian, diam kau!!" Ciang Le membentak marah. Pendekar ini
sekarang lenjadi pucat wajahnya, sedangkan Bi Lan juga pucat
sekali.
Terdengar Soam Li menangis. “Suhu dan Subo, juga kau Adikku
Hui Lian, aku bersumpah kepada Thian bahwa tidak sekali-kali
dalam hatiku ada maksud jahat Suhu, sesungguhnya teecu khawatir
kalau sampai Adik Hui Lian masuk perangkap dan teecu khawatir
kalau kalau Suhu salah pilih ketika mengambil Sute sebagai murid.
Kalau semua dugaan teecu keliru boleh bunuh teecu sekarang juga!
Sebaliknya kalau Suhu tetap hendak menjodohkan teecu dengan
dia, biarpun tercu tidak suka kepadanya, teecu akan menerima
dengan hati berdarah. Apa saja untuk membalas budi Suhu dan
Subo'"
Hati Ciang Le tidak karuan rasanya. Seakan-akan hendak
meledak dadanya, Ia marah sekali, marah kepada Kong Ji kepada
Hui Lian, juga kepada Soan Li.
"Hui Lian, apakah engkau memberi pelajaran Pak-kek Sin-ciang
kepadanya?”' tanyanya kepada puterinya itu yang membelalakkan
mata, takut kalau-kalau ayahnya akan memukulnya saking marah.
305
Hui Lian menjadi pucat sekali, namun ia tidak gentar. ia berdiri
menghadap ayahnya dan berkata tegas.
"Memang betul, Ayah! Akan tetapi bukan sekali-kali anak
membuka rahasia Pak-kek Sin-ciang karena anak sengaja tidak
membocorkannya dan melanggar sumpah. Anak pikir bahwa
akhirnya sebagai murid Ayah, Suheng tentu akan menerima
pelajaran Pak-kek Sin-ciang pula. Dan selain ini, Suheng tidak
menerima begitu saja, hanya mendengar teorinya dari anak dan
sebagai imbalannya, anak diberi pelajaran olehnya..." Sampai di sini
Hui Lian tiba-tiba menghentikan kata-katanya karena baru ia ingat
bahwa ia tidak boleh membocorkan rahasia suhengnya itu!
Akan tetapi sudah terlanjur dan tak dapat ditarik kembali.
Ayahnya menahan kemarahannya dan di dalam hatinya, pendekar
yang bijaksana ini memang dapat menganggap bahwa alasan Hui
Lian memang tepat.
"Pelajaran apakah yang dapat ia berikan kepadamu?" tanyanya.
Terpaksa Hui Llan mengaku terus terang karena ia sudah tak
dapat mundur lagi. "Ayah, sesungguhnya Suheng bukanlah seorang
yang bodoh seperti yang kita kira. Dia mempunyai banyak ilmu silat
yang aneh-aneh, dan teecu menerima sebuah di antaranya, yakni
Ilmu silat yang mempunyai kelihatan hampir sama dengan Pak kek
Sin-ciang, bahkan dalam penggunaan tenaga agaknya lebih hebat.
Ciang Le mengerutkan alisnya, nampaknya tertarik sekali. ia lalu
melompat berdiri.
"Coba kauserang aku dengan ilmu aneh itu!" perintahnya.
Hui Ltan tidak ragu-ragu lagi karena ia maklum akan kelihaian
ayahnya di dalam kesempatan ini ia hendak memperlihatkan
kehebatan ilmu pukulann yang ia peroleh dari Kong Ji, maka ia lalu
mengerahkan tenaga Tin-san-kang dan menyerang dengan
sungguh-sungguh. Dengan begini ia harap ayahnya akan
menghargai ilmu ini dan tidak akan terlalu menyalahkannya bahwa
ia telah menukarnya dengan teori Pak kek Sin ciang.
306
"Jagalah, Ayah!" katanya gembira dan ia lalu memukul, dengan
kedudukan tubuh rendah. Dengan kedua tangan ia mendorong dada
ayahnya, inilah pukulan yang terkuat daripada Tin-san-kang.
Ciang Le terkejut sekali ketika merasa sambaran hawa pukulan
yang amat dahsyat ke arah dadanya. Ia lalu mengerahkan tenaga
lweekang, mempergunakan hawa murni menjadi tenaga lemas dan
dadanya menerima dorongan itu.
Dada itu terasa oleh kedua tangan Hui Lian amat lunak, akan
tetapi tenaga Tin-san-kang di tangannya dihisap lenyap dan ia
sendiri yang terhuyung-huyung setelah terpental ke belakang oleh
kembalinya tenaganya sendiri'
"Pukulan apakah ini" Ciang Le benar-benar terkejut karena
dengan Pak-kek-sin-ciang, tak mungkin putertnya mempunyai hawa
dorongan yang demikian dahsyatnya. ia memang belum pernah
melihat Tin-san-kang yang diciptakan oleh Giok Seng Cu belum lama
berselang, sedangkan dahulu ketika ia menghadapi Seng Cu (baca
Pendekar Budtman). Giok Seng Cu belum mempunyai Tin-san-kang.
"Coba kau bersilat dengan ilmu itu sampai habis." perintahnya
kepada Hui Lian. Gadis ini tadi terkejut sekali karena ternyata bahwa
pukulan Tin-san-kang itu tidak ada artinya bagi ayahnya, maka kini
ia bersilat sebaiknya mainkan ilmu silat yang selalu mengambil
kedudukan rendah itu.
"Cukup!" kata Ciang Le. “Dari mana dia mendapatkan ilmu silat
ini?"
"Menurut Suheng, katanya ia belajar dari See-thian Tok-ong,"
jawab Hui Lian perlahan.
Ciang I.e berpikir keras. ia tahu bahwa See-thian Tok-ong adalah
orang dari See-thian (barat) sedangkan ilmu silat yang baru saja
dimainkun oleh puterinya itu, biarpun gerakan-gerakan aneh,
namun kedudukan kakinya jelas sekali menunjukkan gaya dari utara
bahkan satu sumber dengan Pak-kek Sin-ciang!
"Panggil Kong Ji ke sini. Lekas!” bentaknya kepada Hui Lian.
Gadis ini segera berlari keluar menuju ke kamar Kong Ji yang
307
terletak di bangunan sebelah kiri, agak jauh dari bangunan pusat,
terhalang oleh taman.
Akan tetapi, ketika Hui Lian tiba di kamar Kong Ji melihat kamar
itu kosong. Sunyi sekali di situ karena memang situ tidak ada
pelayan dan biasanya Kong Ji berada seorang diri saja di kamarnya.
Hui Lian berdiri bagaikan patung, hatinya tidak karuan rasanya.
"Liok-suheng...!" ia memanggil perlahan, keluar dari kamar itu,
berdiri di tengah taman.
"Sumoi, aku di sini. Kau keluarlah...!" terdengar suara Kong Ji
dari luar pagar tembok taman!
Hui Lian berlari dan melompat tembok pagar itu. Ketika ia tiba di
luar pagar tembok, ia melihat bayangan Kong Ji di situ, dan pemuda
ini telah menggendong buntalan pakaian yang besar.
"Sumoi, hayo kita pergi agak jauh untuk bicara!" Sambil berkata
demikian pemuda itu lalu berlari cepat menuju ke utara di mana
terdapat sebuah hutan kecil.
Hui Lian ragu-ragu. "Suheng, Ayah hendak bicara denganmu...."
"Marilah ikut sebentar, kita dapat bicara di tempat agak jauh,"
kata Kong Ji tanpa menoleh.
Terpaksa Hui Lian berlari mengejar Setelah tiba di dekat hutan,
barulah Kong Ji menghentikan larinya.
"Sumoi, aku tak dapat bertemu dengan Ayahmu. Suhu tentu
marah besar kepadaku. Suci sudah mengadu yang bukan-bukan,
sungguh memalukan dan menyedihkan.” Sampai di sini Kong Ji
terisak, dan karena keadaan gelap Hui Lian tidak dapat melihat
wajah suhengnya, namun ia tahu bahwa suhengnya menangis
saking sedihnya.
"Kau tahu semua yang dibicarakan Suheng?"
"Aku tahu, aku sudah sejak tadi mendengar dari atas genteng."
Diam-diam Hui Lian memuji dan kagum sekali. Dia yang hanya
berdiri di luar pintu, ayahnya tahu akan kehadirannya. Akan tetapi
suhengnya ini dapat mengintai dari atas genteng tanpa diketahui
ayahnya!
308
"Lebih baik kau berterus terang kepada Ayah. Kau toh tidak ada
kesalahan apa-apa. Kau belajar Pak kek Sin ciang dariku, dan akulah
yang bersalah," kata Lian Hui menghibur.
"Tidak, Sumoi. Biarpun Suhu tidak akan marah kepadaku, akan
tetapi aku malu dan sakit hati sekali kepada Suci yang sudah
menghinaku dan mengira yang akan-bukan. Lagi pula aku... aku
tidak suka dijodohkan dengan dia...." suara Kong Ji perih sekali
karena mendengar penolakan Soan Li. Ketika ia mendengar bahwa
ia akan dijodohkan dengan Soan Li, ia, bisa berjingkrak-jingkrak
saking girangnya, akan tetapi alangkah hancur hatinya ketika ia
mendengar betapa Soan Li tidak saja menolak, bahkan memburukburukkan
namanya dan dengan jelas sekali menelanjangi dadanya
sedemikian rupa. Berbahaya benar Soan Li agaknya yang dapat tahu
segala isi hatinya itu.
"Suheng, Suci adalah seorang yang baik...."
"Tidak, Sumoi, apakah kau masih belum tahu bahwa bukan dia
yang menawan hatiku?"
Berdebarlah hati Hui Lian mendengar ini. Ia maklum bahwa
suhengnya ini sayang atau cinta kepadanya, hal ini sering dapat
ditangkap dari kata-kata dan sikap pemuda itu terhadapnya. Diamdiam
ia bersyukur mendengar kata-kata terakhir ini.
"Habis, kalau pergi. bagaimana, Suheng....? hendak ke manakah
kau, dan apakah Ayah takkan marah...?"
"Sumoi, aku benar-benar sakit terhadap hinaan Suci. Aku harus
melakukan sesuatu, melakukan sesuatu untuk membuktikan kepala
Suhu bahwa tidak percuma aku menjadi muridnya. Aku hendak
pergi mencari orang-orang jahat dari Im-yang-bu-pai, hendak
kuhancurkan Im yang-bu-pai, hendak kubasmi Bu-cin pang yang
sudah menjadi biang keladi kehancuran Hoa-san-pai, hendak kucari
See-thian Tok-ong dan Giok Seng Cu, akan kukalahkan mereka
untuk menjunjung nama besar Suhu. Juga akan kucari di mana
adanya Lie Bu Tek Suheng, akan kucari pula Adik Sin Hong dan
terutama sekali... akan kucari kitab-kttab rahasia peninggalan
Sucouw Pak Kek Siansu. Akulah yang akan menjadi ahli warisnya
309
dan aku yang akan menjunjung tinggi nama Luliang-san juga nama
Suhu."
Hui Lian mendengarkan dengan hati berdebar. Alangkah gagah
dan mulianya hati suhengnya ini. Sucmya, Soan Li benar-benar tolol
dan salah duga. Orang begini mulia dan gagah dicaci maki
sedemiktan rupa!
"Sumoi, kalau kau... suka turut kepadaku kau pun akan
mengambil bagian dalam tugas-tugas suci ini. Siapa tahu kita
berdua yang akan mendapatkan kitab rahasia itu, kita berdua yang
akan menghancurkan musuh-musuh besar yang dibenci Ayahmu.
Marilah kau ikut dengan aku, Sumoi."
Berdebar lebih keraslah hat; Hut Lian.
"Akan tetapi, Ayah...."
"Sumoi, bukan aku saja yang dihina oleh Suci Soan Li. Kau pun
dihinanya, dibuka rahasiamu mengajar Pak-kek Sinkang kepada
Suhu. Suci ternyata memunyai hati yang penuh iri dan dengki, dan
celakanya, agaknya Suhu dan Subo percaya kepadanya. Biarlah
Suhu dan Subo kelak melihat bahwa kau dan aku yang betul, bahwa
Suci tidak bisa apa-apa hanya bisa mengacaukan saja. Marilah kita
pergi, Sumoi."
Pada saat itu bulan tersembul di balik awan dan Hui Lian melihat
pedang tergantung di pinggang Kong Ji.
"Eh, kau membawa Pak-kek-sin kiam?" tanyanya terkejut.
"Hanya pinjam untuk menunaikan tugas ini, Sumoi. Pedang ini
dahulu aku yang mendapatkan, bahkan kalau tidak aku yang
memberi tahu, Suhu juga tidak akan tahu bahwa pedang ini berada
di tangan See-thian Tok-ong. Sekarang aku bukan mencuri, hanya
akan meminjam dan mewakili Suhu menghajar kepada orang-orang
jahat itu, untuk membalas dendam ayah bundaku, membalas
dendam Ayah Bunda Adik Sin Hong, dan membalas dendam Hoasan-
pai serta kematian Suhu Liang Gi Tojin. Hayo ikut saja, Sumoi.
Akulah yang menjamin bahwa kelak Ayahmu tidak akan marah
bahkan bangga melihat puterinya demikian gagah perkasa dan
berjiwa pendekar seperti ayahnya!"
310
Hui Lian memang masih berhati kanak-kanak. Ia mudah sekali
dibujuk dan timbulnya ialah karena ia sudah menaruh kepercayaan
sepenuhnya kepada Kong Ji.
Melihat keraguan Hui Lian, Kong Ji mulai merasa mendapat
angin.
"Sumoi, tanpa bantuanmu, mungkin aku kurang kuat. Mungkin
aku akan tewas dalam melakukan tugas ini. Akan tetapi dengan kau
di sampingku, aku merasa kuat sekali, biar raja iblis keluar dari
neraka, dengan kau di sampingku, aku akan sanggup
mengalahkannya. Kalau kau tidak mau ikut, aku pun tidak dapat
memaksa, dan dalam setiap pertempuran berbahaya, aku hanya
akan membayangkan wajahmu dan menganggap kau disampingku
sehingga aku akan kuat. Kalau aku kalah dan tewas.... sudahlah,
kita takkan bertemu kembali, Sumoi. Selamat tinggal...." Kembali
suara Kong Ji terdengar seperti orang terisak menangis dan pemuda
ini lalu berjalan pergi.
Untuk beberapa lama Hui Lian berdiri termenung, kemudian ia
memanggil: "Tunggu dulu, Suheng...."
Kong Ji cepat membalikkan tubuhnya. "Jadi kau mau ikut,
Sumoi...?" tanyanya girang.
"Akan tetapi Ayah dan Ibu... tak mungkin aku pergi begini saja
tanpa. memberi tahu mereka..."
"Kalau memberi tahu, tentu Ayah Bundamu mencegah. Kita pergi
bukan untuk berbuat jahat, kita berjuang, menunaikan tugas suci,
mengapa harus ragu-ragu dan memberi tahu? Lebih baik tidak
memberi tahu dan kelak kalau kita sudah berhasil pulang, tentu
mereka akan lebih bangga lagi.”
"Hui Lian.....!. terdengar panggilan. Itulah suara Soan Li.
Agaknya gadis itu menyusul dan mencarinya, tentu disuruh oleh
Ciang Le untuk menyusul Hui Lian yang begitu lama belum juga
kembali dari memanggil Kong Ji.
Memang benar demikian, Soan Li tadinya disuruh menyusul Hui
Lain, akan tetapi ketika mendapatkan sumoinya itu tidak ada,
sedangkan Kong Ji juga tidak dapat dicari, Soan Li menjadi curiga
311
dan gelisah sekali. ia melompat ke atas pagar tembok dan
memandang ke sekelilingnya, akan tetapi karena malam itu agak
gelap, ia tidak melihat sesuatu, juga tak mendengar suara orang.
Soan Li lalu melompat turun dan mengejar ke utara, karena ia
pikir bahwa hanya di utara terdapat hutan, jadi kalau ada orang
melarikan diri, hutan itulah yang paling tepat untuk dituju. Dengan
gerakannya yang gesit dan ringan sekali, Soan Li bergerak maju. Di
dalam gelap, ia kelihatan seperti bayangan iblis menghitam yang
terbang karena kedua kakinya tertutup oleh pakaian yang panjang
dan longgar. Akan tetapi, di waktu bulan muncul keluar dari balik
mega dan meyinari gadis yang baru lari cepat ini, nampak seperti
seorang bidadari yang turun dari bulan untuk bermain-main di
tempat sunyi itu. Sambil berlari, Soan Li menengok ke sana ke mari
dan memasang telinga, kadang-kadang memanggil nama Hui Lian,
"Hui Lian...! Hui Lian Sumoi...!!"
Tiba-tiba dari belakang sebatang pohon berkelebat bayangan
hitam dan Kong Ji muncul di hadapannya. "Gak-suci, mencari
siapakah?" tanya pemuda ini.
Melihat munculnya pemuda ini begitu tiba-tiba mau tak mau Soan
Li menjadi terkejut juga dan hatinya berdebar.
"Kau...? Suhu memanggilmu lekas pulang. Di mana Hui Lian
Sumoi yang tadi mencarimu atas perintah Suhu?"
Akan tetapi sebagai jawaban tiba-tiba kedua tangan Kong Ji
bergerak menyerangnya! Tangan kiri pemuda ini dengan jari
terbuka menotok ke arah lambungnya, dilakukan dengan cepat dan
bertenaga.
Soan Li kaget sekali. Di dalam gelap ia tidak begitu dapat melihat
gerak Kong Ji namun gadis ini telah terlatih baik, pendengarannya
amat tajam, dan dari sambaran angin yang dahsyat, maklum bahwa
Kong Ji telah menyerang lambungnya dengan tenaga yang akan
dapat menewaskannya, sedikitnya melukainya dengan hebat.
"Bangsat!" bentaknya dan gadis ini cepat menggunakan lengan
kanan menangkis mengerahkan tenaga lwekangnya dan siap untuk
menyusulkan tangan kiri membalas serangan Kong Ji.
312
Akan tetapi, ia tadi tidak melihat gerakan tangan kanan pemuda
itu yang tiba-tiba mengebutkan sesuatu di depan mukanya. Soan Lt
mengelak dan dengan mudah kebutan itu dapat dihindarkan dan
mukanya tidak terkena serangan aneh itu. Namun tiba-tiba Soan Li
mengeluh, matanya berkunang, hidungnya mencium bau harum
yang amat menyesakkan dada dan kepalanya seperti berputar. Ia
kaget bukan main dan biarpun ia belum mempunyai banyak
pengalaman pertempuran dan tidak pernah menghadapi orangorang
kang-ouw, namun ia sudah banyak mendengar penuturan
Suhunya. Oleh karena itu ia maklum bahwa ia telah terkena hawa
beracun yang disebar oleh Kong ji. Dengan sekuat tenaga ia
menahan napas dan mengerahkan hawa murni di dalam tubuh
untuk mengusir pengaruh bisa itu, namun Kong Ji sudah
mendahuluinya. Sekali saja tangan Kong Ji bergerak, jalan darah thi
hu-hiat di tubuhnya telah kena ditotok dan seketika itu juga
lemaslah tubuh Soan Li.
Kong Ji memeluknya, memeluk dengan erat lalu berbisik di dekat
telinganya.
"Soan Li, kau sungguh kejam, kau menghinaku semau dan
seenaknya saja. Kau keterlaluan, Soan Li. Semenjak dulu aku
tergela-gila kepadamu. Alangkah cantiknya wajahmu, akan tetapi
hatimu kejam terhadapku. Biarpun demikian, Soan Li aku tetap cinta
padamu dan aku bersumpah bahwa pada suatu hari kau tentu akan
tunduk kepadaku, kau pasti akan menjadi kekasihku yang taat."
Terdenga Kong Ji tertawa menyeramkan, tertawa perlahan dan
lambat dan tangannya membelai-belai muka yang halus itu,
membelai rambut yang lemas dan hitam itu.
Bergidiklah Soan Li ketika mendengar suara ketawa ini. Semenjak
kenal dengan Kong Ji belum pernah ia mendengar pemuda itu
tertawa seperti ini, seperti suara ketawa iblis. Terpaksa ia
meramkan mata ketika merasa betapa pemuda itu meraba-raba
mukanya, membelai-belai rambutnya. Selama hidupny ia belum
pernah Soon Li tersentuh oleh tangan laki-laki, dan sekarang berada
dalam pelukan Kong Ji dan dirayu sedemikian itu, ia hampir pingsan
karena muak dan benci!
313
"Suheng, lekaslah, aku khawatir kalau-kalau Ayah akan menyusul
ke sini," terdengar suara Hui Lian dan dalam hutan.
Kong Ji tersentak kaget dan sadar kembali dari pengaruh hawa
nafsunya yang membuatnya seperti iblis.
"Baik, Sumoi, tunggu sebentar!" jawabnya kemudian ia
mendckatkan mukanya di telinga Soan Li dan berbisik, "Soan Li, kau
tinggi hati dan sombong, Kau memandang rendah kepadaku, akan
tetapi kelak aku akan mematahkan kesombonganmu itu. Kelak kau
akan tahu bahwa Kong Ji bukanlah orang yang boleh kauhina begitu
saja. Rebahlah!" ia mendorong tubuh Soan Li yang segera terguling
dan rebah di atas tanah yang basah dan dingin. Kong Ji kembali
tertawa perlahan seperti tadi, kemudian sekali berkelebat ia
menghilang di dalam hutan.
Dengan sekuat tenaga, Soan Li mengerahkan lweekangnya.
Setelah bergulat dengan pengaruh totokan, akhirnya ia dapat
membebaskan diri dan begitu sadar, ia segera bangun duduk dan
menangis tersedu-sedu. Ia merasa malu, kecewa, gemas, dan benci.
Ia merasa terhina luar biasa sekali dan ingin ia segera membunuh
diri karena gemas terhadap diri sendiri mengapa ia begitu sembrono
sehingga mudah saja diserang secara menggelap oleh Kong Ji.
Kalau saja Kong Ji tidak mempergunakan hawa beracun yang lihai
dan tidak terduga datangnya tadi, tak mungkin ia akan kalah. Ia
merasa kulit mukanya yang tadi diraba-raba oleh Kong Ji amat
panas, merasa seakan-akan kulit muka itu menjadi kotor sekali dan
ingin ia membeset membuang kulit muka yang telah dijamah itu.
Bahkan rambut yang dibelai-belai terasa gatal dan kotor dan ingin
menjambak dan mencabuti rambut itu.
"Jahanam Kong Ji... tunggulah saja, aku bersumpah akan
membalas penghinaanmu ini!" sambil menangis tersedu-sedu ia
berkata seorang diri penuh kebencian terhadap Kong Ji. Kadangkadang
ia bergidik kalau memikirkan peristiwa tadi. Kong Ji benarbenar
seorang iblis suara tawanya, suara bicaranya, benar-benar
mendirikan bulu tengkuk. Kalau ia membayangkan apa yang akan
terjadi dengannya kalau Hui Lian tidak memanggil Kong Ji,
gemetarlah tubuh Soan Li.
314
"Aku akan membunuhmu dengan kedua tanganku sendiri,
Jahanam...." berkali-kali ia mengambil keputusan.
"Soan Li, mengapa kau menangis di sini?” tiba-tiba terdengar
suara teguran di belakangnya dan hampir saja Soan Li berseru
kaget. Ia tersentak dan cepat memandang. Ketika melihat bahwa
yang berdiri di situ adalah subonya, ia cepat menjatuhkan diri
berlutut dan menangis lagi.
"Soan Li, apa yang telah terjadi?" Bi Lan bertanya, "Tenangkan
hatimu dan bicaralah."
"Sumoi telah,.. pergi bersama dia. Teecu berhasil mengejar dan
tak terduga- duga manusia busuk itu menyerang, teecu... roboh dan
tak dapat mengejar lebih lanjut."
"Kaumaksudkan Kong Ji? Dia merobohkanmu lalu melarikan diri
bersama Hui Lian!" Bi Lan berseru keras dan nyonya ini mulai
marah.
"Betul, Subo. Kalau jahanam itu berkelahi dengan jujur, belum
tentu teecu mudah dikalahkan, akan tetapi dia curang sekali dan dia
mempergunakan sesuatu entah apa, hanya tiba-tiba teecu mencium
bau yang harum menyesakkan napas dan kepala teecu pusing,
maka teecu tidak berdaya dan kena ditotok."
Tiba-tiba Ciang Le mendekati Soan Li dan hidungnya
berkembang-kempis di dekat rambut gadis itu.
"Hmm, dia telah mempergunakan racun Bunga Ang-goat-hoa
(Bunga Bulan Merah) yang hanya terdapat di barat. Racun ini tentu
dia dapatkan dan pelajari dari See-thian Tok-ong."
“Kemana lari mereka?" tanya Bi Lan bernafsu.
"Ke dalam hutan, Subo, selanjutnya entah ke mana karena teecu
tidak berdaya dan lama baru berhasil membebaskan diri dari
totokan."
"Keparat!" Bi Lan berkelebat dan menghilang ke dalam hutan.
Ciang Le melompat dan berseru,
"Isteriku, takkan ada gunanya! Malam begini gelap dan hutan itu
banyak sekali jurusannya, ke mana kita harus mengejar?"
315
Akhirnya Bi Lan terpaksa menyerah dan tak melanjutkan
pengejarannya, karena mengejar di dalam gelap tanpa mengetahui
arah tujuan mereka yang dikejar, benar-benar merupakan hal tak
masuk di akal.
"Suhu dan Subo, biarlah teecu yang akan mencari mereka sampai
dapat, kalau belum bertemu, teecu takkan kembaIi." kata Soan Li
menahan tangisnya.
"Aku sendiri yang akan pergi, Soan Li bersama Subomu. Kalau
benar seperti dugaanmu bahwa dia jahat sekali, dia amat berbahaya
dan terlalu kuat bagimu. Ilmu silat yang diperlihatkan Hui Lian saja
sudah amat berbahaya apalagi kalau dia masih mempergunakan
hawa pukulan beracun. Dia bukan Iawanmu, Soan Li."
Gadis itu tidak membantah, Ciang Le lalu mengajak isterinya
untuk pulang dan berkemas, karena pada keesokan harinya mereka
akan berangkat mencari Hui Lian dan Kong Ji. Soan Li
diperkenankan terus ke kamarnya untuk beristirahat, karena gadis
itu baru saja menghadapi hal sangat menggelisahkan dan
menegangkan hati.
Akan tetapi, pada keesokan harinya pagi-pagi sekali, Ciang Le
dan Bi Lan mendapatkan kamar Soan Li sudah kosong! Mudah saja
bagi Ciang Le dan isterinya untuk menduga bahwa gadis itu tentu
telah pergi untuk mencari Hua Lian.
Ciang Le menarik napas panjang "Benar-benar tidak baik
kejadian Kong Ji pergi membawa Pak-kek Sin kiam, dan dengan
kepandaian serta pedang itu kalau dia benar-benar amat jahat
seperti yang diduga oleh Soan Li, dia merupakan bahaya besar. Hui
Lian amat bodoh dan kini dia ikut pergi dengan Kong Ji. Sekarang
ditambah Soan Li pergi lagi seorang diri, aah benar-benar sekarang
kita tidak boleh menyembunyikan diri dan berpeluk tangan saja.
Mari kita berangkat, siapa tahu kalau-kalau mereka semua itu, anakanak
yang masih hijau, akan menghadapi bahaya.”
Maka pada hari itu juga. berangkatlah Ciang Le bersama isterinya
meninggalkan Pulau Kim-bun-to (Pulau Pintu Emas). Mereka
mendapat keterangan dari tukang-tukang perahu bahwa memang
mereka melihat Soan Li menyeberangi selat dengan menyewa
316
perahu layar, akan tetapi tak seorang pun tahu atau melihat Kong Ji
dan Hui Lian. Kong Ji memang diam-diam menyeberangi selat pada
malam hari mempergunakan sebuah perahu kecil yang didayungnya
sendiri.
Setelah menyeberangi selat dan tiba di daratan Ttongkok, Ciang
Le dan isterinya lalu melanjutkan perjalanan mereka dengan
menunggang kuda.
-oo0mch-dewi0oo-
Kong Ji yang pergi bersama Hui Lian, membatalkan niatnya ke
Luliang-san untuk mencari kitab rahasia peninggalan Pak Kek Siansu
yang pernah dilihatnya di dasar jurang, ia pikir bahwa pada waktu
itu, amat berbahaya untuk pergi ke Luliang-san. ia merasa pasti bah
suhu dan subonya tentu akan mengejarnya, dan sungguh besar
kemungkinannya suhu dan subonya akan langsung menuju ke bukit
itu. Untuk sementara ini, ia ingin jangan sampai bentrok dengan
suhu dan subonya, karena sungguhpun ia tidak takut menghadapi
siapapun juga, namun menghadapi suhunya, ia merasa gentar juga.
Apalagi Hui Lian berada di sampingnya dan kalau sampai terjadi
pertentangan antara ia dan Ciang Le, tentu gadis ini akan memihak
ayahnya.
"Liok-suheng, kita sekarang hendak menuju ke manakah?" tanya
Hui Lian pada Kong Ji. Mereka juga melakukan perjalanan berkuda
karena begitu tiba didaratan Tiongkok, Kong Ji lalu membeli dua
ekor kuda yang dibelinya dengan sepasang gelang di tangan Hui
Lian. Mereka tidak membawa uang dan untuk mencuri kuda tentu
saja Hui Lian tidak sudi, maka gadis ini rela menukarkan sepasang
gelangnya yang indah dengan dua ekor kuda yang kuat.
"Sumoi, aku mendengar bahwa musuh-musuh kita terutama
sekali orang-orang Im-yang-bu-pai berada di daerah utara. Maka
sekarang kita harus menyusul mereka ke sana."
Sebetulnya, Kong Ji mempunyai rencana lain. Pemuda ini pernah
mendengar suhunya bercakap-cakap dengan sahabat yang baru
datang dari pedalaman, tentang adanya bangsa Mongol yang mulai
berkembang, dan tentang surutnya pemeintah Kin. Diam-diam
317
pemuda ini memptinyai cita-cita yang besar sekali. ia dahulu
seringkali mendengar dari para anggauta Im-yang-bu-pai ketika ia
masih berada di perkumpulan itu sebagai wakil suhunya, bahwa
orang-orang Mongol memang merupakan pasukan yang kuat dan
gagah berani, dan betapa orang-orang gagah saling berlumba untuk
meruntuhkan pemeritah Kin. Mendengar semia ini, diam-diam Kong
Ji berpikir bahwa kalau saja ia dapat menggulingkan pemerintah Kin
dan dapat memimpin orang-orang Mongol, ada harapan ia akan
menggantikan kedudukan kaisar! Memang aneh, di dalam otak anak
ini terdapat lamunan-lamunan yang luar biasa dan tidak sewajarnya.
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid XII
HUI Lien baru beberapa kali mengadakan perjalanan dengan
ayah bundanya di daratan Tiongkok, itu pun hanya ketika ia masih
belum dewasa dan semua gerakannya terbatas. Kini ia telah dewasi,
telah berusia delapan belas tahun dan di samping suhengnya, ia
merasa sudah dapat kekuatan sendiri. Oleh karena itu, ia merasa
amat gembira melakukan perjalanan jauh ini dan kesedihannya
karena harus berpisah dari ayah bundanya, perlahan-lahan
mengurang.
Kong Ji juga tidak bodoh. Pemuda ni pandai sekali mengambil
sikap dan dia tetap memperlihatkan kasih sayang dan sopan-santun
bagaikan seorang kakak seperguruan terhadap adiknya,
sungguhpun beberapa kali ia memperlihatkan sikap dan
mengeluarkan kata-kata yang menyinggung perasaannya sehingga
gadis itu mengerti bahwa suhengnya benar-benar cinta kepadanya,
bukan hanya cinta seorang kakak terhadap adik seperguruan,
melainkan terutama sekali cinta seorang pria terhadap seorang
wanita. Namun Hui Lian yang masih bersifat kanak-kanak itu
seakan-akan tidak merasa atau tidak tahu, dan sikapnya tetap lincah
jenaka, tidak ada perubahan sama sekali.
Tentu saja Kong Ji sama sekali tidak mengira bahwa di dalam
kepala Hui Lian yang cantik jelita itu, tersembunyi kecerdikan ayah
bundanya. Ketika malam hari itu ia diajak pergi oleh Kong Ji hatinya
318
memberontak dan perasaannya tidak mengijinkan ia pergi
meninggalkan ayah bundanya begitu saja. Akan tetapi, ketika
mendengar suara panggilan Soan Li, tiba-tiba ia melihat sikap Kong
Ji berubah.
"Sumoi, kautunggu dulu di situ, biar aku yang menghadapi Suci,"
kata Kong Ji yang cepat meloncat untuk menyambut kedatangan
Soan Li. Gadis ini merasa curiga sekali dan diam-diam ia memutar
otaknya. Ia memang jujur dan ia percaya penuh bahwa suhengnya
itu se-orang yang bersemangat gagah dan baik budinya, akan tetapi
kini ia mulai menaruh hati curiga.
"Suheng memang mempunyai sikap yang agak aneh," pikirnya
sambil mengenang segala peristiwa yang baru terjadi, "dia pandai
ilmu bahkan lebih tinggi dari aku atau Suci, akan tetapi
merahasiakan semua kepandaiannya itu, bahkan terhadap Ayah ia
berlaku pura-pura bodoh. Kemudian ia berkeras hendak
mempelajari Pak-kek Sin--ciang, benar-benar sikapnya aneh sekali.
Lebih baik aku menyelidiki dan kebetulan ia mengajak aku pergi
melakukan tugas membasmi musuh-musuh besar, alangkah baiknya
kalau aku ikut dan diam-diam memperhatikan semua sepak
terjangnya. Kalau ia memang baik dan Suci yang salah sangka,
berarti aku menjadi saksi akan kebaikannya itu, dan sebaliknya
kalau ternyata ia berbahaya dan jahat, mudah aku turun tangan'"
Demiklanlah, Hui Lian mengambil keputusan untuk ikut dengan
Kong Ji. Dengan adanya perasaan ini di hati Hui Lian maka biarpun
luarnya kedia orang muda ini kelihatan akur sekalI, namun mereka
menyimpan suara hati dan rahasia masing-masing.
Akan tetapi, di sepanjang perjalanan itu, selama berpekan-pekan
sampai berbulan-bulan, Kong Ji selalu memperlihatkan sikap yang
amat baik dan tidak ada tanda-tanda bahwa ia mempunyai niat
jahat. Setiap kali bermalam di sebuah kota, mereka selalu menyewa
dua buah kamar di rumah penginapan dan tak pernah pemuda itu
memperlihatkan sikap tidak sopan.
Akan tetapi terjadilah hal-hal di luar tahunya Hui Lian. Gadis ini
merasa heran ketika pada suatu pagi, setelah mereka meninggalkan
kota di mana mereka menginap dalam sebuah hotel, tahu tahu
pemuda itu mempunyai sekantong uang emas.
319
"Suheng, dari mana kau mendapatkan uang begitu banyak?"
tanyanya terheran-heran.
Kong Ji tersenyum. "Malam tadi aku tidak dapat tidur, Sumoi, dan
melihat kamarmu sudah gelap dan sunyi, aku tidak berani
mengganggu dan keluar seorang diri untuk berjalan-jalan dan
melihat-lihat. Ketika aku sedang berjalan di bagian yang sunyi, tibatiba
aku melihat berkelebatnya bayangan hitam atas genteng. Aku
bercuriga dan cepat mengejarnya. Dia itu seorang yang memakai
kedok hitam dan membawa pedang. Ternyata dia seorang maling
yang pandai, maka aku lalu membekuknya, mengancam agar dia
tidak melakukan pencurian lagi. Ia tunduk kepadaku dan sebagai
tanda takluk, ia menyerahkan kantong ini kepadaku." Kong ji
tertawa gembira. "Kebetulan sekali karena memang kita
membutuhkan bekal dalam perjalanan ini."
"Akan tetapi uang itu uang curian, Suheng!"
"Belum tentu, dan kalau sekiranya memang betul demikian,
bukan kita yang mencurinya. Misalnya ini uang curian, tentu yang
kecurian seorang hartawan besar yang takkan terasa diambil
hartanya hanya sekian ini. Bukankah sudah biasa para pendekar
perantau kalau kekurangan bekal suka mengambil dari milik
hartawan yang jahat?"
Hui Lian tidak berkata apa-apa lagi hanya ia merasa menyesal
mengapa tidak ikut menghadapi peristiwa itu. Baiknya mereka pagipagi
sudah meninggalkan kota, kalau tidak tentu Hui Lian akan
mendengar kabar yang menggegerkan, bahwa semalam rumah
seorang hartawan didatangi penjahat yang selain mengambil uang
emas hartawan itu juga mengambil nyawa hartawan itu tanpa
alasan. Kalaupun ia mendengar berita ini, tentu tidak akan mengira
bahwa yang membunuh dan mencuri uang itu sebetulnya adalah
Kong Ji sendiri.
Apakah sebenarnya yang terjadi? Memang Kong Ji keluar dari
kamarnya, mempergunakan kepandaiannya untuk berjalan di atas
rumah-rumah orang, dan tiba-tiba ia melihat sinar terang di rumah
seorang hartawan. Rumah itu besar dan indah dan lapat-lapat
terdengar suara nyanyian wanita diiringi oleh tetabuhan yang
merdu. Kong Ji tertarik lalu mengintai dari atas genteng yang tinggi
320
sekali. Kiranya hartawan yang sudah setelah tua itu sedang
menghibur diri di atas loteng dihibur oleh isteri-isterinya yang lima
orang jumlahnya. Isteri-Isteri inilah yang bernyanyi dan menabuh
gamelan.
Entah mengapa, tiba-tiba Kong Ji merasa iri hati dan benci
kepada hartawan itu, kebencian yang timbul dalam hatinya tanpa
sebab-sebab yang ia ketahui. ia hanya benci sekali melihat
kesenangan yang dimiliki oleh hartawan itu, apalagi kalau
memikirkan nasib sendiri yang semenjak kecil tidak pernah
mengalami kesenangan sama sekali. Menurutkan perasaan yang
timbul tiba tiba Kong Ji melayang turun, tanpa banyak cakap ia
memukul kepala hartawan itu dengan kepalan tangan sehingga
tanpa dapat berteriak lagi hartawan itu roboh binasa dengan kepala
pecah. Kemudian, entah apa yang menyebabkannya, Kong Ji
mencabut pedangnya, digerak-gerakan di sekitar leher lima orang
wanita yang tadi menghibur hartawan itu. Karuan saja para wanita
yang sudah merasa ngeri melihat pembunuhan itu, kini menjadi
ketakutan sampai mereka roboh pingsan, karena mengira, bahwa si
pedang itu akan menebas leher merekai Kon Ji tertawa bergelakgelak
merasa lucu sekali, kemudian ia memeriksa ke dalam kamar
hartawan itu dan menggondol pergi sekantong uang emas.
Memang semenjak kecil, di dalam diri Kong Ji mengalir watak
yang amat aneh yang membikin dia seakan-akan merasa gembira
dan senang sekali kalau melihat orang mengalami penderitaan.
Akan tetapi ia dapat menyembunyikan perasaan yang ganjil ini
dengan selimut sikap yang sewajarnya, bahkan sikap seorang yang
amat baik hati. ia dapat menangis tersedu sedu, dapat bicara halus
dan lemah lembut, dan dapat kelihatan terharu dan sebagainya.
Namun di lubuk hatinya, selalu terkandung perasaan iri hati dan
dengki melihat orang lain bahagia dan selalu ia rindu akan
penglihatan menyedihkan yang menimpa diri orang lain.
Perasaannya terhadap Soan Li, yang sudah menarik hatinya,
yang membuat rindu dan tergila-gila, dan selalu ditahan-tahannya,
mendatangkan penyakit lain dalam lubuk hatinya. Mendatangkan
atau membangkitkan nafsu buruk, nafsu hewani dan yang membuat
ia mempunyai watak seperti orang jai-hwa-cat (penjahat pemetik
bunga). Oleh karena itu, di waktu malam, kalau Hui Lian yang tidak
321
menyangka sesuatu sudah pulas di dalam kamarnya sendiri,
pemuda ini pergi pada tengah malam dan kembali menjelang fajar.
Dan pada keesokan harinya, tentu ada kehebohan di dalam kota
atau dusun itu karena seorang wanita cantik kedapatan tewas atau
membunuh diri di dalam kamarnya sendiri!
Namun Hui Lian sama sekali tidak tahu akan hal ini dan masih
mengira bahwa suhengnya itu bukanlah seorang jahat sebagaimana
sangkaan Soan Li. Sampai pada suatu malam terjadi hal yang
menimbulkan kecurigaan hati gadis itu.
Ketika itu, mereka telah tiba di kota Keng-sin-bun di kaki Bukit
Mao-san. Ketika hendak memasuki pintu kota itu, mereka berdua
bertemu dengan serombongan orang berkuda dan ternyata bahwa
mereka itu adalah serombongan piauwsu (pengantar barang) yang
sedang mengawal sebuah kereta. Di dalam kereta itu kelihatan dari
balik tirai, kepala seorang wanita muda yang cantik bersama
seorang laki-laki yang dari pakaiannya menunjukkan bahwa dia
seorang pembesar. Rupa-rupanya mereka baru saja meninggalkan
Keng-sin-bun dan hendak pergi jauh dan agaknya mereka
membawa barang-barang berharga pula, buktinya piauwsu yang
mengawal mereka sampai belasan orang jumlahnya.
Hui Lian tidak begitu memperhatikan mereka, akan tetapi tibatiba
ia tertarik sekali oleh gerakan tangan Kong Ji yang seakan-akan
melambaikan tangannya ke arah kuda. Terjadilah hal yang
menimbulkan keributan karena dua ekor kuda yang menarik kereta
itu tiba-tiba meringkik dan berjingkrak-jingkrak! Pengemudi kereta
mencoba untuk menarik kendali kuda dan menenangkan sepasang
binatang yang mengamuk itu, namun sia-sia, bahkan kuda-kuda itu
lalu kabur tak terkendalikan lagi! Pembesar dan isterinya yang
berada di kereta berteriak-teriak minta tolong, sedangkan belasan
orang piauwsu itu lalu membedal kuda mengejar.
Hui Lian tadinya masih duduk di atas kudanya dengan bengong
karena ia masih belum tahu apakah yang terjadi, akan tetapi tibatiba
ia menjadi pucat ketika ia melihat wajah suhengnya, Kong Ji
seperti orang tertawa bergelak-gelak, mulutnya terbuka dan
bergerak-gerak, matanya bersinar-sinar akan tetapi tidak ada suara
keluar dari mulutnya. Melihat keadaan suhengnya ini berdirilah bulu
322
tengkuk Hui Lian. Muka suhengnya begiu berubah pada saat itu
sehingga ia tentu takkan mengenalnya kalau tidak yakin betul
bahwa pemuda yang kini mukanya demikian mengerikan adalah
Kong Ji.
Sementara itu, kereta yang dibawa kabur oleh kuda-kuda yang
marah itu mulai miring dan hampir terguling. Hui Lian melihat ini
lalu membedal kudanya dengan cepat sekali. Ia melalui beberapa
orang piauwsu, kemudian setelah dekat dengan kereta, secepat kilat
Hui Lian meloncat. Sekali loncatan saja sudah berdiri di tempat
pengemudi yang sedang duduk dengan muka pucat memegangi
kendali tanpa berdaya lagi. Hui Lian merampas kendali,
mempergunakan lweekangnya yang disalurkan pada kendali-kendali
itu, menycntak kuda dan sepasang kuda itu tak dapat menahan
tenaga hebat ini. Mereka terpaksa menghentikan larinya dan
mengangkat kaki depan tinggi-tinggi, mengeluarkan suara
meringkik-ringkik dan keringat mereka membasahi punggung dan
paha.
Para piauwsu cepat-cepat membuka pintu kereta dan menolong
bangsawan dan isterinya turun dari kereta, sedangkan piauwsupiauwsu
lain lalu memegang kendall, kuda di dekat hidung. Hui Lian
meloncat turun dan ketika ia menghampiri kuda, ia menjadi kaget
bukan main. Ternyata bahwa pada leher kuda itu kelihatan tandatanda
menghitam. Tanda ini hanya dapat didatangkan oleh pukulan
Tin-san-kang yang hebat.
Suami isteri bangsawan itu menghampiri Hui Lian dan hendak
menjatuhkan diri berlutut, namun Hui Lian memegang tangan
wanita cantik tadi dan berkata,
"Sudahlah, tak perlu banyak melakukan sungkan. Lebih baik
suruh orang mengganti kuda dan melanjutkan perjalanan."
Akan tetapi, melihat isterinya pucat dan menggigil ketakutan
setelah mengalami peristiwa tadi, pembesar yang usianya sudah tua
itu berkata,
"Tak usah diteruskan sekarang. Perjalanan ditunda dan mari kita
bermalam di Keng-sin-bun menghilangkan kekagetan."
323
Para piauwsu memandang kepada Hui Lian dengan penuh
kekaguman. Seorang di antara mereka, yang tertua dan yang
membawa golok di pinggangnya, menjura dan berkata,
"Lihiap sungguh mengagumkan sekali. Kami berterima kasih atas
pertolongan Lihiap. Kami adalah piauwsu-piauwsu dari Bu-cin-pang
dan bolehkah kami mengetahui nama Lihiap yang mulia?"
Sebelum Hui Lian menjawab, Kong Ji sudah membalapkan
kudanya menghampiri tempat itu sambil berkata, "Ha, aku
mendengar bahwa Bu-cin-pang adalah perkumpul orang-orang
gagah, tidak tahunya yang mengawal kereta ini hanya gentonggentong
kosong belaka," ia berpaling kepada pembesar itu sambil
berkata, "Taijin, kalau kau melakukan perjalanan jauh bersama
puterimu, kalian akan mengalami bencana, karena pengawalpengawal
ini sama sekali tidak becus!"
Pembesar itu menjadi merah mukanya. Wanita muda yang cantik
itu adalah isterinya, akan tetapi oleh Kong Ji disebut "puterimu"!
Akan tetapi, biarpun para piauwsu menjadi pucat dan marah sekali
mendengar ejekan ini, Kong Ji tidak pedulikan mereka, bahkan lalu
berkata kepada Hui Lian, "Sumoi, hayo pergi"
Mendengar pemuda tampan itu menyebut "sumoi" kepada Hui
Lian, para piauwsu terpaksa menahan marah mereka. Baru
sumoinya saja demikian lihai apalagi suhengnya.
Adapun Hum Lian yang terheran-heran dan tidak senang atas
sikap suhengnya, tidak mau bercekcok dengan Kong Ji di depan
orang maka ia hanya mengagguk kepada mereka dan melompat ke
atas kudanya menyusul Kong Ji.
"Suheng, mengapa kau begitu kasar terhadap mereka?"
Kong Ji tersenyum manis ketika menoleh kepada Hui Lian dan
gadis ini kembali teringat betapa jauhnya perbedaan wajah ini
dengan tadi ketika kereta itu kabur. "Sumoi kaumaksudkan terhadap
piauwsu-piauwsu tadi?"
"Ya, mereka tidak mengganggumu, mengapa kau menghina dan
mengejek?"
324
"Sumoi yang baik, apakah kau tadi tidak mendengar bahwa
mereka itu adalah piauwsu-piauwsu dari perkumpulan Bu-cin-pang?"
"Habis mengapa?"
"Ah, kau tidak mengerti, Sumoi. Ho-san-pai yang kelihatan dari
sini itu yang menjulang tinggi di sana. Tahukah kau mengapa Hoasan-
pai rusak binasa?”'
"Ya, sudah kudengar penuturanmu dari orang-orang Im-yang-bupai."
"Akan tetapi yang membawa naik orang-orang Im-yang-bu-pai
adalah ketua dari Bu-cin-pang yang bernama Sian pian Giam-ong
Ma Ek ini, atau lebih tepat perkumpulan Bu-cin-pang, pernah
bentrok dengan Suheng Lie Bu Tek dan karenanya ketika orangorang
Im-yan bu pai hendak menyerbu ke Hoa-san-pai. Ma Ek yang
menjadi penunjuk jalan. Dengan demikian berarti bahwa Bu-cin-pai
termasuk musuh-musuh dari Hoa-san-pai yang harus kuberi
pengajaran. Inilah sebabnya mengapa aku tadi bersikap kasar
terhadap mereka."
Hui Lian menarik napas lega. Setelah mendengar ini, ia tidak
dapat menyalahkan suhengnya karena memang sudah sepatutnya
Bu-cin-pang dibalas untuk menebus dosa mereka terhadap Hoa-sanpai
dan terutama sekali atas kematian Liang Gi Tojin dan terlukanya
Lie Bu Tek.
Akan tetapi ia masih teringat akan pukulan Tin-san-kang kepada
sepasang kuda itu, dan tentang perubahan air muka Kong Ji, maka
sambil memandang kagum ia bertanya lagi,
"Akan tetapi, apakah kesalahan pembesar dan isterinya yang
duduk di dalam kereta?"
"Mereka mengapa'"
"Suheng, jangan berpura-pura. Aku tahu bahwa kau memukul
kuda-kuda itu dengan pukulanmu dari jauh."
Kong Ji memang terkejut dalam hatinya, namun pada mukanya
tidak terbayang sesuatu, bahkan ia tersenyum dan sepasang
matanya berseri.
325
"Sumoi, kau benar-benar lihai dan matamu amat awas! Pukulan
itu aku lakukan dengan sengaja karena hendak kupermainkan orang
orang Bu-cin-pang itu. Aku takkan mencelakakan suami isteri itu,
karena andaikata kau tidak turun tangan, aku tentu akan menolong
mereka."
Kembali alasan ini masuk di akal dan Hun Lian tentu akan merasa
puas kalau saja tadi ia tidak melihat muka Kong Ji yang
menyeramkan.
"Akan tetapi mengapa kau sengaja menyebut isteri bangsawan
itu sebagai puterinya? Mengapa harus membuat diaI malu?"
Kong Ji tertawa geli. "Sumoi, kaulihat. Bangsawan itu usianya
sudah lima puluh tahun lebih, sedangkan isterinya masih begitu
muda. ia tentu bukan seorang bangsawan yang baik. Siapa tahu ia
adalah seorang di antara golongan bangsawan yang setelah
melakukan korupsi besar-besaran, lalu melarikan diri bersama
isterinya yang amat muda. Apa salahnya menggodanya agar ia tahu
diri?"
Mau tidak mau Hui Lian tersenyum mendengar ini. Kecurigaannya
lenyap dan ia hanya masih merasa seram kalau mengingat
perubahan wajah pemuda itu tadi.
Mereka masuk ke kota Keng- sin-bun dan menyewa dua kamar
yang letaknya agak berjauhan, terhalang oleh dua taman yang
sudah diisi oleh tamu lain. Dua orang saudara seperguruan ini lalu
membersihkan diri dan memesan makanan. Akan tetapi pada saat
itu, terdengar suara berisik di luar dan ternyata bahwa rombongan
tadi telah memasukl pekarangan hotel.
"Cu-taijin telah datang kembali..." terdengar pelayan berseru.
Lalu terdengar suara pembesar itu. "Ya, kami akan bermalam di
sini lagi untuk satu dua malam. Sediakan kamar yang bersih."
Muncullah pembesar itu bersama isterinya yang muda dan cantik.
Melihat Kong Ji dan Hui Lian sedang duduk di depan meja makan,
pembesar itu nampak gembira, akan tetapi ia mengelakkan pandang
mata Kong Ji.
"Ah, Lihiap kau pun bermalam di sini?I" katanya gembira.
326
Hui Lian berdiri. "Taijin, harap kau berdua tidak banyak
mengalami kekagetan."
Tiba-tiba Kong Ji juga berdiri dan berkata, "'Taijin, Hujin
(Nyonya), mari makan bersama kami."
Mendengar pemuda itu menyebut "hujin" kepada ‘jsterinya,
pembesar itu hilang kemendongkolan hatinya dan ia menghampiri
meja mereka sambil menuntun tangan isterinya.
"Ah, kebetulan sekali, kami pun belum makan. Apa? Kalian
menjamu kami. Tak mungkin. Heei, pelayan! Lekas sediakan meja
dengan lengkap, datangkan hidangan yang paling enak untuk empat
orang"
Pembesar itu lalu menarik tangan isterinya dan mengajaknya
duduk di depan meja itu. Sikapnya amat ramah-tamah dan isterinya
yang ternyata memang cantik itu tidak likat-likat lagi melihat
keramahan Hui Lian kepadanya.
"Jiwi yang gagah, perkenalkanlah, aku adalah Cu Hian, tadinya
menjadi Tihu di Kian-kang, akan tetapi sekarang sudah pensiun dan
hendak kembali ke selatan bersama isteriku, hendak hidup tenteram
di dusun menunggu sawah." ia tertawa puas. "Bolehkah kami
mengenal nama jiwi yang gagah?"
"Aku Ta Kauw dan ini Sumoiku Bi Hoa" Kong Ji menjawab cepat
sebelum Hui Lian menjawab. Diam-diam Hui Lian merasa geli sekali
akan jawaban ini, Suhengnya benar-benar kadang-kadang suka
berjenaka dan juga aneh. Menyebut diri sendiri dengan nama Ta
Kauw (Pemukul Anjing), dan baiknya ia diberi nama Bi Hoa (Bunga
Cantik) sehingga Hui Lian tidak berkecil hati.
Pembesar itu nampak tercengang, karena nama yang
diperkenalkan ini memang agak aneh terdengarnya. Akan tetapi ia
tersenyum dan memandang kepada Hui Lian.
"Lihiap benar-benar gagah perkasa. Kalau tidak mehhat sendiri,
siapa dapat percaya bahwa seorang dara semuda lihiap dapat
melakukan hal yang hebat itu?"
Hui Lian mengucapkan kata-kata merendahkan diri. Hidangan
datang dan mereka makan minum dengan gembira. Ternyata bahwa
327
biarpun sudah tua, pembesar itu. pandai sekali bergaul dan amat
gembira. Selain ini ia amat mencinta isterinya, sehingga dalam
makan minum ini, dengan penuh perhatian ia menyumpit potonganpotongan
daging yang paling baik untuk dimasukkan ke dalam
mangkok di depan isterinya. Mulutnya tiada hentinya menghibur
isterinya ini supaya jangan gelisah, supaya makan agar jangan sakit
dan sebagainya.
Setelah makan minum selesai, pembesar itu minta maaf kepada
Kong Ji dan Hui Lian, menggandeng tangan isterinya dan berkata,
"Isteriku baru saja mengalami kekagetan, harap jiwa maafkan, kami
hendak beristirahat."
Setelah mereka pergi, Kong Ji nampak murung. Diam-diam Hui
Lian memperhatikan dan kemudian ia tidak tahan untuk tidak
bertanya.
"Kau mengapa, Suheng? Agaknya tidak senang hatimu...."
"Bukan tidak senang, Sumoi, hanya aku berduka memikirkan
nasib diriku. Melihat suami isteri tadi... mereka begitu rukun dan
saling mencinta... aah..." ia memandang tajam kepada Hui Lian
dengan pandang mata penuh arti.
Merahlah wajah Hut Lian. ia bangkit dari duduknya dan
mengalihkan percakapan, "Suheng, aku pun hendak mengaso
sebentar. Perjalanan tadi, telah membikin mataku agak pedas
mungkin banyak debu membikin kotor mata." ia lalu meninggalkan
suhengnya, masuk ke dalam kamarnya.
Akan tetapi ternyata Kong Ji mengikutinya dan kini berdiri di
pintu. "Boleh aku masuk, Sumoi?"
"Mengapa tidak? Asal daun pintu kau biarkan terbuka."
Kong Ji melangkah masuk dan duduk diatas bangku. Hui Lian
duduk di atas pembaringan.
"Suheng," kata Hui Lian tidak enak melihat pemuda itu diam saja,
"kau pergilah ke kamarmu, lebih baik kita mengaso dulu."
Akan tetapi Kong Ji tidak bergerak dari tempat duduknya dan
menatap wajah sumoinya dengan mata penuh kerinduan. "Sumoi,
328
apakah kau tidak mau bersikap agak manis kepadaku? Sumoi, kau
tahu akan perasaan hatiku kepadamu, kau tahu bahwa aku amat
rindu kepadamu, aku... aku...."
"Hush, Suheng, aku tidak suka bicara tentang ini, sekarang
bukan waktunya!” Hui Lian mengerutkan keningnya.
Kong Ji menundukkan mukanya, kelihatan sedih sekali sehingga
tak terasa pula Hui Lian menjadi terharu. Demikian pandai, pemuda
itu menarik mukanya sehingga nampak amat berduka dan putus
asa.
"Memang aku Liok Kong Ji semenjak kecil bernasib buruk.
Pembesar bandot tua itu,
tukang korupsi dan manusia
tiada guna masih lebih bahagia
dari padaku. Ada seorang
wanita yang mencintaya, akan
tetapi aku... hanya kebencian
yang ada dalam dada semua
wanita terhadapku...."
"Suheng jangan bicara
begitu, kau mengasolah di
kamarmu. Tenangkan
pikiranmu dan jangan berpikir
yang tidak-tidak."
Kong Ji, berdiri, kelihatan
lemas. 'Maaf, Sumoi, aku tadi
melantur. Akan tetapi aku tidak
akan beristirahat, aku harus
pergi ke Bu-cin-pang untuk menagih hutang lama. Kau mau
ikutkah?"
Tentu saja Hu, Lian tidak mau ditinggalkan dalam urusan ini, ia
segera berkemas dan tak lama kemudian berangkatlah mereka
berdua menuju perkumpulan Bu-cin-pang. Dengan mudah saja
mereka mendapat keterangan di mana adanya rumah perkumpulan
ini.
329
Rumah perkumpulan Bu-cin-pang atau Bu-cin-pai adalah rumah
perkumpulan yang besar dan megah, karena memang perkumpulan
ini yang paling besar dan berpengaruh di dalam kota itu. Sebagaimana
pembaca masih ingat, di dalam permulaan cerita ini, telah
dituturkan serba sedikit tentang Bu-cin-pang yang mengeluarkan
barongsai yang kemudian menjagoi dan betapa timbul bentrokan
antara Bu-cin-pang dan tiga pengemis dari Hek-kin-kai-pang.
Kemudian Lie Bu Tek membela para pengemis itu, mengalahkan
orang orang Bu-cin-pang sehingga Hoa-san-pai dimusuhi oleh Bucin-
pang.
Kong Ji dan Hui Lian tiba di depan gedung itu. Hui Lian ikut
dengan suhengnya, bukan semata-mata karena ingin menghadapi
urusan pembalasan sakit hati, juga ia ingin menyaksikan sepak
terjang Kong Ji dan ingin menjaga agar suhengnya itu tidak terlalu
ganas.
"Suheng, menurut penuturanmu itu, yang bersalah dan berdosa
terhadap Hoa-san-pai, hanyalah Ma Ek itu. Maka harap kau suka
maafkan anggauta-anggauta lain yang tidak berdosa," pesannya
ketika mereka pergi ke rumah perkumpulan ini.
Kong Ji hanya mengangguk.
Beberapa orang anggauta Bu-cin-pang melihat kedatangan
mereka. Di antara mereka terdapat orang-orang yang tadi
mengawal kereta pembesar Cu, maka melihat kedatangan Hui Lian,
mereka benar-benar menyambut dengan muka berseri. Akan tetapi
melihat Kong Ji, merek:a bersikap dingin.
"Lihiap, ini merupakan kehormatan besar sekali bagi Bu-cinpang,"
kata seorang di antara mereka kepada Hui Lian.
"Jangan banyak cerewet!" Kong Ji memotong. "Lekas panggil
keluar Si Moyet Tua Ma Ek!"
Orang-orang itu melongo, kemudian mereka menjadi marah
sekali. Seorang di antara mereka melangkah maju menghadapi
Kong Ji dan berkata tak senang "Sahabat, mengapakah kau bersikap
begini tidak patut terhadap kami? Tadi kau sudah menghina kami
dan kami diam saja karena kami mengingat akan pertolongan Lihiap
ini, sekarang kau datang-datang memaki ketua kami."
330
"Jangan banyak cakap, lekas panggil bangsat tua Ma Ek kesini,
aku mau bicara'" kata Kong Ji dan kedua tangannya digerakkan
secara sembarangan ke depan, akan tetapi akibatnya empat orang
anggauta Bu-cin-pang seperti tertiup badai dan terlempar ke kanan
kiri.
Keadaan menjadi rebut, sebagian menjauhkan diri dan ada
beberapa orang lagi berlari masuk ke dalam. Kong Ji tersenyum
kepada Hui Lian melihat gadis ini agak khawatir kalau-kalau Kong Ji
menyebar maut.
Akan tetapi, setelah anggauta Bu-cin pang yang berlari masuk
tadi keluar lagi, mereka bukan mengiringkan ketua Bu cin-pang,
melainkan seorang pemuda berusia dua puluh tahun lebih, bertubuh
tinggi besar dan bersikap gagah. Pemuda ini adalah putera dari Ma
Ek bernama Ma Hoat. ia menjura kepada Hui Lian karena ia sudah
mendengar dari anak buahnya tentang kegagahan nona ini,
kemudian ia menghadapi Kong Ji.
"Siapakah yang ingin bertemu dengan Ma-lo-pangcu (Ketua Ma)'"
tanyanya ragu-ragu.
Kong Ji maju selangkah. "Aku Toat-ma-beng (Pencabut Nyawa
Kuda) hendak bertemu dengan Lo-ma (Kuda Tua), di mana dia?"
Dengan kata-kata ini, terang sekali Kong Ji menghina Ma Ek. Nama
keturunan Ma Ek adalah Ma atau boleh diartikan kuda, maka
dengan menyebut diri Pencabut Nyawa Kuda, jelas bahwa ia datang
hendak memusuhi Ma Ek.
Merahlah wajah Ma Hoat mendengar ini. "Kau ini manusia kurang
ajar sekali. Ayahku Siang-pian Giam-ong (Raja Maut Senjata
Sepasang Ruyung) bukan orang orang boleh dipermainkan dan aku
puteranya, Tiat-jiu (Si Tangan Besi) Ma Hoat juga tidak suka
menelan hinaan orang begitu saja. Ayah sedang keluar kota, dan
kau mau apakah?"
Kong Ji mengeluarkan ketawa kecil, lagaknya menghina sekali.
"Hem, kau kuda kecil jangan banyak berlagak. Ketahuilah bahwa
Ayahmu itu dosanya sudah setinggi bukit dan aku datang untuk
mencabut nyawanya."
331
"Bedebah!" Ma Hoat tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia
memaki dan cepat menerjang maju dengan sepasang "tangan
besinya"!
Akan tetapi mana bisa ia melawan Kong Ji. Andaikata ada seratus
Ma Hoat, kiranya takkan mudah merobohkan Kong Ji. Maka semua
orang Bu-cin-pang terheran-heran ketika terdengar suara "duk' dan
biarpun mereka melihat jelas betapa kepalan tangan kanan dari Ma
Hoat dengan tepat mengenai dada Kong Ji, namun bukan pemuda
ini yang roboh melainkan Ma Hoat sendiri yang terpental ke
belakang lalu jatuh bergulingan sampai lima kali.
Ma Hoat berdiri sambil meringis kesakitan.
"Masih ada yang gatal tangan hendak memukulku? Boleh, hayo
silakan maju!” Kong Ji menantang sambil melangkah maju dan
membusungkan dadanya.
Ma Hoat dan kawan-kawannya otomatis melangkah mundur
ketakutan. Akan tetapi dengan mendongkol sekali Ma Hoat berkata,
"Kau lihai sekali, akan tetapi siapakah kau dan mengapa kau
memusuhi kami? Mengakulah terus terang agar kelak dapat kami
laporkan kepada Ayah kalau ia datang."
"Hem, tikus-tikus bernyali kecil...." kata Kong Ji dan ketika Hui
Lian melihat suhengnya itu menggerak-gerakkan tangan
mengerahkan tenaga Tin-san-kang seakan-akan siap untuk
menyebar pukulan ia cepat berkata,
"Suheng tidak perlu membunuh orang yang tidak berdosa. Ma Ek
tidak ada, biarlah lain kali datang lagi."
Kong Ji menoleh kepada sumoinya, kemudian ia tersenyum
kepada para anggauta Bu-cin pang. "Kau dengar itu? Kalau tidak
taat kepada Sumoiku yang berhati emas, kalian sudah hancur
seperti ini!" ia menggerakkan kedua tangan memukul ke atas di
depannya dan "bra braak!" papan nama Bu-cin-pang berikut
sebagian payon rumah di depan jatuh berantakan ke bawah.
Ma Hoat dan kawan-kawannya menjadi pucat mereka tak
bergerak seperti patung memandang kepada dua orang saudara
seperguruan itu yang meninggalkan mereka.
332
Tiba-tiba Kong Ji menoleh kepada Ma Hoat dan berkata, "Kalau
kau masih penasaran, aku bermalam di hotel Sen an-koan, di kamar
nomor tujuh!"
Setelah jauh dari situ, Hui Lian bertanya heran, "Suheng, nomor
kamar adalah sembilan dan nomor kamarku belas. Kamar nomor
tujuh adalah kamar Cu-taijin dan isterinya. Mengapa menyebut
nomor kamarmu nomor tujuh?
Kong Ji tersenyum dan berkata, "Begitukah? Ah, aku sudah lupa
lagi akan nomor kamar-kamar kita, Sumoi. Akan tetapi tidak
mengapa, kukira mereka takkan begitu goblok untuk datang ke
hotel Seng-an-koan."
Biarpun mulutnya bicara demikian, namun sesungguhnya Kong Ji
ketika memberitahukan tempat menginap tadi ia mengandung
maksud yang amat mengerikan. Memang otak pemuda ini, dapat
merangkai dan mengatur siasat secara kilat, yang bagi orang lain
merupakan siasat yang masak selama berhari-hari. Tentu saja Hui
Lian sudah puas dengan jawaban itu dan tidak mengira sama sekali
bahwa pada malam hari itu akan terjadi hal-hal yang amat
menyeramkan di kamar tujuh hotel Seng-an-koan....... .
Sukar sekali untuk mengikuti jalan pikiran Kong Ji, juga amat
sukar untuk nengenal dan mengerti wataknya yang amat aneh.
Pemuda ini, kalau dilihat dan didengar begitu saja, nampak seperti
seorang pemuda tampan dan halus, sopan dan lemah lembut tutur
katanya, bahkan kadang-kadang kelihatan seperti seorang yang
amat baik hati. Akan tetapi, hanya iblis yang mengetahui keadaan di
dalam ruang kepala dan dadanya. Ruang dadanya penuh dengan
hawa dan nafsu jahat, penuh dendam dan dengki, iri hati dan suka
melihat orang lain menderita. Kepalanya penuh dengan siasat-siasat
busuk yang amat cerdik dan licik, penuh dengan kecerdikan yang
langka, sehingga boleh jadi pikiran pemuda aneh ini sudah
mendekati kegilaan.
Malam hari itu Hui Lian tidak dapat tidur. Ia memikirkan keadaan
suhengnya. Mulai tampak olehnya keanehan watak suhengnya itu,
dan kalau ia ingat betapa suhengnya menyatakan cinta kasih begitu
terus terang ia merasa terharu, juga kasihan dan bingung. Ia sendiri
suka kepada Kong Ji, akan tetapt ia tidak tahu apakah dia cinta
333
kepada pemuda itu atau tidak. Memikirkan bahwa suhengnya
menjadi suaminya, bagi Hui Lian adalah hal yang amat tidak
mungkin, hal yang amat memalukan, hal yang tidak disukanyai.
Tentu saja gadis yang masih muda ini belum dapat membedakan
antara suka dan cinta, bahkan ia masih belum tahu apakah
sebetulnya cinta kasih itu.
Kemudian ia teringat akan ayah bundanya dan mengalirlah air
mata Hui Lian teringat kepada ibunya dan merasa amat rindu.
Mengapa ia telah berlaku lancang, minggat dari rumah bersama
Kong Ji?. Akan tetapi ketika ia teringat akan percakapan antara ayah
bundanya dan Soan Li sucinya, hatinya menjadi panas dan ia
merasa kasihan kepada Kong Ji. Selama ini, ia tidak mendapat bukti
kebenaran tuduhan Soan Li terhadap Kong Ji. Sudah jelas bahwa
suhengnya itu seorang gagah yang berjiwa pendekar.
Menjelang tengah malam, barulah Hui Lian dapat tidur pulas.
Akan tetapi tidak lama ia tidur nyenyak karena tiba-tiba ia mengimpi
mendengar suara orang-orang ketawa. Suara ketawa ini demikian
aneh dan menyeramkan sehingga ia menjadi gelagapan dan
terbangun dari tidurnya. Namun, biarpun Hui Lian sudah telentang,
dengan mata terbuka lebar, masih saja ia mendengar suara ketawa
yang menyeramkan itu! Bulu tengkuk gadis ini berdiri. Selama
hidupnya belum pernah ia mendengar suara ketawa yang demikian
anehnya. Ayahnya seringkali mendapat kunjungan tokoh-tokoh
kang-ouw yang aneh-aneh, dan ada pula di antaranya mereka itu
yang suara ketawanya aneh sekali, namun tidak seperti suara
ketawa yang ia dengar pada malam ini, yang ia dengar dalam mimpi
dan juga dalam keadaan sadar! Kemudian suara itu lenyap dan kini
terdengar suara orang menangis perlahan. Hui Lian yang
mempunyai pendengaran tajam terlatih ini tahu bahwa itulah suara
seorang wanita terisak-isak ketakutan.
Karena masih terpengaruh oleh suara ketawa yang menyeramkan
tadi dan masih terheran-heran mengapa di dalam mimpi ia juga
mendengar suara itu, Hui Lian sampai lama berbaring telentang.
Setelah ia yakin betul bahwa ia sudah sadar dan bahwa suara
wanita terisak isak itu jelas terdengar keluar dari kamar Cu-taijin,
pembesar dan isterinya yang bermalam di kamar nomor tujuh hotel
itu, ia melompat turun.
334
Hui Lian menjadi serba salah. ia melompat turun dari
pembaringan dan duduk di atas bangku, mendengarkan suara isak
tangis itu. Apa yang harus ia lakukan? Ia tidak tahu mengapa
nyonya itu menangis. Apakah cekcok dengan suaminya? Apakah
yang terjadi? Memang amat mudah bagi Hui Lian untuk mengintai
ke dalam kamar nomor tujuh itu, akan tetapi ia tidak sudi mengintai
kamar di mana menginap sepasang suami isteri!
Akan tetapi, Hui Lian teringat akan sesuatu dan pucatlah dia.
Bukankah suhengnya tadi memberi tahu kepada Ma Hoat dan orang
orang Bu-cin-pai bahwa suhengnya bermalam di hotel ini di kamar
nomor tujuh? Siapa tahu kalau orang Bu-cin-pai datang menyerbu
kamar itu! Pikiran ini membuat Hui Lian cepat-cepat menyambar
pakaian luarnya, memakai pakaian itu lalu membawa pedangnya,
melompat keluar dari jendela setelah membuka daun jendela itu
perlahan- lahan. ia melompat terus ke atas genteng dan dengan
beberapa kali gerakan kaki saja ia sudah tiba di atas kamar nomor
tujuh.
Kini jelas terdengar suara isak tangis itu dan tiba-tiba terkejutlah
Hui Lian karena mendengar suara Nyonya Cu itu menjerit keras
sekali, disusul pula oleh teriakan mengaduh nyonya itu. Sebelum
hilang kagetnya, Hui Lian mendengar pula suara pembesar she Cu
itu, "Aduh... mati aku...!"
Hui Lian hendak menerjang masuk melalui jendela yang hendak
ditendangnya, akan tetapi ia mendengar suara gaduh di kamar itu,
dan terdengar pintu, tertendang roboh dan disusul suara Kong Ji.
"Bangsat she Ma, kau benar-benar berani datang mengantar
kematian?"
Cepat Hui Lian menendang jendela dan meloncat ke dalam. Ia
melihat pemandangan yang amat mengerikan sehingga biarpun ia
tabah, tetap saja gadis ini membuang muka dan tidak berani
memandang ke atas pembaringan. Di atas pembaringan itu, tubuh
Nyonya Cu yang berkulit putih dengan pakaian tidak keruan
menggeletak dengan leher putus! Juga pembesar she Cu itu
menggeletak di atas lantai dengan kepala pisah dan tubuhnya. Di
atas tempat tidur dan di lantal darah....... membanjir, menimbulkan
pemandangan yang amat menyeramkan. Ma Hoat, pemuda tinggi
335
besar putera Siang-pian Giam-ong Ma Ek, berdiri di sudut dengan
tangan kanan masih memegang sebatang golok yang berlumur
darah, dan dari cara pemuda ini berdiri, maklumlah Hui Lian bahwa
pemuda ini sudah kena ditotok oleh Kong Ji sehingga berdiri kaku
seperti patung. Namun mata pemuda she Ma itu ditujukan kepada
Kong Ji penuh kebencian. Adapun Kong Ji sendiri, telah menyalakan
lilin dan kini memegang tempat lilin, wajahnya agak pucat.
"Sayang kita terlambat, Lian-moi….” katanya perlahan ketika ia
mellhat Hui Lian melayang masuk dari jendela.
Hui Lian tak dapat berkata apa-apa pada saat itu, ia masih
terpengaruh oleh pemandangan yang amat mengerikan. Sementara
itu, dan luar terdengar tindakan kaki banyak orang yang tentu saja
tertarik oleh jerit dan teriakan tadi.
"Bangsat seperti ini harus dibikin mampus!" kata Kong Ji dan
tangan kirinya yang tadi bergerak memasuki saku bajunya,
menyambar ke arah kepala atau ubun-ubun kepala pemuda she Ma
itu. Hui Lian tidak mencegah karena memang ia juga benci melihat
kekejaman Ma Hoat.
Akan tetapi aneh, ketika jari jari tangan Kong Ji menimpa kepala
Ma Hoat, tidak terjadi sesuatu. Bahkan pemuda itu tidak kelihatan
sakit, sehingga Hui Lian menjadi heran, lalu memandang kepada
suhengnya. Akan tetapi sebenarnya Kong Ji telah melakukan
semacam pukulan keji yang ia pelajari dari See-thian Tok-ong, yakni
pukulan yang disebut pukulan "merampas ingatan" dan pukulan
perlahan ini telah merusak urat-urat saraf di antara otak sehingga
untuk selamanya pemuda she Ma ini akan menjadi lupa keadaan
atau gila! Perubahan hanya terlihat kepada sinar matanya yang tibatiba
menjadi layu dan bengong.
"Mari kita keluar, Moi moi," kata Kong Ji. Hui Lian tanpa
menjawab ikut keluar dari pintu kamar itu. Banyak orang datang di
depan pintu, dengan lampu di tangan. Juga semua pengurus hotel
datang di tempat itu.
“Telah terjadi pembunuhan hebat, pembunuhnya telah kami
tangkap dan kini berada di kamar dalam keadaan tidak berdaya.
Kalian uruslah hal ini dan serahkan pembunuh itu kepada yang
336
berwajib," kata Kong Ji senang, kemudian ia bersama Hui Lian
meninggalkan tempat itu, pergi duduk di ruang depan.
Orang-orang menyerbu masuk ke dalam kamar dan mereka
bergidik menyaksikan pemandangan yang amat menyeramkan itu.
Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika mereka melihat
bahwa yang menjadi pembunuh keji itu bukan lain adalah Ma Hoat,
seorang tokoh yang amat disegara di Keng-sin-bun. Siapakah yang
tidak kenal dengan putera dui ke-tua Bu-cin-pai ini? Akan tetapi,
mereka makin terheran-heran ketika melihat pemuda she Ma ini
tertawa ha-ha-hi-hi dan tidak dapat btrgerak, tidak melawan ketika
golok yang berlumur darah itu di ambil orang. Tubuhnya kaku dan
tidak bertenaga sama sekali. Ributlah semua orang dan urusan ini
lalu diserahkan kepada pembesar yang berkuasa di kota itu.
"Suheng bagaimanakah terjadinya itu semua?" tanya Hui Lian
kepada Kong Ji dengan suara masih menyatakan kengeriannya.
Kong Ji menarik napas panjang dan wajahnya yang tampan itu
nampak agak pucat. Kelihatannya ia menaruh hati kasihan sekali
kepada pembesar dan isterinya itu.
"Sebetulnya aku sudah tidur, akan tetapi tiba-tiba aku
mendengar suara kaki di atas genteng. Aku cepat bangun dan
bersiap sedia, karena aku mengira bahwa ada orang jahat hendak
memasuki kamarku. Ternyata aku salah duga dan sama sekali tidak
tahu bahwa bangsat she Ma itu memasuki kamar nomor tujuh.
Kemudian aku mendengar tangis nyonya muda itu sehingga aku
menjadi curiga. Cepat aku keluar dan mengintai di dalam kamar.
Remang-remang aku mehhat bahwa she Ma itu telah berada di
dalam kamar dengan golok di tangan! Aku tidak tahu apa yang ia
lakukan akan tetapi agaknya ia melakukan perbuatan yang tidak
patut dan mengancam nyonya itu dengan goloknya, sedangkan
suami tua bangka itu tidak dapat berbuat apa-apa. Mungkin nyonya
muda itu melawan, maka tiba-tiba sebelum aku dapat mencegah,
bangsat she Ma itu telah mengayun goloknya, membunuh Cu-hujin
dan suaminya. Melihat ini, aku cepat menendang daun pmtu, ia
hendak menyerang akan tetapi aku mendahuluinya, menotoknya
dan memasang lilin. Dan pada saat itulah kau menendang daun
jendela dan melompat masuk."
337
Hui Lian bergidik. ia merasa heran sekali mengapa Ma Hoat
melakukan pembunuhan ini. Agaknya Kong Ji dapat membaca apa
yang dipikirkan oleh sumoinya, buktinya pemuda ini menarik napas
dan berkata,
"Tentu ia mengira bahwa yang berada di dalam kamar itu adalah
aku dan... dan kau...."
Merah wajah Hut Lian mendengar ini -dan untuk
menyembunyikan rasa jengahiya, ia berkata mencela suhengnya.
"Semua adalah gara-garamu, Suheng. Kalau kau tidak salah
memberi tahu bahwa kamarmu nomor tujuh, suami isteri itu takkan
mengalami nasib yang demikian menyedihkan."
Kong Ji menarik muka menyesal sekali. "Memang aku yang
bodoh, mari aku pergi membasmi orang-orang Bu-cin-pai!" Ia
bangun berdiri seakan-akan hendak melaksanakan ancamannya ini,
akan tetapi Hui Lian mencegahnya. Pada saat itu, orang-orang
mengangkat jenazah Nyonya Cu untuk diurus seperlunya. Kong Ji
duduk kembali dan memandang. Bibirnya bergerak-gerak sedikit
dan hatinya berkata, "Kalau kau tidak melawan, aku takkan
membunuhmu!"
Jenazah ke dua datang digotong orang, yakni Cu-taijin yang juga
ditutup dengan kain, Kong Ji menyeringai dan hatinya berkata.
"Kalau isterimu tidak muda dan cantik, kau takkan mampus!"
Kini orang menggiring keluar pemuda she Ma yang dituduh
menjadi pembunuh kejam itu, Hui Lian semenjak tadi melihat
rombongan itu dengan hati ngeri, menjadi terheran-heran. Ma Hoat
berjalan terhuyung-huyung, kedua tangannya diikat orang dan yang
mengherankan sinar mata pemuda ini layu dan matanya terbelalak
memandang kosong ke depan, babirnya bergerak-gerak seperti
orang bicara perlahan dan kadang-kadang ia tertawa menyeringai!
"Dia telah gila..." bisik Hui Lian.
"Ya, dia gila dan tentu akan dihukum. Pembalasan yang baik
sekali bagi tokoh Bu-can-pai," kata Kong Ji.
338
Hui Lian menengok kepadanya. "Suheng kau tadi menggerakkan
tangan ke arah kepalanya, kau telah memukulnya dengan pukulan
apakah"
Kong Ji tersenyum. "Tadinya aku hendak membunuhnya karena
hatiku panas sekali melihat kekejamannya, akan tetapi aku lalu ingat
bahwa kalau aku membunuhnya, orang akan mengira aku yang
membunuh suami isteri itu, maka aku menahan tenagaku dan hanya
menepuk kepalanya. ia terluka akan tetapi tidak mati.
"Hm, kau sudah menghukum dia, Suheng. Tentu dia takkan lama
hidup."
"Entahlah, mungkin beberapa pekan..." jawab Kong Ji kurang
peduli.
Hui Lian tidak mempunyai alasan untuk tidak percaya kepada
suhengnya. Semua nampak begitu wajar. Peristiwa mengerikan itu
pun wajar. Semua orang dapat melihat bahwa Ma Hoat memasuki
kamar suami isteri itu, agaknya hendak mengganggu Nyonya Cu,
kemudian membunuh mereka. Mungkin juga tadinya Ma Hoat
mengira bahwa kamar itu didiami oleh Kong Ji dan Hui Lian. Tentu
demikian terjadinya pembunuhan itu, tak bisa lain. Hui Lian juga
percaya, hanya ia masih bingung dan terheran bagaimana Ma Hoat
yang tidak berapa tinggi kepandaiannya itu begitu berani mati untuk
datang menuntut balas!
Tentu saja Hui Lian tidak mendengar suara hati Kong Ji tadi, juga
tidak dapat melihat apa yang tersembunyi di balik senyuman wajah
tampan itu. Kalau gadis ini tahu apa yang sebetulnya telah terjadi,
mungkin ia akan roboh pingsan saking kagetnya, dan mungkin ia
akan menjauhi suhengnya seperti orang menjauhi ibis!
Tak seorang pun tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kong Ji telah
mempergunakan kepandaiannya, pada tengah malam itu ia keluar
dari kamarnya tanpa diketahui oleh siapa pun juga. Kemudian ia
mengunjungi rumah Ma Hoat, juga tanpa diketahui orang ia
memasuki kamar Ma Hoat menotok pemuda ini dan membawanya
Iari ke rumah penginapan itu, kemudian ia melompat ke dalam
kamar nomor tujuh dan melemparkan tubuh Ma Hoat ke lantai. Cutaijin
terbangun akan tetapi ia segera ditotok dan tak berdaya.
339
Dalam kegilaannya, Kong Ji yang malam itu sudah berubah menjadi
iblis, hendak mengganggu nyonya muda yang membikin dia tergilagila
karena kecantikannya. Hanya seorang iblis yang bisa melakukan
hal ini mengganggu isteri orang di depan suaminya dan di depan
orang lain! Nyonya Cu mengecewakan hatinya karena meronta dan
menangis, maka ia lalu mengambil golok yang tadi dibawanya dari
kamar Ma Hoat membabat putus leher Nyonya Cu, kemudian
membebaskan totokannya pada Cu-taijin untuk memberi
kesempatan kepada orang tua ini berteriak, membunuhnya pula
dengan golok yang masih berlumur darah itu. Kemudian, ia
menekan gagang golok ke dalam tangan kanan Ma Hoat sambil
menotoknya sehingga tubuh pemuda ini menjadi kaku!
Semua itu memang sudah direncanakan lebih dulu, bahkan telah
direncanakan ketika ia mengaku menginap di dalam kamar nomor
tujuh di hotel itu pada saat ia hendak meninggalkan Bu-cin-pai
bersama Hui Lian. Oleh karena siasat ini diatur amat licin, biar Hui
Lian sendiri kena ditipu dan sama sekali tidak menyangka bahwa
pembunuhan itu adalah perbuatan Kong Ji.
Betapapun juga, setelah terjadinya peristiwa ini, di waktu malam
Hui Lian suka gelisah. Ia mendapat perasaan bahwa kadang-kadang
suhengnya itu kelihatan amat aneh, penuh rahasia dan ada sesuatu
yang amat seram menakutkan terbayang pada diri pemuda itu.
Mereka melanjutkan perjalanan dan dalam usaha mereka mencari
Giok Seng Cu, Ba Mau Hoatsu, dan See thian Tok-ong yang menurut
Kong Ji harus dibalas, mereka makin mendekati tapal batas di
daerah utara. Memang, orang-orang kang-ouw mengabarkan bahwa
tokoh-tokoh besar pada pergi ke utara, di mana mulai panas
suasananya dengan adanya tanda-tanda memberontak dari bangsa
Mongol.
Pada suatu malam, ketika dua orang muda ini bermalam di
sebuah rumah penginapan besar di kota Potouw di lembah Sungai
Kuning, kota yang sudah mendekati perbatasan dengan Mongol,
terjadi hal ke dua yang membuat gadis ini makin berlaku hati-hati
terhadap suhengnya.
Makin ke utara, makin berkuranglah wanita-wanita cantik dan
biarpun hal ini bagi Hui Lian tentu saja tidak ada artinya, namun
340
bagi Kong Ji merupakan siksaan besar! Semenjak meninggalkan
Pulau Kim-bun-to dan melakukan perjalanan dengan Hui Lian,
secara diam-diam di luar tahu sumoinya ini, entah sudah berapa kali
Kong Ji melakukan perbuatan-perbuatan yang terkutuk. Sepak
terjangnya lebih jahat dan mengerikan daripada perbuatan seorang
jai-hwa-ciat (bangsat pemetik bunga) biasa, dan lebih kejam
daripada seorang perampok biasa. Di mana-mana ia meninggalkan
maut sebagai bekas tangannya dan semua ini di lakukan demikian
cepat dan licin tanpa meninggalkan bekas sehingga biarpun
perbuatan-perbuatannya menyebar maut di mana-mana ini
menggegerkan dunia kang-ouw, namun tak seorang yang dapat
menerka perbuatan siapakah yang demikian keji itu. Apalagi orang
lain bahkan Hui Lian yang melakukan perjalanan bersama dengan
Kong Ji, masih tidak tahu sama sekali akan segala perbuatan
pemuda ini!
Wanita-wanita utara memang tidak secantik wanita-wanita
selatan dan daerah utara ini jauh kalau dibandingkan dengan
daerah selatan yang kaya dan penuh kota-kota perdagangan. Juga
hawanya tidak menyenangkan, amat dingin sewaktu musim salju
dan luar biasa panasnya di waktu musim panas. Oleh karena ini,
Kong Ji merasa tersiksa dan setiap hari ia membujuk Hui Lian untuk
mempercepat perjalanan agar mereka segera sampai di tempat
yang mereka tuju, yakni Telaga Gasyun Nor, tempat yang terkenal
sebagai tempat berkumpulnya orang-orang Mongol di bawah
pimpinan Temu Cin yang gagah perkasa. Kong Ji dan Hui Lian
mendengar bahwa di sana banyak berkumpul orang-orang kangouw
dan kiranya di tempat inilah mereka akan dapat bertemu
dengan tokoh-tokoh yang mereka cari.
Memang mencari tokoh-tokoh yang dianggap musuh besar itu
dipergunakan oleh Kong Ji sebagai alasan, padahal sebenarnya ia
mempunyai cita-cita lain. Ia ingin mengadakan hubungan dengan
pemimpin-pemimpin orang Mongol, untuk bersekutu dengan mereka
dan mencari kesempatan mendapatkan kekuasaan dan pengaruh!
Malam hari itu, ketika berbaring di dalam kamarnya, Kong Ji tak
dapat pulas. ia gelisah sekali bergulik ke kanan kiri. Hawa di dalam
kamar panas bukan main dan beberapa kali pemuda ini
mengeluarkan suara keluhan panjang pendek.
341
Kemudian ia bangkit dari tempat tidurnya, membuka pintu
kamar. Keadaan sunyi karena waktu itu sudah menjelang tengah
malam. Rumah penginapan yang besar dan kuno itu tidak banyak
tamunya sehingga kamar-kamar banyak yang kosong. Para pelayan
sudah tidur nyenyak dan keadaan gelap. Kong Ji melompat dan
sebentar saja ia sudah berada di luar jendela kamar Hui Lian!
Untuk beberapa lama ia ragu-ragu menggeleng-geleng kepala
dan melangkah menjauhi jendela, hendak kembali ke kamarnya
sendiri. Akan tetapi kembali berhenti bertindak, menoleh dan
mendekati jendela lagi. Sampai lama ia berdiri di situ, ragu ragu dan
sangsi. Kalau orang melihat mukanya tentu akan melihat
pertentangan keras di dalam batin pemuda ini terbayang pada
mukanya, pertentangan antara dua pikiran atau dua suara yang
bertempur di dalam dadanya. Akhirnya wajahnya berubah beringas
dan sekali ia menggerakkan tangan daun jendela kamar Hui Lian
terbuka.
Kemudian tubuhnya berkelebat dan melompatlah ia memasuki
kamar itu dari jendela yang sudah terpentang lebar. Akan tetapi
tiba-tiba ia berseru kaget dan cepat mengelak ketika dari
sampingnya menyambar pedang yang hampir saja menembusi
dadanya.
"Bangsat hina dina! Apakah kau mencari mampus berani
mengganggu Nonamu?" terdengar bentakan Hui Lian.
Kong Ji merasa terkejut dan juga bingung, ia malu sekali. Cepat
ia melompat keluar akan tetapi bayangan Hui Lian mengejarnya.
Kong Ji tak dapat melarikan diri lagi dan ia berdiri sambil
menundukkan mukanya.
Ketika Hui Lian tiba di luar kamar dan melihat siapa orangnya
yang membongkar jendela kamarnya dan memasuki kamarnya tadi,
gadis ini berdiri bengong dan wajahnya sebentar pucat sebentar
merah. Dadanya berombak dan sampai beberapa lama ia tidak
dapat mengeluarkan kata-kata. Memang ia sudah menaruh hati
curiga dan setiap malam ia berlaku hati-hati sekali, tak pernah
melepaskan pakatan luar dan selalu berkawan pedang. Hal ini
adalah karena ia selalu merasa ngeri apabila teringat akan nyonya
pembesar she Cu itu. Malam itu mendengar suara jendela kamarnya
342
dibongkar orang, maka ia telah bersiap siap dia dan begitu melihat
sesosok bayangan orang melompat masuk, ia segera menyerang
dengan tusukan pedangnya. Tidak disangkanya bayangan itu lihat
sekali, di dalam lompatan masih sempat mengelak dan melompat
keluar lagi. Dan kini ternyata bahwa orang itu adalah Kong Ji.
"Suheng... apa... apa yang hendak kau lakukan tadi...?"
tanyanya, suaranya bengis, akan tetapi agak gemetar dan perlahan.
"Sumoi... kaubunuhlah aku... aku... aku merasa kesepian dan
gelisah... aku cinta, kepadamu... aku rindu kepadamu... hatiku
terslksa karena ingin dekat dengan mu... aku lupa daratan.
Ampunkan aku Sumoi, atau kau boleh bunuh saja aku..” kata-kata
ini dakeluarkan dengan suara menggetar dan dari celah-celah jari
tangan yang menutupi muka itu
mengalir butiran-butiran air mata!
Hui Lian menyarungkan
pedangnya kembali. "Suheng
mengapa kau berlaku begitu
rendah? Sungguh tak kunyana, Su
heng..." Di dalam hati Hui Lian
mulai ingat akan penuturan
sucinya, yakni Gak Soan Li tentang
watak buruk dari suhengnya ini,
penuturan yang tadinya tidak
dipercayanya, yang dianggapnya
sebagai pernyataan iri hati dan
dengki dari Soan Li.
"Sumoi, aku cinta padamu, dan
aku tak tahan lagi... karena itulah
aku menjadi gelap pikiran. Sumoi, aku bersumpah takkan
melakukan lagi. Marilah kita lekas melanjutkan perjalanan agar lekas
selesai tugas kita, kemudian kita kembali ke Pulau Kim- bun to.
Atau... kalau kau tidak percaya lagi kepadaku, cabut pedangmu itu
dan kau boleh bunuh aku, aku takkan melawan!"
Hui Lian tidak menjawab, ia tahu bahwa kalau suhengnya ini mau
melawan, ia takkan dapat menangkan terhadap suhengnya ia juga
tidak yakin benar apakah yang akan dilakukan pada saat itu.
343
Melihat gadis itu diam saja. Kong ji mencabut Pak-kek Sin-kiam
yang selalu berada di punggungnya, memberikan pedang pusaka itu
kepada Hui Lian.
"Sumoi aku bersumpah, disaksikan oleh pokiam ini, bahwa aku
takkan melakukan perbuatan itu lagi. Kau percayalah...."
"Bagaimana aku bisa yakin akan isi hatimu?" akhirnya Hui Lion
berkata lirih.
"Kalau kau sudah tidak percaya lagi kepadaku, nah, ambil pedang
ini dan kau boleh tusuk dadaku, Sumoi."
Hui Lian menggerakkan tangannya dan di lain saat pedang Pakkek
Sin-kiam sudah berada di tangannya. Kong Ji diam-diam
terkejut dan pemuda ini siap untuk menggunakan pukulan maut
kalau gadis ini menyerang. Akan tetapi Hui Lian tidak
menyerangnya, hanya memandang kepada Pak-kek Sin-kiam, lalu
berkata.
"Suheng, aku maafkan kau. Mungkin kau tadi kemasukan iblis
yang berkeliaran di daerah asing ini. Akan tetapi, sebagai hukuman,
aku merampas Pak-kek Sin-kiam. Biarlah aku yang membawa
pedang ini dan untukmu, biar kau memakai pedangku," Hui Lian
mencabut pedang dan sarung pedangnya, pedang yang juga baik
akan tetapi tentu saja kalah jauh kalau dibandingkan dengan Pakkek
Sin-kiam, lalu memberikan pedangnya kepada Kong Ji.
Gadis ini berpikir bahwa dengan pedang itu di tangan, ia takkan
khawatir lagi menghadapi Kong Ji. Hal ini pun dibenarkan oleh katakata
Kong Ji yang agaknya dapat membawa pikirannya.
"Terima kasih, Sumoi, kau memang berhati mulia. Sekarang Pakkek
Sin-kiam sudah berada di tanganmu, dengan Pak kek Kiam-sut,
tentu sewaktu-waktu kau dapat membunuhku kalau aku tidak
memegang teguh janjiku."
Hui Lian merasa lega. Memang, biar pun pemuda ini sudah
mempelajari Pak-kek Sin-ciang-hoat, akan tetapi baru teorinya
belaka dan kalau ia memegang Pak-kek Sin-kiam dan mainkan ilmu
pedang itu, apakah yang dapat dilakukan oleh Kong Ji terhadapnya?
Seujung rambut pun gadis ini tidak pernah mengira bahwa
344
jangankan dia dengan Pak-kek Sin-kiam dan ilmu pedang Pak-kek
Kiamsut, biarpun ada lima orang seperti dia, belum tentu akan
dapat menangkan Kong Ji. Pemuda ini diam-diam telah melatih
semua teori dari Pak-kek Sin-ciang, dan agaknya dalam ilmu ini ia
tidak kalah oleh Hui Lian. Apalagi dia sudah mempunyai Tin-sankang
yang hebat, sudah mempunyai ilmu silat dari See-thian Tokong
dan juga telah mendapat dasar-dasar yang kuat dari ilmu silat
Hoa-san-pai serta Kwan-im-pai, bahkan semua ini masih ditambah
lagi oleh gemblengan dari Go Ciang Le yang melatihnya dengan
sungguh-sungguh dalam ilmu silat tinggi lain kecuali Pak-kek Sinciang.
Demikianlah, perjalanan dilakukan terus dengan cepat. Mereka
mempergunakan kuda untuk melewati tapal batas dan akhirnya
tibalah mereka di Telaga Gasyun Nor atau juga disebut Cu yen-hu.
Di sekitar telaga ini terdapat tanah yang subur dan karena inilah
maka Temu Cin mempergunakannya sebagai markas besar
sementara. Di sini terdapat tempat yang subur pula, sedangkan
daerah itu sebagian besar terdiri dan padang pasir yang gundul.
Selain ini, dan telaga ini ia pun dapat melakukan perjalanan melalui
air sungai yang ada hubungannya dengan Sungai Kurang sehingga
tempat ini memang dapat disebut amat strategis.
Akan tetapi, tentu saja Temu Cin takkan menjadi seorang
pemimpin besar kalau dia tidak mempunyai siasat yang amat cerdik.
Di luarnya saja kelihatan bahwa tempat itu ia jadikan markas besar,
namun pada hakekatnya, markas besarnya dipecah-pecah dan
berada di mana-mana. ia maklum bahwa bangsanya menghadapi
banyak saingan dan musuh yang selalu mengintai dan yang
bertujuan menghancurkannya, maka ia tidak begitu bodoh untuk
memusatkan tenaga di suatu tempat. Selain ini, ia pun
menghubungi orang-orang pandai dari pedalaman, yang dibujuknya
dan diberi hadiah hadiah besar untuk membantu perjuangannya.
Ketika Hui Lian dan Kong Ji tiba di tempat itu, mereka berdua
segera dikurung oleh barisan penjaga yang tentu saja merasa
curiga. Mereka mengira bahwa dua orang muda ini tentulah
penyeldik atau mata-mata dari pemerintah Kin yang masih berkuasa
di selatan. Maka para penjaga itu mengurung dan membentak.
345
"Turun dart kuda dan menyerah! Tanpa perlawanan kami akan
menangkap kalian hidup-hidup untuk dihadapkan kepada kepala
penjaga"
Akan tetapi, mana Kong Ji dan Hui Lian takut menghadapi ini?
Kong Ji tersenyum mengejek dan berkata,
"Orang liar, tutup mulutmu yang kotor dan lebih baik kau lekaslekas
panggil keluar pemimpinmu yang bernama Temu Cin!"
Pada waktu itu, nama Temu Cin sudah amat dipandang tinggi
oleh orang-orang Mongol, sudah dianggap sebagai penjelmaan
dewata agung yang datang ke dunia untuk memimpin bangsa
Mongol. Oleh karena itu, mendengar pemuda bangba Han ini tidak
menghormati pimpinan mereka, para penjaga menjadi marah sekali.
"Manusia kurang ajar! Kau sudah berani datang di wilayah kami
tanpa ijin dan datang-datang kau bersikap kurang ajar. Apakah kau
mempunyai nyawa cadangan maka begitu tak takut mampus?"
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid XIII
PARA orang-orang Mongol itu mulai mengurung dan mereka
telah mencabut senjata. Sikap mereka mengancam sekali dan di
sana-sini terdengar teriakan orang menyuruh Kong Ji dan Hui Lan
menyerah baik-baik. Namun Kong Ji tiba-tiba tertawa bergelak dan
berkata penuh suara menyindir.
"Ha, ha, begini sajakah macamnya anak buah dari Temu Cin
yang tersohor gagah? Tidak tahunya sejajar gentong-gentong nasi
yang tiada guna'"
Tentu saja orang Mongol itu menjadi marah sekali dan serentak
mereka menyerbu. Kong Ji mencabut pedangnya dan melompat
turun dari kuda, diturut oleh Hui Lian yang menjadi bingung melihat
sikap suhengnya itu. Menurut suhengnya, mereka datang ke tempat
itu bukan saja ntuk mencari orang-orang kang-ouw yang menjadi
musuh besar, akan tetapi juga hendak bertemu dengan Temu Cin
pemimpin orang-orang Mongol yang terkenal sekali. Akan tetapi
346
mengapa sekarang suhengnya itu seakan-akan sengaja mencari
urusan?
Namun Hui Lian tidak sempat memusingkan semua ini karena
banyak sekali orang Mongol menyerang dan mengeroyoknya
sehingga ia terpaksa mencurahkan perhatiannya untuk membela
diri. Orang-orang Mongol itu ternyata rata-rata bertenaga besar dan
gerakan senjata mereka juga kuat dan cepat sekali. Akan tetapi,
oleh karena gerakan mereka itu hanya gerakan cepat dan nekad,
tidak teratur seperti gerakan ahli silat, tentu saja bagi Kong Ji dan
Hui Lian yang berilmu tinggi, mereka ini merupakan makanan yang
empuk.
Hui Lian tidak mau membunuh orang tanpa ada sebab tertentu.
Di dalam pertempuran dan percekcokan ini, di dalam hati ia
mengaku bahwa pihaknya yang salah. Ia hanya membela diri karena
ikut dikeroyok, akan tetapi ia hanya murobohkan orang tanpa
melukai berat, atau menabas kutung senjata mereka saja. Pak-kek
Sin-kiam bagaikan sebatang pisau tajam bertemu buah labu
menghadap golok dan pedang para pengeroyok itu. Setiap kali
pedang pusaka ini bertemu dengan senjata lawan, pasti senjata
lawan itu terbabat putus dengan amat mudahnya. Oleh karena
kejadian ini orang-orang Mongol menjadi gentar dan mereka
mengalihkan pengeroyokan mereka kepada Kong Ji. Akan tetapi,
inilah kesalahan mereka. Kalau mereka mengeroyok Hui Lian saja,
paling hebat senjata mereka rusak dan mereka roboh terluka ringan.
Sekarang setelah mereka mengeroyok pemuda itu, sama halnya
dengan mencari mati sendiri. Kong Ji benar-benar telengas dan
kedua tangannya menyebar maut. Setiap sambaran tangan kiri
meremukkan kepala atau menotok jalan darah kematian! Hui Lian
sampai bergidik melihat sepak terjang suhengnya ini.
Baiknya baru ada tujuh orang yang tewas ketika tiba-tiba
terdengar bentakan keras menahan semua orang yang bertempur.
Bentakan itu demikian berpengaruh, karena semua orang Mongol
lalu melompat mundur dan berlutut.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, yang datang itu
adalah Temu Cin sendiri bersama pasukannya yang terpukul mundur
oleh pasukan musuh yang besar jumlahnya. Pada waktu itu Temu
347
Cin sedang memimpin bangsanya untuk menundukkan suku suku
bangsa lain yang tadinya menindas mereka. Di antara suku-suku
bangsa yang besar dan kuat adalah suku-suku bangsa Kerait dan
Naiman. Dua suku bangsa ini bersatu dan menghadapi
pemberontakan Temu Cin. Baru-baru ini, Temu Cin dengan hanya
seratus lima puluh orang pasukannya, bertemu dengan rombongan
musuh yang jumlahnya seribu orang lebih. Tentu saja pasukan
Temu Cin menjadi kewalahan dan dikejar-kejar. Dengan amat
cerdiknya, Temu Cin melarikan pasukann menuju ka Gasyun Nor, di
mana telah bersiap sedia kawan-kawan untuk menyambut musuh.
Dengan keras hati dan tidak mengenal lelah Temu Cin terus
melakukan perjalanan yang amat jauh melalui padang pasir untuk
memancing musuhnya yang banyak jumlahnya.
Akan tetapi, ketika tiba di Telaga Cu-yen-hu atau Telaga Gasyun
Nor, ia melihat orang-orangnya tengah mengeroyok seorang
pemuda dan seorang dara yang amat luar biasa permainan
pedangnya, Temu Cin paling suka melihat orang gagah, dan
memang termasuk kecerdikannya untuk memikat hati orang-orang
pandai agar cita-citanya mendapat bantuan mereka. Oleh karena ini,
sekelebat saja melihat jalannya pertempuran, Temu Cin sudah tahu
bahwa dua orang muda itu bukanlah ahli silat sembarangan.
Di lain pihak, ketika Kong Ji dan Hui Lian memandang orang yang
baru tiba, mereka diam-diam merasa kagum dan tertarik. Ada
sesuatu dalam diri Temu Cin yang menarik perhatian orang dan
menimbulkan kekaguman, ada sesuatu dalam sikapnya yang
berbeda dengan semua orang. Selain ini, pemuda Mongol ini juga
gagah sekali, dengan wajah seperti harimau dan sepasang mata
sipit yang tajam dan bergerak-gerik penuh kecerdikan.
Temu Cin menjura kepada Kong Ji dan Hui Lian, sedangkan
matanya bersinar kagum ketika melihat pedang Pak-kek Sin-kiam di
tangan gadis itu.
"Ji-wi Enghiong yang mulia, maafkan aku tidak sempat
menyambut lebih siang kedatangan Ji-wi yang merupakan
penghormatan bagi kami. Dan lebih-lebih lagi maafkan atas
kelancangan orang-orangku yang tidak tahu bahwa dua orang
348
gagah datang sebagai sahabat. Biarlah aku akan memberi hukuman
kepada mereka!'
Mendengar ini, Kong Ji melengak dan Hui Lian merasa tidak enak
sekali. Sebetulnya, pihaknya yang seharusnya ditegur dan pihaknya
yang keterlaluan, akan tetapi tuan rumah mengeluarkan kata-kata
yang demikian sungkan.
"Sahabat, harap kau yang maafkan kami, dan harap jangan
memberi hukuman kepada orang-orangmu. Mereka itu hanya
menjalankan kewajiban dan kamilah yang datang mengganggu.
Maaf, maaf...." kata Hui Lian.
Temu Cin berpaling kepada orang-orangnya. "Kaudengarkan itu?
Lihiap ini bukan orang sembarangan, baru melihat pokiamnya saja,
seharusnya kalian dapat menduga. Hayo lekas singkirkan mayatmayat
ini dan bersihkan tempat untuk menyambut dua tamu
agung'"
Sekarang Kong ji melangkah maju dan menjura, "Kami memang
berlaku lancang, untungnya Tuan Rumah begitu sopan santun dan
baik hati. Sebetulnya, kedatangan kami adalah untuk bertemu
dengan pimpinan besar kalian yang bernama Temu Cin."
Orang Mongol muda yang bertubuh tegap itu tertawa bergelak.
"Alangkah bahagia hatiku mendapat perhatian dua orang muda
begini gagah perkasa. Tai-hiap, akulah Temu Cin!"
Kong Ji dan Hum Lian kali ini benar-benar terkejut. Sama sekali
tidak mereka sangka bahwa pemimpin besar itu masih begitu muda,
dan lagi begitu sederhana!
Melihat keheranan mereka, kembali Temu Cin tertawa. "Marilah
duduk di dalam tenda, Ji-wi Enghiong. Mari kita bercakap-cakap di
dalam dan minun arak."
Karena tidak baik dan tidak enak bicara di luar, apalagi setelah
terjadi pertempuran tadi, Kong Ji dan Hui Lian menurut saja. Mereka
mengikuti Temu Cin yang masuk ke dalam sebuah tenda besar
sekali di mana telah tersedia meja dan bangku serba lengkap. Tidak
disangka bahwa biarpun hanya bangunan tenda, namun di sebelah
349
dalamnya lengkap dan menyenangkan, patut menjadi tempat
tinggal seorang pemimpin besar.
Setelah duduk dan arak dikeluarkan oleh pelayan yang cepat
pergi lagi, Temu Cin bertanya,
"Tidak tahu siapakah Jiwi yang muda dan gagah?"
"Aku bernama Liok Kong Ji, dan nona ini adalah Go Hui Lian,
sumoiku. Kami datang dari selatan, dari Pulau Kim bun-to."
Mendengar sepasang mata yang sipit itu terbelalak dan wajah
Temu Cin berseru. "Aha, Lihiap ini she Go, ada hubungan apakah
kiranya dengan Taihiap Ciang Le yang berjuluk Hwa I Enghiong dan
juga tinggal di Kim-bun-to?"
"Dia adalah ayahku," jawab Hui Lian cepat.
Temu Cin cepat berdiri dari tempat duduknya dan menjura
dalam-dalam kepada Hui Lian. "Ah, benar-benar kehormatan besar
sekali bagiku dapat bertemu dengan Lihiap di sini, dapat menerima
kunjungan puteri dari Taihiap Go Ciang Le. Guru-guruku yang
demikian banyak jumlahnya tak seorang pun di antara mereka yang
tidak mengagumi dan menjunjung tinggi nama ayahmu, Nona."
"Terima kasih, Taijin terlampau menghormat," jawab Hui Lian
yang sebaliknra menyebut "taijin", karena menurut pendapatnya
bukankah pemuda Mongol itu seorang yang berkedudukan tinggi,
menjadi pemimpin besar seluruh rakyat Mongol? Temu Cin
sebaliknya tidak merasa aneh disebut taijin dan sikapnya biasa serta
ramah-tamah.
"Adapun maksud kedatangan kami," kata Kong Ji kemudian,
"Karena sudah lama sekali kagum mendengar nama besar Taijin,
kagum mendengar pergerakan saudara-saudara bangsa Mongol
untuk memperbaiki nasib. Apalagi mendengar berita bahwa Taijin
bercita-cita untuk membebaskan rakyat kami dari penindasan
bangsa Kin, benar-benar menimbulkan hati kagum dan berterima
kalis. Oleh karena itu, kami sengaja datang bukan saja untuk
menyaksikan kebenaran berita ini, juga untuk berkenalan dengan
Taijin dan kalau mungkin menyediakan tenaga membantu
perjuangan suci ini.
350
Berseri wajah Temu Cin mendengar ini. Untuk menarik hati dan
menarik bantuan orang-orang gagah di dunia kang-ouw, ia tidak
segan-segan mengeluarka banyak harta. Apalagi pemuda yang
gagah ini datang-datang menawarkan tenaga bantuannya sendiri.
Hal ini benar-benar menyenangkan hatinya sehinggga ia tersenyumsenyum
gembira.
Akan tetapi sebaliknya Hui Lian menjadi amat terheran-heran.
Mengapa sekarang suhengnya menyatakan maksud yang amat jauh
bedanya daripada semula? Ia menoleh kepada suhengnya dengan
pandang mata penuh pertanyaan, akan tetapi Kong ji pura-pura
tidak melihatnya. Hati Hui Lain menjadi mendongkol sekali dan ia
kehilangan kesabarannya.
"Taijin, menurut kabar yang kudapat, di utara ini banyak
perkumpulan orang-orang pandai dan tokoh-tokoh kang-ouw dari
segala macam golongan. Oleh karena inilah maka kami sengaja
datang ke sini bukan hanya untuk berkenalan denganmu, akan
tetapi terutama sekali hendak mencari beberapa orang tokoh kangouw
yang menjadi musuh besar kali. Kami mengharapkan
keterangan dan taijin apakah mereka berada di daerah utara ini."
Temu Cin menekan perasaan tidak senangnya mendengar ini. Ia
amat membutuhkan bantuan orang-orang pandai untuk
melaksanakan cita-citanya yang besar, yakni selain mempersatukan
suku-suku bangsa di utara sehingga menjadi suku bangsa besar,
juga untuk menyerbu ke selatan dan menguasai seluruh Tiongkok.
Tentu saja mendengar adanya pertentangan antara orang gagah, ia
tidak senang karena itu berarti merugikan perjuangannya. Akan
tetapi dengan pandai dapat menyembunyikan perasaannya itu dan
pada wajahnya yang gagah tidak terbayang sesuatu.
"Siapakah gerangan nama musuh-musuh besar Lihiap itu?"
"Mereka adalah orang-orang tingkat tinggi di dunia kang-ouw,
yakni Giok Seng Cu ketua Im-yang-bu-pai, Ba Mau Hoatsu dart Tibet
dan See-thian Tok ong beserta anak tsterinya."
Temu Cin benar-benar terkejut mendengar ini. “Mereka adalah
orang-orang luar biasa di dunia kang-ouw!" katanya. "Sudah lama
sekali aku mendengar nama mereka sebagai iblis-iblis yang sakti,
351
akan tetapi sayang belum pernah bertemu muka, juga mereka tidak
ada di sini. Lihiap bermusuhan dengan orang-orang seperti itu,
alangkah berbahayanya! Baiklah, aku akan membuka mata dan
memasang telinga, kalau aku mendengar di mana adanya mereka,
pasti aka kuberi tahu kepada Lihiap." Kemudian pemimpin orang
Mongol ini berpaling kepada Kong Ji. "Liok Taihiap, tentang
maksudmu hendak membantu kami benar-benar amat kuhargai.
Tentu saja kelak tidak akan melupakan budi yang besar dari Taihiap
ini. Akan tetapi aku pun bersama seluruh kawanku minta bukti
pembelaan dari Taihiap. Tak lama lagi akan datang serombongan
barisan musuh, yakni dari suku bangsa Naiman dan Kerait yang
jumlahnya seribu orang lebih, dipimpin sendiri oleh kepala suku
bangsa Naiman yang gagah perkasa. Mereka mengejar-ngejar kami
dan kalau mereka tiba aku akan mengadakan perlawanan besarbesaran.
Untuk serbuan mereka ini aku sudah memasang jebakan
dan aku yakin mereka akan dapat kuhancurkan. Kawan-kawanku di
sini berjumlah tiga ribu orang lebih dan sekarang sudah kusiapkan.
Bahkan aku sudah memanggil beberapa orang panglima dan
pembantu dari barat. Maukah kau dan Lihiap membantu kami?"
"Tentu saja, Taijin. Serahkan saja pemimpin barisan musuh
kepadaku, hendak kuperlihatkan bahwa kedatangan kami ini tidak
percuma belaka!" jawab Kong Ji gembira.
Tiba-tiba terdengar sorak sorai yang hebat dari jurusan timur dan
pada saat itu seorang pengawal masuk bersama seorang Mongol
yang usianya, kurang lebih tiga puluh tahun, bertubuh tegap sekali
akan tetapi agak pendek, sepasang matanya lebar dan kumisnya
kecil panjang. Orang ini berpakaian perang dan di pinggangnya
tergantung sebuah golok yang gagangnya amat indah ukirannya.
Dengan matanva yang lebar itu ia menatap Kong Ji dan ia tidak
menyembunyikan kekagumannya ketika ia melihat Hui Lian yang
cantik manis.
"Bouw Ang Gempo, bagus kau datang pada saat yang tepat!"
Temu Cin berkata girang ketika panglima itu memberi hormat
kepadanya. "Perkenalkan dulu kepada dua orang pendekar ini. Dia
ini adalah Liok Kong Ji Taihiap, murid dari pendekar besar Go Ciang
Le di Kim bun-co, sedangkan Nona ini adalah puteri dari Go-talhiap
352
itu yang bernama Go Hui Lian. Jiwi Enghiong, inilah Bouw Ang
Gempo panglima perangku yang sudah bayak berjasa."
Bouw Ang Gempo, dengan lagak gagah memberi hormat kepada
dua orang muda itu. Pandangan matanya terhadap Kong Ji agak
bercuriga, akan tetapi terhadap Hui Lian, jelas sekali terbayang
kekagumannya.
"Bouw Ang Gempo, berapa banyak pasukan yang kaubawa?"
"Dua ribu lima ratus orang, Khan Muda!" kata panglima itu. Kong
Ji dan Hui Lian terkejut mendengar sebutan Temu Cin yang disebut
Khan Muda atau Raja Muda itu. Tak mereka sangka bahwa
kedudukan orang Mongol muda ini sudah meningkat demikian
tinggi.
"Bagus, kau dan anak buahmu harus menjaga agar jangan
terlampau banyak terjadi pembunuhan. Taklukkan orang-orang
Naiman dan Kerait itu dalam keadaan hidup sehingga mereka akan
menggabungkan diri dengan kita. Adapun tentang kepala suku
bangsa Naiman beserta putennya yang keras kepala itu, kau
serahkan saja kepada Liok-taihiap dan Go Lihiap. Mereka ini sudah
sanggup untuk menghadapi mereka!"
Bouw Ang Gempo menggerakkan sepasang alisnya yang
gombyok. "Akan tetapi, Lima Honggan kepala suku bangsa Naiman
itu lihai sekali! Apalagi puterinya bukanlah orang yang tidak boleh
di-buat main-main!" Sambil berkata demikian ia memandang kepada
Kong Ji dengan pandang merendahkan dan kepada Hui Lian dengan
pandang mata khawatir.
Temu Cinn tersenyum. "Ha, ha, ha, panglimaku, kaulah yang
kurang awas. Sekarang tidak ada waktu lagi, kelak setelah selesai
mengalahkan musuh, boleh kau belajar kenal dengan kelihaian dua
orang pendekar muda ini!”
Panglima itu memberi hormat dan berjalan keluar. Temu Cin juga
mengajak dua orang tamunya untuk keluar, karena suara musuh
yang mendatangi tempat itu kini sudah terdengar jelas, Mereka
sudah berbaris di dekat telaga dan terdengar suara menantangnantang.
353
Barisan yang datang hendak menyerbu suku bangsa Mongol ini
kelihatan tidak teratur. Sungguhpun mereka itu rata-rata memiliki
perawakan yang gagah dan kuat, namun sebagian besar nampak
amat lelah, bahkan ada beberapa orang yang cepat mengambil air
dari telaga untuk menghilangkan rasa haus.
Mereka dipimpin seorang tua yang berjenggot panjang dan
tangan kanannya memegang tongkat kuningan yang dipegang
seperti toya. Kelihatannya gagah sekali dan dari tindakannya nyata
bahwa ia memiliki kepandaian silat yang tinggi. Kakek ini diam saja,
hanya memandang ke depan dengan mata tajam, sedangkan yang
berteriak-teriak menantang adalah pembantu-pembantunya yang
berdiri di bagian depan dari barisan itu.
Setelah menghadapi mereka dari jarak tiga puluh tombak Temu
Cin berkata, suaranya nyaring sekali sehingga diam-diam Hui Lian
dan Kong Ji memuji dan tahu bahwa pemimpin muda ini ternyata
memiliki tenaga lweekang dan khikang ang tinggi juga.
"Paman Lima Honggan! Sudah berkali-kali kukatakan bahwa tiada
gunanya kau dan kawan-kawanmu memusuhiku. Kau takkan
menang! Bagaimana kau bisa mengalahkan bangsa Mongol yang
besar? Daripada membuang nyawa cuma-cuma, bukanlah lebih baik
kau dan kawan-kawanmu menggabungkan diri dengan kami! Hawa
begini panas, kalian sudah melakukan perjalanan jauh, apakah tidak
lebih baik datang minum arak menghilangkan lelah? Lihatlah anak
buahmu sudah kehausan, apakah kau tidak hendak memberi
kesempatan kepada mereka untuk minum dulu? Lihat, aku dan
kawan-kawanku sengaja tidak menjaga telaga, untuk memberi
kesempatan kepada orang-orangmu melepaskan lelah!"
"Temu Cin, siapa sudi mendengar bujukanmu? Kau sudah
menghina keluarga kami, kau hendak mengajak kami menyerang ke
selatan? Huh, orang macam kau akan menyerang ke selatan?
Tengoklah tingginya Gunung Thai-san, apa kaukira akan dapat
menghadapi orang selatan yang banyak memiliki ahli-ahli silat yang
tinggi? Sudahlah, jangan banyak cerewet. Kalau kau memang lakilaki,
pertanggung jawabkan semua perbuatanmu dan menyerah
untuk kubelenggu!"
354
Akan tetapi pada saat itu, Temu Cin tertawa bergelak. "Paman
Lima Hong-on. lihatlah, apa yang sudah terjadi dengan anak
buahmu? Apakah kau masih keras kepala hendak melawan?"
Lima Honggan menengok dan mukanya menjadi pucat. Sebagian
besar anak buahnya tadi tak dapat menahan haus dan beramairamai
mereka minum air telaga Gasyun Nor, juga kuda-kuda yang
kepayahan diberi minum. Mereka minum dengan bernafsu sekali,
lupa akan segala apa di sekeliling mereka. Hanya para pemimpin
yang di tengah jalan masih kebagian air, dan mereka yang memang
bersemangat baja, tidak tergesa-gesa minum ketika menghadapi
musuh. Dan sekarang mereka yang tadi minum air telaga, semua
roboh bergelimpangan dalam keadaan lemas dan tak berdaya,
seperti orang mabok atau orang mengantuk. Bahkuda yang minum
air itu pun sekarang rebah miring, mengeluarkan ringkik panjang
seperti keluhan. Sebentar saja lebih dari separuh barisan rebah
malang melintang dan keadaan menjadi panik.
Tiba-tiba dari dalam barisan Lima Honggan, melompat keluar
seorang wanita yang bertubuh ramping. Wanita bermuka manis
sekali, dengan rambut dipotong pendek. Bajunya biru dan celananya
merah berkibar tertiup angin ketika ia melompat ke depan dengan
sinar mata memancarkan kemarahan. Tangan kanannya bergerak
dan tahu-tahu ia telah mengeluarkan senjatanya yang istimewa,
yakni sebuah bola baja yang diikat dengan rantai kecil. Nona yang
usianya paling banyak tujuh belas tahun, masih amat muda dan
amat cantik menggiurkan ini, setelah mengayun bola baja itu di atas
kepalanya, diputar-putarnya sehingga menimbulkan suara nyaring.
Ia menudingkan telunjuk kirinya ke arah Temu Cin.
"Temu Cin, bangsat curang manusia tak berbudi! Kau telah
meracuni orang- orang kami!" Sambil berkata demikian sekali
melompat gadis ini telah melapaui sepuluh tombak dan berdiri
menantang dengan marah!
Temu Cin menoleh kepada Kong Ji dan Hui Lian, tersenyum dan
berkata, “Itulah Lima Nalumei, puteri Paman Honggan yang tadinya
hendak dijodohkan dengan aku. Dia lihai sekali, apakah di antara Jiwi
ada yang sudi mewakiliku?"
355
Hui Lian memandang kepada Temu Cin dan matanya ragu-ragu
ketika ia memandang dan bertanya, "Taijin, betul-betulkah kau
meracuni orang itu!"
Temu Cin tersenyum. "Aku sayang orang-orang di utara,
bagaimana aku mau meracuni mereka? Mereka hanya telah minum
air yang dicampuri obat bius yang melemahkan dan memabokan
saja."
Sementara itu, sejak tadi Kong Ji memandang ke arah Nalumei
dengan mata berseri dan penuh gairah. Gadis itu memang cantik
sekali, dan memiliki sifat kecantikan yang lain sekali dari pada
kecantikan seorang gadis Han. Rambutnya yang dipotong pendek
itu agak kecoklat-coklatan dan matanya agak kebiruan seperti mata
seorang nona bangsa Semu. Mendengar permintaan Temu Cin, ia
lalu berkata.
"Biar aku yang menghadapinya!" Ia melompat dengan gembira
sambil mencabut pedangnya.
"Saudara Liok, jangan bunuh dia, tangkap hidup-hidup!" Temu
Cin masih sempat memberi ingat pemuda ini. Kemudian ia berpaling
kepada Hui Lian, "Go lihiap, kalau Paman Lima Honggan maju,
harap kau suka menghadapinya. Aku mau membantu Bouw Ang
Gempo menaklukkan barisan mereka!"
Belum sempat Hui Lian menjawab sekali berkelebat Temu Cin
sudah melompat jauh untuk memimpin pasukan menghadapi musuh
yang masih hendak mengadakan perlawanan.
Ketika Kong ji berhadapan dengan nona bangsa Naiman itu, ia
merasa girang sekali. Makin dekat, makin nampak kecantikan nona
ini yang benar-benar masih amat muda, namun sudah mempunyai
sikap gagah. Nona ini melihat kedatangan Kong Jil dengan pedang
di tangan sudah tahu bahwa pemuda tampan bangsa Han ini
tentulah jagoan dari Temu Cin, maka tanpa banyak cakap lalu
menggerakkan senjatanya menyerang dengan hebat.
"Bagus, Nona manis, gerakanmu indah sekali!" Kong ji memuji
sambil mengelak. Akan tetap' baru saja ia mengelak, bola baja itu
sudah datang menyambar lagi amat cepatnya, mengarah kepalanya.
Kong ji tentu saja tidak mau membiarkan kepalanya dihancurkan
356
oleh benda itu, dan tidak berani pula berlaku semberono karena
sambaran bola itu mendatangkan angin mengiuk. Cepat pedangnya
bergerak menangkis dan bahkan inengerahkan tenaga untuk
memutuskan tali bola itu.
Akan tetapi, tali itu tidak terputus, bahkan ketika pedangnya
menahan tali, bola itu dapat memukul terus, menukik ke bawah
mengancam dadanya. Kong Ji benar-benar kaget sekarang. Tak
disangkanya bahwa nona ini demikian lihainya. ia cepat menarik
kembali pedangnya dan mengelak ke kiri melangkah maju dan
tangan kirinya diulur untuk merampas senjata lawan yang lihai itu.
Akan tetapi, nona itu telah mendahuluinya, menotok ke arah
Iambungnya dengan dua jari tangan kiri. Gerakannya cepat dan
kuat sehingga kembali Kong Ji terkejut sampai berseru sambil
melompat mundur. Jelas baginya bahwa gerakan tadi adalah ilmu
menotok jalan darah dari selatan! Bagaimanakah seorang nona
bangsa Naiman yang tinggal jauh di utara dapat mainkan ilmu silat
selatan seperti orang Han?
Namun ia tidak sempat melamun terlalu lama karena Nalumei
menyerangnya lagi, kini senjatanya diputar hebat dan mendesak
kuat setelah diketahuinya bahwa pemuda berpedang ini dapat
menghalau semua serangannya. Kong Ji juga melayaninya dengan
hati-hati. Pemuda ini tidak mau menjatuhkan tangan besi, karena
selain tidak mau melukai gadis manis yang menarik hatinya ini,
juga. ia ingin sekali menyaksikan ilmu sang gadis ini lebih jauh.
Pertempuran berjalan seru sekali.
Tiba-tiba kakek yang menjadi ayah gadis ini berteriak keras,
memberi aba-aba kepada pasukannya untuk menyerbu. Dia sendiri
membawa tongkatnya melompat untuk membantu puterinya. Tibatiba
ia berhadapan dengan seorang gadis Han -yang lincah, seorang
gadis yang memegang pedang pusaka yang berkilauan cahayanya.
Lima Honggan tidak gentar, sambil membentak keras ia mengayun
tongkatnya ke arah Hui Lian. Gadis ini menangkis.
"Traangg!" Bukan main kagetnya Lima Honggan ketika ujung
tongkatnya somplak, terbabat putus oleh pedang lawannya itu. ia
mencelat mundur kemudian menghadapi Hui Lian lebih hati-hati.
Tidak berani lagi ia mengadu tongkatnya dengan pedang itu dan
357
selalu menghindarkan bertemunya kedua senjata. Namun
tongkatnya selalu mengancam jalan darah yang berbahaya. Seperti
juga Kong Ji. Hui Lian mendapat kenyataan bahwa ilmu silat dari
selatan gerakannya hampir sama dengan ilmu silat cabang Bu-tongpai.
Adapun pasukan Naiman dan Kerait setelah melihat pemimpin
dan puterinya itu turun tangan, sambil bersorak sorak mereka lalu
maju menyerbu, disambut oleh Bouw Ang Gempo yang memimpin
anak buahnya. Namun sia-sia belaka bagi pihak penyerang, karena
jumlah mereka sudah berkurang banyak. Kini mereka menghadapi
sambutan dari pasukan yang jauh lebih besar jumlahnya sehingga
sebentar saja mereka dikurung dan dikeroyok. Banyak yang roboh
bergelimpangan dan lebih banyak lagi yang tertangkap hidup-hidup.
Adapun mereka yang terterkena minuman yang mengandung obat
bius, siang-siang sudah dibelenggu oleh pihak Mongol.
Pertempuran antara pihak Kong Ji dan Nalumei hanya
berlangsung selama dua puluh jurus. Kalau Kong Ji mau, dalam
beberapa belas jurus saja akan dapat merobohkan lawannya akan
tetapi ia merasa sayang kalau melukai nona ini. Maka setelah
mendapat kesempatan baik ia memukul hancur bola besi itu dengan
tenaga Tin-san-kang, kemudian sebelum Nalumei sempat mengelak,
ia telah menepuk pundak gadis itu sehingga Nalumei jatuh lemas
tak berdaya. Kong Ji menyambar tubuhnya dan mengempitnya, lalu
membawanya ke dalam markas orang-orang Mongol.
Adapun pertandingan antara Hui Lian. dengan Lima Honggan
juga tidak berjalan seimbang. Tidak saja pedang pusaka Pak-Kek
Sin-kiam terlalu ampuh buat kakek itu, juga ilmu pedang gadis itu
terlalu tinggi baginya. Sebentar saja, melihat berkelebatnya sinar
pedang yang menyilaukan mata, Lima Honggan menjadi kabur
pandangan matanya dan berkunang-kunang. Ia merasa bahwa kali
ini ia dan anak buahnya pasti akan kalah. Apalagi setelah ia melihat
puterinya tertawan musuh, hatinya menjadi kalut dan ia berlaku
nekat. Ketika itu, pedang di tangan Hui Lian tengah menyerang ke
arah dadanya. Kakek ini menangkis dengan tongkat sekuat tenaga.
Terdengar suara nyaring dan tongkatnya patah menjadi dua. Namun
ia tidak mundur, sebaliknya bahkan merangsek maju dengan kedua
tangan diulur merupakan cengkeraman. Tangan kiri mencengkeram
358
ke arah pedang dan tangan kanan mencengkeram ke arah dada Hui
Lian!
Hui Lian terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa kakek ini
demikian nekat. Kalau ia membabat, kedua lengan itu, pasti putus,
namun ia tidak tega berlaku sekeji itu. Ia hanya mengelak untuk
menghindarkan cengkeraman ke arah dadanya dan karena ia
berlaku lambat, pedangnya telah kena dipegang oleh cengkeraman
kakek itu.
Lagi-lagi Hui Lian terkejut. Kalau orang tidak memiliki lweekang
yang tinggi, baru mencengkeram Pak-kek Sin-ciang saja jari-jari
tangannya tentu akan putus semua! Agaknya kakek ini
mempergunakan tenaga lemas sehingga tidak terpengaruh oleh
tajamnya pedang yang keras. Kalau Hui Lian mau, ia dapat
menyalurkan tenaga lemas pada pedangnya dan dengan demikian
dapat melukai tangan kakek itu, akan tetapi ia tidak tega.
Sebaliknya, ia hanya mencoba untuk membetot terlepas pedang itu.
Mereka saling membetot dan tiba-tiba kakek itu menjerit,
tangannya yang mencengkeram pedang terlepas dan ia roboh
terlentang mandi darah. Tepat di ulu hatinya tertancap oleh
sebatang anak panah yang kecil.
Hui Lian tertegun dan menengok ke belakangnya. Ia melihat
Temu Cin bediri memandangnya dengan senyum, di tangan pemuda
Mongol ini terlihat busur kecil dan anak-anak panah yang kecil pula.
Jelaslah bahwa Temu Cin sudah turun tangan mengirim anak panah
tadi ke ulu hati Lima Honggan'
"Dia harus dibinasakan, Lihiap, terlalu berbahaya untuk
pergerakanku!" kata Temu Cin yang cepat lenyap pula di antara
orang-orang yang sedang berperang tanding.
Orang-orang suku bangsa Kerait dan Naiman sebentar saja dapat
dikalahkan dan hanya beberapa belas orang saja yang tewas,
semua dapat ditawan dan diikat kedua tangannya. Mereka ini tidak
dibunuh, akan tetapi perlahan-lahan akan mendapat bujukan dan
penerangan dari Temu Cin sehingga kelak mereka bahkan akan
menjadi pembantu dan anggauta pasukan yang setia. Di sinilah
terletak kekuatan Temu Cin. ia tidak mau sembarangan
359
menewaskan suku-suku bangsa utara kecuali yang dianggap
berbahaya. Ia pandai mengambil hati dan pandai ia mengatur
sehingga kelak seluruh suku bangsa di utara yang amat banyak
macam dan jumlahnya itu dapat bersatu menjadi satu bangsa
Mongol yang besar dan jaya.
Sehabis perang Temu Cin menghampiri Hui Lian dan mereka
berdua berjalan kembali ke perkemahan, di sepanjang jalan
disambut dan dihormati oleh semua orang Mongol. Diam-diam Hui
Lian mengakui bahwa pemuda Mongol ini memang tepat untuk
menjadi pemimpin. Gagah perkasa dan pandai memimpin, keras hati
dan ramah tamah. Hui Lian memandang ke sana ke mari dan
merasa heran mengapa ia tidak melihat Kong Ji.
Ke manakah perginya Kong Ji? Setelah ia mengalahkan Nalumei,
ia menawan gadis cantik itu dan membawanya keperkemahan
Mongol. Akan tetapi, sebagai tamu di tempat itu, ia tidak dapat
berbuat sesuka hatinya dan terpaksa memberikan gadis tawanannya
kepada para penjaga yang sudah menyediakan tempat tahanan
khusus untuk para pimpinan pasukan musuh.
"Jaga dia balk-baik dan jangan ganggu. lni perintah Temu Cin!"
kata Kong Ji yang merasa khawatir kalau-kalau gadis yang
menggiurkan hatinya itu mendapat perlakuan buruk dari para
penjaga tahanan.
Akan tetapi begitu ia kembali ke medan pertempuran dan hendak
melampiaskan nafsunya yang suka membunuh, Temu Cin sudah
mendekatinya dan tertawa, "Liok-taihiap, harap kau jangan
mencampuri perang kecil ini. Cukup orang-orangku saja. Ke mana
kau membawa Nalumei tadi?"
Merah muka Kong Ji. Pandang mata temu Cin demikian tajam
seakan-akan orang ini dapat menjenguk ke dalam isi hatinya.
"Aku serahkan kepada penjaga tawanan."
"Hem, kau agaknya tertarik kepdanya, Taihiap?"
Makin merah muka Kong Ji. Orang ini benar-benar berbahaya,
mempunyai pandangan mata yang amat tajam dan otak yang cerdik
sekali.
360
"Dia memang manis, anehkah kalau seorang laki-laki tertank
kepada seorang gadis manis seperti dia?" Kong Ji menjawab dan
sikapnya kurang senang.
Temu Cin tertawa bergelak. "Jangan salah mengerti, Taihiap.
Kalau aku mau, gadis itu dulu sudah menjadi isteriku, dia adalah
bekas tunanganku ketika aku masih kecil!. Kalau aku mau menjadi
suaminya, takkan ada perang hari ini dan aku pun tidak akan dapat
maju, mungkin sekarang menjadi ayah yang baik. Ha, ha, ha! Akan
tetapi, Taihiap seorang gagah takkan terlalu memusingkan urusan
macam ini, dan kiranya seorang gadis suku bangsa Naiman kurang
cocok dengan seorang pendekar Han seperti kau. Bouw Ang Gempo
sudah lama tergila-gila kepada Nalumei, dan dia seorang yang
berjasa besar. Aku akan merasa girang sekali kalau dapat
menjodohkan Nalumei kepadanya sebagai pemberian jasa."
"Taijin, akulah yang mengalahkannya, aku yang menawannya,
sudah sepantasnya kalau Nona itu diberikan kepadaku," kata Kong
Ji dan kalau Hui Lian mendengar ini, gadis itu tentu akan merasa
aneh sekali bagaimana suhengnya dapat berkata demikian tanpa
merasa sungkan dan malu sedikitpun juga.
Temu Cin diam-diam juga terkejut. Penilaiannya terhadap Kong Ji
merosot keras dan pemimpin ini biarpun masih muda, namun ia
memiliki pertimbangan yang masak dan pandangan yang luas sekali.
"Taihiap, apakah Sumoimu tidak akan marah kalau kau
mengambil Nalumei?" tanyanya tiba-tiba.
Merah wajah Kong Ji. Pemuda ini teringat akan semua
pengalamannya dengan Hui Lian dan ia sudah yakin sekaang bahwa
Hui Lian tidak cinta kepadaya, walaupun sumoinya itu belum
membencinva seperti yang dilakukan oleh Soan Li.
"Mengapa mesti marah' Aku suhengnya dan dia sumoiku, tidak
ada hubungan lain kecuali itu."
Temu Cin berseri wajahnya. "Benarkah begitu, Taihiap? Bagus
kalau begatu. Apakah sumoimu itu belum bertunangan dengan
orang lain"
361
Kong Ji menggelengkan kepalanya. "Belum...." dan diam-diam
dia menduga apakah pemimpin bangsa Mongol ini suka kepada Hui
Lian?
"Kalau begitu, biarlah aku melamar sumoimu itu untuk... Bouw
Ang Gempo. Dengan begitu, biarpun Nalumei kau ambil, dia tidak
akan terlalu berduka! Ha ha, ha, bukankah ini baik sekali, Taihiap?"
Demikianlah, di luar tahunya Hui Lian, persoalan ini dibicarakan
oleh Kong Ji dan Temu Cin, kemudian bahkan Bou Ang Gempo
dipanggil dan panglima diberi tahu, secara terus terang.
Bouw Ang Gempo mengurut-urut kumisnya yang kecil panjang.
"Nona Nalumei sudah kuketahui watak dan keahliannya dalam
berperang, sedangkan Nona Hui Lian itu, biarpun tidak kalah cantik
oleh Nalumei, aku belum melihat sendiri sampai di mana
kepandaiannya. Aku paling tidak suka mempunyai isteri yang
lemah!"
Temu Cin khawatir kalau Kong Ji merasa tidak senang dan
tersinggung. Maka ia tertawa dan berkata, "Bouw Ang Gempo ini
paling menghargai kegagahan, dia sendiri juga memiliki kepandaian
tinggi, apalagi dibantu oleh goloknya yang ampuh dan sakti, untuk
suku bangsa kami, kiranya tidak ada keduanya!"
Mendengar ini, Kong ji melirik ke arah golok yang tergantung di
punggung Bouw Ang Gempo. Golok itu sarungnya indah, juga
gagangnya merupakan kepala mahluk aneh, singa bukan naga juga
bukan, namun harus diakui bahwa gagangnya amat indah, dengan
sepasang mata dari batu kemala hijau.
"Bouw Ang Gempo, marilah kaubuktikan ketajaman golokmu itu
dengan pedang ini," kata Kong Ji sambil memungut sebatang
pedang yang terlempar ke atas tanah. Di sekitar tempat itu memang
banyak sekali senjata-senjata tajam dari mereka yang jatuh dalam
perang.
Bouw Ang Gempo tertawa bergelak dan sekali tangannya
bergerak, ia telah mencabut goloknya. Kong Ji kagum bukan main
melihat golok yang putih berkilauan seperti perak, akan tetapi ketika
digerakkan membawa cahaya kehijauan itu. Benar-benar golok
mustika yang luar biasa, pkirnya, Bouw A Gempo mengambil
362
pedang dari tangan Kong Ji dan sekali ia memukulkan pedang pada
goloknya, terdengar suara nyaring dan pedang itu putus bagaikan
tangkai kembang teratai beradu dengan pisau tajam saja'
"Bouw Ang Gempo, mari kita bertaruh!" Kong Ji berseru sambil
memandang kepada golok itu dengan mengilar. "Aku akan
menyuruh Sumoiku melayanimu mengadu kepandaian agar kau
puas dan melihat sampai di mana kepandaian Sumoiku. Kalau Sumoi
kalah, terserah kepadamu dan aku takkan keberatan apa-apa, biar
pun kau akan mengambil pedang pusaka yang dibawa oleh Sumoi,
yang tidak kalah oleh golok ini baiknya. Akan tetapi kalau Sumoi
menang, golok ini harus kauserahkan kepadaku, dan aku berhak
mengambil pedang pusaka kami itu. Bagaimana?"
Bouw Ang Gempo sudah kegirangan karena ia boleh menguji Hui
Lian yang memang amat dikaguminya, apalagi kalau mengingat
bahwa gadis Han yang cantik itu akan menjadi isterinya, maka serta
merta ia menyanggupinya dan menerima pertaruhan itu.
Temu Cin menggosok-gosok tangannya dengan hati girang.
"Bagus sekali," pikirnya, "kalau Go Hui Lian menjadi isteri Bouw Ang
Gempo dan Liok Kong Ji menjadi suami Nalumei, berarti aku dapat
tambahan dua tenaga pembantu yang tangguh. Bagi Temu Cin,
tidak ada yang lebih penting daripada cita-citanya, dan segala apa
yang ia lakukan ialah demi tercapainya cita-citanya yang dikandung
di dalam hatinya semenjak kecil. Cita-cita ini adalah, menaklukkan
seluruh negeri dan merajai seluruh dunia!
-oo0mch-dewi0oo-
"Sumoi, Bouw Ang Gempo itu harus diberi sedikit hajaran agar
terbuka matanya dan jangan memandang rendah kepada kita."
Kong Ji berkata kepada Hui Lian ketika malam hari itu Temu Cin
mengadakan pesta untuk merayakan kemenangannya. Yang
memenuhi tenda besar tempat pesta itu berlangsung adalah
panglima-panglima dan pembantu-pembantu Temu Cin dan di
antaranya terdapat beberapa orang kang-ouw dari selatan, orangorang
yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi di antara mereka
363
tidak kelihatan adanya -orang-orang yang dicari oleh Kong Ji dan
Hui Lian.
"Mengapa kau berkata begitu, suheng?" tanya Hui Lian.
"Kau tunggu saja, ia pasti akan menantangmu menguji senjata.
Tadi aku telah bercakap-cakap dengannya dan karena ia
memamerkan golok pusakanya, aku menyatakan bahwa goloknya
itu takkan menang dengan pedang pusaka Pak-kek Sin-kiam yang
kaubawa. ia marah-marah dan menyatakan bahwa kelihaian senjata
bukan tergantung sepenuhnya dari kebaikan senjata itu sendiri
melainkan dari orang yang memegangnya. Aku pun marah dan
menyatakan bahwa kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada
kepandaiannya. Oleh karena ini, aku berani pastikan dia akan
menantangmu. Kuharap kau jangan berlaku sungkan-sungkan
menghadapinya, Sumoi."
Hui Lian menghela napas. "Kau ini mencari perkara saja. Pihak
tuan rumah begitu ramah dan baik terhadap kita dan kau
membangkitkan kemarahan dalam hati panglima yang dipercaya
oleh Temu Cin."
"Akan tetapi aku harus menjaga nama apalagi menjaga nama
besar Suhu!'"
Hui Lian hanya menarik napas panjang. "Baiklah, kalau memang
ia menantang, akan kulihat sikapnya. Kiranya tak perlu melukainya,
cukup kalau membuktikan bahwa Pak-kek Sin-kiam lebih bagus
daripada segala macam golok!"
Pesta berjalan penuh kegembiraan dan di dalam kesempatan ini
Temu Cin bahkan angkat bicara, membentangkan siasat-siasat dan
rencana-rencana selanjutnya. Bukan main hebatnya hasil yang
sudah dicapai oleh pemimpin muda ini. Ternyata bahwa pasukanpasukan
yang berada di bawah kekuasaannya sudah banyak sekali
tersebar di mana-mana, dan siap untuk mempergunakan di segala
waktu. Kini tugas dari setiap pasukan yang berpencaran itu adalah
mengumpulkan kawan-kawan atau lebih tepat memperbesar jumlah
anggauta pasukan, baik dari suku-suku bangsa lain yang menyetujui
pergerakan mereka maupun dari tawanan-tawanan yang sudah
diinsyafkan!
364
Setelah itu, hidangan dikeluarkan dan orang mulai makan minum
gembira. Pujian-pujian diucapkan oleh Temu Cin untuk para
panglimanya, terutama sekali Bouw Ang Gempo dipuji-puji,
disambut tepuk sorak oleh kawan sejawatnya. Panglima ini berdiri,
mengurut kumisnya dan menoleh ke sana ke mari dengan bangga,
terutama sekali ia beberapa kali menoeh ke arah tempat duduk Hui
Lian dan Kong Ji, sehingga diam-diam gadis ini merasa gemas dan
mendongkol.
"Kepandaianku apa sih artinya kalau dibandingkan dengan
kepandaian dua tamu agung kita?" kata Bouw Ang Gempo sambil
menjura ke arah Kong Ji. "Liok taihiap telah dapat menawan puteri
kepala suku bangsa Naiman yang terkenal pandai, itu sudah
membuktikan bahwa kepandaian Liok-taihiap benar-benar hebat.
Apalagi kepandaian Go-lihiap. Aku mendengar bahwa ia telah
menghadapi Lima Honggan, bukankah itu hebat? Oleh karena itu
untuk menggembirakan pesta malam hari ini, dan untuk menambah
pengalaman dan meluaskan pandangan mata kami, aku minta
dengan hormat sudilah kiranya Go-lihiap memberi sedikit petunjuk
dan pelajaran dalam ilmu pedang kepadaku." Setelah berkata
demikian, Bouw Ang Gempo melompat ke dekat meja Hui Lian dan
menjura, matanya memandang penuh arti kepada Kong Ji.
Semua orang bertepuk tangan menyatakan gembira. Tentu saja
mereka sudah mendengar bahwa nona bangsa Han yang cantik dan
yang menjadi tamu pemimpin mereka itu lihai sekali, dan kini
mereka ingin sekali menyaksikan apakah Hui Lian kuat menandingi
Bouw Ang Gempo yang sudah amat terkenal di kalangan bangsanya
sendiri.
"Go-lihiap," tiba-tiba terdengar suara Temu Cin keras ketika ia
memandang kepada Hui Lian dengan senyum lebar, "Harap kau
jangan salah terima. Bou Ang Gempo tidak berniat buruk, dan betulbetul
hanya untuk minta petunjuk darimu. Terus terang saja,
panglima ini memiliki sebatang golok pusaka yang amat baik, maka
ia ingin sekali menguji goloknya itu dengan pedang pusakamu dan
selain itu, ingin pula menguji ilmu silatnya dengan ilmu silatmu.
Untuk meramaikan pesta ini, harap kau jangan menolak'"
365
Bouw Ang Gempo gembira sekali mendengar ini, maka ia
mendahului melompat ke tengah ruangan itu yang memang sudah
dikosongkan dan dipersiapkan lebih dulu untuk tempat bersilat.
"Orang menantangku, sungguhpun tanpa maksud buruk,.
bagaimana aku dapatmenolaknya?" kata Hui Lian. Mukanya agak
merah, tanda bahwa nona ini menongkol sekali. Kalau Bouw Ang
Gempo hendak mencoba kepandaian mengapa justru memilih dia?
Mengapa tidak memilih Kong Ji? Ia merasa seperti hendak dijadikan
tontonan! Aku akan menghajar babi berkumis ini,” pikirnya gemas!
Di lain saat gadis ini telah meninggalkan mejanya dan sekali ia
melompat, telah menghadapi Bouw Ang Gempo dengan pedang di
tangan. Semua orang kagum sekali melihat cara melompat yang
amat lincah ini, apalagi melihat pedang yang berkilauan itu, mereka
memuji dan menyatakan bahwa itulah pedang mustika yang amat
baik.
"Bouw Ang Gempo, agaknya kau amat membanggakan golokmu
dan mengandalkan ilmu silatmu, baiklah aku akan mencobanya,”
kata gadis ini dan ia menekan rasa mendongkolnya karena tidak
baik memperlihatkan kemarahan di muka umum, apalagi ia dan
suhengnya adalah tamu-tamu yang dihormati.
Bouw Ang Gempo tersenyum dibuat- buat agar kelihatan gagah.
"Lihiap, aku adalah pihak tuan rumah dan juga laki- laki, tidak patut
menyerang lebih dahulu. Kau majulah dan mari kita main-main
sebentar!"
"Baik, kaulihat pedangku!" Hui Lian tidak mau berlaku sheji
(sungkan-sungkan) lagi, pedangnya digerakkan dan segulung sinar
meluncur ke arah dada panglima Mongol itu.
"Mari mengadu ketajaman senjata!” Bouw Ang Gempo berteriak
keras tiba-tiba dari samping goloknya menyambar dan membacok
ke arah pedang. Hui Lian tentu saja tidak mau membiarkan
pedangnya terbacok dari samping, cepat merubah arah pedang dan
sengaja memapaki datangnya golok. Gadis ini amat percaya akan
ketajaman dan keampuhan Pak-kek Sin-kiam, maka tanpa ragu-ragu
ia memapaki golok itu dengan maksud membuat golok itu rusak.
"Traaang...,"
366
Bunga api yang banyak sekali berpijar menyambar ke sana ke
mari ketika dua senjata itu bertemu dan bunga-bunga api muncrat
ke arah muka Hui Lian dan Ang Gempo. Keduanya terkejut sekali
dan cepat masing-masing melompat mundur untuk melihat apakah
senjata mereka rusak. Akan tetapi baik Pak-kek Sin-kiam maupun
golok di tangan Bouw Ang Gempo itu tidak rusak sedikitpun juga
sehingga mereka menjadi lega. Diam-diam kedua orang ini memuji
senjata lawan dan tadi ketika bertemu senjata, Hui Lian merasakan
tenaga raksasa yang membuat pedangnya terpental kembali. Ia
maklum bahwa panglima Mongol ini memiliki tenaga gwakang yang
amat besar maka kalau selalu beradu senjata, biarpun pedangnya
takkan rusak, namun karena senjata itu sama baiknya, jika terus
menerus beradu senjata, pihaknyalah yang rugi. Kemungkinan
rusaknya senjata di pihaknya lebih besar. Oleh kaena ini, ia lalu
melompat maju dan cepat melakukan penyerangan dengan ilmu
pedangnya yang lihai, tidak memberi kesempatan kepada lawan
untuk mengadukan senjata. ia mengandalkan kelincah dan
kecepatannya, setiap kali mengganti jurus dan menghindarkan
pertemuan senjata.
Bouw Ang Gempo terkejut bukan main ketika melihat tubuh
lawannya seakan-akan berubah menjadi tiga orang. Di kanan kiri
dan depan terdapat berkelebatnya bayangan nona itu dan dimanamana
ia melihat pedang yang berkeredepan menusuk, membacok
dan menabasnya! Panglima Mongol ini menjadi bingung sekali.
Dalam hal senjata, ia boleh mengandalkan goloknya yang ternyata
memang ampuh dan bukan senjata sembarangan, juga dalam hal
tenaga, tak usah khawatir karena tenaganya lebih besar. Akan
tetapi dalam hal silat, ia masih kalah jauh, apalagi menghadapi
kecepatan gadis itu, ia benar-benar menjadi bingung dan sebentar
sa ja matanya berkunang dan kepalanya serasa terputar-putar!
Baiknya Hui Lian ingat bahwa ia meghadapi seorang panglima
yang disayang oleh Temu Cin, dan ingat bahwa pertandingan ini
hanyalah sekedar menguji kepandaian belaka. Kalau dia mau,
memang dengan jurus-jurus yang paling berbahaya dari ilmu
pedangnya, ia dapat merobohkan atau membunuh Bouw Ang
Gempo. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau lakukan hal ini dan
hanya berusaha untuk melukai sedikit atau kalau mungkin
367
merampas senjata lawan. Ia hanya mengharap supaya panglima ini
mengakui kelemahannya dan akan mengaku kalah.
Siapa kira bahwa panglima ini sama sekali tidak mau kalah,
bahkan dengan berkat Bouw Ang Gempo menggerakkan goloknya,
menangkis pedang nona itu sekuat tenaga.
"Traaaang... criiiing...!" kembali sepasang senjata ini bertemu
dan kali ini burga api yang muncrat lebih banyak lagi, mengagetkan
para kadirin di situ.
Kembali Hui Lian melompat ke belakang karena ia tidak mau
kalau sampai ada bunga api yang mengenai kulit mukanya. Sambil
melompat ia memeriksa pedangnya yang ternyata masih utuh akan
tetapi diam-diam ia merasa mendongkol sekali. Kau keras kepala,
pikirnya gemas, baiklah, aku akan memberi hajaran kepadamu!
Akan tetapi, Bouw Ang Gempo sudah melompat ke belakang,
memeriksa golok dan kemudian memasukkan golok itu ke dalam
sarungnya di pinggang. Ia menjura sambil tertawa,
"Go-lihiap, aku harus akui bahwa pedangmu itu benar-benar luar
biasa hebat, tidak kalah bagusnya daripada golok mustikaku. Karena
senjata kita ini senjata pusaka, sayanglah kalau sampai rusak.
Bagaimana kalau kita melanjutkan adu kepandaian ini dengan
tangan kosong?”
Sebetulnya Hui Lian tidak sudi meladeni orang ini lebih lanjut,
akan tetapi gadis ini masih muda dan darahnya masih panas. ia
masih belum puas karena kemenangannya tadi hanya dapat dilihat
oleh mata seorang ahli saja. Bagi orang- orang lain tentu belum
mengakui bahw ia lebih unggul daripada panglima Mongol ini. Oleh
karena itu, ucapan Bouw Ang Gempo yang bersifat tantangan itu tak
dapat dttolaknya. "Baiklah, ilmu golokmu sudah kulihat, aku pun
ingin melihat ilmu silatmu sampai di mana sih tingginya!” katanya
dengan nada mengejek sambil menyarungkan Pak-kek Sin-kiam.
Sebetulnya, Bouw Ang Gempo bukanlah seorang bodoh yang
bermata buta. Dar pertandingan tadi ia sudah maklum bahwa
kepandaian gadis ini memang luar biasa sekali dan ia kalah jauh,
bahkan harus mengakui bahwa kepandaian Nalumei yang sudah
pernah dilihatnya, tidak mungkin dapat mengatasi kepandaian nona
368
Han ini. Akan tetapi karena ia sudah mengadakan perundingan
dengan Kong Ji dan sudah mendapat janji bahwa nona ini akan
dijodohkan dengan dia, ia ingin menguji sampai sepuasnya. Bahkan
dalam pertandingan tangan kosong ini, ia akan dapat beradu tangan
dan kalau mungkin ia akan menangkap calon isterinya ini"
"Lihiap kau mulailah!" katanya sambil tersenyum-senyum.
Hui Lian melangkah maju dan mengirim serangan dengan
pukulan ke arah telinga kiri lawan. Inilah jurus dan Ilmu Silat Pakkek
Sin-ciang yang amat lihai, kelihatannya memukul telinga, akan
tetapi sebenarnya leher lawanlah yang diarah.
Akan tetapi tiba-tiba Bouw Ang Gempo menubruknya dengan
kedua lengan dikembangkan dan sepasang tangan panglima Mongol
itu yang penuh bulu hitam panjang, mencengkeram ke arah
pergelangan tangannya yang memukul itu. Hui Lian terkejut karena
hampir saja pergelangan tangannya kena dicengkeram. Cepat ia lalu
membuka jari-jari tangannya dan mengibaskan jari-jarinya ke arah
tangan yang mencengkeram. Inilah jurus mengibaskan jari tangan
yang lihai sekali, karena jari-jari tangan yang dikibaskan itu dapat
memutuskan otot dan mematahkan tulang. Akan tetapi, Bou Ang
Gempo yang sudah melatih kedua tangannya sudah merendamnya
dengan obat dan melatihnya tak kenal lelah memiliki sepasang
tangan yang kulit telapaknya sudah mengeras dan menguat.
Kibasan jari-jari tangan nona itu tidak melukainya, namun cukup
membuat ia merasa telapak tangannya pedas kedua tangannya
terpental.
Jari-jari tangan yang dikibaskan ini adalah jurus pukulan Pak-kek
Sin-ciang yang disebut Sin-ci-coan-hoa (Jari Sakti Menembus Bunga)
dan merupakan semacam ilmu yang sukar dipelajari. Ilmu ini tepat
sekali dipergunakan untuk menghadapi lawan yang pandai Ilmu Silat
Kin-jia -hoat, semacam ilmu mencengkeram dan menangkap
(seperti Judo).
Bouw Ang Gempo merasa penasaran dan beberapa kali ia
menubruk dengan mengeluarkan seruan keras. Hui Lian pernah
mendengar dari ayahnya bahwa di Mongol terdapat ilmu gulat yang
lihai, maka ia menduga bahwa panglima Mongol ini tentulah
mempergunakan ilmu gulat. Ayahnya pernah berkata, "Kalau kau
369
menghadapi lawan yang mempergunakan ilmu gulat, hati-hati dan
jagalat jangan sampai kau kena tertangkap. Lawan dia dengan
tendangan dan pukulan yang mempergunakan tenaga lweekang dari
jauh!"
Oleh karena itu, Hui Lian mempergunakan ginkangnya, selalu
menjauhi Bouw Ang Gempo. Kemudian ia teringat akan ilmu
pukulan yang ia pelajari dari Kong Ji, yakni yang sebetulnya adalah
Ilmu Pukulan Tin-san-kang akan tetapi yang ia sendiri tidak tahu
namanya. Ketika ia melihat lawannya menubruk lagi cepat Hui Lian
mengerahkan tenaga, rendahkan tubuh dan mendorong dengan
kedua tangannya.
Kong Ji terkejut sekali melihat sumoinya mempergunakan Ilmu
Pukulan Tin-san-kang, akan tetapi kemudian ia lega karena ia ingat
bahwa tenaga dari sumoinya belum berapa hebat. ia tidak
menurunkan semua ilmu ini kepada Hui Lian. Betapapun juga,
terdengar teriakan kaget dan tubuh Bouw Ang Gempo terjengkang,
atau lebih tepat teelempar ke belakang sampai dua tombak lebih'
Akan tetapi panglima Mongol ini benar-benar kuat. ia melompat
berdiri lagi, tersenyum-senyum dan membersihkan pakaiannya, lalu
menjura kepada Hui Lian dengan wajah berseri.
"Go-lihiap, sekarang baru aku percaya bahwa kepandaianmu
memang benar-benar hebat. Saudara-saudara, tepuk tangan untuk
Nona Go Hui Lian" Semua orang yang berada di situ bertepuk
tangan dan bersorak memuji.
Hal ini tidak disangka-sangka oleh Hui-Lian. Ia merasa tidak enak
hati melihat sikap yang demikian tutus dari diri Bouw Ang Gempo,
maka ia pun menjura.
"Saudara Bouw Ang Gempo, terima kasih bahwa kau sudah
berlaku mengalah kepadaku," katanya.
Kong Ji menghampiri Bouw Ang Gempo dan menarik tangannya
ke arah mejanya.
"Kau benar-benar kuat, dapat menahan dorongan Sumoiku
sehingga tidak terluka. Sekarang, setelah mengadu kepandaian
barulah perkenalan kita disebut erat, karena bukanlah orang-orang
370
gagah di dunia baru dapat bergaul bebas setelah menguji
kepandaian masing-masing? Hal ini harus dirayakan!"
Hui Lian tidak keberatan melihat Bouw Ang Gempo duduk semeja
dengannya, karena memang ia merasa kagum melihat sikap yang
demikian jujur dan berani mengakui kekalahannya dari panglima
Mongol ini. Kalau orang kang-ouw di selatan, kekalahan tentu
dianggap bagai penghinaan dan hal yang memalukan serta
menjatuhkan nama, akan tetapi bagaimana orang ini menerimanya
dengan wajah gembira saja? Tentu saja ia tidak tahu bahwa
panglima Mongol ini merasa puas melihat kepandaian orang yang
dianggap sebagai calon isterinya!
Temu Cin sendiri berkenan memberi selamat kepada Hui Lian
dengan secawan arak atas kemenangan dan kepandaiannya yang
lihai. Kemudian Temu Cin memerintahkan anak buahnya bubar.
"Di dalam kegembiraan kita harus tetap waspada," kata
pemimpin muda ini, "musuh-musuh kita masih selalu mengintai.
Kalau kita tidak membatasi diri dan berpesta pora mabok-mabokan
kemudian pada lewat tengah malam ada musuh menyerbu,
bagaimana nasib kita?" Demikianlah semua orang bubaran, kecuali
meja yang dihadapi Kong Ji, Hui Lian, Bouw Ang Gempo dan juga
Temu Cin sendiri yang pindah mendekati mereka.
Beberapa kali Kong Ji bertukar isarat dengan pandangan mata
dengan Bouw Ang Gempo, di luar tahunya Hui Lian. Ang Gempo
melepaskan tali pinggang yang mengikat sarung goloknya,
kemudian menyerahkan golok itu kepada Kong Ji sambil berkata,
"Liok-taihiap, aku kalah bertaruh, golok ini lebih pantas berada di
tanganmu. Terimalah'"
Kong ji menerima sambil tertawa girang. “Saudara Bouw Ang
Gempo, kau benar-benar seorang laki-laki sejati. Terima kasih."
Hui Lian memandang semua ini dengan heran. "Suheng,
pertaruhan apakah yang kau adakan dengan Saudara Bouw Ang
Gempo?"
Suhengnya hanya tersenyum saja dan panglima Mongol itu yang
menjawab sambil tertawa lebar. "Liok-taihiap bertaruh bahwa aku
371
pasti akan kalah menghadapimu, Lihiap, sebagai taruhannya, aku
menawarkan golokku."
"Dan andaikata aku kalah?" tanya Hui Lian mengerutkan kening.
"Sumoi, aku tahu bahwa kau takkan kalah, maka aku berani
mempertaruhkan pedang Suhu."
Hui Lian hanya tersenyum, akan tetapi di dalam hatinya ia
mencela suhengnya yang begitu sembrono, berani mempertarukan
pedang ayahnya! Adapun Temu Cin yang mendengar semua itu
hanya tersenyum penuh rahasia. Pemimpin muda ini maklum akan
perjanjian antara kedua orang ini dan ia pun sudah setuju sekali,
maka ia telah siap untuk membicarakan tentang perjodohan antara
Bouw Ang Gempo dengan Hui Lian. Akan tetapi, ia sama sekali tidak
tahu bahwa telah diatur rencana yang amat keji oleh Kong Ji
terhadap sumoinya.
Tiba-tiba Bouw Ang Gempo mengangkat cawan araknya. "Lihiap,
aku Bou Ang Gempo benar-benar kagum terhadapmu, maka biarlah
sekali lagi dengan secawan arak aku menghaturkan selamat sebagai
pernyataan takluk!"
Hui Liman tidak enak sekali, "Ah, kau berlebih-lebihan. Dalam
sebuah pertandingan, kalah menang bukanlah hal yang aneh.
Kepandalanmu juga amat lihai, terutama sekali ilmu gulat itu benarbenar
berbahaya sekali."
Biarpun mulutnya berkata demikian, namun Hun Lian tak
mungkin dapat menampik penghormatan orang, maka ia
mengangkat cawannya yang sementara itu telah dipenuhi oleh Kong
Ji.
"Minumlah, Sumoi. Penghormatan orang secara tulus iklas tak
boleh ditolak." kata Kong Ji yang mengangkat cawannya sendiri,
diikuti pula oleh Temu Cin yang menganggap hal yang wajar saja.
Akan tetapi, begitu Hui Lian menenggak cawan araknya, tiba-tiba
gadis ini melompat dari bangkunya.
"A‘aaa...! Siapa berani main-main dengan aku...?" ia hendak
mencabut pedangnya, akan tetapi tiba-tiba bumi yang diinjaknya
serasa berputar dan ia roboh pingsan di atas lantai'
372
Temu Cin terkejut sekali, akan tetapi pemimpin ini dapat
menekan perasaannya dan memandang tajam, menanti sabar, apa
yang akan terjadi selanjutnya.
Bouw Ang Gempo dan Kong Ji tertawa bergelak. "Liok-taihiap,
kau benar-benar memegang janji. Terima kasih”
Kong Ji menghampiri tubuh Hui Lian dan mengambil pedang Pakkek
Sin-kiam berikut sarungnya. Pedang Hui Lian yang tadinya
terikat di punggungnya, ia lepaskan dan lemparkan di atas lantai.
Kini ia memakai dua senjata, yakni golok dari Bouw Ang Gempo
yang diikat di pinggang dan pedang Pak-kek Sin-kiam di punggung.
"Segala apa sudah dirundingkan dan sudah dilakukan beres.
Temu Cin Taijin perkenankan aku melanjutkan perjalananku pada
malam hari ini juga. Nalumei akan kubawa serta. Masa bodoh
dengan Sumoi, harap ia diperlakukan baik-baik di sini!" Ia menjura
kepada Temu Cin, yang berdiri dan tersenyum pula.
"Baiklah, Taihiap. Selamat jalan dan aku masih mengharapkan
bantuanmu kelak.”
Kong Ji melompat ke arah tenda di mana Nalumei ditawan. Gadis
ini berbaring dan masih berada dalam keadaan terikat kaki
tangannya. Melihat kedatanga Kong Ji, matanya bersinar marah.
"Nalumei, tahukah bahwa kau hendak dikawinkan dengan Bouw
Ang Gempo? Dan tahukah kau pula bahwa aku sengaja menebusmu
dengan sumoiku karena aku cinta padamu? Marilah kita berangkat,
untuk apa tinggal di tempat yang berbahaya ini. Mari kau ikut aku
merantau dan mengecap kebahagiaan hidup" Ia lalu menyambar
tubuh gadis itu, memanggul atau memondongnya lalu berlari cepat,
pergi dari situ. Nalumei menerima nasib. Memang ia kagum sekali
akan kepandaian pemuda bangsa Han ini dan kalau dibandingkan
dengan Bouw Ang Gempo, tentu saja pemuda ini jauh lebih tampan,
sungguhpun sikapnya tidak segagah Temu Cin yang tadinya ia
kagumi sekalli.
-oo0mch-dewi0oo373
Setelah Kong Ji pergi, Bouw Gempo yang sudah terlalu banyak
minum arak itu, memandang kepada Temu Cin sambil menyeringai,
kemudian ia berkata,
"Dengan perkenan Khan Muda yang mulia, hamba hendak
mengaso bersama isteri hamba..." ia membungkuk dan
menghampiri tubuh Hui Lian yang hendak dipondongnya.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras, disusul oleh
suara berdebum dan tahu-tahu tubuh Bouw Ang Gempo telah
terlempar jauh! Ia tadi telah ditangkap dan dilemparkan Temu Cin
yang mempergunakan ilmu gulat yang luar biasa!
Bagaikan anjing yang jatuh dilemparkan Bouw Ang Gempo
kerengkangan bangun dan memandang kepada raja mudanya itu
dengan mata terbelalak dan muka pucat.
"Bangsat!" Temu Cin memaki-maki dan tangannya meraba-raba
gagang goloknya. "Kalau aku tidak ingat akan jasamu sekarang kau
sudah tak bernyawa lagi!"
Apa…. apakah kedosaan hamba...?" Bouw Ang Gempo berkata
ketakutan.
"Jahanam! Kau merendahkan martabat kita! Aku memang setuju
kalau nona ini menjadi isterimu, akan tetapi bukab dengan cara
serendah ini. Mana sifat laki-lakimu sebagai seorang pahlawan
Mongol?"
"Hamba... hamba... ini adalah siasat dari Liok-taihiap... dan
kalau... kalau dengan jalan halus siapakah yang dapat menghadapi
Go-lihiap...?" kata pula panglima itu ketakutan dan bingung.
"Celaka' Kau menjadi kotor dan rendah setelah dekat dengan
orang she Lok yang khianat itu! Sekali kau menjamah tubuh Nona
Go, golokku akan minum darahmu! Bodoh sekali! Nona ini adalah
puteri dari Taihiap Go Ciang Le yang amat kubutuhkan bantuannya.
Kalau kita melakukan hal serendah ini, apa kau kira cita-cita kita
akan tercapai? Kita akan dimusuhi oleh seluruh orang gagah di
dunia dan kita akan mampus tertumpas sebelum melangkah maju.
Orang she Liok itu jahanam sekali, hal ini sudah kucurigai semula,
akan tetapi sekarang buktinya. Kepada sumoinya sendiri, telah
374
berlaku khianat dan biadab, apalagi terhadap kita. Lekas kaubawa
seribu orang pasukan, susul dan cegat dia. Rampas kembali Nalumei
yang lebih patut menjadi isterimu, rampas kembali pedang Nona ini.
Kalau dapat bunuh saja orang jahanam itu! Lekas!"
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid XIV
BAGAIKAN anjing dipukul Bouw Ang Gempo pergi. Temu Cin
menepuk tangan tiga kali. Pelayan-pelayan wanita datang dan
pemimpin muda yang keras hati dan berdisiplin ini memberi
perintah:
"Bawa Nona ini ke dalam kamar tamu, rawat baik-baik dan
setelah sadar, katakan bahwa dia tidak perlu takut. Aku akan bicara
dengan dia sendiri kalau dia sudah sadar." Setelah berkata demikian
pemimpin besar ini lalu kembali ke kamarnya dengan uring-uringan.
ia tidak mengira bahwa di dalam minuman yang di suguhkan oleh
Kong Ji kepada Hui Lian tadi diberi obat membikin mabok, dan tidak
menyangka bahwa Kong Ji telah menjalankan siasat yang demikian
busuknya, terutama sekali ia marah karena panglimanya yang paling
disayang telah kena dibujuk oleh pemuda she Liok itu untuk
menjalankan perbuatan serendah itu.
Sementara itu, Liok Kong Ji berlari-lari meninggalkan Telaga
Gasyun Nor. Bulan bercahaya terang sehingga ia dapat melakukan
perjalanan dengan senang. Akan tetapi, karena ia masih asing
dengan daerah ini, ia tidak tahu mana yang terdekat, dan hanya
mengikuti jalan yang dahulu ia lalui bersama Hui Lian. Hatinya
girang sekali. Tidak saja ia mendapatkan Nalumei nona manis
bangsa Naiman itu, akam tetapi ia juga mendapatkan Pak-kek Sinkiam
dan golok mustika dari Bouw Ang Gempo. Pula telah terbebas
dan Hui Lian, gadis yang telah menolak cinta kasihnya, berarti
musuhnya dan harus dilenyapken. Ia tersenyum girang kalau
mengingat akan nasib Hui Lian, terjatuh ke dalam tangan seorang
Mongol yang kasar dan buruk rupa.
375
"Hem, kau menolakku dan sekarang mendapatkan orang Mongol
itu, ha, ha ha," ia ketawa seorang diri sehingga Nalumei yang
berada dalam pondongannya menjadi terheran-heran.
Tiba-tiba pemuda itu menghentikan larinya. ia mendengar suara
kaki kuda yang banyak sekali. Ketika ia memperhatikannya, derap
kaki kuda itu datang dari belakang, kanan kiri dan dari depan!
Agaknya ia telah terkurung oleh barisan kuda yang banyak sekali
jumlahnya. Memang betul demikian, Bouw Ang Gempo yang telah
mendapat perintah, dengan hati mengkal terhadap Kong Ji telah
mengerahkan seribu orang pasukan berkuda untuk menyusul Kong
Ji, bahkan dengan jalan mengambil jalan terdekat, dapat
mengurung pemuda yang lari itu.
Waktu itu telah menjelang fajar. Keadaan masih remang-remang
dan suram. Cahaya matahari tipis berlawanan dengan cahaya bulan
yang sudah lemah, nampak udara keabu-abuan menimbulkan
bayang-bayang yang menyeramkan. Di dalam kesuraman ini, Kong
Ji melihat banyak sekali penunggang kuda muncul dari mana-mana.
"Liok Kong Ji manusia curang, kau sudah terkurung dan
nyawamu berada di tangan kami. Kembalikan Nalumei dan pedang
pusaka. Golok mustikaku boleh kaubawa ke neraka. Ha, ha, ha!"
Itulah suara Bouw Ang Gempo, yang kasar dan besar, yang
bergema sekitar tempat itu amat menyeramkan. Mendengar katakata
ini, Kong Ji maklum bahwa ia telah terjebak, bahwa telah
tertipu oleh orang orang Mongol. Ia cepat membebaskan Nalumei
dan menurunkan gadis itu.
"Kalau ingin selamat, bantu menghadapi mereka. Boleh kau pilih,
bersuamikan aku atau orang kasar itu!" kata Kong Ji sambil
mencabut golok dan pedang. Akan tetapi, golok itu amat ringan
sehingga ia terheran sekali. Ketika melihat lebih nyata, ia terkejut
dan marah. Golok ini sama sekali bukan golok mustika yang dipakai
Bouw Ang Gempo melainkan golok palsu yang hanya gagangnya
sama dengan golok panglima itu. Ia cepat menyerahkan golok itu
kepada Nalumei.
"Biarpun golok palsu, lumayan untuk menjaga diri. Bersiaplah!"
376
Nalumel mengangguk. ia memang sakit hati sekali kepada suku
bangsa Mongol yang telah membunuh ayahnya dan mengalahkan
bangsanya, bagaimana ia sudi diambil isteri oleh seorang kasar
seperti Bouw Ang Gempo? Lebih baik ikut dengan pemuda Han yang
gagah perkasa ini.
"Bouw Ang Gempo ternyata kau seekor ular busuk yang harus
mampus. Biar-pun kau dan orang-orangmu sudah mengurungku,
kau dapat berbuat apakah?" Baru saja ia bicara demikian, cepat
seperti kilat Kong Ji melompat dan ia telah berada di depan kuda
Bouw Ang Gempo. Setelah pedangnya berkelebat, putuslah
sepasang kaki depan kuda itu dan terpaksa Bouw Ang Gempo
melompat, Ia dan kudanya sambil mengayun senjata rahasia berupa
pisau-pisau terbang, sebanyak tiga buah. Namun dengan mudah
Kong Ji membabat putus pisau-pisau itu dengan pedangnya.
Bouw Ang Gempo sudah siap dan sambil memberi aba-aba
kepada anak buahnya. ia menyerbu dengan goloknya.
"Bunuh anjing ini dan tawan putri Nalumei, jangan lukai calon
isteriku itu,” perintahnya dengan suara garang.
Terjadilah pertempuran yang hebat sekali. Kong Ji menggerakkan
pedangnya dan baru sekarang Bouw Ang Gempo melihat kelihaian
pemuda ini. Baru beberapa gebrakan saja lima orang anak buahnya
menjerit dan roboh mandi darah. Ia marah sekali dan sambil
memberi dorongan semangat kepada anak buahnya untuk
mengcroyok, ia mengobat-abit golok pusakanya dengan tenaga
sekuatnya.
Kong Ji merasa kewalahan juga. Biarpun pedangnya banyak
merobohkan lawan, akan tetapi jumlah lawan terlampau banyak dan
mereka ini nekat tidak takut mati, sedangkan mereka rata-rata juga
orang-orang yang banyak pengalaman dalam pertempuran. Apalagi
Bouw Ang Gempo bukannya lawan yang boleh dipandang rendah.
"Kalau begini terus, belum merobohkan seratus orang tenagaku
sudah habis,” keluhnya. Kemudian ia mengambil keputusan untuk
merobohkan Bouw Ang Gempo lebih dulu. Segera ia mendesak dan
pedangnya bagaikan bintang melayang meluncur mengarah dada
Bouw Ang Gempo. Panglima ini cepat menangkis, akan tetapi
377
tangkisannya ini gagal karena goloknya tersampok ke samping.
Baiknya pada saat berbahaya itu, seorang anak buahnya dengan
nekat menubruk Kong Ji sehingga terpaksa Kong Ji mengubah
gerakan pedangnya, tidak dapat membunuh Bouw Ang Gempo
sebaliknya membabat penyerang ini yang segera roboh dengan
tubuh menjadi dua potong.
Demiklanlah, setiap kali ia hampir berhasil membunuh Bouw Ang
Gempo, selalu dihalangi oleh seorang pengeroyok. Diam-diam Kong
Ji merasa mendongkol dan juga kagum akan kesetiaan orang-orang
Mongol ini terhadap pemimpin mereka. Keadaannya seperti seekor
harimau dikeroyok banyak tikus. Roboh seorang maju dua orang
roboh dua orang maju lima orang sehingga ia menjadi sibuk juga.
Tiba-tiba ia mendengar Nalumei menjerit. Ketika ia melirik,
ternyata bahu gadis itu telah kena ditangkap.
"Lepaskan dia!" Kong Ji marah, sekali melompat ia telah berada
dekat Nalumei. Pedangnya bergerak dan robohlah empat orang
yang tadi menangkap Nalumei!
Dari belakang orang-orang mengejarnya. Kong Ji merendahkan
diri, menyarungkan pedang dan kedua tangannya memukul bertubitubi
ke depan.
Bukan main hebatnya akibat dari pukulan Tin-san-kang. Bagaikan
daun kering tertiup badai belasan orang perajurit Mongol roboh tak
bernyawa lagi dari telinga mereka mengalir darah!
Kong Ji memukul terus dan untuk sesaat orang-orang Mongol itu
menjadi gentar. Mereka menganggap bahwa ini adalah ilmu
siluman. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Kong Ji. ia
menyambar tubuh Nalumei, melompat keatas kuda yang telah
kehilangan penunggangnya, lalu membalapkan kuda itu!
Dari belakang orang orang Mongol mengejarnya sambil berteriakteriak.
Ratusan batang anak panah menghujani Kong Ji. Anak muda
ini dengan mudah dapat mengibas runtuh semua anak panah, akan
tetapi kudanya tak dapat mengelak dan tak lama kemudian kudanya
roboh bimasa dengan tubuh belakang penuh anak panah yang
menancap dalam-dalam.
378
"Keparat! Kubasmi kalian!" bentak Kong Ji marah. "Nalumei kau
bersembunyilah di belakang batu karang itu. Diam-diam
kaurobohkan seorang musuh dan pakailah pakaiannya lalu siapkan
dua ekor kuda untuk kita," kata Kong Ji bersiasat.
Nalumei mengangguk. Ia amat kagum kepada pemuda ini yang
ternyata luar biasa gagahnya. Juga sekarang ia melihat bahwa
pemuda ini benar-benar tampan dan gagah, maka hatinya jatuh. ia
mengambil keputusan untuk ikut dengan pemuda ini dan kelak akan
dapat membalas dendam kepada orang-orang Mongol atas kematian
ayahnya. Dengan bantuan pemuda ini, ia berbesar hati. Cepat
Nalumei menyelinap dan menyembunyikan diri di belakang batu
karang yang besar. Mereka telah tiba di daerah yang kering, akan
tetapi masih ada pohon-pohon sedikit dan batu-batu karang
menonjol tinggi.
Para pengejar sudah datang dekat Kong Ji memapaki mereka dan
dengan pedang di tangan kanan ia siap sedia. Para pengejarnya itu,
juga Bouw Gempo menahan kuda mereka. Betapa pun juga,
kegagahan pemuda ini mengecilkan hati mereka.
"Liok Kong Ji, kalau kau menyerahkan Nalumei baik-baik kami
akan kembali dan kau boleh melanjutkan perjalananmu," kata Bouw
Ang Gempo. ia merasa gentar terhadap Kong Ji dan hendak
mempergunakan cara damai.
Kong Ji tersenyum. "f3ouw Ang Gempo, tak kusangka kau
ternyata seorang yang rendah budi. Bukankah aku sudah
meninggalkan sumoiku dalam keadaan tidak berdaya? Bukankah
kita sudah berjanji untuk saling bertukar antara Sumoiku dan Nona
Nalumei? Kau ternyata tidak saja memalsu golok, bahkan sekarang
kau mengejar dan hendak merampas Nalumei dan membunuhku.
Anjing dan ular kiranya tidak sejahat engkau!"
"Enak saja kau bicara! Memang golokku ada dua, mengapa kau
tidak melihat baik-baik di waktu kau menerimanya itu tandanya kau
goblok. Tentang sumoimu itu, siapa yang sudi? Kau boleh
mengambilnya kembali asal kau memberikan Nalumei calon isteriku
itu kepadaku.”
379
Kong Ji memperlihatkan wajah berseri. Bouw Ang Gempo
kebetulan sekali, aku memang baru saja merasa menyesal telah
meninggalkan Sumoi. Kalau kau benar-benar hendak menukarnya
kembali, boleh kau membawa Nalumei"
Nalumei yang bersembunyi di balik batu karang, terkejut sekali
dan mukanya menjadi pucat. ia tidak tahu akan siasat yang
dijalankan oleh Kong Ji dan ia memang belum mengenal kelihatan
siasat Kong Ji.
Bouw Ang Gempo tertawa mengejek. “Orang she Liok, siapa
tidak tahu bahwa kau mempunyai tipu muslihat dan akal busuk?
Siapa bisa percaya kepadamu?”
"Kalau kau tidak percaya boleh kau menyuruh seorang anak
buahmu mengambil Nalumei. Boleh naikkan dia di atas kuda untuk
kaubawa pulang, siapa yang akan menipumu?"
Mendengar ini, Bouw Ang Gempo menyuruh seorang anak
buahnya membawa kuda menghampiri Kong Ji. "Itu, dia di balik
batu karang," kata Kong Ji, "ambil saja dia."
Orang berkuda itu membalapkan kudanya sampai di belakang
batu karang itu, akan tetapi tiba tiba ia menjerit dan dadanya
ditembusi oleh ujung golok di tangan Nalumei.
Bouw Ang Gempo terkejut sekali, akan tetapi kejadian ini
membuat ia kurang waspada sehingga ia tidak melihat bahwa Kong
Ji sudah mendekatinya. Sebelum ia tahu apa yang harus dilakukan
tiba-tiba pundaknya sudah dicengkeram oleh Kong Ji yang
melakukan ini sambil melompat sejauh lima tombak lebih! Benarbenar
hebat pemuda ini karena dari jatak lima tombak lebih ia dapat
menangkap lawannya tanpa diketahui lebih dulu oleh orang begitu
banyak. Bouw Ang Gempo hendak melawan, akan tetapi sudah
kehilangan tenaga, karena jalan darahnya sudah ditekan oleh Kong
Ji yang duduk di atas kudanya. Sambil mengempit tubuh Bouw Ang
Gempo, Kong Ji membalikkan kudanya menghadapi orang-orang
Mongol yang tercengang melihat kejadian itu.
"Kalau kalian bergerak, pemimpinmu ini akan kupatahkan barang
lehernya!" ia mengancam. "Biarkan aku dan Nalumei pergi, kalau
380
kalian tidak mengganggu, aku akan melepaskan Bouw Ang Gempo
dalam keadaan hidup."
"Siapa bisa tanggung kalau kau tidak akan menipu kami?" teriak
seorang pembantu Bouw Ang Gempo. "Bagaimana kalau kau pergi
dan kemudian tetap memhunuh komandan kami? Lekas lepaskan
dia kalau tidak, kami akan menghujani anak panah dan akan
menyerangmu mati-matian. Biarpun sampai di neraka, sebelum
habis pasukan kami, kami akan mengejarmu!"
Kong Ji maklum bahwa ancaman ini bukan ancaman kosong,
maka ia cepat mengatur siasat, "Aku tidak menipu kalian. Kalau
tidak percaya, biarlah barisan anak panah kalian mengikuti kami
dengan jalan kaki. Begitu kami membalikan kuda, kalian boleh
menghujani anak panah, apa salahnya? Nah, kalau sudah lima li dan
sini, aku akan melepaskan Bouw Ang Gempo dan kami akan
melarikan kuda. Dengan demikian menjadi adil bukan? Kalian tidak
dapat mengejar kami karena tidak berkuda, sedangkan kami tidak
dapat menipu karena kalau aku membunuh komandanmu, barisan
anak panah itu dapat menghujani kami dengan anak panah."
Para pembantu Bouw Ang Gempo mengadakan perundingan,
akhirnya setuju. Bagi mereka, nyawa Bouw Ang Gempo lebih
berharga daripada Nalumei. Seratus dua puluh orang ahli panah lalu
turun dari kuda dan berbaris, siap mengantar Kong Ji. Pemuda ini
tertawa sambil mengempit tubuh Bouw Ang Gempo yang tak
berdaya itu, ia berseru, "Nalumei, keluarlah dan situ, dan
melanjutkan perjalanan"
Nalumei girang sekali karena tadi ia mendengar semua dan tahu
bahwa semua kata-kata pemuda itu hanyalah siasat belaka untuk
menipu musuh. ia menjadi semakin girang dan muncullah dari balik
batu karang itu seorang pemuda yang ganteng menunggang kuda
dengan gagah. Dia inilah Nalumei yang sudah merobohkan
penunggang kuda yang hendak menjemputnya tadi dan memakai
pakaian luarnya! Semua orang Mongol tercengang, akan tetapi
Nalumei berkata sambil tersenyum manis.
"Bagus sekali, orangmu tadi kurang ajar dan hendak
menggangguku, terpaksa aku membunuhnya dan mengambil kuda
dan pakaiannya, amat perlu bagi perjalananku.
381
Biarpun mendongkol, orang-orang Mongol itu tidak berdaya.
Keselamatan Bouw Ang Gempo jauh lebih penting dari pada urusan
kematian seorang anak buah biasa. Kong Ji dan Nalumei lalu
menjalankan kuda perlahan untuk memberi kesempatan kepada
seratus dua puluh orang atilt panah itu mengikuti mereka sambil
berjalan kaki.
"Nalumei, kau manis sekali dalam pakaian itu," kata Kong Ji
perlahan sambil memandang Nalumei yang menjalankan kudanya di
sebelahnya.
Nalumei tercengang, akan tetapi ia girang sekali. Luar biasa
pemuda ini, dalam keadaan seperti itu, terancam oleh seratus dua
puluh orang ahli panah di belakang, masih sempat bercumbu.
"Dan kau gagah perkasa sekali. Taihiap,” balasnya lirih dengan
kerling mata penuh arti. Kong Ji girang. Nona ini benar-benar jauh
bedanya dengan Hui l.ian, dan melakukan pejalanan bersama dia
tentu akan amat menyenangkan.
Setelah jarak lima li dilewati, Kong Ji menghentikan kudanya dan
memutar binatang tunggangannya itu, menghadapi seratus dua
puluh orang yang mengikutinya.
"Aku akan melepaskan Bouw Ang Gempo di sini seperti yang
telah kita janjikan. Harap saja kalian dapat dipercaya." katanya.
"Janji orang-orang Mongol takkan dilanggarnya,” jawab seorang
di antara para ahli panah itu.
Kong Ji menoleh kepada Nalumei, “Kekasihku, kau pergilah dulu,
nanti kususul engkau. Dengan seorang diri, lebih mudah bagiku
untuk menyelamatkan diri, kalau kalau mereka nanti menyerang."
Nulumai tidak ragu-ragu untuk mentaati perintah ini karena tadi
ia sudah menyaksikan betapa lihainya Kong Ji. Sambil tersenyum
manis, gadis suku bangsa Naiman yang kini sudah menyamar dalam
pakaian pria ini lalu mengangguk dan membalapkan kudanya, lari ke
depan.
"Nah, sekarang kalian boleh menerima kembali Bouw Ang
Gempo. Lihat, dia tidak aku apa-apakan dan masih sehat," kata
Kong Ji setelah melihat Nalumei berada di tempat aman, takkan
382
tercapai oleh anak panah yang dilepaskan dari tempat itu. Ia
menurunkan Bouw Ang Gempo dari atas kuda, dan panglima Mongol
itu karena didorong lalu terhuyung ke depan dan terus berjalan
dengan langkah cepat ke arah kawan-kawannya.
Melihat betapa panglima mereka benar benar dilepas dan dapat
berjalan serta keadaannya memang tidak terluka para ahli panah itu
tidak mengganggu ketika sambil tertawa Kong Ji membalapkan kuda
menyusul Nalumei.
Gadis itu telah menanti di
tempat jauh. Melihat
kedatangan Kong Ji, ia girang
sekali dan menyambut dengan
senyum mains. Hatinya girang
bahwa pemuda ini tidak
menemui halangan sesuatu.
"Nalumei, hayo kita
balapkan kuda jangan sampai
tersusul oleh mereka," kata
Kong Ji dengan wajah berseri.
"Mereka tentu akan mencakmencak
dan pasti akan
berusaha mengejar kita."
Nalumei menyabat kudanya
dan kedua orang muda ini lalu
mengaburkan kuda sehingga
debu mengepul di belakang ke dua binatang itu.
"Ape sih yang kaulakukan terhadap Bouw Ang Gempo" tanya
Nalumei. Gadis ini adalah seorang gadis yang terlahir di tengahtengah
suku bangsa menungang kuda, maka dia sendiri sudah
semenjak kecil dapat menunggang kuda, kini menjadi seorang
penunggang kuda yang amat pandai. Oleh karena itu, biarpun
berada di atas punggung seekor kuda yang membalap, dia masih
enak saja dan masih sempat bercakap-cakap.
383
Kong Ji tersenyum. "Tidak apa hanya aku memutuskan urat
syaraf kepalanya sehingga babi kunirsan itu takkan dapat mengingat
dengan baik lagi.
Nalumei diam-diam merasa ngeri akan tetapi ia juga girang
sekali. Sekalian orang Mongol yang membantu Temu Cin berarti
musuh besarnya, maka kematian atau terlukanya seorang seperti
Bouw Ang Gempo merupakan pembalasan dendam baginya.
"Kuharap saja lain kali kau dapat melakukan hal seperti itu
terhadap Temu Cin dan lain-lain manusia Mongol yang telah
membasmi suku bangsaku, Tauhiap.”
Akan tetapi Kong Ji hanya tersenyumdan demikianlah, sepasang
orang muda melakukan perantauan mereka, dan Halumei tidak
sadar bahwa diam-diam ia telah menyerahkan diri kepada seorang
muda yang berwatak aneh, kejam, dan licin sekali.
Memang betul apa yang diucapkan oleh Kong Ji kepada Nalumei
itu. Dengan cara diam-diam ia telah menepuk ubun-ubun kepala
Bouw Ang Gempo dan dengan ilmu pukulan keji yang ia pelajari dari
See-thian Tok-ong, ia telah merusak urat syaraf di kepala panglima
Mongol itu sehingga, seperti halnya pemuda Ma Hoat tempo hari,
panglima ini pun menjadi lupa ingatan dan seperti orang gila.
Kawan-kawannya yang tadinya girang menyambutnya, setelah
Bouw Ang Gempo datang dekat, menjadi terheran-heran melihat
panglima itu memandang kepada mereka seperti orang mimpi.
Ketika di-tanya dan ditegur, panglima Mongol ini hanya tersenyum
menyeringai dan akhirnya tahulah mereka bahwa panglima ini telah
berubah ingatannya! Tak seorang pun di antara mereka yang
menduga bahwa ini adalah perbuatan Kong Ji, dalam kebingungan,
mereka segera membawa Bouw Ang Gempo kepada Temu Cin.
Ketika itu, Temu Cin sedang bercakap-cakap dengan Hui Lian.
Gadis ini telah mendengar semua penuturan Temu Cin tentang
kekejian dan pengkhianatan Kong Ji, tak dapat menahan air
matanya. Ia merasa amat kecewa kepada diri sendiri yang salah
tafsir akan Kong Ji, merasa penasaran mengapa ayahnya dapat
mengambil murid sejahat itu, merasa sakit hati dan marah sekali
kepada suhengnya. Juga ia ngeri memikirkan betapa ia pernah
384
mengajar Pak-kek Sin-ciang kepada Kong Ji dan ia maklum bahwa
pemuda itu merupakan seorang manusia iblis yang amat lihai,
apalagi setelah pedang Pak-kek Sin-kiam dibawanya! Di samping ini,
Hui Lian merasa bersukur dan berterima kasih sekali ke pada Temu
Cin. Kalau tidak karena sifat yang gagah dan adil dari pemimpin
besar ini entah bagaimana jadinya dengan nasibnya.
"Aku akan mencarinya! Aku akan membunuhnya!" hanya inilah
kata-kata yang keluar dan mulut Hui Lian.
"Sabar Lihiap. Aku pun sudah mengutus Bouw Ang Gempo dan
seribu orang pasukan panah untuk menghadang dan
membunuhnya, sekalian merampas kembali Nalumei dan pedang
pusakamu."
"Kau baik sekali, Taijin. Kalau tidak kau yang menolongku...."
"Sudahlah, antara orang sendiri mengapa banyak sungkan? Aku
selalu mengharmati orang-orang gagah dan membenci orang yang
jahat dan curang. Apalagi aku ingat bahwa nama ayahmu sudah
menjulang tinggi di dunia kang-ouw, bagaimana aku dapat
membiarkan kau mengalami celaka? Biarpun aku tidak minta balas
jasa kepada siapapun -juga, namun aku kelak masih banyak
mengharapkan bantuan-bantuan dari orang-orang gagah seperti
kau, Ayahmu dan yang lain-lain," jawab Temu Cin yang pada
hakekatnya amat cerdik itu. Kecerdikan dan kegagahan serta
pengaruhnya yang amat besar inilah yang kelak dapat menghasilkan
perjuangan dan cita-citanya sehingga ia mencapai kedudukan
tertinggi menjadi raja besar yang terkenal dengan nama Jengis
Khan!
Tengah mereka bercakap-cakap datanglah rombongan ahli panah
yang tadinya mengikuti Kong Ji bersama ratusan perajurit sisa dari
seribu orang yang tadinya dipimpin oleh Bouw Ang Gempo. Pasukan
yang lain menanti di luar, yang masuk adalah pemimpin barisan
berpanah sebanyak tiga orang yang menggandeng Bouw Ang
Gempo di tengah-tengah. Dilihat dari jauh, seakan-akan tiga orang
ini mengawal seorang tangkapan yang keadaannya menyedihkan
kali.
385
Temu Cin mengerutkan kening dan berkata perlahan kepada Hui
Lian.
"Ah, agaknya suhengmu telah dapat menggagalkan pengejaran
Bouw Ang Gempo...."
Tiga orang itu menghadap Temu Cin, memberi hormat secara
militer, kemudian menuturkan semua pengalaman mereka.
Menjelaskan betapa dengan amat cerdik dan licinnya, Kong Ji yang
dikejar-kejar itu telah berhasil menawan Bauw Ang Gempo sehingga
terpaksa mereka melepaskan pemuda itu asal Bouw Ang Gempo
tidak dibunuh.
"Akan tetapi sungguh aneh, Khan Muda yang mulia, memang
Panglima Bouw Ang Gempo telah dilepas dan tidak terluka sama
sekali, akan tetapi aneh... Paduka dapat melihatnya sendiri,
keadaannya tidak sewajarnya... agaknya seperti berubah ingatan!"
Temu Cin memandang kepada panglimanya. Dadanya berdebar
menahan kemarahan. Benar-benar merupakan tamparan baginya. ia
tentu akan ditertawai orang sedunia kalau mereka mendengar
betapa seorang panglimanya dengan pasukan seribu orang
jumlahnya, telah gagal untuk mengejar dan menangkap seorang
buronan!
"Bouw Ang Gempo l Hayo jelasnya semua ini!" bentaknya marah.
Akan tetapi Panglima Mongol yang tegap pendek dan berkumis
kecil panjang itu hanya menyeringai, mulutnya berkemak-kemik dan
yang terdengar hanya kata-kata mengaco tidak karuan.
"Ah, Kong Ji benar-benar manusia Iblis!" tiba-tiba Hui Lian
menggebrak meja. "Tak perlu diperiksa orang ini telah kehilangan
ingatannya. Dulu dalam perjalanan, dia membikin seorang pemuda
she Ma seperti ini, yakni ditotok putus urat-urat syaraf di
kepalanya!"
Temu Cin minta penjelasan. Setelah mendengar penuturan Hui
Lian, tiba-tiba ia melompat berdiri, mencabut golok dan sekali tabas
saja putuslah leher Bou Ang Gempo. Hui Lian terkejut sekali dan
gadis ini menegur,
386
"Apakah artinya ini? Mengapa orang yang harus dikasihani ini
dibunuh? Ini keterlaluan sekali!!"
Temu Cin menyarungkan goloknya wajahnya nampak gelap dan
berduka. Kemudian ia memandang kepada Hui Lian sambil
tersenyum pahit.
"Go-lihiap, kalau kau seorang tamu yang pernah diperlakukan
secara curang dan jahat oleh Bouw Ang Gempo dapat menaruh hati
kasihan kepadanya bagaimana aku tidak? Bouw Ang Gempo adalah
seorang kepercayaanku yang selalu taat dan setia, aku kasihan dan
sayang kepadanya," kata Temu Cin kepada Hui Lian yang terheranheran
dan tidak senang melihat pemimpin orang Mongol ini
membunuh Bouw Ang Gempo.
"Kalau kasihan, mengapa Taijin bahkan membunuhnya?"
"Adakah jalan yang lebih baik untuk membebaskannya dari
penderitaan daripada membunuhnya? Kalau ia dibiarkan hidup, ia
akan menjadi seorang gila yang tidak ada gunanya. Bagi seorang
gagah, lebih baik mati daripada hidup tak berguna, bahkan hanya
akan mendatangkan malu belaka," kata Temu Cin dan wajah
pemimpin besar ini nampak muram.
Akhirnya Hut Lian terpaksa mengakui dalam hati bahwa
perbuatan Temu Cin terhadap diri Bouw Ang Gempo tadi memang
tepat. Dan bertambahlah kebenciannya terhadap Liok Kong Ji,
pemuda berwatak iblis itu.
“Aku akan mencari keparat itu, Tai-jin, dan percayalah bahwa
dengan bantuan Ayah Bundaku, kelak aku akan dapat
menewaskannya, dan dengan demikian sakit hatimu dan sakit hati
Bouw Ang Gempo akan terbalas."
"Kau baik sekali, Lihiap, dan kami merasa beruntung sekali dapat
berkenalan denganmu. Sampaikan saja hormatku pada ayahmu
pendekar besar yang sudah lama kujunjung tinggi namanya."
Hui Lian bersiap-siap kemudian meninggalkan tempat itu setelah
berjanji bahwa kelak ia akan membantu pemimpin ini bersama ayah
bundanya dan sahabat-sahabatnya di dunia kang-ouw. Temu Cin
memberi seekor kuda yang amat baik berikut bekal makanan,
387
minuman dan emas. Selain ini, ia memerintahkan sepasukan
berkuda untuk mengawal Hui Lian keluar dari daerah kering yang
amat sukar itu, untuk mencegah agar gadis ini jangan sampai
tersesat dan menderita kesulitan di jalan.
Tentu saja Hui Lian menjadi girang dan merasa berterima kasih
sekali, maka berangkatlah rombongan itu mengawal Hui Lian
menuju ke selatan. Debu mengepul tinggi dari bawah kaki
rombongan berkuda ini, menutupi cahaya matahari yang masih
lemah.
-oo0mch-dewi0oo-
Kurang lebih seratus orang pengemis sabuk hitam, yakni
anggauta-anggauta penting dari perkumpulan pengemis Hek-kinkaipang,
berkumpul di luar kota Bi nam-bun. Sebagaimana pembaca
tentu masih ingat, perkumpulan Hek-kin-kaipang adalah
perkumpulan pengemis yang paling besar dan berpengaruh, dan
telah memiliki nama yang terkenal di dunia kang-ouw. Ketua dari
Hek-kin-kaipang adalah Kiang Cun Eng, wanita cantik yang genit,
akan tetapi yang pada dasarnya memiliki watak gagah dan baik.
Ketua Hek-kin-kaipang inilah yang telah menolong Wan Sin Hong
dan yang membawanya ke puncak Luliang-san, menyehkannya
kepada Luliang Sam lojin.
Setelah menyerahkan Sin Hong kepada dua orang kakek sakti di
Luliang-san itu, Kiang Cun Eng lalu memindahkan pusat
perkumpulannya di Bi-nam-bun dan semenjak itu ia hidup
menyendiri, bahkan setengah bersembunyi. Ia maklum bahwa
setelah merampas Sin Hong dari tangan orang-orang Im-yang-bupai,
berada dalam keadaan terancam. Ke pada para anggauta Hekkin-
kaipang pun berpesan agar menjauhkan diri bentrokan dengan
Im-yang-bu-pai.
Telah berpuluh tahun Cun Eng menjadi ketua Hek-kin-kaipang.
Ketua perkumpulan ini dipilih dalam lima tahun sekali dan selalu
mereka memilih Cun Eng. Bukan saja karena wanita ini memang
memiliki kepandaian tinggi, juga karena selama dipimpin oleh Cun
Eng perkumpulan ini dapat berkembang dengan baik dan dalam diri
388
Cun Eng mereka mendapatkan seorang pemimpin yang baik dan
tegas.
Pada hari itu, kembali lima tahun telah lewat dan hari itu mereka
berkumpul di Bi-nam-bun untuk menguasai perkumpulan itu agar
dapat menjadi ketua perkumpulan yang besar dan berpengaruh ini.
Akan tetapi beberapa orang yang hendak mencari kedudukan ini
semua kena dikalahkan oleh Kiang Cun Eng yang lihai.
Namun sekarang lain lagi. Selama ini, Hek-kin-kaipang telah maju
pesat dan diantara anggautanya telah terdapat baik orang-orang
pandai yang dengan suka rela menggabungkan diri. Maka sekarang
banyak sekali calon-calon ketua yang memiliki kepandaian tinggi.
Apalagi, telah tersiar desas-desus bahwa ketua Hek-kin-kai-pang,
yakni Kiang Cun Eng, hendak melepaskan kedudukannya dan
memberikan kepada seorang laki-laki gagah perkasa yang menjadi
sahabat baiknya. Bahkan ada desas-desus lain yang
menggemparkan yakni, bahwa Kiang Cun Eng bukan saja hendak
menyerahkan kedudukan kapada orang itu, akan tetapi juga hendak
menyerahkan jiwa raganya atau jelasnya hendak... menikah dengan
orang itu!
Tentu saja hal inl menggemparkan para anggauta Hek-kinkaipang.
Mereka tahu bahwa ketua mereka itu semenjak dulu tidak
mau menikah, biarpun banyak orang-orang muda yang tergila-gila
kepada Cun Eng yang cantik jelita dan pandai. Bagaimana sekarang
setelah ketua ini usianya sudah tidak muda lagi, biarpun masih
cantik, tiba-tiba hendak memilih suaminya?
Laki-laki itu bukanlah orang sembarangan, melainkan seorang
pendekar yang ternama, penghuni atau pemilik dari pulau Kim-ketho
(Pulau Ayam Emas). Kim-ke-tho adalah sebuah pulau di dekat
pantai timur dan orang ini termasuk seorang tuan tanah kaya raya
yang memiliki pulau itu. Ia hidup seorang diri di pulau itu, tidak
berkeluarga hanya dibantu oleh puluhan orang nelayan dan pekerja.
Namanva terkenal sebagai seorang gagah yang banyak menolong
orang dan kiranya di dunia kang-ou nama julukan Sian-hud-tim
(Kebutan Dewa) bukan julukan asing lagi. Nama sebenarnya dari
orang gagah ini adalah Yap Kong Ki, usianya sudah empat puluh
tahun lebih, wajahnya terang dan mukanya putih. Rambutnya
389
digelung seperti seorang tosu, gerak-geriknya halus akan tetapi
langkahnya menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli silat pandai.
Di dalam perantauannya, Kiang Cun Eng bertemu dengan orang
ini dan ternyata olehnya bahwa ilmu silat yang dimiliki oleh Yap
Kong Ki jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri. Akhirnya
keduanya saling "jatuh hati" dan diam-diam mereka merencanakan
sebuah rumah tangga berdua.
Banyak orang kang-ouw datang di Bi-nam-bun pada hari itu, ada
yang datang untuk memenuhi undangan sebagai saksi, ada pula
yang sengaja untuk melihat-lihat keadaan dan kalau kiranya
mungkin akan mencalonkan diri menjadi ketua. Tidak sedikit yang
datang hendak melihat Kiang Cun Eng, ketua pekumpulan yang
cantik itu yang biarpun usianya sudah empat puluh tahun lebih
masih menarik hati banyak pria.
Tak lama setelah seratus lebih anggauta Hek-kin-kaipang
berkumpul, datanglah Kiang Cun Eng bersama Yap Kong ki.
Memang sudah lama Cun Eng selalu bersama Yap Kong Ki, juga
seringkali tinggal di atas Pulau Kim-ke-tho tidak jauh letaknya dan
Bi-nam-bun dusun di pantai laut itu.
Semua mata memandang dan banyak yang kagum melihat Kiang
Cun Eng karena wanita ini masih saja memiliki bentuk tubuh yang
langsing dan padat, wajah yang riang gembira dan senyumnya
masih amat manis. Kemudian orang mulai memperhatikan Yap Kong
Kim. Harus mereka akui laki-laki ini pun gagah dan cocok berjalan di
sebelah Cun Eng. Akan tetapi banyak pula di antara mereka yang
merasa iri hati dan cemburu, yakni mereka yang menginginkan
kedudukan ketua dan terutama sekali yang suka kepada Cun Eng.
Para anggauta Hek-kin-kaipang menyambut kedatangan Kiang
Cun Eng dengan penghormatan dan seruan, "Hidup Kiang-pangcu
(Ketua Kiang) dari Hek kin-kaipang!"
Kiang Cun Eng tersenyum, mencabut keluar sebuah tongkat
hitam kecil, yakni tongkat pusaka dari Hek-kin-kaipang mengangkat
tongkat itu tinggi di atas kepala sambil berseru, "Hidup Hek-kinkaipang!"
390
Kemudian Cun Eng mengambil tempat duduk di atas sebuah
bangku yang sudah disediakan di situ. Yap Kong Ki berdiri di
belakangnya, memandang kepada para pengemis yang hadir
dengan sikap tenang.
“Kawan-kawanku sekalian," Kiang Cun Eng berkata dengan suara
penuh perasaan terharu, "saat pemilihan ketua baru telah tiba. Akan
tetapi sebelum kita mengadakan pemilihan perkenankan saya bicara
sedikit. Sudah empat kali pemilihan, selalu aku yang mendapat
kehormatan dipilih menjadi ketua. Selama ini kawan-kawan telah
membantuku dan perkumpulan kita makin berkembang. Akan tetapi,
sekarang tiba saatnya bagiku untuk mengundurkan diri...."
Terdengar suara celaan dan pernyataan kecewa dari sana-sini,
disusul dengan suara, "Kami memilih Kiang-pangcu...!"
Cun Eng mengeleng-geleng kepala sambil tersenyum pahit.
"Berilah waktu kepadaku untuk beristirahat. Kepandaianku terbatas
sekali, dan sekarang keadaannya berbeda dengan dahulu. Di dunia
kang-ouw muncul banyak orang jahat yang lihai sekali, maka
perkumpulan kita perlu dipimpin oleh orang yang pandai. Aku tidak
sanggup lagi dan sekarang aku menyerahkan kepada kawan-kawan
yang cakap."
"Curang...!" terdengar teriakan di tengah-tengah kumpulan
pengemis, sukar dicari siapa yang bicara itu. "Kiang-pangcu hendak
mundur sambil menggasak semua kekayaan Hek-kin-kaipang!"
Sepasang mata Kiang Cun Eng bersinar marah dan berusaha
mencari si pembicara tadi, akan tetapi sia-sia karena suara para
pengemis yang simpang siur itu menyembunyikan pembicaraan tadi.
"Begitu rendahkah orang menganggapku?" Cun Eng
menggerakkan kedua tangan dan tiga kali ia bertepuk tangan maka
datanglah delapan orang anggauta Hek-kin-kaipang menggotong
empat buah peti besar yang ditaruh di tengah-tengah tempat
pertemuan itu. Cun Eng menghampiri peti-peti itu dan membukanya
satu demi satu. Ternyata bahwa peti itu penuh dengan uang dan
barang-barang berharga.
"Kawan-kawan sekalian, lihatlah baik-baik. Empat peti ini adalah
seluruh harta kekayaan perkumpulan yang kita semua kumpulkan
391
selama puluhan tahun. Aku telah menukar-nukarkan dan
meringkaskan menjadi barang-barang berharga untuk keperluan
perkumpulan. Bahkan yang sepeti di antaranya adalah milik
pribadiku, warisan dari orang tuaku. Akan tetapi, kalau aku
mengundurkan diri, aku pun akan meninggalkan milikku itu untuk
perkumpulan. Nah, siapa berani bilang aku hendak mundur
membawa lari harta perkumpulan?" Cun Eng berdiri tegak menyapu
semua orang dengan mata menentang.
Keadaan sunyi untuk beberapa lama.
"Kami memilih Kiang-pangcu! Kalau Kiang-pangcu memaksa
mengundurkan diri, itu berarti pengkhianatan terhadap partai!"
terdengar suara seorang pengemis.
Cun Eng menoleh ke arah suara itu. “Tak dapat dianggap
pengkhianatan. Aku mundur bukan melarikan diri, melainkan
hendak memberikan kepada orang yang lebih cakap. Sebelum aku
mundur hari ini aku akan membantu kawan-kawan memilih ketua
baru dan percayalah biarpun aku sudah mengundurkan diri,
sewaktu-waktu aku siap sedia membela kehormatan Hek-kin
kaipang!"
Kembali terdengar suara bercampur aduk tidak karuan. Keadaan
sampai lama begitu saja sehingga Cun Eng mengangkat tangan
kanan dengan marah.
"Kawan-kawan, kalian bukan anak kecil yang berpikiran sempit.
Baru saja kata-kataku tadi dapat diterima dengan baik dan sekarang
aku mengusulkan seorang calon untuk mengganti kedudukanku
sebagai ketua baru"
Semua suara terhenti dan keadaan menjadi sunyi. Semua orang
ingin sekali mendengar siapa gerangan calon yang dipilih oleh ketua
itu. Ada yang menyangka bahwa Cun Eng tentu akan menunjuk Yap
Kong Ki yang berdiri seperti patung itu, dan hati para anggauta
berdebar menanti. Ada yang tidak setuju dan ada pula yang setuju,
akan tetapi semua mata kini diarahkan kepada Yap Kong Ki. Akan
tetapi, jawaban atau lanjutan kata-kata Cun Eng ternyata jauh
berbeda dengan dugaan mereka.
392
"Aku mengusulkan supaya Tan Lokai tuggantikan aku menjadi
pangcu baru!" sambil berkata demikian, Cun Eng melompat ke
kanan dan menggandeng keluar tangan seorang pengemis tua yang
tinggi kurus dan berwajah ramah. Semua orang tertegun, akan
tetapi ada sebagian yang setuju. Tan Lokai (Pengemis Tua she Tan)
terkenal sebagai pembantu ketua yang selain tinggi kepandaiannya,
juga amat ramah dan sabar. Akan tetapi karena jarang sekali ia
bertempur orang-orang belum menyaksikan sendiri sampai dimana
kelihaiannya, bahkan ada yang memandang rendah.
"Kiang-pangcu benar-benar membikin lokai menjadi malu," kata
Tan Lokai sambil membungkuk-bungkuk, akan tetapi lalu berkata
dengan nada suara bersungguh-sungguh, "Aku yang sudah tua
telah dapat mengerti akan semua alasan Kiang-pangcu, maka
apabila tidak ada yang mengajukan keberatan, demi
menyelamatkan perkumpulan dari tangan orang jahat, aku bersedia
menjadi ketua dan bekerja dengan bantuan para kawan yang setia!"
Kiang Cun Eng kelihatan gembira kali. "Bagaimana kawankawan?
Setujukah kalian?"
Terdengar jawaban bersimpang siur di sana-sini.
"Yang tidak setuju harap angkat tangan! Pengangkatan ketua
harus diterima dengan suara bulat seperti biasa!" kata pula Cun
Eng.
Tak lama kemudian, kagetlah Cun Eng melihat rombongan di
sebelah kiri semua mengangkat tangan, lebih dari tiga puluh orang!
Dan yang lebih menggelisahkannya lagi, justru yang mengangkat
tangan itu adalah tokoh-tokoh yang belum lama menggabungkan
diri ke dalam perkumpulan Hek-kin-kai-pang! Kemudian, dua orang
pengemis melompat keluar dan menghadapinya. Yang seorang
adalah pengemis tinggi besar yang terkenal dengan sebutan Tiatciang-
eng (Pendekar Tangan Besi) dan bernama Lai Sek. Dia adalah
seorang anggauta pimpinan Hek kin-kaipang yang sudah tinggi
tingkatnya, orangnya tinggi besar bermuka kuning, dan mempunyai
watak yang jujur. Sudah lama Lai Sek tergila-gila kepada ketuanya
sendiri dan semenjak tadi ia sudah merasa cemburu dan iri hati
sekali melihat Yap Kong Ki, maka sekarang ia melompat maju
setelah mendapat kesempatan.
393
"Aku tidak setuju kalau Kiang-pang-cu, mundur! Kalau mundur
apa alasannya? Dan pula aku mendengar desas-desus tentang
perjodohan! Inipun harus dijelaskan, orang gagah tidak perlu
merahasiakan sesuatu. Ketiga, aku tidak setuju ada orang luar hadir
di dalam pertemuan Hek-Kin-kaipang ini, kecuali kalau dia hendak
mencoba untuk merebut kedudukan ketua," setelah berkata
demikian, pengemis tinggi besar ini memandang ke arah Yap Kong
Ki dengan mata melotot.
Mendengar ucapan ini dan melihat sikap Lai Sek, wajah Cun Eng
menjadi merah sekali. Ia maklum akan isi hati orang kasar ini dan
tahu bahwa Lai Sek sudah lama jatuh hati kepadanya. Bahkan pada
setiap kali pemilihan ketua Lai Sek inilah yang tampil ke depan
berkeras memilih dia melanjutkan kedudukan ketua.
Adapun Tan Lokai, mendengar betapa Kiang Cun Eng dihina,
menjadi tidak senang. Ia menghadapi Lai Sek dan berkata.
"Lai Sek, mengapa kau begitu kurangajar terhadap Kiangpangcu?
Ingat, sebelum ada ketua baru, dia masih ketua kita! Kalau
kau tidak setuju akan pilihan pangcu, kau boleh mengajukan calon.
Ataukah kau sendiri hendak mencalonkan diri sendiri? Tentang
orang luar tentu kaumaksudkan Yap-sicu. Dan dalam hal ini pun kau
benar-benar keliru Yap Sicu adalah seorang gagah yang selalu
membantu Hek-kin-kaipang dan sudah banyak ia menyumbang,
sungguhpun dia bukan anggauta perkumpulan kita. Katakan,
apakah kau ingin menjadi pangcu dan sanggupkah kau memimpin
perkumpulan kita?"
Diserang begini oleh Tan Lokai, Lai Tek menjadi gagap. "Aku...
aku... betapapun juga, kalau Tan Lokai menjadi pangcu, aku harus
menguji dulu kepandaiannya!" akhirnya ia berkata untuk menutupi
malunya.
"Bagus! Itulah seharusnya ucapan seorang laki-laki!" memuji
orang ke dua yang tadi melompat maju. Dia ini adalah orang
pengemis tua berusia lima puluh tahun lebih yang bernama Teng
Gai berjuluk Kim-tung Mo-kai (Pengemis Setan Tongkat Mas).
Tongkatnya berwarna kuning seperti emas, sungguhpun amat
disangsikan apakah benar-benar dari pada logam mahal itu. Setelah
berkata demikian ia melompat mundur untuk me-nanti giliran.
394
Sudah menjadi kebiasaan dalam perkumpulan Hek-kin-kaipang,
tiap kali ada pemilihan pengurus baru, semua anggauta berhak
untuk menguji kepandaian ketua yang dipilih, maka kata-kata Lai
Sek tadi menggembirakan semua orang. Adapun Tan Lokai sendiri
yang tahu bahwa kali ini ia menghadapi banyak orang yang
menentangnya, sudah siap menghadapi setiap lawan.
"Lai Sek kalau kau penasaran, majulah lohu melayanimu
bermain-main sebentar!"
"Awaslah, Tan Lokai!" Lai Sek yang jujur itu tidak mau banyak
bicara dan secepat angin ia menggerakkan tongkatnya menyerang
ke arah dada Tan Lokai. Pengemis tua ini memiliki ilmu tongkat
yang lihai sekali. Cun Eng tahu bahwa ilmu tongkat pengemis ini
mengatasi semua ilmu tongkat yang dimiliki oleh para anggauta
Hek-kin-kaipang, maka tidak khawatir dan karena itu pula tadi
memilihnya sebagai calon ketua.
Dengan cepat sekali Tan Lokai membuktikan kelihaiannya.
Biarpun Lai Sek bertenaga besar seperti kerbau dan tongkatnya
mengeluarkan angin saking kerasnya serangan-serangan yang
dilakukannya namun dengan enak dan mudah semua serangan
digagalkan. Dalam beberapa belas jurus saja terdengar Lai Sek
berteriak kesakitan dan jatuh terjengkang ketika kakinya kena
dicongkel oleh tongkat Tan Lokai yang gerakannya cepat sekali!
Tan Lokai dengan senyum ramah membantu Lai Sek bangun.
Pengemis kalap ini meringis kesakitan, lalu menjura. “Tan Lokai
benar-benar lihai, siauwte yang muda bermata buta. Urusan ketua
terserah saja kepada pemilihan orang banyak!" katanya sambil
menyerat tongkatnya dan mengundurkan diri.
“Ha, ha, ha! Tidak kusangka Tiat-tiang-eng demikian lemahnya!
Dan nama Tan Lokai tidak kosong belaka. Biar aku yang mencoba
kepandaiannya," kata Kim-lung Mo-kai sambil mclompat maju
dengan tongkat kuning di tangan.
Tan Lokai mengerutkan kening. Pengemis di depannya ini baru
beberapa bulan menjadi anggauta, akan tetapi selalu bersikap
mencurigakan. Bahkan sekarang, sabuk yang dipakainya bukanlah
sabuk hitam melainkan sabuk putih.
395
"Sahabat Teng Gai, mengapa kau memakai sabuk putih?"
tegurnya.
Kim Lung Mo-kai Teng Gal tertawa geli. "Tan Lokai, nama Hekkin
kaipang kuanggap tidak baik dan kurang tepat. Mengapa
memakai nama hitam? Bukankah lebih patut kalau diganti saja
dengan Pek-kin-kaipang (Perkumpulan Pengemis Sabuk Putih).
Kalau aku yang menjadi ketuanya, tentu akan segera kuganti nama
perkumpulan kita."
Kata-kata ini disambut oleh suara tawa menyatakan setuju dan
ketika Tan Lokai dan Cun Eng menengok ke arah mereka yang
tertawa, ternyata bahwa mereka itu adalah puluhan orang yang tadi
mengangkat tangan dan di antara mereka banyak yang memakal
sabuk putih!
Tan Lokai marah sekali. "Teng Gak kau hendak mengujiku, atau
merampas kedudukan ketua, ataukah hendak mengkhianatt
perkumpulan?"
"Yang pertama dan kedua memang tepat, aku hendak
mengujimu dan kalau kau kalah, akulah yang lebih patut menjadi
ketua. Soal pengkhianatan, aku bukan hendak memperbaiki
keadaan perkumpulan, mana bisa disebut mengkhianati?"
"Bagus, kau majulah!" seru Tan Lokai.
Teng Gak mengeluarkan suara ketawa mengejek dan tongkatnya
ini seperti gerakan garuda memukulkan sepasang sayap, yakni ia
memegang tongkat di tengah-tengah dan mengirim pukulan dengan
ujung tongkat kiri ke atas kepala, kemudian disusul dengan ayunan
ujung tongkat kanan ke arah perut lawan. Akan tetapi ketika Tan
Lokai menangkis, kakek ini terkejut sekali. Ujung tongkat itu
memukulnya dengan tenaga lweekang yang lemas dan mempunyai
daya membetot, sebaliknya pukulan ujung tongkat kanan yang
menyusul, dilakukan dengan penyaluran tenaga gwakang yang amat
kuat dan keras! Melihat cara pukulan ini, Tan Lokai yang sudah
banyak pengalamannya terkejut dan terheran-heran. Inilah cara
ilmu silat dari orang Im-yang-bu-pai, yang mendasarkan pada ilmu
Silat Im-yang-ciang-hoat atau Ilmu Silat Im-yang!
396
"Eh, kau orang Im-yang-bu-pai!” tegurnya sambil membalas
serangan lawan.
Teng Gak hanya tertawa mengejek, dan pada saat itu, tiga puluh
orang yang tadi mengangkat tangan, mendengar kata-kata Tan
Lokai ini, serentak bangkit berdiri tegak dan bersiap-siap, sikap
mereka angker sekali. Keadaan menjadi riugh dan orang-orang Hek
kin-kaipang juga cepat memisahkan diri dari mereka.
"Teng Gai apa kehendakmu?" tanya Tan Lokai, akan tetapi Teng
Gai terus saja mendesaknya dengan pukulan pukulan maut. Tan
Lokai yang mengalami kekagetan, tak dapat menjaga diri dengan
baik, maka terdengar suara keras ia mencelat ke belakang sampai
tiga tombak lebih ketika tongkat kuning lawannya berhasil
menyodok dadanya! Baiknya Tan Lokai telah mengerahkan
lweekang, sehingga biarpun terluka berat, tidak sampai
membahayakan nyawanya.
"Teng Gai, betulkah kau orang Im yang-bu-pai dan apakah
maksudmu memasuki perkumpulan kami?" Cun Eng melompat maju
dengan pedang di tangan menghadapi pengemis sabuk putih itu.
"Ha, ha, ha, Kiang-pangcu! Im yang-bu-pai sudah tidak ada dan
aku sekarang calon ketua dari Pek-kin-kaipang! Aku menuntut
hakku sebagai pemenang calon ketua. Akulah yang berhak menjadi
nama baru dan aku akan mengganti nama perkumpulan menjadi
Pek- kin kaipang!”
Sebelum Kiang Cun Eng menjawab, berkelebat bayangan orang
dan sosok bayangan ini begitu tiba lalu menonjok ke arah Teng Gai
yang cepat menangkis. Akan tetapi to terhuyung-huyung dan hal ini
mengejutkan hatinya. Ketika ia memandang, yang menyodoknya
adalah seorang pengemis setengah tua yang bajunya tambaltambalan,
kumis dan jenggotnya malang melintang tidak karuan.
Pengemis ini berdin dengan dua tangan digerak-gerakkan, sambil
lulutnya mengeluarkan bunyi "ah-ah, uh-uh" tidak karuan. Ternyata
bahwa dia adalah seorang pengemis bisu.
"Ah Kai, biar aku menghadapinya!” kata Cun Eng, kaget melihat
datangnya pengemis ini yang dahulu di waktu masih kanak-kanak
adalah pelayan dari ayahnya. Pengemis ani biasa disebut Ah Kai
397
atau Si Bisu yang semenjak kecil sudah mempunyai kesukaan
belajar ilmu silat. Setelah ayah Cun Eng meninggal, A-Kai melarikan
diri dan baru hari ini muncul kembali dalam saat yang tidak
tersangka-sangka.
Akan tetapi Ah-Kai tidak mau mundur, bahkan ia lalu memberi
isyarat dengan tangan, minta Cun Eng mundur, kemudian sekali ia
mengulur tangan, tongkat pusaka Hek-kin-kaipang di tangan Cun
Eng telah pindah ke dalam tangannya, Cun Eng heran bukan main.
Tidak sembarangan orang akan dapat merampas tongkatnya
demikian mudah seperti sihir saja.
"Biarkan saja, dia takkan kalah," kata Yap Kong Ki kepada Cun
Eng yang sudah berdiri di dekatnya. Sian-hud-ti Yap Kong Ki tokoh
Pulau Kim-ke-tho yang semenjak tadi diam saja, mempunyai
penglihatan yang awas sekali. Sekali pandang saja ia maklum bahwa
pengemis bisu itu memiliki kepandaian yang sangat tinggi, lebih
tinggi daripada kepandaian Cun Eng. Maka ia memberi nasehat
kepada Cun Eng untuk membiarkan pengemis bisu itu menghadapi
orang-orang Im-yang-bu-pai.
Sementara itu, Ah Kai telah menyerang Teng Gai kalang kabut
dan mulutnya tak pernah berhenti mengeluarkan 'ah-ah-ah uh-uh.
Biarpun tongkat hitam di tangannya itu digerak-gerakkan dengan
kacau, akan tetapi kembali terdengar Yap Kong Ki memuji dan
berkata kepada Cun Eng dengan nada suara terheran-heran.
"Eh, darimana ia mendapatkan ilmu tongkat itu? Cam-kauw-tunghwat
(Ilmu tongkat Pemukul Anjing) tidak sembarang orang dapat
mainkan!"
Memang ilmu tongkat yang dimainkan oleh Ah Kai itu luar biasa
sekali. Kelihatannya memang kacau balau dan tidak teratur sama
sekali, akan tetapi yang amat mengherankan, kekacauan gerakan
tongkat ini mengurung dan mematikan semua gerakan tongkat
kuning di tangan Teng Gai! Yang paling merasa heran dan
penasaran adalah Teng Gai sendiri, karena ia yang memiliki ilmu
Silat Im-yang-kun mengapa sekarang tidak berdaya sama sekali?
Setiap serangan menemukan tempat kosong, atau kadang-kadang
tertangkis oleh tongkat hitam butut itu dan tergetarlah telapak
398
tangannya, tanda bahwa Si Bisu itu memiliki tenaga lweekang yang
mengatasinya!
Para anggauta perkumpulan Hek-ki kaipang yang berada di situ
menonton pertempuran itu dengan mata terbelalak dan mulut
ternganga. Banyak di antara mereka kecuali beberapa orang
anggauta baru, kenal baik kepada Ah Kai yang di waktu kecilnya
merupakan pelayan ketua Hek-kin-kaipang yang sering kali digoda
oleh para anggauta. Setelah ketua Hek-kin-kai-pang meninggal
dunia bocah itu lenyap dan sekarang tiba-tiba muncul dalam
keadaan yang tak terduga-duga dan yang lebih aneh lagi memiliki
kepandaian yang demikian luar biasa. Maka kini mehhat Teng Gai
terdesak dan kebingunan, orang-orang mulai bersorak-sorak.
Makin keras suara orang-orang itu bersorak dan bertepuk tangan
ketika pada jurus ke lima puluh, setelah Teng Gai kebingungan dan
pening kepalanya menghadapi serangan bertubi-tubi dan aneh dari
lawannya, terdengar suara keras dan tubuh belakang dari Kim-tung
Mo-kai Teng Gai kena dihajar dengan sekali gerakan! Teng Gai jatuh
terguling-guling dan tongkat hitam di tangan Ah Kai terus bergerak
memukulnya, lagak Si Bisu benar-benar seperti seorang yang
memberi hajaran kepada seekor anjing.
"Lihai sekali... lihai sekali...'" Yap Kong Ki beberapa kali memuji.
"Agaknya ia telah beruntung mewarisi kepandaian dari Cam-kauw
Sin-kai yang telah lama hilang dari dunia kang-ouw."
Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara gerengan keras dan
mendadak tubuh Ah Kai terhuyung ke belakang, seakan-akan ia
kena dorongan keras dari depan. Tubuh Teng Gai juga terdorong
sampai bergulingan seperti seekor trenggiling. Bahkan orang-orang
yang duduknya terdekat dengan mereka, semuanya terguling
karena terdorong oleh angin pukulan yang dahsyat sekali.
"Ayaaaa...!" Yap Kong Ki berseru terkejut. ia melihat datangnya
seorang kakek yang menyeramkan berambut panjang dan bermata
liar. Yang membuat Yap Kong Ki terkejut adalah daya pukulan dari
jauh yang dilakukan oleh kakek ini. Bagaimanakah sebuah pukulan
dari jarak jauh mempunyai tenaga yang demikian dahsyatnya? Ini
membuktikan bahwa orang yang baru datang adalah seorang ahli
silat tinggi yang lihai sekali.
399
Ketika Ah Kai memandang, pengemis bisu itu mengeluarkan
suara ribut-ribut nampaknya ia marah dan juga gentar menghadapi
kakek itu. Adapun Teng Gai ketika melihat kakek ini mukanya
berubah pucat sekali dan matanya terbelalak seolah-olah ia melihat
setan.
Kakek itu melihat semua orang diam dan memandangnya dengan
gentar, tertawa terkekeh, lagaknya memandang rendah. Ketika ia
memutar tubuh dan matanya mencari-cari, akhirnya ia melihat
Kiang Cun Eng dan suara ketawanya berhenti.
“Heh, belum mampus? Kiang pangcu, kalau kau ingin menebus
dosamu terhadapku, lekas berlutut den berjanji hendak menjadi
pembantuku dan menyerahkan tongkat ketua Hek-kin-kaipang
kepadaku." Suara kakek ini terdengar perlahan saja, namun di
dalamnya mengandung pengaruh dan ancaman besar.
"Giok Seng Cu Totiang, mengapa seorang tokoh besar seperti
Totiang dapat mengeluarkan kata-kata seperti itu? Memang aku
pernah berdosa terhadap Im-yang-bu-pai ketika menolong seorang
bocah, akan tetapi bukankah dosa itu telah tertebus dengan
tewasnya banyak sekali anak buahku? Pula, kedosaan itu tidak ada
artinya kalau dtingat bahwa hal itu aku lakukan untuk menolong
nyawa seorang anak yang tak berdosa."
Kakek ini memang Giok Seng Cu. Sebagaimana telah dttuturkan
di bagian depan, berkali-kali Giok Seng Cu mengalami kegagalan.
Tidak saja perkumpulan yang dipimpinnya, yakni Im-yang-bu-pai,
telah dibasmi oleh See-thian Tok-ong dan anak isterinya, akan tetapi
juga pedang pusaka Pak-kek Sin-kiam yang sudah terjatuh di
tangannya itu, dapat terampas oleh See thian Tok Ong. Hal ini amat
menyakitkan hatinya. Selama beberapa tahun ini ia tidak mau
muncul, bersembunyi sambil memperdalam kepandaiannya.
Kemudian setelah ia muncul melihat bahwa lm-yang-bu-pai sudah
hancur dan anak buahnya sudah kocar-kacir, timbul di dalam
pikirannya untuk mendirikan perkumpulan baru. Tanpa perkumpulan
dan anak buah yang banyak jumlahnya, kedudukannya takkan kuat.
Kemudian teringatlah ia akan perkumpula Hek-kin-kaipang sebuah
perkumpulan yang amat besar dan kuat dan ia segera mengambil
keputusan untuk merampas kedudukan ketua di perkumpulan ini.
400
Kini ia telah berhadapan dengan Cu Eng. Mendengar Cun Eng
membela diri ia tertawa mengejek.
"Ha, enak saja kau bicara! Dengar mengandalkan siasat licin, kau
pernah menentang Im-yang-bu-pai yang berarti menentangku pula.
Sekarang, aku datang membunuhmu, bahkan hendak memimpin
perkumpulan jembel ini agar dapat kemajuan dan nama besar, dan
bahkan kuangkat menjadi pembantu. Bukankah hal ini membuktikan
bahwa aku sekarang telah berhati lemah dan mudah menaruh hati
kasihan? Kau tak perlu berterima kasih, asal kau dapat
memperlihatkan kasih sayang terhadap aku, cukuplah." Kata-kata ini
ditutup dengan lirikan mata yang penuh arti dan tentu amat
menjemukan karena main mata itu dilakukan kakek yang sudah
begitu tua!
Antara Yap Kong Ki dan Kiang Cun Eng memang terdapat
pertalian hati dan keduanya mengambil keputusan untuk
mengundurkan diri dari urusan kang-ouw untuk mengecap
kenikmatan rumah tangga dalam usia mereka yang sudah agak
terlambat itu. Maka mendengar kata-kata Giok Seng Cu, hati Kong
Ki mendongkol bukan main. Terang-terangan kekasihnya dihina
orang dan hal ini tak mungkin dapat ia biarkan saja.
Yap Kong Ki belum pernah bertemu muka dengan Giok Seng Cu,
akan tetapi tentu saja ia dulu sudah seringkali mendengar nama
kakek pemimpin Im-yang bu-pai yang lihai Kalau saja tidak karena
urusan Cun Eng, agaknya ia akan lebih suka pergi menjauhi Giok
Seng dan tidak mencari urusan dengan orang yang berbahaya itu.
Sekarang melihat wanita yang dikasihinya dihina, Yap Kong tak
dapat menahan sabar lagi. ia melompat ke depan dan kebutan di
tangan kanannya tergetar.
"Totiang, telah lama sekali aku yang bodoh mendengar nama
besar dari Giok Seng Cu sebagai ketua Im yang-bu-pai yang berilmu
tinggi. Sudah lajim di dunia kang-ouw seorang tokoh yang berilmu
tinggi selalu memiliki pandang yang amat luas dan bijaksana. Akan
tetapi hari ini aku mendengar ucapan yang kau tujukan kepada
Kiang-pangcu, benar benar membuat aku terheran-heran dan
hampir tak dapat mempercayai telingaku sendiri."
401
Giok Seng Cu memutar tumit kakinya dan menghadapi Yap Kong
Ki. Ia melihat seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih,
bersikap gagah dan tenang, dengan alis dikerutkan tanda tak
senang hati dan kebutan yang terpegang di tangan kanan bulubulunya
tergetar, tanda bahwa lweekang orang yang memegangnya
sudah mencapai tingkat tinggi dan sudah dapat disalurkan melalui
gagang kebutan itu sampai ke ujung bulu kebutan.
"Hm, hm, kau sudah mengenaI namaku, akan tetapi sebaliknya
aku belum pernah melihat mukamu. Siapakah kau dan berdasarken
apakah kau hendak mencampuri urusanku?" tanya Giok Seng Cu.
Kalau menghadapi kebanyakan orang, Giok Seng Cu lebih banyak
mempergunakan tangannya daripada mulutnya. Akan tetapi melihat
Yap Kong Ki sekelebatan saja tahulah Giok Seng Cu bahwa yang
dihadapi bukanlah orang biasa, maka ia masih mempergunakan
mulut untuk bertanya nama.
"Aku yang bodoh disebut orang Sian-hud-tim Yap Kong Ki,
urusan Hek-kin-kaipang adalah urusanku juga, maka hinaan totiang
terhadap Hek-kin-kaipang berarti penghinaan terhadapku pula."
"Begitu??" Pertanyaan ini hampir bersamaan datangnya dengan
kibasan tangan kanan Giok Seng Cu yang mempergunakan ujung
lengan baju untuk menyerang Kong Ki.
Majikan Pulau Kim-ke-tho ini tak berani berlaku lengah. Ia tahu
bahwa setiap gerak serangan dari kakek ini tak boleh dipandang
ringan. Benar saja dugaannya, karena biarpun kibasan ujung lengan
baju ini dilakukan perlahan saja dan seakan-akan tidak memakai
tenaga, akan tetapi tiba-tiba angin pukulannya menyambar,
mengandung hawa panas dan bukan main kuatnya'
Yap Kong Ki memiliki ilmu silat turunan dan ia pun sudah
memiliki tenaga Iweekang yang tinggi. Menghadapi serangan lawan
yang ia tahu dilakukan dengan tenaga sebagian saja, sifatnya hanya
untuk mencoba dulu, ia pun tidak mau memperlihatkan
kelemahannya. Cepat ia mengebutkan hudtimnya ke arah lawan dan
dari hudtim ini pun menyambar hawa pukuian yang sekaligus
menangkis pukulan lawan dan langsung menyambar ke arah jalan
darah di pundak Giok Seng Cu.
402
"Hem, cacing tanah berani menjual lagak di depanku?" bentak
Giok Seng Cu, marah karena pukulannya tadi dapat ditangkis lawan
yang bahkan mengirim serangan balasan. Ia sama sekali tidak
mengelak dari totokan ujung hudtim, sebaliknya tangan kirinya maju
memukul dada lawan.
Ujung hudtim tepat sekali mengenai jalan darah di pundak Giok
Seng Cu, akan tetapi Yap Kong Ki berseru kaget karena ujung
kebutannya terpental balik seperti menotok baja hitam saja.
Sebaliknya, pukulan tangan kakek itu telah menyerang dadanya dan
biarpun masih hawa pukulannya saja sudah terasa di dalam
dadanya'
"Lihai sekali...!" Kong Ki berseru dan cepat Kebutan Dewa ini
memutar senjatanya sehingga kebutan itu berubah menjadi
segulungan sinar yang amat berbahaya. Biarpun ujungnya terdiri
dari bulu-bulu yang lemas, namun kalau dipergunakan dalam
serangan, dapat diperlemas atau diperkeras menurut saluran tenaga
dalam. Totokan-totokan yang dilakukan oleh ujung kebutan ini pun
bahaya sekali karena selalu mengarah jalan darah yang mematikan.
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid XV
MEMANG sukar menyerang seorang seperti Giok Seng Cu yang
memiliki Ilmu Kebal Tiat-pouw-san, akan tetapi di antara jalan-jalan
darah yang berada di dalam tubuh, terdapat banyak bagian yang
tak dapat dilindungi oleh ilmu kebal, seperti misalnya jalan darar
hai-yang-hiat, ong-cu-hiat dan lain-lain. Dan Yap Kong Ki yang
cerdik tahu harus memilih yang mana, maka kini setiap serangannya
selalu mengarah jalan darah mematikan yang berbahaya sehingga
betapapun lihainya, Giok Seng Cu tidak berani lagi mengandalkan
ilmu kebalnya.
Akan tetapi semua usaha itu sia-sia belaka karena tingkat
kepandaian Giok Seng Cu masih lebih tinggi, apalagi dalam ilmu
lwekang, kepandaiannya jauh melampaui lawannya. Melihat betapa
Yap Kong Ki amat sukar dirobohkan, timbul kemarahan dalam hati
Giok Seng Cu, kakek ini mengeluarkan suara keras mulailah ia
403
bersilat dengan gaya merendah. Dia telah mulai mengeluarkan ilmu
silatnya yang paling diandalkan yakni Ilmu Pukulan Tin-san-kang'
Yap Kong Ki terkejut sekali. Dari sepasang tangan kakek itu
menyerang angin pukulan yang jauh bedanya dengan tadi. Kini
setiap kali kakek itu menyerang tidak saja kebutannya terpental ke
belakang, bahkan tubuhnya juga sampai terdorong seakan-akan ada
gelombang tenaga yang dahsyat mendorongnya dari depan. Setelah
Giok Seng Cu mengeluarkan Tin-san-kang mulailah Kong Ki terdesak
hebat dan dalam belasan jurus kemudian ia telah terkurung oleh
pukulan-pukulan maut dari Tin-san-kang! Ia mulai sibuk ke
manapun juga ia melompat untuk mengelak, selalu ada hawa
pukulan yang menghadangnya.
Tiba-tiba terdengar seruan dari Ah-Kai yang semenjak tadi
menonton pertempuran itu. Si Bisu ini berdiri dengan mata
terbelalak saking kagumnya melihat kehebatan Giok Seng Cu. Akan
tetapi karena biarpun bisu ia tahu bahwa Kong Ki membela Hek-kinkaipang,
kini melihat majikan Pulau Kim-ke-tho ini terdesak hebat
dan berada dalam bahaya, ia lalu melompat maju dan mengirim
serangan dengan tongkatnya ke arah pusar dari Giok Seng Cu.
Giok Seng Cu cepat menyampok tongkat itu dengan tangan
kirinya, akan tetapi begitu kena disampok, tongkat yang terpental
itu segera menyeleweng dan melanjutkan serangannya dengan
totokan kilat ke arah ulu hati. Serangan ini masih dilanjutkan secara
bertubi-tubi dan gerakannya yang amat aneh membuat Giok Seng
Cu mengeluarkan seruan tertahan.
"Ayaa, bukankah ini Cam-kauw-tungwat? Pernah apa kau dengan
Camauw Sin-kai?" tanya Giok Seng Cu. Hatinya agak tidak enak
karena dahulu ia pernah bertemu dengan Cam-kauw Sinkai dan
mengingat akan Pengemis Sakti yang lihai dan tidak boleh dibuat
main-main ini, Giok Seng Cu merasa tidak enak kalau pengemis
yang menyerang ini masih ada hubungan dengan Ca kauw Sin-kai.
Akan tetapi, Ah Kai yang bisu mana dapat menjawab
pertanyaannya? Ah Kau hanya mengeluarkan suara ah, ah, uh uh,
dan tongkatnya menyerang terus dengan gencarnya, dibantu pula
oleh kebutan di tangan Kong Ki. Yang juga bergerak cepat. Melihat
betapa dua orang ini masih saja belum dapat mengalahkan Giok
404
Seng Cu, Kiang Cun Eng berseru keras dan ketua perkumpulan
kaipang ini melompat maju pula dan menyerang Giok Seng Cu
dengan pedangnya.
Giok Seng Cu marah sekali. "Kiang Cun Eng, kau dahulu telah
mempermainkan orang-orangku, sekarang kau tidak lekas-lekas
menakluk? Apakah kau memilih jalan mampus?"
"Giok Seng Cu pendeta busuk, memang lebih baik mati daripada
melihat kau menjadi Ketua Hek-kin-kaipang!" jawab Cun Eng.
Melihat Cun Eng sudah turun tangan, para anggauta Hek-kinkaipang
yang memiliki kepandaian cukup tinggi, mulai mengangkat
tongkat mereka dan beramai-ramai mereka mengurung Giok Seng
Cu.
"Teng Gai, kau tidak lekas menyuruh anak buahmu turun tangan,
mau tunggu kapan lagi? Apakah benar-benar kalian berani
mengkhianatiku?" kata Giok Seng Cu. Mendengar ini, Kim-tung Mokai
segera memberi tanda kepada kawan-kawannya yang berjumlah
tiga puluh orang. Tadinya Kim-tung Mo-kai Teng Gai memang
bermaksud hendak merampas kedudukan dalam perkumpulan itu,
akan tetapi setelah ia kalah oleh Ah Kat dan tak tersangka-sangka di
situ muncul Giok Seng Cu bekas pemimpinnya di 1m-yang-bu-pai
dahulu pikirannya berubah dan ia mengambil siasat lain. Begitu
mendapat isyaratnya, kawan-kawannya yang memang sebagian
besar adalah bekas anggauta Im-yang-bu-pai, segera menyerbu dan
sebentar saja di tempat itu terjadi pertempuran hebat.
Pihak Hek-kin-kaipang jauh lebih banyak orangnya, maka melihat
ini, Seng Cu mengeluarkan gerengan keras dan beberapa kali ia
melancarkan pukulan-pukulan Tin-san-kang yang paling hebat.
Terdengar pekik mengerikan dan tubuh Kiang Cun Eng terlempar
sampai tiga tombak lebih dalam keadaan tak bernyawa lagi!
Bukan main marahnya Kong Ki dan Ah Kai. Dua orang ini
memiliki kepadaian yang jauh lebih tinggi daripada Cun Eng, maka
mereka berdua biarpun kalah lihai oleh Giok Seng Cu, sebegitu jauh
masih dapat mempertahankan diri dan belum roboh oleh pukulanpukulan
Tin-san-kang. Kini melihat Giok Seng Cu telah membunuh
Cun Eng secara mengerikan, keduanya menjadi makin nekat dan
405
menyerang mati-matian. Lebih-lebih Kong Ki yang terasa hancur
melihat kekasihnya tewas. Tanpa mempedulikan keselamatan
sendiri, Sian-hud-tim Yap Ko Ki menyerbu Giok Seng Cu dengan
serangan-serangan maut.
Giok Seng Cu berteriak kesakitan ketika daun telinganya pecah
oleh pukulan kebutan di tangan Yap Kong Ki. ia marah dan kedua
rangannya bergerak ke depan menghantam dada lawan ini, maka
tubuh Kong Ki terpental dan ia pun tak jauh dari tubuh Cun Eng
dalam keadaan mati pula.
Ah Kai yang bisu dapat melihat keadaan, ia melompat jauh ke
belakang, memberi tanda dengan tongkat pusaka kepada para
kawan yang masih bertempur, lalu melarikan diri cepat
meninggalkan tempat itu. Ah Kat biarpun bisu amat cerdik. Dalam
berlari, ia menyambar peti yang tadinya ditumpuk oleh Cun Eng di
tempat itu. Melihat perbuatan Ah Kai ini, para anggauta Hek-kinkaipang
lalu meniru perbuatannya dan sebentar saja empat buah
peti berisi harta benda Hek-kin-kaipang telah dibawa lari oleh para
pengemis.
"Kejari Bunuh mereka yang melawan! Rampas kembali peti-peti
dan tangkap hidup-hidup Si Bisu!" tenak Giok Seng Cu sambil
melompat dan mengejar. Karena Giok Seng Cu memang hebat,
dalam beberapa loncatan saja ia telah dapat mengejar Ah Kai dan
terpaksa Si Bisu ini melepaskan peti yang dipanggulnya. ia tidak
berani menghadapi Giok Seng Cu, hanya memutar tongkatnya
melindungi dirinya. Karena Giok Seng Cu masih tidak enak hati
untuk membunuh orang yang agaknya ada hubungan dengan Camkauw
sin-kai, maka Giok Seng Cu tidak mau menjatuhkan serangan
maut, sebaliknya berusaha menawan. Namun, amat sukarlah
mengalahkan Ah Kai tanpa membunuhnya, karena gerakan Ah Kai
amat lincah dan ilmu tongkatnya memang tinggi sekali.
Tiga buah peti yang lain telah terampas pula, Giok Seng Cu
akhirnya terpak ia meninggalkan Ah Kai untuk mengamuk dan
membasmi para anggauta Hek kin-kaipang lebih dulu. Sepak
terjangnya mengerikan hati para pengemis karena setiap kali ia
mengayun tangan, sedikitnya tentu dua orang pengemis roboh
dengan dada pecah atau kepala remuk.
406
"Semua orang akan diampuni kalau menyatakan takluk! Aku akan
menjadi ketua Hek-kin-kaipang dan akan membawa perkumpulan ke
arah kemuliaan. Seru Giok Seng Cu yang mengerahkan tenaga
dalamnya sehingga suaranya terdengar amat nyaring dan
berpengaruh. Mendengar ini dan melihat betapa mereka sia-sia saja
kalau melawan terus, banyak orang pengemis lalu melepaskan
tongkat dan menjatuhkan diri berlutut, diturut oleh yang lain-lain.
Melihat ini, Ah Kai mengeluarkan seruan ah-ah, uh-uh beberapa
kali, membanting-banting kakinya dengan gemas sekali, lalu cepat
ia melarikan diri.
"Totiang, untuk menjadi ketua Hek-kin-kaipang, harus
mempunyai po-tung (Tongkat pusaka) yang dipegang oleh Si Bisu
itu!” kata seorang pengemis yang menakluk.
Mendengar ini Giok Seng Cu melomplat cepat dan mengejar Ah
Kai yang tentu saja berlari makin kencang. Dalam hal ilmu berlari
cepat, Ah Kai sudah mencapal tingkat tinggi juga, maka untuk
beberapa lama, Giok Seng Cu belum dapat menyusulnya.
"He... Bisu, kau berhenti dan serahkan tongkat butut kepadaku,
baru aku akan membebaskan kau!" Memang baginya lebih baik Si
Bisu itu pergi dari situ dalam hal merampas tongkat pusaka itu ia
pun akan merasa lebih senang kalau tak usah membunuh Ah Kai,
karena Giok Seng Cu masih ragu-ragu siapa adanya orang bisu yang
pandai mainkan ilmu tongkat Cam-kauw Tung-hoat itu.
Akan tetapi, sudah tentu saja Ah Kai tidak sudi memberikan
tongkat pusaka itu kepada Giok Seng Cu. Semenjak kecilnya, Ah Kai
telah berada di perkumpulan Hek-kin-kaipang dan ia amat setia
kepada ayah Cun Eng yang ketika itu menjadi ketua perkumpulan.
Setelah ayah Cun Eng meninggal, bocah bisu ini menjadi begitu
berduka sehingga ia melarikan diri dan selama itu tak seorang pun
tahu di mana adanya Ah Kai. Sebetulnya, Ah Kai telah bertemu
dengan orang-orang pandai di antaranya Cam-kau Sin-kai dan dari
orang-orang pandai Ah Kai menerima pelajaran ilmu silat tinggi.
Setelah memiliki kepandaian Ah Kai mencari perkumpulan Hek-kin
Kaipang yang sudah dipindahkan markasnya atu pusatnya oleh
Kiang Cun Eng. Di dalam hatinya, Ah Kai tetap setia kepada
perkumpulan ini dan hendak menyerahkan tenaga dan
407
kepandaiannya untuk membantu dan membela Kiang Cun Eng.
Tidak disangkanya, begitu ia datang, ia menghadapi orang-orang
jahat yang hendak merampas kedudukan di perkumpulan itu. Lebihlebih
tidak disangkanya bahwa di antara orang-orang jahat itu
muncul Giok Seng Cu yang amat lihai dan yang ilmu silatnya kiranya
takkan kalah oleh guru-guru yang pernah mengajarnya. Tadi ketika
melihat Cun Eng tewas hart Ah Kai sudah marah sekali dan ia
merasa sakit hati kepada Giok Seng Cu. Sekarang Giok Seng Cu
minta tongkat pusaka yang menjadi tongkat kekuasaan dari Hekkin-
kaipang, tentu saja ia tidak sudi menyerahkannya dan
mengambil keputusan untuk melindungi tongkat itu sampai saat
terakhir.
Melihat orang bisu itu tidak mau menyerahkan tongkat bahkan
lari makin cepat Giok Seng Cu mulai hilang sabar. Kalau perlu, ia
tidak takut membunuh siapapun juga. Andaikata benar dugaannya
dan pengemis bisu itu murid Cam-kauw Sin-kai, ia pun tidak takut.
Pula di tempat sunyi ini siapakah yang akan tahu bahwa pengemis
bisu itu di bunuh olehnya?
"Bisu, tinggalkan tongkat itu pengganti nyawamu!" Sekali lagi
Giok Seng Cu berseru ketika Ah Kai lagi-lagi tidak
memperdulikannya, Giok Seng Cu menggerakkan kedua tangannya
dan empat buah chi-piauw menyambar laksana kilat ke arah
belakang leher, punggung, lutut dan mata kaki.
Ah Kai dapat mendengar sambaran angin senjata rahasia itu,
maka cepat ia melompat ke kanan sejauh setombak lebth sehingga
serangan amgi (senjat gelap) itu hanya mengenai angin belaka
Namun, gerakannya ketika meiepaskan diri dari ancaman senjata
rahasia tadi telah memperlambat gerakannya dalam berlari sehingga
Giok Seng Cu sudah dapat menyusulnya.
Ah Kai membalikkan tubuh dan dengan secara mendadak ia
menyambut kedatangan kakek itu dengan serangan bertubi-tubi dari
tongkatnya. Kembali Giok Seng Cu gelagapan dan sibuk menangkis
dengan kibasan kedua ujung bajunya. Ia menjaga diri dari ujung
tongkat yang amat berbahaya itu, akan tetapi diam-diam ia pun
mencari kesempatan untuk menjatuhkan pukulan maut pada lawan
yang tangguh ini. Kakek ini sudah kehilangan kesabarannya, bahkan
408
kini rasa penasarannya memuncak menjadi kemarahan besar. Ketika
dengan tenaganya yang dahsyat ujung bajunya dapat membuat
tongkat lawan terpental, ia cepat mengirim pukulan Tin-san-kang
dengan tubuh merendah hampir berjongkok. Inilah pukulan Tin-sankang
dalam jurus yang amat hebat, yaknt jurus Chun-luttong-tee
(Geledek Musim Semi Menggetarkan Bumi)!
Ah Kat terkejut sekali. Cepat ia mergerahkan tenaganya,
menyalurkan tenaga lweekang sepenuhnya di lengan kin untuk
menangkis pukulan itu sambil tubuhnya dimiringkan agar dadanya
tidak terpukul oleh angin pukulan.
"Krek!" tubuh Ah Kai terlempar dan ia jatuh berdebuk terus
bergulingan untuk menghindarkan diri dari pukulan susulan.
Kemudian secepatnya ia melompat berdiri dengan muka meringis.
Tongkat masih ia pegang di tangan kanan dadanya pun tidak
terluka, akan tertapi lengan kirinya telah patah tulangnya, Demikian
hebat pukulan Giok Seng tadi.
Di lain pihak, Giok Seng Cu memandang kagum. Menangkis
pukulannya tadi dan tidak tewas, hanya mendapat luka patah tulang
lengan, benar-benar tak mungkin dapat dilakukan oleh
sembarangan ahli silat.
"Bisu, kau lihai!" serunya. "Sayang kau harus mampus karena
berani melawanku!" Kembali ia menubruk maju dengan
serangannya, akan tetapi Ah Kai tidak mau melayaninya dan sekali
berkelebat, pengemis bisu ini sudah kabur lagi.
Sekarang jarak antara mereka tidak begitu jauh lagi, maka
keadaan Ah Kat amat terancam. Baru saja ia lari belum setengah li,
Giok Seng Cu sudah dapat menyusulnya lagi dan dari belakang
mengirim pukulan lagi dengan dahsyat.
Ah Kai sudah mendapat pengalaman, maka kini ia tidak berani
menangkis lagi, sebaliknya ia lalu membanting tubuhnya ke kiri dan
terus bergulingan di atas tanah menjauhkan diri.
"Ha, ha, ha. Jembel bisu, kau hendak lari ke mana'" Giok Seng Cu
tertawa mengejek sambil mengejar lagi.
409
Mereka main kejar-kejaran dan setiap kali Giok Seng Cu
memukul, Ah Kai menghindarkan serangan dengan membanting diri
dan bergulingan. Sebegitu jauh pengemis bisu yang memiliki
gerakan lincah ini dapat menyelamatkan diri, akan tetapi ia maklum
bahwa kalau Giok Seng Cu mengejar terus, akhirnya ia takkan dapat
mengelak lagi dan pasti akan terpukul oleh ilmu pukulan yang aneh
dan dahsyat dan lawannya. Betapapun juga, tidak ada sedikit pun
pikirannya untuk mengalah dan menyerahkan tongkat. Ia
mengambil keputusan untuk melindungi tongkat itu dengan taruhan
nyawa!
Setelah berkejaran sejauh lima li, mereka tiba di dalam sebuah
hutan. Ah Kai sudah mulai lelah, bukan karena berkejaran itu,
karena ia telah memiliki ilmu ginkang yang tinggi dan takkan merasa
lelah biarpun berlari sampai puluhan li. Yang membuat ia lelah
adalah luka pada lengannya. Tulang yang patah itu setelah dipakai
bergerak, apalagi waktu ia bergulingan kadang-kadang tergencet
tubuh, terasa amat sakit.
Giok Seng Cu menjadi makin penasaran dan marah sekali.
Kemarahannya membuat kakek ini dapat berlari makin cepat dan
baru saja mereka memasuk hutan, Giok Seng Cu sudah dapat
menyusulnya lagi dan dengan mengeluarkan seruan seperti seekor
harimau marah, kakek ini menyerang dari belakang menghantam
punggung.
Ah Kai kembali membanting tubuh dan bergulingan. Akan tetapi,
Giok Seng Cu yang sudah tahu akan lawannya, menyerang dengan
lontaran senjata rahasianya yang berupa uang logam. Tiga buah
chi-piauw meluncur dan menyambar ke arah tiga jalan darah yang
mematikan.
Ah Kai mencoba untuk mengelak, akan tetapi ketika itu ia sedang
bergulingan, mana ia dapat bergerak dengan leluasa? Sebuah
daripada am-gi berhasil mengenai pundaknya dan kembali tulang
pundaknya sebelah kiri patah!
Ah Kai menahan rasa sakit dan melompat berdiri, Giok Seng Cu
sudah berdiri di depannya. Sambil menggigit bibir menahan marah
dan sakit, Ah Kai menubruk dan mengirim serangan maut dengan
tongkatnya. Kembali dua orang itu bertempur. Ah Kai marah sekali,
410
Giok Seng Cu tertawa-tawa mengejek karena maklum bahwa Si Bisu
ini sekarang tak mungkin dapat melarikan diri lagi dan pasti binasa.
"Jembel bisu, untuk tongkat butut dari Hek-kin-kaipang kau rela
membuang nyawa, sungguh percuma hidupmu dan sayang sekali
Cam-kauw Sin-kai telah menurunkan kepandaiannya kepadamu. Ha,
ha, ha!"
Ah Kai menggigit bibir
dan melawan terus. Akan
tetapi, dalam keadaan
sehat saja ia masih bukan
tandingan Giok Seng Cu,
apalagi sekarang ia telah
mendapat luka. Tulang
pundak dan lengan
kirinya telah patah dan
membuat seluruh
lengannya sebelah kiri
seakan-akan mati. Mana
mungkin ia dapat
menghadapi desakan
Giok Seng Cu? Ketika
Giok Seng Cu
mengibaskan ujung
lengan bajunya, Ah Kai
terlambat menangkis dan
dadanya terpukul. Tubuhnya terlempar sampai dua tombak lebih.
Akan tetapi, pengemis bisu ini benar-benar kuat sekali karena
pukulan-pukulan yang demikian dahsyatnya hanya membuat ia
terlempar, tidak sampai mengakibatkan luka di dalam tubuh.
Namun, keadaannya sekarang berbahaya sekali. Sebelum ia dapat
melompat bangun, Giok Seng Cu sudah berada di dekatnya dan kini
kakek ini mengangkat tangan untuk mengirim pukulan maut
terakhir.
Pada saat itu, berkelebat bayangan yang cepat laksana burung,
disusul bentakan halus dan nyaring.
"Kakek siluman jangan berbuat kejam!"
411
Giok Seng Cu melihat sinar yang menyilaukan matanya,
menyambar cepat di depan mukanya. Terpaksa ia mengurungkan
niatnya memukul Ah Kai karena kalau ia teruskan pukulan itu, tentu
tangannya akan bertemu dengan pedang yang luar biasa cepat
gerakannya. melompat mundur dan memandang. Bukan main
herannya ketika melthat bahwa yang menyerangnya adalah seorang
gadis yang cantik jelita dan berwajah gagah dan berpengaruh.
Ah Kai melihat kesempatan baik ini, ia melompat berdiri dan
memandang kepada gadis itu dengan mata penuh pernyataan
terima kasih. Kemudian ia menoleh kepada Giok Seng Cu, tertawa
mengejek dan melompat jauh melarikan diri lagi.
"Jembel busuk hendak lari ke mana?” Giok Seng Cu membentak
marah dan tubuhnya sudah bergerak hendak mengejar. Akan tetapi
sekali berkelebat, gadis itu telah menghadang di tengah jalan.
"Tidak boleh mendesak orang yang sudah lari!" kata gadis itu.
Giok Seng Cu marah sekali. "Jangan mencampuri urusanku!"
bentaknya dan tangan kirinya bergerak, ujung lengan bajunya
dikibaskan ke arah gadis itu dengan maksud mendorong gadis ini ke
pinggir.
Akan tetapi, gadis itu tidak menangkis, bahkan mempergunakan
jari tangan kirinya yang dikepretkan ke arah ujung baju sehingga
ujung kain yang amat kuat karena digerakkan dengan tenaga Tinsin-
kang itu terpukul kembali.
Kejadian ini membuat Giok Seng Cu membatalkan kehendaknya
mengejar Ah Kai. Ia terlampau kagum dan heran sehingga tidak
memperdulikan lagi kepada Ah Kai yang membawa lari tongkat
pusaka Hek-kin-kaipang. Bagaimana dengan jari-jari tangan yang
kecil runcing itu seorang gadis semuda ini dapat menangkis
pukulannya?
"Bocah, kau memiliki kepandaian juga. Akan tetapi jangan dikira
dengan sedikit kebisaanmu ini kau akan dapat menjual lagak di
depan Giok Seng Cu! Siapa kau?"
Akan tetapi, sebaliknya dari gentar mendengar nama besar Giok
Seng Cu ini, gadis ini bahkan nampak marah sekali dan pedang
412
yang tadinya telah disimpan, dicabutnya kembali. Sikapnya
bermusuh dan menantang, kemudian bibir yang manis tapi nampak
membayangkan kekerasan hati bergerak.
"Kau Giok Seng Cu? Pantas! Sudah kuduga bahwa kau tentu
bukan seorang baik-baik. Di dunia kang-ouw kau boleh menjadi raja
iblis, akan tetapi bertemu dengan Gak Soan Li, berarti akan tamat
riwayatmu!" Setelah berkata demikian gadis ini menggerakkan
pedangnya melakukan serangan yang datangnya cepat sekali dan
melihat ujung pedangnya tergetar, membuktikan bahwa penyaluran
tenaga lweekangnya sudah sampai ujung senjata, tanda dari
keahlian yang tinggi.
Akan tetapi Giok Seng Cu adalah seorang kakek yang
kepandaiannya amat tinggi. Juga pengalamannya sudah luas sekali,
mana ia mau memandang sebelah mata kepada seorang gadis
semuda itu? Ia tersenyum mengejek dan sambil mengelak dan
menyampok ujung pedang dengan ujung Iengan baju, ia mengejek.
"Gak Soan Li, kau seperti anak kambing menantang harimau.
Sayang kalau nyawamu terbang meninggalkan tubuhmu yang
cantik. Lebih baik kau ikut aku nenjadi muridku, baru kau akan
mendapatkan ilmu yang hebat."
Mendadak Giok Seng Cu menghentikan kata-katanya karena
matanya menjadi silau melihat bergeraknya pedang di tangan gadis
itu yang kini merupakan gulungan sinar pedang yang amat luar
biasa gerakannya. Serangan pedang datang bertubi-tubi, setiap
langkah atau jurus berisi empat sampai lima tikaman dan sabetan
semuanya mengarah bagian berbahaya dan cepatnya, mengimbangi
sambaran kilat! Karena tadi memandang rendah, Giok Seng Cu
kurang cepat bergerak dan dalam kesibukannya mengelak dan
menangkis, sehelai kain dan ujung lengan bajunya terbabat putus
oleh pedang yang tajam. Giok Seng Cu merasa kecele dan ia
terkejut sekali, juga terheran-heran. Ia tidak saja terkejut melihat
kelihatan gadis muda ini terutama sekali karena ia mengenaI ilmu
pedang itu yang dasarnya sama dengan ilmu silat yang ia pelajari
dari mendiang suhunva, Pak Hong Siansu! Tak bisa salah lagi ilmu
pedang yang dimainkan oleh gadis ini tentulah berasal dari orang
413
yang paling ditakutinya sesudah See-thian Tok-ong yaitu Hwa I
Enghiong Go Ciang Le, murid dari supeknya, Pak Kek Siansu.
"Eh, kau ada hubungan apa dengan Go Ciang Le," tanya Giok
Seng Cu sambil mengelak dari sebuah tusukan.
"Dia Suhuku, kau mau apa?" jawab Soan Li yang menyerang
terus dengan gemas karena ia merasa penasaran betapa semua
jurus-jurus terlihai dari ilmu pedangnya hanya berhasil
menyerempet dan membabat putus sedikit kain saja.
"He, kau kurang ajar sekali! Aku adalah suheng dari Gurumu,
bagaimana kau berani melawan Supekmu sendiri?"
Gak Soan Li menahan pedangnya dan berdirt memandang
dengan mata penuh kebencian.
"Siapa sudi mempunyai Supek seperti engkau yang jahat ini?
Suhu sudah banyaak menderita karena kejahatanmu, apakah kau
masih hendak menipuku? Kata Suhu kejahatanmu sudah
bertumpuk-tumpuk dan tadi kau mendesak seorang pengemis
merupakan kejahatanmu yang terakhir karenanya kau harus
menebus dosa di depan Giam kun (Malaikat Maut)!" Kembali Soan Li
menyerang dengan pedangnya secara hebat.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan. Gak Soan Li
adalah murid Go Ciang Le yang sudah mempelajari 1mu silat tinggi
bahkan ia sudah pula menerima pelajaran silat worisan, yakni Pakkek
Kiam-hoat ciptaan mendiang Pak Kek Siansu. Memang gurunya
sendiri hanya mewarisi paling banyak enam bagian dari ilmu silat ini
dan dia sendiri paling banyak hanya empat bagian, akan tetapi
bagian ini sudah cukup untuk ia pergunakan menghadapi lawan
yang tangguh. Seperti kita sudah maklum, Soan Li diam-diam
melarikan diri dari tempat tinggal suhunya di Pulau Kim-bun-to dan
pergi mengembara untuk menyusul atau mencari sumoinya, Go Hui
Lian yang lari bersama Liok Kong Ji. Di dalam perjalanan, tidak lupa
dara perkasa ini melakukan semua pesan dan cita-cita suhunya,
yakni menolong orang-orang yang menderita kesengsaraan
terutama sekali membela mereka dari para penjahat. Soan Li
berwatak keras, tenang dan pendiam maka kalau bertemu dengan
orang jahat, ia bersikap keras dan ganas sekali tak pernah memberi
414
ampun. Oleh karena kekerasan hatinya ini dalam berapa bulan di
perantauan ia telah banyak membasmi orang-orang jahat sehingga
di kalangan hek-to (dunia penjahat) namanya terkenal sekali dan ia
mendapat nama poyokan Kang-sim-li (Dara Berhati Baja).
Kini dalam perjalanannya, kebetulan sekali ia bertemu dengan
Giok Seng Cu yang hendak membunuh Ah Kai. Wataknya yang suka
menolong orang lemah, membuat ia turun tangan menolong Ah-Kai
dan setelah mendengar bahwa kakek rambut panjang itu adalah
Giok Seng Cu tentu saja Soan Li menjadi marah dan ingin
menewaskan kakek yang kejahatana telah banyak didengarnya dari
penuturan Go Ciang Le dan Liang Bi Lan, subonya.
Akan tetapi, kalau selama perantauannya Soan Li tidak pernah
menemui tandingan berat adalah sekarang ia bertemu dengan
batunya. Giok Seng Cu merupakan lawan yang amat tangguh. Hal
ini baru diketahui setelah Giok Seng Cu timbul marahnya dan kakek
ini mulal mengeluarkan kesaktiannya yang amat diandalkan, yakni
pukulan-pukulan Tin-san-kang! Pukulan-pukulan pertama membuat
Soan Li terkejut sekali karena hampir saja pedangnya terlepas ketika
lengan kanannya terkena sambaran angin pukulan itu. Ia terkejut
dan juga heran karena dalam pukulan ini, ia mengenal ilmu pukulan
aneh yang pernah ia lihat dimainkan oleh Hui Lian dan yang
menurut pengakuan sumoinya itu mendapat pelajaran dari Liok
Kong Ji!
"Jadi kaukah guru keparat dan jahanam Kong Ji?" bentaknya
sambil mempercepat permainan pedangnya.
Giok Seng Cu tertegun dan untuk sementara ia mengendurkan
serangann dan hanya mengelak saja dari samsambaran pedang
yang membuatnya kewalahan.
"Di mana adanya Kong Ji?" tanyanya.
"Di neraka dan kau sebentar lagi akan menyusulnya!" bentak
Soan Li dengan ketus dan memperhebat serangannya.
Giok Seng Cu salah duga. Dikiranya Kong Ji sudah tewas oleh
gadis ini, maka sambil berseru keras ia membalas serangan Soan Li
dengan ilmu silat Tin- san-kang. Pertandingan hebat dan matimatian
terjadi dengan serunya. Soan Li gesit dan cekatan seperti
415
seekor rajawali, pedangnya menyambar-nyambar dengan aneh dan
indah, setiap saat mengintai nyawa lawan.
Sebaliknya, Giok Seng Cu teguh kuda- kudanya, tubuhnya
direndahkan dan kedua kaki hanya digeser maju tanpa diangkat
kadang-kadang tubuhnya seperti berjongkok dan dari kedua
lengannya menyambar hawa pukulan yang seperti gelombang
dahsyat. Betapapun gesit dan cepatnya Soan Li bergerak namun ia
tidak berdaya menghadapi gelombang pukulan itu. Baru angin
pukulannya saja sudah -membuat pedangnya beberapa kali
terpental dan kalau menyerang dan menyambar tubuhnya membuat
napasnya menjadi sesak.
Biarpun kepandaian lawannya hebat sekali, Soan Li takkan patut
mengaku diri murid Go Ciang Le kalau ia menjadi jerih. Seperti juga
Hui Lian, gadis ini tidak pernah mengenaI artinya takut hanya
bedanya dengan sumoinya itu, kalau Hui Lian berwatak gembira,
jenaka dan ramantis adalah watak Soan Li pendiam, tenang, dan
bersungguh-sungguh.
Kini menghadapi desakan Giok Seng Cu, Soan Li tidak menjadi
takut, bahkan ia penasaran dan marah. Pedangnya dtgerakkan
cepat, tiba-tiba ia berseru keras dan tubuhnya seperti seekor walet
terbang melambung ke udara dan dari atas, pedangnya diputar
cepat menyerang Giok Seng Cu dengan tusukan maut.
"Ayaaa...!" Giok Seng Cu berteriak kaget sekali. Sekarang ini
datangnya tidak tersangka-sangka dan amat hebatnya sukar untuk
dielakkan lagi. Namun kakek ini yang sudah memiliki pengalaman
luas dalam ratusan pertandingan, dapat mencari siasat bagaimana
harus menghadapi bahaya ini dengan pihak sendiri mendapat
keuntungan. Ia merendahk tubuh, miringkan pundak dan kepala
hingga pedang yang menusuk leher hanya mengenai pundaknya,
mengerahkan lweekang untuk menahan tusukan berbareng kedua
tangannya bekerja, memukul dengan tenaga Tin-san-kang
sepenuhnya ke arah dua kaki Soan Li yang tidak terlindung.
Terdengar suara tulang patah, tubuh Soan Li terlempar jauh dan
gadis ini jatuh dalam keadaan duduk, kedua kakinya tak dapat
digerakkan lagi karena tulang kedua pahanya telah remuk!
Sebaliknya, pedang gadis itu telah dapat menembus pertahanan
416
tenaga Iweekang dari Giok Seng Cu dan melukai pundak kakek itu
agak dalam juga.
Giok Seng Cu terhuyung mundur, kemudian ia tertawa bergelak
ketika dengan tindakan kaki perlahan dan muka menyeringai seperti
iblis menghampiri gadis yang sudah tak berdaya lagi. Akan tetapi,
biarpun kedua kakinya sudah lumpuh dan ia tidak dapat lari, Soan Li
dengan mukanya pucat itu masih bersiap dengan pedang di tangan,
matanya memandang kepada lawannya bagaikan seekor harimau
marah.
"Ha-ha-ha! Nona manis, kau hendak berdaya apa lagi? Ha, ha,
bersiaplah untuk menemui setan-setan di neraka agar kau dapat
memilih seorang di antara mereka menjadi kekasihmu. Ha, ha, ha!"
Giok Seng Cu tertawa bergelak sambil mengangkat muka ke atas,
gemas sekali menderita luka, maka ia merasa amat puas akan dapat
membunuh gadis yang telah melukainya. Dengan kedua tangan
bertolak pinggang dan air muka seperti iblis ditambah dengan suara
ketawa yang mengerikan, keadaannya benar-benar menyeramkan.
Setelah merasa puas mentertawakan Soan Li, kakek ini lalu
menghentikan suara ketawanya dan bersiap hendak melakukan
pukulan maut. Akan tetapi ketika ia menundukkan kepala lagi dan
memandang ke depan, matanya dibuka lebar- lebar dan ia hampir
tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Apakah yang dilihatnya?
Di hadapannya, membelakangi gadis yang masih bersimpuh dengan
kedua kaki lumpuh itu, berdiri seorang muda berusia sembilan belas
tahun. Pemuda ini wajahnya sederhana saja seperti juga pakaiannya
yang terbuat dari kain kasar. Akan tetapi kesederhanaan wajah dan
pakaiannya tidak menyembunyikan ketampanannya dan sepasang
matanya seperti sepasang bintang yang menyinarkan pandangan
tajam menembus jantung. Pemuda ini berdiri sambil
memandangnya dengan bibir tersenyum. Adapun Soan Li setelah
mengerahkan tenaga dalam untuk mengusir rasa sakit pada kedua
pahanya, kini duduk tak bergerak dengan mata dipejamkan tanda
bahwa gadis ini dalam keadaan samadh atau setengah pingsan.
Hanya orang yang sudah matang latihan samadhi dan pengaturan
napas saja yang dapat duduk dan tidak roboh biarpun berada dalam
keadaan setengah pingsan.
417
"Setan cilik, siapa kau?"
Pemuda Itu menjawab dengan suara yang halus dan tenang.
"Sudah tahu aku setan cilik mengapa kau bertanya lagi? Aku
setan cilik yang datang mencegah iblis gede yang hendak
membunuh seorang gadis tak berdaya."
Dapat dibayangkan betapa marahnya Giok Seng Cu. Tokoh-tokoh
besar di dunia kang-ouw tidak ada yang berani main-main
dengannya, akan tetapi pemuda yang datangnya amat
mengherankan itu seperti setan yang datang tanpa menimbulkan
suara sehingga telinga Giok Seng Cu yang amat terlatih sekalipun
tidak dapat menangkap sesuatu suara kini berani bicara main-main
dengannya seperti seorang anak nakal kepada temannya.
"Kau sudah bosan hidup!" bentaknya marah dan biarpun
pundaknya sudah terluka oleh tusukan pedang, Giok Seng Cu
memaksa diri mendorong pemuda ini dengan Ilmu Pukulan Tin-sankang!
Dalam marahnya, ia hendak bikin mampus pemuda itu
dengan sekali pukul. Giok Seng Cu terkejut sendiri melihat pemuda
itu sama sekali tidak bergerak untuk menangkis atau mengelak.
Pukulannya yang dahsyat itu diterima begitu saja dengan dada
terbuka! Akan tetapi, watak yang kejam dari Giok Seng Cu tidak
membuat ia merasa menyesal atau mengurangi daya pukulannya. Ia
hanya merasa geli akan ketololan pemuda itu.
"Buk'" dada itu kena pukul dan tubuh pemuda itu bagaikan
sebuah bola karet terlempar jauh, bahkan terlemparnya agak ke
atas seperti bola ditendang. Giok Seng Cu merasa betapa kepalan
tangannya mengenai dada yang empuk seakan-akan dada pemuda
itu tidak bertulang. Akan tetapi ia tidak peduli karena sudah merasa
pasti bahwa dada itu tentu remuk sebelah dalamnya, maka tanpa
menengok lagi bagaimana keadaan pemuda yang telah dipukulnya
itu, ia melangkah maju hendak turun tangan terhadap Soan Li.
Akan tetapi, ia kembali menahan langkahnya dan hampir saja ia
mengelukan seruan kaget dan herannya. Entah kapan karena ia
tidak melihat gerakanya, tahu-tahu pemuda aneh yang dipukulnya
tadi telah berdiri di hadapannya lagi sambil tersenyum-senyum!
418
"Setan gede, masih ada lagikah pukulan tahumu? Enak sekali
rasanya, pingangku yang tadinya pegal-pegal menjadi sembuh
seketika. Terima kasih," kata pemuda itu.
Giok Seng Cu memandang dengan mata terbelalak. Kalau tidak
mengalaminya sendiri, pasti ia takkan dapat percaya. Ia biasanya
membanggakan Tin-san-kang karena merasa yakin akan
keampuhan ilmu pukulan itu. Bahkan See-thian Tok-ong sendiri
takkan mampu menerima pukulannya tadi tanpa menderita luka.
Akan tetapi pemuda ini secara gaib telah datang lagi dan minta
tambahan! Bahkan mendiang suhunya sendiri, Pak Hong Siansu,
takkan mungkin sanggup menerima Tin-san-kang tanpa terluka.
Entah kalau Pak Kek Siansu supeknya, karena ia tahu bahwa
supeknya itu memiliki sinkang yang hebat dan kesaktian seperti
seorang dewa. Akan tetapi, mungkinkah pemuda yang belum dua
puluh tahun usianya ini dapat memiliki kepandaian seperti Pak Kek
Siansu? Tidak mungkin! Barangkali ini hanya kebetulan saja dan
mungkin tadi ia kurang tepat mengerahkan tenaganya. Ataukah
tenaga Tin san-kang-nya tiba-tiba bocor dan tidak ampuh lagi?
Giok Seng Cu menggerak-gerakkan kedua lengannya. Terdengar
suara berkerotokan dari tulang-tulangnya dan ia masih merasa
hawa panas mengalir di kedua lengannya, tanda bahwa hawa Tinsan
kang dalam tubuhnya masih belum lenyap. Ia masih penasaran.
Dengan sembarangan kedua tangannya digerak-gerakkan ke kanan
kiri dan batu-batu yang berada di atas tanah menjadi pecah!
"Eh, setan gede. Apakah kau sedang menjual obat dan
memamerkan ilmu sulap?" pemuda itu mengejek lagi.
Giok Seng Cu menjadi mata gelap saking marahnya. ia
mengeluarkan bentakan keras dan kedua tangannya yang dikepal
kini sekaligus menghantam dada pemuda itu. Seperti tadi, pemuda
itu tidak mengelak sama sekali. hanya kedua kakinya tiba-tiba
menegang dan ia memasang bhesi (kuda-kuda) yang kokoh kuat.
"Bukk!!" Suara bertemunya kedua kepalan tangan dan dada kini
jauh lebih nyaring dari pada tadi dan akibatnya sungguh ajaib.
Bukan pemuda itu yang dadanya hancur atau tubuhnya mencelat,
sebaliknya cubuh Giok Seng Cu yang kini terpental seakan-akan
sehelai daun kering tertiup angin. Kemudian tubuhnya jatuh
419
berdebuk ke atas tanah, debu mengepul dan Giok Seng Cu duduk
dengan mata terbelalak memandang kepada pemuda itu. Kepalanya
bergoyang-goyang karena ia merasa pening sekali, telinganya
mendengar suara mengiang. Ia tahu bahwa ia telah terluka oleh
hawa pukulan Tin-san-kang. Ketika kedua tangannya bertemu
dengan pemuda itu, hawa pukulannya telah bertemu dengan tenaga
yang luar biasa sehingga hawa pukulannya Tin-san-kang membalik
lalu menyerang tubuhnya sendiri, senjata makan tuan! Giok Seng Cu
cepat memejamkan mata dan mengatur pernapasan dan tidak lama
kemudian ia dapat mengatasi dirinya. Kalau ia terlambat melakukan
usaha ini, pasti isi perutnya akan luka-luka dirusak akibat
membaliknya Tin-san-kang tadi.
Setelah dirinya terbebas dari ancaman maut, Giok Seng Cu
membuka mata dan menengok. ia melihat pemuda itu telah berlutut
di dekat tubuh Soan Li yang kini telah berbaring telentang. Pemuda
itu demikian sibuk menolong Soal Li sehingga sama sekali tidak
mempedulikan lagi, seakan-akan sudah lupa kepadanya.
Giok Seng Cu berbangkit perlahan berdiri dan memandang ke
arah pemuda itu dengan muka menyatakan kengerian hatinya
seperti seekor tikus melihat kucing. Kemudian ia melompat dan lari
tunggang langgang dari tempat itu.
"Siapa dia...?" pertanyaan ini berulang kali mengiang di telinga
hati Giok Seng Cu. Baru kali ini selama hidupnya melarikan diri
ketakutan melihat seorang pemuda yang tidak terkenal sama sekali.
Padahal pemuda itu sama sekali belum pernah menggerakkan jari
tangannya untuk menyerangnya.
"Sungguh memalukan'" Giok Seng Cu mengeluh kalau teringat
akan keadaannya yang memalukan, "Siapa dia begitu lihai?"
Mengingat kembali akan wajah pemuda itu, senyumnya, matanya, ia
merasa pernah bertemu dengan pemuda itu, entah di mana ia lupa
lagi. Di dalam dunia ini sudah banyak sekali. ia bertemu orang,
maka tidak ingat lagi di mana ia pernah bertemu dengan muka itu,
dengan senyum yang mengejek dan membayangkan ketabahan
hati, dengan sinar mata yang demikian tajam menusuk kalbu. Siapa
dia...?
420
Ya, siapa dia? Siapa pemuda yang sederhana dan sakti ini?'
Pembaca tentu dapat mengenalnya. Benar, dia bukan lain adalah
Wan Sin Hong, pemuda yang semenjak kecilnya menderita hebat
tiada hentinya. Banyak kaum arif bijaksana berkata bahwa
penderitaan pahit getir yang dialami di waktu kecil, akan
mendatangkan kebahagiaan di waktu tua. Bagi Wan Sin Hong yang
di waktu masih kecil menderita banyak kesengsaraan hidup, siksaan
lahir batin dan beberapa kali nyawanya tergantung di sehelai
rambut, memang pada masa ini tak dapat dikatakan telah menemui
bahagia. Akan tetapi tidak dapat disangkal pula bahwa ia telah
mendapatkan keberuntungan yang luar biasa besarnya. Tidak saja
ia telah mewarisi isi kitab Pak Kek Siansu dan telah mempelajari
sampai sempurna betul isi kitab itu, yakni Ilmu Silat Pak kek Sinciang
dan ilmu-ilmu lweekang sehingga di dalam tubuhnya telah
mengalir sinkang (hawa sakti) yang dahsyat tenaganya, akan tetapi
juga ia telah matang dalam ilmu pengobatan setelah ia menjadi
murid dan ahli waris dari mendiang Kwa Siucai, raja pengobatan
nomor satu di dunia pada waktu itu. Di samping itu semua,
sebagaimana telah dituturkan bagian depan dari cerita ini, Sin Hong
keluar dari tempat pertapaan dan berhasil bertemu dengan Lie Bu
Tek ayah angkatnya. Kemudian Lie Bu Tek yang sudah buntung
lengannya itu ikut dengan Sin Hong menuju ke puncak Luliang-san
dan ikut pula memasuki gua rahasia sehingga kedua orang ini
berlatih dan bertapa di dalam tempat rahasia itu sampai bertahuntahun,
tanpa diketahui oleh orang lain.
Kurang lebih lima tahun Sin Hong dan Lie Bu Tek bersembunyi di
tempat itu, yakni di dalam jurang tak berdasar yang berada di
puncak Luliang-san, yang sebetulnya merupakan lereng tersembunyi
dari bukit itu. Kalau Sin Hong memperdalam latihan ilmu silat
berdasarkan Ilmu Silat Pak-kek Sin-ciang sehingga ia dapat
memperoleh kesempurnaan dalam ilmu silat itu, adalah Lie Bu Tek
juga tidak tinggal diam. Di bawah petunjuk anak angkatnya yang
kini memiliki kesaktian tinggi itu, Lie Bu Tek telah dapat merangkai
Ilmu pedang baru yang tentu saja berdasarkan ilmu pedang Hoasan-
pai, akan tetapi ilmu pedang ini sekarang jauh lebih kuat dan
cepat, dan ilmu pedang ini adalah ilmu pedang yang khusus
dimainkan oleh seorang yang buntung sebelah tangannya. Setelah
421
lima tahun lewat, kini Lie Bu Tek sekarang bukan Lie Tek dahulu
lagi.
Biarpun kini ia hanya mainkan pedang dengan tangan kiri dan
tangan kanannya yang buntung tidak dapat melakukan gerakan
sebagai imbangan, namun kalau dibandingkan dengan keadaannya
dahulu sebelum lengannya buntung, kiranya lima orang Lie Bu Tek
dahulu dengan 1ima pasang lengan belum tentu akan dapat
menangkan seorang Lie Bu Tek sekarang dengan sebuah lengan kiri
saja! Hal ini bukan karena ilmu pedangnya memang menjadi jauh
lebih kuat, akan tetapi juga sebagian besar karena tenaga lweekangnya
sudah jauh lebih tinggi daripada dahulu.
Adapun kebaikan yang didapatkan oleh Sin Hong setelah ia
berkumpul kembali dengan gihunya, adalah pelajaran ilmu bathin
dan nasihat-nasihat berharga yang ia terima dari ayah angkatnya,
yang membuat jiwanya lebih masak lagi dan pandangannya lebih
jauh. Apalagi karena sekarang Lie Bu Tek menjalani hidup suci
seperti seorang pertapa, maka tentu saja ia mengajar anak
angkatnya tentang filsafat-filasafat hidup yang dalam dan amat
penting bagi bekal hidup seorang muda.
"Sin Hong, pengaruh yang amat berbahaya dan yang perlu kita
kekang dan kalahkan adalah pengaruh yang timbul dari dalam diri
sendiri. Pengaruh perasaan dan nafsu amat jahatnya sehingga
orang-orang cerdik pandai jaman dahulu selalu menyatakan bahwa
mengalahkan musuh tangguh bukanlah hal yang terlalu luar biasa,
akan tetapi mengalahkan diri sendiri adalah hal yang patut dikagumi
karena ini menandakan sifat seorang kuncu (budiman)."
"Apakah yang Gihu maksudkan dengan mengalahkan diri sendiri
itu" tanya Sin Hong yang ingin tahu lebih jelas tentang filsafat.
"Mengalahkan diri sendiri berarti mengalahkan segala rasa dan
pikiran yang ditunggangi oleh nafsu buruk. Rasa yang bersih adalah
rasa perikemanusiaan yang tidak dipengaruhi oleh nafsu, dan
bertindak menurutkan rasa yang bersih itu adalah tugas seorang
manusia karena rasa ini datangnya dari Thian Yang Maha Kuasa dan
sifatnya suci. Rasa yang bersih ini sudah disaring oleh kesadaran
sudah ditimbang oleh pertimbangan akal budi, sesuai dengan suara
dan kehendak Thian yang selalu berkembang di dalam batin
422
seorang kuncu (budiman). Sebaliknya, kalau kita tidak dapat
mengekang dan mengendalikan nafsu sehingga rasa ditunggangi
oleh nafsu, tindakan kita akan menyeleweng. Nafsu membutakan
kesadaran melemahkan pertimbangan dan menutupi telinga batin
sehingga tidak mendengar kumandang suara Thian. Nah, karena itu
ingatlah selalu, Sin Hong, bahwa musuh yang paling lihai di dunia
adalah diri kita sendiri. Maka berhati-hatilah, karena musuh ini
bekerja dengan halus, tidak peduli kau berada di mana, tiba-tiba
saja ia akan menyerang tanpa dapat kau lihat atau dengar lebih
dulu."
Sampai lama Sin Hong termenung untuk menangkap sari
pelajaran dari ayah angkatnya ini.
"Gihu, bagaimanakah kalau nafsu amarah timbul apabila kita
melihat musuh besar kita? Bagaimana harus anak lakukan kalau ada
orang telah menyakitkan hati kita?"
Lie Bu Tek diam-diam maklum ke mana maksud tujuan
pertanyaan ini. Bocah ini memang mendendam sakit hati yang amat
besarnya. Ayah bundanya dibunuh orang, kemudian semenjak
kecilnya telah mengalami berbagai hal yang menimbulkan sakit hati.
Peristiwa di Hoa-san-pai, terbunuhnya Liang Gi Tojin, terbuntungnya
lengan tangan Lie Bu Tek sendiri, lalu perbuatan Liok Kong Ji
sebagai siksaan yang diderita dan percobaan pembunuhan oleh
orang-orang Im-yang-bu-pai, kemudian usaha pembunuhan yang
dilakukan oleh Giok Seng Cu kepadanya, semua itu merupakan
pengalaman pahit getir yang tentu telah melukai hati anak ini, yang
dapat menimbulkan dendam dan sakit hati yang amat mendalam.
"Sin Hong, dendam dan sakit hati juga timbul dari nafsu, atau
lebih tepatnya itu adalah nafsu yang berganti rupa. Oleh karena itu,
kita jangan terseret olehnya dan kita harus lebih mendengarkan
suara batin yang disaring oleh kesadaran dan pertimbangan.
Menurutkan suara dendam dan sakit hati secara buta, sama halnya
dengan menutup mata dan membiarkan kita terseret oleh seekor
kuda liar. Bagiku, kalau ada balas membalas yang harus dilakukan,
maka hanya budi kebaikan saja yang kita harus balas. Budi kebaikan
yang sudah dilepas orang kepada kita, harus kita ingat selalu dan
kita balas sedapat mungkin. Ada pun tentang sakit hati, kalau
423
sekiranya kita yang disakiti orang dan hal itu sudah lampau, tiada
gunanya kita balas dengan kejahatan pula."
Sin Hong nampak tidak puas. "Akan tetapi Gihu, apakah
perbuatan manusia manusia jahat yang dilakukan kepada kita itu
tidak harus kita balas? Apakah kejahatan mereka itu harus
didiamkan saja? Kalau begitu akan tidak ada guna kita belajar ilmu
kepandaian, Gihu."
Lie Bu Tek tersenyum, senyum ramah yang sekaligus
mendinginkan otak Sin Hong yang panas.
"Sin Hong. Nabi pernah berkata bahwa kebaikan harus kita balas
dengan kebaikan pula, akan tetapi kejahatan harus ditindas dengan
keadilan! Untuk menanggulangi kejahatan, tidak baik dipakai istilah
membalas atau balas dendam. Kalau orang berbuat jahat kepada
kita lalu kita balas, bukankah itu berarti bahwa kita pun ketularan
dan menjadi jahat? Tidak, Sin Hong. Kita harus sadar dan kita harus
mempergunakan keadilan. Sudah tentu kewajiban orang gagah
adalah membasmi kejahatan, akan tetapi ingat perbuatan ini sama
sekali lain artinya dengan pembalasan. Kalau kita membasmi
seorang penjahat tak baik kalau kita lakukan dengan dasar bahwa
orang itu merugikan atau menjahati kita akan tetapi kita lakukan
dengan dasar bahwa orang itu berbahaya untuk umum dan bahwa
membasmi orang itu akan berarti keamanan bagi umum. Sebaliknya
kalau orang yang tadinya kita anggap jahat kemudian ternyata
bahwa ia telah berubah baik dan telah sadar akan kesesatannya,
kita tidak berhak membunuhnya."
Sin Hong mengerti akan isi dari pada pelajaran ini, namun ia
masih bingung karena dalam mengajukan pertanyaan tadi, ia
teringat akan musuh-musuhnya yang demikian banyaknya.
"Gihu bagaimana pandangan Gihu tentang musuh?"
"Sin Hong yang punya musuh hanyalah negara. Bagi kita, tidak
ada gunanya sama sekali. Thian melahirkan manusia- manusia
untuk saling bekerja sama dan bersatu. Oleh karena itu, bagiku,
seribu orang sahabat baik masih terlampau sedikit, sebaliknya,
seorang musuh sudah terlampau banyak. Kalau kita berjuang
membela negara kita memang sudah seharusnya membasmi musuh
424
negara, bukan berdasarkan kebencian kita terhadap mereka sebagai
manusia terhadap manusia, melainkan berdasarkan tugas suci kita
sebagai pembela negara (patriot) terhadap musuh negara. Dengan
selalu mengekang nafsu, segala perbuatan kita tidak ditunggangi
oleh nafsu, melainkan perbuatan yang dilakukan penuh kesadaran
dan perhitungan."
"Anak mulai mengerti dan terbuka mata anak oleh uraian Gihu.
Akan tetapi, bagaimana aku harus bersikap terhadap seorang
seperti Ba Mau Hoatsu yang telah membunuh Ayah Bundaku?"
"Ba Mau Hoatsu semenjak dahulu memang jahat. Entah berapa
banyak manusia tidak berdosa yang menjadi korban kejahatannya.
Kalau sampai sekarang dia tidak berubah dan masih jahat,
jangankan dia membunuh Ayah Bundamu, biarpun tidak demikian,
sudah menjadi kewajibanmu untuk membasmi dia demi menolong
orang-orang lemah yang selalu menjadi korban."
"Bagaimana dengan Kong Ji manusia hianat itu, Gihu?"
Lie Bu Tek menarik napas panjang. "Anak itu di waktu kecilnya
memang telah memperlihatkan watak yang luar biasa kejamnya.
akan tetapi kita harus menaruh hati kasihan kepadanya. Kasihan
bahwa sekecil itu ia telah tersesat. Memang kalau menurutkan nafsu
hati, aku dan kau yang sudah menjadi korban kekejiannya di waktu
kecil, sudah sepatutnya kalau kau membalasnya. Akan tetapi ini
tidak tepat, berlawanan dengan kebajikan. Kalau kelak kau bertemu
dengannya dan ia sudah menjadi pemuda dewasa yang baik dan
berwatak gagah sudah dapat merubah wataknya yang buruk, tidak
benarlah kalau kau masih menaruh dendam kepadanya. Kita harus
menyediakan banyak maaf kepada mereka yang memang patut
dimaafkan, dan boleh turun tangan kepada si jahat bukan untuk
kepentingan diri pribadi atau menurutkan nafsu hati sendiri,
melainkan untuk kepentingan umum."
Demikianlah, seringkali Sin Ho mendapat nasihat-nasihat dari Lie
Bu Tek yang sudah banyak mengalami pahit-getir hidup. Sin Hong
tahu akan kematangan pengalaman ayah angkatnya, karenanya ia
selalu mencatat semua pesan gihunya ini di dalam hati. Tentu saja
sebagai seorang pemuda yang memiliki kecerdikan dan pandangan
luas, ia tidak menelan mentah-mentah semua nasihat ini, melainkan
425
ia olah di dalam kepala dan ia pertimbangkan untuk diambil mana
yang dirasa tepat dan dipertimbangkan kembali mana yang dirasa
kurang cocok. Sesuai pula dengan pendapat Lie Bu Tek di antara
semua tugas dan keharusan, ia merasa berhutang budi kepada
Kiang Cun Eng ketua Hek-kin-kaipang.
"Budi kebaikan Kiang-pangcu terhatapmu itu harus selalu kau
ingat di dalam hatimu, Sin Hong. Kewajibanmulah untuk mencari dia
dan untuk membelanya seperti kau membela orang tuamu sendiri,"
demikian Lie Bu Tek sering kali berkata.
Setelah lima tahun bersembunyi di tempat itu dan Sin Hong
merasa bahwa pelajarannya sudah tamat, anak dan ayah angkat ini
lalu keluar dari tempat tersembunyi itu dan turun gunung. Tugas
pertama yang mereka lakukan adalah mencari keterangan tentang
Hek-kin-kaipang dan mencari tahu di mana tinggalnya Kiang Cun
Eng. Amat mudah mencari Hek-kin-kaipang oleh karena kumpulan
ini mempunyai anak buah banyak tempat. Dan Lie Bu Tek sudah
terkenal baik oleh para pengemis Hek kin-kaipang, maka ketika ia
berjumpa dengan mereka diberi tahu bahwa tak lama lagi akan
diadakan pemilihan ketua baru. Karena Bi-nam-bun masih amat
jauh, kedua orang ini cepat-cepat melakukan perjalanan ke tempat
itu agar jangan sampai terlambat menyaksikan pemilihan ketua
baru.
Akan tetapi, betapapun pandai mereka mempergunakan ilmu
berlari cepat karena jarak antara Luliang-san dan Bi nam-bun masih
dua ribu li lebih, mereka terlambat juga. Sebagaimana telah
dituturkan di bagian depan, mereka datang pada saat Giok Seng Cu
mengejar-ngejar Gak Soan Li.
Setelah dekat dengan Bi-nam-bun dan mendapat kenyataan
bahwa mereka datang tepat pada hari diadakannya pemilihan ketua
Hek-kin-kaipang, Sin Hong menjadi tidak sabar. Atas perkenan Lie
Bu Tek, ia lalu mengerahkan kepandalanya dan sebentar saja ia
telah meningalkan Lie Bu Tek sampai jauh. Memang, dibandingkan
dengan dulu, Lie Bu Tek sudah mendapat kemajuan luar biasa. Akan
tetapi, kalau dibandingkan dengan Wan Sin Hong, dalam segala
bidang ilmu silat masih kalah jauh sekali.
426
Tubuh Wan Sin Hong berkelebat cepat dan sebentar saja Lie Bu
Tek sudah tak melihat bayangannya lagi. Pendekar yang buntung
lengannya ini menarik napas panjang dan bibirnya bergerak-gerak
mendoa.
"Sin Hong telah memiliki kepandaian yang luar biasa. ia telah
menjadi seorang sakti, kiranya lebih hebat danipada Ciang Le.
Semoga ia tidak akan tersesat dan dapat tetap mengikuti jalan
kebenaran,"
Demikianlah mengapa Sin Hong dapat bertemu dengan Giok
Seng Cu yang sedang menghajar Soan Li dan dengan
kepandaiannya yang istimewa Sin Hong berhasil mengalahkan Giok
Seng Cu bahkan membikin kakek itu menjadi jerih dan lari
ketakutan!
Sin Hong tidak tahu bahwa kakek itu adalah Giok Seng Cu yang
dulu melemparnya ke dalam jurang. Ia hanya menduga bahwa
kakek itu seorang jahat yang hendak membunuh gadis itu, maka ia
turun tangan dan hanya mengusir kakek itu. Ia belum tahu akan
duduknya perkara mengapa kakek itu hendak membunuh Soan Li,
maka ia tidak berani berlaku lancang membunuh kakek tadi. Ketika
kakek itu pertama kali memukul, ia mengerahkan tenaga dan hawa
sinkang tubuhnya membuat dadanya menjadi lunak dan lemas.
Tenaga "Im" yang amat kuat telah menghisap pukulan Tin-san-kang
sehingga biarpun tenaga pukulan itu membuat tubuhnya terlempar
jauh namun ia tidak terluka sedikitpun. Sin Hong juga terkejut sekali
menyaksikan tenaga pukulan yang demikian dahsyat dan ganasnya.
Ketika tubuhnya terlempar, cepat mempergunakan ginkang,
berpoksai (berjungkir balik) di udara dan meluncur cepat kembali
menghadapi Giok Seng Cu.
"Kakek ini ganas sekali," pikirnya, “begitu bertemu telah tega
memukulku dengan tenaga yang dapat mematikan siapa saja yang
terpukul." Oleh karena itu, ketika kakek itu memukul dadanya untuk
kedua kalinya, ia sengaja mengerahkan tenaga "Yang" dan hawa
sinkangnya yang sudah kuat sekali itu ternyata dengan mudah
dapat menahan tenaga Tin-san-kang lawan, bahkan dapat
mengembalikan tenaga pukulan itu kepada si pemukul sendiri!
427
Setelah melihat kakek itu terluka oleh pukulannya sendiri, Sin
Hong menengok ke arah Soan Li. Pemuda ini setelah mewarisi
kepandaian dari kitab pegobatan dari Kwa Siucai, sekali pandang
saja tahulah ia bahwa gadis yang duduk setengah ptngsan itu
menderita luka hebat. Cepat ia berlutut dan dengan halus ia
menolak tubuh Soan Lt sehingga gadis itu berbaring terlentang. Sin
Hong memeriksa urat nadi, tahu bahwa gadis ini mendenta tulang
patah di kedua paha.
Cepat ia menotok jalan darah di punggung nona itu untuk
mematikan rasa sakit pada kedua paha kemudian dengan mengurut
belakang leher, nona itu siuman kembali dari pingsannya dan
mengeluarkan suara keluhan.
Begitu ia membuka kedua matanya dan melihat seorang pemuda
berjongkok di dekatnya, pemuda yang tersenyum dan memiliki mata
seperti bintang, dengan gerakan otomatis Soan Li menggerakkan
tubuh dan biarpun kedua kakinya sudah Iumpuh akan tetapi kedua
tangannya masih dapat melakukan pukulan dahsyat ke arah dada
Sin Hong.
Sin Hong cepat berseru, "Eh, jangan pukul, Nona. Aku hanya
bermaksud menolong!" Sambil berkata demikian, ia memasang
tenaga sinkang ke arah dada.
Kepalan tangan Soan Li yang hampir mengenai dada itu ditahan
oleh gadis ini setelah ia mendengar seruan Sin Hong akan tetapi ia
hanya dapat mengurangi tenaga saja, sudah tidak keburu menarik
pulang tangannya. Kepalan tangannya sudah menyentuh pakaian,
akan tetapi tiba-tiba kepalan tangan itu menyeleweng dan tidak
mengenai dada orang yang dipukul. Soan Li terheran-heran, akan
tetapi ia hanya mengira bahwa tenaganya yang sudah habis setelah
menderita luka oleh Giok Seng Cu. ia sama sekali tidak menyangka
bahwa pemuda yang bersahaja dan seperti seorang pemuda dusun
itu memiliki kepandaian.
Muka gadis itu menjadi merah sekali. “Maaf, aku sungguh bodoh
dan tak kenal budi. Di mana Giok Seng Cu?"
Sin Hong terkejut mendengar nama ini, akan tetapi ia dapat
menguasai perasaannya sehingga pada mukanya ia tidak tampak
428
perubahan sesuatu. ia memang tidak menyangka bahwa kakek tadi
dalah Giok Seng Cu.
"Giok Seng Cu?" tanyanya perlahan.
"Ya, manusia siluman yang tadi hampir membunuhku. Di mana
dia?" Sin Hong menengok ke arah kakek tadi melarikan diri. Ia
merasa kecewa sekali mengapa tadi ia membiarkan kakek itu lari.
Kalau ia tahu bahwa kakek tadi adalah Giok Seng Cu, tentu ia
takkan membiarkan musuh besar itu melarikan diri. Ia telah
mendapatkan alasan kuat untuk menewaskan Giok Seng Cu, yakni
karena kakek itu tadi hendak membunuh gadis ini.
"Kakek yang buruk rupa tadi?" katanya menjawab pertanyaan
gadis cantik ini. "Dia telah melarikan diri"
Soan Li memandang dengan heran "Tidak bohongkah kau,
sobat?"
"Bohong?' Aku...? Mengapa harus bohong?" Sin Hong
memandang dengan sinar mata tajam. Ditatap sedemikian rupa oleh
pemuda yang bermata bintang ini, tiba-tiba Soan Li menundukkan
mukanya. Ada sesuatu memancar keluar dari sepasang mata itu
yang membuat gadis ini berdebar hatinya.
"Maaf, bukan maksudku menghinamu. Akan tetapi orang macam
Giok Seng Cu kiranya takkan melarikan diri dengan mudah. Dia
amat terlampau lihai untukku. Bagaimana dia bisa melarikan diri?
Siapa yang membikin dia lari'?"
Sin Hong mengangkat pundak. "Entahlah, mungkin ia takut dan
menyesal akan perbuatannya sendiri setelah kau pingsan, Nona, dan
ia melarikan diri melihat aku datang. Tentu ia takut kalau-kalau
perbuatannya dilihat oleh orang lain." Keterangan yang sederhana
ini terdengar lucu oleh Soan Li sehingga ia tersenyum. Sin Hong
memandang kagum. Bagaimana dalam keadaan terluka hebat gadis
ini masih dapat tersenyum?
"Sobat, kau benar-benar belum tahu apa adanya kakek siluman
tadi," kata Soan Li sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Manusia macam dia mana kenal rasa menyesal atas perbuatan
429
sendiri dan kenal takut? Membunuh manusia baginya seperti
membunuh semut saja."
"Hebat...." Sin Hong memperlihatkan muka ketakutan.
Soan Li menarik napas panjang. "Kau benar-benar tidak
mengenal dunia kang-ouw, sobat. Alangkah bahagaanya menjadi
seorang seperti engkau. Tak usah mengenal segala orang jahat, tak
usah berurusun dengan segala kecurangan dan kekerasan, hidup
bertani dan musuhmu hanya sawah ladang dan tanah subur. Kau
tentu seorang petani, bukan? Bolehkah aku mengetahui namamu?'
Warna merah menjalar ke pipi Sin Hong. Diam-diam ia menjadi
geli, akan tetapi ia tidak ingin memperkenalkan diri, maka ia
mengangguk dan menjawab lirih,
"Aku seorang bodoh, aku... namaku dipanggil orang Gong Lam
(Pemuda Tolol)."
Soan Li mengerutkan alisnya yang berbentuk indah. "Ah, terlalu
sekali orang yang menyebutmu demikian. Wajahmu sama sekali
tidak kelihatan tolol."
"Memang aku tolol."
"Betul-betulkah kau tidak bisa apa-apa?"
Sin Hong menggeleng kepala dengan diam-diam ia kagum sekali
melihat betapa gadis yang sudah patah kedua tulang pahanya ini
dengan segala kekerasan hati melupakan rasa sakitnya. ia maklum
bahwa ia berhadapan dengan seorang gadis yang memillki kekuatan
batin dan daya tahan yang luar biasa.
"Sayang," kata Soan Li, "kalau begitu kau tentu tidak bisa
menolongku. Aku... aku terluka hebat dan tentu akan tewas di
tempat ini kalau tidak ada yang menolongku. Sedikitnya kau tentu
bisa mencarikan orang lain yang dapat menolong bukan? Misalnya
membawaku ke sebuah kota terdekat agar aku dapat berobat."
"Kau kenapakah?"
"Kedua tulang pahaku remuk...." Mau tidak mau biarpun ia sudah
mengeraskan hatinya suara Soan Li agak gemetar ketika ia
mengucapkan kata-kata ini. Gadis mana yang takkan hancur hatinya
430
mengingat bahwa kedua tulang pahanya telah remuk dan mungkin
sekali selama hidupnya ia akan menjadi seorang gadis lumpuh.
"Aku akan mengobatinya, Nona."
Soan Li menggerakkan kepalanya cepat sekali. Ia memandang
dengan mata tajam bersinar, menatap muka yang tampan itu
sampai lama. Akan tetapi ia melihat muka itu tetap tenang dan
sederhana dan sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa pemuda
itu main-main atau berotak miring.
"Gong Lam-ko... kau tidak main-mainkah?"
Sin Hong dalam hatinya tersenyum merasa lucu mendengar
panggilan itu. Gadis ini menyebutnya Gong Lam-ko (Kakak Gong
Lam), tentu hanya untuk menyatakan hormat sebagaimana
layaknya seorang gadis yang tahu adat.
"Siapa berani main-main terhadapmu Nona? Ketahuilah, aku...
aku sudah semenjak kecil mempelajari kepandaian menyambung
tulang patah. Ini perlu sekali. Banyak kaki kerbau di dusun patah
kakinya dan kalau seorang dusun tidak pandai menyambung tulang
kerbau yang patah, ia akan menderita rugi besar.
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid XVI
LENYAP rasa heran di dalam hati Soan Li, akan tetapi ia
menghela napas kecewa, "Tentu saja kau pandai menyambung
tulang kerbau yang patah. Akan tetapi, kakiku bukan kaki kerbau.
dan pula, kedua tulang pahaku bukan hanya patah, melainkan
remuk oleh pukulan lihai dari Giok Seng Cu. Tidak ada harapan
lagi..." Di hadapan orang lain, biar sampai mati Soan Li yang berhati
baja ini takkan sudi menangis. akan tetapi di depan pemuda dusun
ini, ia tidak malu-malu lagi dan bertitiklah dua butir air mata ke atas
pipinya.
Sin Hong menjadi kasihan sekali. "Percayalah, Nona. Aku
sanggup mengobati kedua kakimu. Pernah dahulu kerbau
431
kampungku ada yang kakinya remuk dan aku pun berhasil
mengobatinya sampai sembuh sama sekali."
Soan Li tentu saja tidak percaya dalam hatinya, akan tetapi
melihat muka yang bersungguh-sungguh itu, ia tidak tega untuk
menyatakan ketidakpercayaannya. Ia tersenyum dan berkata,
"Kau baik sekali, Saudara Lam." tidak mau menyebut Gong Lam
dan sengaja melenyapkan nama Gong yang yang artinya tolol.
Dengan menyebut Saudara Lam berarti Saudara Pemuda'
"Boleh aku mencobanya menyembuh kan kedua kakimu, Nona"
"Tentu saja boleh," kata Soan Li sambil memandang ke arah
kedua kakinya yang dilonjorkan dan sama sekali tak dapat
digerakkan. Baru sekarang ia teringat dan merasa heran sekali
mengapa kedua kakinya tidak menderita rasa sakit yang hebat. ia
mengerahkan tenaga dalam dan menyalurkan darah ke arah kaki,
akan tetapi tiba-tiba ia menjad pucat. Ia tidak berhasil dalam
usahanya ini.
"Celaka..." dan gadis ini menangis!
"Eh, eh, kau kenapa Nona?"
"Kakiku... sepasang kakiku sudah mati. biarpun tulang-tulangnya
dapat disambung, tiada gunanya lagi. Darahnya sudah tidak dapat
mengalir ke bawah..."
Sin Hong tentu saja tahu mengapa demikian. Dia sendiri yang
tadi menotok jalan darah dan menghentikan alian darah besar ke
arah kedua kaki sehingga biarpun kedua kaki itu masah dialiri darah,
hanya melalui urat-urat kecil untuk menahan daya hidup daging dan
kulit saja, akan tetapi menghilangkan segala kekuatan gerak.
"Seorang gagah tidak mudah putus asa..."
Soan Li tiba-tiba berhenti menangis, merasa terpukul dan malu
sekali. Dengan mata bersinar ia bertanya.
"Saudara Lam. kau tahu apa tentang orang gagah?"
Sin Hong merasa telah terlanjur bicara, maka ia segera
melanjutkan. "Aku hanya mendengar dari dongeng-dongeng orang
kampung bahwa seorang gagah tak pernah mengeluarkan keluhan.
432
Pernah aku mendengar dongeng tentang orang gagah yang dibuka
kulit lengannva, diketok, kerik dan disambung tulang lengannya
semua ini dakerjakan oleh tabib sedangkan orang gagah itu
mengobrol sambil minum arak dan ketawa-ketawa!"
"Kau benar, Saudara Lam. Aku pun dapat menahan rasa sakit.
Akan tetapi betul-betulkah kau sanggup mengobati kakiku?"
"Kita coba dan lihat saja, Nona."
"Baik, kau mulailah!”
Akan tetapa, ketika hendak turun tangan, San Hong nampak
ragu-ragu dan tiba-tiba mukanya menjadi merah sekali Melihat
keraguan ini, Soan Li curiga.
"Eh, mengapa kau tidak lekas-lekas mulai?"
"Aku... ak... ah, ketahuilah, Nona. Sebuah kaki kerbau tak pernah
ditutup oleh celana sedangkan kakimu...."
Muka Soan ia juga mendadak berubah merah sekali sampai ke
telinganya. Akan tetapa ia memaksa diri tertawa dan berkata,
"Tolol dalam hal seperta ini, siapa peduli akan segala aturan yang
sungkan?” Kemudian ia teringat akan sebutan dan ditambahkannya
cepat-cepat, "Maaf, aku tidak maksudkan kau tolol..."
Sin Hong tersenyum. "Tidak apa, Nona. Memang aku tolol.
Memang benar kata-katamu, tidak seharusnya kita berlaku sungkansungkan,
karena bukankah aku bermaksud mengobatimu? Nah,
maaf aku harus memegang kedua kakimu tanpa dihalangi oleh kain
ini." Sambil berkata demikian, dengan kedua tangan yang cekatan ia
mulai menggulung pipa celana dari kedua kaki gadis itu ke atas
sampai di paha! Dalam melakukan ini, beberapa kali ia harus
mengerahkan tenaga batin untuk mengusir perasaan aneh dan
untuk menekan jantungnya yang hendak melakukan tarian loncatloncatan.
Selama hidupnya belum pernah Sin Hong mengalami perasaan
seperti saat itu. Selama hidupnya pula baru pertama kali melihat
sepasang kaki yang bentuknya mungil, kulit yang demikian putih
dan halus. Apalagi ia terpaksa harus menjamahnya! Kalau saja
433
pemuda ini tidak memiliki tenaga batin yang kuat, kalau saja
lweekangnya tidak amat tinggi, tentu sepuluh jari tangannya akan
gemetaran.
Sebaliknya, Soan Li juga mengalami hal yang selama hidupnva
belum pernah ia alami sekalipun dalam mimpi belum. pernah ia
merasa harus memperlihatkan kedua kaki sampai ke paha di depan
mata seorang pemuda, apalagi harus dijamah dan bahkan dipijatpijat!
Setelah memegang kedua paha gadis itu dan mendapat
kenyataan bahwa tulang kedua paha itu benar-benar telah remuk,
Sin Hong tidak ragu-ragu lagi dan lenyap rasa malu dan
sungkannya. Ia cepat mempergunakan kepandaiannya yang ia
warisi dari Kwa Saucai untuk membereskan letak hancuran tulangtulang
paha itu sehingga pulih kembali biarpun masih dalam
keadaan retak-retak. Kemudian ia lalu mengeluarkan bungkusan
obat, mencampurnya dengan arak yang ia selalu bawa dalam guci
arak. Dengan obat campuran ini ia menggosok-gosok kedua paha
itu dan ketika ia melihat wajah Soan Li menjadi pucat, giginya
menggigit bibir dan beberapa titik air mata membasahi pipi, Sin
Hong kagum sekali. Ia tahu setelah menggosok paha itu, darah
mulai jalan kembali dan sakitnya bukan main. Akan tetapi tidak
sedikit pun keluhan keluar dari mulut gadis itu. Benar-benar seorang
gadis yang berhati baja pikirnya.
Setelah selesai, Sin Hong tanpa ragu-ragu lagi lalu merobek
sebuah bajunya yang dari buntalan, lalu membalutnya kedua paha
itu dengan erat. Lalu dibantunya gadis itu menurunkan gulungan
kaki celana kembali bahkan ia memasang sepatu yang tadi dilepas.
Wajah Soan Li sebentar merah sebentar pucat, merasa geli dan
seluruh bulu di tubuhnya meremang kalau ia mengingat bagaimana
seluruh kakinya diraba-raba oleh pemuda tampan ini.
Setelah itu, Sin Hong lalu mengeluarkan obat bubuk,
dicampurnya dengan arak lalu disuruhnya Soan Li meminumnya.
Bagaikan seorang anak kecil Soan Li minum obat itu tanpa bertanya
lagi. Ia segera merasa heran dan memandang kepada Sin Hong
dengan mata kagum, karena begitu minum obat, semua rasa sakit
434
lenyap dan kedua pahanya yang tadi terasa panas dan linu kini
menjadi dingin seperti dimasukkan dalam air dingin.
"Seperti juga kerbau-kerbau yang telah kautolong, aku
menghaturkan banyak terima kasih, Lam-ko. Kau benar-benar
seorang tabib yang pandai."
Sin Hong tersenyum. "Itu tandanya bahwa kau sudah menaruh
kepercayaan besar sekali kepadaku, Nona. Padahal kau belum tahu
apakah pengobatan ini benar- benar akan dapat menyembuhkan
kedua kakimu atau tidak."
"Aku percaya sepenuh hatiku. Kau bukan orang yang kelihatan
seperti seorang penipu. Sampai berapa lamakah kiranya aku akan
dapat berjalan kembali?"
"Tubuhmu kuat sekali. Nona. Dalam waktu dua minggu kau pasti
akan dapat berjalan seperti biasa. Sekarang bolehkah aku
mengetahui namamu dan mengapa kau sampai bertempur dengan
kakek tadi?"
"Aku Gak Soan Li dan aku bertempur dengan Giok Seng Cu
karena melihat dia mengejar dan hendak membunuh seorang
pengemis yang sudah kalah olehnya. Seandainya aku tidak melihat
dia mendesak orang tentu akan menyerangnya juga, karena dia
adalah musuh besar dari Guruku."
"Siapakah gurumu, Nona? Kau memiliki tubuh kuat, memiliki
kepandaian tinggi, tentu gurumu seorang dewa."
Soan Li tersenyum. "Biarpun bukan dewa, guruku tentu akan
dapat merobohkan Giok Seng Cu. Guruku adalah Hwa I Enghiong
Go Ciang Le."
Ketika itu, Sin Hong baru memberes-bereskan bungkusan obat.
Mendengar nama Go Ciang Le hampir saja guci arak yang sedang
dipegangnya terlepas dari pegangannya. Hatinya berdebar keras.
Tak disangkanya bahwa ia telah menolong nyawa murid dari Go
Ciang Le, pendekar besar yang selama ini disebut-sebut oleh Lie Bu
Tek, pendekar besar yang menjadi murid Pak Kek Siansu dan yang
boleh dibilang masih terhitung suhengnya juga. Dia mendengar
bahwa Go Cilang Le adalah murid terpandai Pak Kek Siansu. Biarpun
435
ia ingin sekali bertemu muka dengan suhengnya akan tetapi ada
sedikit tidak senang kepada pendekar ini, yaitu mengapa selama ini
pendekar itu tidak muncul tidak membantu Hoa-san-pai dan Luliangpai
yang diobrak-abrik orang jahat.
"Kau sendiri hendak ke mana, Nona?”
"Aku seorang perantau yang tidak mempunyai tempat tujuan
tertentu. Akan tetapi karena selama dua minggu aku tak akan dapat
bergerak, aku akan merasa berterima kasih sekali kalau kau mau
mencarikan kendaraan atau pemikul tandu agar aku dapat dibawa
ke kota terdekat untuk beristirahat di dalam rumah penginapan,"
kata Soan Li.
"Aku akan usahakan itu, Nona. Akan tetapi kau tunggulah
sebentar, aku akan memanggil Gihu yang menanti di luar hutan ini.
Baiknya kau menanti di bawah pohon itu agar jangan terserang
panas." Tanpa menanti jawaban Sin Hong lalu membungkuk dan
memanggul tubuh Soan Li dipondongnya lalu diletakkan ke bawah
sebatang pohon besar.
Kembali berdebar hati Soan Li ketika ia dipondong oleh sepasang
lengan yang kuat dan yang gerakannya halus dan sopan itu.
Seketika itu juga jatuhlah hatinya dan ia menyerahkan hatinya
bulat-bulat kepada pemuda dusun yang serhana ini. Ia merasa
begitu aman dan senang sehingga hampir saja ia menyandarkan
kepalanya di pundak Sin Hong. Hanya kesopanan yang
mencegahnya dan sebaliknya ia hanya memandang kepada Sin
Hong dengan mata penuh kasih dan hutang budi. Namun, mana Sin
Hong dapat mengerti ini semua? Dalam hal hubungan dengan
wanita, ia masih hijau dan tidak mengerti apa-apa.
Setelah menurunkan tubuh Soan Li sehingga duduk bersandar
pohon, Sin Hong lalu berjalan pergi, menuju ke tempat dimana Lie
Bu Tek dan dia datang. Ia sudah merasa terheran-heran mengapa
ayah angkatnya belum juga tiba di tempat itu. Memang betul bahwa
tadi ia meninggalkan Lie Bu Tek dan berlari cepat akan tetapi Lie Bu
Tek juga bukan orang lemah dan kini ilmunya berlari cepat sudah
amat maju. Hati Sin Hong mulai tidak enak dan setelah ia pergi agak
jauh ia lalu mempergunakan ilmu lari cepat.
436
Baru saja tiba di luar hutan dari jauh ia sudah melihat
pemandangan yang membuat hatinya gelisah. Ia melihat gihunya
tengah bertempur hebat dengan seorang pengemis yang
mempergunakan tongkatnya secara istimewa sekali.
Baiknya gihunya telah memperdalam ilmu pedangnya selama
lima tahun di dalam dasar jurang di Luliangsan sehingga biarpun
hanya bertangan kiri namun Lie Bu Tek dapat mendesak lawannya
yang aneh itu. Selama bertempur, pengemis itu mengeluarkan suara
ah-ah uh-uh dan dari sini saja Sin Hong yang sudah mempelajari
ilmu pengobatan tahu bahwa orang itu tentulah seorang yang bisu.
Bagaimana Lie Bu Tek tahu-tahu dapat bertempur dengan orang
itu? Para pembaca tentu dapat menduga bahwa orang itu adalah Ah
Kai pengemis bisu yang merampas tongkat pusaka Hek-kin-kaipang
dan yang baru saja terlepas dari desakan Giok Seng Cu, tertolong
oleh Gak Soan Li. Memang demikinlah. Ketika Lie Bu Tek mengejar
pureranya untuk segera tiba di Bi-nam-bun untuk mengunjungi
Kiang Cun Eng, tiba-tiba ia melihat seorang berlari cepat dari
jurusan depan, nampaknya tergesa-gesa dan mencurigakan. Setelah
mereka saling mendekati, Lie Bu Tek melihat longkat yang dipegang
orang itu adalah tongkat pusaka Hek-kin-kaipang yang pernah ia
lihat dahulu berada di tangan Kiang Cun Eng.
Timbul kecurigaan di hati Lie Bu Tek. Orang ini sudah membawa
tongkat pusaka perkumpulan pengemis itu, padahal yang
memegang tongkat hanya ketuanya. Andaikata orang ini, dipilih
menjadi ketua baru, tak mungkin sekarang berlari-lari seperti orang
dikejar setan. Tak salah lagi orang ini tentu telah mencuri, atau
merampas tongkat pusaka itu. Apalagi ketika ia lihat bahwa orang
ini tidak memakai sabuk hitam sebagai tanda dari anggauta Hek-kinkaipang.
Cepat ia melompat dan menghadang Ah-Kai.
"Sahabat perlahan dulu! Siapakah sahabat dan mengapa berlarilari
membawa tongkat Hek-kin-kaipang? Kalau tidak dapat memberi
jawaban yang tepat, terpaksa kau harus meninggalkan tongkat
pusaka itu kepadaku untuk kubawa ke Bi-nam-bun."
Ah Kai dapat mengerti ucapan orang biarpun ia sendiri tidak
dapat bicara. Memang ia bukan bisu tuli, kedua telinganya masih
dapat bekerja baik. Mendengar ucapan Lie Bu Tek dan melihat
437
betapa orang ini hanya memiliki sebelah tangan ia menjadi curiga.
Disangkanya bahwa Lie Bu Tek tentu seorang tokoh kangouw yang
datang hendak memperebutkan kedudukan pangcu dari Hek-ki
kaipang. Ketika itu ia sedang terburu-buru untuk menjauhkan diri
dan Giok Seng Cu. ia maklum bahwa biarpun tadi telah ditolong oleh
seorang dara perkasa, namun dara itu bukan tandingan Giok Seng
Cu dan tak lama kemudian Giok Seng Cu pasti akan melanjutan
pengejarannya. Ia tidak mau diganggu dan diperlambat larinya,
maka tanpa banyak cakap ia mengayun tongkatnya, memukul ke
arah pundak Lie Bu Tek.
Lie Bu Tek terkejut melihat gerakan serangan itu aneh dan cepat,
maka segera melompat ke samping. Tahu bahwa pengemis itu
memiliki kepandaian tinggi, ia lalu mencabut pedang dengan tangan
kirinya dan sebentar kemudian dua orang itu telah bertempur seru.
Kalau Lie Bu Tek merasa terheran-heran dan kagum akan
kelihaian ilmu tongkat lawannya, adalah Ah Kai menjadi penasaran
dan gemas sekali. Tak disangkanya bahwa hari itu ia akan bertemu
dengan demikian banyaknya orang pandai yang kepandaiannya
masih lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri. Berkali-kali ia
mengeluarkan suara ah-ah uh-uh untuk mencegah Lie Bu Tek
mendesaknya, akan tetapi tentu saja pendekar buntung itu tidak
mengerti dan bahkan mendesak cepat untuk mendapat kesempatan
merampas tongkat yang disangkanya telah dibawa lari oleh
pengemis ini.
Pada saat Sin Hong tiba di tempat itu, Ah Kai dan Lie Bu Tek
sudah bertempur delapan puluh jurus lebih dan Ah Kai makin lama
makin terdesak karena ia merasa kalah dalam kekuatan lwe-kang
menghadapi pendekar buntung itu. Ia mengirim tusukan cepat ke
arah jalan darah maut di dada kira lawan dan ketika Lie Bu Tek
mengelak ke belakang Ah Kai lalu melompat dan melarikan diri.
"Pencuri tongkat, kau hendak lari kemana?" Lie Bu Tek berseru
dan mengejar.
Tiba-tiba Ah Kai membalikkan tubuhnya dan sebatang piauw
meluncur ke arah dada Lie Bu Tek. Pendekar Buntung ini
mengangkat tangan kiri dan menangkis dengan pedangnya, lalu
melompat dan mengirim serangan lagi secepat kilat. Ah Kai
438
mengeluarkan seruan kaget, tongkatnya bergerak laksana ular
terinjak ekornya. Gerakannya berlenggak-lenggok dan sukar sekali.
diikuti atau diduga ke mana arah serangannya sehingga tahu-tahu
ujung tongkat pusaka itu telah meluncur mengancam leher Lie Bu
Tek. Pendekar ini mengeluarkan seruan kaget dan cepat
merebahkan diri ke belakang dengan keringat dingin membasahi
jidat. Serangan si Bisu tadi benar-benar tak terduga dan hebat.
Ketika Ah Kai yang marah itu menubruk, Lie Bu Tek menangkis
dengan pedang dan mereka melanjutkan pertempuran.
"Gi-hu, mengapa kau serang dia?" Sin Hong berseru setelah is
tiba dekat pertempuran.
"Tongkat itu adalah tongkat pusaka lek-kin-kaipang!" jawab Bu
Tek.
Mendengar ini, Sin Hong membentak. "Lepaskan tongkat!" Ia
menerjang maju dengan tangan kosong.
Ah Kai melihat lawannya mendapat bantuan menjadi makin
marah. Sekali membalikkan tubuh, tongkatnya menyambar kaki Sin
Hong. Pemuda ini mengangkat kaki kanannya dan diam-diam ia pun
memuji gerakan pengemis itu. Tadinya tongkat itu berada di tangan
kanan, akan tetapi ketika menyerang Sin Hong, tahu-tahu tongkat
itu telah berpindah ke tangan kiri. Pindahnya demikian cepat hingga
takkan dapat terduga atau terlihat oleh lawan. Tentu saja Sin Hong
yang sudah amat tinggi ilmunya dapat melihat pergerakan itu maka
ia memuji. Sekali mengangkat kaki kanan tongkat itu meluncur
lewat di bawah kaki, akan tetapi Sin Hong mengeluarkan seruan
keras dan kakinya yang diangkat itu dengan cepat luar biasa
menyambar turun dan di lain detik tongkat itu telah diinjaknya!
"Lepahkan tongkat!" teriaknya sekali lagi sambil mengerahkan
tenaga dan Ah Kai terpaksa melepaskannya karena tidak tahan
menghadapi tenaga injakan ini. Ia memandang kepada Sin Hong
dengan kedua mata terbelalak lebar saking heran dan kagumnya,
kemudian ia memandang kepada Lie Bu Tek dengan marah karena
dianggapnya Si Buntung itulah yang menghambat larinya sehingga
kini ia bahkan kehilangan tongkat pusaka.
439
Sin Hong menjemput tongkat itu dan menyerahkan kepada Lie
Bu Tek. Lie Bu Tek menerimanya dan berkata kepada Ah Kai.
"Sekarang jelas bahwa tongkat ini nemang betul tongkat pusaka
Hek-kin-kaipang. Dari manakah kau mendapatkan tongkat ini?"
"Gihu ,dia bisu dan tidak akan dapat bicara. Biar aku yang
mengajaknya bicara,” katanya. Ketika masih kecil dan dibawa
merantau oleh Lie Bu Tek, sebagai orang anak kecil, Sin Hong amat
suka memperhatikan gerak-gerik orang-orang bisu yang
dijumpainya di jalan. Tentu saja ia berbeda dengan orang-orang tua
dan tidak malu-malu untuk bercakap-cakap melalui gerak jari
tangan dan bersenda-gurau dengan orang bisu, maka sedikit banyak
ia dapat mempergunakan bahasa tangan itu. Sekarang ia
menghampiri Ah Kai dan dengan jari tangan digerakkan dan
menunjuk ke arah tongkat, akhirnya ia dapat menjelaskan kepada
Ah Kai tentang pertanyaan gihunya.
Dengan gerakan jari tangan pula, Ah Kai menunjuk ke arah
tongkat lalu merangkapkan kedua tangan, tanda bahwa ia
menghormati tongkat itu dan bersiap ,membelanya dengan nyawa.
"Jadi kau membela Hek-kin-kaipang?” tanya Sin Hong.
Ah Kai mengangguk-angguk dengan muka bangga.
"Di mana adanya Kiang Kaipangcu?” tanya Lie Bu Tek dan
melihat mata pengemis itu memandangnya penuh curi ia
menyambung cepat, "Ketahuilah Lie Bu Tek adalah sahabat baik
Kiang-pangcu dan semua anggauta Hek- kin-kaipang adalah sahabat
baikku!"
Mendengar ini, tiba-tiba Ah Kai menjura dengan hormat kepada
Lie Bu Tek lalu maju memeluk dan menangis terisak-isak tanpa
mengeluarkan air mata!
"Eh, lekas........ apa yang terjadi dengan Kiang-pangcu?"
Karena tidak bisa menjawab dan gerakan jari tangan-tangannya
demikian cepat sehingga Sin Hong sendiri tidak dapat menangkap
artinya dengan jelas, Ah Kai lalu memegang ujung baju Lie Bu Tek
dan menariknya, seakan-akan mengajaknya cepat-cepat ke tempat
Kiang pangcu.
440
"Gihu, dia mengajak kita pergi ke tempat Kiang-pangcu. Marilah!"
Tiga orang itu lalu berlari-lari ke dalam hutan.
"Gihu, harap kau berangkat dulu dengan sahabat ini. Aku hendak
menolong seorang lihiap yang terluka oleh Giok Seng Cu di dalam
hutan. Aku akan menyusulmu segera."
Mendengar ini Lie Bu Tek terkejut, akan tetapi karena tidak ada
waktu untuk bercakap-cakap, ia hanya mengangguk dan menunda
pertanyaan yang sudah berada di ujung bibirnya. Bersama Ah Kai
lalu berlari cepat menuju ke dusun Bi-nam-bun, sedangkan Sin Hong
lalu menuju ke tempat di mana Soan Li menantinya.
Melihat datangnya pemuda ini, wajah Soan Li berseri dan ia
berkata girang.
"Lam-ko, kau cepat sekali datang. Mana kendaraan atau tukang
pemikul tandu?"
"Di dalam hutan ini, dari mana bisa mendapatkan kendaraan atau
pemikul tandu, Nona? Biarlah aku yang mengantar kau ke dusun Binam-
bun tak jauh dari sini dan di sana nanti akan kucarikan rumah
penginapan untukmu. Jangan khawatir, aku akan menjaga dan
merawatmu sampai sembuh, Gak-siocia."
Soan Li kelihatan girang sekali dan tersenyum manis. "Ah, Lamko,
kita baru saja bertemu akan tetapi kau telah melimpahkan budi
bertumpuk-tumpuk. Bagaimana aku akan dapat membalasmu.”
"Jangan berbicara tentang budi, Nona. Sudah kewajibanku untuk
menolong sesama manusia yang menderita. Maukah... maukah kau
kupondong ke dusun Bi-nam-bun?"
Soan Li menjadi jengah dan malu, tak dapat mengeluarkan suara
hanya mengangguk. Melihat sikap ini, timbul sungkan dan malu
dalam hati Sin Hong.
"Kalau kau malu-malu apabila terlihat orang lebih baik kupanggul
saja, Nona. Biar kau duduk di atas pundakku sehingga dengan
demikian tidak banyak bedanya dengan apabila aku memanggul
tandu yang kau duduki. Hanya, duduk di atas pundak seperti itu
tidak mudah. Aku mendapat pikiran demikian karena aku percaya
441
bahwa kau berbeda dengan wanita umumnya, kau memiliki
kepandaian hebat maka kiranya akan mudah saja kamu duduk di
atas pundakku seperti itu.
"Bagaimana kau bisa menduga demikian? Kau tahu apakah
tentang ilmu silat, Im-ko?"
"Aku tidak tahu apa-apa. Hanya dahulu aku pernah melihat
rombongan tukang silat dan melihat seorang nona seperti engkau
duduk di atas pundak kawannya, bahkan berjumpalitan di atas
pundak duduk dan terdiri dengan enaknya.”
Soan Li tersenyum lalu berkata, "Sesukamulah. Dipondong atau
dipanggul, bagiku sama saja karena aku sudah tahu betul bahwa
kau memiliki isi dada yang bersih dan mulia."
Senang hati Sin Hong mendengar pujian ini. Ia lalu berjongkok,
dan Soan Li mempergunakan tenaganya menekan pundak pemuda
itu dan biarpun kedua kakinya lumpuh akan tetapi sekali mengayun
tubuh ias telah duduk di atas pundak kanan pmuda itu!
Sin Hong berdiri dan melihat Soan Li duduk dengan anteng dan
enak sama sekali tidak usah dipegangi lagi, ia memang tidak merasa
heran, akan tetapi mulutnya memuji.
"Gak-siocia, ternyata kau bahkan lebih pandai dari nona tukang
silat itu. Kau duduk tidak bergoyang sedikitpun juga!"
Jari tangan Soan Li yang halus menyentuh pundak kiri Sin Hong.
"Lam-ko, bisa saja kau memuji. Sebaliknya kaulah yang memiliki
tenaga besar mengagumkan. Kau seperti memanggul daun kering
saja."
"Bukan aku yang amat kuat, sebaliknya kaulah yang amat ringan,
Nona."
Demikianlah, dengan perasaan hati berdebar girang, Soan Li
membiarkan dirinya dipanggul oleh Sin Hong, sebaliknya Sin Hong
merasa beruntung karena sudah dapat menolong seorang murid
dari Hwa I Enghiong Go Ciang Le. Ia membayangkan betapa akan
girangnya hati Lie Bu Tek kalau tahu bahwa ia telah menolong
murid pendekar besar itu. Akan tetapi, karena ingin
442
menyembunyikan kepandaiannya dari Soan Li, ia tidak berani
mempergunakan ilmu lari cepatnya, bahkan berjalan dengan gaya
seakan-akan ia merasa berat dan agak sukar. Berkali-kali Soan Li
yang merasa tidak enak hati minta supaya ia beristirahat, akan
tetapi Sin Hong menolaknya.
Ketika Ah Kai tiba kembali di tempat pertempuran atau tempat
pemilihan ketua baru dari Hek-kin-kaipang, ia disambut dengan
serbuan dan Kim-tung Teng Gai bersama kaki tangannya!
Sebagaimana telah dituturkan di depan, setelah Giok Seng Cu
mengamuk, Kim-tung Mo-kai merubah siasat dan mengekor kepada
Giok Seng Cu yang memang menjadi ketuanya di waktu mereka
masih bergabung dalam perkumpulan lm-yang-bu-pai. Dengan kerja
sama ini, banyak anggauta Hek-kin-kaipang kena dirobohkan dan
yang lainnya lalu menakluk.
Akan tetapi ketika melihat Ah Kai datang bersama Lie Bu Tek
yang banyak dikenal oleh para anggauta Hek-kin-kaipang, para
pengemis yang tadinya menakluk lalu memberontak kembali. Terjadi
perang hebat antara Ah Kai yang dibantu oleh Lie Bu Tek melawan
Kim- tung Mo-kai yang bercita-cita membentuk perkumpulan Pekkin-
kaipang itu. Mereka rusak binasa oleh amukankan anggautaanggauta
Hek-kin-kaipang, apalagi ketika Ah Kai dan Lie Bu Tek
mengamuk.
Kim-tung Mo-kai sendiri mendapat lawan tangguh ketika ia
berhadapan dengan Lie Bu Tek. Setelah pertempuran hebat,
akhirnya dengan pedangnya Lie Bu Tek berhasil merobohkan orang
jahat ini. Kaki tangan Kim-tung Mo-kai melarikan dan cerai-berai.
Ke mana perginya Giok Seng Cu? Mengapa ia tidak kembali untuk
membantu anak buahnya? Ternyata kakek ini tahu diri. Setelah ia
bertemu dengan Sin Hong dan menyaksikan kelihatan orang muda
yang aneh dan sakti itu, ia menjadi ketakutan sekali. Ia pikir bahwa
urusan menjadi ketua Hek-kin-kaipang tidak akan ada gunanya
kalau di dekat tempat itu muncul seorang pemuda seperti yang
dijumpainya tadi. Maka dari hutan itu ia langsung melarikan diri ke
tempat jauh untuk mencari kedudukan yang lebih baik atau siasat
lain untuk memperkuat kedudukannya.
443
Setelah orang-orang jahat yang hendak menghancurkan Hek-kinkaipang
itu dapat diusir semua, para anggauta Hek-kin-kaipang lalu
mencentakan kepada Lie Bu Tek dengan sedih apa yang telah
terjadi. Lie Bu Tek menggeleng- geleng kepalanya dan memandang
ke arah jenazah Kiang Cun Eng. Tak tertahan pula air matanya
bercucuran ketika ia melihat wanita yang pernah menolongnya,
pernah pula menjadi kekasihnya, dan pernah pula menyelamatkan
nyawa Wan Sin Hong itu. Ia lalu membantu semua orang untuk
mengurus jenazah bekas ketua Hek-kin-kaipang ini dan juga
jenazah Yap Kong Ki tidak disia-siakan.
Di bagian lain dari dusun Bi-nam-bun, Sin Hong yang memanggul
tubuh Soan Li tidak berhasil mencankan rumah penginapan. Dusun
itu itu terlalu kecil sehingga satu-satunva rumah penginapan kecil
yang ada, telah penuh. Terpaksa Sin Hong membawa Soan Li ke
dalam sebuah kuil dan kuil tua yang hanya dijaga tiga orang hwesio
tua itu dengan senang hati menerima Soan Li dan memberikan
sebuah kamar untuk wanita beristirahat dan berobat. Biarpun
mereka itu tidak mengenal ilmu silat, namun pengalaman tiga orang
hwesio ini amat luas dan mereka menghormati pendekar gagah,
maka mendengar dari Sin Ho bahwa wanita itu adalah pendekar
wanita murid Hwa I Enghiong, mereka menghormati sekali dan rela
untuk menolong.
Setelah mendapat tempat untuk Soan Li, Sin Hong berpamitan
kepada gadis itu untuk membereskan atau membantu urusan ayah
angkatnya.
"Siapa ayah angkatmu dan mengapa dia tidak datang
bersamamu?" tanya Soan Li yang merasa kecewa akan di tinggalkan
pergi lagi.
"Ayah angkatku itu seorang she Lie seorang yang baik hati dan
sekarang sedang pergi ke perkumpulan pengemis. Aku takkan pergi
lama, Nona, setelah urusan Gihu beres, tentu aku akan datang
kembali bersama dia dan memperkenalkan dia kepadamu."
"Tapi, kau akan... kembali, bukan?"
Wan Sin Hong tersenyum. Kalau saja ia lebih dewasa, tentu katakata
ini akan dapat ia tangkap isinya. Akan tetapi ia tidak mengerti
444
dan hanya merasa senang melihat gadis itu benar-benar
membutuhkan pertolongannya dan takut ditinggalkan pergi.
"Jangan khawatir, sebagai pengobatmu, sebelum melihat kau
sembuh dan dapat berjalan kembali, aku takkan berani
meninggalkan kau, Siocia." Soan Li memberi hadiah senyum manis
untuk kata-kata ini dan pergilah Sin Hong dengan hati girang.
Dengan mudah saja ia dapat sampai di tempat pemilihan ketua Hekin-
kaipang. Akan tetapi, kedatangannya disambut oleh warta yang
amat menyedihkan hatinya. Kiang Cun Eng, wanita yang dahulu
menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut di tangan orangorang
Im-yang-bu-pai, ternyata telah tewas secara mengerikan.
Tewas dalam tangan Giok Seng Cu!
"Keparat jahanam Giok Seng Cu!" katanya perlahan di depan Lie
Bu Tek, "Kalau aku tahu akan hal ini, pasti akan kuhancurkan
kepalanya!"
Sambil menangis Sin Hong bersembahyang di depan peti mati
Kiang Cun Eng dan berjanji di depan peti mati itu bahwa ia pasti
akan membalaskan sakit hati penolongnya itu.
Setelah penguburan jenazah Kia Cun Eng dan Yap Kong Ki
selesai, semua anggauta Hek-kin-kaipang minta tolong dan
menyerahkan kebijaksanaan Lie Bu Tek untuk memilih seorang
pangcu baru bagi Hek-kin-kaipang. Pendekar Buntung ini berkata.
"Menurut pendapat siauwte yang bodoh, seorang pangcu harus
berkepandaian tinggi dan bijaksana seperti mendiang Kiang-pangcu.
Di antara para saudara kulihat bahwa kepandaian Saudara Ah Kai
boleh diandalkan, apalagi dialah yan telah menyelamatkan tongkat
pusaka Hek kin-kaipang. Oleh karena itu, kiranya tepat sekali kalau
Saudara Ah Kai diangat menjadi pangcu baru."
Para pengemis yang sudah menyaksikan kepandaian Ah Kai,
setuju dengan usul ini, akan tetapi dan wajah mereka, ie Bu Tek
dapat menduga bahwa mereka itu bersangsi apakah seorang ketua -
ng bisu dapat bekerja baik.
"Sudah tentu Saudara Ah Kam perlu mendapat bantuan seorang
saudara yang berpengalaman dan bijaksana. Dan dalam hal ini, baik
sekali kalau Tan Lokai dipilih menjadi wakilnya, sedangkan
445
pembantu utama dari kedua pangcu ini adalah Tiat-ciang-eng Lai
Sek yang terkenal jujur. Bagaimana pendapat Saudara sekalian?"
Orang-orang bersorak gembira, menyatakan setuju. Memang,
selain tiga orang ini, kiranya tidak ada yang lebih tepat untuk
memegang pimpinan.
"Saudara sekalman telah tahu betapa besar jasa Sian-hud-tim
Yap Kong Ki, oleh karena itu kita pun jangan melupakan jasanya.
Sudah menjadi tugas Hek-kin-kaipang untuk menjaga
peninggalannya, yakni Pulau Kim-te-tho. Alangkah baiknya kalau
mulai sekarang Hek-ki kaipang mempergunakan pulau itu sebagai
markas besar."
Kembali para anggauta Hek-kin-kaipang menerima usul ini,
bahkan para pelayan dari mendiang Yap Kong Ki yang berjumlah
lima puluh orang lebih, menerima baik usul ini. Mereka ini sudah
berkumpul di situ dan semenjak mendengar bahwa majikan mereka
tewas serentak mereka menyatakan diri menjadi anggauta Hek-kinkaipang!
Para pelayan di Pulau Kim-ke-tho ini sudah mengenaI baik
akan sepak terjang Hek-kin-kaipang, maka mereka tidak ragu-ragu
dan tidak merasa hina untuk menjadi anggauta perkumpulan
pengemis yang sifatnya mulia ini.
Akan tetapi, tiga orang pemimpin Hek-kin-kaipang yang baru itu
dengan berkeras minta kepada Lie Bu Tek untuk sementara waktu
memimpin atau menjadi penasihat mereka. Apalagi Tan Lo-kai pada
waktu itu masih mendenta luka berat dan belum dapat bekerja,
maka bantuan Lie Bu Tek amat dibutuhkan.
"Harap Lie Taihiap tidak menolak," kata Tan Lo-kai yang masih
rebah di pembaringan, "setelah terjadi keributan ini, siapa tahu
kalau-kalau pihak orang jahat akan datang mengganggu lagi.
Kuharap Taihiap sudi mengawani kami sampai beberapa lama dan
setelah keadaan aman kembali baru Taihiap meninggalkan Hek-kinkaipang."
Sebelum Lie Bu Tek dapat menjawab, Sin Hong berkata, "Gihu,
kiranya demikianlah yang terbaik. Hitung-hitung kita beristirahat di
sini. Selain itu aku pun masih mempunyai urusan penting di sini
yang harus kubereskan."
446
Mendengar kata-kata anak angkatnya ini, Lie Bu Tek maklum
bahwa tentu ada sesuatu yang menahan Sin Hong, maka ia lalu
menyetujui. Setelah mereka berada di dalam kamar berdua, Lie Bu
Tek bertanya,
"Sin Hong, urusan apakah yang begitu penting sehingga kau
perlu tinggal beberapa lama lagi di tempat ini?"
"Aku perlu merawat seorang yang terluka berat, Gihu."
Lie Bu Tek memandang anak angkatnya dengan mata
mengandung keheranaa. Tidak biasanya pemuda ini merahasiakan
sesuatu, akan tetapi mengapa sekarang seakan-akan segan
menceritakan tentang orang yang dirawatnya itu?
"Sin Hong, siapakah dia?"
"Gihu akan terkejut kalau mendengarnya, dia adalah murid dan
Hwa I Enghiong dan namanya Gak Soan Li."
Lie Bu Tek benar-benar terkejut mendengar ini, akan tetapi juga
wajahnya berseri girang. "Bagus! Kalau begitu dari dia kita akan
dapat bertemu dengan Go Ciang Le!"
Sin Hong mengerutkan keningnya. "Bagiku sendiri, Gihu, aku
tidak begitu ingin bertemu dengan Hwa I Enghiong."
"Kau ini bagaimana, Sin Hong? Ciang Le adalah sahabatku
terbaik, lebih kekal dari saudara sendiri. Dia seorang pendekar besar
yang budiman, bahkan dia masih terhitung Suhengmu, karena dia
sendiri pun murid Pak Kek Siansu. Bahkan istennya adalah murid
Hoa-san pai, jadi masih terhitung Sumoiku sendiri yang amat baik."
"Justru hubungan dekat itulah yang membikin aku segan
bertemu dengan mereka, Gihu. Kalau Hwa I Enghiong itu bukan
sanak dekat atau tidak mempunyai hubungan dengan kita, tentu
aku akan suka sekali bertemu dengan pendekar gagah itu. Akan
tetapi mengapa kalau dia mempunyai hubungan demikian dekatnya
dengan Gihu, selama ini dia sembunyi saja dan tidak mau tahu
sama sekali tentang segala macam kejahatan yang dilakukan orangorang
atas diri Gihu? Mengapa Hoa-san-pai dan Luliang-san di basmi
orang begitu saja tanpa dia turun tangan membela?"
447
Lie Bu Tek menghela napas panjang. "Hal ini pun amat
mengherankan hatiku sampai sekarang, Sin Hong. Biasanya waak
Suhengmu itu tidak demikian. Akan tetapi, siapa tahu akan
keadaannya? Siapa tahu kalau-kalau ia berhalangan untuk
meninggalkan tempat tinggalnya?"
"Mungkin juga, Gihu. Baiklah, harap hal ini kita sama lihat saja
nanti. Akan tetapi untuk sementara ini, aku tidak ingin
memperkenalkan diri kepada siapa juga. Oleh karena itu maka Gaksiocia
itu tidak tahu siapa adanya aku, hanya tahu bahwa aku
adalah seorang pemuda dusun bernama Gong Lam yang kebetulan
mengerti ilmu pengobatan dan kebetulan pula bertemu dengan dia
sehingga dapat menolongnya."
Kemudian Sin Hong lalu menuturkan tentang pertemuannya
dengan Gak Soan Li, betapa Soan Li menolong Ah Kai dari serbuan
Giok Seng Cu sehingga gadis itu sendiri menjadi korban pukulan Ti
san-kang dari Giok Seng Cu yang lihai.
"Gihu, aku sudah bertemu Giok Se Cu, dan pukulannya memang
lihai bukan main. Juga, ketika aku dahulu pergi Hoa-san untuk
menjemput Gihu, aku telah bertemu dengan See-thian Tok-ong dan
anak isterinya. Mereka bertiga itu memiliki kekejaman dan kelihaian
yang lebih hebat dari Giok Seng Cu. Di samping ini masih ada
orang-orang sepert Ba Mau Hoatsu yang tangguh. Oleh karena itu,
kupikir ada baiknya kalau untuk sementara ini Gihu beristirahat di
pulau Kim-ke-tho, selain untuk memimpin dan membangun kembali
Hek-kin-kaipang agar kedudukannya kuat kembali, juga untuk
menjaga diri Gihu yang sudah dikenal oleh tokoh-tokoh jahat itu.
Adapun aku sendiri, setelah merawat sembuh kedua kaki Gak-siocia
yang patah, akan kulakukan penyelidikan di mana adanya silumansiluman
itu. Terutama sekali aku hendak mencari Giok Seng Cu, dan
Ba Mau Hoatsu. Kalau Gihu tinggal di Kim-ke-tho, mudah saja
bagiku untuk sewaktu-waktu datang apabila aku rindu kepadamu."
Lie Bu Tek tak dapat membantah. memang ia harus akui bahwa
Sin Hong ini biarpun amat penurut kepadanya, namun semua usul
yang dikeluarkan oleh anak ini mempunyai dasar yang kuat dan
menurutkan pertimbangan masak serta pandangan luas. Ia tahu
bahwa biarpun kini kepandaiannya sudah meningkat namun kalau
448
dibandingkan dengan kepandaian musuh-musuh besar itu, masih
disangsikan apakah ia akan dapat melawan mereka. Dengan
demikian maka akan berarti bahwa Sin Hong bukan mendapat
bantuannya, bahkan mungkin akan menghalangi pelaksanaan tugas
pemuda itu, pula kalau dipikir-pikir, memang tenaganya amat
dibutuhkan oleh Hek-kin-kaipang yang baru saja kehilangan
ketuanya.
Demikianlah setelah berunding dengan Lie Bu Tek, Sin Hong lalu
meninggalkan Pulau Kim-ke-tho dan cepat menuju kuil di mana ia
meninggalkan Gak Soan Li.
-oo0mch-dewi0oo-
Ketika Wan Sin Hong tiba di dalam kamar di mana Soan Li masih
rebah di atas pembaringan baru, ia disambut oleh Soan Li dengan
wajah merengut dan marah-marah.
"Kenapa kau datang juga? Mengapa tidak tinggalkan saja aku
biar mati di sini?" Soan Li berkata dengan suara marah dan aneh
sekali, air matanya menitik keluar dari sepasang matanya. Gadis ini
benar-benar di dalam hatinya merasa terheran-heran karena
sepeninggal Gong Lam, ia merasa sunyi dan gelisah. Apalagi setelah
sehari semalam pemuda itu tidak datang, ia merasa berduka,
khawatir, kecewa dan bingung. Ia demikian bersedih sehingga
ketika pendeta kelenteng itu datang memberi makanan, ia tidak
mau makan. Ketika pada keesokan harinya pemuda nu muncul di
pintu kamarnya, hatinya sebenarnya girang bukan main, akan tetapi
juga amat mendongkol karena sehari semalam ia merasa tersiksa,
tidak tidur dan tidak mau makan. Ia sendiri tidak mengerti mengapa
ia berhal seperti ini. Belum pernah selama hidupnya Soan Li merasa
seaneh ini. Memang pernah ia merasa berduka kalau ia teringat
akan ayah bundanya. Tadi sebelum Gong Lam datang, memang
perasaannya pada saat itu terkenang akan ayah bundanya yang
sudah meninggal dunia, akan tetapi tidak sama benar. Kalau ia
terkenang akan ayah bundanya, ia merasa berduka dan sunyi, akan
tetapi di samping ini tidak ada ingatan atau keinginan dalam hatinya
untuk menyusul mereka, bahkan ia merasa bahagia bahwa dalam
keadaan yatim piatu, ada keluarga Go yang menolong dan
449
mengangkatnya. Sebaliknya, ketika ia tadi ketakutan ditinggal pergi
selamanya oleh Gong Lam, ia tidak saja merasa berduka dan sunyi,
akan tetapi juga ingin kali menyusul, ingin sekali segera bertemu
dan tidak akan berpisah selamanya. Ia merasa bahwa hidupnya
akan kosong dan tidak menyenangkan kalau berada jauh dari
pemuda dusun itu!
Aneh, memang aneh sekali perasaan orang yang hatinya
tertembus panah asmara. Tak boleh dikatakan bahwa Soan Li jatuh
hati kepada Gong Lam karena ketampanan wajah, karena sudah
banyak Soan Li bertemu dengan orang-orang muda yang gagah dan
tampan, juga bukan karena tertarik oleh kepandaian karena
menurut pengertian Soan Li, pemuda dusun ini hanya pandai
mengobati tulang-tulang patah. Sudah tentu sekali ada sesuatu
dalam diri pemuda ini yang menarik dan menjatuhkan hati Soan Li,
gadis yang keras dan tinggi hati, yang tidak menyerahkan hatinya
kepada pemuda gagah dan tampan seperti Liok Kong .!
Kiranya tidak meleset jauh kalau diduga bahwa yang membuat
gadis itu jatuh hati, adalah karena sikap dari pemuda yang mengaku
bernama Gong Lam itu. Memang, sikap berpengaruh besar sekali
terhadap hubungan antara manusia. Siapa yang pandai mengatur
sikap sehingga sesuai dengan siapapun juga, sesuai dengan
keadaan apapun juga, dia seorang yang berbahagia!
Sin Hong ketika melihat sambutan Soan Li, menjadi tercengang.
Akan tetapi ia masih terlalu muda untuk dapat menjenguk isi hati
gadis itu. Ia hanya menganggap bahwa Soan Li adalah seorang
gadis yang gagah perkasa, keras hati dan juga agak aneh wataknya.
Maka ia lalu tersenyum dan menjura.
"Maafkan aku, Gak-siocia. Karena urusan Gihu belum beres dan
aku harus membantunya, maka baru sekarang aku datang. Apakah
Siocia sudah makan? Apakah mendapat pelayanan baik dari para
Suhu di sini? Dan bagaimana dengan kedua pahamu, Siocia? Banyak
baikkah?”
Mendengar pertanyaan yang penuh, perhatian serta melihat
wajah pemuda itu yang nampaknya bersungguh-sungguh ingin
mengetahui keadaannya, sekaligus lenyaplah kemendongkolan hati
450
Soan Li., Wajahnya yang cantik nampak berseri dan bibirnya
tersenyum manis.
"Mana bisa aku mendapat pelayanan baik? Sejak kemarin aku
belum makan dan tidur sekejap mata pun!"
Sin Hong terkejut. "Eh, eh, mengapa begitu? Aku sudah pesan
kepada para Suhu untuk memperhatikan keperluanmu, Siocia. Aku
akan menegur mereka."
"Sudahlah! Bukan mereka tidak memberi makan, aku sendiri
yang tidak mau makan. Tidak makan sehari semalam bagiku bukan
apa-apa tidak tidur satu malam saja sudah seringkali kulakukan, kau
jangan ribut-ribut. Kedua pahaku tidak terasa sakit lagi, akan tetapi
tak dapat digerakkan, sedikit saja bergerak, sakitnya bukan main.
Eh, mana itu Ayah angkatmu? Mengapa tidak ikut datang?"
"Gihu masih sibuk dengan urusannya, maka menyesal sekali tidak
dapat datang berkunjung ke sini. ia hanya menyampaikan
hormatnya kepadamu, Siocia."
"Hm, Gihumu tentu orang baik."
"Mengapa kau berpendapat begitu, Siocia? Kau belum pernah
bertemu dengannya."
"Kalau dia tidak baik, bagaimana bisa menjadi ayah angkatmu?"
Sin Hong tersenyum. ia suka kepada nona ini yang biarpun keras
hati dan bisa mengeluarkan kata-kata terus terang dan keras,
namun jujur dan menyenangan.
"Memang Gihu adalah seorang yang berhati mulia, lagi seorang
jantan."
"Lam-ko, kau pun seorang jantan. Biarpun belum kenal, kau telah
menolongku, telah mengobati dan sampai sekarang masih
memperhatikan keadaanku."
Sin Hong seperti diingatkan. "Nona, untuk melihat apakah
sambungan tulang pahamu benar letaknya, terpaksa aku harus
memeriksanya sekali lagi. Amat tidak enak kau kelak ternyata
bahwa sambungannya tidak betul sehingga kakimu bengkokbengkok."
451
Soan Li menjadi merah mukanya dan ia mempergunakan tangan
untuk menutup mulut untuk menahan ketawanya "Mengapa mesti
bilang terpaksa segala? Kenapa terpaksa? Bukankah kau ini tabibnya
dan aku ini kerbaunya yang patah tulang kakinya? Mau periksa,
silahkan saja periksa, kapan saja kau suka." Sambil berkata
demikian, gadis ini yang tadinya sudah bangun duduk, kini
membaringkan tubuhnya lagi tanpa menggerakkan kedua kakinya
yang selalu dilonjorkan.
Sin Hong menghampiri nona itu. Ia memang bersungguhsungguh
dengan kata-katanya tadi. Ia tahu bahwa dalam waktu
sehari semalam ini, tulang-tulang itu mulai bertumbuh dan merekat.
Kalau gadis ini melakukan banyak pergerakan sehingga tulangtulang
kakinya miring, tentu kelak paha gadis itu tidak benar
letaknya dan kakinya mungkin akan menjadi bengkok. Ia perlu
memeriksa lagi karena kalau terjadi demikian, sekarang masih
belum terlambat untuk membetulkan letaknya.
Dengan cekatan ia menggulung pipa celana itu ke atas. Biarpun
tidak sehebat kemarin akibatnya, tetap saja kedua tangannya masih
gemetar dan dadanya berdebar aneh. Namun ia tidak mau
memperlihatkan perasaan aneh ini dan mempergunakan hawa batin
untuk menekan perasaannya. Sepuluh jari tangannya bergerak
penuh keahlian mengurut dan meraba kedua paha tanpa
melihatnya. Betapapun sigap, ia takut memandang kulit paha itu,
takut kalau-kalau perasaannya akan mengganggu pekerjaan ini.
Dengan hati puas ia mendapat kenyataan bahwa pertumbuhan
tulang paha gadis itu ternyata baik dan diam-diam ia merasa kagum
sekali. Gadis ini sehari semalam tidak makan dan tidak tidur, dan
sedikit pun tidak menggeser dan menggerakkan kedua kaki, benarbenar
gadis ini telah mengalami penderitaan yang amat hebat. Akan
tetapi, sedikit pun tidak kelihatan sengsara.
"Bagus, pertumbuhannya baik sekali…” kata Sin Hong sambil
menurunkan gulungan pipa celana. Ketika ia menbuka mata dan
memandang ke arah gadis itu, ia melihat Soan Li meramkan kedua
mata, menggigit bibir menahan isak tangis, akan tetapi air matanya
mengucur keluar dan membasahi kedua pipinya!
452
"Eh, kau kenapa Nona?" Sin Hong terkejut sekali sehingga ia
menubruk maju, memegang pundak gadis itu dan mengangkatnya
sehingga Soan Li kini duduk dengan kedua kaki tetap dilonjorkan.
"Nona, kau merasa sakitkah"" Kegelisahan Sin Hong sewajarnya,
karena sebagai seorang ahli pengobatan, murid Kwa Siucai, ia tahu
bahwa kalau pertumbuhan tulang paha itu sampai ada yang salah,
yakni kalau ada pecahan tulang yang menusuk daging dan merusak
urat, berbahaya sekali keadaan Soan Li. Tadinya ia melihat gadis itu
tenang-tenang saja maka ia sudah merasa lega. Kalau terjadi hal
yang ia khawatirkan itu, tentu gadis itu akan, mengalami saksaan
rasa nyeri yang luar biasa. Sekarang, melihat gadis itu tiba-tiba
menangis dan menahan tangis dengan mengigit bibir, ia tentu saja
terkejut dan mengkhawatirkan yang bukan-bukan.
Sebaliknya, ketika merasa pundaknya dipegang oleh Sin Hong,
Soan Li tak dapat menahan
tangannya dan ia terisak
dengan kepala disandarkan
di pundak pemuda itu!
Sin Hong terheran-heran.
Sekarang tahulah dia bahwa
gadis itu bukan menangis
karena rasa nyeri melainkan
menangis karena sedih'
"Eh, kau kenapakah, Gaksiocia?
Mengapa kau
berduka dan menangis?
Percayalah, aku... Gong Lam
bertanggung jawab bahwa
kedua pahamu akan sembuh
dan pulih seperti sedia kala!
Percayalah padaku dan
jangan kau berduka."
Aneh sekali! Sin Hong sampai melongo dan memandang kepada
gadis itu dengan sepasang mata terbelalak bodoh. Gadis itu tiba-tiba
tersenyum manis di antara air matanya'
453
"Lam-ko aku bersumpah bahwa selama hidupku, takkan ada
orang lain yang akan menyentuh pahaku'"
Masih saja Sin Hong tidak mengerti. "Tentu saja, Siocia,"
jawabnya terheran, "apalagi kalau yang menyentuhnya sampai
mematahkan tulang-tulangnya, itu berbahaya sekali. Sekali lagi
patah takkan ada obatnya!"
Senyum Soan Li melebar, akan tetapi sepasang matanya yang
masih basah itu nampak kecewa.
"Sekarang aku tahu mengapa kau disebut Gong Lam (Pemuda
Tolol), karena sesungguhnya kau memang tolol!"
Muka Sin Hong menjadi merah, betapapun juga ia merasa tidak
enak disebut tolol. Apa sebabnya ia dianggap tolol? Kesalahan
apakah yang ia lakukan, ataukah ada kesalahan dalam ucapannya
tadi? Akan tetapi, karena dia berusaha menyembunyikan keadaan
dirinya, sambil tertawa bodoh ia menjawab.
"Memang aku tolol, barang kali karena... karena terlalu sering
aku berdekatan dengan kerbau."
Soan Li yang jarang tertawa itu kini menjadi geli dan tertawa
menutupi mulutnya. Benar-benar mengherankan. Kebodohan
pemuda ini tidak menjemukan atau menyebalkan hatinya,
sebaliknya, membuat ia gembira dan juga ia kasihan.
"Lam ko, jangan salah mengerti. Maksudku... kecuali engkau
seorang, aku takan sudi membiarkan orang lain menyentuhku...
aku... ah, sudahlah. Sukar memang bicara dengan engkau yang
tidak mau mengerti...."
Sin Hong mengerutkan kening dan benar-benar tidak mengerti,
seperti menghadapi teka-teki yang sulit. ia lebih bingung lagi ketika
melihat gadis itu seakan-akan marah dengan tiba-tiba.
"Sudahlah, Lam-ko, kalau diteruska akan naik darahku dan
penyakit di pahaku takkan menjadi sembuh. Lam-ko, sekarang
harap kau jangan kepalang tanggung menolongku. Bawa aku ke
dalam kota, dalam sebuah rumah penginapan yang besar dan
bersih."
454
"Gak-siocia, bukankah di sini juga bersih? Beristirahat lebih baik
di tempat yang sunyi, bukan di kota yang hawanya buruk dan
suasana tidak tenang."
"Tapi di sini tidak ada restoran besar yang menjual makanan
enak."
"Kalau kau ingin makanan enak, biar-aku carikan, Siocia."
"Lam-ko, mengapa berkeras? Aku hendak pindah ke kota, apakah
kau tidak mau mengantarku? Kalau tidak mau, biarlah dengan
merayap menggunakan dua tangan aku dapat pergi sendiri'"
Melihat Soan Li bersikap marah, diam-diam Sin Hong menarik
napas paniang. Nona ini benar-benar pemarah sekali, agaknya
segala kehendaknya harus diturut. Dengan sikap apa boleh buat ia
mengangkat kedua pundaknya.
"Baiklah, Nona. Kurang lebih tiga puluh li disebelah barat dusun
ini ada sebuah kota yang cukup besar. Aku akan mengantarkanmu
ke sana. Bila kita berangkat?"
"Sekarang juga!" jawab gadis itu tegas, akan tetapi ia merasa
ketertaluan dan menyambungnya cepat-cepat, "tentu saja kalau kau
tidak keberatan, Lam-ko."
"Tentu tidak, Siocia. Kalau kau menghendaki sekarang, marilah."
Akan tetapi, pada saat itu terdengar suara ribut-rebut di luar
kamar, dan dari suara itu, Soan Li dan Sin Ho maklum bahwa tiga
orang hwesio kelenteng itu sedang bertengkar mulut dengan
beberapa orang.
Kemudian terdengar hwesio-hwesio itu berteriak kesakitan dan
lari cerai berai diikuti dengan tindakan kaki beberapa orang yang
memasuki kelenteng dan langsung menuju ke kamar Soon Li. Sin
Hong cepat menengok dan ia melihat tiga orang pengemis datang di
tempat itu. Tadinya ia merasa terheran karena mengira bahwa
anggauta-anggauta Hek-kin-kaipang yang datang, akan tetapi ketika
ia melirik ke arah ikat pinggang mereka yang berwarna putih,
tahulah ia bahwa yang datang ini adalah pengemis dari golongan
lain.
455
"Lam-ko, apakah yang terjadi di luar?" tanya Soan Li sambil
menjulurka kepala hendak melongok keluar.
"Entah, Siocia. Ada tiga orang pengemis aneh datang menuju ke
kamar ini.”
“Agaknya para Suhu telah mereka paksa dan pukul, dan mereka
masuk dengan kekerasan."
"Hm, kau minggirlah, Lam-ko. Biar aku sendiri menghadapi
mereka. Eh, tolong kau ambilkan nasi dan sayur daging di meja itu,
perutku lapar sekali."
Diam-diam Sin Hong merasa geli dan kagum. Nona ini belum
tahu siapa yang datang dan belum tahu pula sampai dimana
kelihatan lawan, akan tetapi ia hendak menyambut kedatangan tiga
orang pengemis itu sambil makan! Akan tetapi, kemudian ia kagum
kalau teringat bahwa gadis itu kedua kakinya belum dapat
digerakkan sehingga sukar untuk menghadapi mereka dengan ilmu
silat, maka sudah tentu mangkok terisi nasi dan sayur berikut
sepasang sumpit itu sengaja diminta oleh Soan Li untuk
dipergunakan sebagai senjata! Ia cepat mengambilkan mangkok
nasi dan sumpit yang diterima oleh Soan Li dengan senyum.
Pada saat Sin Hong melangkah minggir menjauhkan diri dari
pintu, terdengar suara tindakan kaki yang berat. Tak lama kemudian
muncullah tiga orang pengemis setengah tua di ambang pintu
kamar itu. Pengemis yang tengah ternyata datang sambil
memanggul sebuah patung batu besar. Patung ini adalah patung
barongsai yang tadinya berada di ruang tengah dari kelenteng itu,
sebuah barang kuno yang amat berat karena terbuat dan pada batu
hitam. Dengan mengangkat dan memanggulnya sehingga tindakan
kakinya menjadi berat, tanpa terlihat sukar sama sekali
membuktikan bahwa pengemis ini memiliki tenaga yang besar.
Ketika melihat Soan Li duduk di atas pembaringan sambil makan
nasi dengan sepasang sumpit digerakkan ke mulut, pengemis itu
menurunkan patung itu. Ternyata bahwa ia telah membanting
patung itu ke atas lantai disertai tenaga hebat sehingga barangbarang
yang berada di dalam kamar itu terpental ke atas. Bukan
hanya barang-barang bahkan Sin Hong yang berdiri di dekat
456
pembaringan, juga, ikut terlempar ke atas sehingga pemuda ini
mengeluarkan seruan kaget. Akan tetapi, ketika pengemis itu
tertawa bergelak, ia melirik ke arah pembaringan yang diduduki oleh
Soan . Seketika itu juga suara ketawanya berhenti dan wajahnya
berubah. Tidak saja gadis ini seakan-akan tidak merasa sesuatu,
bahkan empat kaki pembaringannya telah amblas ke dalam lantai!
Memang amat mengherankan. Getaran bantingan patung batu yang
amat berat itu telah membuat barang-barang lain terpental ke atas,
akan tetapi pembaringan yang diduduki oleh Nona itu sebaliknya
telah amblas ke bawah, ini sudah membuktikan bahwa Gak Soan Li
memiliki tenaga lweekang yang amat mengagumkan. Tentu saja
akan lebih mengagumkan lagi kalau pengemis-pengemis tahu
bahwa gadis itu telah lumpuh kedua kakinya.
"Pengemis busuk, apa perlunya kalian datang mengganggu aku
makan?" bentak Soan Li menunda makannya sambil memandang
dengan sepasang mata bersinar-mar. "Apakah hendak mengemis
makanan?”
"Aha, Lihiap benar-benar hebat," pengemis yang tadi memanggul
patung berkata dengan senyum sindir, "tidak salah apa yang
dikatakan oleh Giok Seng Cu Locianpwe bahwa murid Hwa I
Enghiong benar-benar tangguh sekali. Tidak salah pula kata-katamu
tadi bahwa kami datang hendak mengemis makanan, yakni kalau
saja Lihiap ada makanan enak. Ha, ha!"
Orang-orang kang-ouw memang sering kali mempergunakan
kata-kata dan kalimat atau istilah yang aneh-aneh Mengemis
makanan bisa diartikan minta petunjuk dalam ilmu silat, yakni
maksudnya mencoba kepandaian tinggi. Dengan kata-kata lain
pengemis itu menantang Soan Li untuk mencoba kepandaian kalau
saja gadis itu memiliki kepandaian tinggi! Benar-benar ucapan yang
tidak saja mengandung tantangan akan tetapi juga ejekan.
"Hem, kalau kalian benar-benar sudah lapar sekali, nah,
terimalah ini dan makanlah!" Sambil berkata demikian, kedua
tangan gadis itu bergerak cepat sekali dan secara bertubi-tubi.
Gerakan ini disusul oleh berteriaknya tiga orang pengemis itu yang
bergulingan jatuh kemudian merayap bangun dan lari sipat kuping
tanpa berani menengok lagi! Apakah yang terjadi? Gerakan kedua
457
tangan Soan Li tadi mengakibatkan menyambarnya butiran-butiran
nasi yang cepat sekali menyambar muka tiga orang itu. Biarpun
hanya nasi, akan tetapi karena dilempar oleh tangan yang
mengandung tenaga sinkang tinggi, kalau mengenai kulit, nasi-nasi
itu sama dengan pelor-pelor besi. Nasi-nasi ini disusul
menyambarnya sayur kemudian sepasang sumpit menyambar ke
arah dua orang pengemis di kanan kiri dan mangkok menyambar ke
arah pengemis di tengah-tengah Akibatnya memang hebat.
Pengemis-pengemis itu selain dihajar oleh nasi dan sayur yang
mendatangkan rasa perih dan pedas di kulit muka, juga masih
terkena hajaran sepasang sumpit yang mengenai jalan darah di
pundak kedua pengemis, sedangkan mangkok itu dengan tepat
memukul dada pengemis yang di tengah-tengah. Pengemis ini
tadinya hendak mengerahkan tenaga dan menerima dengan
dadanya, akan tetapi ia kecele. Dadanya serasa terkena pukulan
yang ribuan kati beratnya, membuat ia terhuyung-huyung dan
dengan ketakutan ia lalu melarikan diri diikuti oleh dua orang
kawannya.
"Benar-benar mereka sudah kelaparan sekali. Begitu mendapat
nasi dan sayur mereka berebut dan melarikan diri," kata Sin Hong,
diam-diam ia memuji kepandaian Nona Gak ini.
Soan ia menoleh kepada Sin Hong "Lam-ko, kau tidak tahu.
Mereka itu mungkin sekali anak buah dari Giok Seng Cu yang
disuruh menyelidiki keadaanku. Kau tidak tahu bahwa mereka itu
biarpun tidak usah dikhawatirkan karena kepandaian mereka tidak
berapa hebat akan tetapi kedatangan mereka menjadi tanda bahwa
Giok Seng Cu tidak pergi jauh. Kalau Giok Seng Cu yang keluar dan
turun tangan sendiri, kiranya aku dan kau pada saat ini tidak dapat
bercakap-cakap lagi dan barangkali sudah menjadi mayat."
Sin Hong memperlihatkan wajah kaget dan takut.
"Kaumaksudkan kakek yang buruk rupa itu, Gak-siocia? Aduh, habis
bagaimana baiknya?" Ia memang ingin sekali mengetahui apa yang
hendak dilakukan oleh gadis ini selanjutnya.
Soan Li menarik napas panjang. "Bagaimana baiknya? Hm, kalau
dia turun tangan, apa boleh buat, aku akan melawannya dengan
458
sekuat tenagaku. Aku takkan menyerah sebelum mati, apa lagi...
aku dekat dengan engkau, Lam-ko, aku tidak takut mati."
Kini hati Sin Hong berdebar aneh. ia mulai dapat merasa akan
sikap gadis ini terhadapnya, dan hal ini membuatnya malu dan tidak
enak hati.
"Kalau dekat dengan aku mengapakah? Apakah yang dapat
kulakukan aku seorang lemah ini? Kalau kau sendiri tidak dapat
mengalahkannya, apalagi aku?"
"Bodoh, kau pandai mengobati. Kalau Giok Seng Cu muncul dan
ada beberapa tulang-tulangku patah lagi, aku takut apakah? Kau
pasti akan dapat menyembuhkannya."
"Kalau aku dia pukul mampus, bagai mana aku dapat merawat
luka-lukamu Nona'"
"Kalau kau dipukul mati, tentu aku pun mati. Mati berkawan
seorang yang balk hati seperti engkau tidak mendatangkan
penasaran hati, Lam-ko." Setelah berkata demikian, dengan kedua
tangan menekan pembaringan, tahu-tahu tubuh Soan Li telah
melayang ke arah pundak Sin Hong. "Awas, Lam-ko, sediakan
pundak kananmu!"
Sin Hong memasang pundaknya dan tahu-tahu nona itu telah
duduk di atas pundaknya di sebelah kanan, tangan kiri nona itu
menekan pundak kirinya seperti merangkul leher.
"Tidak berat, Lam-ko?"
"Tidak sama sekali. Heran benar kau seperti tidak ada lima kati
badanmu Nona," kata Sin Hong. Tentu saja pemuda ini tahu bahwa
Soan Li menggerakkan ginkangnya, maka sengaja ia memuji agar
disangka ia tidak mengerti sama sekali akan hal itu.
Maka berangkatlah dua orang itu meninggalkan kelenteng
menuju ke barat. Sin Hong tidak berani mempergunakan ilmu berlari
cepat, akan tetapi ia juga segan untuk berjalan terlalu lambat. Maka
ia lalu berjalan dengan langkah tegap dan lebar.
"Lam-ko, kau kuat sekali!" Soan Li memuji.
459
"Sebagai seorang gunung, aku sudah biasa berjalan kaki dan
berlari, Nona. Kadang-kadang aku harus melalui puluhan li dengan
pikulan berisi hasil bumi yang beratnya hampir seratus kati. Oleh
karena itu, memanggulmu bukan beban yang berat bagiku, beratmu
paling banyak beberapa belas kati saja."
"Orang gila, masa ada orang beratnya hanya belasan kati' Kalau
aku mau, aku lebih berat daripada pikulanmu yang ratusan kati itu'"
Sin Hong merasa khawatir kalau-kalau nona ini benar-benar
membuktikan ancamannya. Kalau Soan Li mengerahkan tenaga dan
memberatkan tubuhnya, kedudukannya tentu serba sulit. Tentu saja
ia takkan merasa berat dan betapapun juga, akan sanggup
memanggul tubuh Soan Li, akan tetapi kalau ia lakukan hal ini,
berarti ia membuka rahasianya sendiri. Kalau gadis itu memberatkan
tubuh, ia terpaksa harus "tidak kuat" dan hal ini akan membuat ia
dan gadis itu roboh terpelanting.
"Jangan, Nona. Jangan main-main, kita bisa jatuh' Eh, lihat,
bukankah ada orang-orang datang dan depan itu?" katanya untuk
mengalihkan perhatian Soan Li.
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid XVII
GADIS itu memandang ke depan dan terheran. Benar saja, dari
jauh datang lima orang penunggang kuda. Bagai-mana pemuda ini
bisa tahu akan kedatangan mereka itu? Kalau dia sendiri telah
memiliki sepasang mata terlatih dan juga ia duduk di pundak itu
sehingga ia menjadi lebih tinggi. Akan tetapi bagaimana pemuda ini
bisa mengetahui dulu akan kedatangan lima orang itu
"Eh, benar ada lima orang penunggang kuda datang dari depan.
Akan tetapi bagaimana kau bisa tahu, Lam-ko?"
Memang sebetulnya, tadi Sin Hong bukan secara kebetulan saja
menyatakan bahwa ada orang datang dari depan. Memang pemuda
ini telah memiliki penglihatan dan pendengaran yang lebih tajam
daripada Soan Li, maka sebelum gadis itu melihat atau mendengar,
ia lebih dulu telah mendengar derap kaki kuda dan melihat
460
bayangan lima titik depan. Kini ia terkejut dan menyesal sekali.
Otaknya yang cerdik diputar dan sebentar saja sambil tersenyum ia
sudah menjawab senang.
"Mudah saja, Gak-siocia. Dan jauh mereka memang tidak tampak
olehku akan tetapi debu yang mengepul itu sudah kelihatan dari
jauh. Debu yang mengepul di atas jalan raya, sudah pasti
disebabkan oleh orang bukan oleh kerbau."
Soan Li tersenyum. Mengapa ia begitu bodoh? Memang alasan ini
kuat sekali Di belakang lima ekor kuda itu memang debu mengepul
tinggi sehingga mudah di lihat dari jauh.
"Kau memang pandai, Lam-ko."
"Bukan pandai, hanya sudah biasa dengan kehidupan di tempat
sunyi, Nona.”
Sementara itu, lima orang penunggang kuda itu sudah tiba dekat
dan mereka itu ternyata lima orang laki-laki. Han Sin Hong berdebar
ketika inelihat bahwa dua orang di:antara mereka adalah dua orang
pengemis yang pundaknya terkena totokan sepasang sumpit yang
dilemparkan oleh Soan Li di kelenteng tadi pagi. Hmm, agaknya
akan terjadi hal-hal tidak enak, pikirnya. Apalagi kalau ia lihat tiga
orang lainnya yang kelihatannya bukan orang sembarangan. Yang
dua orang adalah orang-orang setengah tua dengan pakaian
piauwsu (pengawal barang kiriman), dan mereka ini kelihatan
sebagai ahli-ahli lweekeh karena sepasang mata kedua orang ini
berkilat-kilat dan berpengaruh. Akan tetapi yang lebih
niengkhatirkan hati Sin Hong adalah orang ketiga yakni seorang
gundul yang seperti hwesio, akan tetapi mukanya memperlihatkan
sifat jahat, sama sekali tidak patut seorang pertapa, apalagi
tubuhnya tinggi besar dan nampakm ia kuat bukan main,
sungguhpun usianya sudah amat tua.
Lima orang itu menghentikan kuda mereka dan dua orang yang
berpakaian seperti piauwsu itu tertawa bergelak ketika melihat Sin
Hong dan Soan Li. Telunjuk mereka menuding ke arah Sin Hong dan
mereka tertawa geli sampai memegang perut.
461
"Eh, kalian ini kenapa tertawa? Apa sih yang lucu?" Sin Hong
menegur karena ia mendongkol sekali. ia dapat menduga bahwa
tentu dia yang ditertawai karena dia memanggul tubuh Gak Soan Li
"Ayaa..!" seorang di antara dua piauwsu itu berpura-pura kaget
untuk melawak, "Kiranya kuda berkaki dua ini masih pandai bicara
segala! He, kuda kaki dua, kau setiap hari makan rumput
ataukah...?"
Baru saja ia bicara sampai di sini, piauwsu ini melompat kaget
dari kudanya yang meringkik dan mengangkat kedua kaki depan,
lalu meronta-ronta dan hendak minggat. Akan tetapi, sekali
menepuk pundak kuda itu dengan tangannya, piauwsu tadi dapat
membuat kuda itu tidak berdaya dan lemas! Kemudian piauwsu ini
dengan muka berubah mencabut sebatang jarum halus dari leher
kudanya dan memandang ke arah Soan Li dengan muka merah.
Memang, ketika tadi ia mengganggu Sin Hong, Soan Li marah sekali
dan sekali tangan kirinya bergerak, dua batang jarum menyambar
ke arah depan, yang sebatang menyambar muka piauwsu yang baru
bicara mengejek Sin Hong, sedangkan jarum ke dua menyambar
leher kudanya.
Piouwsu tadi memang lihai. ia dapat mendengar datangnya jarum
dan dapat cepat mengelak akan tetapi kudanya menjadi korban.
Baiknya ia memang berkepandaian tinggi sehingga ia dapat
membikin kudanya tak berdaya sebelum kuda itu melarikan diri dan
dapat mencabut jarum yang menancap di leher kudanya.
Melihat ini, diam-diam Soan Li mengeluh. Ia menghadapi lawan
yang tangguh. Tentu saja ia tidak akan gentar menghadapi mereka
ini kalau kedua kakinya dapat digerakkan. Akan tetapi dengan
duduk di atas pundak Gong Lam, ia dapat berbuat apakah?
"Inikah murid Hwa I Enghiong yang kalian maksudkan?" tanya
piauwsu kedua yang lebih tua kepada dua orang pengemis di
sampingnya. Dua orang pengemis itu mengangguk. Piauwsu itu lalu
mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Soan Li.
"Benar-benar murid Hwa I Enghiong hebat sekali. Tidak saja
kepandaiannya tinggi, akan tetapi juga memilikt keberanian yang
luar biasa pula. Sayangnva. kepandaian yang tinggi itu
462
dipergunakan untuk menghina dan merendahkan orang lain.
Sampai-sampai memaksa seorang pemuda tampan menjadi
kudanya. Ilmu ... memalukan benar!"
"Hei tutup mulutmu. kau kambing busuk! Aku memanggul Nona
ini atas kehendakku sendiri, secara suka rela sama sekali tidak
dipaksa! Juga aku bukan kuda, kau tahu? Enak saja kau bicara!" Sin
Hong memaki-maki marah sambil tangannya menuding-nuding ke
arah piauwsu itu yang memang memiliki jenggot panjang meruncing
seperti jenggot kambing. Pada saat itu, Soan Li juga sudah
menggerakkan tangannya mengirim tiga batang jarum ke arah
piauwsu itu. Piauwsu itu dengan senyum mengejek mengibaskan
lengan bajunya untuk menyampok runtuh tiga batang jarum tadi.
Akan tetapi tiba-tiba ia menjerit dan lengannya yang dipergunakan
menyampok jarum-jarum tadi berdarah! Ketika ia melihat ternyata
bahwa dua batang di antara jarum-jarum itu biarpun menancap
pada kulit lengannya, biarpun tidak begitu dalam, lengannya
berdarah dan perih. I benar-benar merasa heran karena tadi ia
sudah mempergunakan tenaga lweekang untuk menyampok jarumjurum
itu, mengapa tiba-tiba tenaganya lenyap sebagian besar
sehingga jarum-jarum itu masih mengenai lengannya?
Tentu saja tak seorang pun menduga bahwa ini adalah
disebabkan oleh kedua telunjuk tangan Sin Hong yang digerakgerakkan
menuding ke arah piauwsu itu ketika ia memaki-maki. Dari
telunjuknya keluar hawa sinkang yang secara aneh telah dapat
memukul piauwsu itu sehingga ketika piauwsu itu mengibaskan
lengannya, tenaga lweekangnya lenyap terpukul oleh sinkang dari
kedua telunjuk Sin Hong yang digerakkan! Bagi piauwsu itu, tentu
mengira bahwa Soan Li memang memiliki kepandaian yang amat
tinggi, maka ia tidak berani banyak cakap dan mukanya berubah.
Sebaliknya Soan Li mengira bahwa piauwsu ini kepandaiannya
tidak berapa hebat. Ia lalu berkata dengan suara nyaring,
"Aku Gak Soan Li selama hidupku belum pernah bertemu dengan
kalian, mengapa kalian mengambil sikap bermusuhan? Memang
betul bahwa aku adalah murid Suhu Go Ciang Le, habis kalian mau
apakah?"
463
Dua orang pengemis itu sudah tahu akan kepandaian Soan Li,
maka mereka tidak berani banyak bicara. Adapun dua orang
piauwsu itu kini berpaling kepada hwesio tinggi besar tadi, seakan
akan minta keputusan. Hwesio tinggi besar itu membuka mulut dan
suaranya terdengar seperti desis ular ketika ia berkata,
"Kalian turun tangan dan coba tangkap dia!"
"Baik, Suhu!" Dua orang piauwsu itu berkata girang, lalu
keduanya melompat turun dari kudanya dan bersama piauwsu
pertama melangkah maju menghadapi Soan l.i yang masih duduk di
pundak Sin Hong.
"Nona Gak yang baik, kami adalah Po An Ci-heng-te (Kakak
Beradik she Ci dari Po An) yang menjadi piauwsu di Po An.
Tentunya kau sudah pernah mendengar nama kami berdua...."
"Eh, eh, kalian ini mau jual obat atau mau main wayang? Mau
bicara lekas bicara ada keperluan apa pakai memperkenalkan nama
segala! Mana Nona Gak mengenaI manusia-manusia seperti kalian?"
Sin Hong membentak marah. ia merasa sebal sekali melihat lagak
dua orang piauwsu yang sombong itu. Soan Li menekan pundaknya
memberi tanda agar pemuda ini jangan naik darah karena gadis itu
tidak berani bersikap sembrono. Ia maklum bahwa kalau dua orang
muridnya saja sudah setangguh ini, apalagi hwesio tinggi besar itu,
tentu memiliki kepandaian tinggi sekali.
"Kahan mau apakah?" tanyanya.
"Kau sudah mendengar sendiri bahwa Suhu menyuruh kami
menawanmu, Nona. Kami merasa sayang untuk membikin kau lelah,
juga tidak tega membiarkan kau terluka. Oleh karena itu lebih baik
Nona menyerah saja tanpa perlawanan dan menurut saja kami
tawan untuk memenuhi perintah Suhu."
"Manusia-manusia rendah, siapa sudi mendengar omonganmu?"
bentak Soa Li dan kembali kedua tangannya bergerak. Empat
batang jarum yang sudah disiapkan menyambar ke arah dua orang
piauwsu itu. Akan tetapi kini kedua Ciheng-te itu sudah siap sedia,
maka dengan mudah mereka dapat mengelak.
464
"Gadis keji, kau memang tidak patut dikasihani!" seru dua orang
piauwsu itu yang mulai mendesak maju dengan sikap mengancam
sekali.
"Lam-ko, ulur kedua lenganmu, biar, aku duduk di atas kedua
lenganmu untuk melawan mereka!" kata Soan Li cepat.
Sin Hong maklum akan maksud gadis itu dan ia kagum atas
ketabahan hati Soan Li. Segera ia melonjorkan kedua lengannya ke
depan dengan kedua siku mepet pinggang. Soan Li lalu bergerak
dan tubuhnya meluncur turun dari pundak ke atas lengan itu. ia
duduk di atas kedua lengan Sin Hong seperti orang duduk di atas
kursi. Tentu saja ia mempergunakan ginkangnya sebaik mungkin
agar tubuhnya tidak terlalu memberatkan pemuda yang
menyangganya. Diam-diam Sin Hong mengeluh. Kalau Soan Li
terlalu mengerahkan tenaga untuk meringankan tubuh, tentu ia
kurang kuat menghadapi lawan-lawannya. Bagi dia tentu saja tidak
terasa berat, biarpun andaikata ditambah lagi dengan lima orang
Soan Li menindih kedua lengannya.
Di lain pihak, Ci Kong dan Ci Kwan, dua kakak beradik dari Po An
itu, memandang heran dan ragu-ragu untuk turun tangan. Apakah
gadis ini main-main ataukah memang sudah gila? Mana ada orang
berkelahi dengan cara macam itu?
"Nona, jangan kau main gila. Turunlah, mari kita bertempur
sampai seribu jurus!" kata Ci Kwan.
Tangan Soan Li bergerak dan pedangnya sudah berada di tangan
kanan.
"Tikus sawah, kalau kalian ada kepandiaan, majulah jangan
banyak cerewet,” jawab Soan Li.
Ci Kong dan Ci Kwan marah sekali. Mereka merasa dipandang
rendah oleh gadis ini. Dengan garang mereka lalu mencabut senjata
mereka, yakni sebatang golok besar yang tergantung di pinggang.
"Kwan-te (Adik Kwan), kautusuk mampus kuda kaki dua itu, biar
aku yang menawan Nona ini!" kata Ci Kong kepada adiknya.
Kemudian mereka serentak maju menyerang. Ci Kwan
menggunakan goloknya untuk menyerang lambung Sin Hong dan
465
samping, sedangkan Ci Kong mengerahkan tenaga membacok leher
Soan Li untuk mencegah gadis ini melindungi pemuda yang
menyangganya.
Serangan ini hebat. Soan Li maklum bahwa untuk dapat
menghindarkan dua serangan ini, harus digunakan gerak tipu Hiupo-
liu-hong (Pancuran Air Dilngkungi Pelangi). Tentu saja ia dapat
menggerakkan pedangnya melakukan gerakan ini, akan tetapi
bagaimana ia harus menggerakkan tubuhnya? Setelah duduk di atas
kedua lengan Sin Hong sekarang ia tidak leluasa bergerak, boleh
dibilang tubuh dan kedua kakinya telah dikuasai oleh pemuda yang
menyanggahnya. Akan tetapi tiba-tiba ia menjadi girang dan juga
terkejut heran karena pemuda yang menyangganya itu, yang
agaknya ketakutan melihat golok menyambar-nyambar telah
melangkah ke kiri dan tepat sekali ialah melakukan gerak kaki yang
cocok betul dengan jurus Hia-po-liu-hong! Soan Li telah
menggerakkan pedangnya dan terdengar dua kali suara nyaring
ketika pedangnya menangkis serangan dua golok itu.
Ci Kong dan Ci Kwan terkejut sekali. hampir saja senjata mereka
terlepas dari pegangan, demikian kuat tangan gadis itu. Mereka
merasa heran sekali bagaimana serangan dari dua jurusan dapat
ditangkis sekaligus oleh Soan Li. Akan tetapi mereka tidak diberi
kesempatan untuk memkirkan hal ini. Kini pedang Soan Li sudah
berkelebat menyambar ke arah mereka. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Soan Li ketika Sin Hong mengajukan kaki ke
depan dan gerakan Sin Hong tepat sekali bagi Soan Li untuk
menyerang dengan gerak tipu Sianli-kai-in (Dewi Membuka Mega).
Demikian cepat gerakan pedang di tangan So Li sehingga biarpun Ci
Kong dapat mengelak, namun Ci Kwan yang menggunakan golok
menangkis, tiba-tiba berseru kesakitan, goloknya terlepas dari
pegangan dan tiga jari tangannya terbabat putus! Memang gerak
tipu yang dimainkan oleh Soan Li ini berbahaya sekali, sebuah jurus
silat dari Ilmu Pedang Pak-kek Kiam-hoat yang lihai. Pedang di
tangannya ketika bertemu dengan golok yang menangkis, bukan
terpental kembali, melainkan meluncur di sepanjang batang golok
lawan yang memegang gagang golok. Akan tetapi ketika Soan Li
hendak maju untuk mengirim serangan maut kepada Ci Kwan, tibatiba
Sin Hong melangkah ke jurusan lain! Soan Li merasa kecewa
466
sekali, akan tetapi ia tak dapat menyesal, karena bukankah Sin
Hong memang tidak mengerti ilmu silat? Kalau tadi pemuda itu
melangkah ke jurusan yang tepat seperti yang ia kehendaki, adalah
kebetulan saja.
"Ke kanan dua langkah!" Soan Li berkata lirih kepada Sin Hong.
Pemuda tadinya sengaja melangkah ke lain jurusun oleh karena
memang ia tidak suka melihat gadis itu menurunkan tangan maut
kepada Ci Kwan. Sekarang, setelah Ci Kwan melompat mundur ke
dekat hwesio tinggi besar itu, barulah ia menurut perintah Soan Li
dan melangkah ke kanan dua kali. Ci Kong menyambutnya dengnan
sambaran golok. Ia marah sekali karena adiknva telah terluka pada
gebrakan pertama dan ingin membalas dendam, maka serangan
goloknya bertubi-tubi dan cepat sekali datangnya. Namun ia
memang bukan tandingan Soan Li. Ke mana saja goloknya
menyambar, selalu senjata ini terpental kembali.
Soan Lt terus berkali-kali memberi aba-aba kepada Sin Hong
untuk mengatur gerakan tubuh seperti melangkah kekiri,
merendahkan tubuh, mirmgkan tubuh dan lain lain. Biarpun
gerakannya kelihatan kaku, namun anehnya selalu Soan Li nendapat
kedudukan yang menguntungkan dalam pertandingan menghadapi
Ci Kong sehingga dalam jurus ke lima belas ia sudah berhasil
menusuk dan melukai pundak Ci Kong. Ci Kong penasaran dan
marah sekali, akan tetapi tiba-tiba hwesto tinggi besar itu
membentak, "Ci Kong mundur kau!"
Bentakan yang mengguntur ini membuat Soan Li dan Sin Hong
terkejut. Dalam bentakan ini terkandung tenaga khi-kang yang
besar sekali, tanda bahwa hwesio itu benar-benar bukan seorang
yang boleh dipandang ringan.
"Hwesio tua bangka, kau seorang pendeta apakah tidak malu
menghina seorang gadis muda! Tidak malukah kau melawan
seorang yang jauh lebih muda dari padamu? Kalau mau mencari
lawan carilah bangsa siluman dan pertapa, jangan mengganggu
Nona Gak!" Sin Hong mendamprat marah.
Soan Li merasa senang melihat sikap pemuda ini, akan tetapi
gadis ini adalah murid dari Go Ciang Le dan ia memiliki watak yang
keras. Ia merasa malu karena ucapan Sin Hong tadi seakan-akan
467
menyatakan bahwa dia takut menghadapi hwesio ini, maka ia cepat
berkata,
"Lam-ko, biarlah. Kalau dia berkeras hendak maju aku pun tidak
takut!" Mendengar ini, diam-diam Sin Hong mengeIuh. Kulau saja
kedua kaki Soan Li tidak lumpuh, kiranya ia masih percaya gadis itu
akan dapat melawan hwesio ini. Akan tetapi dengan duduk di atas
kedua lengannya, bagaimana Soan Li dapat melawan dengan baik?
Kalau ia terlalu membantu berarti membuka rahasianya sendiri,
maka ia menjadi serba salah.
"Hm, begitukah? Biarpun begitu, kalau hwesio raksasa gundul ini
hendak menggunakan senjata, benar-benar ia seorang yang tak
tahu malu sama sekali. Ia lebih tua, lebih besar, lebih tinggi,
pendeknya lebih kuat. Sedangkan Gak-siocia hanya duduk dan
membela diri mana bisa disebut adil?"
Hwesto itu tertawa bergelak. "Ha, ha, ha, bocah ini dahulu tentu
seekor kuda yang setia, sehingga sekarang setelah menjelma
menjadi manusia, sifatnya masih sama. Kau beruntung sekali
mendapatkan seekor kuda kaki dua seperti dia, Nona. Biarlah
pinceng tidak akan mengeluarkan senjata dan akan menggunakan
kedua tangan untuk menangkapmu dan melempar pergi kuda kaki
dua ini.”
Sin Hong sudah merasa girang mendengar ini. Kalau hwesio ini
tidak bersenjata, kiranya pedang di tangan Soan Li masih akan
dapat menguasainya. Akan tetapi, tak disangkanya bahwa Soan Li
selain memiliki watak yang keras, juga mempunyai sifat kegagahan
dan pantang mundur, lagi tak mengenal takut. Melihat hwesio itu
hendak maju dengan tangan kosong, ia merasa dipandang rendah
sekali, maka ia pun cepat menyarungkan pedangnya sambil berkata,
"Lo-suhu, kau memiliki dua lengan apakah aku tidak? Kau pandai
bersilat tangan kosong aku pun bisa. Majulah!”
Hwesio itu tertawa lagi dan sambil berseru keras ia memukul
dengan kepalan tangannya yang besar, meninju ke arah kepala Sin
Hong! Melihat hebatnya pukulan yang bersembunyi di balik kepalan
tangan itu tidak kalah banyak oleh tenaga pukulan Tin-san-kang dari
468
Giok Seng Cu! Ia tahu bahwa kalau Soan Li menangkis, lengan gadis
itu akan terluka.
Di lain pihak Soan Li sendiri pun kaget dan tahu bahwa lawannya
ini benar-benar memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi melihat
hwesio itu memukul pala Sin Hong, ia tidak rela membiarkan begitu
saja. Ia tahu bahwa pemuda yang menyangganya tentu tak dapat
mengelak dari pukulan itu, maka dengan nekat ia mengangkat
tangan kanan menangkis pukulan hwesio itu.
"Plak...!" Tubuh Soan Li di atas kedua lengan Sin Hong
bergoyang-goyang seperti setangkai bunga tertiup angin. Akan
tetapi yang aneh dan luar biasa sekali, tubuh hwesio tinggi besar itu
terlempar dan terjengkang sampai tiga tombak lebih jauhnya! Soan
Li tersenyum dingin menganggap bahwa hwesio itu ternyata hanya
nampaknya saja gagah, akan tetapi tenaganya ternyata tidak sangat
besar seperti yang ia khawatirkan tadi. Sebaliknya, hwesio tinggi
besar itu berdiri dengan kedua mata terbelalak heran juga gentar
melihat Soan Li. Baru menangkisnya sambil duduk saja, gadis telah
berhasil membuatnya terlempar dan terjungkal! Hwesio itu bergidik
dan berkata kepada empat orang kawannya.
"Mari kita pergi!"
Ia melompat ke atas kudanya dan membalapkan kuda itu, diikuti
oleh empat orang kawannya yang mcnjadi kecewa sekali.
Diam-diam Sin Hong merasa lega bahwa hwesio tadi telah dapat
dibikin takut oleh akalnya. Ketika tadi Soan Li menangkis lengan
hwesio itu diam-dia Sin Hong mengerahkan tenaganya ke dalam
sebuah lengan yang ia tempelkan di pinggang Soan Li. Maka ketika
kedua lengan bertemu, hwesao itu merasa betapa kuat tenaga
lweekang yang keluar dari lengan gadis itu, akan tetapi ia tak kan
terlempar begitu jauh kalau saja tiba-tiba ia tidak terdorong oleh
hawa pukulan dari bawah. Ini pun pekerjaan Sin Hong yang tanpa
diketahui oleh yang lain, tangan kanannya melakukan gerakan
mendorong dari bawah tubuh Soan Li ke arah perut hwesio itu!
"Ha, hwesio siluman, mana bisa melawan Gak-siocia yang gagah
perkasa?" kata Sin Hong sambil mentertawakan hwesio itu dan
empat orang kawannya yang membalapkan kuda melarikan diri.
469
"Lam-ko kauturunkan aku di bawah pohon sana itu." kata Soan
Li.
"Eh, kenapa, Nona?" Banyak orang jahat di sini, bukankah kita
lebih baik lekas-lekas pergi ke kota?"
"Tidak, kauturunkanlah aku." desak Soan Li.
Sin Hong tak dapat membantah pula, namun ia ingin tahu
mengapa tiba-tiba gadis ini minta beristirahat. Lelahkah dia?
Ataukah terluka ketika bertempur tadi?
Setelah Soan Li diturunkan dan duduk di atas tanah yang ditilami
daun-daun kering dan rumput, gadis itu memandang mesra
kepadanya dan berkata, "Aku minta beristirahat karena kau tentu
lelah sekali, Lam-ko. Kalau sudah hilang lelahmu barulah kita akan
melanjutkan perjalanan."
"Aku? Lelah? Ah, menyindir, Gak Siocia patutnya kaulah yang
lelah, kau baru saja menghadapi pertempuran mati-matian."
Sin Hong merasa jantungnya berhenti berdetik. Celaka, gadis ini
agaknya sudah tahu akan rahasianya, pikirnya. Maka hanya dapat
menoleh dan menatap wajah gadis itu tanpa menjawab.
Soan Li tersenyum. "Lam-ko, apa artinya semua perlawananku
tanpa menggerakkan tubuh dan kaki? Kedua tanganku yang
bekerja, akan tetapi yang bergerak adalah tubuh dan kakimu.
Kaulah yang menentukan kemenangan tadi!"
Sin Hong menghela napas lega. wajahnva berseri. Hal ini
dianggap oleh Soan Li bahwa pemuda itu puas dan bangga
mendapat pujiannya.
"Kau memang cerdik sekali, Lam-ko. Kalau saja kau tidak dapat
mengikuti kehendakku dan kau sampai salah melangkahkan kaki
pada saat berbahaya tentu kita berdua sudah menjadi korban
pukulan lawan.”
Pada saat Sin Hong kurang memperhatikan kata-kata Soan Li
karena ia tengah bengong dan memandang ke langit. Soan Li
mengerutkan kening mengira pemuda itu tidak mengacuhkannya.
Akan tetapi ketika ia ikut pula memandang ke atas, melihat seekor
470
burung rajawali yang amat besar sedang terbang di atas dengan
amat megahnya.
"Burung rajawali..!" kata Soon Li kagum.
Sin Hong sudah melompat dan berlari ke arah burung itu
terbang.
"Eh, Lam-ko, kau hendak ke mana...??" Soan Li bertanya kaget.
"Tunggu sebentar di situ, Siocia. Burung itu indah dan besar, aku
ingin melihatnya dari dekat!" jawab Sin Hong sambil berlari terus.
Setelah menghilang di jalan tikungan, pemuda ini lalu mengerahkan
ginkang dan berlari seperti terbang cepatnya.
"Lam-ko...!" Ia mendengar panggilan Soan Li, akan tetapi tidak
mempedulikannya. Panggilan itu berulang sampai beberapa kali,
dan berakhir dengan seruan memanjang dan mengerikan, "Lam
koooo'" Akan tetapi sayang, pada saat seruan ini menggema, Sin
Hong sudah terlalu jauh untuk dapat mendengar seruan
Sin Hong meninggalkan Soan Li bukan tidak ada sebabnya.
Ketika ia melihat burung rajawali tadi, segera mengenal burung itu
sebagai burung kim-tiauw yang dulu pernah ia tunggangi ke
Hoasan, yakni burung peliharaan dari See-thian Tok-ong Si Raja
Racun. Melihat burung ini terbang ke jurusan Pulau Kim-ke-tho, Sin
Hong menjadi gelisah sekali. Ia tahu bahwa ke mana saja burung itu
pergi, pasti ia menjadi pelopor dari Raja Racun itu. Kalau burung itu
terbang ke arah Pulau Kim-ke-tho dan kelihatan di daerah ini, sudah
hampir dapat dipastikan bahwa kedatangan See-thian Tok-ong di
daerah ini tentu ada hubungannya dengan Hek-kin-kaipang. Selain
perkumpulan pengemis ini, tidak ada hal lain yang akan menarik
hati seorang kang-ouw. Karena ia merasa khawatir kalau-kalau Hekkin-
kaipang diganggu oleh Raja Racun yang keji, dan ia tahu betul
bahwa gihunya dan yang lain takkan dapat menandingi See-thian
Tok-ong seanak isteri, maka ia cepat-cepat menyusul ke Kim-ke-tho
dan meninggalkan Soan Li untuk sementara waktu.
Tentu saja Sin Hong tidak pernah menduga bahwa Soan Li yang
ditinggalkannya itu terancam bahaya hebat. Belum lama setelah ia
pergi, Soan Li yang duduk seorang diri sambil memanggil-manggil
nama Gong Lam atau Sin Hong, tiba-tiba gadis ini melihat
471
datangnya Giok Seng Cu! Tak terasa pula, saking ngeri dan takut
menghadapi kakek yang amat lihai ini, panggilannya kepada "Lam
ko" menjadi makin nyaring dan panjang.
"Ha, ha, ha, ke mana perginya kau punya Koko yang baik, Nona
manis?" Giok Seng Cu tertawa bergelak sambil menghampiri Soan
Li. Gadis ini menggigit bibir dan siap dengan pedangnya, Giok Seng
Cu menubruk maju. Ketika pedang Soan Li menusuk dadanya, kakek
ini menggunakan ujung lengan baju melibat pedang sehingga
pedang itu seakan-akan dicengkeram oleh tangan yang amat kuat.
Mereka saling membetot dan pada saat itu, pukulan Tin-san-kang
yang hebat telah mengenai pundak Soan Li membuat gadis itu
mengeluarkan keluhan panjang dan pingsanlah ia! Sambil terkekehkekeh,
Giok Seng Cu mengempit pinggang gadis itu dan dibawanya
lari dari situ.
Memang setelah ia dikejutkan oleh Sin Hong yang menerima
pukulan Tin-san-kang dengan dada terbuka, Giok Seng Cu melarikan
diri, akan tetapi diam-diam ia mengikuti dan mengintai keadaan
Soan Li dengan amat terheran-heran ia melihat betapa pemuda
aneh dan lihai itu berlaku seperti seorang pemuda tolol, menolong
Soan Li dan mengobatinya. ia pun mendengar pemuda itu dipanggil
"Gong Lam-ko" oleh Soan Li. Diam-diam Giok Seng Cu memutar
otak. Ia merasa sudah pernah melihat pemuda ini, akan tetampi
sikap ketololan dari Sin Hong dan nama Gong Lam membikin Giok
Seng Cu bingung dan ia lupa lagi dimana ia pernah bertemu dengan
pemuda ini. Tentu saja ia sama sekali tidak teringat lagi akan Wan
Sin Hong, bocah yang dahulu telah ia lemparkan ke dalam jurang di
puncak Luliang-san. Betapapun juga di saat Sin Hong dekat dengan
Soan Li. Giok Seng Cu sama sekali tidak berani muncul. Dari hasil
pengintaiannya ia tahu bahwa gadis itu “jatuh cinta" kepada Gong
Lam, dan ia menduga bahwa sebaliknya pemuda itu tentu jatuh hati
pula kepada Soan Li. Laki-laki manakah yang takkan jatuh hati
kepada seorang gadis cantik ini? Apalagi kalau ia ingat betapa
pemuda itu sudah mengobati kedua paha gadis itu!
Ketika ia mengintai dan melihat Soan Li mengalahkan tiga orang
pengemis yang sebetulnya disuruh mengganggu dan sengaja
disuruhnya mencari perkara untuk memancing dan membuka
rahasia pemuda Giok Seng Cu masih belum berhasil mengetahui
472
siapa adanya Sin Hong. Kemudian, ia melihat pula betapa hwesio
tinggi besar itu juga kalah oleh Soan Li berkat bantuan secara
sembunyi oleh pemuda tolol itu. Ia benar-benar kaget sekali. Hwesio
tinggi besar itu bukan lain adalah Be Mau Hoatsu, tokoh besar dari
Tibet yang kepandaiannya tidak di sebelah bawah tingkat
kepandaiannya sendiri. Akan tetapa dalam segebrakan saja dengan
meminjam tangan Soan Li, pemuda itu dapat melemparkannya.
Benar-benar hebat sekali pemuda kecil ini! Karena ia mengintai dan
memperhatikan, mata Giok Seng Cu yang tajam dapat melihat
semua gerakan diam-diam dari Sin Hong dan pada saat itulah
terbuka mata Giok Seng Cu, membuat kakek ini hampir saja
mengeluarkan seruan saking kaget dan herannya.
"Demi iblis!" pikirnya. "Diakah anak itu??"
Giok Seng Cu mengingat-ingat. Tak salah lagi gerak kaki dan
pukulan pemuda itu yang ditujukan kepada Ba Mau Hoatsu, adalah
gerakan dan Ilmu Pak-kek-sin-ciang yang paling sulit dan hebat.
Selain Go Ciang Le, siapa lagi manusia di muka bumi ini yang dapat
melakukan pukulan macam itu? Kalau pemuda ini putera atau murid
Go Ciang Le, tak mungkin Gak Soan Li tidak mengenalnya, karena
Soan Li adalah murid Ciang Le. Akan tetapi, pemuda ini berlaku
ketolol-tololan dan kepandaiannya lebih tinggi daripada Soan Li
bahkan ia sangsikan apakah kepandaian Ciang Le sendiri sampai
meningkat setinggi tingkat kepandaian bocah ini. Akhinya ia teringat
akan bocah yang ia lemparkan ke dalam jurang di puncak
Luliangsan, Ah, ia sekarang ingat. Wajah pemuda ini memang sama
benar dengan wajah bocah yang bernyali besar, yang berada di
puncak Luliang-san, menjaga makam Pak Kek Siansu. Tentu bocah
ini sudah mewarisi kepandaian Pak Kek Siansu, akan tetapi ..
dengan cara bagaimanakah? Apakah ketika dilemparkan ke dalam
jurang, bocah ini tidak mampus?
Giok Seng Cu benar-benar bingung. kemudian ia melihat Ba Mau
Hoatsu dan kawan-kawannya melarikan diri dan melihat pula burung
kim-tiauw terbang lewat, kemudian dikejar oleh Sin Hong.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Giok Seng Cu. Sebuah pikiran
dan akal yang amat baik teringat olehnya. Maka segera ia
menyerang dan menawan Gak Soan Li, lalu dibawanya pergi dengan
cepat sekali.
473
-oo0mch-dewi0oo-
Apa yang dikhawatirkan oleh Sin Hong ternyata terbukti, ketika
pemuda ini tiba di pantai, ia melihat burung kim-tiauw itu telah
meluncur turun di Pulau Kim-ke-tho. Ia cepat melompat ke dalam
sebuah perahu anggauta Hek-kin-kaipang yang banyak
menyediakan perahu di tempat itu.
"Apakah ada seorang tinggi besar gundul muka hitam bersama
seorang nyonya dan seorang pemuda gundul menyeberang ke
pulau?" tanyanya cepat kepada seorang pengemis.
Para pengemis sudah mengenal Sin Hong sebagai putera angkat
Lie Bu Tek. Mereka tidak ada yang tahu bahwa Sin Hong memiliki
kepandaian yang amat tnggi, akan tetapi melihat Lie Bu Tek, maka
anggauta Hek-kin-kaipang menghormatnya.
"Betul, tadi memang mereka menyeberang dan menyewa perahu
dengan bayaran royal sekali," kata seorang di antara mereka.
Tanpa mempedulikan mereka lagi, Sin Hong mendayung
perahunya cepat sekali sehingga para pengemis itu melongo.
Bagaimana ada orang dapat mendayung perahu secepat itu
sehingga leb'h cepat luncurannya daripada kalau digerakkan oeh
layar yang tertiup angin?
"Aneh... aneh..." kata mereka.
Sin Hong dengan gelisah sekali mendayung perahunva dan
sebentar saja ia telah tiba di daratan Pulau Kim-ke-tho. tanpa
mempedulikan lagi perahu yang dipinjamnva, ia meloncat ke darat
dan terus lari ke arah perkumpulan Hek-kin kaipang. Ia masih
gelisah ketika melihat orang-orang berlari ke sana ke maril dalam
keadaan panik. Ketika ia tiba di depan rumah perkumpulan,
kemarahannya memuncak. Da sana-sini menggeletak tubuh para
anggauta Hek-kin-kaipang yang sudah menjadi mayat juga tubuh
beberapa orang bekas pelayan Yap Kong Ki. Sebagian besar lagi
melarikan diri ketakutan.
Di depan rumah perkumpulan atau bekas rumah gedung Yap
Kong Ki, masih terjadi pertempuran hebat. Sin Ho melihat See-thian
474
Tok-ong yang bertangan kosong sedang dikeroyok oleh Li Bu Tek,
Ah Kai, Tiat-ciat eng Lai Sek, dan masih ada beberapa orang tokoh
Hek-kin-kaipang. Tan Lokai tidak muncul karena pengemis tua ini
masih dalam keadaan terluka dalam pertempuran kemarin dulu.
Biarpun See-thian Tok-ong bertangan kosong, namun semua
pengeroyoknya tak dapat mendekat, bahkan selalu terjengkang
mundur kalau terkena sambaran angin pukulan Raja Racun yang
lihai itu. Ini baru See thian Tok-ong seorang diri yang turun tangan,
sedangkan tak jauh dari situ, Kwan Ji Nio berdiri melihat-lihat rumah
gedung yang megah itu. Adapun Ban beng Sin-tong Kwan Kwan Kok
Sun, pemuda gundul yang mukanya masih seperti bocah itu, sambil
tertawa terkekeh melempar-lemparkan batu-batu kucil ke kanan kiri.
Setiap orang yang terkena lemparan batunya, biarpun baru itu kecil
sekali, berteriak kesakitan sambil berlari tunggang langgang. Ketika
Sin Hong memandang lebih tegas, ternyata bahwa yang dilemparlemparkan
itu bukanlah batu-batu kecil, melainkan tawon-tawon
hitam kecil yang diambilnya dari sebuah kantong. Tawon-tawon ini
berbisa dan kalau mengenai tubuh orang lalu menyengat. Biarpun
sengatannya tidak mematikan orang, akan tetapi menimbulkan rasa
gatal-gatal dan sakit luar biasa sekali.
Tiba-tiba terdengar See-thian Tok-ong mengeluarkan suara pekik
yang luar biasa tidak menyerupai suara manusia. Akan tetapi
akibatnya luar biasa sekali. Sebagian besar anggauta Hek-kin-kaipang
kelihatan terjungkal sambil menutupi telinga dengan kedua
tangan dan wajah mereka pucat sekali, kelihatan mereka menderita
rasa sakit yang luar biasa. Bahkan Lie Bu Tek dan Ah Kai yang
berkepandaian paling tinggi di antara semua kawan, nampak
menggigil dan otomatis mengundurkan diri, tidak berani mendekati
kakek Raja Racun ini. Lai Sek yang memiliki tenaga gwakang cukup
besar akan tetapi tenaga lweekangnya kurang tinggi, jatuh dan
bergulingan untuk menjauhkan diri. Wajahnva pucat dan merasa
jantungnya berdebar keras, telinganya seakan-akan pccah dari
sebelah dalam!
"Ha-ha-ha, orang-orang Hek-kin-kai pang, dengarlah baik-baik!
Kami bertiga sesungguhnya datang bukan untuk menyebar
kematian, melainkan untuk menduduki ketua Hek-kin-kaipang dan
tinggal di pulau ini. Kalau kalIan melepas senjata dan menakluk
475
sebagai anak buah kami, kalian akan diampuni. Akan tetapi kalau
ada yang membantah, jangan tanya dosa, pasti akan mengalami
kemataian yang mengerikan. Ketahuilah, bahwa aku adalah Seethian
Tok-ong, dia ini adalah isteriku dan yang itu puteraku!"
Mendengar ini semua orang kelihatan kaget setengah mati. Para
anggauta Hek-kin-kaipang ini tentu saja pernah mendengar nama
iblis yang datang dari barat yang baru saja muncul di dunia kangouw
dan nama mereka menggetarkan jagat. Siapakah yang tidak
takut mendengar nama See-thian Tok-ong, yang kabarnya dengan
suara saja dapat membunuh puluhan orang? Siapa tidak ngeri
mendengar nama Kwan Ji Nio, yang kabarnya memiliki ilmu silat
tidak kalah oleh suaminya dan wataknya ganas melebihi siluman?
Dan siapa yang tidak meremang bulu tengkuknya mendengar nama
Ban-beng Sin-tong Kwan Kok Sun yang semenjak kecil
permainannya adalah membunuh orang secara keji, yakni menyuruh
ular-ularnya memakan daging manusia? Apalagi mereka tadi sudah
melihat sepak terjang tiga orang ini yang benar-benar hebat.
Sebagian besar termasuk Tiat-ciang-eng Lai Sek, sudah gemetaran
seluruh tubuh dan berturut-turut mereka ini menjatuhkan diri
berlutut.
Lie Bu Tek dan Ah Kai yang tidak sudi berlutut. Bahkan Ah Kai
yang bisu itu dengan mata bernyala lalu menubruk maju
mempergunakan tongkat pusaka perkumpulan untuk menotok jalan
darah di leher See-thium Tok-ong. Akan tetapi sekali menggerakkan
tangan Raja Racun ini telah merampas tongkat itu dan begitu
tangan kirinya bergerak, tubuh Ah Kai roboh berkelojotan sebentar
terus tewas dengan tubuh berubah hangus! Inilah pukulan Hek-tokciang
(Pukulan Racun Hitam) yang amat mengerikan. Terdengar
suara ketawa See-thian Tok-ong yang menyeramkan dan keadaan
menjadi sunyi.
Lie Bu Tek yang tangannya buntung melangkah maju dengan
pedang di tangan.
"See-thian Tok-ong, kau telah datang bersama anak isterimu dan
menyebar maut di antara anggauta Hek-kin-kaipang Sekarang kau
merampas tongkat dan membunuh Kai-pangcu, benar-benar kau
tidak mengindahkan peraturan kang-ouw. Bukan demikian caranya
mengangkat diri menjadi pangcu."
476
"Habis, kau mau apa?" kata See-thian tok-ong mengancam.
"Kembalikan tongkat dan pergilah dari sini bentak Lie Bu Tek
tanpa mengenal takut, sungguhpun ia maklum bahwa ia takkan
menang menghadapi Raja Racun itu. Akan tetapi sebagai seorang
gagah, Lie Bu Tek tidak sudi memperlihatkan kelemahan dan sifat
pengecut maka beberapa orang pengemis, dipelopori oleh Lai Sek,
segera bangkit kembali dari tanah dan tidak mau berlutut. Mereka
menjadi bersemangat melihat sikap gagah dan Lie Bu Tek.
See-thian Tok-ong tertawa bergerak dan bagaikan seekor naga ia
mengayun tongkat pusaka itu menyerang Lie Bu Tek. Serangannya
ini hebat sekali dan sudah dapat dibayangkan bahwa andaikata Lie
Bu Tek dapat menghindarkan diri orang-orang di dekatnya pasti
akan terkena pukulan tongkat yang hawa pukulannya saja sudah
cukup kuat untuk merobohkan seorang lawan yang kurang kuat!
Akan tetapi pada saat itu, berkelebat bayangan yang sukar diikuti
dengan pandangan mata, dibarengi bentakan nyaring, "See-thian
Tok-ong jangan menjual lagak di sini!"
See-thian Tok-ong menarik tongkatnya dan mengayun kaki
menendang ke arah bayangan yang merampas tongkatnya. Akan
tetapi aneh dan ajaib tendangannya mengenai tempat kosong
seakan-akan menendang bayangan, sedangkan tongkatnya tanpa
dapat dicegah lagi telah berpindah tangan! Ketika ia memandang, ia
melihat seorang pemuda tanggung yang berdiri di hadapannya
dengan muka memperlihatkan kemarahan. Pemuda ini biasa saja
dan pakaiannya pun sederhana sekali, tidak memegang senjata
kelihatan lemah. Sungguh sukar dipercaya. Seorang pemuda
tanggung dapat merampas tongkat dari tangan See-thin Tok-ong.
Jangankan orang lain, See-thian Tok-ong sendiri pun kalau tidak
mengalami sendiri pasti takkan percaya! Raja Racun ini memiliki
kepandaian yang luar biasa tingginya dan sudah mempunyai
pengalaman yang amat luas maka ia tahu bagaimana pemuda itu
tadi merampas tongkatnya. Ia tahu bahwa pemuda telah melakukan
gerakan berlawan, yakni tangan yang merampas tongkat
mempergunakan tenaga kasar sedangkan perut yang menerima
tendangan dijaga oleh tenaga lemas sehingga ketika kakinya
menyentuh kulit, perut itu bisa ditarik masuk secara otomatis
477
sehingga kaki yang menendang menyerang tempat kosong. Tentu
saja, bagi See-thian Tok-ong kepandaian macam ini saja bukan hal
yang aneh, akan tetapi yang ia merasa aneh adalah seorang anak
muda yang sudah begini pandai dalam usia semuda ini.
"Sin Hong, hati-hatilah, mereka ini lihai dan jahat sekali!" Lie Bu
Tek memperingatkan Sin Hong. Sungguhpun pendekar buntung
sudah percaya benar-benar akan kepandaian Sin Hong, namun
melihat anak angkatnya menghadapi See, thian Tok-ong seanak
isteri, tetap saja ia merasa gelisah.
Tiba-tiba Kwan Ji Nio berseru, "Dia adalah bocah yang merampas
kitab Kwa Siucay!"
Teringatlah See-thian Tok-ong. Dahulu ketika ia berusaha
merampas kitab dari tangan Kwa-siucai, ia telah bertemu dengan
seorang bocah yang luar biasa sekali, yang seorang diri sudah dapat
melarikan diri dari kejarannya dan Kwa Ji Nio.
"Kaukah ini?" serunya dan cepat sekali ia memukul dada Sin
Hong dengan tangan kanan disusul pula oleh tamparan tangan kiri
ke arah pipi anak muda itu. Ia masih memandang rendah kepada
Sin Hong, maka ia masih mempergunakan tangan kosong. Biarpun
hanya pukulan dan tamparan tangan kosong, namun bahayanya
melebihi sambaran senjata tajam, oleh karena kakek gundul dari
barat ini memiliki tenaga Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam)
hingga pertemuan antara lengan dengan lengan saja sudah dapat
membuat lawan terluka oleh racun.
Sin Hong bukan seorang bodoh. Dahulu ketika ia sedang menuju
ke Hoa-san, sudah pernah bertemu dengan keluarga iblis ini, dan ia
sudah menderita luka karena Hek-tok-ciang. Akan tetapi Sin Hong
dahulu bukanlah Sin Hong sekarang. Ia telah mempelajari kitab
pengobatan dari gurunya, yakni Kwa-siucai, dipelajarinya dengan
amat tekun sampai bertahun-tahun di tempat persembunyiannya,
yakni di dasar jurang Luliang-san. Maka sekarang tanpa ragu-ragu
lagi ia menggerakkan kedua tangan sekaligus, kedua tangannya
menangkis pukulan dan tamparan itu.
"Ayaaa...!" See-thian Tok-ong terhuyung mundur sampai tiga
langkah, akan tetapi ia segera tertawa bergelak karena tadi ketika
478
melihat anak muda itu berani menangkis, ia telah mengerahkan
seluruh tenaga Hek-tok-ciang sehingga ia percaya bahwa kini kedua
lengan pemuda itu tentu telah kemasukan racun yang banyak sekali
sehingga tak lama kemudian pemuda itu akan roboh sendiri.
Memang benar ia tadi terkejut bukan main karena pertemuan dua
pasang lengan itu membuatnya terhuyung tiga langkah, tanda
bahwa tenaga sinkang dalam tubuh anak muda ini benar benar
mengagumkan sekali, akan tetapi Raja Racun ini percaya bahwa
Hek-tok-ciang pasti takkan mengampuni nyawa lawannya.
"Bocah, tenaganiu besar juga. Akan tetapi lekas kau berlutut agar
aku dapat mengampuni dan memberi obat penawar untuk racun di
kedua lenganmu!"
Sin Hong tersenyum. Tadi sebelum turun tangan, ia telah
menggosok kedua tangannya dengan obat penawar racun. Ia tahu
bahwa biarpun dalam hal kepandaian silat ia tak usah takut
menghadapi keluarga iblis itu, akan tetapi ia harus berlaku hati-hati
terhadap racun mereka. Ini pula sebabnya maka ia agak terlambat
turun tangan sehingga Ah Kai sampai tewas secara mengenaskan di
tangan Raja Racun itu.
"See-thian Tok-ong siapa takut menghadapi racunmu? Majulah!"
See-thian Tok-ong tertegun. benarkah bocah ini kuat
menghadapi pengaruh Hek-tok-ciang? Kemudian ia teringat dan
berubahlah wajahnya. Bocah ini dahulu telah membawa lari kitab
peninggalan Kwa-siicai!
“Bocah sombong, siapakah namamu? Kami tidak biasa bertempur
dengan orang-orang tak bernama."
"Orang gila menganggap yang waras gila, itu sudah wajar. Orang
sombong menyatakan orang lain sombong, itu pun tak aneh. Seethian
Tok-ong, aku yang muda dan bodoh bernama Wan Sin Hong,
anak angkat dan Gi-hu Lie Bu Tek ini." Ia menunjuk ke arah Lie Bu
Tek yang memandang kagum kepada putera angkatnya ini.
"Bagus! Wan Sin Hong, kami pun bukan orang yang tidak tahu
urusan. Tadinya kami datang dengan maksud hendak menduduki
kursi Ketua Hek-kin-kaipang. Akan tetapi melihat muka Gi-humu,
479
kami membatalkan niat itu dan akan pergi dari sini apabila kau suka
menyerahkan semacam benda kepadaku."
"Kau tentu minta kitab peninggalan Kwa Suhu, bukan?" kata Sin
Hong sambil tersenyum.
Diam-diam See-thian Tok-ong terkejut. Ah, bocah ini terlalu
berbahaya, tidak saja berkepandaian tinggi, juga memiliki
kecerdasan otak yang menjadikan bocah ini seorang lawan berat,
pikirnya. Tanpa diketahui oleh orang lain, See thian Tok-ong
menggerakkan tangan bagai tanda rahasia kepada anak isterinya
serentak membantunya apabila terjadi pertempuran. Akan tetapi
pada mulutnya ia tersenyum.
"Wan Sin Hong kau benar-benar cerdik. Memang kitab itulah
yang kumaksudkan. Kau tahu aku paling suka main-main dengan
racun, maka kitab itu amat kubutuhkan untuk mempelajari penawar
racun, agar nyawaku tidak terancam bahaya."
"Kakek tua, kau memang pandai memutar omongan. Seorang
yang sudah disebut Raja Racun seperti engkau ini mana mungkin
takut akan racun lagi. Kau sendiri sudah merupakan racun dunia
yang paling berbahaya! Tentang kitab, kitab itu kupindahkan dalam
kepala. Kata-kata memindahkan kitab ke dalam kepala ini berarti
bahwa dia sudah menghapal seluruh isi kitab ke dalam ingatan dan
kitab itu sendiri mungkin sudah lenyap.
Memang bukan maksud sebenarnya dari See-thian Tok-ong
untuk minta kitab lalu pergi. Andaikata kitab itu benar ada dan oleh
Sin Hong diberikan kepadanya, tak mungkin ia mau pergi begitu
saja. Bukan watak See-thian Tok-ong seanak isteri untuk mengalah
kepada orang lain. Maka begitu mendengar jawaban ini, ia berseru
keras disusul gelak ketawanya yang menyeramkan dan di lain saat
ia telah menyerang Sin Hong dengan senjatanya yang luar biasa
dan hebat, yakni Ngo tok-mo-jiauw (Cakar Iblis Lima Racun) yang
berupa sepasang tangan merupakan cakar dengan kuku masingmasing
cakar mempunyai lima warna yang berbetla.
Hampir berbareng, secara bertubi-tubi Kwan Ji Nio sudah
melompat dan dari atas menyambar ke arah kepala Sin Hong,
menyerang dengan rantingnya yang tak kalah lihainya. Adapun Ban
480
beng Sin-tong Kwan Kok Sun sambil tertawa terkekeh-kekeh lalu
maju pula menyerang dengan senjatanya yang mengerikan yakni
seekor ular yang dipergunakan bagai senjata pian lemas. Kalau
kepala ular yang di depan dan diayun, kepala ular ini dapat
menggigit, sedangkan kalau ekornya yang di depan maka ekor ini
bisa dipergunakan sebagai cambuk. Yang hebat, baik gigitan
maupun sabetan ekor keduanya dapat menewaskan lawan karena
mengandung bisa yang kuat sekali.
Dalam detik-detik yang hampir berbareng sepasang cakar di
tangan See-thian Tok-ong menyerang ke arah muka dan perut,
ranting di tangan Kwan Ji Nio menotok ubun-ubun kepala,
sedangkan kepala ular yang dipegang oleh Kwa Kok Sun meluncur
untuk menggigit leher Sin Hong!
Tiga macam serangan ini dilakuka oleh ahli-ahli silat yang lihai,
dan satu serangan berarti datangnya maut yang hendak
mencengkeram nyawa. See-thian Tok-ong dan anak isterinya sudah
merasa yakin bahwa pemuda yang mereka serang itu pasti akan
roboh dan kiranya tak mungkin dapat menyelamatkan diri. Apalagi
dalam pandangan mata para pengemis Hek kin-kaipang.
Sungguhpun tadinya mereka melongo dan terheran-heran disertai
rasa kagum besar terhadap pemuda anak angkat Lie Bu Tek yang
tak mereka sangka-sangka ternyata memiliki kepandaian yang
melebihi Lie Bu Tek dan Ah Kai sendiri, namun sekarang melihat
pemuda itu dikeroyok tiga secara demikian hebat, mereka merasa
gelisah dan khawatir. Hanya Lie Bu Tek seorang yang masih berlaku
tenang, biarpun dadanya juga berdebar. Pendekar buntung ini
sudah tahu betul bahwa anak angkatnya itu telah mewarisi
kepandaian yang luar biasa dan tiada keduanya di kolong langit ini,
kepandaian istimewa dari Pak Kek Siansu.
Memang serangan dari See-thian Tok-ong seanak isteri itu bukan
main dahsyatnya dan kalau tokoh kang-ouw yang manapun juga
menghadapi serangan ini, pasti sukar dapat meloloskan diri.
Namun dengan sekali menggerakkan tubuh, Sin Hong berkelebat
dan lenyap dari kepungan senjata-senjata maut itu. Demikian cepat
gerakan tubuh pemuda ini sehingga bagi mata para anggauta Hekkin-
kaipang dia seakan akan telah menghilang dan mempunyai ilmu
481
siluman. Akan tetapi bagi mata Lie Bu Tek dan ketiga lawan yang
mengeroyok Sin Hong pemuda itu telah mempergunakan ginkang
yang istimewa menerobos di antara senjata sambil memutar
tongkat, sedangkan tangan kiri membuat gerakan memutar dengan
tenaga sinkang tinggi sehingga tiga orang lawannya tak dapat
dekat!
Tentu saja See-thian Tok-ong menjadi penasaran sekali. Sambil
mengeluarkan suara menyeramkan, ia lalu mendesak Sin Hong
dibantu oleh Kwan Ji Nio dan Kwan Kok Sun. Di lain saat terjadilah
pertandingan yang amat hebat. Pertandingan ini berjalan demikian
serunya sehingga sukar diikuti oleh pandang mata. Bahkan Lie Bu
Tek sendiri merasa pening menonton pertempuran itu. Tubuh Sin
Hong lenyap terbungkus oleh gulungan sinar menghitam, yakni
sinar tongkatnya yang digerakkan cepat sekali menurut gerak tipu
dari jurus-jurus Ilmu Silat Pak-kek-kiam-sut. Bukan main hebatnya
kepandaian pemuda mi. Kalau mempunyai pedang Pak-kek-sin-kiam
ditangan, agaknya keadaannya menjadi lain.
Biarpun hanya bersenjata sebatang tongkat pendek, namun
desakan tiga orang tangguh itu selalu membentur benteng kuat dari
tongkat hitam Hek-kin-kaipang. Adapun hawa beracun yang keluar
dari ular Kwan Kok Sun dan dari sepasang Ngo-tok-mo-jiauw di
tangan See-thian Tok-ong, yang amat berbahaya dan baunya saja
cukup merobohkan lawan, agaknya tidak mempengaruhi pemuda itu
sedikitpun juga. Memang, selain memiliki sinkang yang sudah tinggi
tingkatnya, pemuda ini pun telah menelan sebutir pel merah yang
mengeluarkan bau harum memenuhi mulut dan hidungnya, dan
obat ini mempunyai khasiat mencegah hawa beracun yang hendak
memasuki hidung dan mulut.
Tiga puluh jurus telah lewat dan biarpun ia dapat melindungi
tubuhnya dengan amat kokoh, namun sukar juga bagi Sin Hong
untuk menembus kepungan lawan dan untuk membalas menyerang.
Kedua belah pihak maklum bahwa kalau dilanjutkan, pertempuran
ini akan berlangsung lama sebelum salah satu pihak menderita
kerugian.
Tiba-tiba sebatang tongkat butut meluncur dan menangkis
ranting di tangan Kwan Ji Nio. Tongkat butut itu berada di tangan
482
seorang pengemis tua yang datang-datang membantu Sin Hong
sambil berkata,
"See-thian Tok-ong seanak isteri benar benar tak tahu diri, berani
mengganggu calon bengcu (ketua) delapan penjuru!"
See thian Tok-ong dan anak isteri terkejut. Terutama sekali Kwan
Ji Nio kaget ketika merasa betapa rantingnya terpental karena
bertemu dengan tongkat butut itu. Mereka belum tahu siapa-kah
adanya pengemis tua ini, akan tetapi harus diakui bahwa
gerakannya cukup lihai, jauh lebih Iihai daripada Pendekar Buntung
Lie Bu Tek.
Pada saat itu, kakek yang baru datang berseru kuat, "Ayaaa, juga
muridku Ah Kai telah kalian bunuh? Benar-benar keji dan jahat,
tidak segan membunuh seorang gagu!" Setelah berkata demikian
kakek pengemis ini lalu memutar tongkanya menjadi makin seru.
Kepandaian kakek ini hampir seimbang dengan kepandaian Kwan
ji Nio, maka See-thian Tok-ong dan puteranya tidak membantunya
karena lebih penting mengeroyok Sin Hong yang benar-benar luar
biasa tangguhnya.
Di dalam pengeroyokan tiga orang tadi, yang membuat Sin Hong
agak sibuk adalah Kwan Ji Nio, karena nyonya ini amat gesit dan
cepat gerakannya. Memang ginkang dari nyonya tua ini lihai sekali
sehingga ia disebut ahli Tee-in ciong (Loncat Tangga Awan). Kini
setelah nyonya ini meninggalkannya untuk menghadapi kakek
pengemis yang mengaku guru Ah Kai, Sin Hong merasa agak
longgar.
"Locianpwe yang mengaku guru Saudara Ah Kai, siapa nama
Locianpwe yang mulia? Dan mengapa pula menyebut boanseng
sebagai calon bengcu delapan penjuru?" Biarpun dikeroyok oleh dua
orang pandai, Sin Hong masih sempat bercakap-cakap dengan
kakek itu!
Kakek itu mengeluarkan suara ketawa aneh, nampaknya girang
sekali.
"Sicu (Orang Gagah) seorang diri kuat menghadapi keroyokan
See-thian Tok ong seanak isteri, orang gagah lain manakah yang
483
sanggup melakukan hal ini? Sicu ternyata telah mewarisi kepandai,
luar biasa dan kalau lohu tak salah lihat, Sicu telah mewarisi
kepandaian PakKek Siansu. Maka sudah sepatutnya Sicu yang
dicalonkan untuk menjadi bengcu delapan penjuru dalam pemilihan
yang akan datang! Ketahuilah, lohu (aku yang tua) adalah Camkauw
Sin-kai, seorang pengemis perantau yang miskin."
Semua orang terkejut mendengar ini. Pantas saja demikian
gagah, tidak tahunya dia adalah tokoh persilatan yang amat
terkenal namanya, akan tetapi yang selalu menyembunyikan diri
sebagai seorang jembel sengsara. Ayah dari Kiang Cun Eng dahulu
kenal kepada tokoh ini, bahkan seringkali mendapat petunjuk.
Semua anggauta Hek-kin-kaipang, biarpun belum pernah bertemu
muka, di dalam hati mereka menghormat pengemis tua ini.
Namun, nama besar Cam-kauw Sin-kai tidak berarti banyak bagi
See-thian Tok-ong seanak isteri. Mereka terus saja mendesak dan
Kwan Ji Nio juga tidak gentar. Rantingnya bergerak laksana kilat
menyambar-nyambar. Dalam hal lweekang, boleh jadi ia masih
kalah setingkat oleh kakek pengemis ini, namun ginkangnya terang
lebih tinggi dan hebat.
Selagi pertempuran berjalan seru-serunya, tiba-tiba terdengar
suara nyaring sekali dan dari atas menyambar turun seekor burung
kim-tiauw. Suara ini disusul oleh suara mendesis dan muncullah
puluhan ekor ular berbisa, berlenggang-lenggok menuju ke tempat
pertempuran. Akan tetapi selagi para pengemis Hek-kin-kaipang
menjadi gempar, bayangan seorang laki-laki muda berkelebat.
Beberapa kali tangannya diayun dan matilah ular-ular itu. Bahkan
ketika kim-tiauw menyambar turun, pemuda ini memukul dengan
kedua tangannya ke depan.
"Buk...!" Burung itu terpental dan roboh dengan nyawa
melayang.
Bukan main marahnya Kwan Kok Sun melihat ular-ularnya dan
burung kesayangannya tewas. ia memekik nyaring meninggalkan
Sin Hong dan sekaligus menyerang pemuda baju biru itu dengan
ularnya. Pemuda itu tertawa mengejek,
484
"Kwan Kok Sun, apakah kau tidak kenal lagi kepadaku?" Sambil
berkata demikian, dengan berani ia mengulur tangan menyambar
leher ular itu dan sekali meremas, leher ular itu hancur!
"Kong .Ji.. !!" Kwan Kok Sun berseru kaget.
Seruan ini keras sekali dan akibatnya aneh. Semua pertandingan
berhenti saketika. See-thian Tok-ong dan isterinya melompat
mundur sehingga Cam-kau Sin kai terheran-heran dan juga
menghentikan gerakannya. Sin Hong sendiri melompat dekat
pemuda baju biru itu memandangnya dengan mata terbelalak. Lie
Bu Tek juga berlari menghampiri dan memandang kepada pemuda
yang baru datang dengan sinar mata tajam. Semua orang
memandang kepada pemuda ini yang bukan lain adalah Liok Kong
Ji.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Liok Kong Ji
berhasil membawa lari Nalumei, puteri kepala suku bangsa Naiman
itu. Nalumei yang cantik itu yang tadinya tertawan oleh Kong Ji dan
menganggap pemuda ini sebagai musuh membantu orang-orang
Mongol, setelah dibawa lari oleh Kong Ji merasa suka dan kagum
kepada pemuda ini. Ia bahkan jatuh hati kepada Liok Kong Ji
pemuda yang berwajah tampan dan pandai mengambil hati orang
ini. Apalagi ia tahu bahwa Kong Ji berkepandaian tinggi luar biasa
dan sekarang, setelah ia menjadi kekasih pemuda ini, kiranya hanya
Kong Ji seoranglah yang dapat melindungi dirinya, dapat membalas
sakit hatinya kelak terhadap Temu Cin dan pasukannya yang sudah
membunuh ayahnya dan membasmi bangsanya.
Di lain pihak, Kong Ji benar-benar boleh merasa puas
mendapatkan seorang kawan atau kekasih seperti Nalumei. Tidak
saja nona suku bangsa Naiman ini cantik jelita dan gagah perkasa,
juga nona ini amat penurut dan setia kepadanya. Di samping
menghiburnya, nona ini juga dapat menjadi seorang pembantu yang
amat berharga dan boleh dipercaya.
Bersama kekasihnya ini, setelah meninggalkan daerah utara,
Kong Ji berpesiar ke pelbagai tempat indah. Di mana mana ia
meninggalkan bekas tangannya merobohkan jago silat jago silat
yang menjadi tokoh terutama di daerahnya, melakukan pencurianpencurian
barang-barang indah berharga dan emas permata untuk
485
dihadiahkan kepada Nalumei. Dan ada beberapa kali Kong Ji
memuaskan nafsunya yang seperti iblis, mencuri, membunuh dan
mengganggu anak bini orang! Akan tetapi hebatnya, semua
perbuatannya yang termasuk perbuatan busuk dan jahat, dilakukan
tanpa diketahui orang lain, bahkan Nalumei sendiri yang menjadi
kekasihnya atau boleh juga disebut isterinya sama sekali tak pernah
mimpi bahwa Kong Ji telah melakukan semua perbuatan itu. Tentu
saja Nalumei tahu bahwa kekasihnya suka mengambil barang
barang berharga dari kaum bangsawan untuk diberikan kepadanya,
akan tetapi dia tidak menganggap hal ini sebagai kejahatan.
Kalau orang berhadapan dengan Kong Ji, ia pasti takkan pernah
menyangka bahwa pemuda ini mempunyai watak buruk. Sebaliknya,
dipandang dari luar, pemuda ini mempunyai gerak-gerak yang halus
dan sopan, tutur sapanya halus, dan senyumnya murah. Bahkan
pedang Pak-kek Sin-kiam yang dirampasnya dari Go Hui Lian, tak
pernah diperlihatkannya kepada umum dan selalu disembunyikan di
balik baju luarnya. Dalam sepak terjangnya yang sudah-sudah
menghadapi para tokoh besar di dunia kang-ouw yang ia tantang
berpibu dan ia kalahkan, ia selalu mempergunakan kedua tangan
kosong. Tak seorang pun tokoh kang-ouw dapat menghadapinya
lebih dari lima puluh jurus. Kepandaian pemuda ini memang lihai
sekali yang tentu saja tidak amat mengherankan apabila diingat
bahwa Liok Kong Ji telah mempelajari berbagai ilmu silat tinggi dari
tokoh-tokoh besar. Ia pernah menjadi murid pamannya sendiri,
yakni Liok San tokoh Kwan-im-pai lalu mendapat gemblengan dari
Liang Gi Tojin dan Lie Bu Tek tokoh-tokoh Hoasan-pai. Setelah itu,
ia menerima warisan ilmu silat tinggi dengan Ilmu Pukul Tin-sankang
dari Giok Seng Cu, bahkan selama empat tahun dilatih secara
hebat oleh See-thian Tok-ong. Kemudian dan yang terakhir ini
membikin kepandaiannya memuncak tinggi, ia menerima
gemblengan bertahun-tahun lamanya dari Hwa l Enghiong Go Ciang
Le. Semua ditambah lagi dengan kecerdikan otaknya yang luar biasa
sehingga dia dapat menciptakan sendiri ilmu silat tinggi dengan cara
merangkai dan menyusun semua ilmu silat itu dijadikan satu.
Setelah terbebas dari kejaran pasukan Monggol, dalam
perantauannya, sesuai dengan desakan dan bujukan Nalumei
kekasillnya, setiap kali mengalahkan lalu berkenalan dengan tokoh
486
kang-ouw, Kong Ji membicarakan cita-cita Temu Cin yang hendak
menguasai benua Tiongok. Ia bicara seperti seorang patriot yang
hendak membela tanah air, maka di mana-mana ia dihormati orang,
mendapat dukungan banyak orang-orang gagah dan dianggap
sebagai seorang pendekar muda yang sakti dan berjiwa patriot.
Padahal semua ini dilakukan untuk memusuhi Temu Cin dan untuk
memuaskan hati dan perasaan Nalumai yang tentu saja makin
mencintainya. Juga di samping maksud-maksud ini, masih ada citacita
lain yang selalu menggerogoti hatinya, yang selalu membuat ia
termenung. Ia merasa iri kalau mendengar orang memuji-muji dan
menjunjung tinggi nama besar Hwa I Enghiong Go Ciang Le. Ia
ingin menggantikan nama ini, ingin duduk di tempat tertinggi dari
golongan silat. Ingin ia mengepalai seluruh dunia kang-ouw sebagai
seorang yang paling dihormati dan paling pandai. Untuk mencapai
cita-cita ini, ia harus mempunyai banyak pendukung agar pada
kesempatan para orang gagah memilih bengcu ia akan mendapat
suara terbanyak.
Kemudian ia mendengar bahwa di pusat perkumpulan Hek-kinkaipang,
yakni di Bi-nam-bun, diadakan pemilihan untuk ketua baru.
Mendengar berita ini Kong Ji tergerak hatinya. Ia tahu bahwa Hek
kin kaipang adalah sebuah perkumpulan yang besar dan
berpengaruh besar. Kalau ia berhasil menduduki kursi ketua
perkumpulan besar ini, sebentar saja namanya tentu akan terangkat
tinggi dan ini akan memudahkan tercapainya cita-citanya. Oleh
karena waktu diadakan pemillhan ketua itu sudah amat dekat,
sedangkan Nalumei tidak memiliki kepandaian setinggi dia, maka
kalau ia pergi dengan Nalumei tentu akan terlambat. Ia lalu
menyuruh Nalumei menunggunya di tempat itu yakni di dalam
sebuah kamar hotel besar di kota Kun-leng, dan ia sendiri
mempergunakan kepandaiannya untuk melakukan perjalanan
secepatnya ke Bi-nam-bun. Nalumei yang tahu akan maksud dan
cita-cita kekasihnya, tidak membantah.
Demikianlah ketika ia tiba di Bi-nam-bun, ternyata ia telah
terlambat satu hari, ia mendengar bahwa ketua Hek-kin-kaipang
telah terpilih dan kini perkumpulan itu pindah ke Pulau Kim-ke-tho.
Dengan kecewa akan tetapi tidak putus asa, pemuda yang bercita
cita besar ini lalu menyusul ke Kim-ke-tho dan secara kebetulan
487
sekali ia menyaksikan pertempuran besar. Ia tidak mengenaI
pemuda yang dikeroyok See-Thian Tok-ong dan Kwan Kok Sun,
akan tetapi melihat seorang pengemis tua bertempur melawan
Kwan Ji Nio, Kong Ji berpendapat bahwa tentu pengemis tua itu
seorang tokoh Hek-kin-kaipang. Maka untuk menonjolkan diri dan
untuk mencari nama baik di kalangan pengemis, ia segera turun
tangan, membunuh burung rajawali dan ular-ular kemudian
membunuh pula ular yang dipakai sebagai senjata oleh Kwan Kok
Sun.
Ketika Lie Bu Tek berlari menghampirinya, wajah Kong Ji
berubah, hatinya berdebar. Akan tetapi ia tidak takut, bahkan tanpa
malu-malu ia lalu menjura kepada pendekar yang sudah buntung
tangannya. Sementara itu. See thian Tok-ong yang melihat betapa
pihak lawan telah bertambah dengan Liok Kong Ji dan melihat
bahwa sekali gebrak saja Kong Ji sudah berhasil mengalahkan Kwa
Kok Sun, mengertilah ia bahwa pihaknya menghadapi bencana kalau
pertempuran itu dilanjutkan.
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid XVIII
SUDAHLAH, di sini bukan tempat kami!" kata See-thian Tok-ong
sambil melompat pergi, diikuti oleh isteri dan anaknya. Lie Bu Tek,
Wan Sin Hong, dan lain-lain orang masih tertegun menghadapi Kong
Ji, maka mereka tidak berbuat sesuatu untuk menghadapi kepergian
See-thian Tok-ong dan anak isterinya. Apalagi karena Sin Hong dan
Bu Tek benar-benar terpengaruh sekali oleh munculnya Kong Ji
sehingga mereka tidak pedulikan See-thian Tok-ong dan anak
isterinya yang melarikan diri, orang-orang lain juga tidak berani
turun tangan sendiri. Bahkan Cam-kauw Sin-kai sendiri merasa tidak
mampu melawan See-thian Tok-ong yang lihai, maka ia pun diam
saja, hanya memandang kepada Kong Ji dengan mata penuh
pertanyaan.
"Suheng, alangkah besarnya hatiku mendapat kebahagiaan
bertemu dengan Suheng di sini. Kukira... kusangka... Suheng sudah
488
tidak ada lagi di dunia ini,” suara Kong Ji terdengar menggetar
saking terharunya.
Senyum yang mengembang di bibir Lie Bu Tek benar-benar sukar
dilukiskan dan sukar pula dimengerti, akan tetapi Sin Hong tahu
betapa perih hati gi-hu bertemu dengan orang yang dulu telah
membuntungkan sebelah lengannya. Sambil mengerak-gerakkan
pundak kanannya yang tak berlengan lagi, Bu Tek berkata,
"Hm, tentu kau kecewa mengapa dulu tidak membuntungi
leherku saja hingga sekarang tak usah malu-malu melihat lenganku
yang butung, bukan?"
Tiba-tiba Kong Ji berlutut dan menangis. Bukan main pandainya
anak muda ini bermain sandiwara. Tak seorang pun yang hadir di
situ, juga Sin Hong sendiri tidak, yang tak ikut merasa terharu
melihat kesedihan pemuda ini dengan kata-kata yang keluar
terputus-putus penuh kesayuan,
"Suheng... Suheng yang mulia, mengapa Suheng berkata
demikian? Ah, sudah lama siauwte merasa betapa semua perbuatan
siauwte itu tentu akan mendatangkan salah sangka.... Kalau Suheng
tidak sudi mendengar omongan dan alasan siauwte, dan
menganggap siauwte benar-benar telah bertindak jahat, Suheng
boleh turun tangan sekarang juga membunuhku...."
Apalagi seorang muda seperti Sin Hong, sedangkan Lie Bu Tek
yang sudah banyak pengalamannya, mendengar kata-kata dan
getaran suara penuh keharuan menjadi ragu-ragu dan ingin sekali
mendengar selanjutnya apa yang akan dikatakan oleh Kong Ji.
"Ada musuh besar datang membasmi partai, kau tidak membela
nama baik partai dan tidak membela pihak sendiri. Bahkan
mengkhianati, lari ke musuh dan membuntungi lenganku. Apakah
kau sekarang hendak bilang bahwa semua perbuatan itu tidak
berdosa?" tanyanya.
Kong Ji bangkit dan berdiri, lalu menjura. Memang, berlutut tadi
hanya siasatnya belaka agar supaya ia dapat mengatur rencananya
dan dapat bermain sandiwara lebih mudah lagi karena ketika
berlutut mukanya tersembunyi. Kini ia menjura dan berkata dengan
suara lega, "Banyak terima kasih bahwa Suhe sudi mendengar
489
alasanku. Tidak akan siauwte sangkal bahwa siauwte memang telah
melakukan hal yang kelihatannya amat penakut, dan pengkhianat.
Akan tetapi di balik semua perbuatan siauwte ini, sebenarnya
siauwte mempunyai maksud dan cita-cita yang tertentu. Kalau
siauwte tidak melakukan hal itu, yakni tidak berlari kepada musuh,
pasti siauwe akan tewas dan apakah gunanya itu?
Kalau siauwte masih hidup dan mengumpulkan kepandaian,
bukankah siaute berarti masih mempunyai kesempat untuk
membalas dendam ? Untuk membuang nyawa secara sia sia dan
mati dalam penasaran? Hal kedua yang amat mendukakan hati
siauwte, adalah tentang pembuntungan lengan Suheng.! Memang
nampaknya keji, akan tetepi hendaknya Suheng berani akui bahwa
kalau siauwte tidak melakukan pembuntungan lengan itu, kiranya
pada waktu itu juga Suheng sudah dibunuh oleh musuh-musuh kita!
Siauwte sengaja membuntungi Suheng sebenarnya dengan maksud
untuk menyelamatkan nyawa Suheng!"
Lie Bu Tek tertegun dan melenggong. Tentu saja ia tidak mau
menerima alasan di dalam hatinya, akan tetapi oleh karena pada
lahirnya semua alasan ini memang tepat sekali dan bahkan berbukti,
yakin sampai sekarang dia sendiri masih hidup hanya karena dahulu
Kong Ji membuntungi lengannya, maka ia tak berkata apa-apa.
"Alasan bagus sekali! Dan tentang usahamu untuk membunuhku,
apakah ada alasannya pula?"
Mendengar suara im, bagaikan kilat cepatnya tubuh Kong Ji
bergerak membalik. Lie Bu Tek kagum bukan main melihat gerakan
itu dan ia dapat menduga bahwa Kong ji benar-benar telah memiliki
kepandaian tinggi. Tadi pun dengan sekali pukul dapat menewaskan
kimtiauw, ia sudah kagum sekali.
Kong Ji yang mendengar suara teguran itu kaget, karena ia
mengenal suara itu. Setelah berhadapan dengan orangnya ia
terheran. Ternyata ia berhadapan dengan pemuda yang lihai, yang
tadi dikeroyok oleh See-thian Tok-ong dan Kwa Kok Sun! Setelah
kini berhadapan baru ia mengenal bahwa pemuda ini bukan lain
adalah Wan Sin Hong!
490
"Sute..., kau juga berada di sini..?” katanya agak gagap karena ia
tidak menyangka sama sekali bahwa akan bertemu dengan Sin
Hong di tempat itu.
Sin Hong tersenyum dan pada saat ia dapat menangkap kerling
mata gi-hunya. Dalam kerling mata itu ia membaca cegahan agar ia
tidak terburu nafsu dan teringatlah Sin Hong akan nasehat- nasehat
gi-hunya bahwa ia tidak boleh secara serampangan dan mudah
menaruh dendam atas perbuatan jahat orang kepada diri sendiri.
"Kau masih mengaku aku sebagai Sutemu sesudah kau gagal
dalam usahamu membunuhku?" ejeknya.
Kong Ji mengerutkan kening dan wajahnya yang tampan itu
nampak muram, kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Memang nasibku yang amat buruk, sudah ditinggal mati Ayah
Bunda, masih dibenci oleh banyak orang pula. semua perbuatanku
dianggap keliru, padahal apakah salahku dalam semua perbuatan
itu? Sute memang betul pada hari itu aku berusaha membunuhmu,
akan tetapi kau harus ingat bahwa aku melakukan hal itu, karena
tentu kau akan dibunuh pula oleh mereka. Dan untuk dapat
mencapai cita-citaku membalas dendam, sudah tentu aku perlu
memperbaiki pihak mereka agar aku lebih dulu dapat terbebas dari
bencana. Murid-murid Hoa-san-pai hanya tinggal aku dan kau pada
waktu itu. Kalau aku pun bersikap keras seperti engkau dan kita
berdua dibunuh, siapakah kelak yang membalas dendam suhu Liang
Gi Tojin?"
Seperti juga Lie Bu Tek, Sin Hong merasa kalah bicara, maka ia
diam saja. Lie Bu Tek lalu bertanya. "Dan kau datang ke sini dengan
maksud apakah?"
"Stauwte mendengar bahwa Hek-kin-kaipang memilih pengurus
baru. Mengingat. bahwa Kiang-pangcu Ketua Hek n-kaipang adalah
sahabat baik dari Suheng, maka siauwte sengaja datang untuk
menyaksikan pemilihan itu dan kalau perlu, siauwte dengan suka
rela hendak menyumbangkan tenaga."
"Tak perlu..." Lie Bu Tek menggeleng-gelengkan kepalanya. "tak
perlu bantuanmu..." Kemudian ia memberi perintah kepada para
pengemis Hek-kin-kaipang untuk mengurus para korban. Akibat
491
amukan See thian Tok-ong banyak anggauta Hek-kin-kaipang yang
tewas dan luka!
Kong Ji merasa betapa sikap Lie Bu Tek terhadapnya masih
dingin sekali dan ia tahu bahwa biarpun kesalahannya yang lalu
sudah agak terhapus oleh alasan- alasannya namun ia tetap menjadi
seorang yang tidak disuka. Ia mengangkat pundaknya dan berkata
lagi, "Tidak apalah kalau begitu. Setidaknya siauwte mengharap
kepada Suheng agar kelak Hek-kin-kaipang suka menyokong suara
untuk siauwte dalam pemilihan bengcu di puncak Ngo-heng-san!"
Tiba-tiba Cam-kauw Sin-kai mengeluarkan suara ejekan daei
hidung, kemudian, kakek ini tersenyum dan berkata, ?Bagus sekali.
Sekaligus ada dua orang muda lihai di Pulau Kim-ke-tho yang
dicalonkan menjadi bengcu. Betapapun juga, aku jauh lebih suka
memilih ahli waris dari Pak Kek Siansu!" Sambil berkata demikian ia
mengangguk ke arah Sin Hong.
Kong Ji mehrik ke arah Sin Hong, senyum di bibirnya mengejek
dan masam. “Begitukah? Adikku Wan Sin Hong yang telah menjadi
calon bengcu dan mendapat sokongan segala macam pengemis dan
jembel? Selamat, selamat! Adapun tentang ahli waris Pak Kek
Siansu, aku yang bodoh tidak berani membantah. Akan tetapi aku
pun berhak menyebut diri sebagai ahli warisnya, karena aku adalah
murid terkasih dan Hwa I Enghiong Go Ciang Le."
Lie Bu Tek yang tadinya memimpin orang-orang mengurus
jenaiah dan mereka yang terluka, dan tidak mau memperdulikan
lagi kepada Kong Ji, ketika dengar omongan ini, seketika melompat
dan menghadapi Kong Ji. "Apa katamu? Kau murid Ciang Le? Tak
mungkin"
Kong Ji tersenyum. "Dia adalah guruku, bagaimana Suheng
mengatakan tak mungkin? Siauwte adalah murid aseli, murid
terkasih dari Hwa I Enghiong, dan oleh karena itu, siauwte-lah yang
menjadi ahli waris sejati dari Pak Kek Siansu." Sambil berkata
demikian ia menggerakkan tangan kanannya dan sekejap kemudian,
pedang Pak-kek Sin-kiam telah berada di tangannya. "Inilah Pak-kek
klam, pedang pusaka peninggalan Kek Siansu, yang diberikan
kepadaku oleh Suhu Go Ciang Le. Apakah bukti ini masih belum
cukup?"
492
Semua orang tertegun, lebih-lebih Sin Hong. ia ingat betul bahwa
dahulu dialah yang menemukan pedang itu bersama kitab di dasar
jurang di puncak Luliang-san, kemudian pedang itu dirampas oleh
kim-tiauw yang bangkainya masih meringkuk di situ karena pukulan
Kong Ji tadi. Terampasnya pedang oleh kim-tiauw berarti pedang itu
terjatuh ke dalam tangan See-thian Tok-ong, bagaimana sekarang
oleh Kong Ji dikatakan bahwa ia menerimanya dari Ciang Le?
Lie Bu Tek tak bisa berkata sesuatu, hanya memandang dengan
mata terbelaIak. Kong Ji tersenyum kemenangan lalu
menyarungkan pedangnya kembali di dalam sarung yang
tersembunyi di balik bajunya.
"Nah, Suheng. Setelah Suheng tahu bahwa siauwte adalah murid
Hwa I Enghiong, ahli waris dari Pak Kek Siansu dan keturunan yang
berhak memiliki pedang Pak-kek Sin-kiam, apakah Suheng kelak
tidak membawa Hek-kin-kaipang untuk menyokong suara kepada
siauwte dalam pemilihan bengcu?"
"Kau mau menjadi bengcu atau tidak, apa sangkut pautnya
dengan aku? Aku tidak mau pedull." Setelah berkata demikian, Lie
Bu Tek mengundurkan diri untuk melanjutkan pekerjaannya
mengurus para korban.
Cam-kauw Sin-kai tertawa. "Aku tetap menyokong putera Liehiap
ini!"
Kong ji menjadi panas perutnya. Agaknya semua orang menaruh
hormat dan suka kepada Sin Hong, dan hal ini menggelisahkai
hatinya. Dia boleh menghadapi puluhan orang saingan dalam
pemilihan bengcu, akan tetapi Sin Hong? Menggemaskan sekali!
Namun, Kong Ji dapat menekan perasaannya, bahkan sambil
tersenyum ia menghampiri Sin Hong lalu menjura sambil berkata,
"Adikku Wan Sin Hong yang baik! Kau. benar-benar beruntung
sekali dan dipilih sebagai calon bengcu. Haa... siauw-beng-cu (ketua
cilik) kionghi-kionghi, biarlah aku yang bodoh memberi selamat
kepdamu!"
Sambil merendahkan diri dan menjura, Kong Ji mengangkat
kedua tangannya seperti orang memberi hormat. Akan tetapi diamdiam
ia telah mengerahkan tenaga dan ini adalah semacam jurus
493
Pukulan Tin-san-kang yang amat hebat. Dulu Sin Hong pernah
menerima pukulan Tin-san-kang dari Giok Seng Cu, akan tetapi
pukulan itu adalah pukulan langsung dengan kepalan tangan
mengenai dada. Pukulan semacam ini adalah pukulan dengan
tenaga kasar. Akan tetapi sekarang, pukulan Tin-san-kang yang
dilakukan dari jarak terpisah tanpa mengena kulit, jauh lebih hebat
dan berbahaya.
Semua orang terkejut sekali melihat betapa tubuh Sin Hong tibatiba
terhuyung-huyung mundur sampai empat langkah, dan
mukanya kelihatan pucat. Sin Hong terpengaruh oleh pukulan Tinsan-
kang yang hebat itu, pukulan yang sekali tonjok saja sudah
membikin tewas burung kim-tiauw, karena pemuda ini tidak pernah
menyangka bahwa Kong Ji memiliki kepandaian sehebat ini. Akan
tetapi. hawa sinkang di dalam tubuhnya sudah mencapai tingkat
tinggi berkat latihan-latihan menurut petunjuk kitab peninggalan Pak
Kek Siansu, sehingga hawa sakti dalam tubuh ini dapat bergerak
dan bekerja secara otomatis. Ketika kulit dan daging dadanya
menerima sambaran hawa pukulan lawan dan merasa betapa hebat
adanya pukulan itu, hawa sinkang secara otomatis bergerak ke arah
dada dan melindungi isi dada.
Akan tetapi, kehebatan pukulan itu tetap saja. membuat Sin
Hong terhuyung-huyung ke belakang sampai empat langkah.
Mukanya menjadi pucat karena pengerah sinkang yang dahsyat
untuk melindungi dada.
Sebaliknya, Kong Ji melongo. Hampir saja ia tidak dapat percaya
akan penglihatannya sendiri. Ia tahu betul sampai di mana
dahsyatnya pukulan Tin-san-kang tadi. See-thian Tok-ong sendiri
agaknya akan terluka berat kalau berani menerima pukulan ini
seperti yang dilakukan oleh Sin Hong, tanpa menangkis atau
mengelak. Akan tetapi, Sin Hong hanya terhuyung empat langkah
ke belakaug, dan kini sudah maju lagi perlahan-lahan sambil
tersenyum'....... “
"Kong Ji, ternyata kau pernah belajar kepada Giok Seng Cu!
Tenma kasih atas pemberian selamat, akan tetapi, siapakah yang
ingin menjadi bengcu? Mungkin kau yang sudah kegilaan, akan
tetapi aku tidak. Karena itu, aku tidak berani menerima
494
pemberianmu selamat tadi, terimalah kembali!" Sin Hong menjura
dan mengangkat kedua tangan ke depan seperti yang dilakukan
oleh Kong Ji tadi.
Kong-Ji maklum bahwa ia akan menerima serangan balasan,
maka ia bersiap-siaga. ia mengumpulkan lweekangnya yang sudah
dilatih bertahun-tahun dan menggeser sedikit tubuhnya agar
serangan hawa pukulan dari Sin Hong itu tidak terlalu tepat
kenanya. Akan tetapi, biarpun ia tidak merasa sambaran angin
dahsyat, tiba-tiba ia merasa dadanya dingin sekali dan rasa dingin
ini menyerang sampai ke
dalam jantungnya. Dengan
muka pucat Kong Ji
mengeluarkan seruan
tertahan dan tiba-tiba ia
menggerakkan kedua kaki,
tubuhnya berjungkir balik,
kedua kaki di atas dan
kepalanya di bawah! Ia
berdiri dengan cara terbalik
seperti dahulu kalau berlatih
Iweekang di bawah asuhan
See-thian Tok-ong. Inilah
cara untuk memulihkan
kesehatan dan untuk
menolak hawa pukulan lawan
yang sudah melukai dalam
tubuh. Sampai beberapa kali
tubuhnya berputaran,
membuat semua orang terheran-heran dan diam-diam Sin Hong
juga tertegun karena ilmu dari Kong Ji benar-benar sudah amat
tinggi dan berbahaya.
Tak lama kemudian, setelah hawa diangin terusir dan dalam
dada, Kong Ji berkata tanpa membalikkan tubuh. "Sin Hong, kita
sama lihat saja nanti, siapa yang menang di antara kita!" Setelah
berkata demikian, tiba-tiba tubuh yang masih berjungkir balik itu
bergerak dan sekali melompat, tubuh itu sudah berada di tempat
yang jauhnya hampir sepuluh tombak dengan kedua kaki di atas
495
tanah! Kemudian, sebelum semua orang sempat mencegah. Kong ji
sudah lenyap dari situ dengan cepat sekali.
Lie Bu rek menjadi pucat. "Sin Hong, bocah itu telah menjadi
seorang iblis yang berbahaya!"
Cam-kauw Sin-kai juga berkata kagum, "Kepandaiannya benarbenar
hebat, tidak kalah oleh tokoh-tokoh besar yang lain. Akan
tetap,, aku tetap percaya bahwa mereka semua takkan dapat
menandingi Wan-situ. Karena besok pada saat pemilihan bengcu
baru, kuharap Wan-sicu tidak mengecewakan harapan orang banyak
di dunia orang gagah, yakni seorang bengcu baru yang lihai
bijaksana harus terpilih agar dunia kang-ouw dapat terpelihara dari
pada malapetaka yang didatangkan oleh orang-orang jahat."
Sin Hong tadinya tidak tertarik sama sekali tentang hal. Ia juga
sama sekali tak pernah mendengar tentang urusan ini, maka
sedikitpun juga ia tidak tertarik untuk menjadi bengcu, apalagi
ketika ia mendengar bahwa bengcu yang dimaksud bukanlah seperti
halnya seorang ketua perkumpulan seperti Ketua He kin kaipang
misalnya, melainkan seorang ketua yang mengepalai partai
persilatan di seluruh Tiongkok. Seorang bengcu yang diangkat ini
disahkan dan dtakuti oleh semua ciangbunjin (ketua) dari partaipartai
besar seperti Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan lain-lain. Dahulu
memang tidak ada bengcu seperti ini. Setiap perkumpul atau partai
persilatan mempunyai ketua dan aturan-aturan sendiri. Akan tetapi
setelah beberapa kali timbul keributan antara partai-partai itu sendiri
sehingga selalu terjadi pemecah-belahan, lalu diadakan pemilihan
bengcu itu, sehingga di bawah pimpinan satu orang, para partai itu
dapat bekerja sama dengan baik. Apalagi di waktu menghadapi
bencana yang mengancam rakyat dan negara, maka tenaga seluruh
orang kangouw dapat dikerahkan pada saat yang sama dan di
bawah komando satu saja.
Kalau Sin Hong tadinya tidak tertarik, adalah Lie Bu Tek yang
amat tertarik. Setelah penguburan dan perawatan para korban
selesai, Lie Bu Tek menjamu Cam-kauw Sin-kai dan minta kepada
kakek ini untuk memberi penjelasan lebih lanjut tentang pemilihan
bengcu.
496
Cam-kauw Sin-kai adalah seorang tokoh besar yang selalu
menyembunyikan diri, maka jarang ada orang bertemu dengannya.
Akan tetapi diam-diam pengemis tua ini adalah bekas seorang
panglima di waktu mudanya, yakni sebelum tentara Kin menguasai
Tiongkok. Oleh karena itu, selalu ia memperhatikan keadaan tanah
airnya, ia pun selalu memperhatikan keadaan rakyat dan negara.
Kepandaian Cam kauw Sin-kai memang tinggi, kiranya dapat
disejajarkan dengan kepandaian Ba Mau Hoatsu atau Giok Seng Cu,
kalau kalah pun kiranya tidak banyak. Sebegitu lama, Cam-kauw
Sin-kai hanya menerima dua orang murid. Yang pertama adalah
seorang muda rupa tampan dan gagah dan kini sudah melakukan
tugas merantau dan membela keadilan dan peri kebenaran sebagai
seorang pendekar. Yang kedua adalah Ah Kai yang baru saja gugur
oleh See-thian Tok-ong.
Di dalam perantauannya, Cam-kau Sin-kai mendengar tentang
majunya pihak hek-to atau kaum hitam yang selalu mengganggu
ketenteraman umum. Semenjak dahulu, biarpun banyak orang
jahat, namun mereka itu selalu bekerja sama secara sembunyi
karena takut akan kejaran para pendekar gagah. Akan tetapi lambat
laun keadaan berubah. Di pihak mereka itu banyak muncul orangorang
pandai, atau mungkin juga orang-orang yang tadinya
tergolong pendekar-pendekar gagah entah mengapa terjeblos dan
bahkan menggabung dalam kelompok kaum jalan hitam ini. Apalagi
setelah munculnya tokoh- tokoh seperti Giok Seng Cu, Ba Mau
Hoatsu, keluarga See-thian Tok-ong, dan juga munculnya
perkumpulan-perkumpulan jahat seperti Bu-cin-pang, Im-yang-bupai
dan lain-lain, maka pihak hek-to makin berani saja. Ada tandatanda
bahwa pihak "kaum putih" akan terdesak. Bahkan sudah ada
beritanya bahwa partai-partai besar seperti Kunlun-pai dan Go bi pai
akan diserbu oleh kaum hitam! Dahulu memang masih ada seorang
pandai seperti Pak Kek Siansu, Thian Te Siang-mo, dan lain-lain
orang yang namanya cukup ditakuti oleh para penjahat. Akan tetapi
sekarang, siapakah yang boleh diandalkan? Ada murid Pak-Kek
Siansu yang cukup ternama, yakni Hwa I Enghlong Go Ciang Le dan
isterinya Liang Bi Lan. Akan tetapi mereka sudah lama tidak muncul
di dunia kangouw sehingga nama mereka tidak begitu terkenal lagi.
497
Di samping munculnya orang-orang jahat yang mengancam
kedudukan kaum pendekar pembela kebenaran, ada juga yang amat
menggelisahkan hati Ca kauw Sin-kai, yakni penyerbuan dari tentara
Mongol di bawah pimpinan seorang gagah perkasa seperti Temu Cin
itu. Tentu saja pengemis tua bekas panglima ini tidak peduli
andaikan pemerintah Kin akan hancur lebur oleh tentara Mongol.
Akan tetapi sebagai seorang bekas panglima ia maklum bahwa
setiap peperangan pasti akan mendatangkan sengsara kepada
rakyat jelata! Dan perang perlu dicegah. Untuk mencegah ini, tidak
ada jalan lain, kecuali membantu pemerintah Kin untuk mengusir
orang-orang Mongol!
Inilah scbabnya maka terpaksa Cam-kauw Sin-kai keluar dari
tempat sembunyinya mengadakan hubungan dengan orang-orang
gagah di seluruh tanah air, dan mengusulkan pengangkatan bengcu
baru. Kemudian ia teringat akan muridnya, Ah Kai yang sedang
menuju ke Ba-nam-bun untuk menghadiri pemilihan Ketua Hek-kinkaipang
yang baru. Maka lalu menyusul ke Bu-nam-bun, karena ia
hendak menarik Hek-kin-kaipang agar supaya ikut membantu
mencari calon bengcu dan untuk ikut pula menghubungi partaipartai
lain sehingga mereka dapat satu padu.
"Demikianlah, kebetulan sekali di pulau ini aku melihat ilmu silat
Wan-sicu luar biasa. Tidak betulkah dugaanku bahwa kau adalah
ahli waris tunggal dari Pak Kek Siansu, Wan-sicu?"
Sin Hong terpaksa mengaku bahwa dialah penemu kitab
peninggalan Pak Kek Siansu.
"Bagus! Kalau begitu, sesuai pula dengan sifat dan watak
mendiang gurumu, kau harus turun tangan menyelamatkan orangorang
gagah sedunia dan juga meyelamatkan rakyat dan negara
dari serbuan orang-orang Mongol, Wan-sicu."
"Bagaimana Locianpwe bisa berkata demikian? Boanseng adalah
seorang yang masih bodoh dan hijau, bagaimana boanseng berani
lancang mengangkat diri menjadi bengcu, mengepalai orang-orang
gagah sedunia?"
"Bukan kau mengangkat diri sendiri, Wan-sicu. Akan tetapi
kamilah yang mengangkat mu."
498
"Akan tetapi bukanlah banyak orang lain seperti Liok Kong Ji tadi,
yang ingin pula menjadi bengcu?"
"Itulah bahayanya. Memang banyak orang-orang yang tidak
bersih hatinya ingin menduduki kehormatan tertinggi di dunia ilmu
silat itu, akan tetapi justru inilah yang harus dilawan dan diberantas.
Kiranya hanya kau seorang yang akan dapat menghadapi mereka
sehingga kedudukan bengcu dapat diselamatkan.”
Bicara tentang Kong Ji, kembali Sin Hong teringat akan keadaan
pemuda aneh itu. Bagaimana Kong Ji bisa menjadi murid Go Ciang
Le? Ah, mengapa ia begitu bodoh? Ia bisa tanyakan hal ini kepada
Gak Soan Li! Teringat akan ini, Sin Hong lalu minta permisi dan
meninggalkan pulau itu untuk sebentar dan sementara itu, Camkauw
Sin-kai bercakap-cakap dengan Lie Bu Tek.
Ketika Sin Hong tiba di tempat dimana ia meninggalkan Soan Li
seorang diri, ia menjadi bmgung. Soan Li tidak kelihatan lagi, sudah
lenyap dari tempat itu. Ia memanggil-manggil beberapa kali dan
berjalan ke sana ke mari, namun tidak dapat melihat gadis itu. Ia
mulai gelisah, dan menjadi makin bingung dan cemas sekali ketika
ia melihat pedang Soan Li menggeletak di atas tanah. Tak salah
lagi, gadis itu pasti telah tertawan oleh orang jahat.
"Celaka...! Dan semua ini gara-gara aku yang meninggalkannya
seorang diri. Aku harus mencarinya...."
Cepat Sin Hong kembali ke Kim-ke-tho dan dengan singkat ia
menuturkan kepada gihunya tentang hilangnya Gak Soan Li murid
Go Ciang Le.
"Gihu, dia tertawan karena kelalaianku. Aku harus pergi sekarang
juga mencarinya, siapa tahu kalau-kalau aku masih akan dapat
mengejar dan menolongnya dari tangan penjahat yang
menculiknya."
"Memang seharusnya demikian. Sayang sekali dia sudah hilang,
kalau tidak tentu aku cepat bertanya tentang tempat tinggal Ciang
Le. Kalau saja aku tahu tempatnya, tentu akan kudatangi ia dapat
kutarik untuk membantu semua usaha kita,"
499
Tiba-tiba Cam-kauw Sin-kai menepak pahanya. "Ah, mengapa
Lie-taihiap tidak tadi tadi bertanya kepada lohu? Kalau Lohu tahu
bahwa kalian ada hubungan erat dengan Hwa I Enghiong, tentu
sudah kuberi tahu dari tadi. Memang kau dapat menarik
bantuannya, kiranya hal itu jauh lebih berharga daripada mencari
bantuan sepuluh orang ciangbunjin yang ternama ! Lohu tahu
tempat tinggalnya akan tetapi karena tidak ada hubungan erat, lohu
tidak berani mengganggunya. Hwa I Enghiong tinggal di Pulau Kimbun-
to."
" Nah, kalau begitu, biar aku pergi mencari Gak-siocia dan
menolongnya. Gihu pergi mencari Hwa I Enghiong, sedangkan Camkauw
Locianpwe dapat menggantikan kedudukan ketua Hek-kin
kaipang. Bukankah ini tepat sekali?" kata Sin Hong.
Karena menghadapi urusan penting dan pula melihat bahwa Hekkin-
kaipang memang perlu dipegang oleh seorang pandai seperti
Cam-kauw Sin-kai agar jangan mudah diganggu orang jahat Lie Bu
Tek segera menyatakan persetujuannya.
Para anggauta dikumpulkan, juga Tan Lokai dipondong keluar
dalam keadaan masih terluka, kemudian setelah diumumkan bahwa
Cam-kauw Sin-kai diangkat menjadi ketua, semua orang
menyatakan setuju. Cam-kauw Sin-kai sendiri tidak mau berlaku
sungkan-sungkan atau pura-pura lagi, lalu menerima pengangkatan
itu. Ia berpesan kepada Lie Bu Tek agar supaya betul-betul
berusaha membujuk Go Ciang Le suami isteri agar suka turun
tangan dan membantu, bahkan kiranya lebih baik kalau Hwa I
Enghiong mau dicalonkan sebagai bengcu.
Maka berangkatlah Sin Hong mencari Soan Li dan pada hari itu
juga Lie Bu Tek berangkat menuju ke Pulau Kim-bun-to, mencari
Hwa I Enghiong Go Ciang Le.
-oo0mch-dewi0oo-
Sampai sepekan lebih Sin Hong mencari-cari tanpa hasil. Ia
sudah mendengar sana-sini bertanya kepada penduduk, namun
Soan Li hilang tak meninggalkan jejak. Ia seperti meraba-raba di
tempat gelap. Akhirnya di sebuah kota ia mendengar bahwa di kota
500
itu beberapa hari yang lalu memang kelihatan ada orang wanita
cantik bersama seorang muda dan seorang kakek, akan tetapi Sin
Hong tidak dapat memastikan apa Soan Li ada di antara mereka ini.
Betapapun juga, ia lalu melanjutkan perjalanannya mengejar orangorang
itu.
Akan tetapi baru saja ia keluar dari rumah penginapan di mana ia
bermalam, belasan orang anggauta polisi mengejar dan
mengepungnya.
"Penjahat keji, kau hendak lari ke mana?" bentak mereka.
Sin Hong melongo dan memandang kepada mereka dan dengan
muka bodoh.
"Kalian ini ada apakah, siang hari bolong memaki-maki orang
tanpa alasan,” tanyanya mendongkol sekali karena memang hatinya
sedang risau memikirkan Soan Li.
“Masih berpura-pura lagi? Lebih baik menurut saja kami tangkap
agar kami tak usah mempergunakan kekerasan!" Sin Hong menjadi
heran sekali.
Karena ingin tahu latar belakang kejadian ini, ia membiarkan
kedua tangannya dibelenggu tanpa melawan. Kemudian digiring ke
sebuah rumah gedung di mana banyak penduduk berdiri di luar.
Jelas kelihatan dari luar bahwa di dalam rumah gedung itu pasti
terjadi peristiwa hebat. Ketika Sin Hong digiring masuk, orang yang
menonton memaki-maki padanya dan ternyata di dalam gedung itu
juga terjaga oleh anggauta polisi. Beberapa orang pembesar sedang
melakukan pemeriksaan. Seorang di antara anggauta-anggauta
polisi yang menangkap Sin Hong memberi laporan dan ributlah
mereka. Sin Hong diseret masuk dan dihadapkan pada seorang
pembesar yang berkumis tebal.
"Siapa namamu?" bentaknya.
"Namaku Gong Lam," jawab Sin Hong, ingat akan nama yang
diperkenalkan keida Soan Li.
Alangkah kaget hatinya ketika pembesar itu menggebrak meja
dan membentak, "Jangan main-main' Namamu Wan Sin Hong,
bagaimana kau berani membohong di depan kami? Pengawal
501
tampar dulu mulutnya yang membohong agar tidak berani
membohong lagi!”
Sin Hong terlampau kaget dan sehingga ia tidak mengelak ketika
seorang penjaga menampar mulutnya tiga kali. Ia tidak merasa apaapa,
sedangkan penamparnya menyeringai karena ia seakan-akan
menampar karet yang membuat telapak tangannya pedas.
"Taijin, bagaimana Taijin mengetahui namaku? Memang benar
namaku Wa Sin Hong, akan tetapi dari mana kalian tahu? Dan untuk
perkara apakah aku ditangkap?"
Pembesar itu tertawa bergelak. "Tak mudah kau menipu orang
seperti kami,” katanya menyombong. "Kau memang penjahat besar
dan berani sekali. Kau masih pura-pura tanya mengapa kau
ditangkap, Nah, mari kita bersama menyaksikan bekas tanganmu
yang jahat dan berlumur darah."
Setelah berkata demikian, pembesar itu memberi tanda kepada
para polisi dan kembali Sin Hong diseret memasuki sebuah kamar
yang besar. Di tengah kamar itu menggeletak seorang laki-laki dan
seorang wanita setengah tua dalam keadaan tak bernyawa lagi dan
berlumur darah, sedangkan peti uang yang telah kosong berserakan
di sudut, meja kursi terbalik. Jelas menandakan bahwa semalam
telah ada perampok masuk dan merampas uang lalu membunuh
dua orang tua itu,
Sin Hong membelalakkan matanya, lalu memandang kepada
pembesar itu dengan mata bertanya. Akan tetapi pembesar itu tidak
pedulikan pandang matanlya bahkan menariknya ke dalam kamar di
sebelah kamar itu sambil berkata,
"Masih mau menyaksikan yang lain yang lebih hebat lagi? Hayo,"
Di kamar ke dua ini, Sin Hong menyaksikan pemandangan yang
membuat darahnya bergolak saking marahnya. Di atas pembaringan
menggeletak tubuh seorang nona muda yang cantik. Nona ini telah
tewas pula dengan leher putus terbabat senjata tajam dan dari
keadaan di situ mudah diduga bahwa yang datang mengganggu
adalah seorang jai-hoa-cat (penjahat pemetik bunga). Ini semua
masih belum hebat, yang betul-betul membuat Sin Hong marah
bukan main adalah ketika ia disuruh membaca tulisan di tembok
502
putih. Tulisan yang dibuat dengan darah nona itu, yang bunyinya
seperti berikut :
Memetik bunga
merampas harta
membunuh hartawan
tanggung jawab pendekar Luliang san.
Di bawah barisan tulisan ini ada tanda tangannya yang jelas
sekali berbunyi WAN SIN HONG. Kemudian bagaikan mimpi ia
mendengar pembesar itu bicara,
"Biarpun berani sekali dan kejam, akan tetapi kau tolol. Kau
membiarkan dirimu terlihat oleh pelayan, yang tentu saja mengenal
potongan tubuhmu dan warna pakaianmu, kemudian kau berjalan
pergi seenakmu kembali ke dalam hotel Lianghoa likoan. Ha, ha,
selama hidupku baru kali ini aku bertemu dengan seorang penjahat
yang berani dan kejam namun tolol sekali!"
Tiba-tiba semua anggauta polisi berteriak kaget ketika melihat
Sin Hong sekali bergerak saja sudah melayang melewati kepala
mereka dan telah berada di luar rumah! Kemudian dengan gerakan
tangannya belenggu itu putus dengan mudah.
"Taijin, dan kalian semua, ketahuilah bahwa aku Wan Sin Hong
bukan seorang penjahat. Semua itu tentu perbuatan seorang yang
secara diam-diam memusuhi dan hendak membikin buruk namaku.
Aku bersumpah untuk mencari dan membekuk penjahat pengecut
itu!" Ketika para orang memburu keluar, sekali berkelebat saja Sin
Hong telah lenyap dari situ.
Tentu saja seluruh penduduk kota itu gempar. Setiap mulut
bicara tentang Wan Sin Hong penjahat besar yang berilmu tinggi.
Memang sudah menjadi kebiasaan manusia-manusia gatal mulut
untuk menyampaikan warta buruk akan seseorang seluas mungkin.
Tentang kebaikan orang, takkan ada seseorang pun setan yang
membicarakan, akan tetapi tentu keburukan orang, agaknya orangorang
yang mengaku sendiri suci pun suka pula mempercakapkan!
Sebentar saja, berita bahwa penjahat muda yang bernama Wan Sin
Hong dan berkepandaian amat tinggi berkeliaran mencari korban'
503
Sin Hong marah dan mendongkol bukan main. ia menduga-duga
siapakah gerangan orangnya yang begitu curang memburukkan
namanya secara begitu keji? Ia tidak berani sembarangan menduga,
dan diam-diam ia bersumpah untuk mencari orang itu, yang akan
diseretnya di depan orang banyak agar membuat pengakua
sehingga namanya bersih kembali.
Akan tetapi, bukan penjahat yang merusak namanya yang ia
temukan, bahkan peristiwa-peristiwa yang membuatnya terheranheran
dan marah, juga tidak berdaya! Beberapa hari kemudian
ketika melanjutkan perjalanannya, hampir dalam setiap kota ia
mendengar kejahatan yang dilakukan oleh... Wan Sin Hong!
Pencurian besar-besaran, pembunuhan kejam, gangguan pada
wanita-wanita secara mengerikan, pendeknya perbuatan sang iblis
keji!
Saking ngeri dan bingungnya, Sin Hong buru-buru meninggalkan
tempat itu dan di sepanjang jalan ia mencari-cari keterangan. Tiap
kali mendengar ada kejahatan terjadi di sebuah kota, ia menyusul
cepat-cepat untuk segera membekuk penjahatnya. Namun, selalu ia
tidak berhasil. Bahkan beberapa pekan kemudian, ia mengalami
peristiwa yang membuatnya benar benar tidak berdaya dan
bingung.
Di tengah perjalanan antara sebuah kota dan kampung di jalan
kecil berbukit yang sunyi, ia berjalan perlahan dengan pikiran kusut.
Tiba-tiba ia melihat dua orang pendeta tosu yang berdiri di tengah
jalan dengan senjata pedang di tangan dan siap mereka
mengancam sekali.
"Wan Sin Hong, akhirnya kami dapat juga membalas dendam!"
kata seorang di antara mereka, seorang tosu tua tinggi kurus
berjenggot putih.
"Siancai... siancai... selama hidup pinto belum pernah melihat
seorang penjahat semuda ini telah sedemikian jahatnya. Wan Sin
Hong, dosamu telah terIampau banyak, lebih baik kau lekas berlutut
dan menyerah," kata tosu ke dua yang bertubuh gemuk pendek dan
mukanya kuning.
504
Sudah terlalu banyak Sin Hong melihat kejadian-kejadian aneh
akhir-akhir ini, kejadian yang merugikan namanya, maka sekarang
menghadapi dua orang tosu yang datang-datang memaki dan
menuduhnya, ia bersikap adem saja, menarik napas panjang
dengan sebal ia bertanya,
"Jiwi Totiang ini siapakah, dan partai persilatan mana dan apa
alasannya hendak mencelakakan aku?"
"Pinto Im Yang Cu dari Kun-lun dan toyu ini adalah Tek Gwat
Tosu d Thian-san-pai. Kiranya tak perlu berpanjang lebar lagi, dan
tak ada gunanya berpura-pura memperlihatkan muka bersih dan
keheranan. Tepat seperti dikatakan oleh Tek Gwat Toyu tadi, lebih
baik kau lekas menyerah untuk kami bawa ke persidangan ketuaketua
partai." kata Im Yang Cu tosu yang kurus itu.
Sin Hong mendongkol bukan main. akan tetapi ia tidak bisa
merasa gemas pada dua orang tosu ini, karena ia maklum bahwa
mereka ini hanya menjadi korban dari perbuatan seorang jahat yang
sengaja meminjam namanya dalam perbuatan jahatnya. Ia
sekarang malah ingin sekali tahu perbuatan apa lagi gerangan yang
dilakukan oleh siluman itu.
"Jiwi Totiang, kalau Jiwi Totiang berhak melakukan penangkapan
atas diriku, kiranya aku yang tertuduh juga berhak untuk
mengetahui apakah gerangan kejahatan yang orang sangka
kulakukan. Apa kesalahanku terhadap Kun-lun-pai dan apa pula
perbuatanku yang membikin marah Thian-san-pai?"
Im Yang Cu menghela napas dan mengelus-elus jenggotnya yang
putih. "Hm, memang berbahaya sekali seorang muda mempelajari
ilmu silat tinggi, batin belum kuat sehingga kepandaiannya dipakai
untuk melakukan perbuatan jahat dan menyombongkan diri. Lebih
berbahaya lagi kalau orangnya masih semuda engkau, memiliki
muka yang baik dan yang menyenangkan. Benar-benar banyak yang
palsu di dunia ini. Wan Sin Hong kau masih berpura-pura tanya?
Baiklah agar jangan kelak orang bilang Kun lun-pai tidak adil, baik
pinto tuturkan perbuatanmu yang jahat terhadap murid Kun-lun-pal
yang bernama Thio Beng. Muridku itu sedang merayakan hari
pernikahannya, kau datang merampas pengantin wanita,
membunuh Thio Beng, kemudian membunuh pengantinnya sekali
505
karena ia melawan. Dengan jelas kau menuliskan surat tantangan di
atas tembok, perbuatanmu selain terkutuk juga amat sombong.
Apakah masih banyak bicara lagi?” Nama Wan Sin Hong sebagai
penjahat besar, siapakah yang tidak mendengar?”
Sin Hong mengerutkan alisnya. Benar- benar hebat. Orang jahat
yang sudah melakukan banyak kejahatan mempergunakan
namanya, ternyata bukan orang biasa, melainkan seorang yang
berkepandaian tinggi, kalau tidak demikian tak mungkin ia dapat
membunuh anak murid Kun-lun-pai demikian mudahnya.
"Apakah ada saksi yang melihat aku melakukan perbuatan itu,
Totiang? Menuduh orang berbuat jahat tanpa ada saksi, benarbenar
amat gegabah dan tidak adil.”
Tiba-tiba Tek Gwat Tosu tertawa bergelak, "Masih kurang
banyakkah saksi-saksi yang melihat sepak terjang penjahat muda
Wan Sin Hong? Kalau masih kurang, pinto mempunyai seorang saksi
utama yang akan melucuti kedokmu, penjahat muda! Kau menyerah
untuk kami bawa ke persidangan, dan saksi utama itu telah menanti
di sana. Tentu kau mengenal Kim Nio, bukan?"
Tentu saja Wan Sin Hong tidak mengenalnya. Hatinya makin
penasaran.
"Baiklah, aku akan ikut dengan Jiwi Totiang, akan tetapi bukan
dalam arti kata menyerah, melainkan aku hendak ikut untuk
menyelidiki persoalan ini lebih mendalam."
"Bocah jahat, kau benar-henar sombong sekali. Apa kaukira kami
tak sanggup menangkapmu?" lm Yang Cu tokoh Kun-lun-pai dengan
marah lalu melangkah maju, pedangnya dikelebatkan di depan
muka Sin Hong, akan tetapi yang sungguh-sungguh menyerang
adalah jari tangan kirinya, mencengkeram ke pundak pemuda itu.
Sin Hong sama sekali tidak mau menangkis atau mengelak.
Terdengar bunyi kain robek disusul oleh seruan kaget tokoh Kunlun-
pai itu.
Ketika jari-jari tangan kirinya mencengkeram pundak Sin Hong,
kain baju pada pundak itu robek dan hancur, akan tetapi kulit
pundak itu terasa oleh Im Yang Cu seakan-akan terbuat dan baja
506
dilumuri lemak. Demikian keras dan licin. Hal ini benar-benar tidak
masuk akal. Tosu ini terkenal memiliki kepandaian Eng-jiauw-kang
(Cengkeraman Garuda) dari Kun-lun-pai, jangankan tubuh manusia,
batu karang juga akan hancur kalau dicengkeramnya. Akan tetapi
bagaimana pundak pemuda itu tidak dapat dicengkeram?
"Totiang, apakah sudah menjadi kebiasaan seorang tosu untuk
merusak pakaian orang?" kata Sin Hong menyindir. Juga Tek Gwat
Tosu menjadi pucat mukanya dan diam-diam ia gelisah sekali.
penjahat muda ini benar-benar lihai sekali dan kalau memberontak,
apakah dia dan Tek Gwat Tosu dapat menahannya? Im Yang Cu
dapat melihat bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan. Ia
berlaku cerdik dan tidak mau kehilangan muka, maka ia berkata,
“Wan Sin Hong, biarpun di dunia penjahat, orang mengenal
kegagahan dan nama. Apakah kau mau berjanji untuk ikut dengan
kami ke persidangan?"
"Aku memang hendak ikut, bukan untuk menyerah, melainkan
untuk mendengar persoalan ini lebih lanjut."
"Kalau begitu, mari kita berangkat!"
Dengan senang Sin Hong mengikuti kedua orang tosu itu menuju
ke scbuah bukit batu karang yang banyak terdapat jurang-jurang
curam. Dua orang tua itu dalam perjalanan ini kembali mengakui
kelihaian penjahat muda ini, karena biarpun mereka berdua
mengerahkan ginkang dan mempergunakan ilmu berlari cepat, tetap
saja orang muda itu berada di dekat mereka, Sedikit pun tak pernah
tertinggal, bahkan berlari seenaknya saja.
Tak lama kemudian tibalah mereka di puncak bukit itu, di mana
terdapat sebuah kelenteng kuno dan di depan kelenteng itu
terdapat lapangan rumput. Di kanan kini nampak jurang-jurang
ternganga amat curamnya. Ketika tiba di situ, Sin Hong melihat
beberapa orang pendeta, ada tosu ada pula hwesio, tengah duduk
bercakap-cakap dan nampaknya membicarakan hal yang amat
penting. Kedatangan Im Yang Cu dan Tek Gwat Tosu membawa
Wan Sin Hong mendapat sambutan hangat. Mereka semua berdiri
memandang kepada Sin Hong dengan penuh perhatian.
507
Sin Hong dihadapkan kepada dua orang tosu yang paling tua.
Dan laporan Im Yang Cu dan Tek Gwat Tosu, ia dapat menduga
bahwa mereka ini adalalah ketua Kun-lun-pai dan ketua Thian-sanpai.
Hatinya berdebar dan ia terkejut sekali. Ada apakah ketua-ketua
partai persilatan besar berkumpul di bukit?
"Wan Sin Hong kau telah berhadapan dengan persidangan ketua
ketua partai persilatan besar, apakah kau masih tidak lekas-lekas
berlutut dan mengakui dosa dosamu?" tanya ketua Kun-lun-pai
dengan suaranya yang lemah lembut dan bibir tersenyum, namun
sepasang mata dan suaranya berpengaruh sekali.
"Boanpwe Wan Sin Hong menghaturkan hormat kepada
Locianpwe sekalian. Akan tetapi, boanpwe sungguh tidak mengerti
apakah artinya persidangan ketua ketua partai dan tidak tahu pula
mengapa boanpwe disuruh menghadap. Juga mohon diberi tahu
siapakah sebenarnya Locianpwe sekalian?"
Ketua Thian-san-pai yang berdiri di sebelah ketua Kun-lun-pai,
seorang kakek berusia delapan puluh yang bertubuh kecil bongkok,
bermuka merah sekali, kepalanya botak dan tidak berjenggat
memukul-mukulkan tongkat hitamnya di atas tanah lalu berkata.
"Dunia telah berubah aneh sekali. Mana ada penjahat bersikap
sebaik ini? Heran, heran!"
Ketua Kun-lun-pai yang juga usianya sudah delapan puluhan,
bertubuh tinggi kurus, rambut dan jenggotnya panjang dan putih,
sikapnya lemah lembut, berkata lagi kepada Sin Hong.
"Pinto Tai Wi Siansu ketua Kun-lu pai, biarlah sebelum kami
mendengar pengakuan-pengakuan dosamu, pinto perkenalkan dulu
kepadamu agar kau tahu bahwa di sini kau tidak boleh main-main.
Di sebelahku ini adalah Leng Hoat Tai su ketua Thian-san-pai, tiga
saudara lain itu adalah Bu Kek Siansu ketua Bu- tong-pai, Kian Hok
Taisu ketua Go-bi-pai, dan Pang Soan Tojin ketua Teng-san-pai.
Saudara-saudara yang lain adala tokoh-tokoh semua partai besar.
Kami berkumpul di sini untuk keperluan lain, akan tetapi secara
kebetulai kami mendengar munculnya seorang penjahat muda
bernama Wan Sin Hong, bahkan hampir semua dari kami telah
bertemu dengan peristiwa kejahatan yang dilakukan oleh Wan Sin
508
Hong. Setelah berada di sini dan mendengar kau menantang,
apakah kami dapat tinggal diam?"
"Ah, tidak tahunya boanpwe dihadapkan kepada Ciangbunjinciangbunjin
(Keitia-ketua) dan partai-partai besar. Benar-benar
merupakan kehormatan bagi boanpwe. Akan tetapi boanpwe
mendengar bahwa biasanya para Locianpwe suka berlaku adil dan
teliti tidak sembrono. Maka boanpwe mengharap sukalah kira-kira
dosa-dosa boanpwe itu disebutkan lalu diselidiki lebih dulu sebelum
boanpwe dijatuhi hukuman, dan agar boanpwe diberi kescmpatan
untuk membela diri.”
Semua orang tua yang berada di situ saling pandang. Sikap
pemuda ini benar-benar bukan seperti sikap seorang penjahat. Akan
tetapi bukti-bukti banyak dan saksi pun ada.
"Dosamu terlalu banyak untuk disebut satu persatu. Buktinya di
mana-mana, tulisan darah di tembok masih belum kering, saksisaksi
yang melihat melakukan kejahatan masih belum mati. Bahkan
baru-baru ini kau telah membunuh murid partai kami Thio Beng
membunuh isterinya pula. Kemudian pihak Thai-san juga
mendapatkan seorang wanita yang telah kau ganggu. Mereka dapat
mencegah wanita itu membunuh diri dan sekarang wanita itu pun
berada di sini sebagai saksi. Apakah kau hendak menyangkal bahwa
kau tidak kenal wanita itu?" Tat Wi Siansu ketua Kun-lun pai
menudingkan telunjuknya ke arah seorang wanita muda dan cantik
sekali yang berdiri di pinggir dekat jurang bersandar pada batu
karang.
Sin Hong mengerahkan ingatannya akan tetapi ia tidak pernah
bertemu muka dengan wanita ini. Wanita ini masih muda dan cantik
sekali. Pakaiannya kusut demikian pula rambutnya, mukanya agak
pucat dan kelihatannya sedih sekali. Akan tetapi semua ini tidak
mengurangi kecantikannya, bahkan menambah jelita dan manis.
Setelah bertemu pandang, wanita itu tiba-tiba terisak dan
berkata.
"Memang dia inilah Si Keparat yang telah menggangguku. Dia ini
yang memasuki kamarku, membawaku keluar dengan paksa,
membawaku ke hutan dan mengancam hendak membunuhku kalau
509
aku berteriak. Dia membawaku masuk keluar hutan dan
memperlakukan aku secara kurang ajar dan keji, ia meninggalkan
aku seorang diri di dalam hutan." wanita itu menangis lagi dengan
sedih.
Sin Hong tak dapat menahan kemarahannya lagi. Bohongkah
wanita itu? Ataukah memang ada kejadian seperti itu yang
dilakukan oleh pemuda lain yang serupa benar dengan dia?
"Kau bohong...! Kau memfitnah... harus dibunuh...!" teriaknya
marah. Timbul niatnya untuk menangkap wanita itu kemudian
memaksanya mengaku sejujurnya. Benar juga, pikirnya. Siapa tahu
kalau-kalau orang yang selalu berusaha merusak namanya itu
mempergunakan wanita ini untuk menjadi saksi palsu? Kalau benar
demikian dan aku dapat memaksanya bicara, tentu Si Penjahat itu
dapat diketahui siapa orangnya. Secepat kilat tubuh Sin Hong
berkelebat ke arah wanita itu berdiri.
"Jahanam keji, apakah kau masih hendak membunuhnya lagi?"
terdengar suara halus dan sebatang tongkat kecil hitam menyambar
dan menghadang di depan tubuh Sin Hong. Pemuda ini
mengibaskan tangannya ke arah tongkat itu sambil berkata.
"Biarkan boanpwe menangkap pembantu Si Jahat itu,
Locianpwe!”
Baik Sin Hong maupun Leng Hoat Taisu pemegang tongkat itu,
terkejut akan akibat pertemuan tongkat dan tangan. Sin Hong
merasa tangannya tergetar, demikian besar tenaga Iweekang yang
disalurkan dalam tongkat itu, akan tetapi sebaiknya Ketua Thiansan-
pai ini terkejut bukan main karena tongkatnya telah terpental
mundur setelah kena dikibas tangan pemuda. Tosu tua maklum
bahwa di dunia kang-ouw, larang ada orang yang kuat menangkis
tongkatnya hanya dengan kibasan tangan belaka, maka tidak
anehlah bahwa ia terheran-heran melihat tongkatnya ditangkis oleh
seorang yang masih semuda ini. Namun, ia menjadi penasaran dan
malu pula, maka tanpa banyak cakap ia lalu menyerang Sin Hong
dengan tongkat hitamnya.
Sin Hong menjadi sibuk sekali. Dari angin pukulan tongkat,
tahulah ia bahwa ia menghadapi seorang yang berilmu tinggi.
510
Mengingat kedudukan kakek ini sebagai ketua Thian-san-pai, ia
merasa sungkan untuk melawannya, apalagi merobohkannya.
"Taisu, harap jangan salah memukul orang tak berdosa," katanya
sambil cepat mengelak dari serangan tongkat yang amat lihai itu.
"Mana ada maling mengaku dosa!" bentakan ini disusul dengan
menyambarnya pedang yang berkelebat menusuk leher Sin Hong.
Yang menyerang ini adalah ketua Bu-tong-pai, yakni Bu Kek Siansu.
Sin Hong mengeluh di dalam hatinya. Baru menghadapi serangan
seorang saja di antara para ciangbunjin ini, merupakan hal yang
tidak saja berat, akan tetapi juga tidak enak baginya. Antara dia dan
mereka ini tidak terdapat permusuhan sesuatu, dan seringkali
gihunya memberi nasihat agar ia menaruh hormat kepada para
ciangbunjin. Oleh karena itu ia tidak mau membalas dan hanya
mengelak dan kadang-kadang menggunakan tangannya untuk
menyampok dan menangkis.
Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai mengalami hal yang amat aneh.
Dia tidak akan berani mengaku bahwa dialah orang terpandai, akan
tetapi dia dapat memastikan bahwa di dunia kang-ouw tidak ada
orang yang berani dengan seenaknya menghadapi pedangnya. Akan
tetapi biarpun ia mengeroyok bersama Leng Hoat Taisu ketua
Thian-san-pai, namun pemuda yang dikeroyok ini dengan tangan
kosong dapat menghadapi mereka, nampaknya sama sekali tidak
terdesak dan seenaknya saja. Lebih-lebih heran dan kagetnya ketika
pemuda itu sanggup menangkis sambaran pedangnya dengan
menyentilkan jari telunjuknya. Kalau saja Bu Kek Siansu tidak
memiliki lweekang yang kuat tentu pedang itu telah terlepas dari
tangan demikian dahsyat dan kuatnya tenaga sentilan itu!
Sementara itu, ketika Sin Hong memandang ke arah gadis cantik
yang mendakwanya tadi, ia melihat gadis itu melompat ke dalam
kurang yang curam di dekatnya!
"Heeii..., jangan Iari kau..." Sin Hong tak peduli lagi ketika
tongkat hitam di tangan Leng Hoat Taisu mengarah pundaknya.
"Plak!" tongkat itu membalik ketika bertemu dengan pundak Sin
Hong, dan dibarengi oleh teriakan kaget ketua Thian-san-pai, Sin
511
Hong sudah dapat meloloskan diri dari kepungan dan melompat
cepat ke tempat di mana gadis tadi berdiri.
"Dia sudah membunuh diri karena perbuatanmu yang jahat!"
kata Tai Wi Siansu Ketua Kun-lun-pai yang juga melihat tubuh gadis
tadi melayang ke dalam jurang.
Akan tetapi Sin Hong berpendapat lain. Tadi karena ia merasa
gemas kepada gadis itu, di dalam pertempuran selalu
memperhatikan sehingga ia melihat betul gerakan gadis di pinggir
jurang. Matanya yang awas dapat melihat bahwa ketika bergerak
melompat ke dalam jurang, gadis itu mempergunakan ginkang yang
lumayan dan gerakan dalam melompat jelas sekali membuktikan
bahwa gadis itu adalah seorang ahli silat tinggi!
"Gadis penipu, kau hendak lari kemana?" bentak Sin Hong sambil
mengejar ke pinggir jurang. Akan tetapi jurang itu dalam sekali
sehingga tidak kelihatan dasarnya. Juga dari atas tidak kelihatan lagi
bayangan gadis itu, seakan- akan ditelan jurang yang ternganga.
"Jangan berpura-pura, ataukah sudah gila? Sudah jelas Nona Kim
Nio membunuh diri di dalam jurang karena perbuatanmu yang keji
dan jahat!" seru pula Tai Wi Siansu dan dibantu oleh yang lain-lain
para kakek yang berkepandaian tinggi itu siap untuk menangkap Sin
Hong.
"Cuwi Locianpwe, maafkan boanpwe tak dapat melayani lebih
lama lagi. Boan- pwe perlu mencari Nona tadi!" Tubuhnya melesat
dan bagaikan kilat ia telah lompat dan berlari cepat turun bukit.
Dengan mendongkol sekali Sin Hong berlari memutar dan
menuju ke jurang yang tadi kelihatan dari puncak. Akan tetapi,
seperti yang sudah ia duga, ia tidak dapat menemukan tubuh gadis
itu. Kalau gadis itu benar benar terjun untuk membunuh diri, tentu
ia akan dapat menemukan mayatnya yang sudah hancur.
Bagaimana gadis itu dapat melompat dari tempat yang begitu tinggi
tanpa terancam bahaya maut? Sin Hong berpikir keras namun tak
menemukan jawabannya. Dia sendiri biarpun sudah memiliki
ginkang tinggi, kiranya takkan mungkin dapat melompat dari atas
puncak itu ke bawah jurang. Pasti tubuhnya akan hancur. Kecuali
seekor burung, kiranya tidak ada manusia yang dapat melompat
512
dari tempat yang tingginya tak kurang dari lima puluh tombak itu.
Kecuali kalau ada yang membantunya, pikir Sin Hong. Akan tetapi
bagaimana caranya?
Makin marah hati pemuda ini. Kini ia yakin bahwa ada seorang
atau lebih musuh rahasia yang berusaha keras untuk merusak
namanya di dunia kang-ouw bahkan agaknya sengaja menarik
perhatian para tokoh besar dunia persilatan seperti ketua-ketua
partai itu agar dianggap sebagai seorang penjahat keji. Siapakah
musuh rahasia itu? Apakah wanita tadi? Tak mungkin, karena
selama hidupnya belum pernah ia bertemu dengan gadis tadi.
Apakah gadis tadi hanya menjadi alat? Siapakah gerangan yang
mengatur semua ini?
"Kurang ajar, aku harus mendapat rahasia mi. Aku harus dapat
menangkap penjahat itu dan menyeretnya di depan para
ciangbunjin." Hati dan pikiran Hong menjadi kusut karena ia merasa
khawatir sekali. Kalau para ciangbunjin sampai menganggap dia
sebagai seorang penjahat, dengan saksi-saksi yang hidup, benarbenar
urusan ini bukan urusan kecil lagi.
-oo0mch-dewi0oo-
Sampai berbulan-bulan Sin Hong merantau dengan pikiran kusut,
tidak saja ia merasa amat gelisah memikirkan keadaan Soan Li yang
hilang tanpa meninggalkan jejak, juga ia amat gelisah memikirkan
keadaan yang terjadi di sekitarnya. Tiada hentinya terdengar di
mana-mana tentang penjahat keji bernama Wan Sin Hong yang
tidak segan-segan meninggalkan nama di atas dinding kamar
tempat ia melakukan kejahatan. Bahkan beberapa kali Sin Hong
terpaksa harus mempergunakan kepandaiannya untuk melarikan diri
ketika ia dikejar-kejar oleh para tokoh kang-ouw yang berusaha
manangkapnya. Ia melarikan diri bukan karena takut, melainkan
karena segan untuk melawan. Ia maklum bahwa tokoh kang-ouw itu
bermaksud baik, yakni menangkap seorang penjahat keji
Pada suatu hari ia masuk ke dalam kota Liang-si. Ia sudah
kehilangan jejak Soan Li sama sekali dan kini ia mencari Soan Li dan
juga penjahat yang mengguaakan namanya itu secara membuta,
513
meraba-raba di dalam gelap, yakni di mana saja ia berada dicarilah
keterangan.
Kota Liang-si amat ramai dan besar karena di situ pusat
perdagangan yang menghubungkan dua propinsi. Sin Hong
bermalam di sebuah hotel dan mendapat kamar di belakang. Hari
telah mulai senja maka Sin Hong terus saja memasuki kamar untuk
mandi dan bertukar pakaian.
Akan tetapi baru saja masuk kamar ia mendengar gerakangerakan
orang dan disusul bisikan-bisikan, "Ini dia orangnya, tak
salah lagi...!"
Sin Hong sudah terlalu sering mengalami dirinya diintai dan
diserbu orang maka hal ini tidak mengherankannya. tenang-tenang
saja minta air hangat dari pelayan dan tanpa menghiraukan suara
gerakan orang banyak yang ia tahu mengurung kamarnya, pemuda
ini membersihkan diri dan bertukar pakaian. Kemudian ia memesan
masakan kepada pelayan.
"Bawa saja ke kamar, aku hendak makan di dalam kamar,"
katanya sambil menyerahkan beberapa potong uang. Setelah
makanan yang dipesan tiba, ia makan lalu memadamkan api dan
siap untuk istirahat.
Tiba-tiba di dalam gelap itu ia mendengar suara senjata rahasia
menyambar ke arah pembaringannya, Sin Hong dengan mudah
mengelak dan tanpa banyak cakap ia menyambar bungkusan
pakaiannya dan membuka daun pintu. Ternyata di depan pintu
kamarnya telah berdiri belasan orang yang berpaksian sebagai polisi
dan memegang senjata tajam, siap untuk menyerangnya. Sin Hong
menarik napas. Ia merasa malas untuk melayani para petugas
keamanan itu, maka ia lalu menutupkan lagi daun pintu, membuka
jendela untuk melarikan diri dari situ. Akan tetapi di sini telah ada
yang menjaga pula, bahkan pakaian mereka ini seperti ahli-ahli silat
dan gerakan mereka jauh lebih tangguh daripada yang menjaga di
depan pintu. Jumlah mereka yang berpakaian seperti kauwsu (guru
silat) ini sedikitnya ada dua belas orang pula.
"Kahan membosankan benar-benar!"
514
Sin Hong berkata perlahan, menutup kembali daun pintu dan
sekali kedua kakinya bergerak, tubuhya sudah mencelat ke atas.
Kedua tangannya digerakkan terdengar suara keras ketika pian dan
genteng menjadi bobol dari mana tubuhnya menjeblos genteng'
Akan tetapi, Sin Hong benar-benar keliru kalau ia mengira bahwa
di atas genteng ia akan terlepas dari kepungan, bahkan begitu
tubuhnya berada di wuwungan rumah, beberapa buah senjata
menyambar dan menyerangnya dengan cara yang amat dahsyat.
Ternyata bahwa yang menjaga di atas genteng adalah orang-orang
yang memiliki kepandaian tinggi, jumlahnya ada delapan orang di
antara mereka itu bahkan samar-samar melihat ketua Kun-lun-pai
dan Thian san-pai. Celaka, sekarang yang mengurungnya adalah
tokoh-tokoh besar.
"Wan Sin Hong bangsat keji, menyerahlah untuk menebus dosa,"
terdengar suara Tai Wi Siansu dan pedangnya dah berkelebat
dengan amat lihainya meluncur ke arah dada Sin Hong.
Sin Hong tidak mau melayani, sebaliknya ia menggulingkan
tubuhnya di atas genteng, bergulingan ke bawah dan disusul
dengan gerakan Hui-mau-jip-lim (Burung Terbang Masuk Hutan)
tubuhnya sudah melayang ke bawah dan melarikan diri dengan
cepat sekali.
"Kejar! Tangkap penjahat Wan Sin Hong ….!” terdengar suara
orang mengejar dari segala jurusan.
Sin Hong tidak mau melayani dan terpaksa ia melarikan diri ke
luar kota. Ia pikir takkan ada gunanya kalau melawan para
pengejarnya, karena yang menjadi persoalan penting bukanlah ia
dan para pengejar, melainkan antara dia dan penjahat yang
merusak namanya. Percuma belaka kalau ia akan menyangkal
semua tuduhan itu. Yang penting adalah mencari penjahat yang
mengkhianatinya, karena penjahat itulah musuhnya, bukan orangorang
kang-ouw yang mengejarnya.
Sebentar saja ia sudah dapat melenyapkan diri dari para
pengejarnya di dalam gelap. Baru saja ia melompat turun di luar
tembok kota, tiba-tiba ia mendapatkan dirinya dikurung oleh
belasan orang. Ketika ia melihat dengan bantuan sinar bulan yang
515
remang-remang ia terkejut dan juga girang karena di antara orang
orang yang tidak dikenalnya, ia melihat Liok Kong Ji, Ha Mau
Hoatsu, Giok Seng Cu, dan ada juga... Soan Li!
"Gak....... kau di sini...?" tak terasa pula ia berseru girang.
Akan tetapi, bukan main kagetnya, ketika ia melihat Soan Li tibatiba
mencabut pedang dan dengan cepat melompat dan
menyerangnya dengan ganas!
"Nona Soan Li...!" Sin Hong berseru kaget.
"Wan Sin Hong, kau telah menghinaku ….. kau telah merusak
hidupku... kau harus mampus di tanganku...'" Soan Li menyerang
kalang kabut!
Bukan kepalang kagetnya hati Sin Hong melihat ini. Terpaksa ia
mengelak dan beberapa kali memandang dengan penuh perhatian,
khawatir kalau-kalau yang dianggap Soan Li bukan gadis itu. Akan
tetapi tak salah lagi, inilah Gak Soan Li. Andaikata ia lupa akan
orangnya, ia takkan lupa akan ilmu pedangnya. Benar-benar Sin
Hong merasa dalam mimpi menghadapi hal yang aneh-aneh ini.
Sementara itu, dalam kota terdengar suara mereka mengejar,
bahkan terdengar Suara Tat Wi Siansu yang dikerahkan dengan
tenaga lweekang.
"Wan Sin Hong, lebih baik kau menyerah. Tiada gunanya kau biar
sampai ke neraka sekalipun kau akan berhadapan dengan seluruh
orang gagah di dunia'"
Sin Hong benar-benar menjadi bingung. Ia masih diserang kalang
kabut oleh Soan Li yang nampaknya nekat itu. Tiba-tiba Kong Ji
melangkah dan berkata keras, bengaruh,
"Soan Li kekasihku, sudahlah. Tinggalkan dia!"
Aneh di atas aneh! Sin Hong sampai berdiri bengong ketika
melihat betapa Soan Li tiba-tiba melempar pedangnya, berlari dan
menubruk Kong Ji yang memeluknya, kemudian gadis itu menangis
terisak-isak di atas dada Kong Ji. Lebih hebat lagi kekagetan hati Sin
Hong yang terheran-heran itu ketika mendengar suara Soan Li
penuh kemanjaan,
516
"Lam-ko, Wan Sin Hong telah merusak hidupku, telah
menghinaku...."
Sin Hong sampai tak dapat mengeluarkan suara saking heran dan
terkejutnya, ia masih merasa dalam mimpi ketika ia mendengar
suara Kong Ji berkata:
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid XIX
“SIN HONG. demi persaudaraan kita, Aku sanggup menolongmu,
dan mari kita bersama menghancurkan para pengejarmu itu. Mari
kita gempur habis-habisan mereka itu asal kau suka bekerja sama
dengan aku. Marilah, Sin Hong saudaraku...."
Sambil berkata demikian, Kong Ji melepaskan pelukan Soan Li
dan menghampiri Sin Hong dengan senyum ramah.
Sin Hong masih bingung, serasa mimpi. Akan tetapi ia masih
cukup sadar untuk mengingat bahwa pengejarnya itu adalah tokohtokoh
besar dunia kang-ouw yang ternama dan termasuk pendekarpendekar
budiman. Ia tadi melihat di antara mereka dua orang
tokoh besar, yakni Tai Wi Siansu ketua Kun-lun-pai dan Leng Hoat
Taisu ketua Thian-san-pai dan baru. dua orang ini saja sudah
meyakinkan hati bahwa mereka benar-benar merupakan tokohtokoh
besar yang paling dihormati. Dan ia masih ingat akan sikap
Kong Ji ketika bertemu dengannya, di atas Pulau Kim ke-tho, sikap
yang tidak mencerminkan persaudaraan. Kini Kong Ji mengulurkan
tangan hendak membantunya, yakni dengan cara menumpas para
pengejarnya, tokoh-tokoh kang-ouw itu! Semua ini
membingungkannya. Tokoh-tokoh besar kang-ouw memusuhinya,
sebaliknya Kong Ji mengulurkan tangan kepadanya. Dan masih ada
lagi soal Soan Li yang tiba-tiba benci kepadanya, menuduh yang
bukan-bukan. Lebih aneh dan hebat lagi, Soan Li menyebut Kong Ji
dengan panggilan Lam- ko, padahal sebutan ini adalah sebutan
untuknya karena ia memperkenalkan diri kepada Soan Li sebagai
Gong Lam! Di samping semua kebingungan yang membuat Sin
517
Hong bengong terlongong masih ada lagi hal lain yang membuat ia
menjadi pucat, yakni dengan adanya Giok Seng Cu di situ bersamasama
Kong Ji. Giok Seng Cu ! inilah yang telah mematahkan tulang
kaki Soan Li, dan orang ini pula yang harus dibinasakannya, karena
bukanlah Giok Seng Cu pula yang menjadi ketua Im-yang-bu-pai
yang telah membasmi Hoa-san-pai dan menjadi biang keladi
kemusnahan Lu-liang-pai?
Akan tetapi mengapa sekarang Giok Seng Cu berada di situ
bersama Kong Ji dan mereka ini justru merupakan orang-orang
yang hendak membelanyanya dari kejaran dan ancaman tokohtokoh
besar dan ketua dari Kun-lun-pai, Thian-san-pai dan lain-lain?
Tanpa banyak cakap lagi, Sin Hong mengerakkan tubuhnya dan
tanpa dapat diduga lebih dulu ia telah mengirim pukulan ke arah
Giok Seng Cu. Kakek yang sudah pernah merasai kelihaian tangan
Sin Hong tentu saja tidak mudah diserang. Dia adalah murid dari
Pak Hong Thiansu, ketua dari perkumpulan lm-yang-bu-pai. Dia
seorang ahli silat tinggi yang sudah memiliki pengalaman luas sekali
dan kepandaiannya tidak boleh dipandang ringan. Maka tentu saja
biarpun diserang secara tiba-tiba oleh Sin Hong, ia dapat melihat hal
ini dengan baik, maka cepat-cepat ia miringkan tubuh sambil
menangkis sekuat tenaga.
Biarpun Giok Seng Cu mengerahkan tenaga Tin-san-kang dalam
tangkisannya ini, namun tetap saja terhuyung beberapa langkah
ketika hawa pukulan Sin Hong mendorongnya. Ia benar-benar
merasa heran sekali, juga terkejut karena secara aneh sekali
pemuda itu kembali telah menyerangnya.
"Sin Hong, jangan kau kurang ajar,” Kong Ji membentak dari
samping dan sinar kuning emas yang menyilaukan mata meluncur
ke arah punggung Sin Hong dari belakang!
Sin Hong terpaksa menarik kembali serangannya terhadap Giok
Seng Cu dan membalikkan tubuh. Ia melihat serangan pedang di
tangan Kong Ji hebat juga sedangkan pedang itu sendiri membikin
agak jerih. Sin Hong maklum bahwa pedang Pak-kek Sin-kiam yang
berada di tangan Kong Ji adalah sebuah pedang pusaka yang
ampuh sekali dan tidak boleh dibuat main-main. Maka ia pun hanya
518
mengelak dan melangkah mundur. Kong Ji mendesak, sedangkan
Giok Seng Cu juga mengirim pukulan Tin-san-kang dari samping.
Serangan-serangan ini sebenarnya tidak membingungkan hati Sin
Hong. Yang membikin ia gugup adalah ketika Soan Li kembali
menyerangnya, dan selain Ba Mau Hoatsu juga mengeluarkan
sepasang senjatanya, kini para pengejarnya telah datang dekat.
"Para Locianpwe yang baru tiba, biarlah kami membantu Cuwi
(Tuan Sekalian) menangkap penjahat besar Wan Sin Hong ini….!"
kata Kong Ji dengan nada suara gembira sekali.
Kembali hati Sin Hong terkejut. Ia tidak mengerti sama sekali
akan sikap Kong Ji. Baru saja menawarkan tenaga untuk
membelanya dari para pengejarnya, sekarang serentak mengajak
kawan-kawannya untuk menyerangnya. Apakah gerangan yang
tersembunyi di balik sikap aneh ini?
Sementara itu, Tai Wi Siansu, Leng Hoat Taisu dan yang lain-lain
tentu saja tertegun melihat Ba Mau Hoatsu, Giok Seng Cu. Dua
orang tokoh ini tentu saja sudah amat dikenal dan dapat dibilang
bukanlah orang-orang yang berdiri di pihak Tai Wi Siansu sekalian.
Akan tetapi mengapa mereka itu juga memusuhi penjahat muda
Wan Sin Hong.
Betapapun juga, kerena mereka sedang mengejar Wan Sin Hong
dan sekarang pemuda jahat itu sedang dikeroyok oleh Giok Seng Cu
dan kawan-kawannya, Tai Wi Siansu dan rombongannya tidak
banyak bertanya, langsung menyerbu dan mengeroyok Sin Hong
pula'
Sin Hong boleh jadi gagah perkasa dan memiliki ilmu kepandaian
yang tinggi sekali, akan tetapi mana bisa ia tahan menghadapi
semua orang tokoh besar di dunia kang-ouw ini'' Pengeroyoknya
adalah Giok Seng Cu, Ba Mau Hoatsu, Liok Kong Ji. Gak Soan Li, Tai
Wi Siansu, Leng Hoat Taisu dan masih banyak tokoh besar lainnya
yang rata-rata memiliki kepandaian ilmu silat tinggi.
"Penasaran.... penasaran… Para Locianpwe jaman sekarang
sudah terlaluan sehingga tidak awas pemandangan mata, tidak
tajam pendengaranrya." Berkali-kali Sin Hong berseru keras dengan
kecewa dan sedih, kemudian karena menghadapi desakan yang
519
amat hebat, terpaksa ia menyambar sebatang ranting yang terletak
di atas tanah dan mengamuklah ia dengan Ilmu Pedang Pak kekkiam-
sut yang amat luar biasa!
Untung baginya, melihat ilmu pedang yang dimainkan dengan
sebatang ranting ini, Kong Ji demikian tertarik dan tertegun,
sehingga pemuda ini menghentikan serangannya dan menonton
cara Sin Hong bersilat pedang! Kesempatan baik ketika semua
pengeroyoknya mundur saking gentar menghadapi gerakan ranting
yang tidak saja amat cepat, akan tetapi juga amat kuat itu tidak
disia-siakan oleh Sin Hong. Sekali berkelebat lenyaplah ia dari depan
para pengeroyoknya! Diam-diam Kong Ji terkejut sekali. Kepandaian
Sin Hong, ternyata telah meningkat sedemikian hebatnya sehingga
ia harus mengaku takkan dapat melawan pemuda itu. Apakah dia
telah mempelajari Pak-kek Kiam-sut? Demikian pikir Kong Ji. Aneh
sekali, kitab itu masih berada di dasar jurang dan hanya aku yang
mengetahui tempatnya, bagaimana Sin Hong dapat mempelajari
ilmu pedang aneh itu? Tak salah tentu yang tadi dimainkan oleh Sin
Hong adalah Pak-kek Kiam sut, karena gerakan dasarnya hampir
sama dengan ilmu silat yang ia pelajari dari Hui Lian, yakni Pak-kek
Sin ciang hoat, Jangan-jangan kitab yang di dasar jurang itu telah
diambil oleh Sin Hong...!
"Hebat benar kepandaian penjahat Wan Sin Hong itu..."
terdengar Tai Wi Siansu memuji. "Dia itu murid siapakah?”
Mendengar kata-kata ketua Kun-lun- pai ini cepat-cepat Kong Ji
berkata,
"Locianpwe, dia itu adalah Wan Sin Hong yang selama ini
merajalela melakukan berbagai kejahatan. Dia adalah putra angkat
Lie Bu Tek murid Hoa-san pai dan hendaknya Locianpwe maklum
bahwa ada serombongan orang yang berniat mengangkatnya
menjadi bengcu pada pemilihan bengcu baru nanti."
Warta ini benar-benar mengagetkan Tai Wi Siansu. Kalau dunia
kang-ouw dipimpin oleh seorang bengcu sejahat itu, benar-benar
berbahaya sekali! Dan kepandaian pemuda jahat tadi memang
benar-benar luar biasa dan hebat, seakan-akan seorang iblis saja.
520
"Siapa yang memilihnya?" tanyanya sambil memandang wajah
tampan pemuda yang belum dikenalnya ini.
"Yang memilihnya adalah perkumpulan Hek kin-kaipang di bawah
pimpinan Cam-kauw Sin-kai," jawab Kong Ji.
Kembali Ketua Kun-lun-pai ini terkejut. Akan tetapi yang lebih
kaget lagi adalah Leng Hoat Taisu Ketua Teng-san-pai. Cam-kauw
Sin-kai adalah kakak seperguruan yang paling tua dan yang paling
pandai.
"Tak mungkin Cam-kauw Sin-kai memilih penjahat untuk menjadi
bengcu. Orang muda, kau siapakah berani berlancang mulut
menuduh Cam-kauw Sin-kai memilihnya?" tegur Leng Hoat Taisu
sambil memandang Kong Ji dengan mata penasaran.
Kong Ji menoleh kepada Giok Seng Cu dan kakek yang berambut
putih itu maju sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Tai Wi Siansu dan Leng Hoat Taisu ketahuilah! Pemuda ini
adalah calon bengcu dan kamilah pemilih-pemilihnya. Calon bengcu
tidak lancang menuduh, memang benar bahwa antara Cam-kauw
Sin-kai dan penjahat muda Wan Sin Hong terdapat perhubungan
yang erat. Hal ini baiktiya kau orang tua pikun suka pergi
menyelidiki."
Leng Hoat Taisu masih penasaran akan tetapi ia juga ingin sekali
segera menyelidik apakah hal ini benar adanya. Sebaliknya Tai Wi
Siansu memandang pada Kong Ji dengan ragu-ragu, maklum bahwa
Giok Seng Cu bukan orang baik-baik akan tetapi tahu pula akan
kelihaian kakek yang menjadi ketua lm-yang-bu-pai ini.
Kalau sampai Giok Seng Cu dan orang seperti Ba Mau Hoatsu
memIilihnya, tak dapat disangkal tentu yang ia pilih itu seorang
yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi, mungkinkah seorang yang
masih begini muda memiliki kepandaian berarti?
Kong ji orangnya memang cerdik sekali. Sekali pandang saja
tahulah ia apa yang terdapat dalam hati ketua Kun-Lun pai itu. Maka
sambil tersenyum ia menjura kepada Tai Wi Siansu dan Leng Hoat
Taisu berkata dengan suara lemah lembut,
521
"Jiwi Locianpwe sebagai ciangbunjin partai-partai besar, tentu
saja tak dapat dibandingkan dengan aku yang rendah. Untuk
menjadi Bengcu bukanlah mudah, dan aku yang muda merasa
dihormati oleh kata-kata Giok Seng Cu Locianpwe. Menjadi bengcu
memang sukar bukan main, tidak semudah merobohkan pohon pek
di kiri itu dengan tangan kosong."
Tai Wi Siansu melirik ke arah kiri dimana terdapat pohon pek
yang besarnya sepelukan orang lebih. Merobohkan pohon itu
dengan tangan kosong? Hem, kalau ia mengerahkan seluruh
tenaganya, agaknya dapat juga ia merobohkan pohon itu, akan
tetapi tidak berani memastikan, karena untuk dapat melakukan hal
itu, orang harus memiliki tenaga seribu kati.
"Merobohkan pohon itu dengan tangan kosong kauanggap
mudah? Ah, ingin kali aku yang tua menyaksikan kelihaian orang
muda sekarang."
Kong Ji kembali menjura dan berkata, "Aku yang muda Liok Kong
Ji memperlihatkan kebodohan, maaf...'" Setelah berkata demikian,
dengan langkah lebar ia menghampiri pohon pek itu, mengerahkan
tenaga Tin-san-kang dan sekali ia merendahkan tubuh dan
mendorong terdengar suara keras dan pohon terlempar ke atas.
Belum juga pohon itu turun, tubuh Kong Ji sudah berkelebat dan
nampak sinar menyilaukan berkelebatan, disusul oleh robohnya
pohon yang kini batangnya telah menjadi lima potong!
Tai Wi Siansu dan Leng Hoat Taisu dua orang ketua partai besar
yang tentu saja memiliki kepandaian tinggi, menyaksikan
demonstrasi ini menjadi kaget bukan main. Mereka yang
berpemandangan awas, tentu saja melihat betapa tadi pemuda itu
mempergunakan pedang yang luar biasa tajamnya, melompat
dengan gerakan Sin liong-seng-thian (Naga Sakti naik ke Langit)
dan dengan empat kali sabatan telah berhasil menabas batang
pohon menjadi lima potong!
"Hebat sekali!" Leng Hoat Taisu memuji.
"Apakah ia bermaksud hendak menduduki kursi bengcu?" tanya
Tai Wi Siansu yang masih menaruh hati curiga karena pemuda yang
lihai ini dipilih oleh orang-orang seperti Giok Seng Cu dan Ba Mau
522
Hoatsu. Apalagi setelah ia kini mengenal itu sebagai pedang Pak-kek
Sin-kiam yang dulu pernah dibuat perebutan dan pernah dibawa lari
oleh Giok Seng Cu. Bagaimana pedang itu terjatuh ke dalam tangan
pemuda ini?
Giok Seng Cu tersenyum. "Tai Wi Siansu, apakah kau tidak
mengenal Pak-kek Sin-kiam? Dahulu mendiang Supek Pak Kek
Siansu pernah berkata bahwa siapa yang mewarisi Pak-kek Sinkiam,
adalah jago nomor satu di dunia dan patut menjadi bengcu."
Tentu saja kata-kata dari Giok Seng Cu ini hisapan jempolnya
sendiri, akan tetapi para tokoh besar yang mendengar diam-diam
menjadi terheran dan kagum.
"Jadi dia ini murid Pak Kek Siansu yang mewarisi peninggalan
pedang dan kitab locianpwe itu?" tanya Tai Wi Siansu.
Giok Seng Cu tertawa bergelak. "Kalian sudah tahu sekarang,
apakah tidak betul pilihan kami mengangkat dia sebagai calon
bengcu?"
Sementara itu, Tai Wi Siansu melihat sinar mata yang sombong
sekali dari Kong Ji, maka diam-diam kakek yang awas ini menjadi
terkejut. ia memberi tanda kepada kawan-kawannya untuk pergi,
lalu berkata.
"Hal itu tergantung dengan keadaan pada saat nanti pemilihan
dilakukan. Sementara itu, sudah menjadi kewajiban kita hersama,
lebih-lebih kewajiban murid dari mendiang Pak Kek Siansu, untuk
menangkap seorang penjahat seperti Sin Hong. Ataukah... Liok-sicu
ini tidak mampu menangkapnya?"
Merah telinga Kong Ji mendengar ini. Wan Sin Hong pasti akan
mampus di tanganku. Kalau sekarang tak dapat melakukannya,
kelak pada pemilihan bengcu, apa salahnya membekuknya?"
"Kita sama lihat sajalah nanti..." kata Tai Wi Siansu sambil berlari
pergi meninggalkan tempat itu, diikuti oleh kawan-kawannya. Di
tengah jalan, Leng Hoat Taisu berkata,
"Toyu, sakapmu terhadap Liok Kong Ji tadi tepat sekali. Pinto
juga tidak menaruh kepercayaan terhadap pemuda seperti itu."
523
"Siapa bisa percaya kepada pilihan Giok Seng Cu dan Ba Mau
Hoatsu? Anehnya pemuda itu benar-benar lihai. Bagaimana
kepandaian Luliang-pai bisa jatuh ke dalam tangannya?" kata Tai Wi
Siansu.
Adapun Kong Ji yang ditinggal pergi oleh rombongan Tai Wi
Siansu, merasa gembira bukan main.
"Biarpun Sin Hong tak dapat kita tarik, dia sudah tidak berdaya,
pasti dikejar-kejar terus karena kejahatannya. Giok Seng Cu Suhu
harap bersama Mau Suhu pergi mencari See-thian Tok-ong dan
berusaha menariknya agar bersama kita membuat pahala. Harus
diberi tahu bahwa pihak Hwa I Engihiong Go Ciang Le sudah pula
keluar dan kalau kita tidak bersatu, sukarlah bagi kita untuk berhasil
mengejar cita-cita kita."
"Jangan khawatir, kami akan berusaha. Kurasa See-thian Tokong
takkan begitu bodoh memakai jalan sendiri," jawab Giok Seng
Cu yang tak lama kemudian pergi pula bersama Ba Mau Hoatsu.
Memang mengherankan sekali. Bagai mana orang-orang ternama
dalam dunia kang-ouw seperti Giok Seng Cu dan ba Mau Hoatsu
dapat demikian tunduk hadap Kong Ji? Dan bagaimana pula Gak
Soan Li sekarang berada bersama Kong Ji dan kelihatan begitu
mencintai dan menurut? Untuk melenyapkan keheranan ini, baiklah
kita ikuti pengalaman Soan Li semenjak ia ditawan dan dibawa pergi
oleh Giok Seng Cu dalam keadaan tidak berdaya sama sekali.
Seperti sudah dituturkan di bagian depan, Gak Soan Li yang
kedua pahanya masih belum sembuh, sama sekali tidak berdaya
menghadapi Giok Seng Cu dan akhirnya ia kena ditawan oleh kakek
jahat itu. Giok Seng Cu pada dasarnya bukanlah seorang bandot tua
yang suka akan daun kembang muda, dia bukan-seorang mata
keranjang. Akan tetapi, Gak Soan Li adalah seorang gadis yang
manis dan memiliki bentuk tubuh yang menarik hati. Biarpun
seorang kakek seperti Giok Seng Cu yang tidak berwatak mata
keranjang, kiranya tidak mengherankan kalau sampai tertarik pula.
Semua ini ditambah lagi oleh kenyataan bahwa gadis ini adalah
murid Go Ciang Le yang dianggap sebagai musuhya. Maka ia
menawan Soan Li bukan saja untuk memuaskan nafsu hatinya juga
524
sekalian untuk membalas dendam, atau setidaknya menyusahkan
murid musuh besarnya itu.
Sementara itu, di tempat lain tak jauh dart situ, terjadi hal yang
mengherankan pula. Hwesio gundul tinggi besar yang dipukul
mundur secara mengherankan oleh Gak Soan Li yang duduk di atas
dua tangan Sin Hong, dengan hati penasaran sekali pergi naik kuda
bersama dua orang muridnya Ci Kong dan Ci Kwan. Ia benar-benar
merasa sudah dihina sekali. Dengan malu dan marah-marah hwesio
tinggi besar ini membalapkan kudanya, di belakangnya diikuti oleh
dua orang muridnya yang tak berani banyak cakap karena maklum
bahwa guru mereka sedang marah.
"Minggir kau, jahanami" Tiba-tiba hwesio tinggi besar itu
membentak ketika melihat seorang pemuda berjalan seenaknya di
tengah jalan. Kuda tunggangan hwesio itu sedang berlari cepat
sekali, sedangkan pemuda itu seperti seorang buta yang tak melihat
datangnya kuda. Agaknya tubuh pemuda yang tidak besar itu akan
diterjang oleh kuda dan hal ini pasti berakibat hebat. Hwesio itu
yang sedang marah dan uring uringan, menjadi gemas melihat
pemuda ini. karena pemuda ini mengingatkan ia akan pemuda yang
memanggul Gak Soan Li.
"Kau cari mampus!" bentaknya lagi. biarpun tidak menaruh hati
kasihan sedikit pun terhadap pemuda ini, akan tetapi kalau sampai
kudanya menerjang, ada kemungkinan kudanya akan roboh pula.
Maka bentaknya ini dibarengi dengan sabetan cambuk yang berada
di tangannya ke arah leher pemuda itu dengan maksud
melemparkan pemuda itu ke pinggir jalan.
Akan tetapi akibatnya hebat bukan main dan hampir saja hwesio
itu terkena celaka. Pemuda yang disabetnya, dengan enak sekali
mengulur tangan kiri menyambar ujung pecut dan membarengi
gerakan ini dengan tangan kanan. yang dipukulkan ke depan
dengan jari-jari terbuka.
Hwesio itu merasa tubuhnya tersentak, demikian kuat pegangan
pemuda itu pada pecutnya. Kemudian tiba-tiba ia merasa desir
angin pukulan yang hebat sekali ke arah dadanya. Maklumlah
hwesio berilmu ini bahwa ia menghadapi pukulan lweekang yang
dapat mendatangkan maut.
525
Cepat tubuhnya dilempar ke belakang. Dengan gerakan
berjumpalitan berhasil membebaskan diri dari pukul istimewa yang
dilepaskan oleh pemuda itu. Akan tetapi, terdengar suara meringkik
keras dan kuda itu roboh berkelojotan lalu mati. Ternyata bahwa
kuda itu tak dapat mengelak seperti tuannya, sekali terkena pukulan
istimewa itu terus mati!
Hwesio itu terkejut sekali, akan tetapi kedua orang muridnya, Poan
Ci-heng-te menjadi marah sekali. Mereka ini sudah melompat
dari kuda dan mencabut golok dengan muka beringas.
"Bocah kurang ajar, apa kau buta berani membunuh kuda Suhu
kami"
Pemuda Itu tersenyum mengejek. "Aku Liok Kong Ji selamanya
belum pernah bertemu dengan kalian, akan tetapi datang-datang
gurumu yang berkepala gundul keras itu hendak menghinaku.
Hanya kepala kudanya, bukan kepala gundulnya yang remuk, itu
masih amat badus baginya."
Pemuda yang lihai ini memang Kong Ji adanya. Seperti telah
diketahui, di atas Pulau Kim-ke-tho, Kong Ji bertemu dengan Sin
Hong dan telah meningdalkan pulau dengan hati kecewa dan
dendam. ia harus menjatuhkan Sin Hong, baik secara kasar maupun
dengan jalan halus. Kebetulan sekali di tengah perjalanan ia tertemu
dengan hwesio tinggi besar beserta dua orang muridnya yang
sedang urang-uringan karena habis dihajar oleh Soan Li beberapa
hari yang lalu.
Po-an Ca-heng-te yakni dua saudara Ci Kong dan Ci Kwan,
mendengar jawaban Kong Ji yang menghina itu, marah bukan main.
Serentak mereka menerping maju dengan golok digerakkan cepat.
"Jangan sembrono...'" Hwesao gundul itu mencegah muridmuridnya,
namun terlambat. Dalam segebrakan saja, ketika dua
orang bersaudara yang terkenal ahli-ahli golok ini menerjang, Kong
Ji melakukan gerakan yang aneh. Tubuhnya mendadak jungkar
balik, kepalanya di atas tanah, kedua tangan kakinya bargerak dan
terdengar seruan kesakitan, disusul oleh robohnya saudara Ci itu!
Dengan cara yang amat aneh dan cepat sekali, Kong ji yang berdiri
dengan kaki di atas dan kepala di bawah itu telah bergerak secara
526
cepat melakukan serangan tanpa dapat ditangkis oleh kedua orang
saudara Ci yang tentu saja tidak mengira akan menghadapi
serangan macam itu. Inilah ilmu silat yang aneh yang dapat
dipelajari oleh Kong Ji dari See-thian Tok-ong!
Hwesio itu terkejut sekali melihat betapa dalam satu gebrakan
saja, dua orang muridnya telah dirobohkan secara aneh. Juga ilmu
silat yang diperlihatkan oleh Kong Ji ini pernah dilihatnya, maka
sambil melangkah maju ia bertanya,
"Orang muda, pernah apakah kau dengan See-thian Tok-ong?"
Kong Ji tersenyum mengejek. "See thian Tok-ong? Aku bukan
apa-apa dengan dia, mungkin dia itu calon pecundangku. Kau ini
hwesio gundul kepundaianmu boleh juga, siapakah kau dan apakah
kau berniat buruk ataukah baik terhadap aku Liok Kong Ji? Kalau
niatmu buruk, kau akan kurobohkan seperti dua orang muridmu
yang goblok ini, kalau niatmu baik, marilah kita bersahabat untuk
mencari kedudukan bersama di dunia ini.”
"Kau mengoceh! Kaukira aku takut menghadapi seorang bocah
seperti engkau? Tak usah membicarakan soal niat, coba
kaukalahkan sepasang rodaku ini, kalau memang gagah," Hwesio itu
menggerakkan kedua tangannya dan tahu-tahu ia telah memegang
sepasang senjata yang aneh yakni sepasang roda.
"Eh, eh, bukankah kau ini Ba Mau Hoatsu dari Tibet? Sudah lama
aku ingin sekali bertemu dan bersahabat denganmu. Ba Mau Suhu,
harap menyimpan kembali senjatamu dan mari kita bercakap-cakap.
Tak perlu kita mengadu kepandaian; kau takkan menang."
Hwesio itu memang bukan lain Ba Mau Hoatsu adanya.
Sebagaimana telah diketahui, Ba Mau Hoatsu adalah seorang tokoh
besar dunia persilatan dan kepandaiannya sudah amat terkenal,
apalagi sepasang rodanya yang jarang menemui tandingan. Hanya
beberapa orang yang dapat mengalahkannya, maka ketika ia kalah
oleh Gak Soan Li yang bertanding di atas lengan tangan seorang
pemuda tolol, tentu saja Ba Mau Hoatsu merasa terhina sekali.
Sekarang ia bertemu dengan seorang lain yang kata-katanya
seakan-akan seorang jagoan bahkan yang berani memastikan
527
bahwa dia takkan menang melawan pemuda ini, tentu saja hati
hwesio Tibet ini menjadi makin mendongkol.
"Liok Kong Ji kau ini orang macam apakah berani betul membuka
mulut besar? Biarlah aku berjanji, kalau aku Ba Mau Hoatsu kalah
olehmu, aku akan suka menjadi sahabatmu. Akan tetapi sebaliknya,
kalau kau tidak menang, aku pasti akan menghancurkan kepalamu
sebagai hukuman atas kesombonganmu."
Kong Ji tersenyum, menghampiri dua orang saudara Ci yang
masih menggeletak lemas di atas tanah karena totokannya. ia
menggerakkan kedua kakinya menendang dan bergeraklah dua
orang saudara itu, karena telah terbebas dari totokan!
Kalian mendengar kata-kata Suhumu tadi? Nah, kalianlah yang
menjadi saksi," katanya sambil mendorong dua orang itu ke pinggir.
Kemudian Kong Ji menghadapi Ba Mau Hoatsu. Pemuda ini sudah
seringkali mendengar nama besar Ba Mau Hoatsu, maka ia tidak
berani berlaku sembrono, sungguhpun gerak-gerik dan kata-katanya
memandang ringan. Dengan gerakan indah ia menghunus
pedangnya yang begitu dihunus membuat Ba Mau Hoatsu berubah
air mukanya.
"Pak-kek Sin-kiam...l" serunya kaget tercengang sehingga ia lupa
untuk membuka serangannya.
"Memang betul, awas sekali matamu. Ba Mau Hoatsu. Pak-kek
Sin-kiam berada di tanganku, apakah kau masih belum percaya
bahwa kau takkan menang melawanku?"
"Bocah sombong, coba kau terima siang-lun (sepasang roda) di
tanganku'" bentak Ba Mau Hoatsu marah. Memang ia merasa kaget
dan agak gemetar melihat pedang pusaka perunggalan Pak Kek
Siansu akan tetapi karena yang memegangnya hanya seorang
bocah yang sangat muda sekali, mana ia sudi mengalah? Dengan
cepat ia mulai membuka serangannya, roda di tangan kanan dipukul
ke arah dada sedangkan roda kiri meluncur ke atas, terus menimpa
kepala Kong Ji.
Terdengar suara nyaring dua kali susul-menyusul, dan bunga api
berpijar menyilaukan mata ketika sekaligus pedang pusaka itu
berhasil menangkis sepasang roda yang menyerang dari depan dan
528
atas. Gerakan pedang di tangan Kong Ji cepat sekali dan diam-diam
Ba Mau Hoatsu harus mengaku bahwa pemuda itu memang
mempunyai tenaga besar dan gerakan cepat.
"Awas pedang!" Kong Ji berseru keras. Dalam gebrakan pertama
setelah berhasil menangkis, pedangnya tidak tinggal diam dan
melakukan serangan balasan yang tak kalah lahainya. Pemuda itu
telah mempelajari pelbagai ilmu silat dari guru-guru pandai
ditambah pula dengan otaknya yang luar biasa cerdik sehingga ia
dapat merangkai semua ilmu silat tinggi itu, kini dengan pedang
pusaka di tangan, tentu saja ia hebat sekali. Dengan otak cerdik luar
biasa, ketekunan jarang tandingan, dan ditambah bakatnya yang
baik, kini tingkat kepandaian pemuda ini sudah mengatasi Ba Mau
Hoatsu, bahkan kalau dibandingkan dengan kepandaian Giok Seng
Cu atau See-thian Tok-ong sekalipun, belum tentu kalah! Biarpun ia
hanya mempelajari Pak-kek Sin-ciang-hoat dari teorinya yang ia
dapat dari Nona Go Hui Lian saja, namun karena otaknya memang
luar biasa tajamnya, Kong Ji telah dapat mainkan jurus-jurus Pakkek
Sin-ciang yang dilakukan dengan pedang secara mengagumkan
sekali. Agaknya, kepandaian Hui Lian atau Soan Li sekalipun dalam
ilmu silat ini takkan dapat menang dari pemuda ini. Tentu saja
kemenangannya atau keunggulannya ini sebagian besar
dikarenakan pengertiannya yang luas dan dalam ilmu silat setelah ia
digembleng oleh banyak orang pandai seperti Giok Seng Cu, Seethian
Tok-ong, dan Hwa I Enghiong Go Ciang Le sendiri.
Akan tetapi Ba Mau Hoatsu juga bukan seorang lawan yang
empuk. Pendeta gundul ini selain memiliki ilmu silat tinggi juga
memiliki banyak pengalaman dalam pertempuran, apalagi pernah
mempelajari ilmu hoatsut (ilmu –sihir). Sayang sekali bahwa hwesio
ini memiliki watak yang rendah sehingga batinnya menjadi kotor.
Kalau tidak demikian pasti akan memiliki tenaga batin yang kuat dan
menjadi seorang sakti yang sukar dilawan. Kini segala macam ilmu
sihirnya yang tidak begitu kuat, tidak ada artinya bagi Kong Ji,
pemuda yang sudah banyak mempelajari tentang ilmu ngendalikan
napas dan samadhi.
Melihat ketangguhan Ba Mau Hoatsu, Kong Ji menjadi marah dan
penasaran sekali. Sudah empat puluh jurus ia masih belum mampu
mengalahkan lawannya. Cepat ia merubah ilmu pedangnya dan kini
529
mainkan ilmu pedang gubahan sendiri yang ia ambil dari sari-sari
gerak ilmu silat yang pernah ia pelajari.
Imu pedang ini amat aneh dan tidak terduga datangnya sehingga
sepasang roda dari Ba Mau Hoatsu menjadi kalut. Semua ini masih
ditambah dengan dorongan-dorongan tangan kiri yang mengandung
tenaga Tin san-kang hebat sehingga beberapa kali roda dari Ba Mau
Hoatsu terkena dorongan tangan kiri itu hampir saja runtuh'
Pada kesempatan terakhir ketika Ba Mau Hoatsu menyerang
dengan sepasang roda dari atas dan bawah, Kong Ji memutar
pedangnya seperti kitiran angin dan tahu-tahu pedangnya telah
menempel dengan roda kiri lawannya. Betapa-pun Ba Mau Hoatsu
hendak menarik senjatanya itu, tetap saja sia-sia karena Kong Ji
telah mempergunakan tenaga menyedot yang kuat sekali. Dengan
marah Ba Mau Hoatsu mengerahkan tenaga menyerang dengan
roda kanannya. Kong Ji mendahuluinya, mengirim tendangan ke
tempat berbahaya sedangkan tangan kirinya menembak dengan
tenaga Tin-san-kang sepenuhnya.
"Lepas senjata atau nyawa!" bentak pemuda itu.
Ba Mau Hoatsu benar-benar terkejut kali ini. Roda kirinya telah
macet, menempel dengan pedang lawan. Kini Pukulan Tin-san-kang
lawannya membentur roda kanannya dan membuat senjatan ini
membalik hendak memukul dadanya sendiri. Masih disusul lagi
dengan tendangan yang kalau mengenai sasaran pasti akan
mendatangkan bencana hebat. Cepat ia melakukan gerakan Samhoat
to-goat (Tiga Lingkaran Membungka Bulan) dengan maksud
untuk menyelamatkan diri dari tiga macam serangan lawan itu.
Namun, ia kalah cepat. Biar pun tendangan kaki dapat dielakkan
oleh Ba Mau Hoatsu dan dengan miringkan tubuh ia dapat
menguasai roda kanannya yang membalik, namun pedang Pak kek
Sin-kiam yang amat tajam itu, tiba-tiba melepaskan diri dari
tempelan roda dan bagaikan segaris kilat menyambar ke arah
tenggorokan hwesio itu!
Kalau saja Kong Ji tidak mempunyai cita-cita untuk memakai
tenaga hwesio kosen dari Tibet ini tentu ia akan melanjutkan
tusukannya dan leher hwesio itu akan tertembus oleh pedang
pusaka. Akan tetapi Kong Ji tidak melakukan hal ini, melainkan
530
menyelewengkan tusukannya dan akibatnya, hanya baju di bagian
leher saja yang terbabat hanya satu senti selisihnya dari kulit leher
Ba Mau Hoatsu!
Sebagai seorang ahlt silat tinggi, Ba Mau Hoatsu mengerti bahwa
lawannya telah mengampuni nyawanya. Mukanya menjadi pucat
dan berubah merah sekali. Ia kaget dan juga malu. Dalam beberapa
hari saja ia telah dikalahkan oleh dua orang muda secara aneh dan
memalukan sekali. Akan tetapi, melihat sikap pemuda yang bernama
Liok Kong ji ini, dan melihat ilmu silatnya yang mirip sekali dengan
ilmu silat Giok Seng Cu dan kadang-kadang mirip pula dengan ilmu
silat See-thian Tok-ong pula mengingat bahwa pemuda ini
memegang pedang Pak-kek Sin-kiam dan tak dapat diragukan lagi
tentu ahli waris pedang dan kitab peninggalan Pak Kek Siansu, lebih
baik kiranya kalau ia bersahabat dengan pemuda aneh dan lihai ini.
Oleh karena berpikir demikian, Ba Mau Hoatsu menarik napas
panjang dan berkata kagum.
"Liok-sicu kau benar-benar lihai sekali. Aku yang tua dan bodoh
mengaku kalah dan merasa terhormat sekali kalau dapat menjadi
sahabatmu."
Kong Ji tersenyum dan cepat menjura. "Terima kasih bahwa
Losuhu telah sudi mengalah dan memberi pelajaran kepada aku
yang muda, Ba Mau Suhu, marilah kita duduk di bawah pohon
sambil bercakap-cakap tentang cita-citaku yang akan mengangkat
tinggi nama kita bersama kalau saja Ba Mau Suhu suka membantu."
Ba Mau Hoatsu menurut dan di bawah pohon besar itu. Kong Ji
menceritakan cita-citanya. Ia menuturkan betapa kedudukan Temu
Cin pemimpin orang Mongol menjadi makin kuat dan betapa
pemerintah Kin sudah kocar-kacir.
"Mengapa pada kesempatan ini kita tidak mempergunakan
kepandaian mengumpulkan orang-orang gagah untuk merampas
kerajaan? Dengan alasan hendak mempertahankan negara dan
membangkitkan lagi kekuasaan bangsa sendiri, kurasa mudah saja
kita mencari dukungan dari orang-orang gagah dan rakyat jelata.
Kita robohkan pemerintah Kin, kemudian bersama rakyat kita
menggempur Temu Cin. Kalau kelak aku yang muda terpilih menjadi
Cin-beng Thian-cu (Putera Tuhan yakni sebutan untuk Kaisar!),
531
bukanlah Ba Mau Suhu juga akan mendapat bagian kedudukan
tinggi?"
Ba Mau Hoatsu mengangguk-angguk. jelas kelihatan amat
tertarik karena siapakh orangnya tidak suka menerima kedudukan
tinggi dan mulia? Akan tetapi ia ragu-ragu. Ia pernah membantu
pemerintah Kin merobohkan pemerintah lama dahulu, kalau
sekarang ia membantu Kong Ji merampas kedudukan bukankah
namanya akan rusak dan ia dianggap seorang pengkhianat yang
berkepala dua?
Kong Ji yang berpemandangan tajam itu, sekali pandang saja
sudah dapat menduga akan keraguan hati Ba Mau Hoatsu, maka
katanya,
"Ba Mau Suhu, kau telah membunuh mati muridmu sendiri,
seorang pangeran keluarga Raja Kin. Dengan perbuatan itu, berarti
secara langsung kau termasuk musuh besar Kerajaan Kin dan tentu
tidak disuka oleh mereka. Pada hal, kau membunuh muridmu Wanyin
Kan itu adalah hal yang sudah sepatutnya kalau menurut
pendapatku. 0leh karena itu kita akan melakukan perbuatan gagah
apabila dapat menggempur Kerajaan Kin."
Ba Mau Hoatsu tertegun. Bagaimana bocah ini dapat mengetahui
hal yang telah terjadi belasan tahun yang lalu itu?
Kong Ji tersenyum, "Ba Mau Hoatsu harap kau jangan curiga dan
heran. Biar pun masih muda, aku telah mempunyai pengalaman dan
hubungan yang amat luas. Aku pernah menjadi murid Giok Seng Cu
Suhu, pernah menjadi murid Hoa-san-pai, Kwan-im-pai, juga pernah
menerima gemblengan dari See-thian Tok-ong dan juga dari Hwa I
Enghiong Go Ciang Le. Semua ini masih ditambah pula oleh
kepandaian yang kuperoleh dari Pak Kek Siansu dengan bukti
adanya pedang ini di tanganku," Pemuda itu menyombongtin diri
dan Ba Mau Hoatsu yang sudah merasai kelihaian tangannya
percaya belaka bahwa pemuda inilah ahli waris kitab dan pedang
peninggalan Pak Kek Siansu kakek sakti itu.
Namun, Ba Mau Hoatsu tercengang juga ketika mendengar
bahwa Kong Ji pernah digembleng Go Ciang Le. Teringatlah ia akan
532
gadis cantik yang mengalahkannya sambil duduk di atas lengan
seorang pemuda aneh.
"Kalau begitu, Liok-sicu masih terhitung murid Hwa I Enghiong?
Belum lama ini pinceng telah bertemu dengan seorang murid wanita
dari Hwa I Enghiong...."
"Siapa dia...?" Kong Ji memotong tak sabar.
"Namanya Gak Soan Li, kepandalannya tinggi dan...."
Kong Ji melompat dan memegang lengan Ba Mau Hoatsu dengan
erat sehingga hwesio itu menjadi kaget. Kalau bukan Ba Mau Hoatsu
yang memiliki kepandaian tinggi, lengan orang lain pasti akan remuk
tulangnya digenggam sedemikian eratnya oleh Kong Ji.
"Di mana dia ? Hayo kita susul...!"
Ba Mau Hoatsu hendak bicara, akan tempi Kong Ji memutus
omongannya dengan kata-kata tak sabar.
"Mari berangkat menyusulnya kita bicara sambil berjalan."
Dengan ilmu lari cepat, kedua orang ini lalu menyusul gadis yang
diceritakan oleh Ba Mau Hoatsu. Di tengah jalan Ba Mau Hoatsu
menuturkan pengalamannya ketika bertemu dengan Gak Soan Li.
Tentu saja ia merasa malu untuk mengaku cara bagaimana ia telah
dikalahkan oleh gadis itu, dan hanya menceritakan bahwa ia beradu
kepandaian dengan Gak Soan Li dan mendapat kenyataan bahwa
kepandaian gadis itu memang tinggi sekali. Tentang pemuda tolol
yang menjadi "kuda" dan ditunggangi sepasang lengannya oleh
Soan Li, Ba Mau Hoatsu hanya mengatakan bahwa gadis itu
mempunyai seorang pelayan pemuda tolol yang agaknya berotak
miring.
Kong Ji tersenyum, bibirnya bergerak-gerak dan matanya
bersinar, wajahnya berseri kemerahan. Seluruh dirinya dikuasai
nafsu dan timbul cinta kasihnya yang selama ini terpendam.
"Dia memang amat pandai, Suciku itu memang lihai sekali..."
katanya memuji sambil mempercepat larinya sehingga Ba Mau
Hoatsu harus mengerahkan seluruh kepandaian untuk dapat
mengimbangi kecepatannya.
533
Baru dua hari mereka melakukan perjalanannya untuk menyusul
Gak Soan Li, pada hari ke tiga, mereka melihat seorang pertapa
rambut pandang berlari mendatangi sambil memanggul tubuh
seorang gadis. Kakek ini tertawa tawa seorang diri dan nona yang
dipanggul itu kelihatan lemas tak berdaya.
"Giok Seng Cu...!" Kong Ji dan Ba Mau Hoatsu berseru hampir
berbareng.
Sebaliknya, ketika Giok Seng Cu melihat Ba Mau Hoatsu, ia
berlari menghampiri sambil tersenyum.
“Eh, hwesio tua, kau hendak ke manakah?"
Akan tcrtapi kata-katanya terhenti ia terkejut bukan main ketika
tiba-tiba pemuda yang datang bersama Ba Mau Hoatsu itu tubuhnya
berkelebat tahu-tahu nona yang dipondongnya itu telah kena
dirampas oleh pemuda itu! Gerakan yang demikian cepatnya benarbenar
membuat ia kaget sekali dan sekaligus mengingatkan ia akan
"pemuda tolol" yang tadinya melindungi Gak Soon Li.
Melihat pemuda itu telah mendukung tubuh Soan Li dan kini
meletakkan tubuh itu di atas rumput sambil memeriksa nadi, Giok
Seng Cu hendak menyerang pemuda itu. Akan tetapi Kong Ji
menoleh dan berkata dengan suara berpengaruh,
"Suhu Giok Seng Cu, jangan ganggu Soan Li, dia kekasihku!"
Giok Seng Cu tertegun mendengar suara ini. Ia seperti sudah
pernah mengenal pemuda ini dan suaranya amat dikenalnya. Karena
pemuda ini datang bersama Ba Mau Hoatsu, maka Giok Seng Cu lalu
menoleh kepada hwesio Tibet itu dan menunda niatnya untuk
menyerang.
"Giok Seng Cu Toyu, kau seorang tua bangka apakah masih
hendak bermain gila terhadap seorang Nona muda? Lebih baik kau
membiarkan muridmu mewakilimu ha-ha-ha!"
"Mundku...?"
"Tidak kenal lagikah kau kepada muridmu sendiri? Dia itu Liok
Kong Ji muridmu, akan tetapi juga murid See-thian Tok-ong, murid
534
Hwa l Enghiong dan akhirnya murid atau ahli waris dari Pak Kek
Siansu!"
Giok Seng Cu membuka matanya lebar-lebar.
"Kong Ji, tidak saja kau sudah menjadi besar tubuhmu, akan
tetapi juga besar hatimu dan besar pula nyalimu. Bagaimana kau
begitu berani kurang ajar terhadap guru sendiri? Hayo lekas berlutut
minta ampun, baru pinto dapat mempertimbangkan hukumanmu!"
bentaknya marah.
Kong Ji telah memeriksa keadaan Gak Soan Li dan maklumlah ia
bahwa gadis yang masih pingsan itu tidak menderita luka parah
dalam tubuhnya, tidak terganggu oleh Giok Seng Cu, melainkan
tulang pahanya sedang mulai mulai tersambung dari keadaannya
yang patah.
"Suhu Giok Seng Cu, siapakah yang mematahkan tulang-tulang
paha kekasihku ini?" tanyanya dengan mata mengancam.
"Aku yang mematahkannya, eh, mau apa bicara begitu kurang
ajar kepadaku'"
Biarpun ia marah sekali, namun Kong-ji masih ingat akan citacitanya,
maka ia tidak mau bermusuhan dengan bekas gurunya ini.
Ia bahkan harus menarik tenaga kakek ini menjadi pembantunya.
"Kalau kau sendiri yang melukainya tidak apalah. Baiknya kau
tidak mengganggunya, kalau terjadi hal yang demikian, kiranya aku
akan melupakan hubungan kita yang sudah-sudah."
Sejak tadi, Giok Seng Cu sudah marah bukan main. Kata-kata
bekas muridnya itu diucapkan dengan nada demikian memandang
rendah. Tak patut sekali seorang murid bersikap sedemikian rupa
terhadap gurunya, maka dengan muka merah, Giok Seng Cu
berkata.
"Kong Ji, kau benar-benar harus dihajar adat'" Setelah berkata
demikian, ia lalu menggerakkan lengan bajunya menampar muka
muridnya.
"Plak, brettt," Ujung lengan baru itu bertemu dengan tangan
Kong Ji dan hancur.
535
"Kurang ajar, kau berani melawan?" Giok Seng Cu marah dan
cepat menyerang, kini sungguh-sungguh bukan sekedar untuk
menampar.
"Aku tidak melawan, hanya untuk memperlihatkan bahwa aku
bukanlah Kong Ji yang dahulu lagi, dan aku ingin -bekerja sama
dengan kau, Suhu Giok Seng Cu," kata Kong Ji sambil mengelak
cepat.
"Tunjukkan dulu kepandaianmu. bocah sombong!" Giok Seng Cu
mcnyerang lagi, kini tubuhnya merendah dan ia mulai melakukan
pukulan-pukulan Tin-san-kang!
Kong ji tentu saja maklum akan kelihaian ilmu silat ini, akan
tetapi ia telah mempelajari ilmu pukulan ini sepenuhnya, bahkan
telah melatih dengan giat dan mencampur Ilmu pukulan itu dengan
ilmu pukulan ganas yang ia pelajari dari See-thian Tok-ong. Oleh
karena itu ia menghadapi ilmu pukulan bekas gurunya ini dengan
ilmu pukulan Tin-san-kang pula! Tidak itu saja, ia bahkan berani
menerima pukulan dengan pukulan .pula, berarti ia berani mengadu
tenaga. Barkali-kali dua pasang lengan bertenmu dengan tenaga
yang serupa dan keduanya tergeser mundur, tanda bahwa tenaga
mereka seimbang!
"Bagus, kau mendapat kemajuan pesat sekali!" seru Giok Seng
Cu berkali-kali sambil mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk
merobohkan muridnya ia merasa penasaran sekali. Masa seorang
guru tak dapat mengalahkan muridnya sendiri?
Akan tetapi biarpun ia telah mainkan Tin-san-kang sampai habis,
tetap saja ia tak dapat mengalahkan Kong Ji, bahkan Kong Ji
merubah Ilmu Silat Pak-kek Sin-ciang yang ia pelajari dari Hui Lian.
"Ini Pak-kek Sin-ciang tulen...!" seru Giok Seng Cu terkejut sekali.
Ia pernah menyaksikan ilmu silat ini ketika dimainkan oleh
supeknya, Pak Kek Siansu. Biarpun pada dasarnya ilmu silat yang
pelajari mendiang suhunya, Pak Hong Siansu, sama dengan Pak-kek
Siansu, akan tetapi jurus dan gerakannya jauh berbeda, hanya
gerakan kaki saja yang serupa.
“Memang aku murid Pak Kek Siansu!" seru Kong ji sombong dan
menyerang terus dengan hebatnya. Sebenarnya, yang ia mainkan
536
itu bukanlah Pak-kek Sin-ciang aseli yang baru sedikit ia pelajari. Ia
mainkan ilmu silat campuran antara Tin-san-kang, Pak-kek Sinciang,
dan Hek-tok-ciang yang ia pelajari dart See-Thian Tok-ong!
Namun, kepandaian Kong Ji sudah demikian hebat dan lihainya,
sehingga seorang tokoh seperti Giok Seng Cu sampai kewalahan
menghadapinya. Tmgkat ilmu silat dari Giok Seng Cu memang lebih
tinggi daripada tingkat Ba Mau Hoatsu dan kini di depan Ba Mau
Hoatsu, Giok Seng Cu merasa malu dan tidak sudi kalau sampai ia
kena dirobohkan oleh muridnya sendiri. Ia maklum bahwa kalau
dilanjutkan pertempuran yang sudah makan waktu seratus jurus itu,
ia akhirnya akan kalah juga karena kehabisan tenaga dan napas.
"Kong Ji kau hebat. Biar pinto mendengar omonganmu..."
katanya sambil melompat mundur. Kong Ji juga menghentikan
serangannya dan menjura dengan hormat.
"Suhu Giok Seng Cu biarpun sudah tua, makin kuat saja..." ia
memuji.
Giok Seng Cu menarik napas panjang.
"Siapa bilang? Menghadapi Wan Si Hong seorang bocah aku
kalah, kau pun aku tak dapat mengalahkan...."
"Sin Hong? Di mana Suhu bertemu dengannya" Dan bagaimana
Suhu dapat membawa Soan Li ke sini?"
Giok Seng Cu lalu menceritakan pengalamannya. Betapa ia
bertemu dengan Gak Soan Li dan bertanding ketika nona itu
mengaku sebagai murid Go Ciang Le. Ia didesak oleh nona itu, akan
tetapi akhirnya dapat melukai sepasang paha Soan Li dan pada saat
itu ia dipukul oleh Sin Hong. Kemudian ia mencentakan lagi bahwa
pemuda tolol yang kemudian dapat menduga Sin Hong adanya,
pergi meninggalkan Soan Li, maka ia lalu menawan gadis itu dan
membawanya pergi, bukan saja untuk membalas dendam kepada
Go Ciang Le akan tetapi juga membalas dendam kepada Sin Hong
yang agaknya saling cinta dengan Soan Li.
"Wan Sin Hong saling mencinta dengan dia...?" Kong Ji mukanya
sebentar pucat serta marah dan ia memandang ke arah Soan Li
yang masih menggeletak dalam keadaan pingsan. Memang nona itu
537
setiap kali siuman, ditotok pingsan oleh Giok Seng Cu agar jangan
banyak ribut di perjalanan.
"Begitulah kelihatannya, yang pasti, Nona ini cinta sekali kepada
pemuda yang ia sebut Lam-ko," Giok Seng Cu tertawa sambil
memandang kepada Ba Mau Hoatsu.
"Ba Mau-suhu, ketika dikalahkan Nona ini, apakah kau tidak
sadar bahwa yang mengalahkanmu bukanlah Nona ini melainkan
pemuda yang menyangganya?”
Ba Mau Hoatsu tercengang. "Begitukah?"
"Kau yang berkelahi tentu tidak begitu memperhatikan, akan
tetapi aku yang mengintai tahu betul bahwa kau telah dipermainkan
oleh Wan Sin Hong pemuda tolol itu!"
Ba Mau Hoatsu menjadi merah mukanya. "Kau ini sahabat
macam apa? Mengapa tidak keluar membantu bahkan
mentertawakan?"
Melihat Ba Mau Hoatsu marah-marah dan khawatir kalau-kalau
timbul keributan di antara dua orang kakek itu Kong Ji lalu
mengajak Giok Seng Cu berunding tentang cita-cita mereka
bersama.
Giok Seng Cu, seperti halnya Ba Mau Hoatsu, mempunyai hati
dan cita-cita yang tidak bersih, maka ia pun tertarik sekali dan
segera menyatakan persetujuannya untuk membantu agar kelak
mendapat bagian kedudukan tinggi. Kemudian kedua orang kakek
itu mendengar siasat yang diatur dan direncanakan oleh Kong Ji,
siasat untuk menghadapi lawan-lawan tangguh seperti Wan Sin
Hong, Go Ciang Le, dan juga Temu Cin.
Mendengar siasat ini, Giok Seng Cu dan Ba Mau Hoatsu takjub
bukan main, akan tetapi juga merasa ngeri.
"Bocah ini benar benar iblis cilik yang hebat..." pikir Giok Seng Cu
dan Ba Mau Hoatsu.
"Memang sebaiknya kalau kau lebih dulu menjadi bengcu,
dengan demikian lebih mudah bagi kita untuk melanjutkan cita-cita,"
kata Giok Seng Cu.
538
Demikianlah, dengan rela Giok Seng Cu memberikan Soan Li
kepada Kong Ji dan ia pun siap sedia membantu usaha bekas
muridnya yang kini berubah menjadi kepala atau pemimpin itu.
Adapun Kong Ji setelah mendapatkan Soan Li dan sesuai dengan
rencana yang tadi diaturnya, segera membawa gadis yang tak
berdaya itu ke sebuah rumah penginapan kota Kun-long di mana
Nalumei telah menantinya dengan hati sabar dan penuh cinta kasih.
Melihat kekasihnya datang bersama dua orang kakek dan seorang
gadis cantik jelita yang dipondong oleh Kong ji, hati Nalumei
berdebar gelisah, akan tetapi wajahnya yang jelita tidak
memperlihatkan sikap sesuatu. Bahkan ia cepat-cepat menolong
Soan Li memondongnya ke dalam kamarnya dan menyiapkan segala
sesuatu yang dibutulikan oleh Kong Ji.
"Nalumei, tinggalkan itu semua. Kau tak perlu sibuk, kau
kutugaskan untuk melakukan sesuatu yang lebih penting lagi." Ia
menarik lengan kekasihnya, memeluknya mesra untuk
menyenangkan hatinya, lalu berbisik menceritakan tugas itu.
Nalumei mengangguk-angguk. Gadis ini sudah tahu akan
keadaan kekasihnya dan tahu pula bahwa ia tidak boleh
membantah, harus selalu siap sedia melakukan apa saja yang
diperintahkan kepadanya oleh Kong Ji.
"Nalumei. kekasihku. Demi kebahagiaan kita kelak, demi
tercapainya cita-cita kita yang besar, kau harus dapat melakukan
pekerjaan mudah ini dengan hasil baik. Hanya kau harus berhatihati
jangan sekali-kali memperlihatkan bahwa kau mengerti ilmu
silat, karena kau berhapan dengan ahli-ahli silat tinggi." Demikian
pesannya. Nalumei menyatakan kesanggupannya dan pergilah
wanita ini melakukan tugasnya yang diperintahkan oleh Kong Ji.
Setelah Nalumei pergi dan menyediakan kamar untuk Ba Mau
Hoatsu dan Giok Seng Cu, Kong Ji lalu merawat dan mengobati
Soan Li. Pada para pelayan rumah penginapan, ia menyatakan
bahwa Soan Li adalah isterinya yang sedang menderita sakit, maka
tak seorang pun menaruh hati curiga. Apalagi karena kedatangan
Kong Ji bersama dua orang pendeta tua yang tentunya orang-orang
suci alim!
539
Karena itu tak seorangpun menaruh hati curiga ketika pada
malam harinya terdengar suara Soan Li memaki-maki,
"Wan Sin Hong,......... keparat jahanam, kubunuh engkau...!"
Disusul oleh tangis gadis itu. Para pelayan mengira bahwa wanita
yang datangnya dipondong itu kini panas dan mengigau.
Juga tidak ada yang mengherankan ketika pada keesokan
harinya, Soan Li menangis terisak-isak sambil menyandarkan
kepalanya di dada Kong Ji dan berkata,
"Engko Gong Lam, alangkah buruknya nasibku...."
Kong Ji tersenyum dan membelai rambut Soan Li, mengambil
secawan arak yang berbau harum sekali dari meja dan
mendekatkan cawan itu di bibir Soan Li sambil berkata,
"Tenanglah, manisku. Aku sudah mengusir Wan Sin Hong
bajingan rendah itu. Jangan kau susah hati, percayalah kepadaku,
kelak kita akan dapat membalas dendam kepada bajingan Sin
Hong...."
Soan Li yang keadaannya sudah normal lagi itu, minum arak dari
cawan tanpa banyak pikir lagi kemudian ia merebahkan kepalanya di
atas pangkuan Kong Ji dengan pandangan mata penuh kasih
sayang!
Beberapa hari kemudian, keadaan Soan Li seperti sebuah patung
bernyawa saja. Ia telah diberi minum racun oleh Kong Ji, racun
yang amat keji, yang hasiatnya bukan merampas nyawa melainkan
merenggut ingatan orang. Dalam pandangan Soan Li, orang yang
telah menghinanya dan menodainya adalah seorang bernama Wan
Sin Hong, sedangkan Kong Ji yang mengaku sebagai penolongnya ia
anggap sebagai Gong Lam.
Demikianlah maka pada saat Sin Hong dikejar-kejar oleh para
tokoh kang-ouw, ia bertemu dengan Kong Ji yang menyerangnya
dengan bantuan Soan Li, Giok Seng Cu, dan Ba Mau Hoatsu. Sampai
saat itu, Nalumei masih belum kelihatan bersama Kong Ji semenjak
gadis ini melakukan tugasnya. Tentu saja Sin Hong merasa
penasaran, heran dan juga cemas menyaksikan sikap Soan Li yang
tiba-tiba saja membencinya setengah mati dan alangkah herannya
540
melihat gadis itu bekerja sama dengan Kong Ji, Giok Seng Cu dan
Bau Mau Hoatsu. Terutama sekali ia benar-benar tidak mengerti
melihat gadis itu bersama Giok Seng Cu, padahal orang yang dahulu
mematahkan kedua tulang pahanya adalah kakek berambut panjang
inilah!
-oo0mch-dewi0oo-
Mari kita melihat keadaan Go Hui Lian yang sudah amat lama kita
tinggalkan. Gadis puteri Hwa I Enghiong melakukan perjalanan
seorang diri, meninggalkan daerah utara menuju pedalaman
Tiongkok kembali. Hatinya penuh kekaguman kepada Temu Cin,
pemimpi muda yang gagah perkasa dari bangsa Mongol itu, dan di
samping kekaguman terhadap Temu Cin juga ia merasa sakit hati
dan marah sekali kepada Liok Kong ji. Diam-diam ia merasa
menyesal sekali mengapa dahulu ia dapat ditipu oleh Kong ji.
Menyesal mengapa ia telah mengeluarkan kata-kata keji terhadap
sucinya, Gak Soan Li. Kini tahulah mengapa Soan Li membenci Kong
Ji. Tahulah ia bahwa sebenarnya ia dahulu masih seperti anak kecil
yang tidak tahu apa-apa, yang mengukur hati orang melihat wajah
dan mendengar suaranya. Hui Lian merasa menyesal bukan main
akan tetapi apa gunanya?
"Aku harus segera menemui ayah dan melaporkan tentang Kong
Ji. Manusia itu benar benar seorang manusia berbahaya sekali.
Apalagi sekarang Pak-kek sin-kiam berada di tangannya.
Kepandaiannya amat tinggi dan kalau orang macam dia tidak
ditundukkan, akan celakalah dunia...." Sambil berpikir seorang diri,
Hui Lian mengenangkan kembali segala kejadian yang ia alami
ketika ia melakukan perjalanan bersama Kong Ji.
Kini terbayang kembali peristiwa di hotel Keng-siu-bun di mana
bangsawan Cu yang tua beserta isterinya yang muda dan cantik
telah terbunuh dalam keadaan mengerikan sekali. Tentang Ma Hoat
yang menjadi gila. Kemudian tentang berita di mana-mana tentang
munculnya seorang jai-hoa-cat dan peneuri yang amat ulung dan
sakti". Teringat pula tentang sikap Kong ji yang beberapa kali
hendak mengganggunya di tengah malam. Teringat akan ini, Hui
Lian bergidik dan mulai timbul dugaan di dalam hatinya bahwa Kong
541
Ji yang melakukan semua perbuatan terkutuk itu. Semua
menambahkan kebencian di dalam halnya terhadap bekas
suhengnya itu.
Akan tetapi, dasar Hui Lian seorang wanita muda yang sedang
remaja, berhati riang gembira, sebentar saja ia telah dapat
melupakan kemendongkolan hatinya ketika ia melakukan perjalanan
melalui tempat-tempat yang indah. Biar pun ia masih muda dan
cantik jelita sehingga menarik hati setiap orang, namun sikapnya
yang gagah dan wajahnya yang selalu tersenyum ramah, membuat
setiap orang laki-laki yang tadinya mengandung niat kurang ajar
menjadi tunduk dan tidak berani berlaku sembrono.
Pada suatu hari ketika Hui Lian tiba di kota Ceng-si-kwan dan
bermalam di penginapan, ia mendengar dari pelayan sebuah
peristiwa yang membuat gadis ini menjadi panas dingin saking
marahnya. Mula-mula pelayan itu yang menyambut kedatangannya
dan menyediakan kamar serta melayaninya, berkata setengah
bergurau,
"Nona, harap Nona suka berlaku hati-hati. Baru kemarin malam
di kota ini terjadi peristiwa mengerikan sekali."
"Peristiwa mengerikan? Apakah yang terjadi?"
Pelayan itu bicara perlahan. "Siapa lagi kalau bukan penjahat
muda yang baru-baru ini menimbulkan kerusuhan hebat sekali di
kota-kota besar? Nona, penjahat cabul Wan Sin Hong telah
mendalangi kota ini!”
Hui Lian benar-benar terkejut sekali. Bukan terkejut karena ia
pernah mendengar kejahatan "penjahat cabul" itu. Melainkan
terkejut karena nama Wan Sin Hong disebut sebagai penjahat.
Seingataya, Wan Sin Hong adalah putera angkat Lie Bu Tek seperti
pernah ia mendegar dari ayah bundanya, juga Kong Ji. Bahkan
dengan hati kasihan ia pernah mendengar penuturan dari ayah
bundanya bahwa Wan Sin Hong adalah putera tunggal Wanyen Kan
atau Wan Kan dengan Thio Ling In suci (kakak seperguruan) ibunya
yang keduanya telah tewas di tangan Ba Mau Hoatsu, dan bahwa
semenjak kecil Wan Sin Hong dipelihara oleh Lie Bu Tek. Kemudian
542
ia mendengar bahwa mungkin sekali Wan Sin Hong telah tewas
sebagaimana diceritakan oleh Kong ji.
Akan tetapi bagaimana sekarang tahu-tahu muncul nama Wan
Sin Hong sebagai seorang penjahat cabul? Apakah barangkali ada
nama yang sama?
"Apa yang telah terjadi di kota ini? Apa yang dilakukan oleh
penjahat bernama Wan Sin Hong itu?" tanya Hui Lian kepada
pelayan yang menjadi pucat mendengar Hui Lian menyebut nama
penjahat itu keras-keras.
"Ssst, Siocia, jangan keras-keras. Kalau dia mendengar... dan kau
begitu begitu...."
"Begitu apa? Teruskan!" kata Hui Lian sambil tersenyum geli
melihat keadaan pelayan tua itu demikian ketakutan.
"Siocia, terus terang saja, kau begitu cantik jelita dan... penjahat
itu di setiap kota selalu mendatangi gadis tercantik...."
"Aku tidak takut! Biar ada sepuluh penjahat seperti dia jangan
kau khawatir, dengan sepasang tanganku ini akan dapat kubekuk
semua"
Tiba-tiba terdengar suara orang menarik napas panjang, disusul
oleh kata-kata yang terdengar berduka, "Aahhh... kalau saja
omongan itu dapat dibuktikan, alangkah baiknya...."
Pelayan itu terkejut bukan main karena tadinya di situ tidak ada
orang. Mukanya pucat, tubuhnya gemetar dan memutar tubuh
memandang.
"Aduuhh... Can-piauwsu benar-benar Membikin aku kaget
setengah mati!" katanya dengan lega ketika melihat yang bicara tadi
adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih,
berpakaian sebagai seorang guru silat dan sikapnya sabar, akan
tetapi matanya berpengaruh.
Hui Lian tentu saja sejak tadi sudah dapat melihat kedatangan
orang hanya ia pura-pura tidak mellhatnya karena disangkanya
orang ini seorang tamu biasa saja. Kini mendengar kata-kata orang
itu, ia memandang dengan tajam, matanya penuh pertanyaan.
543
"Lo-enghiong, apa maksudmu dengan kata-kata tadi?"
Can-piauwsu (Pengawal Can) tersenyum pahit dan berkata,
"Maaf, Nona. Kiranya tidak patut kalau aku yang tidak ada sangkutpautnya
dengan kata-katamu secara lancang menyatakan pendapat.
Akan tetapi agaknya kau terlalu besar bicara dan kata-katamu
hendak membekuk sepuluh Wan Sin Hong benar-benar menggelikan
sekali." ia menarik napas, berulang-ulang dan sambil menggeleng
gelengkan kepalanya ia hendak pergi dan situ. Akan tetapi alangkah
terkejutnya ketika tiba-tiba ia merasa punggungnya ditowel orang
dan tahu-tahu seluruh tubuhnya kaku tak dapat digerakkan! Can
piauwsu terkejut sekali karena ia maklum bahwa jalan darahnya
bagian tat-twa-heat telah kena ditotok orang secara ajaib sekali,
karena ia tidak melihat atau mendengar gerakan tangan orang sama
sekali! Kembali ia merasa pinggungnya diraba orang dan tahu-tahu
totokan tadi telah dibebaskan dan ia dapat bergerak kembali.
Cepat Can-piauwsu menoleh dan melihat gadis jelita yang tadi ia
pandang rendah berdiri sambil tersenyum kepadanya, senyumnya
luar biasa manisnya!
"Can-piauwsu, benar-benar lihai sekalikah keparat yang
mengganggu kotamu sehingga kau menjadi putus asa?"
Kalau tidak mengalaminya sendiri tentu Can-plauwsu takkan
percaya bahwa ada orang dapat menotoknya sedemikian rupa tanpa
ia mengetahui lebih dulu, apalagi kalau yang melakukan hal ini
adalah seorang gadis yang demikian mudanya. ia kini maklum
bahwa ia berhadapan dengan murid orang pandai, maka buru-buru
ia menjura.
"Lihaap, mohon maaf sebesarnya bahwa aku lamur tidak dapat
melihat Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata. Mohon
tanya siapakah Lihiap dan dari perguruan mana?"
"Aku seorang pelancong biasa saja namaku Go Hui Lian. Kiranya
dunia kang-ouw tidak mengenal nama kecilku ini, akan tetapi sangat
boleh jadi kau telah pernah mendengar nama Ayahku Can-piauwsu."
"Siapakah nama Ayahmu yang mulia?"
"Ayah disebut Hwa I Enghiong..."
544
Sekaligus berubah air muka piausu itu mendengar nama besar
pendekar sakti ini. ia mula-mula memandang kepada Hui Lian
dengan mata terbelalak, kemudian tersipu-sipu ia memberi hormat
lagi.
"Ah, kiranya Lihiap adalah puteri dari Go-taihiap. Tentu saja aku
yang bodoh sudah mendengar nama besar Hwa I Enghiong. Sering
kali aku berpikir bahwa kalau Go-taihiap suka keluar pintu dan turun
tangan, kiranya penjahat Wan Sin Hong ini akan dapat dibelenggu."
"Can-piauwsu, benar-benarkah ada penjahat yang bernama Wan
Sin Hong mengacau kota ini?"
Kembali mata Can-plauwsu menatap wajah nona itu, akan tetapi
kini agak terheran-heran. Ia lalu menoleh kepada pelayan dan
berkata,
"Kau boleh pergi!" Setelah pelayan itu keluar dan ruangan itu,
Can-piauwsu mempersilakan Hui Lian duduk dan dengan wajah
sungguh-sungguh ia berkata.
"Lihiap, sesungguhnya aneh kalau kau belum pernah mendengar
nama Wan Sin Hong yang dalam beberapa bulan ini telah
menggernparkan dunia kang-ouw dengan perbuatan-perbuatannya
yang amat keji melebihi iblis. Telah banyak tokoh-tokoh besar
persilatan menggulung lengan baju untuk membasmi penjahat
tunggal ini, akan tetapi ia mempunyai gerakan seperti iblis sehingga
sukar sekali ditangkap. Bahkan tak ada yang pernah mempergoki
perbuatannya yang dilakukan seakan-akan sengaja menantang
orang-orang gagah untuk mencarinya! Akan tetapi, sudahlah, itu tak
perlu bicara tentang Wan Sin Hong, karena biasanya, setelah
melakuKan sesuatu dalam sebuah kota, ia pun menghilang hanya
meninggalkan bekas tangannya yang amat mengerikan. Di kota
Ceng-sin-kwan penjahat itu pada suatu malam telah membunuh
seorang pembesar berpangkat tihu dengan isterinya, mengganggu
lalu membunuh putri seorang hartawan dan perginya membawa
ratusan tael uang emas dari hartawan itu. Dalam satu malam saja
sudah melakukan perbuatan sebanyak itu, benar benar merupakan
kejahatan yang mengerikan sekali. Kiranya bagi kita sukarlah untuk
mencari jejaknya karena seperti biasa, aku yakin bahwa dia tentu
545
sudah meninggalkan kota ini dan sukar diketahui ke mana
perginya."
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid XX
“KALAU begitu, aku harus mengejar dan mencarinya di kota lain.
Mustahil manusia tak dapat dicari," kata Hui Lian bersemangat dan
amat marah mendengar kejahatan sehebat itu sunguhpun ia
meragukan apakah itu benar-benar perbuatan Wan Sin Hong putera
Wanyen Kan.
"Sudah banyak yang mencari, di antaranya bahkan ciangbunjinciangbunjin
(ketua) dari partai-partai besar telah mencarinya. Kalau
kau hendak mencarinya, hendaknya kau ketahui bahwa Wan Sin
Hong itu masih amat muda dan berwajah tampan, tidak memegang
senjata akan tetapi ilmu silatnya luar biasa. Ini pun aku hanya
mendengar dari orang lain, Nona. bagiku Wan Sin Hong bukanlah
makananmu. Seorang seperti aku yang tua dan lemah ini bisa
apakah? Tak usah bicara tentang seekor harimau mengganas,
gangguan seekor anjing dan kawan-kawannya di dalam kota ini saja
aku Si Bodoh tak dapat berbuat apa apa."
"Anjing macam apakah yang mengganggu kota ini? Coba
kaukatakan kepadaku, Can-piauwsu, barangkali aku akan dapat
membantumu."
Can-piauwsu menarik napas panjang akan tetapi wajahnya kini
membayangkan harapan. "Di kota ini tinggal seorang okpa
(hartawan jahat) she Lee yang sudah lama merajalela melakukan
segala macam kejahatan mengandalkan pengaruh dan uangnya. Ia
seringkali merampas tanah dan rumah orang, bahkan merampas
dan mengganggu anak bini orang lain, semua itu dilakukannya
dengan berterang."
"Ini lebih jahat dari perbuatan Wa Sin Hong yang dilakukan
dengan menggelap!" kata Hui Lian yang sudah naik darah
mendengar penuturan itu.
546
"Sama jahatnya... sama jahatnya. Hanya saja, kalau Wan Sin
Hong selalu mengganggu orang-orang besar, hartawan Lee ini
mengganggu orang-orang miskin.
"Mengapa tidak ada orang menentangnya?"
"Siapa berani menentangnya? Pengaruhnya besar, Tihu dan
Tikoan, juga pembesar-pembasar lain di kota ini telah makan
suapannya dan mereka semua pada hakekatnya telah menjadi kaki
tangannya. Mengadukannya kepada pembesar? Yang mengadu
akan ditangkap dan dihukum! Menyerangnya mengandalkan
tenaga? Yang menyerang akan menghadapi tukang-tukang pukul
yang pandai serta menghadapi pula kepungan anak buah tikoan
barisan penjaga kota!"
"Jahat sekali! Can-piauwsu, kautunjukkan di mana rumah
hartawan Lee itu, juga di mana rumah tikoan dan tihu!"
"Tihu telah tewas bersama isterinya dibunuh oleh Wan Sin Hong.
Kejadian ini pun dipergunakan oleh tikoan untuk bertindak
sewenang-wenang, menggeledah setiap rumah, menerima sogokan
dan menangkapi orang-orang yang tidak disukai oleh Lee-wangwe.
Aah, sayang sekali Wan Sin Hong berlaku setengah-setengah.
Mengapa ia tidak membunuh juga sekalian tikoan dan hartawan itu?
Kalau ia lakukan ini, aku akan menganggapnya sebagai seorang
penjahat yang baik dan gagah!"
Malam harinya terjadi kegemparan lain ketika hartawan Lee yang
rumahnya terjaga kuat oleh puluhan orang tukang pukul itu
kemasukan penjahat yang tidak mengambil sesuatu yang berharga
itu. Inilah perbuatan Hui Lian yang malam itu juga memasuki rumah
hartawan Lee, dengan mudah mendapatkar kamarnya lalu menabas
putus dua buah daun telinga Lee-wangwe sambil mengancam,
"Kalau aku mendengar lagi bahwa kau melakukan kejahatan di
kota ini mengandalkan uang dan pengaruhmu, awas lain kali aku
datang lagi mengambil kepala-mu!" Kemudian ia berkelebat lenyap
meninggalkan Lee-wangwe yang roboh pingsan saking takut dan
sakitnya!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali terjadi hal lain yang lebih
menghebohkan. Ketika itu Su-taijin, pembesar berpangkat tikoan di
547
kota itu, sedang duduk di ruang belakang dekat kebun kembang
dihadap oleh Teng Sian seorang kepala tukang pukulnya yang
berpakaian seperti guru silat. Kalau orang melihat Su-taijin pasti ia
takkan mengira bahwa pembesar ini seorang mata keranjang dan
jahat. Orangnya sudah setengah tua, sikapnya halus, pendeknya
sikap seorang terpelajar. Akan tetapi siapa kira, di balik dari segala
kesopanan dan kehalusan itu tersembunyi watak yang gila harta gila
pangkat, dan mata keranjang! Entah sudah berapa banyak orang
yang menderita karena perbuatan Tikoan ini.
"Teng-kauwsu, bagaimana jawaban Kwee-wangwe?" terdengar
pembesar itu bertanya kepada jagoannya yang baru saja datang
melakukan tugas.
"Kwee-wangwe minta waktu sepekan untuk berpikir-pikir, Taijin,"
jawab jagoan itu.
Su-taijin mengangguk-angguk. "Hmm, kuharap saja ia tidak keras
kepala. Beri waktu tiga hari kalau tidak meluluskan permintaanku,
kautangkap saja ia sekeluarga dengan tuduhan bersekongkol
dengan penjahat Wan Sin Hong!"
"Baik, Taijin," jawab Teng Sian. "Memang Lee-wangwe sudah
berpesan agar cepat-cepat membereskan urusan ini."
Apakah yang sedang mereka bicarakan? Tak lain adalah
permintaan hartawan Lee yang menaruh hati kepada puteri keluarga
Kwee yang kaya pula hingga ia tidak dapat mempergunakan
hartanya untuk mendapatkan gadis yang diidamkan itu. Kini setelah
muncul penjahat Wan Sin Hong, hartawan Lee mendatangi tikoan
dan mereka merencanakan akal bulus untuk memfitnah keluarga
Kwee kalau saja Nona Kwee tidak diberikan kepada Lee-wangwe
untuk menjadi bini mudanya. Memang pada saat muncul penjahat
besar yang melakukan pembunuhan dan pencurian besar, tikoan
sebagai pembesar setempat dengan mudah sekali menangkap siapa
saja dengan alasan bercurigai atau menuduh orang itu bersekongkol
dengan penjahat yang membunuh tihu dan mencuri. Kwee-wangwe
menerima lamaran Lee wangwe yang sudah setengah tua, maklum
pula akan bahayanya lamaran ini, apalagi karena yang menjadi
"jembatan" adalah tikoan sendiri. Dalam bingungnya ia minta waktu
548
sepekan untuk berpikir, atau lebih tepat untuk mencari jalan keluar
daripada bencana yang mengancam itu.
"Memang betul, urusan ini harus cepat dibereskan," kata pula Sutaijin,
sambil mengelus-elus jenggotnya. "Dengan menangkap
Kwee-wangwe, sekali pukul kita dapat membunuh tiga lalat.
Pertama kita dapat menyerahkan Kwee-siocia yang jelita itu kepada
Lee-wangwe, ke dua kita dapat menyita harta bendanya, dan ketiga
kita dapat melaporkan ke kota raja, bahwa biarpun kita belum
berhasil menangkap Wan Sin Hong, namun kita sudah berhasil
menangkap sahabatnya di mana penjahat itu bermalam, yakni
keluarga Kwee!"
Dua orang itu bergembira membayangkan hasil yang mereka
akan dapat dari siasat keji ini, tidak tahu bahwa semenjak tadi, di
atas genteng mendekam tubuh seorang yang mendengarkan
percakapan mereka.
"Tikoan bangsat tak tahu malu" tiba-tiba terdengar bentakan
nyaring dan tubuh yang langsing padat melayang turun dari atas
genteng, tepat di atas lantai di tengah-tengah antara Su-taijin dan
Teng-kauwsu. Dua orang itu terkejut bukan main ketika tiba-tiba
melihat seorang gadis cantik jelita dan membawa pedang
tergantung di pinggang tahu-tahu telah berdiri di situ. Gadis ini
bukan lain adalah Go Hui Lian yang baru kembali dari rumah gedung
Lee-wangwe. Setelah berhasil membuntungi sepasang daun telinga
hartawan busuk itu. Dari rumah hartawan itu ia langsung
mendatangi rumah tikoan.
Su-taijin sudah seringkali menghadapi para penjahat kejam yang
tertangkap dan diadili, maka sebetulnya ia sudah tabah sekali
berhadapan dengan segala macam orang kasar. Akan tetapi
sekarang ia duduk bengong bagaikan patung, bukan karena kaget
dan takut melainkan saking kagumnya melihat seorang gadis yang
cantik ini, dan yang turun dari atas seperti seorang bidadari baru
turun dari kahyangan. Juga Teng Sian untuk beberapa detik duduk
melongo. Guru silat atau jagoan tangan kanan Su-taijin ini' lain lagi.
Ia melongo saking heran dan kagetnya, karena sebagai seorang ahli
silat tahulah dia bahwa ia berhadapan dengan seorang ahli yang
ulung, sehingga suara kakinya ketika berada di atas genteng tak
549
dapat didengar sama sekali. Akan tetapi di lain saat ia telah
melompat berdiri dan sekali menyambar ke dekat tembok, ia telah
memegang toyanya yang tadi disandarkan di tembok.
"Penjahat wanita dari manakah berani main gila di rumah
pembesar?" bentaknya sambil melompat maju mengancam Hui Lian.
Hui Lian membalikkan tubuh dan memandang kepada guru silat
itu dengan senyum sindir. "Aduh gagahnya tukang pukul ini. Ke
mana kau bersembunyi ketika muncul penjahat yang niengacau
kota> Bagus betul, ada penjahat muncul mengganggu kota, tikoan
dan jagoannya bukannya berusaha menangkap penjahat, bahkan
menambah kekacauan hendak memfitnah orang baik-baik. Kalian
harus diberi tahu rasa sedikit!"
Cepat sekali tubuh Hui Lian
bergerak dan di lain saat
terdengar suara gaduh ketika
toya di tangan Teng-kauwsu
terlepas dari tangan sedangkan
guru silat itu sendiri terlempar
jauh sampai tiga tombak dan
roboh pingsan dengan tulang
pundak dan lulang kaki patah!
Hui Lian telah memukul dan
menendang sekaligus sehingga
guru silat itu roboh pingsan
sebelum ia tahu bagaimana
nona jelita itu bergerak.
"Tolong...! Tangkap
penjahat!" Tikoan itu berteriak
teriak ketakutan. Baru sekarang ia benar-benar merasa takut ketika
melihat betapa mudah gadis itu merobohkan orang kepercayaannya.
Akan tetapi, sebelum ia sempat lari dan sebelum para penjaga
yang berlari-lari datang di tempat itu, Hui Lian sudah mencahut
pedangnya dan dua kali pedang berkelebat, tikoan itu kehilangan
lengan kiri dan ujung hidungnya. Pembesar itu menjerit-jerit seperti
babi disembelih, lari ke sana ke mari saking perih dan sakitnya,
kemudian roboh setelah menumbuk dinding.
550
Belasan orang penjaga datang dengan golok di tangan. Bagaikan
sekawanan anjing galak mereka ini mengepung dan menyerang Hui
Lian.
"Kalian anjing-anjing jahat berkedok penjaga keamanan, harus
dihajar semua!” dara perkasa itu membentak marah, tubuhnya
lenyap terbungkus sinar pedangnya yang berkelebatan.
Bukan main hebatnya sepak terjang Hui Lian ini. Di sana-sini
terdengar jerit dan pekik kesakitan. Pedang dan golok beterbangan
ke kanan kiri dan tubuh para pengeroyok terlempar dan saling
bertumbukan. Baiknya dara perkasa ini masih mengingat kasihan,
mengingat bahwa para pengeroyok ini hanyalah kaki-tangan atau
alat belaka. Oleh karena itu, ia tidak tega untuk berlaku kejam dan
hanya merobohkan mereka seorang demi seorang dengan luka
ringan saja. Namun ini sudah cukup untuk membuat semua orang
menjadi jerih dan sebagian pula mundur teratur.
Tiba-tiba Hui Lian mendengar suara datang tanpa melihat
orangnya.
'Cukup, Lihiap cukup. Tak baik menghina alat pemerintah. Lebih
baik pergunakan kepandaian untuk mencari penjahat besar Wan Sin
Hong!"
Hui Lian terkejut sekali. Cepat ia melompat keluar dari tempat itu
dan di antara teriakan orang-orang Su-taijin, Hui Lian menghilang.
Gadis ini menoleh kesana ke mari, mencari orang yang tadi
mengeluarkan suara mencegahnya melanjutkan amukannya.
Sebagai seorang ahli silat tinggi, maklumlah Hui Lian bahwa yang
tadi menegurnya adalah seorang ahli lweekeh yang pandai
mempergunakan Ilmu Coan-im-jap-bit, yakni ilmu mengirim suara
dari jauh yang hanya dapat dilakukan oleh seorang ahli silat tinggi
yang memiliki tenaga lweekang tingkat tinggi.
Akan tetapi, ke manapun ia mencari dengan pandang matanya,
ia tidak melihat adanya orang yang kiranya melakukan hal tadi dan
hanya bertemu dengan Can-piauwsu. Pendekar ini merasa gembira
dan berterima kasih melihat hasil sepak terjang Hui Lian,
"Lilllap, kau patut sekali menjadi puteri Hwa I Enghiong! Mudahmudahan
saja dengan usahamu yang amat gagah ini keadaan
551
kotaku akan menjadi aman dan tenteram," kata piauwsu itu sambil
menjura.
Hui Lian tersenyum. "Aku hanya membantumu, Can-piauwsu.
Kalau kotamu menjadi aman dan tenteram, itu sepenuhnya adalah
karena jasamu yang besar bagi kota ini."
Oleh karena semua kaki tangan Su-tikoan sudah melihatnya, Hui
Lian tidak mau lama-lama tinggal di kota itu agar jangan
menimbulkan keributan lain. Pada keesokan harinya ia
meninggalkan kota Ceng-sin-kwan, menuju ke kota Tiang-si, kurang
lebih tiga puluh lima li dari Cengsin -kwan. Ia sengaja menyimpang
dari perjalanannya pulang dan ingin ke Tiang si karena dari Canpiauwsu
ia mendengar bahwa sehari setelah Ceng-sin-kwan kacau
oleh Wan Sin Hong, kota Tiang-si mendapat gilirannya. Penjahat
yang mengaku bernama Wan Sin Hong itu telah mengacau pula di
Tiang-si, melakukan perbuatan terkutuk.
"Aku harus berusaha mencari dan menangkapnya," kata Hui Lian
di dalam hatinya dan ia menjadi makin panas kalau teringat akan
kata-kata orang yang tidak menampakkan diri ketika ia dikeroyok
oleh anak buah tikoan.
Perjalanan ke Tiang-si ia lakukan secepatnya. Kurang lebih
sepuluh li dari Ceng-sin-kwan, Hui Lian memasuki sebuah kampung
dan perutnya tiba-tiba menjadi lapar sekali ketika mencium asap
masakan yang amat sedap yang keluar dari sebuah rumah makan
dalam dusun itu.
Ketika Hui Lian tiba di ambang pintu rumah makan, seorang
pelayan tua dengan kain lap putih bersih tergantung di pundaknya
menyambutnya dengan ramah-tamah. "Ah, Lihiap telah datang!
Silakan duduk di meja terbesar."
Tadinya Hui Lian terkejut, akan tetapi melihat muka yang ramah
itu, ia mengira bahwa memang sudah menjadi kebiasaan pelayan ini
untuk berlaku ramah dan bersikap seakan-akan telah mengenal
setiap pengunjung rumah makan. Juga tidak mengherankan kalau
pelayan menyebutnya "lihiap" karena memang Hui Lian tidak
menyembunyikan pedang yang digantung di pinggang. Dengan
tenang ia lalu mengambil tempat duduk.
552
"Keluarkan nasi dan masakan yang asapnya tercium olehku
sekarang ini,” katanya.
Pelayan itu tertawa, kelihatan gasinya yang ompong sebelah
kanan.
"Ha, Siocia tidak beda dengan yang lain. Memang masakan
bebek panggang di restoran kami amat terkenal. Biarpun restoran
kecil dan di dusun kecil pula, namun para bangsawan dan hartawan
dari kota Ceng-sin-kwan dan Tiang-si sudah mengenaI bebek
panggang kami. Dua hari yang lalu rombongan orang-orang gagah
yang tampan dan cantik yang amat royal dengan hadiahnya juga
telah menghabiskan lima ekor bebek panggang!"' Hui Lian merasa
jemu juga mendengar pelayan yang suka bicara ini.
"Cukup, lekas kau keluarkan masakan itu, aku sudah lapar!"
katanya. Pelayan itu mengangguk-angguk dan mengundurkan diri.
Memang tentang kelezatan masakan bebek panggang tidak
terlalu dilebih-lebihkan oleh pelayan tadi. Harus diakui oleh Hui Lian
bahwa jarang ia makan bebek panggang seenak itu, empuk gurih
dan sedap. Setelah selesai makan, ia berdiri dan memanggil pelayan
tadi hendak membayar. Akan tetapi alangkah herannya ketika
pelayan itu menggeleng kepala dan menggoyang kedua tangan
sambil berkata.
"Sudah dibayar... sudah dibayar, bahkan hadiahnya juga sudah
cukup banyak, harap Lihiap jangan membikin hamba sungkan dan
malu."
"Siapa yang membayar? jangan kau main main, Lopek!"
"Siapa berani main-main, Lihiap? Memang sudah dibayar pagi
tadi, oleh seoang hwesio tinggi besar dan lucu. Dia meninggalkan
uang dan berkata bahwa uang itu untuk membayar semua makanan
yang dimakan oleh seorang dara perkasa!"
"Ah, aku tidak mengenaI segala macam hwesio. Mungkin yang
dimaksudkan bukan aku." Hui Lian membantah.
"Tidak bisa salah, Losuhu itu sudah menerangkan tentang wajah
dan pakaianmu, juga pedang yang tergantung di pinggangmu. Mana
kami bisa salah dan demikian sembrono? Harap Lihiap sudi
553
membebaskan kami daripada keadaan tidak enak. Kalau Lihiap
membayar, tentu kami akan mendapat marah besar dari hwesio itu.
Kalau sampai di marah, waah, celakalah kami."
"Galakkah dia?" Hui Lian tertarik.
"Galak? Bukan main! Baru saja dia makan, datang dua orang
pemimpin barisan pengawal tikoan. Losuhu itu tanpa banyak cakap
lalu menendang meja di depan dua orang menjambak rambut dan
mengadu kepala mereka sampai keduanya roboh pingsan beberapa
jam lamanya."
Hui Lian makin terheran. "Bagaimana macam hwesio itu?
Membawa apa dan siapa namanya?"
"Entahlah, namanya kami tidak tahu. Tak seorang pun di antara
kami mendengar ia menyebut namanya. Ia bertubuh tinggi besar,
pakaiannya lebar, mukanya putih dan di punggungnya tergantung
sebatang penggada pendek dan besar mengerikan sekali. Ia
menghabiskan arak tiga guci besar kemudian setelah merobohkan
dua orang komandan itu, ia berpesan untuk membayarkan uang
yang ia tinggalkan untuk makanmu, Lihiap. Kemudian ia masih
berpesan lagi bahwa Lihiap sebaiknya melanjutkan perjalanan ke
Tiang-si secepatnya. kemudian seperti mengigau hwesio itu berkata
berulang-ulang bahwa ia pun hendak mencari orang she Wan."
Mendengar ini, Hui Lian cepat melangkah keluar tanpa berkata
apa-apa lagi. Ketika pelayan itu mengejar keluar untuk melihat,
gadis itu telah lenyap dari situ. Pelayan itu memutar matanya
sampai menjuling, menggaruk-garuk belakang kepala, lalu
mengomel seorang diri.
"Banyak iblis dan siluman sekarang ini! Iblis dan siluman muncul
di pagi hari. Kemudian ia menggeleng kepalanya dan memasuki
restoran lagi.
Sementara Itu, Hui Lian mempergunakan ilmu lari cepat menuju
ke Tiang-si. Ia tidak meragukan lagi bahwa orang yang telah
menegurnya ketika ia dikeroyok oleh orang-orang tikoan, adalah
orang yang kini membayar makanannya pula. Seorang hwesio tinggi
besar. Siapakah gerangan dia? Akan tetapi diam-dam ia selain
penasaran melihat orang itu tidak secara langsung
554
menghubunginya, juga merasa heran mengapa orang itu seakanakan
mengajaknya mengejar dan menangkap penjahat yang
bernama Wan Sin Hong.
Ilmu lari cepat yang dipergunakan oleh Hui Lian adalah lari cepat
Liok-te-hui-teng (Terbang di Atas Bumi) ajaran ayahnya, maka
cepatnya bukan main. Bagi pandang mata seorang yang bukan ahli
silat tinggi, tentu yang tampak hanya berkelebatnya bayangan
belaka. Oleh karena itu, tak lama kemudian ia sudah tiba di luar
tembok kota Tiang-si.
Tiba-tiba Hui Lian melihat bayangan orang berlari cepat di
sebelah depan. Yang berlari-lari itu adalah seorang hwesio tinggi
besar, dan berdebarlah hati Hui Lian ketika melihat hwesio tinggi
besar itu membawa sebuah senjata seperti penggada pendek yang
dipanggul di atas pundaknya. Melihat cara hwesio itu berlari sebelah
tangan memanggul penggada dan sebelah lagi dipentang dan
digerak-gerakkan ke atas dan ke bawah, kembali Hui Lian terkejut
karena ia mengenal gerakan tangan itu sebagai ilmu lari cepat Huieng-
coan-in (Garuda Terbang Menembus Mega), semacam ilmu lari
cepat yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah
mempunyai ginkang tingkat tinggi.
Akan tetapi Hui Lian bukan puteri tunggal Hwa I Enghiong kalau
ia tidak dapat mengejar hwesio itu. Dengan ilmu lari cepatnya yang
jarang tandingannya, Hui Lian mengerahkan tenaganya dan
sebentar saja ia dapat mengimbangi kecepatan hwesio itu. Setelah
mereka berlari sampai di tembok kota Tiang-si, Hui Lian mehhat
hwesio itu mendahului seorang laki-laki yang berjalan seenaknya
kemudian tanpa mengeluarkan kata-kata sesuatu, hwesio itu
membalikkan tubuh dan memandang kepada pemuda itu dengan
penuh perhatian, setelah itu menggerakkan penggadanya yang
besar dan berat itu menghantam kepada orang itu.
Hampir saja Hui Lion mengeluarkan suara teriakan kaget ketika ia
melihat bahwa yang diserang oleh hwesio tinggi besar itu adalah
seorang pemuda yang kelihatan lemah sederhana, berwajah tampan
sekali dan bersikap tenang. Celaka, pikir gadis ini, pukulan hwesio
demikian lihainya, pemuda itu tentu akan roboh dengan kepala
pecah!
555
Sementara itu, pemuda yang tiba-tiba diserang oleh hwesio tinggi
besar itu terdengar berseru,
"Toa-suhu, kenapa kau datang-datang memukul orang'"
Akan tetapi tanpa menjawab hwesio tinggi besar itu menyerang
terus dengan hebatnya. Penggadanya yang berat bagaikan seekor
biruang menubruk dengan
cepat dan dahsyat. Pemuda
itu dengan gerakan lambat
mengelak ke sana ke mari.
Hui Lian kaget sekali melihat
serangan-serangan yang
amat dahsyat itu! Ia maklum
bahwa kepandaian hwesio itu
lihai dan bahwa setiap
pukulan yang dilakukan
apabila mengenai tubuh
pemuda itu tentu akan
merenggut nyawanya.
Timbul hati tak senang
dalam dada Hui Lian melihat
peristiwa itu, tidak senang
terhadap Si Hwesio. Melihat
seorang pemuda yang
kelihatan lemah, datang-datang diserang mati-matian oleh hwesio
itu tanpa diketahui atau diselidiki dulu kesalahannya, Jiwa ksatria
dalam dada Hui Lian memberontak. Siapa pun adanya hwesio itu,
baik dia orangnya yang selama ini secara rahasia menghubungiku
atau bukan, perbuatannya yang sekarang ini menyatakan bahwa dia
bukan seorang baik-baik, pikir Hui Lian. Ia mencabut pedang dan
sekali berkelebat tubuhnya telah melayang ke tempat perpuran.
Hwesio tua, jangan kau berlaku kejam curang...!" bentaknya dan
di lain saat terdengar suara berdentang yang amat nyaring ketika
pedang Hui Lian bertemu dengan penggada di tangan hwesio itu.
Hui Lian terkejut sekali. Pertemuan senjata itu membuat telapak
tangannya terasa tergetar dan hampir saja pedangnya terlepas dori
pegangan kalau saja ia tidak lekas mengatur tenaganya.
556
Sementara itu, pemuda yang tadi diserang bertubi-tubi oleh
hwesio tinggi besar, kini berdiri bagaikan patung hidup, memandang
kepada Hui Lian dengan mata terbuka lebar-lebar penuh
kekaguman.
"Nona, jangan menghalangi pinceng. Kau bahkan harus
membantu pinceng menangkapnya. Dialah penjahat besar Wan Sin
Hong'" kata hwesio itu sambil bergerak maju menyerang lagi
mengirim serangan dengan tendangan kaki kanan yang dilakukan
amat cepat dan kuatnya. Akan tetapi pemuda tampan itu dengan
amat mudah menggerakkan kaki dan tendangan itu mengenai
tempat kosong.
Muka Hui Lian menjadi merah karena jengah ketika tadi ia
menengok, ia melihat pandang mata pemuda itu. Entah mengapa
sudah biasa baginya melihat pandang mata ditujukan kepadanya
dengan sinar kekaguman, akan tetapi baru kali ini pandang mata
seorang pemuda membuat ia bermerah muka, jengah dan berdebar.
Kemudian rasa jengah terganti oleh rasa kaget dan kagum lihat cara
pemuda itu menggerakkan kaki untuk mengelak dari tendangan
lawan. Tak salah lagi itulah gerakan Sha-gak jiauw-po (Langkah
Segi Tiga) yang kadang-kadang dipergunakan dalam Ilmu Silat Pakkek-
sin-ciang!
"Nona, bukankah dari Ceng-sin-kwan kau sengaja datang ke sini
hendak membasmi penjahat Wan Sin Hong? Nah, ini dia orangnya!
Tidak lekas turun tangan mau tunggu kapan lagi?" Kembali hwesio
tinggi besar itu berseru sambil mempercepat gerakan penggadanya.
Lagi lagi pemuda itu mengelak tanpa memandang pada lawannya
karena sepasang matanya masih saja menatap wajah Hui Lian.
"Go-lihiap, lekas turun tangan! Ayahmu Hwa I Enghiong tentu
akan marah kalau melihat keraguanmu ini!" kembali hesio tinggi
besar itu berkata keras untuk melanjuckan serangannya.
Sebetulnya, hwesio ini sengaja menyebut-nyebut nama ayah Hui
Lian dengan maksud tertentu. Ketika sampai hampir sepuluh kali
penggadanya selalu mengenai angin, ia sudah terkejut sekali dan
maklum bahwa pemuda yang diserangnya itu benar-benar seorang
berkepandaian tinggi.
557
Oleh karena itu, ia sengaja menyebut nama Hwa I Enghiong
untuk menakut-nakuti lawannya.
Sadarlah Hui Lian dari lamunannya. Ia cepat menggerakkan
pedang yang ditusukkan ke arah tenggorokan pemuda itu. Pemuda
itu mengeluarkan suara mengeluh kecewa dan berduka, kemudian
sekali ia berkelebat, Hui Lian dan hwesio itu hanya berdiri melongo
karena gerakan pemuda itu bukan main cepatnya seperti terbang
saja. Hanya suara pemuda itu yang terdengar jelas sebelum lenyap
dari pandangan mata,
"Semua orang membenci Wan Sin Hong. Baiklah. Wan Sin Hong
akan lenyap, kalau masih ada Wan Sin Hong dia itu palsu!"
Hui Lian dan hwesto itu saling pandang dengan bengong. Baik
Hui Lian maupun hwesio yang lihai itu sendiri, baru kali ini
menghadapi seorang pemuda yang demikian aneh dan luar biasa
kepandaiannya. Tidak saja pemuda itu dengan tangan kosong dapat
menghadapi penggada hwesio itu sampai beberapa jurus, juga
pemuda itu dalam kepungan hwesto dan Hui Lian dapat melarikan
diri sedemikian mudahnya. Padahal menilik kepandaian, hwesio itu
agaknya memiliki kepandaian yang tidak kalah oleh Hui Lian, dan
kiranya tidak sembarang orang yang akan sanggup melarikan diri
dari kepungan dua orang ini.
"Hebat, hebat...! Kalau tidak menyaksikan sendiri, pinceng tidak
akan dapat percaya ada seorang muda berkepandaian sedemikian
tinggi. Benar-benar penjahat muda itu berbahaya sekali, seorang
iblis yang akan menggemparkan dunia kang-ouw...! Nona Go, kali
ini Ayah Bundamu harus turun tangan, kalau tidak, pinceng khawatir
takkan ada orang lain yang sanggup menandingi penjahat muda
Wan Sin Hong itu."
"Lo-suhu siapakah? Bagaimana bisa tahu bahwa aku adalah
puteri Hwa l Enghiong?"
Hwesio tinggi besar itu menyeringai. Memang hwesio ini
semenjak tadi mukanya seperti orang gembira selalu hingga
nampaknya lucu,
"Go-lihiap, kau memang mengagumkan, masih muda sudah
berkepandaian tinggi. Akan tetapi, agaknya usiamu yang amat muda
558
itulah yang membuat kau agak sembrono. Apakah sukarnya
mengenalmu setelah kau bicara dengan piauwsu itu dan kau
mengamuk di kota Ceng-sin- wan? Nama pinceng tidak ada orang
kenal, bahkan ayah bundamu sendiri kiranya belum pernah
mendengar namaku. Pinceng selamanya bertapa di dalam kelenteng
dan tidak mau mencampuri urusan dunia. Sekarang ini karena nama
Wan Sin Hong menggetarkan dunia menembus dinding kamarku,
terpaksa pinceng keluar untuk berusaha menangkapnya. Telah
beberapa hari pinceng mengikuti jejaknya akan tetapi melihat
gerak-geriknya yang menyatakan bahwa Wan Sin Hong tak boleh
dibuat sembarangan, pinceng menanti saat baik. Kebetulan di Cengsin-
kwan pinceng melihatmu, maka setelah mendapat bantuanmu
barulah pinceng turun tangan. Akan tetapi... ternyata tetap saja siasia.
Wan Sin Hong manusia iblis yang sukar dilawan."
"Betapapun juga, kuharap Lo suhu sudi memperkenalkan nama
yang mulia,” kata Hui Lian. "Aku sendiri adalah Go Hui Lian dan
kedua orang tuaku Lo-suhu sudah mengenalnya."
Kalau tadi hwesio itu menyeringai dan tersenyum saja, sekarang
ia menarik napas biarpun bibirnya masih tersenyum "Baiklah kali ini
pinceng terpaksa membuka pantangan. Pinceng adalah seorang
pertapa keliling, yang hidupnya dari kelenteng ke kelenteng,
namaku Tang Hwesio."
Hui Lian memang belum pernah mendengar nama ini, nama yang
sama sekali tidak terkenal di dunia kang-ouw.
"Lo-suhu, memang namamu sama sekali tidak pernah kukenal.
Akan tetapi Ayah sering kali bilang bahwa orang-orang gagah di
dunia ini yang tidak mau memperkenalkan diri dan sama sekali tidak
terkenal banyaknya tidak terhitung. Sekarang bertemu dengan Lo
suhu, tahulah aku apa yang dimaksudkan oleh Ayah."
"Ha, ha, Ayahmu memang orang bijaksana. Biarpun belum
pernah bertemu muka, hati emasnya sudah lama pinceng dengar."
"Tang-lo-suhu, mari kita kejar penjahat tadi sebelum ia pergi
jauh!" tiba-tiba Hui Lian berkata. Setelah kini mengenal Tang
Hwesio ia merasa menyesal mengapa tidak tadi-tadi ia dapat
mengeroyok penjahat muda yang matanya "bisa bicara" itu.
559
Akan tetapi Tang Hwesio menggeleng kepalanya. "Tidak lihatkah
kau tadi bahwa penjahat muda itu memiliki ilmu lari cepat yang
amat luar biasa? Mungkin hanya Ayahmu yang dapat mengimbangi
kecepatan larinya, akan tetapi pinceng selamanya baru satu kali
pernah melihat ilmu lari cepat Siang-seng-hui (Sepasang Bintang
Beterbangan) dari Partai Siauw-lim. Tadinya pinceng anggap ilmu
lari cepat itu yang paling unggul, tidak tahunya penjahat tadi telah
memperlihatkan ilmu lari cepat yang agaknya tidak kalah oleh
Siang-seng-hui."
"Habis bagaimana kita bisa mengejarnya?"
"Dia pasti kembali ke kota Tiang-si. Mari kita menyelidik ke sana.
Kiraku, kalau kita berdua maju menyerangnya, tak mungkin dia
masih dapat mempertahankan diri. Hanya pinceng harap, kau tidak
ragu-ragu dan lambat seperti tadi Nona."
Setelah berkata demikian, dengan langkahnya yang lebar, Tang
hwesio berjalan cepat. Hui Lian mengejarnya dengan muka merah.
Kata-kata terakhir hwesio tadi memang teguran yang wajar. Kalau
saja dia tadi tidak ragu-ragu dan cepat menyerang, belum tentu
penjahat Wan Sin Hong tadi dapat melarikan diri.
Akan tetapi, mata itu! Sepasang mata pemuda tadi seakan-akan
bicara kepadanya, menyatakan rangkaian kata-kata mencerminkan
suara hati yang mendebarkan jantungnya. Dia itukah putera angkat
Lie Bu Tek? Betulkah pemuda itu menjadi penjahat? Kelihatan
begitu sederhana, lemah lembut dan tampan. Akan tetapi matanya
memang agak kurang ajar pikir Hui Lian. Dan kata-katanya itu?
Bagaimanakah maksudnya? Apa artinya pemuda itu berkata bahwa
Wan Sin Hong akan lenyap dan kalau ada hanya Wan Sin Hong
palsu? Semua ini membingungkan Hui Lian, akan tetapi ia tidak
mengeluarkan pernyataan sesuatu kepada Tang Hwesio yang
berjalan cepat memasuki kota tanpa bicara pula.
"Nona, malam ini kita harus berpencar. Kau menyelidik bagian
utara dan aku bagian selatan kota. Kita bertemu di kelenteng Hoan-
tang. Kalau kau bertemu dengan penjahat itu, kau lepaskan
panah api ini, demikian pula kalau kau melihat panah api yang
kulepaskan, harap kau cepat datang membantu. Kali ini kita harus
dapat menangkapnya, mati atau hidup," kata Tang Hwesio sambil
560
menyerahkan beberapa batang panah api kepada gadis itu. Hui Lian
menyatakan setuju, menerima panah menyimpannya di dalam
buntalan pakaian kemudia mereka berpisah. Tang Hwesio terus ke
sebuah kelenteng di tengah kota, yakni kelenteng Hok an-tang,
sedangkan Hui Lian mencari kamar di rumah penginapan.
Semenjak masuk ke dalam rumah penginapan, Hui Lian menaruh
hati curiga kepada serombongan orang terdiri dari enam orang yang
pakaiannya seperti jago-jago silat. Ia menduga bahwa enam orang
itu tentulah sebangsa tukang pukul atau anak buah bangsawan atau
hartawan okpa. Mungkin juga anggauta-anggauta perkumpulan silat
yang menjaga di kota Tiang si. Akan tetapi, tak lama kemudian
mereka itu main mata dan lenyap meninggalkan rumah penginapan
itu tanpa mengganggunya. Hui Lian menarik napas lega. Ia tidak
ingin mencari keributan dalam tugasnya yang lebih penting ini. Dan
penuturan yang ia dengar selama ia tiba di Ceng-sin-kwan sampai
Tiang-si, nama Wan Sin Hong memang tersohor sekali sebagai
seorang penjahat yang kejam. Tidak saja membunuh-bunuhi orang
seperti membunuh ayam saja, juga ia merampok harta benda dan
mengganggu anak bini orang lalu dibunuh secara mengerikan.
Kejahatan yang terakhir inilah yang membuat Hui Lian menjadi
marah sekali. Tidak peduli yang melakukan kejahatan itu putera
pungut Lie Bu Tek, tak peduli yang melakukan itu seorang pemuda
yang tampan, yang mempunyai mata pandai menyatakan isi hati,
yang wajahnya mendebarkan hatinya, orang sekeji itu harus ia
basmi! Oleh karena itu, Hui Lian bersemangat sekali dalam
menjalankan tugas yang diserahkan kepadanya oleh Tang Hwesio.
Setelah makan malam, Hui Lian mengenakan pakaian yang
ringkas, membawa pedang dan panah api. Ia menanti sampai
rumah penginapan itu sunyi dan jalan raya juga sepi. Tanpa
diketahui oleh seorang pun tamu lain, gadis perkasa ini melompat
keluar melalui jendela yang ditutupnya kembali dari luar. Dengan
gerakan ringan bagaikan seekor burung walet ia melompat ke atas
genteng, Ia hati hati sekali, tidak segera pergi dari situ, melainkan
mendekam di atas genteng sambil memandang ke sana ke mari,
memasang mata dan telinga, takut kalau-kalau ada orang yang
melihat gerakan-gerakannya. Akan tetapi keadaan di sekelilingnya
sunyi belaka, hanya angin malam bertiup perlahan membelai pipi
561
dan rambutnya. Dengan hati lega Hui Lian lalu mulai melompat dan
sebentar saja sesosok bayangan yang gesit berlompatan dan
berlarian melalui genteng-genteng rumah di kota Tiang si.
Ketika ia memutar ke bagian utara diam-diam ia kecewa dan
mengecam Tang Hwesio di dalam hatinya. Ternyata bahwa ia
mendapat tugas di bagian yang sunyi, rumah-rumah di situ kecil dan
merupakan daerah penduduk miskin. Agaknya Tang Hwesio sengaja
memilih daerah ramai untuk bagiannya sehingga tugas yang
terberat berada di punggungnya. Sebagaimana telah diketahui,
penjahat Wan Sin Hong itu selalu melakukan kejahatan di daerah
orang kaya dan bangsawan-bangsaan. Di daerah yang miskin itu,
seorang penjahat hendak mencari apakah? Tidak ada harta untuk
dirampok, tidak ada gadis cantik untuk diganggu, dan tidak ada
bangsawan untuk dibunuh.
"Tang Ilwesio terlalu memandang rendah kepadaku..." kata Hui
Lian bersungut-sungut. Sambil berjalan di atas jalan yang sunyi itu
ia sering kali menegok ke selatan mengharapkan tanda panah dari
Tang Hwesio. Akan tetapi angkasa sunyi pula, hanya beberapa butir
bintang di langit mengiringkan bulan sepotong yang sudah timbul.
Hui Lian merasa jemu lalu tubuhnya digerakkan, meloncat naik
lagi ke atas genteng rumah. Dan rumah ini ia melihat ke sekeliling
dan pada saat itulah ia melihat di bawah sinar bulan bayangan
seorang laki-laki berlari cepat mengejar seorang wanita. Wanita itu
pun pandai ilmu silat dan pandai pula berlari cepat. Hal ini mudah
dilihat dan gerakannya ketika melarikan diri. Kebetulan sekali dua
orang yang berkejaran itu berlari melewati dekat rumah di mana Hui
Lian bersembunyi dan bulan bersinar terang. Ketika wanita itu lewat
dekat rumah dan terkena cahaya lampu yang tergantung di situ, Hui
Lian melihat bahwa yang melarikan diri adalah seorang gadis yang
cantik. Sekelebat ia seperti pernah melihat wajah perempuan ini
akan tetapi ia lupa lagi entah di mana dan bilamana. Kemudian
menyusul pengejar gadis itu, dan Hui Lian berdebar, mukanya
merah. Ternyata pemuda itu adalah pemuda yang tadi siang ia lihat
bersama Tang Hwesio, yakni pemuda yang oleh Tang Hwesio
disebut Wan Sin Hong.
562
"Gadis keji, jangan harap bisa terlepas dan tanganku...!"
terdengar pemuda itu berseru dan kini larinya cepat sekali. Dengan
beberapa lompatan saja ia telah menyusul gadis yang lari di
depannya. Gadis itu tiba tiba membalikkan tubuh menyerang
dengan pukulan yang tidak boleh dipandang ringan. Akan tetapi
tanpa mempedulikan jatuhnya pukulan pada tubuhnya, pemuda itu
mengulur tagan dan di lain saat gadis itu telah roboh dengan tubuh
lemas!
Ketika pemuda Itu membungkuk hendak mengangkat tubuh
gadis yang sudah tak berdaya tiba-tiba terdengar bentakan di
belakangnya.
"Bangsat tak tahu malu, kau memang harus mampus!" Sebatang
pedang meyambar cepat sekali ke arah punggungnya.
Hui Lian sudah memastikan bahwa pedangnya tentu akan
merobohkan lawan, karena selain kedudukan pemuda itu selang
sukar dan kepalang, juga serangannya itu merupakan serangan dari
jurus ilmu Silat Pak-kek Sin-ciang yang terlihai.
Akan tetapi hebat sekali pemuda itu. Biarpun ia juga terkejut
sekali melihat datangnya serangan yang luar biasa cepat dan
berbahayanya, namun sekali mengelak secara otomatis dan
tangannya masih juga dapat menyambar tubuh gadis yang telah
pingsan dan dikempitnya.
Akan tetapi, ketika pemuda itu membalikkan tubuh untuk melihat
siapa yang menyerangnya, ia nampak gugup sekali.
"Kau... Nona..." Dan tak terasa pula tubuh gadis yang
dikempitnya diletakkan kembali ke atas tanah.
Hui Lian tidak mau peduli akan sikap yang aneh dari pemuda ini.
Ia merasa penasaran karena tadi serangan yang sudah begitu pasti
ternyata menemui tempat kosong. Dengan gemas lalu menubruk
maju menyerang dengan pedangnya, mengeluarkan ilmu pedangnya
yang paling sulit dan lihai karena ia maklum bahwa ia menghadapi
seorang lawan lihai.
"Jangan serang aku... jangan kau ikut membenciku..." pemuda
itu mengelak kesana ke mari sambil mengeluh.
563
Siapakah pemuda ini? Memang bukan lain dia adalah Wan Sin
Hong sendiri! Seperti telah diketahui, Sin Hong merasa penasaran
dan juga gemas sekali karena namanya dirusak orang. Di manamana
terdengar perbuatan-perbuatan jahat yang katanya dilakukan
oleh Wan Sin Hong, atau berarti olehnya! Oleh karena itu ia
menggerahkan seluruh perhatian untuk menyelidiki persoalan ganjil
ini. Sampai jauh ia merantau dan akhirnya ia melihat gadis yang
dulu mengaku telah diganggu! Setelah Wan Sin Hong bertemu
dengan Tang Hwesio dan Go Hui Lian kemudian dikeroyoknya, Sin
Hong melarikan diri dengan hati berduka sekali. Entah mengapa,
melihat Go Hui Lian, hatinya tergerak dan bayangan gadis jelita itu
tidak pernah dapat terusir dari depan matanya. Ia menjadi makin
kecewa dan berduka. Tadinya ia merasa gembira juga melihat puteri
Hwa I Enghiong Go Ciang Le yang sering kali dipuji oleh gihunya,
ternyata merupakan seorang gadis yang demikian cantik jelita dan
perkasa. Akan tetapi, kalau ia teringat betapa gadis manis ini pun
menganggap dia orang penjahat, benar-benar Sin Hong, menjadi
bingung dan sedih, dan makin bernafsulah ia untuk mencari orang
merusak namanya.
Alangkah girang hatinya ketika ia sedang melarikan diri
meninggalkan Hui Lian dan akan memasuki kota Tiang an ia melihat
bayangan seorang gadis cantik yang dikenalnya sebagai gadis yang
dia pernah mengaku menjadi korbannya! Gadis inilah yang dulu di
depan para tokoh kang-ouw dan para ciangbunjin (ketua) dari
partai-partai besar, mengaku telah diganggu dan yang agaknya
sengaja hendak mencoret mukanya di depan tokoh-tokoh besar itu,
entah karena kehendak sendiri ataukah disuruh oleh orang lain.
Dahulu gadis itu melompat ke dalam jurang dan disangka mati oleh
para tokoh besar tanpa menyelidiki lebih dulu. Dia sendiri sudah
mencari ke bawah, akan tetapi tidak menemukan mayat gadis itu,
tanda bahwa gadis itu bukannya membunuh diri dengan cara yang
luar biasa sekali.
Sin Hong menahan gelora hatinya dan tidak mau berlancang
tangan menyerang. Ia maklum bahwa gadis itu bukan orang biasa
saja, dan kalau diingat bahwa selama hidupnya belum pernah ia
bertemu dengan gadis itu, maka mustahil kalau itu sengaja merusak
namanya begitu saja. Pasti ada apa-apanya di belakang atau
564
dengan lain perkataan, pasti ada orang lain yang menggerakkan
gadis ini melakukan fitnahan keji terhadap dirinya. Kalau memang
ada orang di belakang layar itu, maka dia itulah orangnya yang
selama ini merusak namanya. Hati Sin Hong berdebar. Diam-diam
lalu mengikuti gadis itu karena menduga bahwa gadis itu tentu akan
membawanya ke tempat orang yang selama ini merusak namanya.
Akan tetapi wanita muda yang cantik itu menyewa kamar di
sebuah hotel. terpaksa Sin Hong juga menyewa kamar dan diamdiam
ia terus menguntit. Bukan main mendongkol hatinya ketika ia
mendapat kenyataan bahwa wanita itu tidak pernah keluar dari
kamarnya, bahkan memesan kepada pelayan untuk mengirim
masakan ke kamar. Sampai jauh malam Sin Hong mengintai dari
kamarnya sendiri ke arah kamar gadis ini.
Menjelang tengah malam, ia melihat bayangan orang melompatlompat
di atas wuwungan rumah dan ketika bayangn itu
menggerakkan tangan, ia melihat sebuah benda hitam kecil
melayang masuk ke dalam kamar wanita muda tadi melalui celahcelah
antara daun jendela.
Sin Hong cepat melompat keluar kamar, akan tetapi dengan
beberapa gerakan saja bayangan itu telah lenyap. Sin Hon
penasaran, cepat ia mendekati jendela kamar wanita itu dan
mengintai ke dalam. dilihatnya wanita itu tengah memegang sehelai
kertas yang ditulis dengan huruf-huruf besar.
"DIA MENGINTAIMU, LEKAS LARI, TERPISAH DAN TUTUP MULUT
Pandang mata Sin Hong yang tajam dapat membaca tulisan itu
dan ia menggigit bibir dengan mendongkol sekali. Tak disangkanya
bahwa musuh yang merusak namanya itu benar-benar amat lihai.
Tadi pun ia telah menyaksikan gerakannya yang luar biasa cepat
dan kini yakinlah dia bahwa musuhnya itu adalah bayangan tadi.
Dan wanita ini hanyalah kaki tangan dan musuh rahasianya.
Ia mendengar wanita itu mengeluarkan keluhan dan nampak
seperti ketakutan. Kemudian ia cepat menyelinap ketika melihat
wanita itu berbenah, membungkus pakaiän dan memanggulnya di
punggung, kemudian wanita itu memadamkan api lilin dan
melompat keluar melalui jendela dengan gerakan yang cukup lincah!
565
Kemudian wanita muda yang cantik itu berlari cepat sekali ke arah
utara, agaknya hendak keluar dari kota Tiangsi.
Sin Hong maklum bahwa gadis ini tentu taat akan surat perintah
tadi, maka untuk berhadapan dengan musuh rahasianya ia harus
menangkap gadis ini. Akan tetapi siapa kira, baru saja ia hendak
membekuk gadis itu, tiba-tiba muncul Go Hui Lian menyerangnya,
dengan hebat.
Biarpun Sin Hong harus mengaku bahwa ilmu pedang dari Hui
Lian tak boleh dipandang ringan, namun bukan serangan itulah
yang membuat ia menjadi gugup, bingung, dan berduka. Ia maklum
bahwa perbuatannya merobohkan gadis di tengah malam buta tentu
akan mendatangkan kecurigaan besar sekali dan tentu Hui Lian kini
akan merasa yakin bahwa Wan Sin Hong benar-benar seorang
penjahat keji pengganggu wanita!
Di samping kedukaan ini. juga Sin Hong ingin sekali menguji
sampai di mana kehebatan ilmu silat dari puten pendekar yang
sudah amat terkenal dan selalu dipuji-puji oleh gihunya. Maka lalu
memperhatikan dan menghadapi pedang Hui Lian dengan tangan
kosong.
Di lain pihak, Hui Lian merasa amat penasaran, mendongkol, dan
juga heran, Dia adalah puteri tunggal Go Ciang Le jagoan nomor
satu di dunia persilatan. Dia sudah mewarisi Ilmu Silat Pak-kek, Sinciang
yang belum seratus prosen akan tetapi hanya di bawah
tingkat ayahnya. Dia mempelajan ginkang darinya yang telah
mewarisi ilmu ginkang luar biasa dari mendiang Thian Te Siang-mo
(Sepasang Iblis Kembar). Bagaimana sekarang dengan pedangnya,
ia hanya dihadapi dan dilawan dengan tangan kosong belaka oleh
pemuda keji bernama Wan Sin Hong ini? Ia benar-benar penasaran,
mendongkol dan heran. Baru ini kali selama hidupnya Hui Lian
mengalami hal yang amat aneh dan tak masuk akal.
Di samping keheranan dan penasaran ini, ia pun diam diam
merasa amat kecewa. Rasa kecewa yang sudah terasa di dalam
lubuk hatinya semenjak ia berjumpa dengan Sin Hong, kecewa
karena melihat seorang pemuda yang demikian "baik" ternyata telah
sesat menjadi seorang penjahat keji yang demikian tersohor. Kini,
melihat sendiri betapa kejinya pemuda itu mengejar-ngejar seorang
566
gadis dan merobohkannya, ditambah dengan kenyataan betapa
tinggi ilmu silat pemuda rasa kecewa di dalam hatinya meningkat.
Harus ia akui bahwa hatinya tergerak dan tcrtarik sekali terhadap
pemuda mi. Betapa tidak? Selama hidupnya baru kali ini ia bertemu
dengan seorang pemuda yang demikian gagah dan tinggi ilmu
silatnya. Tampan pula! Tidak kalah oleh Kong Ji dalam kelihaian
maupun dalam ketampanan. Akan tetapi... sayangnya tidak kalah
pula dalam kejahatan!
Rasa kecewa ini membuat Hui Lian menjadi makin gemas.
Pedangnya berkelebat-kelebat menyambar bagaikan naga
mengamuk, akan tetapi yang diamuknya tenang-tenang saja
mengelak ke sana ke mari, kadang-kadang menyampok perlahan
dan beberapa kali terdengar pemuda itu memuji ilmu pedangnya.
Lima puluh jurus telah lewat tanpa satu kali pun Sin Hong membalas
serangan Hui Lian.
"Keparat, kaubalaslah!" Hut Lian membentak dengan penasaran
dan gemas. Hatinya sakit sekali dan mau ia menangis sambil
membanting-banting kaki kalau ia tidak malu kepada Sin Hong. Baru
kali ini dia, puteri Hwa I Enghiong! dipermainkan orang seperti ini.
Akan tetapi tiba-tiba Sin Hong berseru keras, "Celaka, dia tari...!"
Hui Lian mengerling dan benar saja, gadis yang tadi dikejar-kejar
dan dirobohkan oleh Sin Hong telah lenyap dari situ, tidak kelihatan
lagi bayangannya. Ketika ia memandang lagi ke depan, Sin Hong
juga telah lenyap. Tentu pemuda itu pergi mencari gadis tadi,
pikirnya dan aneh sekali, timbul rasa tidak enak seperti orang iri hati
dan cemburu didalam dadanya. Sin Hong agaknya tergila-gila dan
suka sekali kepada gadis tadi sampai-sampai meninggalkan
gelangang pertempuran, seakan-akan tidak ada gadis cantik lain di
dunia ini, seakan-akan dia.... Go Hui Lian... bukan seorang gadis
atau bukan seorang gadis cantik! Sayang aku tadi tidak melihat
wajah gadis itu, demikian bisikan hati Hui Lian.
Tiba-tiba gadis ini merah mukanya dan mau ia menampar pipinya
sendiri untuk pikiran yang dianggapnya tak bermalu itu. Cepat
dikeluarkan panah api dan tak lama kemudian di udara meluncur
cahaya kekuningan.
567
Tak lama kemudian datanglah Tang Hwesio sambil memanggul
penggadanya. Langkahnya lebar dan larinya cepat seperti seekor
singa.
"Mana dia...?" tanyanya dari jauh begitu dia melihat bayangan
gadis itu.
"Dia telah lari, Lo-suhu. Sayang sekali." Kemudian dengan
singkat Hui Lian menceritakan betapa ia melihat penjahat itu
mengejar dan merobohkan seorang gadis. Kemudian ia menyerang
penjahat itu yang melarikan diri setelah melihat gadis tadi sudah
lenyap dan situ, agaknya sudah lari lebih dulu.
"Aneh sekali, pinceng juga melihat bayangan seorang laki-laki
memondong seorang gadis wanita, cepat sekali larinya dan telah
lenyap sebelum penceng dapat melihat apakah dia itu Wan Si Hong
atau bukan."
Makin panas dan tidak enak hati Hui Lian. "Ah, tentu dia sudah
menangkap lagi perempuan tadi. Sayang aku tidak mempunyai
kemampuan untuk merobohkan dan membikin mampus dia!"
Tang Hwesio menarik napas panjang: "Siapa yang akan
menyalahkan kau, Nona? Kita berdua sudah sama tahu betapa
lihainya penjahat muda itu. Kau bertemu dengan dia seorang diri
dan dia tidak mengganggumu, itu sudah amat bagus untukmu.
Nona, sekarang tidak ada lain jalan bagi kita. Kau lebih baik lekas
mencari Ayah bundamu, suruh mereka turun tagan menangkap
penjahat keji ini. Pinceng sendiri akan menemui kawan-kawan di
dunia kang-ouw untuk mengajak mereka beramai-ramai turun
gunung membersihkan dunia dari kejahatan Wan Sin Hong!"
Memang tidak ada jalan lain yang lebih baik. Mereka berdua tidak
berdaya menghadapi Wan Sin Hong. Dengan lemas dan kecewa Hui
Lan berpisah dan Tang Hwesio. kembali ke hotelnya mengambil
pakaian, meninggalkan uang pembayaran sewa kamar di atas meja
dan pergi pada saat itu juga. Tengah malam telah lama lewat dan
fajar sudah hampir menyingsing. Di sana-sini, jarang-jarang, sudah
terdengar suara kokok ayam yang kepagian. Di angkasa sudah tidak
ada buIan, hanya bintang-bintang masih menghias langit hitam,
berkedap-kedip seakan-akan bermain mata dengan Hui Lian. Aneh,
568
kedipan bintang mengingatkan Hui Lian akan kedipan mata Sin
Hong dan ia mengutuk bintang-bintang itu dalam hatinya, tidak mau
memandang ke atas lagi dan berjalan meninggalkan kota Tiang-si
yang masih tidur.
Hawa pagi itu dingin benar. Ah, mengapa aku keluar sepagi ini?
Dingin amat, pikir Hui Lian. Akan tetapi kalau ia teringat akan
peristiwa tengah malam tadi, ia berpikir lain. Biarlah, biar aku
kedinginan, hitung-hitung untuk menghukum kebodohan sendiri.
Aku harus melupakan dia sebagai pemuda menarik hati, harus ingat
dia sebagai seorang penjahat keji! Biarlah hawa dingin mencuci
otakku yang keruh, pikirnya gema kepada diri sendiri.
Kokok ayam saling bersahutan menyambut fajar menyingsing
ketika Hui Lian tiba di luar kota yang sunyi. Sawah dan tegal para
petani membentang luas di kanan kini jalan yang sunyi itu. Kadangkadang
saja ia melihat pohon yang tumbuh di pinggir jalan, pohonpohon
tua yang batangnya sudah terbengkok-bengok membawa
berat dahan dan daun.
Ketika tiba di jalan membelok, ia melihat sinar api di depan. Dari
jauh dapat dilihat bahwa itu adalah api unggun yang dibuat orang,
sedangkan orangnyapun kelihatan berjongkok di dekat api, agaknya
seorang petani membuat api untuk mengusir hawa dingin yang
menggerogoti tulang.
Hut Lian tentu saja dapat mengusir serangan hawa dingin
dengan pengerahan sinkangnya, akan tetapi pada saat itu
semangatnya sedang lelah dan tidak mempunyai niat untuk
berusaha sesuatu. Kini melihat orang mengusir dingin dengan api
unggun, nampaknya begitu hangat dan enak, ia ingin sekali ikut
menghanatkan tubuh di dekat api unggun. Tak terasa lagi ia lalu
membelokkan tujuan kakinya dan menghampiri api unggun itu.
"Mari, silahkan duduk, Nona. Aku sengaja mcnunggumu di sini.
Kita bercakap-cakap sambil menghangatkan tubuh. Silakan." Orang
yang tadinya dikira petani itu menggeser sebuah batu besar ke
dekat api unggun sambil mempersilahkan Hui Lian dengan tangan
kanannya dibentangkan.
569
Hui Lian membelalakkan matanya hampir saja berteriak saking
kagetnya. "Kau...?" serunya dan secepat kilat telah mencabut
pedangnya! Ternyata bahwa orang itu bukan lain adalah Wan Sin
Hong yang malam tadi diserangnya mati-matian dan yang semenjak
kemarin bayangannya selalu mengganggunya.
Sin Hong menundukkan mukanya dia menarik napas panjang.
"Alangkah buruknya kebiasaan seorang ahli silat. Di waktu
sedingin ini pun mencabut pedang. Aahhh, kalau aku tidak mengerti
ilmu silat, alangkah baiknya namaku tidak rusak... aku tidak dibenci
orang...."
"Kau jahanam busuk pura-pura menyesal?" Hui Lian
menodongkan ujung pedangnya
di depan dada Sin Hong. "Jangan
kau berusaha hendak menipuku.
mana gadis malam tadi?"
Bibir Sin Hong tersenyum
duka. "Tahukah kau di mana dia?
Aku ingin sekali tahu, ingin sekali,
karena aku harus dapat
merangkap dia." Kemudian
sambil menatap wajah Hui Lian
yang nampak luar biasa cantiknya
dalam cahaya api unggun. Sin
Hong berkata tenang, "Kau
duduklah baik-baik, Nona. Aku
ingin bicara dari hati ke hati
denganmu, aku merasa bahagia
sekali dapat bertemu dengan puteri Hwa I Enghiong."
"Jangan coba berputar lidah! Hayo keluarkan senjatamu kalau
kau memang laki-laki. Keparat jahanam, penjahat rendah, aku tidak
begitu rendah untuk membunuh orang yang tidak melawan. Hayo
kita bertempur seribu jurus sampai seorang di antara kita
menggeletak tak bernyawa di sini!" Tangan Hui Lian yang
memegang pedang sudah menegang, siap untuk menyerang.
570
Sin Hong memandang ke arah api dan menarik napas lagi,
wajahnya agak pucat dan sinar matanya layu.
"Simpan kembali pedangmu. Nona. Tiada gunanya lagi, aku
bukan orang jahat."
"Mana ada penjahat mengaku jahat? Harimau ganas pun
langkahnya perlahan, jejaknya tak terdengar orang. Hayo lekas
berdiri dan siap untuk bertempur mati-matian!" Hui Lian menantang
sambil membanting kakinya.
"Sesukamulah, kau boleh memaki aku apa saja. Akan tetapi yang
jelas, aku takkan mau melawanmu bertempur. Sekali saja bagiku
cukuplah, karena yang sekali itu pun sudah membuat aku merasa
sengsara sekali."
"Pengecut jangan kau menghinaku! Apa kaukira aku takut
kepadamu? Biar pun kau seribu kali lebih lihai, aku Go Hui Lian tidak
takut mati, tahu? Bangkitlah dan mari kita tetapkan siapa yang
harus menggeletak tak bernyawa di sini. Mati untuk membela para
wanita yang kauganggu, aku rela!"
Sin Hong menggeleng-gelengkan kepaIanya. "Ucapanmu lebih
tajam dan menyakitkan daripada tusukan pedangmu, Nona. Sudah
kukatakan bahwa aku tidak sanggup lagi melawanmu. Hanya
pintaku kalau kau memang mempunyai perikemanusiaan, duduklah
dan dengarkan semua penjelasanku. Aku bersumpah bahwa Wan
Sin Hong bukanlah seorang keji, bukan seorang hina yang
melakukan segala, perbuatan terkutuk. Karena kau puteri Hwa I
Enghiong yang sudah lama kukagumi, maka aku ingin menceritakan
semua ini kepadamu. Karena kau... kau seorang yang ingin
kujadikan kawan, maka aku mau menceritakan semua ini
kepadamu. Akan tetapi kalau kau tidak percaya dan tetap hendak
membunuhku, tusukkan saja pedangmu itu. Aku takkan
melawan...." Sin Hong kembali memandang ke arah api. Ia sedih
sekali. Benar-benar ia pun merasa heran mengapa begitu banyak
orang menganggapnya jahat, ia bahkan merasa penasaran. Akan
tetapi sekali saja gadis ini menganggapnya jahat, ia menjadi lemas
dan berduka, dan ingin mati saja!
571
"Keparat jahanam! Berdirilah, lawanlah aku... jangan kau
menghina! Sikapmu yang tak hendak melawan ini menghinaku.
Kautahu, aku puteri pendekar besar Go Ciang Le, aku tidak takut
mati. Berdirilah... atau kalau tidak... demi Tuhan, kutusuk dadamu
dengan pedangku!" Hui l.ian kini membanting-banting kedua
kakinya dan mau dia menangis. Tangannya yang memegang
pedang mulai gemetar, sedangkan ujung pedang yang runcing
mendekat sampai menempel di baju Sin Hong, tepat di dada kiri di
mana jantungnya berada, jantung yang berdebar lemah karena
duka.
Sin Hong menggeleng-gelengkan kepala menengok dan menatap
wajah Hui Lian sebentar, kemudian memandangi api lagi. "Mati di
tangan dara perkasa puteri Hwa I Enghiong cukup berharga...."
katanya perlahan.
"Bedebah, lihat pedang!" Hui Lian yang sudah marah sekali
karena merasa dihina dengan semua kata -kata Sin Hong yang
dianggapnya seorang penjahat besar pengganggu banyak wanita,
menggerakkan tangan kanan. Pedangnya ditarik ke belakang lalu
ditusukkan ke depan.
Sin Hong tidak bergeming, bergerak sedikit pun tidak. Akan
tetapi terdengar baju robek dan darah mengucur keluar dari pundak
kirinya, membasahi bajunya yang putih. Sebentar saja baju Sin
Hong menjadi merah oleh darahnya sendiri!
"Mengapa kau selewengkan ke pundak, Nona?"
"Kau... kau... mengapa tidak mengelak...?" Hui Lian berdiri
dengan muka pucat matanya terbelalak lebar, bibirnya gemetar dan
tangan yang memegang pedang menggigil. Ngeri ia melihat darah
membasahi baju di dada Sin Hong.
"Sudah kukatakan tadi, aku takkan melawan. Aku rela mati di
tangan Nona Go Hui Lian, seorang dara perkasa yang gagah dan
budiman...."
Dua titik air mata melompat keluar dari sepasang mata Hui Lian
ketika ia mendengar suara yang halus ini. Akan tetapi ia menggigit
bibir mengeraskan hatinya.
572
"Kau jahat dan aneh. Apa artinya sikapmu ini? Kau demikian
jahat, mengapa sekarang kau berpura-pura baik? Biarpun memakai
bulu domba bertopeng muka kelinci, harimau tetap harimau buas
dan liar. Siapa percaya kepadamu"
"Tidak ada yang percaya kepadaku, Nona. Oleh karena itulah
maka harapanku satu-satunya kujatuhkan kepadamu. Aku
mengharapkan kau suka mendengarkan ceritaku dan... percaya
kepadaku..."
"Mengapa...? Mengapa kepadaku?"
Sin Hong tersenyum, menggcrakkan jari tangan kanan menotok
pundaknya sendiri untuk menghentikan darah yang mengalir. Hui
Lian memandang kagum melihat pemuda itu menerima tusukan
pedang dan menahan luka tanpa berkedip sedikit pun.
"Karena kau puteri Hwa I Enghiong. sudah semenjak kecil aku
mendengar dari Gihu tentang Ayah Bundamu yang gagah perkasa
dan budiman. Karena itu aku percaya bahwa puterinya tentu juga
seorang gagah dan budiman pula."
"Apa yang hendak kau ceritakan lagi? Bukti banyak, semua orang
di dunia kang-ouw mengetahui bahwa..." Hui Lian tidak melanjutkan
kata-katanya. Teringat akan segala perbuatan keji yang dilakukan
oleh pemuda ini, perasaan terharu yang tadi menipis.
"Memang demikian, Nona. Aku dianggap jahat, dan sudah
banyak bukti-buktinya. Akan tetapi semua ini bukan atas
kehendakku sendiri, ada orang yang sengaja merusak namaku.
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid XXI
“APA maksudmu?"
"Ada musuh rahasia yang sengaja melakukan semua perbuatan
terkutuk dengan menggunakan namaku dan...."
"Bohong' Siapa bisa percaya? Wan Sin Hong, tak perlu kau
mengarang dongeng, apakah para locianpwe di dunia kang-ouw
semua sudah bodoh dan buta? Aku sendiri melihat kau mengejar
573
dan merobohkan... seorang gadis. Apa kau masih belum mati dan
mempunyai muka untuk menyangkal?"
"Sayang gadis itu terlepas lagi," Sin Hong menghela napas. "Dia
itu kaki tangan musuh rahasiaku. Sudah tertawan terlepas lagi…..”
Hui Lian tertegun. "Ceritakan semua!"
Sin Hong menengok dan menatap wajah yang cantik dan kini
tegang itu. "Nona, percayakah kau kepadaku?"
"Mengingat kau anak angkat Lie Bu Tek Pekhu, seharusnya aku
percaya, akan tetapi mendengar nama busukmu dan melihat bukti
sendiri malam tadi….”
"Jadi kau juga tidak percaya kepadaku?"
Hui Lian menggelengkan kepalanya, sungguhpun agak ragu-ragu.
Sin Hong mengeluh, lalu duduk menghadapi apa lagi. "Kalau
begitu tidak ada gunanya bagiku untuk bercerita. Kau boleh tusuk
aku sampai mati atau... tinggalkan aku pergi!"
Hui Lian melengak, mukanya menjadi merah. Tangan yang
memegang pedang sudah menggigil lagi, akan tetapi bagaimana ia
bisa membunuh orang yang membuat hatinya tidak karuan rasanya
ini? Orang yang membuat ia merasa bukan seperti diri sendiri,
merasa lemah dan tidak dapat menguasai hati dan pikiran, tak tentu
pendirian? Hati dan pikirannya bertempur hebat. Menurutkan
kesadarannya sebagai seorang pendekar, ia harus membunuh
manusia jahat ini akan tetapi menurut suara hatinya... ia tidak tega,
bahkan baru melukai pundaknya saja ia merasa menyesal bukan
main.
Akhirnya, sambil mengeluarkan jerit tertahan, pedangnya
berkelebat dan robohlah sebatang pohon tak jauh dari situ,
tumbang oleh sabetan pedangnya! Kemudian, dengan suara aneh di
kerongkongan, tangis bukan tawa bukan akan tetapi menyerupai
keduanya. Gadis itu mengerahkan tenaga dan lari meninggalkan Sin
Hong yang masih duduk menghadapi api unggun bagaikan patung
batu!
574
Sin Hong benar-benar menderita hebat. Sudah hampir lima hari
ia sampai lupa makan lupa tidur saking marahnya kalau ia
mengingat betapa namanya dirusak benar-benar oleh musuh
rahasia itu. Selain marah, ia juga jengkel dan sedih. Pertemuannya
dengan Tang Hwesio dan Hui Lian menambah kesedihan dan
kejengkelannya. Begitu bertemu, ia telah jatuh hati kepada Hui Lian,
hal ini ia tak dapat menyangkal pula, sungguh ia sendiri belum sadar
perasaan apa yang menyelinap di dalam sanubari terhadap gadis
itu. Akan tetapi yang pasti, ia merasa sedih sekali karena gadis itu
pun menuduh dia seorang jahat bahkan membencinya dan hampir
saja membunuhnya.
Sin Hong adalah seorang yang amat kuat tubuhnya. Apalagi ia
seorang ahli pengobatan yang luar biasa, tahu cara bagaimana
menjaga diri. Akan tetapi, betapapun kuat tubuhnya, ia masih muda
dan batinnya masih belum masak. Oleh karena itu, lima hari tidak
makan tidur, ditambah dengan tekanan batin yang berat, kini
ditambah lagi dengan pukulan batin dalam pertemuannya dengan
Hui Lian, ia hampir tak kuat menahan. Setelah Hui Lian
meninggalkannya pergi membawa rasa benci, ia merasa pilu dan
sedih sehingga tanpa dirasa ia telah pingsan di dalam duduk bersila
di depan api unggun! Kalau orang lain yang berhal seperti ini, amat
berbahaya keadaannya karena kalau ia terguling ke dalam api
berarti akan menemui maut. Akan tetapi Sin Hong bukan seorang
biasa, tubuhnya telah terisi tenaga singkang yang hebat, yang dapat
bekerja otomatis seperti bekerjanya paru-paru dan jantung. Biarpun
ia dalam keadaan tidak sadar, namun tubuhnya tetap bersila seperti
tadi!
Sin Hong sudah setengah siuman ketika ia mencium bau harum
sekali dan bagaikan dalam mimpi ia melihat seorang gadis sedang
berlutut di dekatnya dan menaruh obat semacam koyo, ditempelkan
pada pundaknya yang terluka oleh pedang.
"Aku gila... aku telah gila... aku gila…..!” Telinga Sin Hong
mendengar gadis itu berbisik berulang kali sambil mengobati
pundaknya dengan jari-jari tangan gemetar. Semua ini terjadi
seperti dalam mimpi dan Sin Hong sampai tidak berani membuka
mata, khawatir kalau-kalau mimpi indah dan tak mungkin ini akan
lenyap. Nona Go Hui Lian telah mengobati pundaknya, telah berlutut
575
di dekatnya dan rambut yang hitam halus dan harum itu demikian
dekat dengan mukanya. Alangkah indah mimpi ini terlampau indah
untuk dipercaya. Maka Sin Hong tidak berani membuka matanya
hanya mengintai dari balik bulu mata.
Tiba-tiba Hut Lian melompat berseru keras. "Suci, jangan...!"
Seruan ini ia susul dengan gerakan pedang, menangkis sebatang
pedang yang meluncur menyerang leher Sin Hong!
"Traang...!" Baik Hui Lian maupun penyerang itu terhuyung ke
belakang saking kerasnya tenaga yang mereka keluarkan, satu
menyerang yang lain melindungi.
"Wan Sin Hong manusia biadab! telah merusak hidupku, kau
harus menebus dengan nyawamu!" Kembali gadis itu menyerang
dan Hui Lian menjadi bingung. Ditangkisnya lagi serangan itu sambil
berkata,
"Nanti dulu, Suci........ dia terrluka...." kata Hui Lian.
Gadis itu memang Soan Li adanya yang muncul di pagi hari dan
langsung menyerang Sin Hong. Dengan mata aneh Soan Li
memandang kepada Hui Lian, membentak, "Siapa berani membela
maanusia keji ini?"
Hui Lian menjadi merah mukanya. memang amat janggal dan
sulit kedudukannya kalau ia membela seorang penjahat besar
seperti Sin Hong. Pula, kata-kata yang diucapkan oleh Soan Li
membuat Hui Lian merasa jantungnya seperti mau terlepas. Apakah
gerangan yang telah diperbuat oleh Sin Hong terhadap Soan Li?
"Suci, apakah... apakah... kau menjadi korban...?"
Tiba-tiba Soan Li menangis! Selagi Hui Lian memandang dengan
pilu dan bingung, Soan Li melompat lagi dan marah-marah seperti
orang mabok. "Wan Sin Hong, kau harus mampus!" Dengan pedang
di tangan ia menubruk ke depan, melakukan serangan hebat sekali
dengan menusukkan pedang ke dada pemuda itu! Kini Hui Lian
tidak mau bergerak menangkis. Mukanya berubah pucat sekali dan
ia yakin apa yang telah terjadi atas diri Soan Li. Pasti kakak
seperguruannya itu telah menjadi korban dari penjahat muda yang
keji ini. Kalau tidak demikian tak mungkin sucinya akan bersikap
576
semarah itu dan sebenci itu terhadap Sin Hong. Kalau Sin Hong
sudah bertindak keji terhadap sucinya ia tak boleh melindunginya
lagi, bahkan sudah seharusnya kalau ia membantu sucinya
membunuh manusia jahanam itu. Dengan. isak tertahan dan kedua
kaki menggigil Hui Lian meramkan mata dan menyerang Sin Hong
membarengi serangan Soan Li mengirim tusukan maut ke arah
lambung pemuda itu!
Di lain saat ketika Hui Lian membuka matanya karena
tusukannya mengenai angin, ia melihat tubuh Sin Hong berkelebat
dan tahu-tahu Soan Li telah dikempit oleh pemucla itu. Ia
mendengar Sin Hong berkata.
"Tenang, Gak Siocia! Aku akan menyembuhkanmu...."
Di saat itu berkelebat bayangan orang dan sebatang pedang
yang cahayanya menyilaukan mata meluncur cepat menyerang Sin
Hong. Pemuda ini mengeluarkan seruan kaget dan cepat mengelak.
Hui Ilan juga kaget ketika mendengar kenyataan bahwa yang
menyerang kali ini adalah Liok Kong Ji. Selagi Hui Lian terheran,
kembali berkelebat dua bayangan orang yang gerakannya
membuktikan bahwa mereka ini adalah ahli-ahli silat kelas satu.
Ternyata mereka ini adalah seorang hwesio gundul tinggi besar dan
seorang kakek berambut panjang yang wajahnya menyeramkan.
Biarpun keduanya bertangan kosong, namun serangan mereka
terhadap Sin Hong bukan main hebatnya.
Sin Hong yang mengempit tubuh Soan Li agaknya tidak mau
melayani mereka, mungkin karena terhalang gerakannya oleh tubuh
Soan Li yang dipondongnya. Akan tetapi ini tentu saja dalam
pandangan Hui Lian, padahal sebenarnya, pemuda ini yang sejak
pertemuannya dengan Soan Li di samping Kong Ji telah menaruh
curiga, tadi ketika diserang oleh Soan Li, ia cepat menyambar
pergelangan tangan gadis itu dan sekali tekan saja ia tahu bahwa di
dalam tubuh Soan-Li mengalir darah yang kotor oleh racun! Maka
terbukalah matanya dan tahulah ia bahwa ia berhadapan ngan Soan
Li yang sudah terganggu jalan pikiran dan ingatannya oleh racun
berbahaya. Tanpa membuang waktu lagi lalu menangkap Soan Li
dan bermaksud membawa pergi gadis int untuk diobati. Soal
pembalasan terhadap Ba Mau Hoatu hwesio gundul itu dan Giok
577
Seng Cu, kakek berambut panjang yang keduanya datang bersama
Kong Ji, dapat dilakukan kemudian, pikirnya.
Akan tetapi ada yang meragukan hati Sin Hong. ia melihat Kong
Ji bersama dua kakek jahat di situ. Tidak berbahayakah keadaan Hui
Lian apabila ia pergi membawa Soan Li. Bagaimanakah hubungan
antara Hui Lian dan Kong Ji? Akan tetapi Kong Ji, Ba Mau Hoatsu,
dan Giok Seng Cu tidak memberi banyak waktu kepadanya. Tiga
orang ini cepat menyerang dengan hebatnya, bahkan kini Ba Mau
Hoatsu telah mengeluarkan sepasang rodanya yang lihai dan Giok
Seng Cu mengeluarkan Ilmu Pukulan Tin-san-kang.
Aku harus menyelamatkan Soan Li lebih dulu, pikir Sin Hong yang
merasa tidak leluasa menghadapi gempuran tiga orang lihai ini.
Secepat kilat ia melompat dan melarikan diri.
"Bangsat rendah, lepaskan suciku...!" Hui Lian membentak marah
ketika melihat Sin Hong melarikan diri sambil membawa pergi Soan
Li.
"Hui Lian, Sumotku yang manis, mari kita bersama mengejar
bangsat Wan Sin Hong...!" kata Kong Ji sambil melompat menyusul.
"Pergi' Siapa sudi bicara denganmu?" jawab Hui Lian sambil
menyabetkan pedangnya ke arah Kong Ji. Pemuda ini tertawa dan
mengelak, akan tetapi saat itu dipergunakan oleh Hui Lian untuk
mempercepat larinya mengejar bayangan Sin Hong yang sudah
jauh.
Ia hanya mendengar Kong Ji tertawa bergelak, suara ketawa
yang dulu pernah membuat bulu tengkuknya berdiri, kemudian ia
mendengar suara kakek gundul. "Liok-sicu, mengapa tidak tawan
saja Nona galak itu?"
"Tak usah, biarkan dia pergi mengejarnya," terdengar jawaban
Kong Ji Hui Lian tidak mendengar lagi apa yang selanjutnya mereka
ucapkan karena ia takut tertinggal jauh oleh Sin Hong. Dengan
cepat ia mempergunakan ilmu lari cepat mengejar bayangan Sin
Hong yang bukan main cepat larinya, akan tetapi jarak antara dia
dan Sin Hong tidak berubah. Pemuda itu sambil memondong tubuh
Soan Li tetap saja berada di depannya. Hui Lian merasa
dipermainkan lalu mempercepat larinya. Namun, orang yang
578
dikejarnya juga mempercepat larinya sehingga tetap saja ia tidak
menjadi makin dekat.
Mereka lari berkejaran sampai hampir setengah hari lamanya.
Matahari telah naik tinggi dan Hui Lian tidak tahu ia telah tiba di
mana, karena agaknya Sin Hong sengaja mengambil jalan yang
tidak pernah dilalui manusia masuk hutan, keluar hutan, naik bukit
turun bukit.
Tiba-tiba Sin Hong berhenti dan membalikkan tubuh, menanti Hui
Lian yang mendatangi dengan muka penuh keringat dan napas agak
terengah. Merah muka Hui Lian, merah karena panas darahnya dan
juga karena malu dan marah.
"Jahanam keparat, kalau tidak kaulepaskan suciku, biar sampai
mati aku takan berhenti mengejarmu!"
"Nona, kau benar-benar aneh. Tadi kau bersikap amat baik
kepadaku, obat pada lukaku ini masih menempel...."
Muka yang merah itu makin merah lagi dan untuk sejenak Hui
Lian tak berani menentang mata Sin Hong. Akan tetapi kepala yang
ditundukkan itu tiba-tiba diangkat, sepasang matanya bersinarsinar.
"Keparat, kau benar-benar seorang yang rendah budi, seorang
kurang ajar yang curang! Kau hendak mempergunakan rasa kasihan
demi peri kemanusiaan di dalam hatiku untuk alat mengejekku! Jadi
tadi kau berpura pura pingsan, padahal kau sadar dan tahu bahwa
aku mengobati luka di pundakmu? Keparat betul! Kalau aku tahu
demikian halnya, aku pasti akan membikin mampus padamu. Hayo
lepaskan Suci, mau apa kau menawan dan membawanya lari? Tak
tahu malu!"
Suara Sin Hong terdengar bersungguh-sungguh. "Go siocia tetap
tak percaya kepadaku dan tetap menuduhku sebagai seorang jahat.
ternyata kau juga sebodoh orang-orang itu. Tak tahukah kau bahwa
Sucimu ini dalam keadaan sakit berat? Bahwa Sucimu ini
mengeluarkan kata-kata menuduhku dalam keadaan tidak sadar?
Ingatannya telah berubah karena racun di dalam tubuhnya."
579
"Bohong besar! Tadi dengan jelas Suci menyatakan bahwa kau
telah... telah merusak hidupnya, kau bangsat besar harus dibunuh...
kau... kau..." Hui Lian teringat akan semua ini dan aneh sekali, di
samping nafsu amarah yang naik memenuhi dadanya, juga tanpa ia
rasa air matanya mengucur keluar! Ia menggigit bibir dan di lain
saat pedangnya telah menyerang Sin Hong.
"Suci sadar dan berontaklah, mari kita bunuh dia..." Hui Lian
berseru akan tetapi Soan Li nampak lemas tidak sadarkan diri.
Sin Hong mengelak cepat dan menarik napas panjang. "Kau
keras kepala dan bodoh!" Kemudian disambungnya dengan
pandangan mata penuh perasaan. "Akan tetapi aku suka kepadamu,
aku makin suka kepadamu!" Setelah berkata demikian, tubuhnya
berkelebat cepat dan di lain saat ia telah lari jauh sekali. Hui Lian
terkejut dan ternganga. Tahulah dia bahwa tadi Sin Hlong tidak
mempergunakan ilmu larinya, maka ia masih dapat
inengimbanginya. Sekarang, andaikata ia mengejar, takkan ada
gunanya karena kecepatan lari pemuda itu benar-benar luar biasa
sekali, tak kuasa ia menyusul. Dengan perasaan lelah lahir batin, Hui
Lian menjatuhkan dirinya terduduk di atas rumput lalu... menangis!
Sakit sekali hatinya kalau membayangkan Sin Hong, pemuda
yang menggemaskan namun mendebarkan hatinya itu. Ia berusaha
sekuat tenaga untuk membenci Sin Hong, namun perasaan lain
yang amat kuat dan aneh membuat kebenciannva selalu buyar
sebelum membulat di hatinya. Ia tahu bahwa Sin Hong adalah
seorang pemuda biadab. Agaknya pemuda itu gila perempuan.
Buktinya malam hari itu mengejar dan menawan seorang gadis,
sekarang begitu melihat Soan Li, lalu menculiknya pula.
Akan tetapi perasaan aneh dan membantah jalan pikirannya
sendiri, lalu kalau dia benar gila perempuan dan mengganggu setiap
orang perempuan yang dijumpainya, mengapa terhadapku dia tidak
mengganggu?
Hui Lian menjadi bingung seakan-akan menghadapi teka-teki.
Kemudian teringat ia kepada Kong Ji suhengnya yang muncul secara
tiba-tiba dan tidak terduga. Siapakah dua orang kakek teman
suhengnya itu yang demikian lihai? Membayangkan semua ini,
kembali ia terkesan kepada Sin Hong. Alangkah hebatnya ilmu
580
kepandaian Sin Hong ini, biarpun sedang memondong tubuh Soan Li
dan bertangan kosong, namun serangan tiga orang kosen itu tidak
berhasil merobohkannya!
Tiba-tiba Hui Lian tersentak kaget. Pertemuannya dengan Liok
Kong Ji membuka ingatannya dan terbukalah rahasia yang selama
ini merupakan teka-teki baginya. Gadis yang pada tengah malam itu
dirobohkan oleh Sin Hong, biarpun ia tidak melihat wajahnya
dengan jelas namun ia merasa sudah pernah melihatnya. Sudah
pernah melihat wajah yang memiliki kecantikan tersendiri itu,
potongan rambut yang dikuncir lurus ke belakang, kemudian bentuk
tubuh yang langsing kecil, seorang gadis yang cantik akan tetapi
kecantikannya membawa sesuatu yang ganjil, agaknya bukan
kecantikan gadis dusun biasa. Tadinya payah memikirkan di mana ia
pernah melihat gadis itu. Sekarang, setelah bertemu dengan Kong
Ji, tiba-tiba saja ia teringat. Tak salah lagi, gadis yang dikejar oleh
Sin Hong di tengah malam itu, yang hampir saja "diculik" oleh Sin
Hong, tentu Nalumei adanya! Puteri suku bangsa Neiman yang dulu
ditaklukkan oleh Temu Cin, kemudian gadis itu, Lima Nalumei yang
cantik dan bermata biru dihadiahkan kepada Kong Ji!
Berpikir sampai di sini, wajah Hui Lian memucat. Apa artinya
semua ini? Wan Sin Hong memang dikabarkan di dunia kang-ouw
sebagai penjahat muda yang suka mengganggu wanita, akan tetapi
sekarang, justru ia sendiri melihat bukti buktinya, mengapa buktibukti
itu kebetulan sekali ada hubungannya dengan Kong Ji?
Mengapa justru Nalumei dan Soan Li yang ditawan oleh Sin Hong.
Dan apa kata Sin Hong pada tengah malam itu? Pemuda itu
menangkap Nalumei karena dikatakan bahwa Nalumei adalah kaki
tangan musuh rahasianya! Dan sekarang, Sin Hong menyatakan
bahwa Soan Li terkena racun yang merampas ingatannya! Siapa
yang meracun Soan Li? Dan tiba-tiba muncul Kong Ji. Apa artinya
semua ini? Apa hubungannya Kong Ji dengan kejahatan Sin Hong?
Hui Lian tak sanggup lagi memikirkan semua ini. Tidak kuasa ia
membuka semua rahasia yang berbelit itu.
"Benar kata Tang Hwesio. Ayah dan Ibu harus turun tangan.
Andaikata benar Sin Hong penjahat keji, kelihaiannya hanya dapat
ditandingi oleh Ayah! Kalau tidak dan di balik semua ini ada rahasia
581
lain, kiranya hanya Ayah dan Ibu yang dapat memecahkannya,"
demikian Hui Lian berpikir. Kermudian ia bangkit dari rumput,
membetulkan pakaiannya yang kusut, membereskan pula
rambutnya, ia menghai bekas-bekas air mata In ia berjalan menuju
pulang ke Kim-bun-to.
-oo0mch-dewi0oo-
Sin Hong memondong tubuh Soan Li dan lari dengan cepat. Ia
mengambil ke putusan untuk membongkar rahasia yang
dihadapinya dari Soan Li. Soan Li juga dijadikan korban untuk
memfitnah dirinya, pikirnya. Dan gadis ini ternyata telah diberi racun
yang luar biasa, yang telah merampas ingatan gadis ini. Kalau aku
bisa menyembuhkannya dan bisa menuturkan pengalamannya,
tentu akan terbuka kedok musuh rahasia itu.
Biarpun belum mendapatkan bukti dan belum berani
memastikan, namun sudah timbul bayangan Kong Ji di dalam hati
Sin Hong. Pemuda itu mencurigakan sekali, gerak-geriknya aneh
dan mengapa ia selalu muncul di saat-saat yang genting dalam
urusan pengrusakan namanya itu? Akan tetapi, dugaan ini ia bantah
sendiri. Tak mungkin Kong Ji sampai hati melakukan semua itu, dan
pula apakah latar belakangnya maka Kong Ji hendak merusak
namanya? Ia akan lebih percaya kalau sekiranya yang merusak
namanya itu orang-orang macam See-thiat Tok-ong atau Giok Seng
Cu yang sudah ia ketahui kejahatannya dan kekejamannya.
Di tengah jalan, Sin Hong berdaya untuk menyadarkan Soan Li
dan keadaannya yang seperti bukan maunya sendiri, seperti orang
kemasukan setan. Akan tetapi, tiap kali ia membebaskan totokan
gadis itu, Soan Li langsung menyerangnya sambil memaki-makinya
sebagai penjahat keji yang telah menghinanya, menodainya dan
merusak hidupnya.
Terpaksa Sin Hong membuatnya tidak berdaya dengan totokantotokan,
kemudian mempergunakan jarum perak untuk menusuk
jalan-jalan darah yang penting. Ini perlu dilakukan untuk
mengembalikan kekuatan dan daya darah murni sehingga pengaruh
racun itu dapat dilawan. Kemudian ia mengurut-urut urat-urat besar
582
kecil di bagian kepala Soan Li. Semua ini dilakukan dengan amat
hati-hati, karena kepala adalah bagian tubuh yang paling sukar
dirawat dan diobati. Selain itu Sin Hong juga belum berpengalaman,
dan terpaksa ia mengerahkan pikiran untuk mengingat kembali isi
kitab peninggalan Kwa-siucai di bagian menyembuhkan orang dari
pengaruh racun-racun berbahaya.
Beberapa pekan kemudian. Sin Hong baru dapat menghilangkan
sifat liar dan marah dari gadis itu. Kini Soan Li tidak lagi mengamuk
dan menyerangnya, bahkan gadis ini seakan-akan lupa lagi siapa
dia. Akan tetapi tetap saja gadis ini sering kali memaki-maki dan
menangis, mengutuk perbuatan Wan Sin Hong atas dirinya dan
dengan suara mesra menyebut-nyebut nama Lam-ko atau Gong
Lam!
Sin Hong merasa terharu bukan main. Jelas sekarang baginya
bahwa Soan Li jatuh cinta kepada Gong Lam dan membenci Wan
Sin Hong. Hal ini benar-benar aneh, benar benar lucu dan
membingungkan. Gong Lam adalah Wan Sin Hong dan Wan Sin
Hong juga Gong Lam. Bagaimana Soan Li bisa mencinta Gong Lam
dan membenci Sin Hong? Kalau memikirkan semua ini, makin
menghebat rasa marah dan penasaran di hati Sin Hong terhadap
musuh rahasia yang agaknya demikian benci kepadanya sehingga
berusaha sekuat tenaga untuk merusak namanya.
Sin Hong duduk melamun di pinggir jalan menunggu Soan Li
sadar dari tidurnya, hatinya penuh harapan. Sudah semenjak pagi
tadi gadis ini tertidur. Kini perjalanan dapat dilakukan lebih leluasa,
karena Soan Li biarpun keadaannya seperti orang gila, namun
kepandaiannya tidak hilang. Kepandaian silat yang sudah mendarah
daging tidak terhapus lenyap oleh berubahnya ingatannya, maka
gadis ini masih dapat berlari cepat seperti biasa. Wataknya seperti
anak kecil dan ia tidak ingat siapa-siapa lagi, yang diingatnya hanya
Wan Sin Hong yang dibencinya dan Gong Lam yang dicintanya!
Menjelang tengah hari Soan Li menggeliat lalu membuka
matanya, berkedip-kedip karena matanya tertusuk cahaya matahari.
Sin Hong harus mengakui bahwa biarpun keadaannya seperti itu,
Soan Li tetap merupakan seorang gadis yang amat cantik dan
menarik. Akhirnya gadis itu membuka mata lagi, kini pandang
583
matanya bertemu dengan Sin Hong. Ia bangkit duduk, memandang
ke kanan lalu bertanya.
"Mana Lam-ko? Ke mana dia pergi? Mengapa dia meninggalkan
aku? Ah, Lam-ko, bantulah aku mencari dan membalas dendamku
kepada manusia keparat Wan Sin Hong!"
Sin Hong menggeleng-geleng kepalanya. Ia tidak mau
memperkenalkan sebagai Lam-ko atau Gong Lam, karena dengan
jalan memperkenalkan diri sebagai Gong Lam, sama artinya dengan
menyangkal bahwa dia sebenarnya Wan Sin Hong! Maka ia lalu
menghampiri Soan Li dan berkata membujuk.
"Gak-siocia, Engko Lam yang kaucari- cari itu sedang pergi
mengejar Wan Sin Hong. Hari telah siang, marilah kita menyusul
mereka, dan kita membuat Engko Lam menangkap Wan Sin Hong."
Bersinar mata Soan Li dan cepat sekali ia telah melompat
bangun. "Baik sekali, mari….!” katanya dan di lain saat ia telah
berlari cepat.
"Gak-siocia, bukan ke sana jurusannya, ke sini….!” seru Sin Hong
sambi memegang tangan gadis itu. Soan Li tidak membantah dan
memutar langkahnya, bersama Sin Hong lari ke kiri.
Sin Hong membawanya menuju ke Kim-ke-tho, karena ia ingin
gadis ini beristirahat di pulau itu, di mana gadis itu akan terjaga dan
aman.
Selain itu, ia pun ingin bertemu dengan gihunya, karena
menghadapi urusan yang sulit itu ia perlu minta nasehat dan
petunjuk Lie Bu Tek ayah angkatnya.
Selain ini, ada satu hal yang membuat Sin Hong nampak bingung
dan juga membuat hatinya perih, kebenciannya memuncak. Ketika
ia memeriksa Soan Li lebih teliti untuk melihat sampai di mana
racun itu menguasai tubuh gadis ini, ia mendapat kenyataan yang
amat mengejutkan, yaitu bahwa Gak Soan Li ternyata telah
mengandung! Ia benar-benar merasa bingung sekali dan tidak
berani ia bertanya siapakah ayah anak yang dikandung oleh Soan Li,
karena ia takut bayangan sendiri, takut mendengar jawaban yang
sudah dapat diduga.
584
Soan Li pasti akan menjawab bahwa ayah anak itu kalau bukan
Wan Sin Hong tentu Gong Lam. Apa pun jawabannya, Sin Hong
atau Gong Lam berarti... dia sendiri! Benar-benar Sin Hong
menghadapi hal yang dapat membuat kepalanya berdenyut pusing.
Pada suatu hari Sin Hong dan Soan li tiba di dekat pantai dan
tiba-tiba Sin Hong melihat kakek pengemis tua datang dari depan.
"Cam-kauw Locianpwe...!" Sin Hong berseru memanggil ketika ia
mengenal orang tua ini.
Memang benar pengemis tua itu adalah Cam kauw Sin Kai, kakek
yang sudah diangkat menjadi ketua dari Hek-kin-kaipang dan
tinggal di Pulau Kim-ke tho. Biarpun kalau bertempur, mata kakek
pengemis ini masih awas sekali melebihi mata orang muda, akan
tetapi kalau mehhat jauh ia sudah kurang awas. Baru ia mengenaI
Sin Hong setelah mendengar suaranya, maka cepat ia berlari
menghampiri. Wajahnya muram dan nampaknya ada sesuatu yang
amat penting sedang dipikirkan.
"Wan-sicu, selama ini kau dari mana saja dan siapa pula Nona
ini?" tanyanya dengan suara keren dan juga pandang mata penuh
kecurigaan.
Melihat sekelebat saja Sin Hong dapat menduga bahwa berita
tentang "kejahatannya" tentu sudah tersiar luas dan kiranya sudah
sampai di Pulau Kim-ke tho. Maka ia tersenyum duka ketika
menjawab.
"Sudahlah, Cam-kauw Locianpwe, aku benar-benar mengharap
kau orang tua tidak ikut-ikutan menyangka aku melakukan hal yang
bukan-bukan. Aku sendiri sedang bingung memikirkannya siapa
iblisnya yang sudah merusak namaku dan aku banyak
mengharapkan bantuan Locianpwe untuk memecahkan rahasia ini."
Lenyap bayangan muram di wajah Cam-kauw Sin-kai. "Lohu
memang percaya penuh kepadamu, Sicu. Aku telah mencalonkan
Sicu sebagai bengcu, tak mungkin aku memilih keliru. Coba kau
katakan apa yang telah terjadi, dan siapa pula Nona ini?"
"Dia ini adalah Gak Soan Li Siocia, murid dari Hwa I Enghiong Go
Ciang Le." Sin Hong memperkenalkan Soan Li yang berdiri
585
termenung tanpa memandang kakek itu dan seakan-akan tidak
mendengar semua percakapan tadi. Kemudian tanpa
menyembunyikan sesuatu, dengan singkat Sin Hong menuturkan
pengalamannya. "Di mana-mana aku mendengar tentang kejahatan
kejahatan keji yang dilakukan oleh seorang penjahat bernania Wan
Sin Hong. Aku sudah berdaya sekuatnya untuk mencari orang yang
merusak namaku, namun sia-sia. Penjahat itu benar-benar lihai dan
cepat gerakannya atau mungkin juga ia mempunyai banyak kaki
tangan sehingga selalu aku menangkap angin. Bahkan ia telah
menggunakan seorang gadis kaki tangannya untuk sengaja
mengaku telah kuganggu, mengadu di depan para locaianpwe dan
Ciangbunjin dari partai-partai besar. Dan Nona Gak ini, dia telah
pula mengaku bahwa dia dirusak oleh Wan Sin Hong, ketika aku
memeriksanya ternyata dia telah dirusak ingatannya oleh racun
jahat. Oleh karena itu aku membawanya ke sini untuk mencoba
mengobatinya."
Cam-kauw Sin-kai mendengarkan semua itu dengan muka
berkerut. "Jahanam betul iblis itu!" makinya. "Dan keadaan untukmu
buruk sekali, Sicu. Kalau sudah ada saksi yang mengaku menjadi
korbanmu, mengaku di depan para ciangbunjin, hmm, hal ini bukan
urusan kecil!" Kemudian ia berkata perlahan, "Kulihat Nona Gak ini
seperti berada di bawah pengaruh sihir, biar aku akan mencoba
menghilangkan pengaruh itu kalau dapat."
Setelah berkata demikian, ia melangkah ke depan mcnghampiri
Soan Li, lalu memanggil dengan suara berpengaruh dan pandang
mata tajam menatap nona itu.
“Nona Gak Soan Li...!!"
Sin Hong merasa betapa besar wibawa yang terkandung dalam
suara panggilan ini, maka ia berdiri menonton dengan kagum. Tak
disangkanya bahwa pengemis ini ternyata seorang ahli hoatsut
(sihir) yang memiliki Iweekang dan khikang tinggi.
Tadinya Soan Li seperti tidak memperdulikan sesuatu, namun
mendengar suara panggilan ini, tiba-tiba ia memutar tubuh
menghadapi Cam-kauw Sin-kai. Padahal biasanya ia telah lupa akan
namanya sendiri! Cam-kauw Sin-kai kini memandang dengan mata
seperti mengeluarkan api, bibirnya berkemak-kemik, jari-jari
586
tangannya membuat gerakan-gerakan aneh ke arah Soan Li. Ajaib,
nona itu berdiri bagaikan patung dan kedua matanya perlahan-lahan
dipejamkan, tubuhnya bergoyang-goyang seperti pohon cemara
tertiup angin, seperti hendak roboh ke kanan ke kiri.
Setelah mengeluarkan kata-kata pelahan, kata-kata rahasia
dalam ilmu hoatsut yang tak dimengerti oleh Sin Hong Cam-kauw
Sin-kai lalu mengeluarkan kata-kata pertanyaan,
"Kau bernama Gak Soan Li. ingat kau bernama Gak Soan Li, Gak
Soan Li...."
Suaranya demikian berpengaruh menyeramkan sehingga Sin
Hong sampai merasa kulit punggungnya dingin menebal.
"Aku Gak Soan Li...." Gadis ini menjawab dengan suara lemah
menyerah.
"Kau murid Hwa I Enghiong Go Ciang Le...." kembali Cam-kauw
Sin-kai menuntun untuk mengembalikan ingatan Soan Li.
"Aku murid Hwa I Enghiong Ciang Le Suhu...." gadis itu
menjawab.
Cam-kauw Sin-kai berkemak-kemik matanya makin tajam
menatap wajah Soan Li, kemudian tangan kanannya diangkat dan
telunjuknya menuding, lalu katanya berpengaruh sekali.
"Nona Gak Soan Li, sekarang ceritakan apa yang telah kaualami,
siapa yang telah merusak dan mengganggumu!"
Sin Hong merasa tegang, seluruh perhatiannya dicurahkan. Ingin
sekali ia mendengar apa yang hendak diucapkan oleh gadis itu.
Gadis itu kembali tubuhnya bergoyang-goyang, wajahnya perlalahan
menjadi pucat dan tiba-tiba mengeluarkan suara mengeluh dan
terisak sedih sekali! Sin Hong merasa kasihan dan hendak
melangkah maju, akan tetapi tangan kiri Cam kauw Sin-kai memberi
isyarat menahannya. Kemudian terdengar Soan Li bicara, suaranya
perlahan setengah berbisik, matanya masih meram dan tubuhnya
menggigil.
"Gelap sekali... kepalaku pening... tubuhku lemas kedua pahaku
masih sakit. Dia... jahanam keparat Wan Sin Hong... dia mengaku
587
bernama Wan Sin Hong, aku harus membunuhnya, harus membalas
dendam, mencuci noda dengan darahnya!" Soan Li nampak
bersemangat, kedua tangannya dikepalkan, tubuhnya menegang
kemudian ia nampak lemas dan lemah kembali, wajahnya berubah,
menjadi manis dan tersenyum-senyum berkata lambat-lambat,
"Lam-ko, kau oranglah yang baik terhadapku... biar pun rupamu
agak berubah, karena kau bernama Gong Lam, aku... aku cinta
kepadamu... Lam-ko, tahukah kau... tak lama lagi kita mempunyai
anak...!"
"Cukup!" Sin Hong membentak sambil melompat maju.
"Sicu, jangan...!" Cam-kauw Sin-kai melarang dan tangannya
bergerak mendorong. Akan tetapi Sin Hong menyampok tangan ini
dan akibatnya Cam-kauw Si kai mencelat sampai dua tombak
terhuyung-huyung ke belakang!
Soan Li menjerit, pengaruh yang mencengkeram dirinya terlepas,
tubuhnya terguling dan ia pingsan dalam pelukan Sin Hong!
"Wan-situ, mengapa kau menghalangi usahaku
menyembuhkannya?" tanya Cam kauw sambil memandang heran
kepada pemuda itu.
“Locianpwe, dia sudah menderita hebat, apakah masih perlu dia
harus membuka rahasianya yang memalukan?"
Cam-kauw Sin-kai mengangguk-angguk, lalu mengelus elus
jenggotnya dan berkata lambat, "Sudah jelas sekarang, Gak-Siocia
telah dinodai oleh seorang penjahat yang ditempat gelap mengaku
bernama Wan Sin Hong. Tentu seorang penjahat yang sengaja
menggunakan namanya untuk merusak namamu, Sicu. Di samping
itu, agaknya Gak-siocia mempuui kekasih bernama Gong Lam
dan...dan agaknya hubungan mereka itu mendalam sehingga Gaksiocia
sampai … mengandung...." Ia mengerutkan kening. "Hanya
aku masih heran dan tidak mengerti siapakah Gong Lam ini...."
Pada saat itu, Soan Li membuka matanya. ia berada di dalam
pelukan Sin Hong, tiba-tiba ia berteriak dengan suara girang,
588
"Lam ko...!" Soan Li kegirangan bukan main sampai ia memeluk
leher Sin Hong -dan menciumi pemuda itu sambil bercucuran air
mata!
Sin Hong terharu. "Gak-siocia, agaknya kau telah ingat
kembali...." Tiba-tiba Sin Hong melepaskan pelukannya
membalikkan tubuh memandang kepada Cam kauw Sin-kai dengan
muka kemerahan. Seperti telah diduganya, Cam kauw Sin kai berdin
dengan mata terbelalak memandang pemuda itu, sinar matanya
memperlihatkan kemarahan.
"Jadi... jadi kaukah orangnya, Sicu...?
Sin Hong cepat mengangkat kedua lengannya dan menggoyanggoyangkan
kedua tangan "Tidak, tidak, bukan aku, Locianpwe! Aku
tidak pernah melakukan perbuatan terkutuk itu...!" Sin Hong
menjadi bingung dan gagap. "Aku tidak pernah mengganggu Gaksiocia...."
Soan Li melompat dekat dan memegang lengan Sin Hong, "Lamko,
bagai mana kau berkata demikian? Bukankah aku sudah menjadi
isterimu...? Lam ko siapa Locianpwe ini? Dan mengapa kau bicara
seperti itu?"
Sin Hong tak dapat menjawab karena Cam-kauw Sin-kai sudah
menjadi marah sekali mendengar kata-kata Soan Li dan sudah
menyerang Sin Hong dengan tongkatnya. Dan lagi, bagaimana ia
menjawab? ia berada dalam kedudukan yang amat sulit. Terpaksa
Sin Hong melayani Cam kauw Sin-kai karena serangan-serangan
kakek itu bukanlah serangan yang boleh dipandang ringan. Ilmu
tongkat kakek ini luar biasa sekali dan Sin Hong harus
mengeluarkan kepandaiannya kalau tidak ingin mendapat
kemplangan pada kepalanya atau bagian lain yang berbahaya.
Cam-kauw Sin-kai merasa kecewa jengkel, dan marah sekali.
Tadinya ia amat kagum kepada pemuda itu, dan sudah diambil
keputusan untuk memilih pemuda itu sebagai calon bengcu. Ia
kagum karena dalam usia sedemikian muda, pemuda itu telah
memiliki kepandaian luar biasa, dan sebagai ahli waris dari Pak Kek
Siansu, memang sudah tepat kiranya kalau Wan Sin Hong menjadi
Bengcu, mengepalai seluruh orang gagah di dunia kang-ouw.
589
Bahkan ketika ia mendengar desas-desus tentang penjahat muda
yang baru muncul dan bernama Wan Sin Hong, ia merasa kaget
akan tetap masih tidak percaya. Oleh karena itu ia sengaja
meninggalkan Pulau Kim-ke-tho untuk menyelidikinya sendiri.
Ternyata kepercayaannya tidak sia-sia pemuda itu sama sekali
bukan penjahat dan ia percaya bahwa tentu ada musuh rahasia
yang sengaja merusak nama baik Wan Sin Hong. Akan tetapi siapa
kira, tak tahunya pemuda itu ternyata merupakan seorang hidung
belang, seorang rendah watak dan lemah iman sehingga sampai
hati merusak dan mempermainkan seorang gadis seperti Ga Soan Li
yang berada dalam keadaan setengah gila! Apalagi kalau ia ingat
bahwa Gak Soan Li adalah murid Hwa I Enghiong!
Saking kecewa dan marahnya, Cam-kauw Sin-kai mengerahkan
seluruh kepandaian untuk merobohkan pemuda ini, yang
melawannya dengan tangan kosong dan hanya main kelit saja.
"Locianpwe, kau salah sangka, hentikanlah seranganseranganmu,"
kata Sin Hong berkali-kali. Akan tetapi sebagai
jawaban, tongkat yang lihai dan Iawannya itu meluncur cepat
menotok ke arah lehernya. Sebuah serangan yang amat berbahya.
Namun, dengan hanya mendoyongkan tubuh ke kanan dan
menyampok dengan tangan kirinya, Sin Hong dapat menghindarkan
bahaya dan tongkat itu menyeleweng. Akan tetapi Cam-kauw Sinkai
menyerang terus, mengeluarkan jurus-jurus yang paling
berbahaya sehingga tongkatnya berubah menjadi gulungan sinar
yang membungkus tubuhnya dan yang menyambar-nyambar
mengurung Sin Hong.
Setelah mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi dari kitab peninggalan
Pak Kek Siansu, Sin Hong menjadi "keranjingan" ilmu silat. Kini
menghadapi desakan Cam-kauw Sin-kai, ia menjadi gembira melihat
ilmu silat yang aneh dan lihai ini, maka diam-diam ia
memperhatikan bahkan mempelajari dasar-dasar gerakannya sambil
mengelak ke sana ke mari mengandalkan kegesitan tubuhnya yang
luar biasa.
Soan Li tadinya menjadi bengong. Kini ingatannya mulai bekerja
kembali dan seingatnya, Gong Lam adalah seorang pemuda yang
bodoh, tolol. Bagaimana sekarang dapat menghadapi serangan yang
590
demikian dahsyat dari kakek ini? Bukan main girang dan juga
terkejut campur kagum rasa hatinya melihat bahwa kekasihnya itu
ternyata memiliki kepandaian silat yang amat tinggi. Melihat Sin
Hong makin dikurung oleh sinar tongkat, ia lalu mencabut
pedangnya yang memang tidak diambil oleh Hong Ji dan masih
tersembunyi di balik bajunya, lalu melompat ke dalam kalangan
pertempuran sambil membentak,
"Jembel tua bangka, jangan ganggu suamiku!” Pedangnya
berkelebat dan menyerang Cam-kauw Sin-kai yang menjadi terkejut
sekali karena serangan gadis itu memang cepat dan dahsyat. Hal
tidak aneh karena Soan Li mempergunakan ilmu pedang warisan
gurunya yaitu berdasarkan Ilmu Silat Pak-kek Sin-ciang.
Melihat Soan Li turun tangan terhadap Cam-kauw Sin-kai, Sin
Hong menjadi makin bingung dan ia segera mundur. Ia merasa
jengkel sekali, jengkel terhadap Cam-kauw Sin-kai yang
menuduhnya yang bukan-bukan, juga marah terhadap Soan Li yang
mendadak menganggapnya sebagai suaminya! Lebih baik
kutinggalkan mereka, pikirnya dengan gemas. Akan tetapi tiba-tiba
ia melihat bayangan tiga orang dan bukan main girang hatinya
ketika melihat bahwa seorang di antara mereka adalah Lie Bu Tek.
Dua orang lain adalah sepasang pendekar setengah tua yang amat
gagah sikapnya. Yang wanita segera membentak.
"Soan Li jangaa kurang ajar! Hentikan seranganmu!"
Soan Li tersentak kaget mendengar suara ini. Ia menahan
pedangnya, menengok dan melihat sepasang pendekar itu, ia cepat
menjatuhkan diri berlutut sambil menangis,
“Suhu….. suhu...”
Sementara itu, Lie Bu Tek menegur dengan suara yang tidak
enak sekali didengar. "Sin Hong, dari mana saja kau?"
Ketika Sin Hong memandang ternyata Lie Bu Tek dan sepasang
pendekar itu memandangnya dengan sinar mata marah dan ragu.
Sin Hong maklum apa yang mereka pikirkan. Tentu telah
mendengar berita tentang "kejahatannya," pikirnya. Dan ia dapat
menduga siapa adanya sepasang pendekar itu setelah mendengar
sebutan Soan Li tadi. Inilah kiranya Hwa I Enghiong Go Ciang Le
591
dan isterinya, pendekar besar yang tiada taranya. Sin Hong
memperhatikan dan memandang tajam kepada Ciang Le. Dua
pasang mata yang tajam berpengaruh bertemu, dua pasang mata
dari dua orang murid Pak Kek Siansu.
Sementara itu, Soan Li yang berlutut dan menangis, tiba-tiba
menahan tangisnya dan memandang dengan pucat, sebentar ke
arah Lie Bu Tek lalu kembali kepada Sin Hong. Panggilan yang
diucapkan oleh Lie Bu Tek tadi membuatnya bingung dan kaget.
Mengapa Gong Lam disebut "Sin Hong" oleh orang tua buntung itu?
"Gihu, aku telah mengalami hal-hal yang amat pahit dan tidak
menyenangkan," jawab Sin Hong kepada ayah angkatnya sebagai
jawaban atas pertanyaannya tadi.
Cam-kauw Sin-kai melangkah maju dan berkata dengan suara
keras, "Lie Bu Tek Taihiap, di dunia ini memang banyak terjadi halhal
yang mengecewakan dan bertentangan dengan harapan kita.
Puteramu ini ternyata telah tersesat jauh sekali dan mengecewakan
hati, sayang sekali.
Lie Bu Tek menjadi pucat, dan memandang kepada Sin Hong
dengan mata terbelalak. "Jadi benar-benarkah semua berita yang
kudengar di mana-mana tentang dirimu…..?”
"Semua itu bohong, Gihu...!" kata Sin Hong dengan tenang dan
tetap.
"Memang mungkin sekali dia tidak melakukan semua kejahatan
itu, mungkin ada orang lain yang segaja merusak namanya. Akan
tetapi dia... ah, Sam-wi (Tuan Bertiga) tanya saja kepada Gak Siocia
apa yang telah ia lakukan terhadap diri Gak-Siocia."
Kim Ciang Le yang membuka mulut, menghampiri Soan Li sambil
bertanya, suaranya tenang berpengaruh. "Soan Li, apakah yang
terjadi? Apakah yang telah dilakukan oleh pemuda ini terhadapmu?”
Kembali Soan Li terisak menangis. Ia masih merasa pening
kepalanya, lagi dibingungkan oleh panggilan Lie Bu Tek terhadap
pemuda yang dianggapnya bernama Gong Lam dan menjadi
"suaminya" itu. Ia makin bingung dan kwatir menghadapi
pertanyaan gurunya, ia menangis.
592
"Suhu dan Subo... ampunkan dosa teecu..." Kemudian ia
menyusut air matanya menekan perasaannya dan melanjutkan,
"dalam perjalanan teecu menemui bencana, teecu bertemu dengan
Giok Seng Cu, bertempur dan kedua tulang paha teecu dipukul
remuk oleh Giok Se Cu."
Sampai di sini terdengar Liang Bi Lan berseru perlahan mengutuk
Giok Se Cu, akan tetapi Ciang Le tenang-tenang saja, memandang
kepada muridnya tanpa berkedip seakan-akan hendak menyelidiki
sampai di mana kebenaran cerita muridnya. "Teruskan!" katanya.
"Teecu tentu binasa kalau tidak ditolong oleh Lam-ko... oh, oleh
pemuda itu yang bernama Gong Lam yang ternyata memiliki
kepandalan mengobati tulang patah.” Ia menunjuk kepada Sin Hong
yang berdiri sambil menundukkan muka. Semua orang memandang
kepada Sin Hong dengan kening dikerutkan, akan tetapi tidak ada
yang membuka mulut karena ingin mendengar lanjutan penuturan
Soan Li.
"Kemudian Engko Gong Lam ini meninggalkan teecu dan teecu
diculik oleh Giok Seng Cu. Teecu melawan akan tetapi tidak berdaya
karena kedua paha teecu masih luka. Teecu pingsan dan tahu-tahu
teecu telah terjatuh ke dalam tangan penjahat Wan Sin Hong, teecu
tak berdaya...."
Ciang Le dan Bi Lan saling pandang. Lie Bu Tek memandang
kepada Sin Hong dengan wajah sebentar merah sebentar pucat.
"Tenanglah dan lanjutkan penuturanmu," kata Ciang Le
kemudian sambil mengerling ke arah Sin Hong. Pemuda itu masih
menundukkan kepalanya, agaknya amat memperhatikan cerita Soan
Li. Ia diam-diam girang sekali dapat mendengar penuturan yang
jelas setelah Soan Li pulih ingatannya, karena tadi Soan Li tak
pernah dapat menceritakan pengalamannya ini.
"Kembali muncul Lam-ko ini. Soan Li menoleh ke arah Sin Hong,
pandang matanya agak ragu-ragu, lalu melanjutkan, "entah
mengapa, teecu rasa pening sekali mungkin karena teecu merasa
sakit hati dan benci kepada penjahat Wan Sin Hong. Baiknya Engko
Gong Lam berlaku amat... mencinta, merawat luka di paha teecu
sampai sembuh. Bukan itu saja, bahkan... bahkan dia masih tetap...
593
mencinta teecu sungguhpun teecu telah dinodai oleh penjahat Wan
Sin Hong. Kemudian... kemudian teecu dan Lam-ko bersumpah
menjadi suami-isteri, kami saling mencinta dan... teecu telah telah
mengandung. Suhu, Subo.... mohon ampun atas segala dosa teecu,
dan mohon dibalaskan sakit hati teecu kepada Wan Sin Hong si
keparat jahanam!"
Sunyi di situ setelah Soan LI berhenti bercerita, hanya terdengar
isak tangis Soan Li. Semua mata memandang Sin Hong, penuh
kebencian.
“Nah, itulah!" kata Cam-kauw Sin-kai "Mungkin sekali ada orang
memakai nama Wan Sin Hong, akan tetapi kalau ada pula yang
memalsu nama Gong Lam, ini tak masuk di akal"
''Sin Hong, apa jawabmu terhadap ini semua? Benarkah kau
menolong Nona Gak dengan mengaku bernama Gong Lam?" tanya
Lie Bu Tek, suaranya gemetar saking menahan amarah.
Sin Hong mengangguk. "Memang betul, Gihu. Memang akulah
yang menolongnya dari ancaman Giok Seng Cu, aku pula yang
mengobati kedua pahanya. Akan tetapi selanjutnya, semua cerita itu
bohong dan tidak betul! Harap diingatbahwa Nona Gak ini telah
diracun orang, ingatannya sampai hilang dan baru tadi saja ia ingat
kembali setelah mendapat pengobatan sihir dari Cam-kauw
Locianpwe. Akan tetapi ingatannya masih belum baik betul dan ia
bicara secara mengaco. Semua tidak betul!”
"Lam-ko...!" Soan Li berdiri dan menghampiri Sin Hong, memeluk
pundaknya dan memandang mesra, tercampur gelisah. "Lam-ko...
kau suamiku mengapa bicara seperti itu? Bukankah kau telah
bersumpah bahwa apa pun telah terjadi dengan diriku, kau tetap
mencintaiku? Lam-ko, ingat... anak kita...."
Sin Hong menggigit bibirnya. Ia marah dan jengkel sekali, akan
tetapi tidak tega untuk melemparkan Soan-Li. Hanya dilepaskan
lengan tangan Soan Li yang memeluknya, dilepaskan dengan
perlahan.
"Nona. kau tenang dan mengasolah baru kelak bercerita kalau
kau tidak pusing. Pandanglah aku baik-baik, benar-benarkah aku
orang yang kauanggap sebagai Gong Lam suamimu itu? Jangan kau
594
ikut-ikutan merusak namaku, Nona. Aku kasihan kepadamu, akan
tetapi kalau untuk menolongmu aku harus mengaku yang bukanbukan,
nanti dulu...."
Soan Li menjerit dan melangkah mundur dengan muka pucat.
"Lam-ko...!" suaranya setengah berbisik, keadaannya amat
memilukan.
Liang Bi Lan menggerakkan kedua kakiya dan bagaikan seekor
burung ia telah berada di depan Sin Hong.
"Orang muda, muridku sudah bicara jelas. Apakah kau begitu
rendah untuk menyangkal pula?" bentaknya tegas. Sin Hong
menjura. "Sudah lama siauw-te mendengar kebesaran nama Hwa I
Enghiong Go Ciang Le dan Sian-Li Liang Bi Lan, sepasang pendekar
besar yang adil dan bijaksana. Mana siauw-te berani berlaku kurang
ajar? Tentang Gak Siocia ini, dia memang benar-benar masih belum
waras ingatannya, kalau tidak percaya siauwte dapat
membuktikannya." Kemudian Sin Hong menghampiri Soan Li dan
bertanya halus,
"Nona, kau mengaku bahwa kau telah diganggu oleh Wan Sin
Hong, bukan?"
Soan Li mengangguk, memandang kepada Sin Hong dengan
sepasang mata terbelalak dan muka pucat, seperti orang terheranheran.
"Dan kau mengaku telah menjadi isteri dari Gong Lam?"
"Lam ko, bagaimana kau bisa bertanya begini?......... Kau sendiri
orangnya yang...."
"Dengarlah, Gak Siocia. Siapa kaukira aku ini? Aku adalah Wan
Sin Hong tulen, orang yang kautuduh telah menodaimu! Kau bilang
telah dinodai oleh Wan Sin Hong dan telah diperisteri oleh Gong
Lam. Akulah Wan Sin Hong dan aku pula Gong Lam, akan tetapi
bukan orang yang menodaimu dan bukan aku pula orang yang
memperisterimu!" saking jengkelnya, lenyap rasa kasihan di hati Sin
Hong dan pemuda ini membentak bentak marah.
595
Soan Li seperti disambar petir mengeluarkan suara ah-ah, uh-uh,
memandang ke sana ke mari seperti kelinci ketakutan minta
perlindungan, bingung dan tidak mengerti, remuk rendam kalbunya
dan akhirnya gadis yang bernasib malang ini menjadi lemas dan
roboh tak sadarkan diri!
Liang Bi Lan menolong muridnya dan Go Ciang Le maju
menghadapi Sin Hong. Kening pendekar ini berkerut tanda hatinya
risau dan tak senang.
“Wan Sin Hong, aku telah banyak mendengar dari Lie Bu Tek
Toako tentang dirimu dan aku kecewa melihat kenyataannya. Kau
telah beruntung menjadi ahli waris kitab peninggalan Suhu Pak Kek
Siansu akan tetapi sebagai murid Suhu kau mengecewakan. Dahulu
mendiang Suhu sering kali berkata bahwa seorang laki-laki sejati
tidak diukur dari kepandalannya, melainkan dari sikapnya, berani
bertanggung jawab dan memikul akibat daripada segala macam
perbuatannya. Dengan menggunakan nama Gong Lam kau telah
menjatuhkan hati Soan Li dan memperlakukannya sebagai isteri,
bahkan dia telah mengandung calon anakmu. Akan tetapi kau tidak
mau mengaku hmm, benar-benar rendah sekali."
"Suheng, siauwte masih terhitung adik seperguruanmu, maka
siauwte menaruh rasa hormat terhadap Suheng seperti hormatku
kepada mendiang Suhu yang belum pernah siauwte lihat. Biarpun
masih muda dan bodoh, siauwte mengerti pula tentang pribadi dan
kebenaran, tentang kegagahan dan keadilan. Siauwte benar benar
tidak pernah melakukan semua perbuatan yang dituduhkan oleh
Nona Gak, bagaimana siauwte harus mengaku?”
"Soan Li semenjak kecil ikut dengan kami, dia seperti anak kami
sendiri. Aku mengenaI betul wataknya. Dia bukan orang wanita
yang suka membohong, bukan pula seorang yang sudi memfitnah
orang lain. Apa yang ia katakan tentu benar. Kalau bukan kau
orangnya, mustahil dia mengaku kau sebagai orang yang telah
memperisterinya."
Sin Hong menentang pandang mata Go Ciang Le tanpa keder
sedikit pun bahkan ia pun memandang tajam karena merasa
penasaran sekali. "Jadi Suheng ikut pula menuduh? Betapapun juga,
biarpun seluruh dunia menuduhku, aku tetap menyangkal karena
596
memang aku tak pernah melakukan hal itu!" katanya hampir
berteriak.
"Buktikan kalau kau memang bersih dari dosa!" Ciang Le mulai
marah, "Kalau tidak dapat membuktikan, biar aku mewakill
mendiang Suhu memberi hajaran kepadamu!"
'Bagaimana siauwte dapat membuktikan? Harap Suheng jangan
terlalu mendesak.”
"Kalau kau tidak dapat membuktikan berarti kau bersalah dan
kalau dalam kebodohanmu kau tidak mau mengaku...."
"Habis, kalau menurut Suheng, siauw-te harus bagaimana?" Sin
Hong memotong penasaran.
"Kau harus bertanggung jawab, dan melihat keadaan Soan Li
tidak ada jalan lain kecuali kau harus menikah dengan dia. Kalau
kau menolaknya, berarti kau menghina keluarga kami dan terpaksa
aku harus turun tangan menghajarmu."
"Suheng tidak adil! Suheng berat sebelah. Siauwte tidak merasa
bersalah, terserah kepada Suheng, siauwte tetap menolak!"
"Aha, agaknya kau sudah merasa diri cukup kuat maka kau tidak
menghargai suhengmu sendiri. Baiklah, barangkali saja aku takkan
menang melawanmu, akan tetapi sebagai wakil Suhu, aku harus
nenghajarmu. Terimalah pukulan ini!”
Ciang Le menggerakkan tubuhnya ke depan memukul dengan
tamparan ke arah pipi Sin Hong. Ia sengaja berlaku Iambat untuk
memberi kesempatan kepada Sin Hong bersiap dan mengelak, akan
tetapi ternyata pemuda itu tidak mengelak sama sekali.
"Plak"" pipi kiri Sin Hong terkena tamparan kulit pipinya menjadi
merah sekali, akan tetapi dia tidak bergeming. Ciang Le kaget.
Tamparan tadi, biarpun tidak mempergunakan tenaga sepenuhnya
namun cukup berat dan tidak sembarang orang akan kuat
menahannya, apalagi dengan pipi. Akan tetapi bocah ini menerima
tamparan begitu saja dan hanya kulit pipi yang menjadi merah,
sama sekali tidak kelihatan sakit.
597
"Eh, eh, kau menantang? Sin Hong jangan kau sombong. Hayo
kaulawan aku!"
"Suheng tadi menyatakan bahwa Suheng mewakili mendiang
Suhu, bagaimana siauwte berani melawan? Terserah kepada
Suheng, mau pukul boleh pukul mau bunuh boleh bunuh!"
Ucapan Sin Hong ini sebetulnya memang sejujurnya, akan tetapi
diterima keliru oleh Ciang Le dan dianggap bahwa Sin Hong
memamerkan kepandaiannya dan sengaja membikin malu
kepadanya di depan orang banyak. Ia harus mengeluarkan
kepandaian karena kalau tidak ia benar-benar akan mendapat malu.
"Bocah kurang ajar, kalau begitu terimalah pukulanku!" ia
mengayun tangan kiri, menepuk pundak kanan Sin Hong dengan
gerakan cepat dan mengerahkan lweekangnya. Tepukan ini bukan
sembarangan tepukan, melainkan ilmu pukulan, yang berbahaya
sekali. Ciang Le mengira bahwa kini Sin Hong tentu akan mengelak
atau menangkis karena kalau kini Sin Hong benar-benar sudah
mempelajari Pak-kek Sin-ciang, tentu tahu bahwa serangan ini
adalah ilmu pukulan Pak-kek Sin-ciang jurus ke sebelas.
Namun kembali ia kecele. Alangkah kagetnya ketika melihat
pemuda itu sama sekali tidak menggerakkan pundaknya atau
tangannya untuk mengelak atau menangkis dan agaknya sengaja
menerima pukulannya begitu saja. Saking kagetnya, Ciang Le
sampai berseru dan cepat ia mengurangi tenaganya karena kalau
diteruskan, seorang yang kepandaian tinggi pun dapat roboh binasa
terkena pukulan yang disebut Cun lui-tong-te (Geledek Musim Semi
Menggetarkan bumi) ini, yang dapat menggetarkan jantung dan
melukai isi dada!
"Buk!" tubuh Sin Hong terhuyung dua langkah ke belakang
namun ia masih tersenyum dan kini mukanya menjadi agak pucat.
"Terima kasih atas kebaikan hati Suheng yang telah mengurangi
tenaga dalam pukulan tadi," kata Sin Hong, kembali dengan
sejujurnya. Ia amat kagum menyaksikan gerak tipu Cun-lui-tong-te
yang dilakukan dengan amat baiknya oleh suhengnya ini dan ia
maklum bahwa agaknya sinkangnya takkan dapat menahan, akan
tetapi tiba-tiba ia melihat gerakan tangan itu berkurang tenaganya
598
maka tak terasa ia mengucapkan terima kasih. Namun kembali
Ciang Le menjadi salah terima dan dikira Sin Hong mengejeknya.
Memang ia merasa terkejut dan heran. Biarpun ia sudah
mengurangi tenaganya, namun pukulan tadi berbahaya sekali. Dia
sendiri kalau terkena pukulan itu, pasti akan roboh, biarpun belum
tentu tewas. Maka merasa diejek, kemarahannya memuncak. ia
melangkah maju dua tindak dan rnengayun tangan kanan.
"Bocah jahat, terimalah yang terakhir ini!” Tangan kanannya
menonjok lambat dan perlahan akan tetapi Sin Hong tahu bahwa
pukulan ini adalah jurus ke tiga belas dari Pak-kek Sin-ciang, jurus
yang disebut Kong-ciak-te-ko (Merak Menotol buah) dan yang
berbahaya sekali karena pukulan ini langsung menyerang jantung!
Ia meramkan mata dan menahan napas, mengumpulkan seluruh
tenaga sinkangnya.
"Bukk...!!" Tubuh Sin Hong mencelat empat dua tombak, akan
tetapi jatuh dalam keadaan masih berdiri. Matanya masih meram
dan bibirnya rapat akan tetapi dari kanan-kiri mulutnya keluar darah
mengalir di antara celah bibirnya!
Sebaliknya Ciang Le mengelus-elus kepalan kanannya yang
terasa sakit ternyata telah bengkak!
Lie Bu Tek melihat keadaan putra angkatnya, cepat melompat
maju, pedang di tangan kiri. "Cukup, dia putera angkatku, bukan
orang lain, aku sendirilah yang berhak membunuhnya!" Dengan air
mata berlinang Lie Bu Tek menghampiri Sin Hong dengan pedang di
tangan.
"Sin Hong," katanya berbisik dengan bibir gemetar, "Kalau kau
tahu betapa dahulu aku mencinta Ibumu. Kalau kau tahu betapa
aku sayang kepadamu. Betapa aku telah banyak menderita karena
Ibumu dan karenamu. Batapa aku bertahan hidup hanya untuk
melihatmu dewasa….. sekarang kau menghancurkan hatiku. Sin
Hong, biar aku sendiri membunuhmu, kemudian kita bersama
menyusul ibumu...."
Sin Hong membuka matanya. ia melihat Lie Bu Tek berdiri
bagaikan mayat hidup di depannya, tangan kanan buntung, tangan
599
kiri memegang pedang itu tergantung saja di udara , agaknya orang
tua tidak sampai hati menggerakkan pedang.
“Gihu...!" Sin Hong menubruk dan berlutut, memeluk kedua kaki
Bu Tek. “Gihu, percayalah, anakmu tidak berdosa. Biarlah anak
bersumpah bahwa anak takkan pulang sebelum dapat menyeret
orang yang telah merusak nama anak, orang yang telah
menganiaya Gak-siocia, di bawah kaki Gihu...! Selamat tinggal,
Gihu!"
Setelah berkata demikian, Sin Hong bangkit berdiri mengusap
darah yang mengalir dari
bibirnya dan dengan langkah
limbung ia pergi dari tempat
itu. Biarpun jalannya
terhuyung-huyung, akan tetapi
sebentar saja ia telah lenyap
dari pandang mata.
"Sin Hong, aku tidak sampai
hati mmbunuhmu, aku lemah
dan akulah yang melepas pergi
seorang penjahat besar. Biar
aku saja menggantikan kau
menebus dosa, Nak...!" Pedang
di tangan kiri Bu Tek
berkelebat ke arah lehernya
sendiri.
"Cring...!" Pedang terlepas dari tangan dan Ciang Le memeluk
pundak Lie Bu Tek.
'Toako, mengapa kau begini nekat?"
"Go-siauwte. aku malu... aku malu...."
"Jangan terburu nafsu, Toako. Terus terang saja, aku tadi pun
terburu nafsu dan sekarang aku menyesal. Setelah melihat anakmu
itu dengan terbuka menerima pukulan-pukulanku yang paling
berbahaya sehingga menderita luka di dalam, aku mulai ragu-ragu.
Tak mungkin dia begitu mudah menerima pukulan kalau dia
memang berdosa. Dugaanku sekarang bercabang dua. Kalau Wan
600
Sin Hong bukan seorang penjahat besar yang pandai bersandiwara,
tentu dia seorang pendekar perkasa yang tiada taranya di dunia ini,
yang memiliki pribadi luhur dan patut sekali menjadi pengganti
mendiang suhu Pak Kek Siansu. Jangan kau putus harapan, Toako.
Biarlah kita sama menanti saja bagaimana akhirnya peristiwa ini.”
Lie Bu Tek menundukkan mukanya dan ketika ia mengangkatnya
kembali, ia nampak jauh lebih tua. Mereka beramai lalu pergi ke
Pulau Kim-ke-tho di mana Soan Li akan dirawat Cam-kauw Sin-kai.
Sin Hong pergi dengan tubuh sakit semua. Tiga pukulan Ciang Le
yang diterimanya itu adalah pukulan-pukulan paling berat yang
pernah ia rasai. Tamparan pertama pada pipinya membuat mukanya
terasa panas seperti dibakar. Pundaknya sampai sekarang masih
linu dan sakit. Akan tetapi yang paling hebat adalah pukulan yang
mengenai dadanya. Pukulan ini sampai membuat ia muntah darah,
karena jantungnya memang tergetar hebat sekali. Baiknya tenaga
sinkang di dalam tubuhnya sudah begitu kuat sehingga jantung itu
tidak sampai rusak, hanya terguncang saja. Memang hampir saja
nyawanya direnggut maut dalam pukulan ketiga tadi. Ciang Le
benar-benar lihai sekali pukulannya. Namun semua itu tidak ada
artinya kalau dibandingkan dengan rasa sakit di hatinya. Ia
mendapat penghinaan besar. Namanya sudah rusak dan tidak
dipercaya orang. Bahkan ayah angkatnya sendiri sudah yakin bahwa
dia menjadi orang jahat!
"Ini semua gara- gara musuh rahasia manusia terkutuk yang
rendah budi dan curang itu!" Sin Hong menggigit bibir, kemudian ia
menenteramkan hatinya karena dalam marahnya kembali darah
mengalir keluar dari mulutnya. Ia lalu mencari tempat sunyi, duduk
bersila dan mengatur napas, mempergunakan sin-kang untuk
menyembuhkan luka pukulan. Di samping usaha ini, ia pun menelan
tiga butir pel merah peninggalan Kwa Siucai, pel itu manjur sekali,
apalagi ditambah oleh pengerahan hawa dalam tubuh, maka
sebentar saja kesehatannya sudah pulih kembali. Setelah merasa
dadanya tidak sakit lagi, Sin Hong mulai memutar otaknya,
mengenangkan kembali apa yang telah dilihat dan didengarnya tadi.
Tak salah lagi, yang menyaru sebagai Gong Lam dan yang
memperisteri Soan Li tentu Kong Ji orangnya. Dahulu ketika
601
diserang oleh Kong Ji, ia melihat betapa Soan Li menyebut "Lam-ko"
kepada Kong Ji dan sikap Soan Li amat mesra. Tak salah lagi aku
harus mencari Kong Ji dan menyeretnya di depan gihu, memaksa
dia mengaku. Demikian Sin Hong berpikir dan mengambil keputusan
dengan hati gemas. Sayang ia masih belum dapat menentukan
siapa orangnya yang telah merusak namanya, yang telah
mempergunakan nama Wan Sin Hong untuk melakukan perbuatanperbuatan
terkutuk. Sayang sekali dulu ia tidak dapat mcnangkap
wanita yang dijadikan alat oleh musuh gelapnya itu. Sayang ia tidak
dapat mengenal wajah wanita itu, karena ketika hendak
ditangkapnya, keadaan tidak begitu terang dan wanita itu agaknya
sengaja menyembunyikan mukanya. Teringat akan wanita yang
hendak ditangkapnya di tengah malam itu, terbayanglah wajah Hui
Lian dan tiba-tiba Sin Hong nampak berduka sekali.
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid XXII
TIDAK hanya gadis itu yang menganggap jahat bahkan ayahbunda
gadis itu pun menuduh ia melakukan perbuatan yang jahat.
Mereka semua membencinya! Hatinya menjadi panas. Baiklah, biar
kelak mereka lihat bahwa mereka semua itu bodoh dan salah
sangka. Biarlah mereka semua lihat bahwa Wan Sin Hong bukanlah
seorang jahat seperti yang mereka kira, dan pada suatu hari ia akan
memperlihatkan siapa dia sebenarnya, orang macam apa! Dengan
pikiran yang memanaskan hatinya ini, Sin Hong melompat berdiri
dan di lain saat ia telah lari seperti terbang cepatnya, memulai
perjalanannya untuk menangkap Kong Ji dan menangkap orang
yang merusak namanya.
-oo0mch-dewi0oo-
Serombongan orang naik ke Bukit Luliang-san. Mereka ini terdiri
dari seorang wanita dan tiga orang laki-laki. Melihat cara mereka
berlari cepat mendaki gunung itu mudah diketahui bahwa mereka
adalah ahli-ahli silat kelas tinggi yang memiliki kepandaian lihai.
602
Orang takkan merasa aneh kalau sudah melihat dan mengenaI
mereka karena mereka itu bukan lain adalah Liok Kong Ji, Ba Mau
Hoatsu, Giok Seng Cu dan Nalumei. Memang Kong Ji sudah
memesan kepada Ba Mau Hoatsu dan Giok Seng Cu untuk
mengadakan pertemuan di Gunung Luliang-san.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Kong Ji
menyuruh Ba Mau Hoatsu dan Giok Seng Cu pergi mencari Seethian
Tok-ong untuk mengadakan hubungan dan kalau mungkin
menarik See-thian Tok-ong untuk bekerja sama mencari kedudukan.
Adapun Kong Ji sendiri diam-diam mengikuti perjalanan Sin Hong,
dan dia pula yang sudah mengatur agar Soan Li keluar pada saatnya
untuk membunuh Sin Hong. Dia pula yang muncul untuk membantu
Hui Liang dalam menghadapi Sin Hong dan pada waktu itu, Giok
Seng Cu dan Ba Mau Hoatsu belum meninggalkannya. Selelah kedua
kakek ini pergi dan Kong Ji bersama Nalumei melanjutkan siasat -
mereka menyeret nama Sin Hong ke dalam lumpur kehinaan.
Semua peristiwa telah dituturkan di bagian depan dan kiranya tidak
sukar diduga bahwa semua pengalaman Sin Hong itu sudah diatur
oleh Kong Ji yang licin dan cerdik sekali.
Kemudian, setelah melihat Sin Hong membawa lari Soan Li, Kong
Ji menjadi menyesal sekali. Diam-diam dia merasa sayang, karena
selain Soan Li merupakan senjata yang ampuh untuk menjadi bukti
akan kejahatan Sin Hong, juga ia telah merasa suka kepada bekas
sucinya itu. Bahkan ia tahu bahwa Soan Li telah mengandung dan
betapapun juga, ia merasa khawatir akan keselamatan Soan Li.
Andaikata ia tidak menaruh kasihan kepada Soan Li setidaknya ia
memikirkan keadaan anak keturunannya yang dikandung oleh Soan
Li.
"Sin Hong terlalu lihai," pikirnya, "kiranya aku sendiri tak dapat
menangani kalau bertempur dengan dia." Timbul khawatirannya dan
teringatlah ia akan kitab yang dulu pernah dilihatnya di dasar jurang
di puncak Luliang-san, kitab peninggalan Pak Kek Siansu. Oleh
karena itu ia lalu pergi ke Luliang-san bersama Nalumei, bukan
hanya untuk mengambil kitab, juga untuk mengadakan pertemuan
dengan Giok Seng Cu dan Ba Mau Hoatsu.
603
Pada waktu itu, Kong Ji telah menjadi seorang tokoh yang
banyak kaki tangannya. Ia telah menjadi seorang kaya dan dengan
harta curiannya ia telah dapat memikat hati banyak orang kang-ouw
di dunia, tentu saja orang-orang yang lemah. Pembantupembantunya
banyak sekali dan boleh dibilang di setiap kota besar
dan dusun yang ramai, ia menaruh orangnya untuk memata-matai
gerak gerik orang yang ia anggap berbahaya.
Setelah ia meninggalkan pesan bagi para pembantunya untuk
mengawasi gerak-gerik Sin Hong dan orang-orang yang
dianggapnya musuh seperti Go Ciang Le seanak isteri, Cam-kauw
Sin-kai dan semua anggauta Hek-kin-kaipang, juga Lie Bu Tek,
barulah Kong Ji pergi ke Luliang-san bersama Nalumei. Taklupa ia
mengirim utusan menyusul Giok Seng Cu dan Ba Mau Hoatsu, minta
kepada mereka untuk cepat pergi ke Luliang-san.
Berbeda dengan Kong Ji yang melakukan perjalanan seenaknya
bersama Nalumei, sekalian berpesiar bersama kekasihnya ini yang
sudah banyak berjasa membantunya. Giok Seng Cu dan Ba Mau
Hoatsu melakukan perjalanan secepatnya begitu mendengar pesan
Kong Ji. Maka tidak mengherankan apabila empat orang ini dapat
bertemu di kaki Bukit Luliang-san.
"Syukur Jiwi Suhu sudah datang!" Kong Ji menyambut gembira.
"Bagaimana hasilnya? Sukakah See-thian Tok-ong bekerja sama?"
"Orang seperti See-thian Tok-ong tidak mudah diajak berunding,"
Kata Giok Seng Cu. "Bahkan hampir saja ia membunuhku dan tidak
mau melupakan urusan lama. Baiknya ada Ba Mau Hoatsu yang
menyabarkan hatinya dan dapat menuturkan maksud kedatangan
kami. Akhirnya mau juga ia mendengar kata-kata kami.”
"Bagaimana? Sukakah dia?"
Ba Mau Hoatsu menggeleng kepalanya. "Sukar membujuknya.
Dia tentu saja tidak mau membantu sebelum melihat segi-segi
kebaikannya untuk dirinya sendiri. Dia seorang yang biasa berkuasa
mana dia suka menurut kepada bekas muridnya sendiri?"
Merah wajah Kong Ji. "See-thian Tok-ong manusia keparat
sombong! Apa dia kira aku takut menghadapinya?"
604
"Bukan begitu, Liok-sicu. Dia tidak mengucapkan kata-kata
menghina, hanya dia nyatakan bahwa kelak pada waktu pemilihan
Bengcu, dia akan hadir dan akan melihat gelagat. Banyak
kemungkinan dia dapat bekerja sama dengan kita demikian
janjinya."
Kong Ji merasa puas. Biarpun belum pasti, akan tetapi dengan
adanya janji ini, berarti ia telah menarik Pihak See-thian Tok-ong
sebagai kawan, karena memang sesungguhnya bukan hal yang
amat baik kalau menjadikan tokoh barat itu sebagai lawan.
"Kalau begitu mari kita untuk sementara ini, selagi masih ada
waktu beberapa bulan, kita beristirahat di puncak Luliang-san untuk
memperdalam ilmu silat. Kita menghadapi pertentangan besar dan
berat kelak di puncak Ngo-heng-san."
Kedua orang kakek itu setuju, oleh karena memang mereka tahu
bahwa Luliang-san adalah tempat yang amat indah dan amat baik
untuk bertapa dan untuk memperdalam ilmu silat. Kalau tidak
demikian, tak mungkin mendiang Pak Kek Siansu memilih tempat di
situ. Gunung itu memiliki banyak puncak yang indah dan di
antaranya yang paling indah adalah bekas tempat kediarnan Pak
Kek Siansu, yakni Jeng-in-thia (Ruang Awan hijau).
Kong Ji bersama Nalumei menempati Jeng-in-thia dan dia tidak
membuang waktu sia-sia segera ia berusaha menuruni jurang di
puncak Jeng-in-thia. Akan tetapi, melihat jurang demikian curam
hingga tidak nampak dasarnya, ia menjadi ngeri. Dicarinya akal,
namun sia-sia belaka.
"Jurang macam ini tak mungkin dituruni dengan jalan biasa,"
kata Nalumei, gadis utara yang sudah biasa dengan jurang-jurang
yang amat curam.
"Memang betul katamu," jawab Ko Ji, "Dahulu aku pernah
menuruninya akan tetapi, dengan pertolongan seekor burung
rajawali." Dengan singkat ia lalu menceritakan pengalamannya
dahulu ketika mengunjungi puncak ini bersama See-thian Tok-ong,
"sayang burung itu telah kutewaskan. Tanpa bantuan burung itu,
agaknya sukar sekali untuk mengambil kitab itu."
605
"Akan tetapi, kurasa pasti ada jalan tembusan yang menuju ke
gua itu. Kalau tidak demikian, bagaimana Pak Kek Siansu menaruh
dan menyimpan kitab dan pedang di tempat itu?" kata Nalumei.
Kong Ji yang juga mempunyai kecerdikan luar biasa, sudah
mempunyai dugaan seperti itu, maka bersama Nalumei menyelidiki
keadaan puncak itu. Sampai hampir dua bulan ia menyelidiki setiap
hari, melakukan usaha dengan diam-diam dan tidak memberi tahu
kepada Giok Seng Cu atau Ba Mau Hoatsu, akan tetapi mereka
bukan orang-orang bodoh. Kedua orang kakek ini mengerti akan
kehendak Kong Ji mendatangi bukit itu, maka diam-diam mereka
berdua juga memasang mata. Bahkan di luar tahu Kong Ji,
keduanya berjanji hendak bekerja sama membiarkan pemuda itu
mencari kitab dan kalau sudah dapat mereka akan merampasnya
bersama. Kedua orang kakek ini tunduk kepada Kong Ji hanya
karena terpaksa dan kalah kepandaian. Dalam diri Kong Ji mereka
melihat tenaga bantuan yang amat kuat yang akan melindungi
mereka dari musuh-musuh lain, dan yang mungkin akan dapat
mengangkat derajat mereka di tempat tinggi. Akan tetapi, kalau ada
kitab peninggalan Pak Kek Siansu yang akan membuat mereka
memiliki kepandaian tertinggi di kolong langit, tentu saja mereka
akan berusaha merampasnya dan tidak sudi lagi diperintah oleh
pemuda itu!
Demiklanlah, masing-masing bersiap demi kepentingan sendiri,
dan kadang- kadang kedua orang kakek itu mengunjungi Kong Ji di
Jeng-in-thia, bersikap seolah-olah tidak tahu apa-apa tentang usaha
Kong Ji mencari jalan tembus ke tempat penyimpanan kitab.
Akhirnya Kong Ji dapat juga menemukan terowongan yang
menuju ke gua dasar 'jurang. Hal ini terjadi secara kebetulan saja.
Karena sia-sia mencari sampai berbulan-bulan, kesabarannya habis
dan Kong Ji mulai marah-marah. Di dalam gua di mana terdapat
tempat tidur Pak Kek Siansu, ia memaki-maki kakek yang sudah
meninggal itu yang dikatakannya penipu dan pembohong besar.
Kemudian ia mencabut pedang Pak-kek Sin kiam dan dengan marah
ia mengamuk. Seperti orang gila ia membacok-bacok pembaringan
itu sampai tanpa disengaja pedang di tangannya membacok palang
besi rahasia yang mengganjal di belaka pembaringan.
606
Terdengar suara berkerotokan dan ribut-ribut di belakang tempat
tidur. Kong ji terkejut dan memandang penuh keheranan. Kemudian
ia memanggil Nalumei yang menanti di luar gua. Wanita ini telah
kenal baik akan watak Kong Ji yang kadang-kadang seperti iblis,
maka ia pun tidak peduli ketika Kong Ji mengamuk dan merusak
kamar gua itu. Mendengar panggilan Kong Ji, ia cepat berlari masuk
dan bukan main girangnya ketika ia bersama Kong Ji melihat sebuah
pintu rahasia terbuka dan bergerak di belakang pembaringan!
"Ah, inilah pintu rahasianya!" kata Kong Ji sambil melompat dan
mendorong dengan tangannya yang kuat. Pintu terdorong dan
terbukalah jalan terowongan. Kong Ji yang sudah tak sabar lagi
melompat masuk, akan tetapi tiba-tiba legannya dipegang oleh
Nalumei.
"Perlahan dulu! Bagaimana kalau nanti kedua orang tua itu
datang mencari kita?"
Kong Ji menengok, tersenyum dan menowel pipi Nalumei. "Kau
manis, hampir aku lupa." Ia lalu berlari cepat turun dari puncak dan
mencari dua orang kakek itu di lereng. Setelah bertemu ia berkata.
"Jiwi Suhu, waktu untuk berkumpul di Ngo-heng-san sudah
hampir tiba, sekarang satu setengah bulan lagi. Oleh karena itu,
kurasa lebih baik Jiwi Suhu turun gunung lebih dulu untuk
mengumpulkan kawan-kawan kita yang akan memperkuat dan
memperbanyak suara di sana. Juga penting sekali mencoba lagi
untuk menarik See-thian Tok-ong di pihak kita."
"Dan kau sendiri, apakah tidak turun gunung, Sicu? " tanya Ba
Mau Hoatsu sedangkan Giok Seng Cu pura-pura tidak
mengacuhkan, akan tetapi sebetulnya ia menaruh perhatian besar
dan merasa amat bercuriga.
"Aku dan Nalumei akan menyusul kemudian. Nalumei agak
kurang enak badan, harus beristtrahat beberapa hari lagi baru dapat
berangkat. Harap Jiwi suka berangkat lebih dulu mengatur
persiapan," kata Kong Ji.
Dua orang kakek itu menyatakan baik lalu berkemas dan pergi
turun gunung. Kong Ji cepat kembali ke gua di mana Nalumei
menanti dengan tak sabar lagi. Dalam hal ini Kong Ji berlaku
607
sembrono dan ia sudah menaruh kepercayaan besar kepada dua
orang kakek itu. Padahal Giok Seng Cu dan Ba Mau Hoatsu
sebetulnya tidak terus turun gunung, melainkan berhenti, berunding
kemudian keduanya secara diam-diam naik lagi ke puncak melalui
lereng lain!
Dengan hati berdebar Kong Ji dan Nalumei mengikuti jalan
terowongan yang amat panjang dan gelap. Kong Ji berjaIan di
depan dan Nalumei memegang ujung bajunya di belakang,
sedangkan Kong Ji bersiap sedia dengan pedang di tangan menjaga
kalau-kalau ada serangan dari depan. Jalan terowongan itu berlikuliku
dan kadang-kadang menurun, karena gelap maka rasanya jauh
sekali dan seakan-akan tiada habisnya.
Akhirnya mereka melihat cahaya dan tak lama lagi keluarlah
mereka dari terowongan dan tiba di tempat yang indah sekali, yakni
di lereng gunung Luliang-san, lereng tersembunyi, tempat indah
yang dulu menjadi tempat kediaman Wan-Sin Hong. Kong ji
mengenaI tempat ini dan segera ia berlari mencari gua tempat
penyimpan kitab peninggalan Pak-Kek Siansu.
"Di sinilah tempatnya!" katanya berkali-kali ke arah sebuah batu
besar yang menutup mulut gua. Kong ji kelihatan gembira sekali
dan tegang sehingga tidak memperhatikan keadaan lain di
sekitarnya.
Ketika ia tidak mendengar jawaban Nalumei, ia menengok dan
melihat wajah kekasihnya itu pucat sekali.
"Kau kenapa?" tanyanya heran.
Nalumei menggeleng-geleng kepalanya. "Mungkin aku agak
pening setelah melalui terowongan yang gelap tadi. Baru saja aku
seperti melihat berkelebatnya bayangan orang!"
Kong Ji melirik ke kanan kiri. "Tak mungkin, kalau kau sampai
dapat melihat mengapa aku tidak? Setidaknya tentu aku mendengar
kalau ada orang bergerak.”
Memang Kong Ji amat mengandalkan kepandaiannya sendiri dan
tidak memandang mata kepada orang lain.
608
Nalumei tak berkata apa-apa lagi, melainkan ikut dengan Kong Ji
yang sudah menghampiri batu besar yang menutup mulut gua.
Dengan tenaga Tin-san-kang yang sudah sempurna, sekali dorong
saja batu itu menggelinding ke samping. Tenaga Kong Ji benarbenar
jauh bedanya dengan dulu ketika ia turun di tempat ini
bersama burung rajawali. Dulu ia harus mengerahkan tenaga untuk
nenggeser batu, sekarang ia merasa amat mudah menggulingkan
batu itu.
Dengan senyum bangga ia melangkah masuk diikuti oleh Nalumei
yang berjaIan di belakangnya. Kong Ji berlari, tak sabar lagi.
Alangkah girangnya ketika dari jauh ia sudah melihat peti itu, masih
seperti dulu terletak di dalam kamar gua. Dihampirinya peti itu,
dibukanya tutupnya dan dengan girang ia mengambil kitab kuno
yang terdapat di dalam peti. Sambil tertawa-tawa ia membaca huruf
huruf yang menghias sampul kitab, yang berbunyi, PAK KEK SIN
CIANG HOAT PIT KIP.
"Mari kita memeriksa isinya di luar, di sini terlalu gelap," Kata
Kong Ji pada Nalumei yang mendekat-dekat untuk ikut membaca.
Mereka berjalan sambil tertawa-tawa keluar dari gua, seperti dua
orang anak kecil mendapatkan mainan baru yang menarik.
"Aku akan menjagoi dunia, aku akan menundukkan dunia kangouw.
Ha, ha, ha, tunggu sebentar lagi kau Sin Hong. Aku akan
membekuk batang lehermu scperti kucing menangkap tikus. Ha, ha!'
Kong Ji tertawa bergelak dan suara ketawanya bergema
menyeramkan karena ia masih berada di dalam gua.
Setelah tiba di luar gua, Kong Ji cepat-cepat membalik-balik
lembaran kitab dan matanya terbentur lalu terpaku pada hurufhuruf
besar di lembaran pertama. Mukanya menjadi pucat. Nalumei
yang belum lama mempelajari huruf-huruf dari Kong Ji, membaca
tulisan itu lambat-lambat.
"Liok Kong Ji, apakah kau mau menjadi ahli sejarah?" Demikian
bunyi huruf huruf itu ketika dibaca oleh Nalumei.
Kong Ji cepat membalik-balik lembaran berikutnya dan sekali
pandang saja, tahulah ia bahwa buku itu adalah sejarah kuno, dan
hanya disampulnya saja ditulis bahwa kitab itu adalah kitab ilmu
609
silat! Ia telah ditipu orang! Siapa yang telah menipunya? Dan siapa
dia yang telah tahu bahwa kitab itu akan terjatuh di tangannya
sehingga berani menuliskan kalimat yang mengejeknya itu?
"Bedebah!" Kong Ji memaki sambil membanting kitab itu ke atas
tanah.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari jauh, seakan-akan
menjawab makian dan kemarahan Kong Ji, seakan-akan
mentertawakannya. Kemudian suara ketawa itu diikuti oleh
bentakan-bentakan dan suara orang bertempur. Kong Ji terkejut
mendengar suara Giok Seng Cu dan Ba Mau Hoatsu, maka cepat ia
melompat dan berlari cepat menuju ke tempat ribut-ribut itu yang
agaknya timbul dari balik gunungan batu.
Ketika ia mengitari gunungan itu muncul di belakangnya, ia
melihat Giok Seng Cu merintih-rintih dan sedang merayap bangun.
Sedangkan Ba Mau Hoatsu yang tinggi besar itu tengah bertempur
melawan seorang pemuda yang bukan lain adalah Wan Sin Hong!
Sepasang roda dari Ba Mau Hoatsu telah terlempar jauh dan pada
saat Kong ji muncul Ba Mau Hoatsu telah terdesak hebat tiba-tiba
hwesio tinggi besar ini menggerakkan kedua tangannya dan
memukul kepala Sin Hong dengan kedua tangan itu dengan sekuat
tenaga. Agaknya ia sudah berlaku nekat karena maklum takkan
menang menghadapi pemuda aneh ini. Sin Hong mengeluarkan
suara mengejek, kedua tangannya bergerak dan di lain saat kedua
tangannya itu telah menangkap dua pergelangan lengan Ba Mau
Hoatsu.
"Pendeta keparat yang keji, bersiaplah menghadap Ayah
Bundaku untuk menebus dosamu!" terdengar Sin Hong berkata dan
pemuda itu mengerahkan sin-kangnya melalui jari-jari tangannya.
Tiba-tiba Ba Mau Hoatsu membelalakkan matanya, mengeluarkan
pekik menyeramkan sekali, tubuhnya seperti kaku dan rasa sakit
menjalar dari pergelangan tangan, terus menembus jantung dan isi
perutnya! Sin Hong membentak keras dan tubuh yang tinggi besar
dari hwesio itu telah diangkatnya di atas kepala, lalu dibanting.
"Brukkk!" Ba Mau Hoatsu terguling-guling akan tetapi sudah tak
dapat mengeluarkan suara lagi, karena sebelum diangkat dan
dibantingpun ia sudah tewas. Dengan tenaga dalam yang
610
mengerikan hanya menggencet pergelangan lengan, Sin Hong
sudah dapat menewaskan hwesio kosen ini, hwesio yang menjadi
pembunuh ayah bundanya, yang baru sekarang ia dapat
membalasnya.
Ketika Sin Hong memandang ke depan, ternyata Giok Seng Cu,
juga Kong Ji dan Nalumei telah lenyap dan situ, Sin Hong mengejar
ke dalam terowongan, akan tetapi tiba-tiba menyambar batu-batu
besar yang disambitkan dari dalam. Sambitan ini dilakukan oleh
orang-orang yang bertenaga besar, maka tentu saja amat
berbahaya dan terpaksa Sin Hong tidak dapat mendesak terus. Di
dalam terowongan yang demikian gelap dan berbahaya, tentu saja
ia tidak berdaya dan kalau ia nekat mendekati musuh- musuhnya ia
mungkin akan terkena celaka oleh serangan gelap.
Bagaimanakah tahu-tahu Giok Seng Cu dan Ba Mau Hoatsu dapat
bertempur dengan Sin Hong? Mari kita mundur sebentar. Seperti
telah dituturkan di bagian depan, Sin Hong yang marah besar
mencari jejak Kong Ji, ingin sekali ia menangkap Kong Ji dan
menyeretnya ke depan Soan Li untuk membuat pengakuan.
Akhirnya ia mendengar bahwa Kong Ji berada di Luliang-san. Ia
menjadi girang sekali, karena ia tahu apa kehendak Kong Ji ke
Luliang-san. Tentu akan mengambil kitab peninggalan Pak Kek
Siansu, pikirnya. Oleh karena itu, dia diam ia mengejar ke puncak
Luliang-san. Sambil bersembunyi ia mendapat kenyataan bahwa
biarpun di puncak Lulian-san, ternyata Kong Ji belum mendapat
tempat rahasia untuk masuk ke dalam jurang. Ia menanti dengan
sabar sampai tiba saatnya Kong Ji mendapatkan terowongan itu.
Dengan kepandaiannya Sin Hong mendahului masuk ke dalam
jurang dengan bantuan akan-akar seperti dahulu pernah ia lakukan
ketika membawa gihunya ke dalam jurang. Dengan cepat ia lalu
menuliskan kalimat di lembar pertama dari kitab sejarah yang
sengaja ia taruh di situ menggantikan kitab ilmu silat peninggalan
Pak Kek Siansu yang sebenarnya ia bakar habis.
Setelah itu, ia mengintai dari luar guha dan melihat betapa Kong
Ji kecele. Pada saat itu ia melihat Ba Mau Hoatsu dan Giok Seng Cu
muncul dari terowongan. Bukan main girang hati Sin Hong melihat
musuh besarnya, Ba Mau Hoatsu, orang yang sudah membunuh
ayah bundanya. Saking girangnya ia tertawa bergelak, sebagian
611
untuk mentertawakan dan mengejek Kong Ji, sebagian pula untuk
menyatakan kegirangan hatinya mendapat kesempatan bertemu
dengan musuh besarnya.
Giok Seng Cu dan Ba Mau Hoatsu ketika melihat munculnya Sin
Hong secara tiba-tiba menjadi kaget sekali. Seperti telah kita
ketahui, dua orang kakek ini diam-diam memasuki terowongan
mengikuti Kong Ji, bermaksud untuk merampas kitab peninggalan
Pak Kek Siansu apabila benar-benar terdapat di tempat rahasia itu.
Tak mereka sang sangka bahwa mereka akan bertemu dengan Sin
Hong di tempat itu. Giok Seng Cu sudah pernah merasai kelihaian
Sin Hong, maka ia merasa agak gentar amat kaget. Sebaliknya, Ba
Mau Hoatsu yang mengenaI Sin Hong sebagai bocah tolol yang dulu
dijadikan kuda oleh Gak Soan Li, memandang rendah dan tidak
senang karena dianggapnya pemuda ini merupakan gangguan.
"Tolol, apa kerjamu di sini?" serunya dan cepat Ba Mau Hoatsu
menendang ke arah perut Sin Hong dengan maksud sekali tendang
menewaskan pemuda itu agar selanjutnya jangan menjadi
gangguan. Akan tetapi, di lain saat tubuhnya terlempar dan jatuh
berdebuk di atas tanah. Ia terkejut bukan main. Ketika menghadapi
tendangan tadi, Sin Hong hanya menggerakkan tangan, menyambut
kakinya yang menendang lalu mendorong dan Ba Mau Hoatsu,
tokoh Tibet yang ditakuti banyak orang, terlempar dan terjengkang!
Sambil mengeluarkan gerengan marah Ba Mau Hoatsu
mengambil senjatanya yang lihai, yakni sepasang roda. Melihat Ba
Mau Hoatsu hendak menyerang dengan senjatanya yang lihai, Giok
Seng Cu merasa malu untuk tinggal diam. Apalagi ia melihat Ba Mau
Hoatsu bersenjata dan ia tahu pula akan kelihatan kawan ini, maka
ia pikir mustahil kalau mereka berdua tak mampu menewaskan
bocah aneh ini. Maka otomatis ia pun melompat dekat dan
berbareng pada saat Ba Mau Hoatsu menyerang dengan sepasang
roda ke arah kepala Sin Hong, Giok Seng Cu juga mengirim
serangan pukulan Tin-san-kang ke arah dada pemuda itu.
Serangan ini bukan main hebatnya. Sepasang roda dari Ba Mau
Hoatsu bagaikan dua ekor garuda liar menyambar-nyambar dari
atas dan sekali saja kepalanya terkena pukulan roda, pasti akan
pecah dan isi kepala berantakan. Apalagi pukulan yang dilakukan
612
oleh Giok Seng Cu. Dia ini adalah pencipta Ilmu Pukulan Tin-sankang
yang mempunyai tenaga ribuan kati, maka dapat dibayangkan
betapa dahsyatrrya. Baru angin pukulannya saja sudah mampu
merobohkan seorang ahli silat kenamaan.
Akan tetapi Sin Hong yang juga maklum bahwa menghadapi dua
orang tokoh besar ini maju bersama, bukanlah hal yang ringan. Ia
berlaku cerdik. Melihat betapa sepasang roda dari Ba Mau Hoatsu
amat ganas, ia cepat berkelebat dan sekali melompat ia telah
menjauhi Ba Mau Hoatsu dan berada di depan Giok Seng Cu. Pada
saat itu, kakek rambut panjang ini tengah melakukan pukulan Tinsan-
kang dan sambil melompat Sin Hong berpoksai membuat salto
sehingga hawa pukulan itu lewat di bawah tubuhnya dan ia telah
mendahului Giok Seng Cu, mengirim pukulan balasan dari udara
sebelum kakek itu menarik kembali tangannya.
Giok Seng Cu mengeluarkan teriakan kaget. Cepat ia menangkis
dengan tangan kiri, namun terlambat. Gerakan pemuda itu terlalu
cepat dan tidak terduga datangnya, maka lehernya telah terkena
hawa pukulan dari atas dan ia menderita luka dalam dada. Ia
terhuyung dan roboh, mengeluh dan merintih-rintih karena pukulan
yang dilakukan oleh Sin Hong tadi benar-benar luar biasa kuatnya.
Setelah merobohkan. Giok Seng Cu, Sin Hong menghadapi Ba
Mau Hoatsu. Dua kali tangannya tergerak, terdengar suara keras
dan sepasang roda dari Ba Mau Hoatsu telah kena ia patahkan
dengan pukulan tangan. Sepasang roda itu terlempar ke atas tanah
dan Ba Mau Hoatsu menjadi pucat. Hwesio tinggi besar ini tidak
melihat jalan keluar, maka ia berlaku nekat dan menyerang Sin
Hong dengan tangan kosong.
Selanjutnya Ba Mau Hoatsu tewas di tangan Sin Hong seperti
telah diceritakan di depan. Akan tetapi, ternyata Kong Ji berlaku
amat cerdik. Melihat betapa Giok Seng Cu terluka dan Ba Mau
Hoatsu sudah didesak hebat oleh Sin Hong, Kong Ji lalu menyeret
tubuh Giok Seng Cu, bersama Nalumei ia melarikan diri keluar dari
tempat itu melalui terowongan. Ketika Sin Hong mengejar ia
menghujani pemuda itu dengan batu-batu karang dari tempat
gelap. Juga Nalumei membantunya menyambitkan batu-batu ke
arah Sin Hong sehingga Sin Hong terpaksa mundur kembali. Dengan
613
cepat Kong Ji mengajak Nalumei dan Giok Seng Cu keluar,
kemudian ia menutup gua atau kamar di mana terdapat pintu
rahasia terowongan itu dengan batu karang yang besar. Tidak
hanya satu atau dua buah saja, akan tetapi puluhan banyaknya.
Dengan bantuan Nalumei, kemudian Giok Seng Cu yang sudah
mengatur napas dan mengobati lukanya juga membantu. Kong Ji
mematikan jalan keluar terowongan itu dengan menimbun batubatu
karang yang amat banyak. Tak mungkin orang dapat
membongkar batu-batu karang yang ditumpuk-tumpuk itu dari
dalam terowongan dan kiranya Sin Hong takkan dapat keluar dari
dasar jurang itu kalau tidak ada orang yang menolongnya dari luar!
Kong Ji tertawa bergelak. "Ha, ha, Sin Hong, sekarang kau telah
dikubur hidup-hidup! Giok Seng Cu Suhu, sakit hatimu karena
terluka olehnya sudah balas. Dia tentu akan mampus kelaparan,
atau kalau tidak, dia akan menjadi penghuni dasar jurang itu selama
hidupnya. Ha, ha, ha!"
"Sayang Ba Mau Hoatsu tewas...." hanya ini yang dapat
diucapkan oleh Giok Seng Cu karena ia sedang memutar otak untuk
menghadapi kecurigaan Kong Ji. Akhirnya yang dikhawatirkan itu
terbukti juga, karena tiba-tiba Kong Ji menghentikan suara
ketawanya dan dengan pandang mata tajam ia bertanya,
"Aku masih merasa heran dan tidak mengerti mengapa jiwi Suhu
yang kusangka sudah turun gunung seperti yang kita rencanakan,
tahu-tahu bisa berada di tempat itu?"
Baiknya Giok Seng Cu telah lebih dulu mencari alasan, maka
tanpa ragu-ragu dan tidak gugup sedikitpun juga ia menjawab,
"Baru saja aku dan Ba Mau Hoatsu hendak turun gunung, di jalan
kami melihat berkelebatnya bayangan orang. Kami mengejar dan
orang itu memasuki pintu rahasia di terowongan ini. Kami mengejar
terus sampai di bawah dan di sanalah kami disambut oleh Wan Sin
Hong. Kau turun ke sana hendak apakah Aha, aku ingat sekarang,
tentu untuk mengambil kitab peninggalan Pak Kek Siansu, bukan?"
Kong jl teringat akan kitab yang telah dipalsu, maka ia merasa
mendongkol sekali kepada Sin Hong, hanya mengangguk. Akan
614
tetapi Giok Seng Cu tentu saja tidak puas dengan jawaban ini, lalu
mendesak.
"Sudah kaudapatkankah? Boleh melihat sebentar kitab
peninggalan Supek itu?"
Kong Ji cemberut. "Kitab apa? Bangsat itu tiada guna. Aku telah
dipermainkan olehnya Si bedebah. Akan tetapi dia sudah dikubur
hidup-hidup, puas sudah!"
"Apa...? Bagaimana...?" Giok Seng Cu memandang ragu dan
curiga, akan tetapi matanya yang tajam dan berpengalaman itu
memang sudah tahu bahwa Kong Ji keluar dari tempat itu tidak
membawa kitab.
"Apakah Suhu begitu bodoh hingga tidak dapat menduga? Dari
mana bangsat Wan Sin Hong itu mendapatkan kepandaiannya yang
tinggi. Siapa gurunya? Bukankah semua itu kesalahan Suhu
semula?"
Giok Seng Cu berubah air mukanya. “Kesalahanku? Apa
maksudmu?"
Kong Ji mengejek dengan nada suara kurang ajar. "Kalau Suhu
dahulu tidak melemparkan Sin Hong ke dalam jurang dari puncak
Jeng-in-thia, bagaimana bocah itu bisa mewarisi kitab dari Pak Kek
Siansu?"
Giok Seng Cu melengak. Kini tahulah ia mengapa tadi dalam
pertempuran hanya Ba Mau Hoatsu yang ditewaskan oleh Sin Hong
dan dia diampuni. Ini tadinya ia heran benar, akan tetapi sekarang
baru ia ingat bahwa mungkin sekali Sin Hong mengampuninya
karena dialah yang sesungguhnya berjasa. Kalau dia dahulu tidak
melemparkan Sin Hong ke dalam jurang, bagaimana bocah itu bisa
menjadi seorang demikian sakti?"
"Akan tetapi sudahlah, sekarang Sin Hong tak mungkin dapat
keluar dari kuburannya," kata Kong Ji. "Biarpun Ba Mau Hoatsu
sudah tewas akan tetapi dengan kawan-kawan lain kita pasti akan
berhasil dalam cita-cita kita. Apalagi kalau See-thian Tok-ong dapat
didekati, siapa yang dapat melawan kita? Suhu mari bawa aku
615
menemui See-thian Tok- ong, biar aku sendiri yang bicara dengan
dia."
Berangkatlah tiga orang itu. Kong Ji, Giok Seng Cu, dan Nalumei
menuruni Gunung Luliang-san, meninggalkan Sin Hong yang
terpendam hidup-hidup di dalam jurang. Setibanya di kaki gunung
Kong ji berkata kepada Nalumei,
"Nalumei,........ kekasihku......... Sekaranglah waktunya kawankawan
dari utara bersiap sedia. Pemilihan bengcu di Ngo-beng-san
sudah dekat waktunya, kita perlu menyiapkan bantuan. Lebih baik
kau sekarang juga pergi ke utara dan membawa pasukan bantuan
kita ke Ngoheng-san. Biar kita berjumpa di sana."
Nalumei tidak membantah karena memang inilah cita-citanya.
Memimpin Suku bangsa yang masih setia kepadanya untuk mencari
kedudukan dan kalau mungkin kelak menumpas pasukan yang
dipimpin oleh Temu Cin sebagai pembalasan dendam. Juga karena
Ngo-heng-an letaknya di sebelah utara, maka dua tempat dimana ia
akan bertemu dengan suku bangsanya tidak jauh lagi, hanya
kembali ke selatan beberapa ratus li saja. Dari kaki Gunung Luliangsan
itu, berpencarlah mereka. Nalumei seorang diri menuju ke
utara, adapun Kong Ji dan Giok Seng Cu menuju ke barat untuk
mencari See thian Tok-ong dan mengumpulkan kawan-kawan, yakni
orang-orang kang-ouw yang sudah menjadi kaki tangan Kong Ji.
-oo0mch-dewi0oo-
Pada masa itu, kerajaan bangsa Kin sudah hampir runtuh.
Kekuasaannya sudah mulai menyuram. Banyak gubernur propinsipropinsi
di bagian selatan sudah memberontak, berdiri sendiri dan
tidak lagi mengakui kekuasaan Kerajaan Kin. Namun, di kota raja
sendiri, kerajaan ini masih berdiri karena terjaga kuat oleh bala
tentara Kin yang memang tadinya merupakan pasukan-pasukan
gagah perkasa dan kuat sekali. Pemberontakan rakyat yang tiada
hentinya semenjak barisan Kin menguasai Tiongkok, hanya dapat
bergerak di luar kota raja saja.
Keluarga Kerajaan Kin sudah dapat meraba dan menduga bahwa
kekuasaan mereka takkan dapat bertahan lama lagi. Oleh karena
616
itu, para pangeran dan bangsawan yang tadinya memegang Jabatan
di daerah-daerah luar kota raja telah sama berkumpul atau
mengungsi di kota raja memperkuat kedudukan di kota pusat itu.
Oleh karena para bangsawan ini meninggalkan daerah sambil
membawa harta benda, maka keadaan di kora raja makin ramai
saja. Perdagangan makin menjadi dan keadaan kota makin mewah.
Penjagaan kota amat kuat. Mata-mata yang diambil dari barisan
pengawal disebar di seluruh kota, memeriksa dan menyelidiki siapa
saja yang dicurigai juga ahli-ahli silat kelas tinggi yang menjadi
pengawal-pengawal istana dan pengawal pribadi kaisar, berkumpul
di istana setiap saat siap waspada menjaga keselamatan keluarga
raja.
Kini setiap bangsawan gelisah. Berita tentang gerakan Temu Cin
yang memimpin bangsa Mongol di utara sudah terdengar oleh
mereka. Ancaman dari selatan masih di ambang pintu, kini dari
pintu belakang datang pula ancaman yang lebih mengerikan lagi.
Setelah bahaya mengancam dari mana-mana, barulah kaisar dan
keluarganya maklum bahwa dalam keadaan bahaya, harta benda
tidak ada gunanya dan bahkan harta benda itulah yang memancing
datangnya bahaya. Mereka segera berunding dan pada hari-hari
berikutnya, di mana-mana terpasang surat pengumuman yang
menyatakan bahwa kaisar membutuhkan pasukan baru. Dibutuhkan
orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi untuk menjadi
anggauta pasukan dengan bayaran yang amat tinggi, sepuluh kali
lebih tinggi upah yang biasa terima oleh seorang anggauta pasukan
pengawal!
Mengalirlah ahli-ahli silat yang tertarik oleh bayaran tinggi,
karena memang pada masa itu, mencari uang bukanlah hal yang
amat mudah, apalagi bagi mereka yang kepandaiannya hanya
mainkan senjata. Pasukan pengawal dan barisan penjaga kota raja
ditambah dengan seribu orang lebih, sebagian besar dari mereka ini
adalah ahli-ahli silat. Ada pula orang-orang yang kepandaian
silatnya tinggi, diterima menjadi busu pengawal kaisar pribadi atau
menjadi komandan-komandan pasukan penjaga keamanan. Dengan
adanya tambahan pasukan penjaga ini, kotanya makin terjaga kuat
dan boleh dikata setiap orang penduduk atau tamu yang berada di
617
kota raja, mempunyai seorang pengawas atau penyelidik sendiri.
Pendek kata, mata-mata kaisar berserakan di kota raja sehingga ke
mana juapun seorang pendatang kota raja berada, akan
bertumbukan dengan seorang mata-mata istana!
Akan tetapi, sungguh di luar persangkaan kaisar bahwa di antara
sekian banyaknya busu, terdapat di antara mereka itu mata-mata
dari utara, utusan-utusan dari Temu Cin yang sengaja mengirim
orang cerdik pandai menyelundup ke kota raja untuk menyelidiki
keadaan kota raja musuh! Dan tidak ini saja, juga di antara mereka
terdapat mata-mata dari rakyat pejuang atau rakyat yang semenjak
dahulu bergerak untuk menumbangkan Kerajaan Kin. Dan para
mata-mata dari dua musuh ini bayak yang menjadi busu atau
pengawal istana! Ada pula di antatanya yang bercampuran dengan
penduduk dan bekerja sebagai pedagang dan lain-lain. Pendek kata,
kota raja di masa itu merupakan tempat yang aneh. Aneh dan
mengerikan, di mana kadang-kadang terdengar pekik di waktu
malam dan seorang dua orang lenyap. Ada kalanya yang lenyap
hanya nyawanya, kadang-kadang dengan tubuhnya sama sekali,
lenyap tak meninggalkan bekas. Kota raja di waktu itu sama dengan
arena pertempuran di mana mata-mata mengadu siasat dan
berperang melawan pengawal istana.
Pada suatu hari itu, seorang gadis yang memasuki pintu gerbang
kotaraja. Semua orang yang bertemu dengan gadis ini pasti
memandang dan menengok dengan kagum. Tidak saja wajahnya
cantik manis, juga sikapnya gagah sekali. Mudah saja diduga bahwa
gadis ini tentu seorang ahli silat, tidak hanya kentara dari sikapnya
yang gagah, juga terbukti oleh pedang yang tergantung di
pinggangnya.
Gadis itu berjalan dengan langkah tegap dan gagah, memandang
lurus ke depan, sama sekali tidak menaruh peduli terhadap pandang
mata kaum pria yang mengikuti setiap gerak-geriknya. Sudah terlalu
banyak dan terlalu sering ia mengalami hal ini, dipandang dengan
kagun dan penuh gairah oleh mata lelaki, maka kini hal itu
dianggapnya sudah jamak. Di dalam kamus hatinya sudah ia catat
bahwa memang begitulah sifat mata kaum pria dan kalau ada mata
yang tidak mengikuti dan mengagumi gerak-gerik seorang gadis
618
cantik baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, maka
bukan mata laki-laki itu!
Tak pernah ia membalas pandang mata orang. Kalau ada ia
memandang sesuatu, itu adalah papan nama toko dan rumahrumah,
seperti mencari sesuatu. Memang, dia sedang mencari
sebuah rumah penginapan yang patut disewa kamarnya oleh
seorang gadis yang datang seorang diri.
Akhirnya gadis itu memasuki sebuah hotel yang nampaknya
bersih dan besar, yakni hotel Thian Lok Likoan. Seorang pelayan
setengah tua yang berpakaian bersih dan bersikap sopan ramah
menyambutnya, melirik sedetik ke arah gagang pedang yang
tergantung di pinggang nona itu.
"Ada keperluan apakah, Nona?" tanyanya singkat akan tetapi
sikapnya sopan, kedua tangannya menjura dan memberi hormat.
"Aku mau sewa kamar," jawab gadis itu singkat pula sambil
matanya menyambar ke sekeliling ruangan depan yang nampak
sunyi, akan tetapi matanya yang tajam menangkap gerakangerakan
orang di ruang dalam, agaknya banyak yang berada di
dalam gedung itu.
"Nona seorang diri-saja? Ataukah masih ada banyak orang?"
"Seorang diri. Sediakan kamar sedang untuk aku sendiri."
"Baiklah, Nona. Silakan Nona ikut ke kantor untuk mengisi nama
lebih dulu."
Gadis itu mengerutkan kening dan sepasang alisnya yang hitam
dan indah bentuknya itu bergerak-gerak. Hatinya tidak senang. ia
sudah lama merantau sudah banyak kota besar dijelajahi, dan
sering menginap di hotel besar, namun belum pernah ada aturan
macam ini. Akan tetapi karena ia sudah mendengar bahwa kota raja
memang berlaku peraturan-peraturan keras, ia diam saja dan
berjalan tegap mengikuti pelayan itu ke ruang dalam.
Benar seperti diduganya tadi, di ruang dalam terdapat banyak
sekali orang. Hotel itu ternyata menerima banyak sekali tamu dan
tamu-tamu inilah yang memenuhi ruangan tengah. Mereka terdiri
dari bermacam-macam orang, riuh rendah suara bicara mereka
619
dalam berbagai bahasa daerah. Melihat gadis itu masuk bersama
pelayan, semua suara berhenti dan semua mata memandang ke
arah gadis itu penuh gairah. Namun gadis itu tidak peduli, terus
berjalan sambil mengangkat dada dan muka, bibir dirapatkan dan
hidung agak diangkat mengejek.
Empat orang laki-laki yang kelihatan seperti tamu-tamu biasa,
berpakaian seperti pedagang, segera berdiri dan mengikuti gadis itu
ke kantor. Mereka ini sebetulnya adalah mata-mata kota raja yang
bertugas di ruang dalam itu, tugasnya menyelidiki para tamu dan
diam-diam mendengarkan isi percakapan mereka.
Pelayan itu membawanya ke sebuah kantoran yang cukup besar
dan di situ terdapat tiga orang laki-laki yang duduk menghadapi
meja besar. Seorang di antaranya adalah seorang juru tulis biasa
yang memegang pit dan menghadapi buku tamu, sedangkan yang
dua lagi adalah orang-orang bertubuh tinggi, tegap pakaiannya
seperti biasa dipakai oleh tukang-tukang pukul! Makin tak enak dan
tak senang hati gadis itu, namun pada mukanya ia memperlihatkan
sikap tenang saja.
Juru tulis yang kurus kering dan bermata sipit itu mengangkat
muka memandang ke arah gadis itu. Bibirnya yang tipis kering
terbuka yang dimaksudkan sebagai senyum menarik, akan tetapi
jadinya hanya menyeringai memperlihatkan sederet gigi kuning
kehitaman.
"Ah, Ciang lopek, ada tamu baru?” katanya kepada pelayan yang
mengantarkan gadis itu. "Silakan, Nona, salahkan masuk dan
duduklah. Siapa nama Nona berapa usia, dan di mana tempat
tinggal dari mana hendak ke mana?" Melihat kalimat yang keluar
secara cepat otomatis ini, mudah diduga bahwa kalimat itu adalah
penggunaan sehari-hari, setiap kali ada tamu masuk sehingga si
cecak kering ini sudah menjadi hafal.
Gadis itu mendongkol bukan main. Kalau hanya ditanya nama
saja, masih mending. Akan tetapi cecak kering itu menanyakan usia,
tempat tinggal segala macam! Ia mulai marah, kentara dari kulit
mukanya yang putih halus itu kini merah dan sinar matanya menjadi
tambah berkilat. Celakanya, ada orang yang menyiram minyak pada
api, ada orang yang membikin kemarahannya menjadi-jadi. Orang
620
ini adalah seorang di antara tukang pukul yang tadi duduk
bercakap-cakap dengan Si Juru Tulis. Dia yang bicara ini selain
bertubuh tinggi besar, juga matanya lebar seperti gundu dan
kumisnya tebal menghitam, membuat wajahnya nampak angker
menakutkan.
"Pedang itu harus ditinggalkan di kantor, hanya akan
dikembalikan kalau Nona akan meninggalkan hotel kami. Tak
seorang pun boleh membawa-bawa senjata dalam hotel kami,"
katanya sambil menudingkan telunjuk yang besar ke arah pedang
gadis itu.
"Dan pula," menyambung tukang pukul ke dua, yang juga tinggi
besar, akan tetapi mukanya licin mengkilap seperti dipelitur dan
sikapnya menunjukkan sifatnya yang mata keranjang dan ceriwis
"untuk apa sih Nona manis membawa- bawa pedang? Kalau terkerat
pedang kan sayang?"
Nona itu menjadi makin marah. Hampir saja ia tak dapat
menahan kemarahannya, akan tetapi ia hanya melirik ke arah
tempat senjata yang berada di pojok kantoran itu, agaknya senjata
para tamu yang dititipkan di situ. Juga ia melihat empat orang lakilaki
berpakaian pedagang berdiri di luar kantor mendengarkan.
Sikap empat orang ini lebih menarik perhatiannya dan membuatnya
bersikap hati-hati. Dua orang tukang pukul itu hanya bangsa
kasaran saja, mudah dihadapi. Akan tetapi empat orang pedagang
yang berdiri memandang itu, gerak-gerak mereka bukan
sembarangan. Hm, benar-benar banyak orang pandai di kota raja,
pikir gadis itu.
Ia menyapu wajah dua orang tukang pukul, juru tulis dan
pelayan itu dengan sinar mata tajam, kemudian sambil tersenyumsenyum
ia berkata,
"Begitukah aturannya? Haruskah nama dan segala macam
dituliskan di buku tamu? Hm, kesinikan pit itu. Kau ini cecak kering
mana bisa menulis dengan baik! Jangan-jangan salah namaku kau
tuliskan!"
Sebelum Juru tulis itu dapat menutup kembali mulutnya yang
celangap bengong mendengar kata-kata ini, pit di tangannya sudah
621
berpindah ke tangan gadis itu! Kemudian dengan tenang gadis itu
mencelupkan pit ke dalam tinta hitam dan berkata,
"Namaku" Nah, inilah namaku, baca baik-baik!" Pitnya digerakkan
dan ia menuliskan huruf besar yang berbunyi Go, yakni nama
keturunannya, akan tetapi bukan ditulis di atas buku, melainkan di
atas muka Si Juru Tulis! Gerakannya demikian cepat sehingga juru
tulis itu tidak sempat mengelak, hanya mulutnya ngeluarkan suara
"Uh... ah...!" dan... terjadilah huruf itu, besar dan jelas di mukanya
dari papi kiri ke pipi kanan dan jidat sampai ke dagu!
"Nah, itulah namaku," kata gadis itu tersenyum manis, sambil
berpaling kepada pelayan. "Eh. Lopek, apakah kau juga ingin
mengetahui usiaku pula?" Pelayan itu menjadi pucat dan cepatcepat
menggeleng kepalanya.
"Tidak, Nona... tidak..." ia keluar dari kantoran dengan kaki
gemetar. Setelah tiba di luar, pelayan ini berkata dengan suara
memohon, "Nona, sudah menjadi peraturan untuk mengisi buku
tamu, harap Nona tidak membikin susah kami...”
Nona itu memandang kepada dua orang tukang pukul yang
sudah berdiri marah. "He, kau monyet berkumis, nama nonamu
akan kutulis di sini, baca baik-baik." Sambil berkata demikian, Nona
itu menuliskan pit di atas meja kayu dan nampak guratan-guratan
dalam di meja itu seperti digurat pisau! Tiga huruf GO HUI LIAN
tergurat di atas meja!
Dua orang tukang pukul tinggi besar yang tadinya berdiri marah,
melihat demonstrasi tenaga lweekang dari gadis manis ini, menjadi
tertegun. Sebagai ahlisilat mereka maklum bahwa gadis yang
remaja dan cantik ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang
gadis kang-ouw yang berkepandaian tinggi. Oleh karena itu, mereka
berlaku hati-hati dan tidak berani bersikap sembrono. Penjaga yang
kumisan segera menjura dengan hormat kepada Hui Lian dan
berkata,
"Cukup, Go-lihiap. Sekarang kami tahu bahwa kau adalah
seorang pandai. Maafkan kalau kami bersikap lancang. Akan tetapi
hendaknya kau tahu bahwa setiap orang tamu yang bermalam di
hotel kami, harus mendaftarkan nama dan alamat. Ini termasuk
622
peraturan dari istana yang harus ditaati oleh seluruh penduduk kota
raja dan harus ditaati pula oleh kami."
Melihat sikap ini, kemarahan Hui Lian reda. Akan tetapi ia masih
mendongkol, kini kemendongkolannya ditujukan kepada peraturan
kaisar yang memang tidak disukainya. Untuk memuaskan
kemendongkolannya, gadis ini berlaku sembrono dan tanpa
disadarinya ia berkata lantang,
"Hem, begitukah peraturan di kota raja? Bagus! Semua orang
agaknya tidak percaya. Mau tahu alamatku? Baiklah cacat yang
jelas. Aku adalah Go Hui Lian, puteri dari Hwa I Enghiong Ciang Le
yang bertempat tinggal di Ka bun-to. Masih kurang jelas?"
Dua orang tukang pukul yang menjaga kantoran hotel itu tibatiba
mmenjadi pucat mendengar nama Hwa I Enghiong Ciang Le
disebut sebut, apalagi setelah tahu bahwa gadis ini adalah puteri
dari tokoh besar pemberontak itu. Go Ciang Le adalah seorang
pemberontak besas yang pernah mengacaukan istana kotaraja
(Baca Pendekar Budiman).
"Ah, baik….. baik, Go lihiap. Harap kau ikut dengan pelayan
untuk diantar ke dalam kamar terbaik di hotel ini. Maafkan kami...
dan harap saja Lihiap tidak marah-marah dan mengeluarkan
omongan keras karena kami benar-benar tidak mengharapkan
keributan di hotel ini,” kata Si kumisan dengan sikap takut.
Hui Lian tersenyum mengejek. Hatinya panas karena dengan
mendengungkan nama besar ayahnya ia telah berhasil membikin
orang menjadi ketakutan. Tanpa menoleh lagi ia lalu mengikuti
pelayan tua yang tadi mengantarnya ke kantor hotel yang kini cepat
mengantarkannya ke sebuah kamar kosong yang benar-benar
bersih menyenangkan.
Hui Lian masih terlampau muda sehingga kadang-kadang ia
menurutkan nafsu hatinya dan kehilangan sifat hati-hati. Apalagi ia
memang tidak tahu akan keadaan kota raja di waktu itu, maka
secara sembrono saja ia memperkenalkan dari sebagai puteri dari
Hwa I Enghiong. Kalau ia tahu, biarpun Hui Lian seorang dara
perkasa yang tidak kenal arti takut, namun tentu ia takkan begitu
sembrono untuk memancing kesulitan.
623
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, gadis ini setelah
bertemu dengan Sin Hong dan amat kecewa hatinya melihat
pemuda aneh yang dibencinya akan tetapi juga yang membuat
hatinya selalu berdebar kalau teringat kepadanya, kecewa karena
melihat Sin Hong membawa lari Gak Soan Li, lalu berlari cepat
pulang ke Kim-bu-to. Ia ingin menuturkan semua pengalamannya
kepada ayah bundanya, juga tentang diri Sin Hong yang aneh serta
tentang sikap Soan Li yang amat janggal dan aneh pula. Karena ia
melakukan perlalanan cepat sekali, tak lama kemudian ia tiba di
Kim-bu-to. Akan tetapi Hui Lian kecewa lagi mendapatkan ayah
bundanya tidak berada di rumah. Maka ia cepat pergi lagi menuju
ke kota raja karena ia mengira bahwa ayah bundanya pergi ke
tempat ini.
Sudah seringkali ia mendengar ibunya bercerita tentang
keindahan kota raja dan sering pula ibunya menyatakan rindunya
kepada kota besar ini. Maka ia dapat menduga bahwa ayah
bundanya tentu pergi menyusulnya dan menyusul Soan Li, akan
tetapi ke manakah ia harus mencari mereka? Karena tidak
mempunyai pegangan dan tidak dapat menduga pasti ke mana ayah
bundanya pergi, lalu menuju ke kota raja dengan harapan
barangkali ayah bundanya juga pergi ke sana.
Tanpa disadarinya, di kota raja begitu tiba ia telah memancing
kesulitan. Benar-benar ia memancing kesulitan di kantor hotel tadi,
karena ketika ia menuju ke kantor diantar oleh pelayan, empat
orang yang berpakaian seperti pedagang dan yang tadi mendengar
dari luar kantoran saling pandang penuh ketegangan, kemudian
mereka berempat ke luar dari hotel dengan cepat!
Baru saja Hui Lian meletakkan buntalan pakaiannya di atas meja
dan hendak bertukar pakaian, pintunya diketuk orang perlahan
sekali.
"Siapa?" tanyanya, kening berkerut. "Lihiap, bukalah. Penting
sekali...." terdengar suara orang, kedengarannya penuh
kegelisahan.
Hui Lian menunda niatnya berganti pakaian, lalu membuka daun
pintu. Begitu daun pintu terbuka, seorang laki-laki pendek kecil
sehingga sepintas lalu seperti seorang anak berusia sepuluh tahun,
624
menyelinap memasuki kamarnya. Lalu secepat kilat orang itu
menutup kembali daun pintu kamar Hui Lian'
Bukan main marahnya gadis ini dan tangannya sudah gatal-gatal
hendak memukul, bibirnya sudah bergemetar hendak memaki. Akan
tetapi orang itu menaruh telunjuk di depan bibirnya, dan berkata
perlahan,
"Ssstt, Lihiap, jangan salah sangka, Aku adalah mata-mata yang
dikirim oleh Temu Cin!"
Hui Lian melengak. Keterangan membuatnya terheran, akan
tetapi tidak melenyapkan rasa kurang senangnya.
"Biarpun kau dikirim oleh Giam-lo- ong (Raja maut), tidak patut
kau memasuki kamarku secara ini!" bentaknya.
"Sssttt, jangan keras-keras,
Lihiap. Kau berada dalam bahaya
maut! Aku datang karena
mendengar namamu tadi nama
yang dijunjung tinggi oleh Temu
Cin. Kau tidak tahu keadaan di sini,
dan sekali kau tadi menyebut
nama Ayahmu yang mulia,
celakakalah kau. Lekas kau lari dari
sini dan pergi keluar dari kotaraja
sebelum bahaya datang menimpa."
Hui Lian tenang-tenang saja,
bahkan memandang kepada orang
kate dengan curiga dan kurang
percaya. Ia memang tidak takut
mendengar bahaya
mengancamnya, dan lebih khawatir kalau-kalau ia akan tertipu oleh
orang yang belum dikenalnya ini daripada mengkhawatirkan bahaya
yang mengancam, kalau benar-benar ada bahaya.
"Mengapa aku harus keluar dan kota raja? Lebih baik kau yang
segera keluar dari kamar ini sebelum aku kehabisan kesabaran dan
melemparmu keluar seperti anjing!"
625
Orang itu menghela napas panjang "Lahiap, kau tidak percaya
kepadaku. Kau tidak tahu bahwa kawan-kawanku banyak sekali
yang dikirim oleh Temu Cin di kota raja. Aku bukan seorang bahkan
ada beberapa orang yang menjadi busu. Kau percayalah kepadaku,
Lihiap karena mendatangimu ini saja sudah merupakan bahaya
besar bagiku, sudah merupakan pekerjaan dengan taruhan nyawa.
Kalau mereka melihat aku berada di sini, tentu besok aku tidak akan
berada dunia ini lagi."
Melihat kesungguhan sikap orang kate itu, Hui Lian mulai
menaruh perhatian.
"Siapakah mereka yang kau anggap sebagai bahaya yang
mengancam diriku?" tanyanya.
"Para busu... mereka itu lihai dan bermata tajam... lekas kau lari
Lihiap. Lekaslah, aku tidak dapat lama-lama berada di sini." Orang
kate itu membuka daun pintu, akan tetapi baru dibuka sedikit saja,
ia telah menutupkan kembali dan mukanya menjadi pucat.
"Celaka...." katanya ketakutan.
"Hayo keluar dan kamarku. Kau takut apa?" Hui Lian
menegurnya. Hampir saja ia menendang laki-laki itu saking
jengkelnya. Orang ini ketakutan tidak karuan dan tidak berani keluar
dari kamarnya. Kalau ada orang melihat seorang laki-laki berada di
kamarnya, bukankah hal itu merupakan suatu aib yang memalukan
sekali? Seorang laki-laki berada di kamar seorang gadis, biarpun
lelaki itu seorang kate yang tidak berharga maupun seorang pelayan
misalnya asal dia seorang lelaki dewasa hal sudah jauh melebihi
kepantasan!
"Lahiap, celaka sekali. Kita sudah terkurung oleh pasukan busu
dan tidak ada jalan keluar lagi!"
Hui Lian kehabisan sabarnya. Ia mendorong daun pintu dan tidak
melihat apa-apa, hanya dari jauh kelihatan empat orang pedagang
yang tadi mendengarkan percakapan di kantor hotel. Dengan gemas
ia melangkah lagi ke dalam kamarnya dan menendang orang kate
itu sambil membentak,
"Keluarlah kau!"
626
Hui Lian tidak mau berlaku keji kepada orang kate yang tidak
dikenalnya ini, yang disangkanya tentu orang berotak miring maka
ia menendang biasa saja, hanya untuk membuat orang itu terpental
keluar. Akan tetapi alangkah herannya ketika dengan kesigapan luar
biasa, orang kate itu dapat mengelak dari tendangan Hui Lian
dengan sangat mudahnya dan sebelum Hui Lian hilang
keheranannya dan dapat menyerang lagi, si Kate itu sudah cepat
melompat ke atas. Terdengar suara keras dari kayu patah dan
genteng pecah, dan ternyata si Kate itu telah menerobos melalui
langit-langit kamar itu, menembus ke atas rumah!
Hui Lian berdiri terpukau. Kelihaian si Kate itu tidak terlalu
mengherankan baginya, akan tetapi yang ia tidak sangka adalah Si
Kate yang dikiranya orang gila itu ternyata memiliki kepandaian
sedemikian tingginya. Mulailah ia percaya akan kata-kata Si Kate
tadi dan kini Hui Lian membuka pintu kamarnya untuk mengintai
keluar.
Apa yang dilihatnya? Empat orang berpakaian pedagang tadi
masih berdiri di sana, akan tetapi sekarang dikawani oleh belasan
orang berpakaian sebagai perwira istana yang berdiri tegak
bagaikan patung, mengurung kamarnya! Hati Hui Lian berdebar.
Betulkah kata-kata orang kate tadi? ia menyapu belasan orang itu
dengan kerling matanya dan mendapat kenyataan bahwa setiap
orang membawa senjata tajam di pinggang atau punggungnya
sedangkan mereka semua memandang kepadanya dengan mata tak
pernah berkedip. Akan tetapi dengan matanya yang berpandangan
tajam, Hui Lian melihat tangan mereka bergerak perlahan ke arah
gagang senjata atau kantung senjata rahasia, siap menghadapi
pertempuran!
Melihat ini Hui Lian cepat menutupkan kembali daun pintu
kamarnya. Kalau semua orang itu menyerangnya dengan senjata
rahasia ia bisa celaka pikirnya. Ia memandang ke atas, ke arah
langit-langit yang sudah berlubang karena diterjang oleh tubuh
orang kate tadi. Pada saat itu ia mendengar suara gaduh di atas
genteng, disusul suara pekik kesakitan dan dua orang roboh
berdebum di atas genteng kamarnya. Hui Lian memandang ke atas
penuh perhatian, tidak mengerti apakah yang telah terjadi di atas
genteng itu. Kemudian ia melihat benda cair menitik turun dari atas,
627
melalui lubang yang dibuat oleh tubuh si Kate tadi. Ketika ia
memandang penuh perhatian, Hui Lian bergidik. Benda cair itu
berwarna merah berbau amis... darah!
Hui Lian berdebar hatinya, tegang. Tahulah ia kini bahwa Si Kate
tadi bukan orang gila, bukan pula main-main dan benar-benar
memang ada bahaya mengancam. Cepat ia menyambar buntalan
pakaiannya, diikatkan di punggungnya. Ia meraba gagang
pedangnya siap menghadapi segala kemungkinan. Ketika hendak
berlaku nekat dan melangkah keluar dari kamar melalui pintu
terdengar suara bentakan dari luar pintu.
"Go Hui Lian, kami datang atas perintah Kaisar untuk
menangkapmu. Lebih baik kau menyerah saja. Kami tidak suka
mempergunakan kekerasan terhadap seorang wanita!"
Hui Lian mencabut pedangnya. Tanpa membuka pintu ia
menjawab, suaranya lantang, sedikit pun tidak takut.
"Aku Go Hui Lian tidak merasa melakukan dosa di sini, mengapa
hendak ditangkap?"
"Ayahmu Go Ciang Le seorang pemberontak, sejak dahulu
menjadi musuh besar istana, sedangkan kau sendiri mengadakan
hubungan dengan bandit besar Temu Cin, bagaimana kau bilang
tidak berdosa? Pula, mata mata orang Mongol Si Kate baru saja
meninggalkan kamarmu, apakah kau masih hendak menyangkal
lagi? Dia hendak lari dan kini mayatnya menggeletak tak bernyawa
di atas genteng kamarmu. Maka lebih baik menyerah untuk kami
tangkap agar kami tak usah mempergunakan kekerasan terhadap
seorang wanita," suara lantang itu menjawab dari luar kamar.
Hui Lian menjadi marah. Ia melompat ke arah pintu dan
menendang daun pintu sehingga terbuka lebar- lebar. Dengan
gagah ia berdiri di tengah.
"Tikus-tikus istana, buka telingamu lebar-lebar! Ayahku seorang
pendekar gagah perkasa, seorang patriot sejati Pembela rakyat,
tikus-tikus macam kalian mana ada harga untuk menyebut
namanya? Aku memang pernah bertemu dengan Temu Cin
pemimpin bangsa Mongol akan tetapi hal ini apa hubungannya
dengan istana? Kalian peduli apakah aku bertemu dengan Temu Cin
628
atau dengan Raja Neraka sekali pun? Tentang orang kate yang tadi
memasuki kamarku, aku tidak mengenalnya dan mengira dia
seorang berotak miring. Dia mampus atau tidak, sama sekali aku
tidak peduli. Siapa mau menangkap aku? Silakan maju untuk
berkenalan dengan pedangku!"
Mendengar suara lantang dan melihat sikap yang gagah berani
dari gadis ini, para busu tercengang dan untuk beberapa lama tidak
berani sembarangan bergerak. Kemudian terdengar aba-aba
"tangkap saja!" dari atas genteng. Yang pertama kali bergerak
adalah empat orang yang berpakalan pedagang tadi. Mereka
berempat melompat maju dan berhadapan dengan Hui Lian,
masing-masing memegang golok tipis.
"Nona, bukankah menyerah lebih baik? Mungkin hakim istana
akan meringankan hukumanmu, menimbang bahwa kau hanyalah
puteri dan Hwa I Enghiong dan bukan kau sendiri yang
memberontak," kata seorang di antara mereka yang bermuka
panjang dan suaranya lunak seperti suara orang perempuan.
Hui Lian mengeluarkan suara ejekan dan tersenyum simpul,
"Mengapa sungkan-sungkan? Bukankah kalian ini anjing- anjing
istana yang suka menangkap orang-orang tidak berdosa? Mau
tangkap tangkaplah kalau kalian ada kepandaian.” Gadis ini
melintangkan pedangnya di depan dada, sikapnya menantang
sekali. Memang ia tidak takut sama sekali, bahkan ada kegembiraan
hatinya untuk nguji sampai di mana kelihaian para busu istana yang
terkenal kebuasan sampai di mana-mana itu.
"Hem, kau sombong dan tak tahu diri. Terpaksa kami turun
tangan!" kata busu itu dan berbareng dengan habisnya kata-kata
terakhir, bersama tiga orang kawannya ia menyerbu. Empat batang
golok tipis yang berkilau saking tajamnya menyambar ke arah Hui
Lian dalam gerakan mengancam karena empat orang ini masih
merasa sungkan untuk membunuh seorang gadis remaja demikian
cantiknya. Kalau boleh dan dapat, mereka akan lebih suka
menangkap saja dan menghadapkan gadis ini di depan pengadilan,
daripada membawa mayatnya.
Akan tetapi dalam sekejap mata mereka sadar daripada mimpi
enak ini. Begitu Hui Lian menggerakkan pedangnya, terdengar suara
629
nyaring dan dua golok menjadi buntung, sedangkan yang dua lagi
hampir terlepas dari pegangan karena tangan mereka tergetar
hebat! Sampai memekik kaget empat orang busu berpakaian
pedagang ini melompat mundur, muka mereka berubah pucat dan
keringat dingin membasahi leher dan jidat.
Hui Lian tersenyum dan menahan pedangnya, tidak mau
membalas serangan mereka.
"Masih ada yang hendak menangkapku?" tantangnya sambil
menyapu ruangan itu dengan kerling matanya yang tajam.
Empat orang busu yang berpakaian pedagang itu bukanlah busu
tingkat tertinggi. Mereka itu tugasnya hanya menjadi mata-mata
dan pengawas di hotel Thian Lok Likoan, dan biarpun kalau diukur
dengan kepandaian ahli-ahli biasa saja mereka itu sudah termasuk
jago-jago silat yang sukar dilawan, tetapi bagi Hui Lian mereka itu
tidak ada artinya sama sekali. Para pengepung adalah busu-busu
yang terdiri beberapa tingkatan.
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid XXIII
SEBAGIAN besar terdiri dari busu yang tingkatnya sama dengan
empat orang yang dalam segebrakan dikalahkan oleh Hui Lian. Tiga
orang busu mempuyai tingkat yang jauh lebih tinggi dapada mereka
ini, dan terhitung busu-busu pilihan dari Istana. Masih ada seorang
lagi yang terpandai dari mereka, karena dia ini menjadi pemimpin
dan sudah termasuk seorang perwira tinggi di kalangan busu istana.
Komandan atau pimpinan inilah yang tadi merobohkan dan
menewaskan orang kate yang melarikan diri dari kamar Hui Lian
melalui genteng. Mengingat betapa dengan mudahnya ia dapat
menewaskan Si Kate yang lihai dapat diduga betapa tinggi
kepandaian perwira busu itu.
Busu lain yang kepandaiannya hanya setingkat dengan
kepandaian empat orang busu yang berpakaian pedagang, melihat
betapa dalam segebrakan saja Hui Lian sudah dapat
membuntungkan dua batang golok dan membuat empat orang
630
pengeroyoknya melompat mundur dengan perih, hati mereka sudah
gentar.
Tiga orang busu yang tingkatnya lebih tinggi, yang terdiri dari
tiga orang tua berusia sedikitnya lima puluh tahun kini melangkah
maju menghadapi Hui Lian. Pada saat itu, pintu-pintu kali hotel itu
bergerit dan semua penghuni kamar mengintai dengan hati kebatkebit.
Yang nyalinya besar keluar pintu dan menonton, yang kecil
nyalinya menyembunyikan diri ketakutan. Bahkan ada yang buruburu
keluar meninggalkan hotel itu. Para pelayan menjadi
kebingungan ke sana ke mari tak tentu tujuan. Sebetulnya,
menangkap seorang dua orang tamu hotel itu oleh pasukan biasa
bukanlah hal yang amat aneh. Akan tetapi, baru kali ini ada seorang
gadis muda cantik hendak ditangkap, dan baru kali ini juga seorang
gadis berani menghadapi sekalian busu itu dengan pedang di
tangan! Sebagian besar dari mereka merasa ngeri kalau
membayangkan betapa gadis semuda dan secantik itu menjadi
korban kekejaman para busu, menjadi korban senjata-senjata tajam
yang tak pernah mengenaI ampun dari para pengawal istana itu!
Tiga orang busu kini sudah menghadapi Hui Lian. Seorang di
antara mereka yang paling tua, berkepala botak dan memegang
sebatang toya yang disebut Long-gee-pang (Toya Gigi Srigala),
berkata kepada Hui Lian.
"Benar-benar puteri Hwa I Enghiong lihai seperti ayahnya. Akan
tetapi kau takakan mungkin dapat menang menghadapi kami, Nona.
Andaikata kau berhasil mengalahkan aku, masih banyak lagi busu
yang kepandaiannya jauh lebih tinggi dari padaku, dan jumlahnya
banyak sekali. Kau tidak percaya? Lihatlah!" Busu ini bersuit keras
dan terdengar jawaban dari empat penjuru, bahkan orang-orang
berpakaian busu bermunculan dari setiap sudut. Jumlah mereka
semua entah berapa, akan tetapi kiranya tidak kurang dari lima
puluhan orang!
"Nah, apa artinya kau melawan, nona? Lebih baik menyerah.
Kami menawanmu dan membawamu menghadap ke depan Hakim
Istana. Di sanalah boleh membela kalau kau dianggap tidak
berdosa, kau tentu akan dibebaskan." kata pula busu bersenjatakan
Long gee-pang itu.
631
Hati Hui Lian tergerak. Kata-kata busu ini dianggapnya masuk di
akal, memang, melihat banyaknya busu yang mengepung tempat
itu, agaknya tak mungkin ia dapat menyelamatkan diri melawan dan
membunuh mereka ini apa artinya kalau akhirnya ia akan tertawan
juga? Ini berarti dosanya akan lebih besar. Kalau menyerah, siapa
tahu kalau ia dapat dibebaskan atau setidaknya mendapat
keringanan? tentu saja ia hanya mau menyerah dengan syarat,
yakni tidak mau diikat dan tidak mau dilucuti senjatanya. Berarti,
sewaktu-waktu kalau perlu ia akan dapat melawan dan mengamuk!
Akan tetapi, belum juga ia menjawab kata-kata busu bersenjata
Long gee pang itu, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar hotel
dan tak lama kemudian dari luar berlari masuk seorang hwesio
tinggi besar yang memanggul penggada besar pula. Suaranya parau
dan nyaring ketika ia berteriak-teriak.
“Busu-busu keparat, jangan berani mengganggu Nona Go Hui
Lian!"
Hui Lian girang sekali ketika mendapat kenyataan bahwa yang
datang ini bukan lain adalah Tang Hwesio!
'Tang Lo-suhu'" Hui Lian berseru girang. Lenyaplah seketika
niatnya untuk menyerah ketika ia melihat hwesio tua yang
bersemangat ini.
Apalagi ketika ia melihat betapa Tang Hwesio segera terjun di
tengah-tengah para busu yang mengepung dan penggadanya
segera mengamuk laksana seekor harimau galak, Hui Lian lalu
menggerakkan pedangnya membantu. Sebentar saja Hui Lian dan
Tang Hwesio dikeroyok oleh puluhan orang busu dalam sebuah
pertempuran yang luar biasa ramainya!
Gada di tangan Tang Hwesio benar-benar mengerikan sekali.
Beberapa kali terdengar suara keras dan kepala beberapa orang
busu pecah berantakan tersambar oleh penggada. Mayat-mayat
para pengeroyok bertumpang tindih dan membanjiri ruangan itu.
Juga pedang di tangan Hui Lian amat lihai. Sedikitnya ada enam
orang pengeroyok yang roboh oleh pedang ini dan biarpun akibat
dari pada serangan pedang ini tidak sehebat serangan penggada,
namun yang roboh tak dapat bangun pula dengan tubuh utuh.
632
Akhirnya Hui Lian dan Tang Hwesio hanya dikeroyok oleh enam
orang busu yang kepandaiannya tinggi. Hui Lian keroyok dua
sedangkan Tang Hwesio dikeroyok empat. Yang mengeroyok Hui
Lian adalah busu yang memegang Lot gee-pang dan seorang
kawannya yang juga sudah berusia lima puluh dan yang memegang
siang-kiam (sepasang pedang). Kepandaian dua orang busu ini
benar-benar hebat. Long-gee-pang itu gerakannya lambat namun
membawa tenaga yang luar biasa kuatnya tanda bahwa
pemegangnya seorang ahli lwekeh yang jempolan. Adapun siangkiam
di tangan orang ke dua amat cepat dan lincah gerakannya
sehingga dalam diri dua orang pengeroyoknya ini. Hui Lian
mendapatkan lawan seimbang dan baginya malah menggembirakan.
Dengan ilmu pedang berdasarkan Pak-kek Sin-kiam-hwat, bepapun
lihainya kedua lawan itu, dapat juga akhirnya pada jurus-jurus ke
lima puluh lebih Hui Lian mendesak mereka. Ataukah kedua
lawannya yang sengaja memmperlambat gerakan? Hui Lian merasa
aneh karena entah mengapa setelah lima puluh jurus terlewat,
kedua lawannya itu seakan-akan menjadi lemah dan ia tidak
merasai tekanan lagi. Lebih aneh lagi ketika dua orang itu
bertempur sambil mundur sehingga tak lama kemudian
pertempuran terpecah menjadi dua rombongan yang jauh jaraknya.
Setelah tertempur seru lagi beberapa jurus, tiba-tiba terdengar
pemegang toya Long-gee-pang itu berkata perlahan.
"Lihiap, kami berdua adalah orang-orang pejuang rakyat. Kau
boleh melukai dan merobohkan kami berdua, kemudian kau dapat
melarikan diri melalui pintu di belakang itu lalu melompn naik ke
atas genteng. Kalau nanti kau dikejar-kejar, dan tidak ada jalan
keluar dari kota raja, jalan yang paling aman larilah ke dalam istana
sekali. Banyak kawan di sana. Lekas!"
Hui Lian seketika menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa.
Ia sejak tadi memang sudah melihat datangnya banyak sekali
perwira-perwira busu dan maklum bahwa kalau para busu itu
kepandaiannya setingkat dengan dua orang pengeroyoknya ini,
akhirnya ia akan kehabisan tenaga dan tertawan juga. Kini
mendengar omongan busu pemegang Long-gee-pang ini, pertamatama
menjadi bingung, akan tetapi melihat dia orang lawannya
sengaja membuka pertahanan, Hui Lian cepat menggerakkan
633
pedangnya dua kali dan pundak dua orang lawannya terluka ringan
dan mengeluarkan darah. Akan tetapi dua orang ini memekik dan
senjata mereka terlepas dari tangan lalu mereka merobohkan diri
seakan-akan terluka hebat.
Hui Lian tadinya hendak lari menurut jalan yang ditujukan oleh
pemegang Long-gee-pang itu, akan tetapi ketika ia melirik ke
depan, ia melihat Tang Hwesio sedang terdesak hebat.
Tang Hwesio dikeroyok oleh empat orang. Tiga orang
pengeroyoknya biarpun berkepandaian tinggi, namun masih di
bawah tingkat hwesio itu, karena tingkat dua orang ini seimbang
dengan tingkat dua orang pengeroyok Hui Lian. Akan tetapi orang
ke empat adalah busu komandan yang tadi melayang turun dari
atas genteng dan ternyata dia ini seorang hwesio pula, hwesio yang
kepala gundulnya tertutup topi busu berbulu garuda dan yang kini
sudah menjadi seorang panglima! Ilmu silat dari hwesio yang sudah
malih rupa ini benar-benar lihai. Dia memegang toya pula dan ketika
ia menyerang Tang Hwesio, hwesio tua ini kaget sekali karena
maklum bahwa lawan ke empat ini tak boleh dipandang ringan.
Apalagi setelah lawannya itu mainkan toya, ia mengenal Ilmu Toya
Tat Mo Kun-hwat yang lihai dari Siauw lim-si. Baiknya Tang Hwesio
adalah seorang tokoh besar yang berilmu tinggi, kalau tidak, kiranya
tak kan lama ia dapat bertahan menghadapi keroyokan empat orang
lawan yang berkepandaian tinggi ini.
Ia melawan mati-matian dan biarpun dikeroyok empat oleh
lawan-lawan yang tangguh, tetap saja penggada Hwesio masih
berbahaya sekali. Ada seorang busu rendahan yang mencoba untuk
menyerangnya dari belakang, akan tetapi kedua orang pembokong
ini roboh dengan kepala pecah! Setelah itu tidak ada lagi lain busu,
yang kepandaiannya belum tinggi betul berani coba-coba untuk
menyerangnya.
Akan tetapi Tang Hwesio adalah seorang hwesio yang sudah tua,
tenaganya masih besar akan tetapi daya tahan dan keuletannya
tidak seperti dulu-dulu lagi. Menghadapi empat orang pengeroyok
yang amat tangguh dan yang sukar sekali dirobohkan, lambat - laun
tenaga dan keuletannya berkurang dan ia mulai terdesak hebat.
Bahkan dalam sebuah serangan yang bertubi-tubi dari empat
634
lawannya, ia kurang cepat karena sudah lelah sekali sehingga toya
di tangan komandan busu dengan keras mengenai pundak kirinya,
menyebabkan tulang pundaknya patah!
Pada saat itulah Hui Lian berhasil merobohkan dua orang
pengeroyoknya dan selagi gadis ini hendak melarikan diri, ia melihat
keadaan Tang Hwesio. Seketika itu juga lenyaplah niatnya untuk
lari. Sambil berseru nyaring, gadis ini melompat dan dengan tepat
sekali menangkis toya yang menyambar ke arah kepala Tang
Hwesio.
"Tang Lo-suhu, jangan khawatir, aku membantu!" teriak Hui Lian
sambil memutar pedangnya dengan cepat menghadap empat orang
lawan itu. Ilmu pedang dari gadis ini memang ilmu pedang pilihan,
empat orang lawannya tidak berani memandang ringan.
"Nona, hati-hati, mereka itu lihai kata Tang Hwesio yang timbul
kembali semangat dan kegagahannya, dan biarpun lengan kirinya
lumpuh, ia masih mengamuk dengan penggada di tangan kanannya.
Lakunya seperti seekor harimau terluka dan dengan pukulan yang
luar biasa hebatnya ia membuat golok di tangan seorang
pengeroyok terlempar dan pemegangnya sendiri terpental karena
dorongan penggada!
Akan tetapi pada saat itu, di dalam pertempuran bertambah tiga
orang lagi, busu yang kepandaiannya hampir setingkat dengan
komandan bertoya! Dalam segebrakan saja, tahulah Tang Hwesio
dan Hui Lian bahwa keadaan mereka berbahaya sekali.
"Nona, kau larilah! Biar pinceng yang menahan mereka!" Tang
Hwesio membentak keras sambil memutar penggadanya. Hwesio
tua ini setelah melihat bahwa mereka berdua takkan dapat lolos
berlaku nekat dan hendak mengorbankan diri agar memberi
kesempatan kepada Hui Lian melarikan diri.
Akan tetapi Hui Lian adalah keturunan orang gagah, ia seorang
gadis yang tidak saja memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi juga
memiliki watak yang gagah dan berbudi baik. Mana ia sudi
meninggalkan kawan dalam keadaan bahaya niengancam?
635
"Kita melawan terus, Tang-losuhu. Menang atau mati!"
pedangnya diputar makin cepat dan seorang pengeroyok terjungkal
dengan lengan terbabat putus sebatas siku.
"Bodoh kita takkan menang! Jangan buang nyawa sia-sia.... lekas
lari dan...!" kata-katanya terhenti dan tubuh Tang Hwesio
terjengkang ke belakang. Toya di tangan lawannya yang paling
tangguh telah memasuki dadanya. Tang Hwesio roboh terlentang
dan tewas sebagai seorang gagah.
Melihat Tang Hwesio tewas, baru Hui Lian ingat akan petunjuk
dari busu bersenjata Long-gee-pang. Setelah kawannya binasa,
memang tidak ada perlu membuang nyawa cuma-cuma. Ia harus
dapat melarikan diri. Melawan sama dengan membunuh diri. Cepat
ia melompat ke belakang dan ginkangnya yang…
hal 16-17 ga ada
"Celaka," pikirnya, "di kota raja agaknya penuh dengan pasukan
pengawal kaisar." Hui Lian mengamuk lagi, saking gemasnya ia
sampai lupa akan lelehan dan kembali ia berhasil merobohkan dua
orang lawan. Namun, pertempuran dengan para pencegat baru ini
membuat ia kehilangan waktu dan para pengejar yang semenjak
tadi mengikutinya, telah tiba di situ dan sebentar saja Hui Lian sibuk
melayani keroyokan belasan orang yang berilmu tinggi.
la masih mencoba untuk mengamuk akan tetapi tenaganya tidak
mengijinkan lagi dan lawan terlampau banyak. Sebuah pukulan
ruyung mengenai lengan kanannya, membuat pedangnya terlepas di
lain saat ia telah kena totokan yang lihai dari belakang sehingga
nona gagah ini akhirnya roboh. Di lain saat ia telah dibelenggu
kedua tangannya ke belakang dan di pergelangan kaki kanannya
dipasangi rantai yang kuat.
Biarpun tubuhnya terasa sakit-sakit namun sebentar saja Hui Lian
sudah dapat membebaskan diri dari totokan dan bangkit berdiri. Ia
sama sekali tidak sudi memperlihatkan muka menderita atau takut,
berdiri tegak dengan gagahnya.
“Aku telah kalah, mau bunuh boleh bunuh" katanya lantang.
636
"Kau siluman wanita benar-benar membuat kami repot," kata
komandan bekas hwesio yang memegang toya. "Hayo ikut kami ke
istana, menghadap Hakim Istana."
Akan tetapi pada saat itu, semua busu berdiri tegak memberi
hormat dan memandang ke arah sebuah kendaraan yang ditarik
oleh empat ekor kuda besar. Kendaraan itu indah sekali dan
setibanya di tempat itu, pengendara menghentikan kudanya. Pintu
kendaraan terbuka dan dua orang pemuda melompat keluar. Hui
Lian yang semenjak tadi memandang ke arah kendaraan itu, hampir
saja mengeluarkan teriakan kaget ketika melihat seorang di antara
dua pemuda ini. Pemuda yang turun lebih dulu adalah seorang
pemuda berbaju hijau yang berajah tampan dan bersikap gagah.
Usianya paling banyak dua puluh lima tahun, alisnya tebal dan ia
memegang sebatang tongkat pendek yang gagangnya diukir kepala
ular. Bajunya yang hijau terbuat daripada kain sutera tipis yang
berkibar ketika ia menuruni kendaraan sehingga ia benar-benar
nampak gagah menarik. Akan tetapi pemuda kedua yang turun
kemudian, bahkan melampaui pemuda pertama. Pemuda yang
kedua ini lebih muda, kurang lebih dua puluh tiga tahun usianya,
pakaiannya indah sekali, terbuat daripada sutera biru putih, dijahit
dengan benang emas, wajahnya tampan sekali dan sikapnya halus.
Melihat pemuda ini, Hui Lian benar-benar terkejut karena pemuda
itu dikenalnya sebagai... Wan Sin Hong!
Ketika pemuda ini turun, semua busu memberi hormat. Pemuda
itu mengangkat tangan dan berkatalah ia dengan suaranya yang
halus.
"Ada terjadi ribut-ribut apa lagikah ini?"
Kemudian busu bekas hwesio maju selangkah, memberi hormat
dan memberi laporan singkat, "Seorang pemberontak memasuki
kota raja dan membunuh banyak anggauta siwi. Akhirnya di sini
berkat kerja sama, hamba sekalian dapat menawannya hiduphidup."
"Mana dia?" tanya pemuda tampan ini.
"Inilah orangnya, Siauw-ongya." Kemudian bekas hwesio ini
mendorong Hui Lian maju.
637
Pemuda itu mengerutkan kening. Hui Lian memandang tajam,
sinar matanya dingin sekali karena ia mengira bahwa pemuda itu
tentulah Wan Sin Hong yang entah dengan cara bagaimana kini dia
menduduki pangkat tinggi di kota raja. Akan tetapi, pemuda itu
memandang kepadanya seperti orang baru bertemu muka kali ini,
dan jelas nampak kekaguman membayang di matanya yang bagus
dan agak kebiruan. Kemudian katanya kepada komandan busu itu.
"Kalian ini kerjanya hanya bikin ribut saja dan mencari perkara.
Bagaimana seorang nona muda seperti ini kalian katakan
pemberontak? Coba ceritakan, bagaimana mula-mulanya" Nada
suara yang tIdak senang itu membuat Si Komandan berubah air
mukanya.
Anpun, Siauw-ongya. Gadis ini memang betul pemberontak. Dia
puteri dari Hwa I Enghiong Go
Ciang Le dan dia pernah
mengadakan hubungan dengan
Temu Cin!"
Pemuda tampan itu menengok
kepada Hui Lian, nampaknya
terkejut dan heran, juga tertarik.
Kemudian ia bertanya kepada Hui
Lian dengan suara halus.
"Nona, betulkah kau pernah
mengadakan hubungan dengan
Temu Cin? Sukakh kau
menerangkan hal ini kepadaku?"
Tadinya Hui Lian bersabar dan
ingin sekali melihat apa yang
akan dilakukan Wan Sin Hong
karena ia dapat menduga bahwa pemuda ini pasti akan
menolongnya, sungguhpun ia tidak terlalu menghapkan
pertolongannya. Akan tetapi ketika mendengar pertanyaan itu,
darahnya meluap. Sepasang matanya melotot dan in mendamprat,
"Wan Sin Hong, jangan kau hendak membadut di depanku! Aku
sudah tertangkap oleh tikus-tikus istana, hendak …
638
Hal 24-25 …. Ga ada
…. Mongol yang bertubuh kate. Ketika kami datang, mata-mata
itu hendak lari, akan tetapi berhasil hamba tewaskan. Gadis liar ini
tidak mau menyerah, melainkan melawan dan menewaskan banyak
anak buah hamba. Akhirnya datang kawannya, seorang hwesio yang
kosen dan yang dapat pula kami tewaskan itu telah dia membunuh
banyak kawan hamba. Gadis ini sendiri baru dapat ditangkap di sini.
Mohon petunjuk selanjutnya dari Siauw-ongya."
"Kau lepasken dia!"
Perintah yang sama sekali tak pernah disangka-sangkanya ini
membuat komandan itu dan semua busu mengangkat muka
terheran-heran, juga penasaran. Gadis itu akhirnya dapat ditangkap
dengan susah payah setelah mengorbankan dua puluh lebih anak
buah pasukan, bagaimana sekarang disuruh melepaskan lagi?
"Tapi... ampun, Siauw-ongya... tapi… dia pemberontak
berbahaya dan... dan….”
"Cukup omong kosong ini' Dia putri Go Ciang Le, bukan berarti
dia pemberontak! Apa buktinya dia memberontak? Dia baik-baik
melancong ke kota raja, tanpa kesalahan apa apa kau yang terlalu
pintar ini sudah mencurigainya. Kemudian kau datang dengan
gentong-gentong nasi itu hendak menangkapnya. Dia seorang gadis
kang-ouw yang gagah, tentu saja tidak sudi ditangkap. Kemudian
kalian mengeroyoknya dan dia melawan sampai ada beberapa orang
gentong nasi tewas. Salah siapakah itu? Hm, kalau saja busu-busu
istana tidak begitu goblok, menangkap-nangkapi orang tidak
berdosa sebaliknya tidak becus menangkap penjahat-penjahat yang
sesungguhnya …..!" Pangeran Wanyen menarik napas panjang
kemudian perintahnya, "Lepaskan dia!"
"Akan tetapi hamba... hamba tidak bertanggung jawab kalau dia
mengamuk di kota raja. Siauw-ongya," kata komandan bekas
hwesio itu ragu-ragu dan takut.
“Siapa mendengar mulut busukmu? Aku yang menyuruh lepas,
aku pula yang tangung jawab! kau ini siapakah berani membantah
perintahku? Hm... benar benar tidak beres. Seorang komandan kecil
saja sudah mulai berani menentangku."
639
Komandan itu menjadi pucat dan cepat-cepat ia menjatuhkan diri
berlutut, "Tidak sama sekali, Siauw-ongya. Mohon ampunkan dosa
hamba. Baik, hamba mentaati perintah!" Ia buru-buru berdiri dan
dengan tangan-tangan gemetar melepaskan ikatan tangan dan kaki
Hui Lian.
"Sekarang pergilah, bawa anak buahmu dan rawat mereka yang
luka, urus yang sudah tewas. Selanjutnya, kalau tidak sudah nyata
bukti-buktinya, kalian tidak boleh sembarangan menangkapnangkapi
orang.” Komandan itu memberi hormat, lalu
mengundurkan diri bersama anak buahnya sambil menundukkan
kepala. Mereka semua berkecil hati karena tadinya mengharapkan
pujian dan pahala, tidak tahunya bahkan mendapat celaan dan
makian!
Sementara itu, Hui Lian melihat semua peristiwa ini dengan hati
tidak karuan. Sudah semenjak kecil ia didongengi ayah bundanya
bahwa pemerintah Kin amat jahat, bahwa pembesar-pembesar Kin
amat kejam sehingga telah timbul rasa benci di dalam hatinya
terhadap Pemerintah Kin, dan karenanya dahulu ia bersimpati
terhadap Temu Cin yang bermaksud menumbangkan Pemerintah
Kin. Akan tetapi sikap pangeran muda bangsa Kin pangeran yang
semuanya serupa benar dengan Wan Sin Hong, hanya warna
matanya yang berbeda, membuat ia ragu-ragu. Mata Sin Hong
tajam dan maniknya hitam arang, sedangkan mata pangeran ini
tajam akan tetapi maniknya agak kebiruan. Alangkah jauh bedanya
sikap pangeran ini dengan apa yang ia dengar dari ayah bundanya
tentang kekejaman orang-orang bangsa Kin!
Dengan jengah, terpaksa Hui Lian melangkah malu, menjura
kepada pangeran Wanyen sambil berkata,
"Aku tidak tahu apakah aku harus berterima kasih kepadamu,
Siauw-ongya, karena pertolongan dan pembelaanmu, tadi benarbenar
membuat aku tidak mengerti. Akan tetapi betapapun juga,
aku harus minta maaf atas kekasaranku tadi, karena aku tadinya
mengira Siauw ongya adalah seorang lain...."
"Dengan Wan Sin Hong? Benar-benarkah dia seperti aku? Orang
macam apakah dia? Aku ingin sekali bertemu dengan dia!" kata
Pangeran itu dan pandang matanya terhadap Hui Lian membuat
640
gadis ini menundukkan mukanya karena jelas sekali terpancar sinar
kagum dan tertarik. Hui Lian tidak mau bicara lebih banyak tentang
Wan Sin Hong, dan pada saat itu, pemuda baju hijau berkata,
suaranya juga halus dan sopan.
"Go-lihiap, kau menghaturkan terima kasih atau tidak bagi
Pangeran Wanyen tidak ada bedanya. Ketahuilah bahwa Pangeran
Wanyen adalah satu-satunya orang di kota raja yang boleh kau
percaya penuh kemuliaan hatinya yang suka menolong siapa saja
yang mengalami kesusahan."
"Aah, Coa-sicu, kau ini bisa saja!". Pangeran itu mencela,
kemudian berkata kepada Hui Lian, "Nona, dia itu berdusta.
Sesungguhnya, dialah yang menolongmu. Kalau tidak ada dia yang
datang kepadaku, yang menyatakan bahwa kau ini puteri seorang
pendekar besar, menyatakan pula bahwa Ibumu adalah Sumoi dari
pendekar wanita Thio Ling In isteri dari Pamanku Wanyen Kan,
bagaimana aku bisa tahu dan bisa menolongmu? Dan pula, dialah
orangnya yang akan mengantarmu keluar dari kota raja agar kau
jangan sampai diganggu orang di sini. Maka kalau mau bicara
tentang terima kasih, agaknya kepada dia lah kau harus berterima
kasih. Nah, selamat jalan, Nona, mudah-mudahan kita dapat
bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik. Coa-sicu, kauantar
nona Go keluar dari kota raja dan setelah ia berada dalam keadaan
aman betul baru kau kembali ke istanaku memberi laporan."
"Baik Siauw-ongya," jawab pemuda she Coa itu, nampaknya
gembira sekali.
Pangeran Wanyen itu naik kembali ke dalam kendaraannya dan
Hui Lian mengejar dengan ucapan. "Terima kasih banyak atas budi
kebaikan Siauw-ongya."
Pangeran muda itu menengok, tersenyum, lalu masuk ke dalam
kendaraan dan menutup pintu kendaraan. Kemudian ia memberi
perintah kepada pengendara dan kendaraan itu bergerak maju,
ditarik oleh empat ekor kuda yang besar dan kuat.
Pemuda baju hijau itu menjura kepada Hui Lian dan berkata
perlahan, "Go lihiap, mari kita berjalan sambil bercakap-cakap. Tidak
baik di sini, terlalu diperhatikan orang."
641
Hui Lian maklum karena memang semenjak tadi, orang-orang
menonton dari jauh, tidak berani mendekat Pangeran Wanyen yang
di kota raja mempunyai kedudukan tinggi itu. Sambil berjalan
pemuda baju hijau itu berkata, sikapnya ramah tamah dan sopan.
"Go-lihiap, kau tentu bertanya-tanya di dalam hati siapakah aku
ini maka aku berusaha untuk membantumu."
"Memang aku merasa heran sekali dan juga tidak enak hati
karena tidak mengenal siapa orang yang sudah berlaku baik
kepadaku."
"Aku yang rendah bernama Coa Hong Kin. Suhuku Cam-kauw Sin
kai kenal baik dengan Ayahmu."
"Ah, jadi kau murid Cam-kauw Sin-kai? Aku pernah bertemu
dengan dia ketika dahulu mengunjungi rumah Ayah." Kata Hui Lian
dengan girang karena ia tahu bahwa Cam-kauw Sin-kai adalah
seorang pendekar tua yang disukai oleh ayahnya. Kini bertemu
dengan muridnya, berarti bertemu dengan orang segolongan.
Coa Hong Kin mengangguk. "Suhu juga banyak bicara dengan
aku dan mendongeng tentang Ayah Bundamu, tentang kau dan
tentang Sucimu yang bernama Gak Soan Li. Sudah lama sekali aku
amat kagum terhadap keluarga Ayahmu. Oleh karena itu, tadi
secara tidak mengaja aku mendengar tentang keributan di hotel,
tentang seorang nona bernama Go Hui Lian puteri Go Ciang Le yang
dikeroyok oleh para busu. Aku tahu apa artinya itu, dan tahu bahwa
para busu di sini amat kuat dan berbahaya. Oleh karena itu, aku
sengaja pergi mencari dan menarik tangan Pangeran Muda Wanyen
untuk menolongmu."
"Kalau begitu betul Pangeran Wanyen," kata Hui Lian sambil
tersenyum "Agaknya aku berhutang terima kasih kepadamu,
Saudara Coa."
"Ah, tak perlu sungkan, Nona. Di antara kita, apakah artinya
saling bantu? Aku pun di dunia kangouw entah sudah berapa ratus
kali dibantu oleh kawan- kawan segolongan."
Jawaban ini menyenangkan hati Hui Lian. Dalam diri Coa Hong
Kin ia mendapatkan seorang pemuda yang tidak saja tampan dan
642
gagah, juga amat jujur dan bersikap sederhana sungguhpun
pakaiannya rapi dan bersih selalu.
"Amat menarik hatiku untuk mengetahui bagaimana kau bisa
kenal begitu baik dengan Pangeran itu, Saudara Coa,” kata Hui Lian.
Coa Hong Kin menghela napas panjang. "Aku pujikan kelak dia
yang akan menjadi kaisar. Jika demikian halnya agaknya hidup ini
akan banyak senang karena keadilan selalu dikemukakan oleh
Kaisar. Dia itu banyak persamaannya dengan Wanyen Kan yang
pernah kudengar sifat dan wataknya dari Suhu. Pangeran Wanyen
ini bernama Ci Lun, atau panjangnya Wanyen Ci Lun. Dengan
Wanyen Kan ia adalah keponakan karena ayahnya yang sudah
meninggal adalah kakak dari Wanyen Kan. Seperti juga Wanyen Kan
dahulu, Pangeran Wanyen Ci Lun ini tidak bersikap sombong dan
suka bergaul dengan rakyat, bahkan amat menyukai kebudayaan
rakyat jelata sehingga gerak geriknya tiada ubahnya seperti seorang
Han terpelajar. Hanya bedanya, kalau Wanyen Kan dahulu seorang
gagah perkasa yang tinggi ilmu silatnya, adalah Wanyen Ci Lun ini
tidak pernah mempelajari ilmu silat, hanya ilmu keusasteraannya
amat tinggi. Dia amat mengagumi orang-orang gagah dan banyak
membaca cerita tentang orang-orang gagah. Maka tidak heran
apabila ia mendengar permintaanku dan cepat-cepat pergi
menolongmu. Aku kenal dengan Pangeran Wanyen Ci Lun ketika
pada suatu hari ia menyamar sebagai penduduk desa dan keluar
dari kota raja, kemudian hampir menjadi korban penjahat karena
dikira seorang pemuda kaya raya hendak dirampok. Kebetulan aku
melihatnya dan turun tangan mengusir para penjahat itu. Semenjak
itu, sudah dua tahun yang lalu, kami bersahabat dan setiap kali aku
datang di kota raja, aku pasti berkunjung dan bahkan menginap di
gedungnya."
Hui Lian mengangguk-angguk, bukan hanya untuk memuji dan
menyatakan kagum kepada Pangeran Wanyen Ci Lun, akan tetapi
diam-diam juga lenyap keheranannya tadi ketika melihat persamaan
wajah pangeran itu dengan wajah Wan Sin Hong. Ia tahu bahwa
Wan Sin Hong adalah putera Thio Ling In dan Wanyen Kan atau
Wan Kan, maka antara Sin Hong dan Pangeran Wanyen Ci Lun
masih ada pertalian darah, yakni saudara seketurunan Wanyen.
Pada hakekatnya she Wanyen.
643
Percakapan mereka tertunda ketika lima orang berpakaian
penjaga menyetop mereka dan dengan suara angkuh bertanya,
"Kalian siapa dan hendak ke mana? Beri keterangan jelas, kalau
tidak terpaksa kami tahan" kata seorang di antara mereka.
Hong Kin dan Hui Lian maklum bahwa karena peristiwa tadi maka
di seluruh kota diadakan penjagaan ketat dan pemeriksaan. Coa
Hong Kin dengan tenangnya mengeluarkan sesuatu dari saku
bajunya, mendekati kepala penjaga dan memperlihatkan benda itu.
Kepala penjaga setelah melihat benda itu lalu berdiri tegak,
memberi hormat dan berkata.
"Taijin dan Toanio dipersilakan melanjutkan perjalanan'"
Hong Kin tersenyum dan membetot tangan Hui Lian untuk segera
pergi. Setelah jauh dari tempat penjagaan, baru ingatlah pemuda itu
bahwa ia masih memegangi tangan Hui Lian yang halus kulitnya,
maka buru-buru ia melepaskan tangan itu dan wajahnya menjadi
merah. Hui Lian sendiri karena tadi melihat perbuatan Hong Kin ini
amat wajar dan disangkanya untuk mengelabuhi mata para penjaga
tidak keberatan tangannya di betot, maka ia pun tidak merasa apaapa.
"Saudara Hong Kin, benda apakah yang begitu besar
pengaruhnya, sehingga para penjaga itu nampak ketakutan?
Mengapa pula kau disebut taijin, pangkat apakah yang kaupegang?"
Hong Kin mengeluarkan benda itu dan memperlihatkannya
kepada Hui Lian. Ternyata itu adalah sebuah kancing baju terbuat
daripada emas yang diukir merupakan seekor liong melingkari huruf
"WANYEN". Pemegang kancing ini berarti seorang kepercayaan dari
Pangeran Wanyen Ci Lun, maka penjaga tadi menjadi takut dan
tidak berani mengganggu.
"Karena memegang kancing ini aku disangka pembesar dan
disebut taijin, benar-benar lucu sekali." Hong Kin tertawa dan Hui
Lian juga ikut tertawa. Diam diam Hui Lian merasa suka kepada
pemuda baju hijau yang patut dijadikan sahabat yang baik dan
menyenangkan.
644
Beberapa kali mereka ditahan dan dperiksa, akan tetapi selalu
kancing wasiat yang dibawa oleh Hong Kin membuka semua jalan
dengan lancarnya. Bahkan ketika mereka menghadapi pintu
gerbang tembok kota raja yang tertutup kancing itu pun cukup
berkuasa untuk membukanya. Dengan lega mereka berdua berlari
keluar dari pintu gerbang kota sebelah selatan.
"Saudara Coa, kita sekarang harus lari ke mana?" tanya Hui Lian
yang tidak mengenal daerah ini.
"Aku mempunyai kenalan baik, Nona, yakni seorang hwesio yang
bernama Hoan Ki Hosiang di kelenteng Kwan te-bio tak jauh dari
sini, di luar sebuah kampung. Mari kita pergi dan bermalam di sana.
Besok kau baru dapat melanjutkan perjalananmu dan aku harus
kembali ke istana." Kalimat terakhir ini keluar dari mulut Hong Kin
dengan nada kecewa.
Memang pemuda ini merasa amat kecewa harus sudah
meninggalkan Hui Lian pada esok hari. Biarpun baru saja bertemu
dan berkenalan dengan Hui Lian, namun ia amat tertarik dan diamdiam
ia telah jatuh hati kepada gadis perkasa ini. Mereka berjalan
terus menuju ke kelenteng yang dimaksudkan oleh Hong Kin sambil
bercakap-cakap.
"Saudara Hong Kin, sudah lamakah kau berada di kota raja?" tiba
tiba Hui Lian bertanya.
"Sudah beberapa bulan, ada apakah?”
"Pernahkah kau mendengar tentang Ayah Bundaku di kota raja?
Sebetulnya aku sedang mencari mereka dan kukira tadinya bahwa
mereka pergi ke kota raja."
"Orang-orang besar seperti Ayah Bundamu kalau tiba di kota raja
siapakah yang takkan tahu? Tidak, Nona. Ayah Bundamu pasti tidak
ada di kota raja. Baru kau saja yang datang semua orang sudah
mengetahui, apalagi kalau yang datang Ayah Bundamu, pasti timbul
kegemparan hebat." Hong Kin berhenti sebentar, kemudian dia
teringat akan penuturan komandan busu di depan Pangeran
Wanyen, maka ia lalu bertanya,
645
"Nona, tentang orang Mongol kate yang dikatakan berada
dikamarmu, bagaimanakah persoalannya? Setelah kita menjadi
sahabat, kiranya tidak berhalangan kalau aku bertanya tentang ini
kepadamu."
“Tentu saja, tidak ada rahasia apa-apa, dan juga dengan orang
aneh itu." Hui Lian lalu menuturkan sejujurnya tentang semua yang
ia alami di hotel Thian Lok Likoan, bahkan ia menuturkan pula
tentang dua orang busu yang mengaku sebagai pejuang rakyat dan
yang telah menolongnya pula. Ia menuturkannya dengan kata-kata
menyatakan herannya.
"Saudara Hong Kin, baru sehari saja di kota raja aku merasa
seperti berada dalam mimpi, berada dalam sebuah tempat yang
penuh rahasia dan aneh sekali. Ada mata-mata Mongol, lalu ada
busu yang mengaku pejuang rakyat dan membelaku, ada komandan
busu gundul dan kemudian muncul orang seperti Pangeran Wanyen
yang menolong orang yang dianggap pemberontak, kemudian, aku
bertemu pula dengan orang seperti kau ini. Apakah sih artinya
semua rahasia di kota raja?"
Hong Kin tersenyum. "Memang membingungkan bagi yang tidak
tahu, Nona. Keadaan di kota raja memang rusuh dan
menggelisahkan. Memang pada saat ini ada tiga macam pengaruh
saling bertentangan di kota raja, bahkan lebih dari tiga karena
masing-masing pengaruh terpecah pula menjadi dua golongan.
Pertama adalah pengaruh dari Pemerintah Kin sendiri, yakni kaisar
yang didukung oleh para pangeran dan mempergunakan pasukan
busu yang amat besar untuk melindungi keselamatan keluarga
Kaisar. Akan tetapi pihak ini sendiri boleh dibilang terpecah dua
karena ada golongan yang mempunyai cita-cita sendiri, yaitu
hendak bekerja sama dengan rakyat. Kau tentu dapat menduga
bahwa Pangeran Wanyen Ci Lun termasuk golongan ke dua ini. Dia
tidak anti Kaisar hanya tidak setuju akan cara kerja Kaisar, tidak
mau menindas rakyat bahkan hendak mengambil hati rakyat untuk
diajak memperkuat negara!"
Hui Lian mengangguk-angguk. "Sifat yang amat baik. Aku pernah
mendengar cerita Ayah tentang Wanyen Kan, demikian sifat
pangeran itu dahulu."
646
Hong Kin melanjutkan penuturannya. "Adapun pengaruh ke dua
adalah pengaruh dan bangsa Mongol yang dipimpin oleh Temu Cin,
dan pada waktu ini di kota raja banyak sekali pengikutnya,
menyamar sebagai pedagang dan penduduk biasa, bahkan ada yang
menyamar sebagai busu, Mata-matanya, tersebar luas dan orang
kate yang kaulihat itu adalah seorang di antara mata-matanya.
Karena kau pernah ke utara dan bertemu dengan Temu Cin,
mendapat penghargaan pemimpin Mongol itu seperi yang
kauceritakan tadi. Maka tentu saja mata-mata Mongol menaruh
hormat dan suka membelamu."
"Temu Cin memang lihai sekali, dia patut menjadi pemimpin
besar." Hui Lian memberi komentar. "Kedudukan Pemerintah Kin
tentu terancam oleh munculnya pemimpin ini."
"Memang demikianlah." Hong Kin membenarkan. "Kemudian
pengaruh yang ketiga, yakni terdiri daripada penyelidik-penyelidik
dan mata-mata para pejuang rakyat yang semenjak dahulu tiada
hentinya mengadakan pemberontakan menentang kekuasaan
Pemerintah Kin Dan pengaruh inilah yang terpecah- pecah, sebagian
adalah yang bercita cita sendiri menggulingkan kekuasaan
Pemerintah Kin, ada pula yang hendak bersekongkol dengan orangorang
Mongol dalam menentang Pemerintah Kin, ada pula yang
sebaliknya, yakni mau bersekongkol dengan Pemerintah Kin untuk
menentang ancaman orang-orang Mongol.Pendeknya, di kota raja
terjadi pertentangan-pertentangan yang ruwet dan yang amat
merugikan saja."
"Hm, memang enak sekali bagi orang- orang jahat untuk
memancing di air keruh," kata Hui Lian.
Hong Kin memandang kagum. "Ternyata kau cerdik sekali dan
mengerti hal yang demikian ruwetnya dengan menangkap inti
sarinya. Memang demikianlah Nona. Pertentangan-pertentangan
yang ruwet itu dijadikan kesempatan luas sekali oleh orang-orang
bermoral bejat untuk menggaruk keuntungan sebesar-besarnya,
mengadu domba sana sini dan memeras mereka yang lemah."
Sementara itu, bulan telah muncul tinggi. Kebetulan sekali bulan
purnama, maka keadaan menjadi indah menimbulkan kegembiraan,
dan hawanya sejuk sekali.
647
"Mari kita mempercepat perjalanan. Kelenteng Kwan-te-bio sudah
dekat. Paling jauh lima li lagi," kata Hong Kin.
"Ssst, ada suara derap banyak kuda dari belakang!" Hui Lian
berkata, Hong Kin yang kalah tajam pendengarannya,
menghentikan tandakan kakinya. Setelah menyatukan perhatiannya,
ia pun mendengar pula derap kaki kuda itu, bahkan telinganya yang
sudah berpengalaman dapat menduga bahwa yang datang itu
sedikitnya ada dua puluh ekor kuda.
"Celaka, kita dikejar juga!" katanya. 'Lebih baik kita lari sebelum
tersusul."
Hui Lian menggelengkan kepalanya. "Apa gunanya? Kalau betul
mereka yang mengejar, biarpun kita lari akhirnya akan tersusul
juga. Bagaimana kita dapat mengadu kekuatan berlari dengan kuda
pilihan? Tidak, Saudara Coa. Lebih baik kita melanjutkan perjalanan
seperti tadi. Kalau sampai tersusul dan mereka menyerang, kita
lawan sedapatnya. Dan lagi, belum tentu mereka itu adalah para
busu yang mengejar kita."
Hong Kin tidak membantah lebih lanjut karena ia tidak suka kalau
nona ini akan menganggapnya pengecut. Dua orang muda ini
melanjutkan perjalan seperti tadi dengan tenang. Suara derap kaki
kuda makin lama makin jelas dan tak lama kemudian muncullah
serombongan orang menunggang kuda dengan cepat, Hong Kin dan
Hui Lian berdiri di pinggir jalan dan dua puluh lebih penunggang
kuda itu lewat dengan cepat.
Hong Kin sudah menarik napas lega karena kecepatan kuda itu
tidak memungkinkan mata mengenal mereka dan melihat mereka
lewat tanpa menoleh, besar harapannya bahwa mereka memang
bukan para busu yang mengejar. Akan tetapi tiba-tiba penunggang
kuda yang paling belakang berseru.
"Ini mereka! Berhenti...!"
Serentak mereka menahan kendali kuda dan debu mengepul
tinggi. Di lain saat para penunggang kuda sudah memutar kepala
kuda dan seorang yang bertubuh tinggi akan tetapi punggungnya
bongkok, duduknya di atas kuda miring tak seperti layaknya orang
648
menunggang kuda, menggerakkan kuda dan maju menghadapi
Hong Kin dan Hui Lian.
"Nona, dia itu adalah kepala busu kaisar, bernama Liok-te Moong
Wie It." Hong Kin berbisik kepada Hui Lian, suaanya
menyatakan kekhawatiran besar. Pemuda ini tidak takut dan tidak
mengkhawatirkan keselamatan diri sendiri, akan tetapi ia benarbenar
khawatir akan keselamatan nona yang telah merampas
hatinya itu.
Hui Lian memandang, ingin sekali tahu bagaimana macamnya
orang memakai julukan Liok-te Mo-ong (Raja Iblis Bumi) itu.
Ternyata orangnya tidak sehebat nananya, bahkan melihat
orangnya, menimbulkan kesan bahwa orang itu adalah seorang
sarang penyakit yang sudah mendekati lubang kubur. Tubuhnya
tinggi sekali, punggungnya bongkok seperti tongak patah, kepalanya
yang tertutup topi seperti komandan-komandan busu lain nampak
benjol-benjol, hidungnya melenceng ke kiri dan sepasang matanya
juling. Hanya pakaiannya yang berharga karena memakai pakaian
indah dan lebih gagah daripada pemimpin-pemimpin pasukan busu
lainnya. Ini tidak mengherankan oleh karena dia adalah kepala busu
di istana, orang yang menjadi pelindung Kaisar dan pengaruh serta
kekuasaannya amat besar. Di pinggang kiri tergantung sebatang
pedang yang sarungnya indah sekali, inilah pedang pemberian
Kaisar dan yang lucu sekali di pinggang depan terselip sebatang
suling. Diam-diam Hui Lian merasa geli dan bertanya-tanya apakah
orang macam ini bisa meniup suling dan berlagu? Apalagi kalau
melihat cara orang itu menunggang kuda benar-benar menggelikan.
Duduknya miring dengan kedua kaki ke samping kiri seperti cara
puteri-puteri harus menunringgang kuda!
"Hm, kau inikah yang bernama Hui Lian puteri Go Ciang Le?"
kata Iblis Bumi ini mengeluarkan suaranya yang tinggi kecil dan
parau, buruk sekali seperti orangnya.
Hui Lian tidak dapat menahan geli hatinya dan ia tersenyum.
Memang lucu sekali orang ini. Mukanya menghadap ke lain jurusan,
akan tetapi dia yang ditanyainya padahal matanya juga diarahkan
ke jurusan lain. Ini disebabkan karena kejulingan mata busu ini
memang agak berat sehingga kalau mukanya menoleh ke kiri, yang
649
dipandang adalah sebelah kanam. Dan ini pula yang membuat ilmu
silatnya lebih berbahaya karena lawan yang bertempur
menghadapinya seringkali menjadi bingung!
"Akulah Go Hui Lian, kau ini siapa mau apa datang-datang
menyebut namaku dan nama Ayahku?"
Orang itu masih menengok ke lain jurusan dan Hui Lian sendiri
tidak tahu bahwa sebetulnya sepasang mata yang juling itu
langsung menatap wajahnya. Tiba-tiba orang itu berkata, "Kau
harus ikut dengan kami ke istana!" Dan tangan kanan diulur ke
depan, lima jari tangan yang bengkok-bengkok menyambar ke arah
pundak Hui Lian!
Gadis itu kaget sekali. Tak pernah disangka-sangkanya bahwa
orang aneh itu akan menyerangnya demikian cepat. Bagaimana
orang dapat menyerang tanpa memandang. Orang itu masih
menengok ke lain jurusan, bagaimana bisa menyerangnya begitu
cepat dan tepat. Akan tetapi ia tidak mempunyai waktu untuk
mengherankan hal itu. Cepat ia mengelak ke belakang. Akan tetapi,
tetap saja pundaknya kena dicengkeram oleh jari-jari tangan itu.
Hui Lian mengeluarkan seruan kaget cepat mengerahkan
lweekangnya mempergunakan Ilmu Sia-kut-hoat menggerakkan
pundak secara berputar hingga ia dapat membebaskan diri dari
cengkeraman itu. Akan tetapi terdengar suara kain pecah karena
pakaian di bagian pundaknya robek dan hancur!
Hui Lian benar-benat terkejut sekali. Tadi ia telah mengelak dan
menurut perhitungan, tak mungkin orang itu dapat mengulur tangan
sampai dipundaknya. Jarak antara orang itu di atas kuda dan dia
terlampau jauh. Betapapun panjang lengan orang itu, kiranya tidak
mungkin dapat mencapai pundaknya. Kemudian ia teringat akan
penuturan ayahnya bahwa dunia kang-ouw memang ada ilmu
semacam Jiu-kut-kang, yakni ilmu melepas dan melemaskan tulang
dan urat sehingga lengan tangan kalau dipergunakan dapat diulur
sampai melebihi ukuran panjang yang semestinya, bahkan yang
sudah ahli betul dapat memperpanjang ukuran lengannya sampaI
dua kali! Kiranya manusia seperti setan ini memiliki ilmu semacam
itu, pikir Hut Lian. Dengan marah ia lalu mencabut pedangnya, siap
untuk melawan.
650
Akan tetapi Hong Kin mendahuluinya. Pemuda ini melompat maju
dan berdiri di depan Hui Lian sambil berkata,
"Nanti dulu, Lo-ciangkun. Nona Go ini bukan musuh lagi, dia
sudah dibebaskan oleh Wanyen Siauw-ongya dan dianggap tidak
berdosa. Bahkan Siauw-ongya menitahkan kepadaku untuk
mengantar Nona Go keluar dari kota raja. Mengapa sekarang Lociangkun
menyusul dan hendak menangkapnya?"
We It kini menengok ke arah Hui Lian, akan tetapi ia bicara
kepada Hong Kin dengan suara dan gaya memandang rendah,
"Kau ini siapakah?"
"Sudah kukatakan tadi, aku Go Hui Lian. Mengapa tanya-tanya
lagi?" jawab Hui Lian dengan mendongkol. Ia sudah diserang
sampai pakaiannya di bagian pundak robek, kini baru dipandang
dan ditanya nama, sungguh ia merasa dipermainkan.
Akan tetapi ada kejadian yang amat lucu. Wie It tetap
memandang ke Hui Lian, akan tetapi mulutnya bertanya dengan
nada tak sabar.
"Aku tak tanya kepadamu! Hei kau baju hijau, siapakah kau
berani menghalangi niatku?"
Hui Lian tercengang, kemudian setelah ia memandang dengan
penuh perhatian, hampir meledak suara ketawanya. Kini baru ia
sadar dan tahu bahwa sebetulnya biarpun muka dan mata orang
aneh itu ditujukan kepadanya, orang ini bukan sedang
memandangnya, melainkan memandang kepada Hong Kin!
"Lo-ciangkun, siauwte adalah sahabat baik dari Wanyen Siauwongya."
Sambil berkata demikian Hong Kin mengeluarkan kancing
emas yang tadi telah dijadikan barang wasiat dan pelindung.
"Hmm, Wanyen Siauw-ongya masih terlalu muda maka amat
sembrono," katanya dengan suara di hidung. “Bagaimanapun juga
gadis ini harus kutawan dan kubawa ke istana!"
"Lo-ciangkun, apakah kau tidak memandang kepada kancing baju
Wanyen Siauw-ongya?"
651
"Tidak peduli, aku melakukan tugasku." Kembali tubuhnya
bergerak dan targannya diulur, akan tetapi kini Hui Lian sudah
bersiap sedia sehingga ia melompat mundur sambil mengibaskan
pedangnya.
"Lo-ciangkun terpaksa aku harus melindunginya. Aku sudah
menerima perintah dari Wanyen Siauw-ongya untuk melindungi
Nona ini, biarpun harus berkorban nyawa, aku harus setia dan taat
akan perintah itu!" Sambil berkata demikian Hong Kin sudah
mencabut tongkat pendeknya dari ikat pinggang dan berdiri dengan
sikap menantang.
"Ho-ho-ho-ho, kau berani melawan kami?" tanya Wie It dengan
muka menghadapi Hui Lian.
"Siapa takut kepadamu, setan?" Hui Lian mendamprat karena
lagi-lagi ia mengira bahwa Wie It bicara kepadanya.
"Bocah lancang, aku tidak bicara padamu!" Wie It membentak
sambil menoleh kepada Hong Kin. "Aku bicara dengan pemuda ini"
Kembali ia menoleh kepada Hui Lian dan melanjutkan
pertanyaannya,
"Benar-benarkah kau berani melawan kami?"
Memang amat membingungkan bagi yang belum biasa. Kalau
Wie It menoleh kepada Hong Kin berarti dia bicara kepada Hui Lian
dan demikian sebaliknya.
Julingnya memang terlalu sekali dan suka menipu orang sehingga
Hui Lian yang terkenal cerdik sampai kecele dua kali!
“Lo-ciangkun, aku harus melindungi gadis ini sebagai
pelaksanaan tugas yang diperintahkan oleh Wanyen Siauw-ongya,
dan untuk melaksanakan perintah itu aku tidak bisa memandang
siapa-siapa," jawab Hong Kin.
'Ha, ha, ho, ho, kau seperti anak domba menantang harimau.
Kau murid siapakah?" tanya Wie It dengan lagak sombong.
"Cam-kauw Sin-kai adalah suhuku yang mulia," jawab Hong Kin.
"Aha, pantas, pantas! Pantas kau begini besar hati dan tabah,
tidak tahunya murid Pengemis Pembunuh Anjing itu." Memang
652
nama julukan Cam-kauw Sin-kai berarti Pengemis Sakti Pembunuh
Anjing maka Wie It berkata demikian. Kemudian kepala busu istana
ini menoleh kepada perwira busu yang duduk di atas kuda di
sebelah kirinya.
"Bu Tong kauwakili aku mendorong pergi bocah ini!"
Busu yang berada di sebelah kirinya diam saja, akan tetapi yang
berada di sebelah kanannya yang menjawab,
"Wie-taiciangkun, manusia macam ini saja mengapa mesti aku
sendiri yang turun tangan? Kalau harus menangkap nona she Go itu
baru pantas namanya. Untuk bocah sombong murid jembel ini
kiranya cukup pembantuku yang turun tangan!" Ia lalu memberi
isyarat ke belakang dan majulah seorang busu yang pendek gemuk
seperti gentong arak. Busu yang bernama Bu Tong itu memang
memandang rendah kepada Hong Kin karena belum mengenal
pemuda ini, sedangkan ia merasa lebih patut melawan Hui Lian,
pertama karena memang ia sudah mendengar akan kelihatan nona
ini, ke dua karena ia merasa lebih suka kalau ditugaskan
menangkap Hui Lian daripada melawan pemuda yang memegang
tongkat pendek itu.
"Sesukamulah, akan tetapi hati-hati dia murid Cam-kauw Sin-kai,
gurunya lihai," kata Liok-te Mo-ong Wie It.
Busu yang pendek gemuk itu melompat turun dari kudanya dan
di lain saat ia telah "menggelundung" ke depan Hong Kin. Kedua
kakinya pendek, gerakannya gesit sehingga saking gemuk dan
pendeknya ia kelihatan tidak berjalan, melainkan menggelundung.
Seperti tukang sulap saja, tahu-tahu ia pun sudah memegang
sebatang toya yang tingginya melebihi kepalanya. Ia berdiri dengan
tangan kiri di pinggang, tangan kanan memegang toya, matanya
yang sipit berkedip-kedip memandang Hong Kin, mulutnya tak dapat
tertutup rapat dan melongo seperti sumur.
Hui Lian tak dapat menahan ketawanya, "Saudara Hong Kin,
awas, lawanmu seekor katak."
Biarpun menghadapi ketegangan, mendengar ini Hong Kin
ketawa juga. “Nona jangan memandang ringan, dia ini biarpun
653
kelihatan seperti seorang bayi gemuk, akan tetapi ilmu toyanya
terkenal di kota raja."
Kemudian Hong Kin menghadapi lawannya dan berkata.
"Ciangkun, bukankah kau yang bernama Wong Sit dan berjuluk
Kauw-ce-thian?" Julukan ini diberikan orang kepadanya karena
kelihaian toyanya, karena Kauw-ce-thian Si Raja Monyet juga sakti
karena toyanya yang bernama Kim kauw-pang.
"Bet-bet-betul...! Akulah K-Ka-Kauw' ce-thian Wong Sss...Sit! He,
bocah she Coa, sss... sebelum ku-ku kuhancurkan kepalamu, lebih
ba-ba-ba-baik kau serah kan n-n-nona itu ke-ke-kepadaku!"
Hui Lian tertawa cekikikan sambil menutupi mulutnya. Benarbenar
banyak busu yang lucu di istana, seperti sekumpulan badut.
Yang tinggi bongkok dan juling itu sudah aneh dan lucu, sekarang
muncul busu seperti katak yang bicaranya gagap tidak karuan.
"Saudara Hong Kin, ini Kauw-ce-thian model mana? Dia tidak
patut berjuluk Raja Monyet, lebih tepat diberi julukan Siluman katak,
atau kalau mau mengambil julukan tokoh di dalam cerita See-yu, dia
ini lebih tepat menjadi Ti Pat Kai-nya!"
Hong Kin tertawa lagi. Tak disangkanya nona ini demikian jenaka
dan pandai bicara. Akan tetapi Kauw-ce-thi Wong Sit sudah merah
mukanya dan marah sekali.
"Li-li-lihat to-toya!" serunya dan cepat ia menggerakkan toyanya
yang panjang melakukan serangan ke arah dada Hong Kin. Benar
saja, biarpun orangnya tidak seberapa, namun setelah ia
menyerang, toyanya bergerak cepat dan dari pukulan senjata itu
dapat diketahui bahwa ia bertenaga besar.
Hong Kin tidak berani berlaku lambat. Cepat ia melangkah
mundur sambil menggerakkan tongkatnya untuk menangkis dan di
lain saat mereka sudah bertanding ramai.
Cam-kauw Sin-kai adalah seorang tokoh besar kang ouw dan ia
amat terkebal dengan ilmu tongkatnya yang diciptakannya sendiri.
Ilmu Tongkat ini disebut Cam-kauw-tung-hwat (Ilmu Tongkat
Pembunuh Anjing) dan saking terkenalnya ilmu tongkat ini, maka ia
amat disegani orang-orang kang-ouw. Seperti pernah dituturkan di
654
bagian depan, Cam-kauw Sin-kai mempunyai dua orang murid, yang
pertama Ah Kai pengemis gagu yang telah tewas di Pulau Kim-ketho
ketika keluarga See-thian Tok-ong ngamuk di sana. Adapun
murid kedua adalah Coa Hong Kin yang menjadi muridnya semenjak
pemuda ini masih kecil. Oleh karena itu, dibandingkan dengan Ah
Kai kepandaian Hong Km lebih masak dan lebih tinggi. Apalagi
pemuda semenjak kecil sudah banyak merantau banyak mengalami
pertempuran besar melawan penjahat-penjahat lihai sehingga makin
bertambahlah kepandaiannya.
Menghadapi Wong Sit yang juga bukan orang lemah, Hong Kin
segera mengeluarkan kepandaiannya, yakni Ilmu Tongkat Camkauw-
tung-hoat. Ke mana pun juga toya panjang di tangan Wong
Sit bergerak dengan cepat dan kuatnya, selalu toya ini bertemu
dengan tongkat kecil yang seakan-akan berubah menjadi puluhan
batang banyaknya dan berada di mana-mana menghalangi majunya
toya. Juga anehnya, biarpun amat kecil, namun setiap kali toya
terbentur oleh tongkat kecil ini, bukan tongkat itu terpental,
sebaliknya toya yang besar panjang itulah yang terbentur dan
membalik. Dari sini saja sudah dapat diukur kepandaian dan tenaga
Hong Kin jauh lebih unggul.
Pada jurus ke dua puluh, ketika Wong Sit menusukkan toyanya
ke arah perut Hong Kin, pemuda ini miringkan tubuhnya dan
secepat kilat ia memegang ujung toya lawan. Karena toya itu
panjang sekali, maka sukar baginya untuk membalas serangan
lawan yang berada di ujung toya. Keduanya saling betot berebut
toya, Hong Kin menyelipkan tongkatnya di pinggang dengan tangan
kiri sedangkan tangan kanan tetap memegangi ujung toya lawan.
Biarpun Wong Sit mengerahkan tenaga membetot, mendorong,
memutar, tetap saja ia tak dapat merampas kembali toyanya yang
bagaikan berakar di tangan kanan Hong Kin.
Setelah menyimpan tongkatnya, Hong Kin memegang toya itu
dengan kedua tangan, mengerahkan tenaga, berseru, “Naik!" sambil
menggunakan lweekangnya dan... tubuh Wong Sit di ujung sana
terangkat ke atas! Di lain saat Hong Kin sudah memegang toya itu
dengan tubuh Wong Sit di atas toya, persis seperti orang bermain
liong. Hong Kin memutar mutar toya dan Wong Sit berteriak-teriak
ketakutan.
655
"Le le lepaskan... kau se-se-setan.., lepaskan! Aduh... aku bisbis-
bisa jatuh...!"
Kembali Hong Kin mengerahkan tenaga dan tubuh yang bundar
bentuknya melayang ke depan dan... menyangkut ke ranting-ranting
pohon yang lebat daunnya. Di sana Si Kauw-ce-thian benar- benar
menjadi monyet, akan tetapi monyet yang amat aneh karena ia
berteriak-teriak minta tolong. Mana ada monyet ketakutan berada di
atas pohon. Kawan-kawannya segera lari mendatangi untuk
menolongnya. Adapun Hong Kin lalu melemparkan toya itu ke atas
tanah.
Bu Tong, busu perwira pembantu Wie It, marah bukan main
melihat kelakuan pembantunya yang memalukan tadi. Ia melompat
turun dari atas kudanya dengan gerakan yang ringan sekali. Amat
mengherankan kalau melihat betapa busu yang bertubuh tinggi
besar seperti raksasa ini dapat bergerak sedemikian cepat dan
ringan seperti seekor kucing. ! Memang Bu Tong adalah busu pilihan
yang memiliki kepandaian tinggi. Dia adalah seorang panglima
bangsa Kin yang sudah banyak jasanya dalam menjaga dan
melindungi istana Kaisar. Bahkan ayahnya dahulu bersama dengan
Liok-te Mo-ong Wie It merupakan panglima-panglima pilihan dalam
balatentara Kin. Tadinya memandang rendah kepada Coa Hong Kin,
akan tetapi ia kecele dan bahkan ia mendapat malu besar karena
orangnya dipermainkan oleh pemuda itu. Dengan marah ia
melompat dan mencabut senjatanya, sebatang golok besar yang
nampaknya berat. Akan tetapi sebelum ia bergerak, Liok-te Mo-ong
Wie It juga melompat turun dan atas kudanya dan berkata,
"Bu Tong, kau boleh tahan dia, akan tetapi jangan bunuh dia.
Tidak enak kau kita membunuh orangnya Pangeran Wanyen. Jaga
saja supaya dia tidak rewel, kalau perlu boleh lukai dia asal tidak
sampai mampus. Biar aku sendiri menangkap Nona kepala batu ini!"
Setelah berkata demikian Wie It lalu mencabut keluar suling yang
tadi terselip di ikat pinggangnya, lalu menghampiri Hui Lian sambil
berkata.
"Nona Go Hui Lian, kau masih begini muda sudah keras kepala
dan jangan kau mengira bahwa di dunia ini tak ada orang lain yang
dapat mengalahkanmu. Lebih baik sekarang kau menurut dan
656
menyerah saja kubawa ke istana, agar aku tidak usah menurunkan
tangan keras kepadamu."
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid XXIV
HUI LIAN dapat menduga bahwa orang yang aneh sekali ini
tentulah mimiliki kepandaian tinggi, maka ia pun lalu menggerakkan
pedang melintang di depan dada sambil berkata,
"Lo-ciangkun, Saudara Coa ini telah melakukan tugasnya sebagai
orang yang dipercaya oleh Pangeran Wanyen. Kalau dia yang
menerima tugas demikian taat dan setia, apakah aku yang
ditolongnya mau mengecewakan hatinya? Tidak, dia adalah seorang
gagah perkasa, akan tetapi aku pun bukan seorang pengecut yang
takut mati. Kalau kau hendak menangkapku, kau harus
mengalahkan pedangku lebih dulu!"
"Bocah sombong, kau belum mengenal kelihaianku. Robohlah!"
Terdengar suara bersiut ketika suling itu digerakan menotok ke arah
pundak Hui Lian. Akan tetapi biarpun seorang ahli silat tinggi dan
tokoh besar seperti Liok-te Mo-ong Wie It kecele sekali kalau
mengira akan dapat merobohkan Hui Lian dalam jurus pertama.
Dengan gerakan lincah Hui Lian dapat menggerakkan pedangnya
menangkis sambil menurunkan pundaknya. Suling di tangan Wie It
terpukul membal, akan tetapi Hui Lian terkejut sekali karena merasa
telapak tangannya tergetar oleh benturan itu. Ia maklum bahwa
tenaga lweekang orang aneh ini benar-benar hebat dan ia kalah
setingkat. Akan tetapi, dengan pedang di tangan. Hui Lian
merupakan naga bersayap, sebentar saja ia sudah mainkan ilmu
pedangnya yang ia warisi dari ayahnya dan Liok-te Mo-ong Wie-It
terpaksa menelan kembali kesombongannya. Kini ia tidak berani
memandang rendah lagi karena beberapa kali ia harus berlompatan
ke sana ke mari kalau ia tidak mau tubuhnya terbabat atau tertusuk
pedang.
"Kau lihai...!" serunya dan kini tangan kanannya memegang
pedang, sedangkan tangan kirinya memegang sulingnya. Untuk
657
menghadapi ilmu pedang seperti dimainkan oleh gadis ini, ia tidak
sanggup kalau harus menggunakan suling saja.
Adapun pertempuran antara Hong Kin dan Bu Tong juga amat
ramai. Ternyata tingkat kepandaian mereka tidak terpaut banyak.
Para busu sudah turun semua dari kuda dan kini mereka menonton
pertempuran dua rombongan ini dengan tertarik. Jarang sekali
mereka menyaksikan pertandingan ilmu silat tinggi yang demikian
serunya. Bahkan baru kali ini nereka menyaksikan Liok te Mo-ong
Wie-It bertempur menghadapi lawan tangguh. Biasanya Wie It kalau
maju, sekali dua kali gebrakan saja pasti lawan sudah roboh binasa
atau tertawan.
Liok-te Mo-ong Wie It terkenal sebagai seorang yang malas sekali
kerjanya siang malam hanya tidur dan makan saja, atau kalau tidak
tidur tentu mengeram di dalam kamarnya. Sebagai kepala busu, ia
jarang bekerja dan cukup mewakilkan semua urusan kepada Bu
Tong yang menjadi pembantu utamanya. Hanya sekali-sekali kalau
ada urusan besar, baru dia muncul dan turun tangan sendiri. Kali ini,
karena Go Hui Lian dianggap seorang yang lihai, dan pula karena
gadis ini telah dibebaskan oleh Pangeran Wanyen, kaisar yang
mendengar akan hal ini lalu menyuruh dia sendiri keluar istana
untuk melakukan pengejaran dan penangkapan.
Oleh karena itu, alangkah heran dan kagumnya para busu ketika
melihat betapa kepala busu itu sama sekali tidak mudah menangkap
gadis itu. Ilmu pedang yang dimainkan oleh Hui Lian terlalu
tangguh. Tadipun kalau tidak dikeroyok kalau hanya maju seorang
lawan seorang kiranya Hui Lian tidak akan menemukan tandangan.
Sekarang baru ia bertemu tanding dan ia harus mengakui bahwa
Ilmu silat dari Raja Iblis Bumi ini benar-benar hebat. Betapapun juga
ia tadi takut dan tidak mau mengalah, terus melakukan perlawanan
hebat, kadang-kadang membalas dengan serangan yang tak kalah
lihainya.
Sebaliknya, Bu Tong ternyata kalah cepat oleh Hong Kin. Ujung
tongkat pemuda itu sudah melukai pundaknya. Baiknya Bu Tong
adalah seorang ahli dalam hal ilmu kebal sehingga tongkat itu tidak
melukai jalan darah, hanya merobek kulit sedikit dan mengakibatkan
658
keluarnya darah. Akan tetapi hal itu sudah membuat Bu Tong sibuk
dan khawatir.
"Kawan-kawan, hayo bantu agar pekerjaan kita lekas selesai."
serunya keras. Mendengar perintah ini, semua busu mengeluarkan
senjata masing-masing dan menyerbulah mereka. Ada yang
menyerang Hong Kin dan ada pula yang mengroyok Hui Lian.
Hui Liaan mengeluh. Gadis ini sudah lelah sekali dan dalam
menghadapi Wie-It saja ia sudah kewalahan. Apalagi sekarang
dikeroyok oleh enam orang busu dan yang kepandaiannya juga
rata-rata tinggi tak dapat disamakan dengan pengeroyoknya siang
dan sore tadi.
"Nona Go lari..," Hong Kin tiba-tiba berteriak keras sambil
memutar tongkatnya sedemikian hebat sehingga dua batang golok
lawan terkait dan terlempar. Hui Lian maklum bahwa jalan satusatunya
untuk menyelamatkan diri hanyalah mencoba untuk lari di
dalam malam yang remang-remang itu. Ia pun lalu memutar
pedangnya mainkan bagian ilmu pedang ayahnya yang paling
istimewa, yakni yang disebut Tai-hung lo-hai (Angin Taufan
Mengacau Lautan). Gerakannya demikian cepat dan kuat sehingga
seorang busu terluka lengannya dan yang lain terpaksa melompat
mundur sambil memutar senjata melindungi diri. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Hui Lian untuk melompat jauh bersama dengan
Hot Kin yang juga sudah melakukan lompatan tinggi dan jauh.
"Tangkap! Tangkap!" Para busu berteriak-teriak riuh rendah
sambil mengejar.
"Jangan melepas am-gi (senjata gelap), tangkap hidup-hidup!"
kata Liok-te ong Wie It memperingatkan kawan-kawannya. Hal ini
menguntungkan Hong Kin dan Hui Lian, karena kalau para busu
yang rata-rata ahli panah tangan itu mempergunakan panah, tentu
dua orang muda itu tak dapat menyelamatkan diri dan nyawa
mereka terancam senjata gelap.
Selagi mereka main kejar-kejaran, tiba-tiba terdengar suara
ketawa yang luar biasa sekali. Suara ketawa seperti itu tak mungkin
keluar dari mulut seorang manusia, lebih patut kalau keluar dari
mulut iblis yang mengerikan. Suara itu menyeramkan sekali, apalagi
659
terdengar di waktu malam tanpa kelihatan orangnya, benar-benar
membuat para busu tertegun. Bahkan Hui Lian sendiri yang
terhitung tabah dan tidak pernah mengenal takut, mendengar suara
ketawa ini meremang bulu tengkuknya.
"Apa itu?" tanyanya kepada Hong Kin.
"Entah, belum pernah aku mendengar yang seperti itu...." jawab
Hong Kin yang juga kaget setengah mati. Akan tetapi keduanya
berlari terus dari kejaran para busu. Dan tiba-tiba entah dari mana
munculnya, tahu-tahu di depan mereka berdiri seorang berkepala
gundul, orang yang menyeramkan sekali. Bentuk tubuhnya tinggi
besar sekali sehingga saking besarnya sampai kelihatan pendek.
Kepalanya gundul kelimis seperti kepala seorang hwesio yang baru
dicukur. Kepalanya bundar, demikian tubuhnya dan hampir semua
anggauta mukanya bundar bentuknya, kulitma agak kehitaman.
0rang ini berdiri menghadang sambil berolak pinggang.
Munculnya yang tiba-tiba amat mengejutkan hati Hui Lian dan
Hong Kin yang sudah lelah sekali itu. Maka kedua orang muda ini
pun otomatis menyangka buruk dan keduanya berbareng
menyerang orang gundul itu dengan senjata mereka.
Akan tetapi dengan sekali bergerak saja, serangan Hui Lian dan
Hong Kin mengenai angin dan tiba-tiba orang menggerakkan kedua
tangan menampar, Hui Lian dan Hong Kin mengelak cepat. Hui Lian
lebih cepat dari Hong Kin hingga ia hanya merasa sambaran yang
amat luar biasa di dekat kupingnya, akan tetapi Hong Kin kurang
cepat dan pundaknya kena ditampar. Tamparan ini tidak amat
keras, namun akibatnya hebat. Hong Kin merasa pundaknya seperti
terbakar dan ia tidak kuat menahan lagi, terhuyung-huyung lalu
roboh tertelungkup di atas tanah, tongkatnya terlempar.
Hui Lian terkejut bukan main. Cepat ia menubruk dengan
pedangnya, diputar lalu menikam ulu hati orang gundul itu.
Lawannya mengeluarkan suara aneh seakan-akan kagum melihat
pedangnya yang hebat, kemudian bersilat dengan gerakan-gerakan
aneh pula. Akan tetapi pedang di tangan Hui Lian tak pernah dapat
menyentuh tubuhnya. Setelah bertempur lima jurus, Hui Lian harus
akui bahwa berhadapan dengan seorang yang pandai sekali. Setiap
kali orang itu mengedutkan lengan bajunya, hampir saja pedangnya
660
terlepas dari pegangan. Ia maklum bahwa dalam hal lweekang dan
ginkang, ia kalah jauh oleh orang gundul ini. Hanya ilmu pedangnya
yang berdasarkan Pak-kek Sin-ciang sajalah yang masih dapat
melindunginya. Ternyata kembali ilmu pedang warisan dari ayahnya
ini niemperlihatkan keunggulannya. Beberapa kali orang gundul itu
mengeluarkan seruan-seruan aneh, seakan akan mengenal ilmu
pedang ini dan menjadi gentar. Tiba-tiba tangan kirinya
memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya dan di lain saat ketika ia
mengelak ke kiri dari tusukan pedang Hui Lian, ia membentak keras
sambil menyemburkan sesuatu dari mulutnya, dibarengi dengan
pukulan bertubi-tubi dengan dua tangannya! Inilah serangan yang
luar biasa hebatnya.
Hui Lian melihat benda hitam menyambar, cepat menundukkan
mukanya sehingga benda cair itu lewat di atas kepalanya. Akan
tetapi tiba-tiba kepalanya menjadi pening karena benda yang lewat
di atas kepalanya itu mengeluarkan bau yang amis dan menusuk
hidung, sedangkan pada saat itu, kedua tangan lawannya secara
bertubi-tubi telah datang menyerang! Gadis perkasa ini memaksa
diri menghadapi serangan pukulan. Melihat berkelebatnya tangan
kanan ke arah dadanya, ia cepat menggerakkan pedang untuk
membabat, akan tetapi tiba-tiba tangan itu ditarik kembali dan
tangan kiri orang itu secara cepat menotok lehernya. Hui Lian masih
berusaha menghindari totokan, namun, kepalanya sudah pening
sekali, pandang matanya sudah berkunang-kunang dan elakannya
gagal. Ia roboh dalam keadan lemas dan pedangnya terlempar ke
atas tanah'
Kembali orang gundul itu tertawa bergelak dan menghampiri
tubuh Hong Kin yang masih tertelungkup. Sekali mencongkel
dengan kakinya, tubuh pemuda itu terlempar ke atas lalu disambar
dengan tangan kiri dan dikempitnya. Kemudian ia menghampiri Hui
Lian. Berbeda dengan apa yang dilakukan terhadap Hong Kin, ia kini
menggunakan tangan mengangkat gadis itu dan dikempit degan
tangan kanan.
Pada saat itu, para busu yang sejak tadi sudah mengejar sampai
di situ dan menonton pertempuran aneh, lalu melangkah maju. Liokte
Mo-ong Wie It menghadapi orang gundul itu, menjura sambil
berkata.
661
"Saudara yang gagah perkasa telah berjasa besar. Aku Liok-te
Mo-ong Wie It atas nama Kaisar dan semua pasukan busu dari
istana mengucapkan banyak terima kasih atas bantuanmu yang
amat berharga."
Orang gundul itu mengeluarkan suara yang aneh lalu bersiul
keras. Dari arah belakangnya, jauh sekali terdengar siul yang sama
menjawab, kemudian tiba-tiba melayang tubuh yang ringan sekali
bagaikan terbang dan tahu-tahu di sebelahnya telah berdiri seorang
wanita yang memegang sebatang ranting di tangan kanannya.
Liok-te Mo-ong dan kawan-kawannya terkejut bukan main. Ilmu
meringankan tubuh seperti ini belum pernah mereka saksikan.
Ketika siulan jawaban tadi berbunyi, terdengar masih amat jauh,
akan tetapi sebelum gema siulan lenyap. orangnya sudah berada di
situ!
Sementara itu, kakek gundul itu masih tertawa-tawa, kemudian
ia menjawab, "Siapa bantu siapa? Aku tidak mengenal segala
macam Liok to Mo-ong atau Thian-sang Mo-ong, tidak peduli segala
macam busu yang tiada gunanya!" Ucapan ini benar-benar
memandang rendah. Liok-te Mo-ong berarti Raja lblis Bumi
sedangkan Thian-sang Mo-ong diartikan Raja Iblis Langit!
Mendengar kata-kata ini, Liok-te Mo-ong Wie It memberi tanda
kepada kawan-kawannya untuk bersiap sedia karena orang itu
agaknya tidak mengambil sikap berkawan.
"Kahan ini orang-orang tak tahu malu, mengandalkan banyak
kawan mengejar-ngejar dua orang muda, ada maksud apakah?
Mengapa mereka kalian kejar-kejar?" tanya pula orang gundul tadi.
Liok-te Mo-ong Wie It menduga, bahwa orang gundul ini tentulah
seorang luar biasa di dunia kang-ouw yang selalu menyembunyikan
diri sehingga dia sendiri pun tidak mengenalnya. Maka dengan
menahan sabar ia menjawab,
"Sahabat yang baik, kami adalah busu dari istana, sedangkan
gadis itu adalah puteri seorang pemberontak yang harus ditawan
dibawa menghadap Kaisar untuk menerima hukuman. Pemuda itu
adalah pengawalnya. Kami sejak tadi mengejar-ngejarnya dan
kebetulan kau muncul dan merobohkan mereka. Karenanya kami
662
patut menyatakan terima kasih kami dan harap kau sudi
memberikan mereka kepada kami untuk dibawa ke istana."
"Ha, ha, ha, hi, hi, hi, enak saja kalian bicara'" Wanita yang baru
datang itu berkata sambil mentertawakan Wie-It. "Suamiku yang
menangkap kalian yang datang minta, benar-benar tak tahu malu.
Suamiku yang menangkap mereka, maka dia yang berhak
menentukan apa yang akan dilakukan terhadap dua orang ini."
"Benar, Ibu. Berikan saja mereka kepadaku, Ayah. Si Siauw -liong
(Naga Kecil) kelihatan lapar sekali, biar mereka diberikan kepada
Siauw-liong untuk menjadi mangsanya!" Tiba-tiba terdengar katakata
ini dari dalam gelap dan seperti juga dengan munculnya isteri
orang aneh itu, kini puteranya pun muncul secara tiba-tiba dan luar
biasa.
Para busu meIthat seorang pemuda yang bertubuh tegap dari
dalam gelap. Sebetulnya pemuda ini tampan juga wajahnya, akan
tetapi karena berkepala gundul dan sikapnya ketolol-tololan, maka
ia seperti seorang anak kecil yang tubuhnya besar. Yang
mengerikan orang, kedua tangan pemuda gundul ini
mempermainkan seekor ular yang liar, ular bersisik loreng yang
lidahnya merah dan matanya bersinar-sinar. Pada kepala ular itu
kelihatan semacam tanduk dan dari mulutnya mengepul uap biru.
Benar-benar seekor ular yang berbahaya sekali dan sekali pandang
saja orang akan mengerti bahwa ular ini berbisa. Mungkin karena
daging menonjol di kepala itulah yang membuat binatang ini
dinamakan Siauw-liong (Naga Kecil) oleh pemiliknya.
Setelah muncul tiga orang aneh ini, kita semua dapat
mengenalnya siapa mereka. Tak lain mereka adalah keluarga Seethian
Tok-ong yang lihai! Yang muncul pertama dan menawan Hui
Lian dan Hong Kin adalah See-thian Tok-ong sendiri, kemudian
muncul isterinya, Kwan-Nio dan pemuda itu adalah Ban-beng Sintong
Kwan Kok Sun yang semenjak dahulu terus gundul saja.
Mendengar omongan puteranya, See-thian Tok-ong
melemparkan tubuh Hui-Lian kepada Kwan Kok Sun. Pemuda
mengangkat tangan kiri dan dengan mudah ia menyambar lengan
Hui Lian. Ia harus memegang ular itu jauh-jauh dengan tangan
663
kanannya, karena ular itu begitu melihat Hui Lian terus merontaronta
seperti seekor anjing kelaparan daging.
"Sst, Siauw-liong jangan makan dia. Aduh.........
cantiknya............ aduh......... manisnya.. Siauw-liong, yang ini
bukan untukmu, Sayang kalau jadi mangsamu. Ayah, Ibu aku sudah
dapat!"
"Hm, sudah dapat apa?" bentak ibunya.
"Sudah dapat! Dia inilah orangnya calon isteriku. Ayah, aku minta
kawin. Dengan Si Jelita ini." Kata-kata pemuda ani terdengar kacau
tidak karuan. Memang, semenjak kecilnya, Kwan Kok Sun sudah
kelihatan aneh sekali, akan tetapi makim besar, bicaranya dan
kelakuannya makin ngacau dan ada tanda-tanda bahwa otaknya
tidak normal.
"Kok Sun, baru kemarin kau bilang minta kawin dengan puteri
Kaisar!" tegur See-thian Tok-ong.
"Tidak, Ayah, dia inilah yang kucari-cari, yang kuimpi-impikan
setiap malam. Puteri kaisar? Ah, aku tidak mau. Masih mending
kalau dia seperti ibunya, tentu cantik jelita. Bagaimana kalau dia
seperti ayahnya, seperti kaisar yang gendut dan kepala besar? Huh,
aku tidak sudi!" Kata-kata yang memaki kaisar "gendut" dan kepala
besar ini bukan semata-mata makian, karena pada masa itu, makian
ini berarti lain, yakna gendut adalah sindiran bagi orang yang selalu
mengeduk keuntungan dengan jalan korupsi sedangkan kepala
besar untuk menyindirkan orang-orang yang berlaku sewenangwenang
mengandalkan kedudukan dan pangkatnya.
"Baiklah, kau boleh mengawini gadis itu. Akan tetapi nanti dulu,
kata harus ketahui dengan jelas bahwa dia seorang gadis baik-baik,
bukan gadis sembarangan. Tadi sudah kulihat ilmu pedangnya dan
aku agak ragu-ragu." See-thian 'Tok-ong menghadapi Liok-te Moong
Wie-It dan kawan-kawannya yang mendengar semua
percakapannya itu dengan mata bengong. "Eh, mata juling,
sebetulnya siapakah gadis ini dan siapa pula pemuda ini?"
Wie It mendongkol sekali. Ingin mengerahkan kawan-kawannya
untuk mengeroyok, akan tetapi dia bukan seorang goblok. Ia dapat
menduga bahwa tiga orang ayah, ibu, anak ini bukan orang-orang
664
yang mudah dilawan. Terpaksa ia menelan kegemasannya memberi
keterangan dengan harapan si Gundul yang seperti iblis itu dapat
berubah sikap.
"Harap kau jangan main-main." katanya dengan suara sungguhsungguh,
"Nona itu bukan orang sembarangan, adalah puteri dari
Hwa I Enghiong Ciang Le yang kelihaiannya sudah terkenal di
kolong langit! Adapun pemuda adalah murid Cam-kauw Sin-kai dia
orang kepercayaan dari Pangeran Wan-yen. Harap kau sudi
memberikan mereka kepada kami untuk dihadapkan di istana.
Mendengar ini Kwan Kok Sun berseru, "A-ha, benar dia! Pantas
sekali lihat aku tertarik. Benar, Ayah, dia benar bocah manis yang
dulu menolong Kong Ji keparat! Dia benar puteri Go Ciang Le, lihat
saja bentuk bibirnya ini."
See-thian Tok-ong dan Kwan Ji Nio menghampiri puteranya dan
mereka bertiga melihat-lihat Hui Lian yang masih pingsan.
Seperti pernah dituturkan di bagian depan, ketika masih kecil,
ketika ia baru berusia sepuluh tahun, pernah Hui Lian bertemu
dengan keluarga aneh ini, di puncak Gunung Luliang-san. Ketika itu,
See-thian Tok-ong dan anak isterinya sedang hendak membunuh
Liok Kong Ji dan kebetulan sekali Hui Lian yang masih kecil datang
menolong nyawa Kong Ji.
Tadi ketika menghadapi See-thian Tok-ong, Hui Lian sudah tidak
ingat lagi siapa adanya kakek gundul aneh itu. Kalau sekiranya Seethian
Tok-ong muncul bertiga, mungkin sekali Hui Lian akan
teringat.
Kini Kwan Kok Sun yang otaknya sudah makin tidak beres itu
melihat Hui Lian, ia merasa suka dan jatuh cinta.
"Benar dia, Ayah. Benar dia kekasihku, lbu. Aku harus kawin
dengan dia, dengan puteri Go Ciang Le. Ha, ha, ha. Kemudian
ketika ularnya hendak menyerbu Hui Lian, ia membetot binatang itu
sambil memaki, "Hush, Siauw-liong' Jangan kau kurang ajar. Dia itu
calon isteriku, kau tahu? Kalau kau berani menjilat sedikit saja
kuhancurkan kepalamu!”
665
"Jangan marah, Kok Sun, dia itu sedang lapar," kata ibunya, yang
amat manjakan putera tunggalnya itu, dan yang tidak begitu senang
mellhat puteranya tergila-gila kepada Hui Lian. Seperti juga
puteranya, Kwan Ji Nio otaknya tidak beres, dan ibu ini selalu
merasa iri hati dan cemburu apabila puteranya menyatakan suka
kepada seorang wanita. "Dia lapar dan perlu dibert makan paruparu
yang segar," katanya lagi. "Paru-paru gadis remaja seperti ini
amat sehat, dapat menguatkan dan menambah keras bisa dalam
mulut Siauw-liong."
Kwan Kok Sun membelalakkan matanya. "Tidak!" bentaknya
keras. "Tidak boleh kekasihku diganggu, tidak boleh calon isteriku
dibinasakan. Ayah, ke sinikan manusia tiada guna itu. Dia harus
menjadi mangsa Siauw-liong!"
See-thian Tok-ong tertawa bergelak, lalu melemparkan tubuh
Hong Kin ke depan Kwan Kok Sun. Kok Sun melepaskan ularnya
yang merayap turun dari lengan ke atas tanah, lalu merayap ke arah
tubuh Hong Kin sambil menjulurkan lidah keluar masuk.
Pada saat itu Hong Kin siuman dari pingsannya. Ia membuka
mata dan sekejap saja ingatlah ia akan semua yang terjadi, bahwa
dia telah dirobohkan oleh para busu yang mengeroyok. Biarpun
heran sekali melihat adanya See-thian Tok-ong suami isteri dan
anak yang ia sama sekali tidak kenal, akan tetapi ia tidak
mempedulikan karena perhatiannya terpusatkan kepada seekor ular
panjang dan mengerikan yang merayap mendekatinya, jaraknya
hanya tiga kaki lagi. Sekali pandang maklumlah pemuda ini, bahwa
ia berada dalam ancaman bahaya maut, dan bahwa ular itu adalah
seekor binatang berbisa dan sekali gigitannya berarti maut
menjangkau nyawa. Cepat ia melompat bangun, akan tetapi
tubuhnya masih lemah dan ketika pemuda gundul yang berada di
dekat ular itu menggerakkan tangan, Hong Kin roboh lagi. Jalan
darah thian-hu-hiat di tubuhnya telah kena ditotok secara lihai sekali
dan biarpun Hong Kin masih sadar dan dapat mengetahui segala
apa yang terjadi, namun ia tak dapat menggerakkan seluruh
tubuhnya yang seakan-akan sudah lumpuh sama sekali.
"Ha, ha, ha, kau menangislah, berteriak-tertaklah minta tolong.
Ha ha-ha. Aku senang sekali kalau kau menjerit- jerit, juga Siauw666
liong senang sekali. Hayo kau menjerit-jerit. tidak takutkah kau?
Ular ini akan merobek bibirmu memasuki mulut terus merayap
melalui kerongkonganmu, masuk ke dalam paru-paru dan makan
habis paru-parumu sepotong demi sepotong. Ha, ha, ha,
menangislah,” Kwan Kok Sun berjingkrak-jingkrak setelah
meletakkan tubuh Hui Lian di atas tanah. Keterangan dan
kegembiraan hatinya melihat Siauw-liong hendak makan mangsanya
membuat ia lupa sebentar kepada Hui Lian.
Dapat dibayangkan betapa ngeri rasa hati Hong Kin. Akan tetapi
pemuda ini memiliki ketabahan besar, tidak gentar menghadapi
maut. Ia memandang kepada ular itu, berkejap matanya pun tidak,
jangan kata menangis. Ia menghadapi maut dengan mata terbuka.
"Kau tidak takut?" Ular menyambar ke arah muka Hong Kin yang
sama sekali tidak berkedip. Tetapi Kok Sun memegang ekor ular dan
menahannya. "Kau gagah sekali... kau tabah sekali..." Pemuda
gundul itu ragu-ragu. Memang ada suatu hal yang amat dikagumi
oleh Kwan Kok Sun, yakni keberanian dan ketabahan yang luar
biasa. Kini melihat ketabahan hati Hong Kin yang tidak berkedip
menghadapi maut ia tertarik dan merasa agak sayang, maka ia
menahan ularnya yang sudah hendak melakukan "operasinya”.
Pada saat itu Hui Lian siuman. Gadis itu melihat betapa di situ
telah banyak orang dan ia melihat kakek gundul yang
merobohkannya tadi berdiri menyeringai, di sampingnya seorang
nenek yang wajahnya cantik tapi kejam, kemudian ia melihat Hong
Kin menggeletak lemas di atas tanah dan seekor ular merayap
mendekatinya, akhirnya ia melihat Kok Sun dan pucatlah mukanya.
Ia kini tahu bahwa yang menjatuhkan tadi bukan lain adalah Seethian
Tok-ong!
"Iblis keji..!" Hui Lian menjerit dan tubuhnya melompat dengan
gerakan kilat, menubruk ke depan untuk memukul Kok Sun karena
ia tahu apa artinya ular Kok Sun, dan Hong Kin yang menggeletak.
Tentu pemuda gundul yang berotak miring itu mempraktekkan
kekejamannya seperti dulu lagi, yakni memberi makan kepada
ularnya dengan korban seseorang manusia.
Kwan Kok Sun tidak mengira bahwa dirinya akan diserang, maka
pukulan tangan Hui Lian tepat mengenai dadanya. Akan tetapi,
667
gadis itu telah habis tenaganya, dan Kok Sun sekarang bukan Kok
Sun dahulu lagi. Kepandaiannya sudah meningkat tinggi, maka
pukulan itu hanya membuatnya mundur selangkah saja. Pada saat
itu, kelihatan sinar hitam
berkelebat dan Hui Lian memekik
ngeri terus roboh pingsan! Ular
yang bernama Siauw-liong itu
ternyata telah menyerang dan
kini giginya menggigit leher Hui
Lian yang berkulit putih halus.
Melihat ini, Kok Sun menjadi
pucat, "Jahanam besar, kau...
kau... berani... Kau berani
menggigit calon isteriku? Keparat
jahanam, mampus kau!"
Tangannya bergerak dan di lain
saat ular itu telah direnggutnya
terlepas dari leher Hui Lian, lalu...
digigitnya leher ular itu oleh Kok
Sun sampai putus! Masih belum
puas dengan ini, Kok Sun membanting hancur kepala ular,
mencabik-cabik tubuh ular dengan sepasang tangannya yang kuat
sehingga tubuh ular itu menjadi berkeping-keping. Kemudian Kok
Sun menubruk Hui Lian sambil menangis teredu-sedu.
"Hui Lian, kekasihku... calon isteriku sayang …. jangan mati
kau... jangan kau tega meninggalkan aku, bawalah aku
bersamamu...." dan menangislah ia melolong-lolong seperti anak
kecil.
Muka Hui Lian sudah berubah menghitam dan kalau tidak segera
tertolong, Pasti nyawanya akan melayang. See-thian Tok-ong
maklum akan hal ini, akan tetapi ia tidak peduli. Sebaliknya Kwan Ji
Nio bingung sekali melihat anaknya demikian. Nyonya ini melihat
Kok Sun menangis melolong-lolong, tak dapat menahan
mengucurnya air matanya. Beberapa kali ditariknya lengan Kok Sun
untuk melepaskan Hui Lian dan dihiburnya.
668
"Sudahlah, Nak. Dia mati biar mati, masih banyak gadis yang
lebih dari padanya. Nanti Ibu carikan puteri Kaisar...."
"Tidak sudi, puteri Kaisar seperti ayahnya, gendut, kepala besar
dan jenggotan! Aku mau kawin dengan Hui Lian kalau dia mati aku
juga mau muti!"
Kwan Ji Nio menjadi makin bingung ia menoleh kepada suaminya
dan melihat See-thian Tok-ong tersenyum-senyum saja seperti
orang gendeng, ia lalu lompat dan menampar pipi suaminya. Seethian
Tok-ong terkejut dan seakan-akan baru sadar dari alam
mimpi.
"Ada apa?" tanyanya gagap.
"Hayo katakan apakah gadis ini masih dapat ditolong?" isterinya
menuntut.
See thian Tok-ong mengerutkan kening, "Begitu matahari keluar,
dia akan mati."
Tangis Kok Sun menjadi-jadi, bahkan kini ia menggulingkan
tubuh di atas tanah dan bergulingan ke kanan kiri, memukul-mukul
kepala dan tanah.
"Apakah ia masth bisa ditolong? Hayo katakan lekas!" kata Kwan
Ji Nio dengan keras.
"Bisa asal ada yang menyedot racun di leher itu," kata See-thian
Tok-ong.
Mendadak Kwan Kok Sun melompat bangun, menubruk Hui Lian
dan tanpa ragu-ragu lagi mulutnya mengecup leher yang terluka,
terus disedotnya kuat-kuat!
Melihat kenekatan puteranya, kini baru See-thian Tok-ong ada
perhatian. Perbuatan puteranya ini berbahaya sekali, akan tetapi
juga sekaligus menyatakan bahwa kali ini puteranya betul-betul
“cinta" kepada gadis ini. Biasanya setiap ia minta dikawinkan dan
menyatakan suka kepada seorang gadis, kalau gadis itu sudah
diculik orang tuanya, ia lalu menyatakan bosan dan tidak suka. Kali
ini begitu bertemu. Kok Sun sudah berani membahayakan nyawanya
669
untuk menolong gadis itu, agaknya kali ini anaknya bukan mainmain
lagi!
"'Tiga belas kali! Jangan lebih tiga belas kali sedotan," katanya
sambil mendekati Hui Lian dan Kok Sun. "Dan semburkan keluar
darah berbisa itu."
Dengan lweekangnya yang sudah tinggi, Kok Sun dapat
menyedot tiga belas kali tanpa melepaskan mulutnya dari leher,
akan tetapi setelah akhirnya ia melepaskan leher itu dari
kecupannya, ia lalu ….. menelan darah itu dan seketika itu mukanya
menjadi kehitaman!
"Kok Sun...!" Kwan Ji Nio menjerit.
Sementara itu, melihat semua peristiwa ini, Liok-te Mo-ong Wie It
habis sabarnya. Ia seakan-akan disuruh melihat sekumpulan orang
gila bermain sandiwara. Dengan gemas ia memberi isyarat kepada
anak buahnya dan mereka bergerak maju untuk merampas Hui Lian
dan Hong Kin lalu melarikan diri.
Akan tetapi tiba-tiba lima orang menjerit dan terpental jauh
termasuk Wie It sendiri! Biarpun tadinya ribut bertiga tak karuan,
akan tetapi ketika Wie It dan kawan-kawannya bergerak See-thian
Tok-ong mengebutkan kedua lengan bajunya, yang kanan
menyambar muka Wie It terus ke dadanya sehingga Wie It
terdorong dadanya sampai terjengkang tiga kaki lebih, yang kiri
menghantam pundak seorang busu sampai patah tulang pundaknya!
Juga Kwan Ji Nio menggerakkan rambutnya dua kali dan robohlah
dua orang busu lain. Kwan Kok Sun yang mukanya sudah kehitaman
dan kepalanya sudah mulai pening, melihat para busu menyerbu,
lalu tiba-tiba membuka mulut dan menyemburkan ludahnya yang
pada saat itu juga berbisa, tepat mengenai hidung seorang busu
sehingga busu itu berkaok-kaok kesakitan sambil membetot-betot
hidungnya yang tiba-tiba rasa gatal-gatal dan sakit sekali. Tak lama
kemudian hidung itu menjadi hitam dan copot, dan orangnya jatuh
pingsan.
Wie It terkejut setengah mati. Biarpun sudah menyangka bahwa
tiga orang ini lihai sekali, akan tetapi .tidak pernah ia mimpi akan
670
selihai itu. Maka ia berdiri bengong dan tidak berani sembarangan
bergerak.
Adapun See-thian Tok-ong, Kwan Ji Nio, dan Kwan Kok Sun,
seakan-akan sudah lupa lagi akan para busu itu dan mengurus
persoalannya sendiri. Kwan Ji Nio membanting-banting kakinya.
"Kok Sun mengapa kau menelan racun itu? Mengapa kau
mengambil keputusan mati?" ia menangis.
Kok Sun tiba-tiba ketawa, suara ketawanya seperti ringkik kuda.
"Ayah adalah Raja Racun dart Barat, mengapa aku takut minum
racun? Ha, ha, ha, Ayah. Mari kita antar calon isteriku ini ke istana
bersama pemuda yang mempunyai keberanian besar ini.”
"Ke istana? Kok Sun, aku dapat menyembuhkan dia di sini, juga
aku dapat menyembuhkan kau. Mengapa harus ke istana'" tanya
ayahnya.
"Orang seperti Hui Lian harus dijadikan puteri istana dulu, baru
kawin dengan aku. Kita membawa mereka ke kota raja, menghadap
kaisar dan bukankah Ayah pernah bilang hendak mencari
kedudukan di istana? Mengapa tidak sekalian sekarang kita ke sana
dan datang datang membawa jasa dengan menangkap dua orang
ini? Kalau Ayah yang minta, tentu Kaisar suka mengampuni Hui Lian
dan mengangkatnya menjadi puteri, kemudian kawin dengan aku."
"Hm... tapi...." See- thian Tok-ong ragu-ragu. Memang dia
bercita-cita tinggi, bahkan kalau mungkin dia mau merebut
kedudukan kaisar. Akan tetapi bukan dengan cara ini.
"Ayah, kalau begitu biar aku mati bersama Hui Lian di sini. Dia
jangan Ayah obati, juga aku tidak sudi menelan obat Ayah!" Kwan
Kok Sun mengambek.
"Kau mau bilang apa lagi'" Kwan Ji Nio membentak suaminya.
"Hayo kita berangkat ke kota raja."
See-thian Tok-ong mengangkat pundaknya, lalu berpaling kepada
Wie It dan berkata.
"Kau masih mau membawa dua orang ini ke istana? Hayo
antarkan kami."
671
"Baiklah Locianpwe, kami senang sekali,” jawab Wie It. Lenyap
sekarang kegarangan dan kesombongannya setelah ia tahu siapa
adanya kakek ini. Nama besar See-thian Tok-ong cukup membuat ia
gemetar dan tahulah ia bahwa ia kini berhadapan dengan orang
yang patut menjadi gurunya. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia
menyebut locianpwe!
See-thian Tok-ong tidak segera berangkat. Ia lebih dahulu
mengobati Hui Lian dan Kwan Kok Sun. Setelah mata-hari menyinari
bumi, barulah See-thian Tok-ong mengajak semua orang berangkat.
Berkat obat yang luar biasa dari See-thian Tok-ong, Kwan Kok Sun
dan Hui Lian sembuh sama sekali.
Hui Lian dan Hong Kin maklum bahwa menghadapi See-thian
Tok-ong sekeluarganya mereka berdua tidak berdaya melawan.
"Biarlah kita menurut saja, Nona. Se sampainya di sana, aku
percaya Wanyen Siauw-ongya takkan membiarkan kita di ancam
bahaya," kata Hong Kin menghibur.
Hui Lian mengangguk dan gadis ini berkata kepada Kok Sun yang
selalu berada dekat dengan dia. "Kwan Kok Sun, aku mau dibawa ke
istana sebagai tawanan. Akan tetapi ingat, jangan sekali kali kau
bersikap kurang ajar dan menggangguku. Kalau laranganku ini
dilanggar, jangan harap aku akan menyerah dengan damai
sebaliknya aku akan mengamuk dan melawan sampai titik darah
penghabisan.”
Kok Sun tersenyum girang. "Nona manis, siapa berani
mengganggumu? Yang mengganggumu akan mampus lebih dulu di
tanganku. Kau calon isteriku, bagai-mana aku mau
mengganggumu? Asal kau tidak lari dari aku, kau akan bebas.
Melihat mukamu yang manis saja aku sudah puas, aku sudah
kenyang. Ah, kekasih hati pujaan kalbu...."
Hui Lian membuang muka dan tidak mau melayani lagi sampai
Kok Sun akhirnya capai dan berhenti mengaco-belo sendiri.
Rombongan yang aneh ini berjalan kaki menuju ke kota raja. Hui
Lian dan Hong Kin dikurung di tengah-tengah dan di dalam hati Hui
Lian timbul sesuatu yang hangat terhadap Hong Kin, pemuda yang
ternyata membelanya mati-matian itu.
672
"Saudara Hong Kin, karena aku seorang, kau jadi ikut menderita
dan terancam," kata Hui Lian perlahan, dan mengerling lembut ke
arah pemuda baju hijau itu.
Hong Kin tersenyum. "Nona, andaikan aku mati demi
membelamu, aku akan mati dengan puas dan bangga!"
Hui Lian membelalakkan mata dan menatap wajah pemuda itu.
Hong Kin juga memandang kepadanya dan sinar mata pemuda ini
penuh pernyataan yang kalau diucapkan akan berbunyi. "Apakah
kau masih belum mengerti akan isi hatiku yang penuh cinta kasih
kepadamu?”
Hui Lian tiba-tiba menundukkan mukanya yang menjadi merah
sekali dan aneh, pada saat seperti itu, wajah Wa Sin Hong
terbayang di depan bulu matanya. Pemuda ini demikian baik,
demikian jujur, setia dan mencintanya. Aka tetapi dia tidak "ada
hati" kepada Coa Hong Kin, sayang. Sayang dan kasihan pemuda
ini. Sebaliknya, orang yang selalu menjadi kenangan, yang sekaligus
merampas hati dan cinta kasihnya, adalah Wan Sin Hong, pemuda
yang menjadi penjahat besar! Teringat betapa Sin Hong membawa
lari Soan Li dan betapa pemuda itu mengecewakan hatinya, tak
terasa lagi dua butir air mata menitik turun di pipi Hui Lian.
Tiba-tiba terdengar suara "Plok! Plok!” dan Hong Kin terhuyunghuyung.
Ternyata ia telah digaplok dua kali oleh Kwan Kok Sun yang
tadinya seperti berjalan sambil mimpi karena pandangan matanya
ditujukan ke atas ujung kedua kakinya.
"Bedebah, berani kau mengganggu isteriku sampai dia
menangis? Dua butir air mata untuk dua gaplokan masih terlalu
murah. Awas, kalau ada air mata keluar lagi, setiap butir harus
kaubayar dengan satu gebukan. Kaulihat sajalah!"
Hui Lian terkejut sekali dan cepat ia mengeringkan matanya
dengan ujung lengan baru. Hong Kin sudah bangun lagi, menyusut
bibirnya yang berdarah ujungnya, akan tetapi bibir ini tersenyum
ketika ia memandang kepada Hui Lian. Nona ini merasa terharu,
Juga marah sekali, akan tetapi ia maklum bahwa menghadapi Kok
Sun yang gila itu, lebih baik bersabar. Ia tidak takut menghadapi
Kok Su dan belum tentu ia kalah. Akan tetapi di situ ada See-thian
673
Tok-ong, ada Kwan Ji Nio, bahkan masih ada Liok-te Mo-ong Wie It
dan lain-lain busu. Pihak lawan terlalu berat dan melawan berarti
membuang tenaga sia-sia belaka.
"Jangan pukul dia, dia kawan baikku. Aku takkan menangis dan
kalau aku menangis juga, bukan karena dia yang menggangguku,"
katanya kepada Kok Sun.
"Habis siapa yang mengganggumu?”. tanya Kok Sun ketololtololan.
"Kalau aku menangis, paling-paling engkaulah yang
mengganggu," Jawab Hui Lian mendongkol.
"Aku?" Kok Sun memandang dengan mata melirik ke kanan kiri,
kemudian kepalanya yang gundul mengangguk ketika ia berkata,
"Hm, kalau aku yang mengganggumu sampai kau menangis, aku
akan memukul kepalaku sendiri. Sekali gebuk untuk sebutir air
mata!"
Hampir Hui Lian tak dapat menahan gelak tawanya saking geli
mendengar kata-kata ini. Kalau pemuda gundul yang otaknya tidak
beres ini tidak jahat, kiranya akan menimbulkan kasihan. Akan
tetapi sekarang sifatnya yang amat jahat itu membuat ketololannya
makin menggemaskan, juga amat lucu. Kalau saja di situ tidak ada
See-thian Tok-ong dam Kwan Ji Nio yang tentu akan turun tangan,
ingin Hui Lian menangis meraung-raung dan memeras semua air
matanya biar Si Gila Gundul itu memukuli kepalanya sendiri sampai
benjut dan pecah-pecah!
Diam-diam Hui Lian merasa cemas mengingat akan nasib sendiri.
Apakah yang akan dialaminya selanjutnya? Betapapun juga, kalau ia
melirik ke arah Hong Kin dan melihat pemuda itu tenang-tenang
saja berjalan di sebelahnya, hatinya menjadi agak lega dan tenang.
Ia percaya akan kepintaran pemuda ini, percaya pula akan kebaikan
hati Pangeran Wanyen, yang air mukanya seperti Wan Sin Hong itu.
Teringat sampai di sini, kembali wajah Sin Hong terbayang-bayang,
membuat Hui Lian melamun dan berjalan sambil menundukkan
mukanya yang kemerahan.
Biarpun Kwan Kok Sun seorang pemuda yang sejak kecilnya
biasa ugal-ugalan dan hati pikirannya terbungkus hawa kejahatan,
674
namun ia merasa keder juga ketika memasuki istana dan
dihadapkan kepada kaisar. Pribadi Kaisar amat kuatnya dan
wibawanya besar. Semua itu bukan saja disebabkan oleh karena
memang Kaisar yang biasa disembah itu mempunyai pengaruh diri
yang kuat, juga dibantu oleh keadaan di dalam istana yang
demikian besar, demikian indah, dan demikian mewah. Siapapun
juga yang memasuki ruangan itu dan menghadap kepada Kaisar,
melihat semua orang berlutut menghormat Kaisar, pasti akan
tunduk dan merasa dirinya kecil. Demikian pula Kok Sun yang
segera ikut-ikut menjatuhkan diri berlutut di depan kaisar dan tidak
berani membuka mulut secara sembrono atau ugal-ugalan.
Adapun Kwan Ji Nio, sebelum menikah dengan See-thian Tokong,
adalah seorang keturunan Han. Oleh karena itu di dalam sudut
hatinya, ada perasaan bangga terhadap negara dan terutama
terhadap Kaisar. Wanita ini tidak mengikuti perkembangan politik,
tidak tahu akan artinya dinasti yang jatuh bangun ia hanya tahu
bahwa kaisar di istana kota raja adalah kaisar di Tiongkok, adalah
seorang mulia seperti yang biasa disebut orang sebagai Cin-beng
Thian-cu (Putera atau Pilihan Tuhan) dan karenanya harus
disembah-sembah oleh rakyat! Inilah sebabnya maka ia pun berlutut
dengan penuh penghormatan di depan kaisar bersama yang lainlain.
Apa lagi Hui Lian yang baru pertama kali itu memasuki istana dan
semenjak masuk di pintu gerbang pertama sudah bengong
mengagumi keindahan bangunan dan perabot-perabot rumah,
terkena juga pengaruh kebesaran kaisar dan bersama Hong Kin ia
pun berlutut di atas lantai yang mengkilap dan bersih sekali itu.
Yang tidak berlutut hanyalah See-thian Tok-ong. Tokoh ini
datang dari India dan ia merasa diri-sendiri juga seorang raja,
biarpun raja dalam dunia kang-ouw, yakni seperti juga orang
menyebutnya, Raja Racun! See- thian Tok-ong memberi hormat
seperti seorang beragama Buddha memberi hormat, merangkap
kedua tangan di depan dada sambil menjura, kemudian karena tidak
enak melihat semua orang berlutut, ia lalu duduk bersila di atas
lantai!
675
Kaisar duduk di atas kursi gading berukir emas yang berkilauan
dan indah sekali, pakaian kebesarannya juga mentereng. Di kanan
kirinya terdapat enam orang siuli yang cantik-cantik menjaga segala
keperluannya sehingga Sang Kaisar tak perlu bersusah-payah kalau
menghendaki sesuatu. Kegerahan? Ada tangan halus yang
menggerak-gerakkan kipas bulu burung merak dari Tanah Selatan.
Hendak minum? Sepasang lengan yang mungil menyangga baki
terisi segala macam minuman dan buah-buahan, tinggal pilih. Kaki
atau anggauta tubuh pegal-pegal? Ada jari-jari tangan yang halus
lunak dan ahli memijit-mijit bagian yang pegal untuk menghilangkan
rasa lelah.
Agak jauh dari tempat duduk kaisar berbaris pengawal pribadi
kaisar yang jumlahnya tiga puluh orang, lima belas kanan dan lima
belas di kiri. Di jaman dahulu pengawal pribadi hanya berjumlah
enam atau paling banyak dua belas orang saja yang hadir di
ruangan pertemuan itu, sebagian besar hanya menjaga di luar siap
sedia kalau ada sesuatu. Akan tetapi semenjak kota raja diperkuat,
segala apa juga diperkuat sehingga kaisar dan sekeluarganya dapat
tidur nyenyak. Para pengawal pribadi ini nampak kuat- kuat dan
berkepandaian tinggi, dengan senjata tajam siap di tangan.
Ada yang memegang tombak, toya, pedang, golok, ruyung dan
penggada. Sikap mereka angker sekali dan berdirinya tegak dalam
sikap menghormat. Di bagian luar ruangan, akan tetapi kelihatan
dari situ, nampak sepasukan pengawal lain berdiri menjaga, jumlah
mereka semua tidak kurang dari seratus orang. Ada pasukan panah,
pasukan golok, pasukan pedang, dan pasukan tombak. Pakaian
sama bentuknya, hanya berbeda warnanya. Semua ini menambah
keangkeran Kaisar dan membuat orang yang mempunyai pikiran
buruk hendak berkhianat menjadi kecil hatinya!
Liok-te Mo-ong Wie It membuat laporan kepada Kaisar,
menceritakan bahwa dia dan kawan-kawannya berhasil menawan
Nona Go Hui Lian dan seorang pemuda yang mengawalnya bernama
Coa Hong Kin. Semua ini berhasil berkat bantuan tiga orang gagah
perkasa yang kini ikut menghadap yakni See-thian Tok-ong,
isterinya Kwan Ji Nio dan puteranya Kwan Kok Sun.
676
Kaisar nampak girang dan puas sekali mendengar laporan ini. Ia
memandang ke arah Hui Lian dengan kening berkerut, lalu
menggeleng-gelengkan kepalanya yang dibebani mahkota berat
seakan-akan menyayangkan seorang gadis remaja demikian cantik
sampai tersesat menjadi pemberontak! Kepada Hong Kin ia hanya
mengirim pandang mata selirikan saja. Kemudian ia memandang
kepada See-thian Tok-ong bertiga dengan penuh perhatian.
"Kalian bertiga telah berjasa dalam menangkap dua orang
buronan ini, apakah sekarang kehendak kalian menghadap ke sini?
Apakah hendak minta hadiah? Biarlah kami memberi hadiah seratus
tail uang emas kepada kalian bertiga," kata Kaisar memperlthatkan
kemurahan hatinya.
See-thian Tok-ong yang tadinya besila dan meramkan mata
seperti Sang Buddha bersamadhi, kini membuka matanya dan
berkata dengan hormat akan tetapi tegas,
"Hamba bertiga bukanlah segolongan orang yang gila harta
seperti kebanyakan pegawai Paduka! Hamba datang selain untuk
menghaturkan hormat, juga untuk mengajukan permohonanpermohonan."
Kaisar mengangguk-angguk. "Memang banyak yang menampik
harta akan tetapi mengharapkan hadiah lain. Katakan apa
permohonanmu? Kalau pantas dan dapat dilaksanakan, tentu kami
takkan merasa keberatan."
"Permohonan hamba bertiga hanya ada dua macam. Pertama,
putera hamba tergila-gila dan suka kepada Nona Go Hui Lian yang
menjadi tawanan, karena itu hamba mohon Paduka suka
mengijinkan Nona ini menjadi isteri putera hamba. Kedua, apabila
Paduka membutuhkan dan mau menerima, hamba suka menjaga
keamanan di dalam istana ini dan hamba bertiga sanggup
membasmi semua musuh Paduka atau orang-orang yang
mengancam keselamatan isi istana.”
Semua orang tercengang mendengar permintaan yang bukanbukan
ini. Memang permintaan itu, terutama yang ke dua, boleh
saja diajukan akan tetapi bukan seperti itu cara mengajukannya,
seakan-akan mengajukan permintaan kepada seorang kawan saja.
677
Apalagi bahasa yang dipergunakan oleh kakek gundul kasar sekali
bagi pendengaran orang-orang di situ yang biasa mendengar katakata
halus penuh kesopanan yang diajukan orang terhadap Kaisar.
Akan tetapi Kaisar tidak marah, hanya tersenyum agak masam.
Kemudian Kaisar memandang kepada Hui Lian dan berkata,
"He, kau, gadis cantik yang menjadi tawanan. Apakah kau suka
diambil sebagai isteri oleh putera See thian Tok-ong yang
namanya... eh, Wie It, siapa tadi namanya bocah gundul ini?”
"Namanya Ban beng Sin-tong Kwan Kok Sun, Tuanku," jawab
Liok-te Mo-ong Wie It.
Kaisar tertawa. "Panjang benar. Tapi pantas bagi seorang yang
mempunyai nyawa selaksa. Bagaimana, Go Hui Lian, sukakah, kau?"
Hui Lian menoleh ke arah Kok Sun, memandang penuh
kebencian, kemudian mengangkat muka menatap wajah Kaisar,
penuh keberanian ketika ia menjawab lantang.
"Hamba tidak sudi!"
Kwan Kok Sun terkejut, lupa bahwa dia menghadap Kaisar. "Eh,
calon isteriku yang manis, kekasihku sayang, mengapa kau
menjawab begitu?"
Kaisar mengangkat tangan dan kalau bukan Kok Sun yang
membikin ribut, tentu sudah mendapat gaplokan dari para busu.
Kaisar mengerutkan kening dan berkata, "Hai perjodohan ini biar
kami pIkir-pikir dulu. Masukkan gadis ini dalam tahanan"
perintahnya dan Hui Lian lalu digiring keluar dari tempat itu.
Melniat Hui Lian dibawa pergi dari ruangan itu, Kwan Kok Sun
hendak bangun berdiri dan hendak marah, akan tetapi tiba-tiba
ayahnya membentak,
"Kok Sun, jangan bergerak kau!"
Kok Sun amat dimanja oleh orang tuanya, terutama oleh ibunya,
akan tetapi terhadap ayahnya ia masih takut. Tahu bahwa bentakan
ayahnya kali ini sungguh-sungguh dan ia tidak berani
membangkang, lalu duduk lagi dan berlutut seperti tadi, biarpun
678
matanya kadang-kadang melirik ke arah lorong kemana Hui Lian
dibawa pergi.
Kaisar memandang kepada Coa Hong Kin yang masih berlutut,
lalu membentak marah. "Kau... mengapa kau berani membantu
seorang pemberontak? Apakah kau ada niat memberontak terhadap
kami?"
Hong Kin menjawab dengan penuh hormat. "Tidak sekali-kali
hamba berniat demikian jahat. Hamba hanya menerima perintah
dari Pangeran Wanyen Siauw-ongya untuk mengantarkan Nona Go
Hui Lian keluar dari kota raja. lnilah tanda hamba sebagai utusan
Wanyen Siauw ongya." Coa Hong Kin mengeluarkan kancing emas
pemberian Pangeran Wanyen.
Kaisar mengelus-elus jenggotnya mengerutkan keningnya.
Wanyen Ci Lun adalah keponakannya yang amat disayang dan
sudah banyak jasanya terhadap negara dan amat pintar sehingga
seringkali dalam menghadapi perkara-perkara besar, kaisar minta
bertukar pikiran dengan Pangeran itu. Kini Wanyen Ci Lun menyuruh
orang kepercayaannya mengantar gadis Go Hui Lian keluar kota
raja, apalah artinya semua ini? Kaisar tidak mau segitu saja marah
kepada keponakannya, apalagi menyangka yang bukan-bukan. Oleh
karena itu ia lalu berkata kepada penjaga.
"Masukkan dia dalam tahanan menanti pemeriksaan lebih lanjut!"
Seperti Hui Lian, Hong Kin juga digiring keluar dari tempat itu
untuk dimasukkan ke dalam kamar tahanan yang tentu saja terpisah
dari tempat tahanan Hui Lian.
Kaisar memandang lagi kepada See-thian Tok ong yang sabar
menanti sambil tetap duduk bersila.
"See than Tok-ong, kami ulangi, urusan perjodohan dapat
dibicarakan kelak setelah urusan gadis itu diperiksa teliti. Sekarang
tentu usulmu atau permintaanmu yang kedua. Kau menjanjikan
bantuan untuk menjaga keselamat kami, apakah alasanmu?"
Setelah berkata demikian, Kaisar menatap wajah See thian Tok-ong
dengan tajam.
679
"Pertama mengingat bahwa hamba yang berasal dan See-thian
sekarang sudah bertempat tinggal di negara ini maka sudah
sepatutnya kalau hamba menyumbang tenaga dan kepandaian
untuk membalas budi kepada Paduka, kedua kalinya oleh karena
hamba mendengar bahwa bangsa Mongol sudah mengancam
keamanan di negeri ini sedangkan hamba mempunyai permusuhan
dengan orang-orang Mongol maka hamba bersiap untuk membela
kerajaan paduka dari serangan mereka itu."
Kaisar menjadi girang dan tertarik. "Bagaimana kau seorang yang
datang jauh dari barat dapat bermusuhan dengan orang Mongol
yang tinggal jauh di utara?"
Dengan suara tetap dan tenang See-thian Tok-ong menjawab.
"Hamba pernah merantau sampai ke Mongolia dan di sana hamba
menerima penghinaan dari mereka, bahkan hampir saja hamba
terbunuh kalau saja hamba tidak berkepandaian."
Kaisar mengangguk-angguk. Orang ini boleh dipakai, pikir Kaisar.
Hanya yang masih meragukan, apakah benar-benar kepandaiannya
tinggi dan sampai di mana kesetiaannya.
"Wie-ciangkun, apakah kau sudah melihat bagaimana kepandaian
dari See-thian Tok ong ini? Sampai di manan tingkatnya dan
pangkat apakah pantasnya bagi seorang berkepandaian seperti
dia?"
Liok-te Mo-ong Wie It tidak saja sudah kenal baik nama besar
See-thian Tok-ong seanak isteri yang sudah menggegerkan dunia
kang-ouw dan bahkan sudah memhasmi partai besar dan disegani
seperti Im-yang-bu-pai, akan tetapi juga sudah menyaksikan sendiri
kehebatan ilmu kepandaiannya tiga orang aneh dari barat itu. Maka
ia pun tahu bahwa di antara semua pengawal dt istana, tak seorang
pun dapat menandingi kepandaian kakek gundul mi.
"Menurut pendapat hamba yang bodoh, kalau ada pangkat yang
tepat bagi See-than Tok-ong Locianpwe, maka pangkat itu hanya
kepala seluruh pengawal."
Kaisar kelihatan tercengang dan menoleh kepada See-than Tokong
untuk memandang penuh perhatian. Pengangkatan kepala
pengawal istana apalagi kepala seluruh pengawal bukanlah hal yang
680
remeh dan tidak mungkin pangkat tertinggi bagi pengawal Kaisar
diserahkan kepada sembarang orang begitu saja tanpa mengenaI
baik-baik siapa orangnya.
Pada saat itu terdengar seruan keras sekali,
"Kaisar lalim mampuslah kau!"
Seruan ini disusul oleh berkelebatnya lima bayangan orang yang
gerakannya luar biasa cepatnya. Bayangan-bayangan orang ini
masuk ke dalam ruangan dari pelbagai jurusan, yang tiga masuk
dari atas dengan menerobos genteng, yang seorang dari jendela
dan yang seorang lagi dari pintu. Benar-benar hal yang seperti tak
masuk di akal kalau ada lima orang musuh gelap dapat memasuki
istana begitu saja, bahkan dapat masuk ke dalam ruangan sidang
Kaisar tanpa diketahui oleh para penjaga di luar yang berlapis-lapis
dan amat kuat!
See-than Tok-ong mengeluarkan gerengan marah dan tubuhnya
yang tadi bersila, kini tiba-tiba melompat ke atas dan kedua
tangannya sudah memegang sepasang senjatanya yang
mengerikan, yakni Ngo-tok Mo-jiauw (Cakar Setan Lima Racun) dan
secepat kilat ia menerjang dua orang lawan yang sudah
mengeluarkan pedang masing-masing untuk menyerang Kaisar.
Kwan Ji Nio mengeluarkan jeritan nyaring, tahu-tahu tubuhnya
sudah melesat ke depan Kaisar, membelakangi kaisar dan tangan
kirinya menyambar sebatang piauw yang tadinya melayang ke arah
Kaisar, sedangkan tangan yang memegang ranting digerakkan cepat
menyampok runtuh dua batang piauw lain. Kemudian ia
menghadapi seorang penyerbu dan segera mereka bertempur
sengit.
Juga Kwan Kok Sun biarpun biasanya kelihatan tolol dan ayalayalan,
kini nampak sekali bahwa dalam keadaan penting ia
ternyata dapat bergerak luar biasa cepatnya. Entah dari mana
mengambilnya tahu-tahu kedua tangannya sudah memegang ular
kecil warna hitam putih dan ia menerjang seorang penyerbu yang
datang dari jendela. Penyerbu ini mengeluarkan seruan kaget dan
agaknya ngeri menyaksikan senjata aneh akan tetapi ilmu silatnya
tinggi dan dapat menandingi Kwan Kok Sun.
681
Adapun penyerbu yang seorang lagi yang datang dari pintu,
sudah disambut oleh Liok-te Mo-ong Wie It yang dibantu oleh lima
orang panglima pengawal. Mereka ini segera mengeroyok dan
mengepung orang ke lima ini.
Para pengawal yang tadinya berdiri tegak dan gagah di kanan kiri
Kaisar secara otomatis kini sudah mengelilingi Kaisar dan
merupakan pagar hidup yang kokoh kuat melindungi yang
dipertuan. Akan tetapi Kaisar berteriak marah.
"Yang di depanku jongkok! Aku ingin menonton pertempuran!"
Para pengawal yang berada di depan Kaisar lalu memasang
kuda-kuda sambil berjongkok, kaki kiri berjongkok kaki kanan
dilonjorkan ke depan, senjata di tangan dan siap menghadapi segala
kemungkinan. Setelah mereka ini berjongkok Kaisar nampak puas
dan menonton pertempuran hebat yang terjadi di ruang ini„ tangan
kanannya otomatis meraba gagang pedangnya.
Pertempuran ini memang hebat, See-thian Tok ong yang
memegang sepasang Ngo-tok Mo-jiauw dikeroyok oleh dua orang
yang amat lihai ilmu silatnya. Pengeroyoknya adalah dua orang
tinggi kurus yang berjenggot panjang berpakala seperti petani dan
nampaknya lemah. Akan tetapi ternyata ilmu pedangnya amat
ringan dan gesit. Seorang di antara mereka hanya satu telinganya,
yang kanan telah buntung. Yang seorang agak lebih muda
berpakaian serba kuning. Melihat Si Telinga Buntung itu, Kaisar
mengeluarkan seruan marah.
"Penjahat she Siok! Kiranya engkau.”
Si Telinga Buntung itu mengeluarkan suara mengejek. "Kaisar
buto (lalim), bagus sekali kau masih mengenaI aku. Mampuslah
kau!" Tangan kirinya menyambitkan dua butir pelor baja melayang
cepat ke arah Kaisar.
Seorang di antara pengawal di depan Kaisar yang berjongkok,
tiba-tiba meloncat dan dengan gerakan indah sekali berhasil
menangkap dua buah pelor baja itu, lalu berlutut kembali seperti tak
pernah ada kejadian sesuatu. Si Telinga Buntung nampak kaget.
Tak disangkanya bahwa Kaisar ini dilindungi oleh orang-orang
pandai, bahwa pengawal-penga yang kelihatannya tak berisi itu
682
ternyata memiliki kepandaian yang lumayan tingginya. Kemudian ia
terpaksa mengalihkan seluruh perhatiannya kepada See-thian Tokong
yang bukan main-main itu.
Si Telinga Buntung yang oleh Kaisar dikenal sebagai orang she
Siok ini sebetulnya adalah Siok Hoat yang berjuluk Thian-sin
(Malaikat Langit) dan dahulu menjadi kepala pengawal dari Kaisar.
Kumudian datang Liok-te Mo-ong Wie It yang kepandaiannya tinggi
dan setingkat dengan Siok Hoat. Karena Wie It menjadi
kepercayaan Kaisar dan diangkat menjadi komandan Kim-i-wi, diamdiam
antara Siok Hoat dan Wie It timbul persaingan. Siok Hoat telah
beberapa lama mengadakan hubungan gelap dengan seorang siuli
dan pada suatu hari ia ditangkap dan oleh Kaisar dijatuhi hukuman
potong telinga dan diusir dari kota raja dengan dakwaan telah
bermain gila dengan siuli dan karenanya berarti mengotori istana
dan menghina Kaisar!
Setelah Siok Hoat diusir, Liok-te Mo-ong Wie It diangkat menjadi
kepala pengawal. Semenjak itu, sudah hampir sepuluh tahun yang
lalu, orang tidak mendengar lagi tentang nasib Siok Hoat. Padahal
diam-diam bekas komandan pengawal ini telah melatih diri dan
mengadakan hubungan dengan orang-orang yang mempunyai
perasaan anti Kaisar. Dan pada hari itu, dengan empat orang
kawannya yang berkepandaian tinggi, ia berhasil memasuki istana
secara diam-diam untuk melakukan percobaan membunuh kepada
Kaisar. Sudah barang tentu ia mendapat bantuan dari para matamata
yang menyelundup sebagai pengawal dan orang-orang
penting di dalam istana, kalau tidak demikian, tak mungkin ia dan
kawan-kawannya dapat memasuki istana tanpa diketahui para
penjaga.
Yang dihadapi See-thian Tok ong adalah Thian-sin Siok Hoat
sendiri dan seorang kawannya, yakni seorang tosu (pendeta
penganut aliran Too yang berambu panjang) bernama Swi Tok Saiong.
Tosu ini adalah seorang pendeta perantau dari Pegunungan
Go-bi-san dan ilmu silatnya juga berdasarkan Ilmu Silat Go-bo pai,
hanya sudah banyak berubah karena sesungguhnya dia bukanlah
murid aseli dan Go-bi-pai. Swi Tok Sai-ong adalah seorang tokoh
dan golongan Mo-kau atau yang lajim disebut agama sesat oleh
para tokoh agama lain seperti Agama Buddha, Agama To, dan para
683
pemua Kwan lm dan lain-lain. Seperti Siok Hoat, tosu atau sai-kong
ini pun seorang ahli bermain pedang dan bersama Thiansin Siok
Hoat ia mencoba untuk mendesak See thian Tok-ong.
Namun See-thian Tok-ong bukanlah manusia sembarangan. Ilmu
silatnya sudah mencapai tingkat yang Iebih tinggi laripada ahli-ahli
silat lainnya, bahkan dia memiliki beberapa keistimewaan yang
sesuai dengan julukannya, yakni Tok-ong (Raja Rucun). Sepasang
senjatanya saja, yakin Ngo-tok Mo-jiauw sudah mengerikan. Lima
buah kuku panjang dan setiap jari tangan cakar setan ini terdiri dari
lima warna dan mengandung lima macam racun yang amat
berbahaya. Sekali saja terkena cakaran dan terluka sampai
mengeluarkan darah oleh sebuah dt antara lima kuku ini, orang
akan tewas. Setiap kuku mendatangkan maut yang berlainan akan
tetapi sukar dikatakan mana yang paling mengerikan. Kuku ibu jari
saja kalau melukai orang, korban itu akan berkelojotan, seluruh
tubuh terasa panas-panas seperti terbakar dan dalam waktu paling
lama sepeminuman teh orang itu akan tewas dengan tubuh menjadi
hangus menghitam! Dan kuku kelingking sebaliknya yang terkena
akan menggigil kedinginan dan dalam waktu yang sama akan tewas
dalam keadaan tubuh membeku dan kaku, kulit menjadi biru
menakutkan.
Biarpun dikeroyok dua oleh ahli-ahli silat tinggi yang gerakannya
kuat dan cepat, See-thian Tok-ong tidak gentar. Ia tidak terdesak,
sebaliknya sepasang cakar setannya setiap saat mengincar nyawa
kedua lawannya dan pertempuran itu berjalan mati-matian sampai
lima puluh jurus lebih. See-thian Tok-ong tidak terdesak akan tetapi
itu pun tidak berani terlalu sembrono dan terlalu bernafsu
menghadapi dua lawan itu, karena dua batang pedang itu bergerak
cepat sekali dan kalau ia terlengah sedikit saja bahaya mengancam
nyawa. Oleh karena kedua pihak bertempur dengan amat hati-hati,
maka pertempuran itu berjalan seru dan lama. Setelah menandingi
Se thian Tok-ong, Siok Hwat dan Swi To Sai-ong terkejut setengah
mati.
Sebagai ahli-ahli berpengalaman, mencium bau yang keluar dari
sepasang cakar setan itu maklumlah mereka bahwa mereka
menghadapi senjata beracun yang hebat. Pula melihat ilmu silat
See-thian Tok-ong yang tinggi, mereka mengeluh sendiri. Tak
684
disangkanya sama sekali bahwa di dekat Kaisar terdapat manusia
semacam ini! Mereka benar-benar merasa bertemu dengan batu
keras.
Memang kalau sekiranya mereka berlima ini hanya dihadapi oleh
pengawal-pengawal yang tingkat kepandaiannya tidak melebihi Liokte
Mo-ong Wie It, biarpun mereka akan mati dikeroyok oleh banyak
pengawal, akan tetapi kiranya mereka pun akan berhasil membunuh
Kaisar. Akan tetapi kini di situ ada See-thian Tok-ong, dan masih
ada dua orang lagi yang kini juga memperlihatkan ketangkasan dan
kelihaiannya, yakni Kwan Ji Nio dan Kwan Kok Sun!
Kwan Ji Nio yang tadi menangkis serangan tiga batang piauw
yang menyambar ke arah Kaisar, bertempur sengit dengan
penyambit piauw, seorang gemuk pendek yang gerakannya gesit
sekali.
Orang gemuk pendek, berusia empat puluh lima tahun, berkumis
tipis dan berkulit muka halus ini adalah Liang Ti kepala rampok di
daerah selatan. Di selatan dia terkenal sekali, apalagi senjatanya
yang berupa pacul dan senjata gelapnya berupa piauw bersayap
(Hui piauw). Dahulu di waktu mudanya. Liang Ti Ek ini adalah petani
maka senjatanya pacul.
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid XXV
KETIKA keadaan negara kacau karena kelemahan Kaisar dan
disana-sini orang-orang jahat merajalela, dusun tempat tinggal
Liang Ti Ek menjadi korban serbuan perampok, Liang Ti Ek adalah
seorang gagah dan berkepandaian tinggi. Seorang diri dengan
paculnya, ia berhasil membasmi perampok-perampok ini sehingga
akhirnya mereka takut dan mengangkatnya menjadi kepala. Melihat
keadaan negara kacau dan para petugas negara tukang korup
besar, Liang Ti Ek meninggalkan dunia sawah-ladangnya dan masuk
ke dunia lok-lim, menjadi kepala rampok. Tadinya memang yang
diganggunya hanya para pedagang dan pembesar yang lewat, akan
tetapi lambat laun, watak anak buahnya yang kasar dan keji rupa685
rupanya menular kepadanya dan dia menjadi kepala rampok tak
pandang bulu dan kejam.
Setelah Hwa I Enghiong Ciang Le tinggal di selatan, Liang Ti Ek
ketakutan dan berpindah-pindah, bahkan ia membubarkan anak
buahnya dan bekerja seorang diri menjadi perampok tunggal.
Kemudian ia bertemu dengan Thian-sin Siok Hoat dan bersahabat.
Demikianlah hari ini ia ikut membantu Siok Hoat untuk membunuh
Kaisar.
Akan tetapi, siapa kira, baru saja memperlihatkan keahliannya
menyambit dengan tiga batang piauw sekaligus ke arah Kaisar,
muncul seorang nenek perkasa yang dengan mudah meruntuhkan
tiga batang piauwnya dan kini bahkan menyerangnya dengan hebat.
Liang Ti Ek memutar paculnya mengerahkan tenaga lweekangnya
untuk mendesak. Namun, alangkah terkejutnya ketika matanya
matanya menjadi berkunang dan ia harus membuka mata lebarlebar
karena kalau tidak demikian, ia mungkin akan kehilangan
lawannya dan tahu-tahu akan menerima pukulan maut. Demikian
cepat gerakan lawannya dan alangkah ringan kakinya bergerak ke
sana ke mari, tanda bahwa ia menghadapi seorang nenek tua yang
memiliki ginkang luar biasa sekali. Maka cepat ia menggerakkan
paculnya dan mainkan ilmu silat yang aneh gerakannya. Tidak
sembarangan ahli silat dapat mainkan alat pertanian ini sebagai
senjata. Kalau orang tidak memiliki dasar ilmu silat tinggi, maka
senjata ini hanya membikin kaku gerakannya dan tak mungkin
menjadi senjata yang ampuh. Akan tetapi, kalau yang mainkan itu
sudah memiliki kepandaian tinggi, apalagi memang sudah berpuluh
tahun Liang Ti Ek berlatih ilmu mainkan pacul, senjata aneh ini amat
berbahaya dan merupakan senjata yang dapat mengimbangi
kelihaian ranting di tangan Kwan Ji Nio.
Pertempuran yang amat ramai dan paling mengerikan hati adalah
pertempuran antara Pouw Bin dan Kwan Kok Sun. Kwan Kok Sun
sebagaimana diketahui adalah seorang pemuda yang berkepala
gundul dan kepandaiannya yang diwarisi dari ayah bundanya yang
kosen, tentu saja amat hebat. Di lain pihak Pouw Bin yang menjadi
lawannya adalah seorang bertubuh tinggi besar dan kepalanya di
tengah-tengah botak kelimis menyaingi kepala Kwan Kok Su. Muka
Pouw Bin menghitam dan mengkilap seperti pantat kwali digosok
686
minyak. Ia berjuluk Thiat touw kang- jiu (Kepala Besi Tangan Baja)
dan kepandaiannya tinggi karena sebetulnya dia adalah sute (adik
seperguruan) dari Thian-sin Siok Hoat bekas kepala itu. Yang
diandalkan adalah ilmu pukulan tangan kosong yang disebut Kangsan-
jiu (Tangan Gunung Baja). Setiap jari tangannya merupakan
senjata seperti batang baja yang kokoh kuat, yang sekali ditusukkan
dapat melubangi tembok. Selain ini, juga julukannya Kepala Besi
bukan tidak ada artinya. Kepalanya yang botak itu bukan karena
penyakit juga bukan sengaja botak, melainkan akibat daripada
latihan lweekang dengan kepalanya. Dari kulit kepalanya yang botak
ini kalau dipergunakan keluar hawa pukulan yang dahsyat dan
sudah banyak sekali lawan yang ia robohkan dengan benturan
kepalanya yang lihai.
Tadinya Pouw Bin memandang rendah kepada Kwan Kok Sun,
akan tetapi setelah pertandingan berlangsung beberapa belas jurus,
bukan main kagetnya melihat bahwa sepasang ular hijau di tangan
pemuda gundul itu benar-benar amat berbahaya. Sepasang ular itu
dimainkan oleh Kok Sun seperti orang mainkan senjata ruyung
lemas (joan-pian) dan bahkan jauh melebihi joan-pian bahayanya.
Kalau orang terkena pukulan joan-pian, asal memiliki tenaga
lweekang dan pernah melatih diri dengan ilmu kebal, paling banyak
hanya terluka. Akan tetapi, sekali saja kena sabetan ular hijau ini
berarti terkena gigitan dan racunnya. Betapapun kebal seseorang,
betapapun lihai lweekangnya asal darah sudah dimasuki racun ular
ini, celakalah dia! Oleh karena itu Pouw Bin yang berlengan besi
tidak berani mengadu lengannya dengan ular-ular itu, sebaliknya
Kwan Kok Sun juga tidak berani mengadu ularnya dengan sepasang
lengan yang demikian keras dan kuat. Melihat tangan yang
mengeluarkan cahaya kehitaman itu saja maklumlah Kok Sun bahwa
lawannya memiliki sepasang tangan rang sudah dilatih secara hebat.
Adapun orang ke lima adalah Pouw Sin, berjuluk Siang-sin-to,
atau Sepasang Golok Sakti. Orangnya kurus kecil, dia ini adik dari
Pouw Bin, juga sute dari Siok Hoat. Sesuai dengan julukannya,
sepasang goloknya jarang menemui tandingan. Tadi, ia disambut
oleh Liok-te Mo-ong Wie It. Kalau saja Wie It maju seorang diri,
kiranya ia takkan dapat menang melawan Siang-sin-to Pouw-Sin.
Baiknya ia maju dengan bantuan Bu Tong busu tinggi besar itu dan
687
empat orang busu lain. Dengan berenam ia mengeroyok Siang-sinto
Pouw Sin. Pouw Sin menggerakkan sepasang goloknya lihai
sekali. Baru belasan jurus saja sudah ada dua orang busu yang
terluka dan terpaksa mengundurkan diri dari kalangan pertempuran.
Melihat ini, dua orang busu lain yang lebih lihai menggantikan
mereka dan kini Liok-te Mo ong Wie It yang melihat cara lawan ini
bersilat golok memberi aba-aba untuk mengeroyok dari jauh,
mempergunakan serangan bertubi-tubi dan bergiliran secara teratur.
Benar saja, Pouw Sin kewalahan sekali dan kini ia terdesak hebat.
Tiba-tiba terdengar pekik mengerikan dan tubuh Kwan Kok Sun
terlempar membentur dinding di belakangnya. Sebaliknya, lawannya
Pouw Bin Si Kepala Baja terhuyung-huyung. Dialah yang memekik
tadi dan mencoba dengan tangan kirinya untuk membetot seekor
ular hijau yang menggigit pergelangan tangan kanannya. Akan
tetapi sebelum ia berltasil membetot, racun ular itu telah menjalar
ke dalam tubuh menyerang jantungnya dan ia roboh binasa,
mukanya menjadi hijau sekalI. Bagaimana Kwan Kok Sun sampai
terlempar jauh? Tadi ketika pemuda gundul ini menjadi gemas
karena sudah tiga puluh jurus belum juga ia dapat mengalahkan
lawannya, lalu menyimpan seekor ularnya di dalam saku dan
sebaliknya mengeluarkan sebuah bungkusan kecil yang segera
dimasukkan ke dalam mulutnya! Tak lama kemudian sambil
mengeluarkan bentakan nyaring dari mulutnya menyambar uap
hitam ke arah Pouw Bin. Inilah obat tadi yang dikeluarkan dengan
saluran hawa lweekang. Kalau bukan Kok Sun putera Si Raja Racun,
tentu saja tidak berani memasukkan bubuk racun hotam ke dalam
mulutnya! Pouw Bin terkejut dan cepat sekali ia menggerakkan
tubuh mengelak, akan tetapi hawa beracun itu masih menguasainya
ketika hidungnya mencium bau racun itu, membuat pandangan
matanya untuk sedetik berkunang. Ia cepat menyalurkan hawa
murni untuk mengusir pengaruh ini, akan tetapi pada saat itu, Kok
Sun tidak membuang kesempatan baik, menyerang dengan ularnya
yang masih seekor berada di tangannya. Ular menyambar ke arah
leher Pouw Bin. Tiat-thouw-kang-jiu Pouw Bin pada saat itu sudah
sadar kembali dari pengaruh bau busuk racun hitam. Telinganya
mendengar sambaran hawa pukulan kawan. Maklum bahwa tidak
ada jalan lain untuk menangkan pertandingan itu selain mengadu
688
nyawa, ia cepat mengulur tangan menangkap leher ular dan
berbareng ia menggunakan kepalanya menyeruduk ke depan, ke
arah perut Kwan Kok Sun.
Akibatnya hebat! Kok Sun kena diseraduk sampai terpental jauh
dan menubruk dinding. Dinding itu jebol dan Kok Sun roboh akan
tetapi bocah gundul ini hanya kaget saja, di dalam perut dan
dadanya tidak terluka! Sebaliknya, Pouw Bin tak dapat mengelak
lagi ketika ular yang dipegang
terlalu tengah itu membalikkan
kepalanya dan menggigit
pergelangan tangannya,
mengakibatkan Si Kepala Besi
Tangan Baja ini roboh binasa.
Ular itu pun hancur perutnya
karena cengkeraman tangan
baja Pouw Bin, berberkelojotan
dan tak lama kemudian mati
bersama korbannya.
Kematian Pouw Bin
melemahkan hati kawankawannya,
terutama sekali Liang
Ti Ek yang sudah didesak matimatian
oleh Kwan Ji Nio.
Sebaliknya Kwan Ji Nio dan juga See-thian Tok-ong merasa
penasaran dan gemas sekali kepada lawannya karena Kwan Kok
Sun tertawa-tawa sambil mengejek ayah bundanya.
"Ha, ha, ha, Ayah dan Ibu sudah tua sekarang, Tidak bisa lekas
merobohkan lawan. Ha, ha, ha!"
Kwan Ji Nio memekik keras dan tiba-tiba tubuhnya mumbul di
atas melalui kepala lawannya dan sebelum Liang Ti Ek hilang
kagetnya, ranting di tangan nyonya kosen itu telah meluncur dari
atas, bukan ditusukkan melainkan disambitkan. Inilah serangan
paling lihai dari Kwan Ji Nio dan jarang ada yang dapat selamat dari
serangan ini. Liang Ti Ek menjarit, paculnya melesat ke arah Kaisar!
Seorang pengawal mengangkat toya dan memukul pacul itu runtuh
di atas lantai, adapun Liang Ti Ek sendiri roboh binasa dengan
689
kepala berlobang, di mana menancap ranting yang disambitkan oleh
Kwan Ji Nio tadi!
Melihat suaminya belum juga dapat merobohkan dua orang
lawannya yang memang paling lihai di antara lima orang itu, Kwan
Ji Nio mencabut ranting dari kepala lawannya, lalu sekali berkelebat
ia telah membantu suaminya menghadapi Swi Tok Sai-ong.
Terpaksa tosu dari Pegunungan Gobi ini meninggalkan See- thian
Tok-ong menghadapi Kwan Ji Nio yang amat gesit gerakannya itu.
Setelah See-thian Tok-ong menghadapi Thian-sin Siok Hoat
seorang, Raja Racun dari Barat ini mengeluarkan seruan ketawa
yang menyeramkan, sepasan Ngo-tok Mo-jiauw di tangannya
bergerak makin cepat dan di lain gebrakan robohlah Siok Hoat tanpa
bernapas lagi. Ngo-tok Mo-jiauw mendapat korban baru!
Melihat ini, kuncup hati Swi Tok Sai-ong sehingga tanpa malumalu
lagi ia menjatuhkan diri berlutut sambil berseru keras mintaminta
ampun kepada Kaisar. Akan tetapi dibarengi dengan suara
ketawa nyaring dari Kwan Ji Nio, di lain saat ia terjengkang roboh
tak bernyawa. Dadanya berlubang ditembus ranting di tangan nenek
itu!
Kini tinggal seorang lagi yang masih melawan dikeroyok oleh
Liok-te Mo-ong Wie It dan kawan-kawannya. Keadaannya juga
sudah amat terdesak dan melihat betapa empat orang kawannya
sudah tewas, orang terakhir ini, yaitu Siang-sin-to Pouw Sin,
menjadi gentar bukan main. Jalan keluar ke arah hidup sudah tidak
ada lagi dan ia maklum bahwa ia pun sebentar lagi akan menerima
nasib seperti empat orang kawannya. Timbul sifat pengecut dalam
hatinya dan sambil melompat ke luar dari kalangan, Pouw Sin
melempar golok menjatuhkan diri berlutut dan minta-minta ampun!
Wie It yang sudah merasa gemas dan malu sejak tadi belum juga
dapat merobohkan lawan yang dikeroyok, tidak mempedulikan
permintaan ampun ini dan hendak membunuhnya dengan pedang.
Tiba-tiba terdengar suara Kaisar.
"Wie lt, jangan bunuh dia. Bawa dia ke sini!"
Terpaksa Wie It mengurungkan niatnya membunuh Pouw Sin dan
menyeret tawanan itu pada rambutnya kemudian membantingnya di
690
depan kaki Kaisar yang kini sudah tidak dikurung lagi oleh para
pengawal pribadinya. Pouw Sin tidak berani memandang muka
Kaisar dan berlutut sambil membentur-benturkan jidatnya pada
lantai.
"Siapa namamu?" tanya Kaisar. Biar pun suara Kaisar halus dan
tidak kasar seperti biasa suaranya pembesar tinggi yang
memandang hina kepada kalangan rakyat kecil, namun suara ini
amat berpengaruh dan membuat tubuh Pouw Sin yang
berkepandaian tinggi menggigil.
"Hamba yang rendah bernama Pouw Sin."
"Apa alasanmu kau dan kawan-kawanmu datang dan berdaya
untuk membunuh Kaisar?"
"Hamba... hamba hanya disuruh...." jawab Pouw Sin gagap.
"Hm, siapa dia yang menyuruhmu?"
Muka Pouw Sin nampak kaget dan seakan-akan ia menyesal telah
bicara terus terang. Akan tetapi ia dapat menetapkan hatinya dan
menjawab.
"Yang menyuruh dan mengajak hamba adalah Thian-sin Siok
Hoat. Dialah yang mempunyai rencana pembunuhan ini. Hamba
hanya ikut-ikutan saja, mohon Paduka sudi mengampuni hamba...."
"Bohong'" Kaisar membentak. Kaisar bukanlah seorang bodoh
dan ia tahu bahwa di dalam pengakuan ini terletak kebohongan.
Tahu pula bahwa Pouw Sin agaknya takut akan sesuatu kalau
membuat pengakuan sebenarnya. "Kau akuilah sejelasnya, baru
kami mau memperhatikan ampunan untukmu. Kalau tidak mengaku
kau akan dihukum siksa sampai mati"
Pouw Sin makin ketakutan. Ia menoleh ke kanan kiri, kemudian
terpaksa mengaku juga.
"Sebetulnya hamba berlima... hamba berlima hanya menjalankan
perintah...."
"Perintah siapa"
"Perintah dari... bengcu...."
691
Kaisar nampak terkejut. Bengcu adalah kepala atau ketua
perhimpunan besar, tentu yang dimaksud oleh Pouw Sin adalah
ketua dari dunia kang-ouw. Akan tetapi sepanjang Kaisar
mengetahui, pemilihan bengcu belum dilakukan, bagaimana sudah
ada seorang bengcu baru?
"Bengcu mu ini... ketua apakah?" tanya Kaisar.
"Belum lama ini perkumpulan-perkumpulan besar persilatan,
yakni Im-yang-bu-pai, Bu-cin-pang, Kwan-cin-pai, Shan-si-Kaipang,
dan Twa-to-bu-pai telah memilih seorang bengcu di puncak
Pegunungan Tai-hang. Bengcu baru inilah yang mengutus hamba
berlima.... mohon ampun, Tuanku...."
"Siapa bengcumu itu? Siapa namanya?"
"Namanya adalah Li...." Tiba- tiba menyambar turun sinar putih
ke arah Pouw Sin. See-thian Tok-ong dan Kwan-Ji Nio cepat
menggerakkan tangan mengibas sinar ini. Empat sinar dapat di
tangkis oleh See-thian Tok-ong, dua oleh Kwan Ji Nio. Akan tetapi
yang sebuah lagi terlalu cepat sehingga tahu-tahu sudah menancap
di leher Pouw Sin yang menjerit keras dan roboh berkelojotan
kemudian mati!
See-thian Tok-ong dan isterinya melompat memandang keluar
dan melihat bayangan seorang busu muda yang tampan wajahnya
melarikan diri cepat sekali.
"Pembunuh. jangan lari!" teriak See-thian Tok-ong akan tetapi
tanpa mengeluarkan suara, Kwan Ji Nio sudah mendahului
suammya mengejar bayangan itu.
Geger di ruangan persidangan. Kaisar memberi perintah supaya
para mayat diurus, tempat itu supaya dibersihkan, kemudian
mengundurkan diri, terlalu lelah menghadapi peristiwa-peristiwa
yang menegangkan itu dan tidak beristirahat. Dia masuk diiringkan
oleh para siuli dan semerbaklah bau harum ketika rombongan suili
ini berjalan dengan lenggang-lenggok lemas dan ayu. Dapat
dibayangkan betapa girangnya hati para siuli ini mendapat
kesempatan mengundurkan diri karena tadi mereka sudah setengah
mati takutnya menghadapi pertempuran dan pembunuhan yang
mengerikan hati mereka yang lemah.
692
Biarpun Kwan Ji Nio memiliki gingkang luar biasa, akan tetapi
ternyata orang yang dikejarnya itu pun cepat sekali gerakannya.
Kalau mereka berkejaran di tanah datar dan tempat terbuka, sudah
dapat chpastikan Kwan Ji Nio akan dapat menyusulnya segera,
karena jarang ada orang dapat menandingi kecepatan lari nyonya
ini. Akan tetapi, orang yang berpakaian busu ini agaknya sudah
hapal dan kenal baik jalan-jalan di lingkungan istana, sedangkan
bagi Kwan Ji Nio tempat ani adalah tempat asing, maka enak saja
busu yang dikejar itu membelok ke sana-sini membingungkan hati
Kwan Ji Nio. See-thian Tok-ong yang dalam berlari cepat kalah oleh
isterinya, tertinggal jauh.
Setelah Kwan Ji Nio akhirnya dapat juga mcnyusul dan jarak
antara dia dan orang yang dikejarnya tinggal beberapa tombak lagi,
tiba-tiba orang itu membalikkan tubuh dan mengayun tangannya.
Sinar putih berkeredepan menyambar ke arah Kwan Ji Nio. Jumlah
senjata rahasia yang ternyata adalah gin ciam (jarum-jarum perak)
itu ada tiga belas banyaknya, menyerang tiga betas jalan darah di
tubuh Kwan Ji Nio, luar biasa bahayanya! Kwan Ji Nio sampai
mengeluarkan suara keras saking kagetnya. Ia cepat
mempergunakan ginkangnya untuk mengelak sambil menyampok
jarum-jarum itu, akan tetapi tetap saja pundaknya terkena tusukan
sebatang jarum yang mendatangkan rasa sakit dan gatal-gatal!
Kwan Ji Nio kiranya tak patut menjadi isteri See-thian Tok-ong
kalau ia tak tahu apa artinya ini! Sebagai isteri dari See-thian-Tokong
Si Raja Rarun dari Barat tentu saja ia tahu seketika itu juga
bahwa ia telah terkena jarum beracun yang jahat sekali. Terpaksa ia
mengerahkan hawa dalam tubuh, berdiri tegak, mengambil obat
penawar segala racun dari dalam saku bajunya. Pada saat itu,
suaminya juga tiba di situ, maka suami ini lalu mengobati luka
isterinya yang biarpun kecil saja namun amat berbahaya itu. Ia
mencabut jarumnya dan menyimpan jarum itu di kantongnya, lalu
diobatinya luka itu. tentu saja mereka tak melihat lagi bayangan
orang yang mereka kejar.
"Kau kenali dia?" tanya suaminya.
693
Kwan Ji Nio mengerutkan alisnya. “Bentuk tubuhnya seperti Si
Setan Kong Ji akan tetapi mukanya dirobah dengan abat bubuk,
maka muka itu menjadi kedok. Siapa bisa mengenalinya?"
See-thian Tok-ong mengangguk-angguk. "Memang mungkin
sekali setan cilik itu. Kalau tidak, siapa pula orangnya yang dapat
mempergunakan jarum-jarum macam ini?"
"Kalau benar dia, mengapa dia melukai aku?" tanya Kwan Ji Nio
penasaran
"Dia orang cerdik, tentu tahu bahwa kau takkan mati oleh
jarumnya. Akan tetapi kalau betul dia, aku mengerti...."
"Sudahlah, dari dulu juga aku bilang tak perlu bekerja sama
dengan setan cilik itu. Lebih baik kita bekerja sendiri, bukankah kita
ada harapan memperoleh kedudukan tinggi di istana?" kata Kwan Ji
Nio.
Sementara itu para pengawal yang ikut mengejar sudah tiba di
tempat itu. Kwan Ji Nio dan suaminya tentu saja tidak sudi
menyatakan bahwa Kwan Ji Nio terluka, hanya menyatakan
menyesal tak dapat menangkap orang itu.
"Dia berpakaian busu dan agaknya kenal baik tempat ini. Dia
membelok ke sana ke mari dan kami menjadi bingung ke mana
harus mengejar," kata See-thian Tok-ong dan Kwan ji Nio. Beramairamai
mereka lalu kembali ke dalam istana.
"Menurut perintah Hongsiang, Jiwi locianpwe suarni isteri dan
putera dipersilakan mengaso di dalam bangunan yang sudah
disediakan untuk Sam-wi (Tuan Bertiga). Kelak Hongsiang akan
memanggil Sam-wi menghadap, karena sekarang Hongsiang sendiri
sedang mengaso setelah nienghadapi perastiwa-peristiwa yang
hebat tadi," kata Liok-te Mo-ong Wie It kepada See-thian Tok-ong.
Maka diantarlah ayah ibu dan anak yang kosen itu ke dalam
sebuah bangunan di antara kompleks perumahan istana. Ternyata
bangunan ini merupakan gedung kecil yang indah dan mewah
sekali, lengkap dengan para pelayan laki-laki wanita! Tentu saja
Kwan Ji Nio menjadi girang bukan main, demikian pula Kwan Kok
Sun. Ibunya girang karena seperti wanita-wanita lain, ia senang
694
tinggal di rumah yang indah dan lengkap, adapun Kok Sun girang
melihat bahwa di antara para pelayan banyak terdapat gadis-gadis
yang cantik. Di lain pihak, See-thian Tok-ong menghadapi semua ini
dengan sikap acuh tak acuh. Memang dia seorang luar biasa dan
aneh yang lain dari pada manusia biasa. Baginya tidur di dalam
kamar indah atau di atas padang rumput, sama saja. Makan lima
kali sehari atau lima hari sekali pun sama juga'
"Wanyen Ci Lun, tentang pemuda bernama Coa Hong Kin itu oleh
karena memang dia orang kepercayaanmu, tentu saja sekarang
juga boleh dikeluarkan dan dibebaskan dari tahanan. Akan tetapi,
sungguh aku tidak mengerti sama sekali mengapa kau membela
seorang gadis seperti Go Hui Lian yang kau tahu adalah seorang
pemberontak. Hm, kalau kau bukan keponakanku yang kupercaya
penuh, tentu aku akan bercuriga kepadamu, Wanyen Ci Lun"
Demikianlah kata-kata Kaisar kepada Pangeran Wanyen Ci Lun
ketika dua orang ini mengadakan pertemuan dan bercakap-cakap di
dalam kamar kaisar, hanya dijaga oleh beberapa orang selir kaisar
yang dapat dipercaya penuh. Memang, begitu menerima kabar
bahwa Hong Kin dan Hui Lian ditangkap, Wanyen Ci Lun terus saja
mengunjungi kaisar antuk memintakan pembebasan bagi orang
muda itu.
Kini mendengar kata-kata kaisar, pangeran itu menjawab.
"Bahwa Go Hui Lian seorang pemberontak ini hanyalah fitnahan
belaka. Gadis itu datang ke kota raja untuk mencari Ayah Bundanya
yang pergi merantau. Baru saja tiba di kota raja, ia diangkap.
Apakah buktinya bahwa dia memberontak? Bahwa dia pernah
bertemu dengan Temu Cin bukan alasan bahwa dia memberontak.
Pada saat seperti sekarang ini, lebih baik menjadikan orang-orang
gagah sebagai kawan daripada sebagai lawan. Go Hui Lian adalah
seorang pendekar wanita gagah perkasa, apa pula Ayah Bundanya.
Kalau kita membaiki Nona ini dan dengan perantaraan Nona ini kita
dapat pula menarik tangan Ayah Bundanya, bukankah itu sama
halnya dengan memperkuat kedudukan kita sendiri? Harap saja
Hongsiang berpikir baik-baik sebelum menjatuhkan hukuman
kepadanya."
695
Kaisar mengangguk-angguk dan ia cepat mengerti akan maksud
keponakannya yang terkenal cerdik sekali ini.
"Akan tetapi dia diminta oleh Kwa Kok Sun dan gadis itu tidak
mau, bukankah hal ini akan menimbulkan kerepotan saja?" tanya
Kaisar.
Wanyen Ci Lun mendengarkan kata-kata ini dengan hati kecut,
akan tetapi ia tersenyum. "Hal ini adalah urusan pribadi, biarlah
diselesaikan di antara mereka sendiri. Bagi kita pokoknya asal
semua orang gagah membantu itulah yang terbaik. Hamba
mendengar bahwa tak lama lagi di Puncak Ngo-heng-san akan
diadakan pemilihan bengcu baru dari seluruh partai besar di dunia
kang-ouw. Hal ini amat kebetulan dan tepat dengan rencana kita
memperkuat kedudukan kerajaan dan untuk membuat persiapan
menghadapi serbuan dan ancaman orang orang Mongol. Hongsiang
dapat memberi tugas kepada See-thian Tok-ong bertiga untuk
menarik kawan-kawan yang berkumpul di sana agar suka
membantu memperkuat kota raja, dan alangkah baiknya kalau saja
bengcu baru yang didapat kita tarik! Dengan adanya bantuan
bengcu yang berarti seluruh orang gagah di dunia membantu kita,
apalagi yang kita takuti? Biarkan bangsat- bangsat Mongol datang
menyerbu, kita tak usah takut!"
Girang hati Kaisar mendengar ini dan kembali menganggukangguk.
"Ci Lun, kau hebat. Baiklah diatur seperti yang kauusulkan itu."
"Di samping bertugas menarik kawan, juga See-thian Tok-ong
sekalian bertugas mengawasi dan mengawal Nona Go Hui Lian dan
Hong Kin di dalam perjalanan ke Ngo-heng-san," kata pula
Pangeran Wanyen Ci Lun.
Kaisar nampak tercengang. "Apa? Apakah kau hendak
membebaskan Go Hui Lian dan mengirim ke Ngo-heng-san pula?”
"Kalau Hongsiang memberi ijin, demikianlah. Akan hamba atur
sebaiknya hingga Nona itu percaya kepada kita dan suka
membantu, dan hamba akan membujuknya agar supaya dia
berusaha menarik Ayah Bundanya pula untuk memperkuat barisan
pertahanan kita. Siapa pula yang lebih cepat selain Nona Go Hui
696
Lian untuk menarik bantuan Hwa l Enghiong Go Ciang Le dan
isterinya?"
"Bagaimana kalau dia berkhianat?"
"Hamba yang menanggung, Pula, hamba juga memata-matainya,
yakni dengan adanya Hong Kin yang mengawalnya.” Setelah
berhenti sebentar, pangeran itu berkata lagi, sinar matanya
mengandung penuh rahasia, "Bahkan ada sebuah rahasia hamba
yang hendaknya jangan sampai tersiar, hamba sendiri diam-diam
akan mengunjungi Ngo-heng-san.”
Kaisar kaget dan memegang lengan keponakannya, “Ci Lun, apa
kau gila? Perjalanan ke Ngo-heng-san jauh sekali. Dan pula kau
tahu betapa banyak orang yang membenci kita, kalau mereka itu
tahu bahwa kau Pangeran Wanyen Ci Lun, bukankah itu berarti kau
akan menghadapi malapetaka besar?"
"Harap Hong Siang jangan khawatir, Hamba menyamar sebagai
rakyat biasa. Hamba perlu pergi sendiri untuk melihat keadaan dan
juga untuk melihat apakah rencana kita berjalan baik."
Akhirnya Kaisar setuju karena bukankah semua urusan itu
dilakukan untuk menyelamatkan kerajaan? Demikianlah, di dalam
kamar tahanan masing-masing ditempatkan berlainan akan tetapi
pada waktu yang bersamaan, Hui Lian didatangi penjaga yang
mengantarkan pedang dan buntalan pakaiannya demikian pun Coa
Hong Kin. Keduanya tentu saja terheran-heran, akan tetapi penjaga
hanya memberitahu bahwa mereka ditunggu di luar ruangan
tahanan oleh penolong mereka.
Ketika Hui Lian hendak keluar, tiba-tiba seorang laki-laki
memasuki kamar tahanan itu dan ketika Hui Lian mengangkat
muka, gadis ini hampir saja mengeluarkan seruan kaget dan hampir
saja bibirnya berseru. "Wan Sin Hong!" Baiknya ia teringat bahwa
yang dihadapinya, biarpun segalanya serupa benar dengan Sin
Hong, namun mata Sin Hong tidak begitu tua birunya dan pula
pakaian orang ini menunjukkan bahwa ia berhadapan dengan
Pangeran Wanyen Ci Lun! Maka Hui Lian segera menjura dengan
hormat, lalu berkata mendahului pangeran itu.
697
"Kalau hamba tidak salah duga tentu kali ini pun Siauw-ongya
yang menolong hamba."
Dengan kedipan matanya, Wanyen Ci- Lun mengusir penjaga dari
ruangan tahanan itu, kemudian ia menghadapi Hui Lian dengan
senyum di bibir.
"Ah, Nona. Kau terlalu sungkan. Kau seorang dara perkasa yang
berhati bersih gagah, mana boleh dijadikan orang tahanan? Kau
jangan berkecil hati. Kaisar melakukan hal ini hanya karena
mendengar laporan busu saja dan juga para busu itu salah sangka
terhadapmu, Nona."
"Sesungguhnya Ongya seorang bijaksana di istana ini. Kalau tidak
ada Ongya, tentu hamba mengalami banyak kesulitan," kata pula
Hui Lian.
Wanyen Ci Lun maju selangkah, lalu berkata dengan suara agak
gemetar. "Nona Go Hui Lian, biarlah aku bicara empat mata
denganmu dengan sejujurnya. Bicara dengan seorang gagah seperti
engkau tak perlu menyembunyikan sesuatu, Nona. Ketahuilalt, terus
terang aku mengaku bahwa aku amat kagum kepadamu. Baik
melihat wajahrnu maupun melihat sikap atau watakmu, terutama
sekali karena kepandaianmu yang tinggi. Aku kagum dan
memujamu, Nona, dan karena aku suka main kartu terbuka, besar
sekali hasratku untuk menarik diri-mu dalam istanaku dan menjadi
teman hidupku untuk selamanya! Nah, aku sudah membuka isi
hatiku, Nona. Harap kau tidak marah dan secara terus terang pula
aku mengharapkan jawabanmul"
Seketika pucat wajah Hui Lian mendengar ini. Benar-benar
merupakan satu hal yang mengejutkan baginya, hal yang
mendebarkan hati dan memalukan. Hanya sedetik mukanya pucat
kemudian terganti warna merah sampai ke leher dan telinganya.
Bukan main Pangeran ini. Bicara begitu terbuka tanpa tedeng aling
aling, sedikit pun tidak malu atau sungkan-sungkan mengutarakan
isi hati seperti itu.
"Bagaimana, Nona? jawablah sebelum kita menemui Hong Kin."
Wanyen Ci Lun mendesak sambil senyumnya masih ramah menarik.
698
"Ini... ini…. hamba tidak tahu... ah bagaimana harus hamba
jawab? Hamba sedikit pun tak pernah berpikir tentang perjodohan,
Siauw-ongya. Hamba... tak dapat menjawab."
Wanyen Ci Lun maklum bahwa gadis ini merasa malu-malu dan
memang sukarlah bagi seorang gadis baik-baik untuk menjawab
pertanyaannya yang dipandang dari sudut kesopanan, boleh juga
dianggap kurang ajar itu. Akan tetapi ia telah berterus terang, tak
baik mengandung dendam asmara secara sembunyi-sembunyi.
"Baiklah, kau boleh menjawab lain waktu, Nona. Sekarang mari
kita menjumpai Hong Kin di luar."
Akan tetapi baru saja mereka keluar dari kamar tahanan nu,
Hong Kin telah berlutut di depan pintu kepada Pangeran Wanyen Ci
Lun. Merah muka Hui Lian dan Pangeran itu memandang kepada
Hong Kin yang berlutut dengan kening berkerut.
"Hong Kin, kau... kau di sini?”
"Hamba setelah dikeluarkan oleh penjaga mendengar suara
Paduka lalu menghampiri ke sini, akan tetapi melihat Ongya sedang
bercakap-cakap, hamba tidak berani mengganggu," jawab Hong Kin
sambil melirik.
Tanpa bertanya tahulah Pangeran itu dan Hui Lian bahwa Coa
Hong Kin tentu saja mendengar percakapan mereka tadi. Mengingat
akan hal ini, Pangeran itu menjadi merah mukanya.
“Hm, berdirilah dan mari kita ke istanaku untuk berunding
tentang hal yang amat penting bagi kalian."
Berangkatlah tiga orang ini menuju ke gedung di mana Pangeran
Wanyen Ci Lun tinggal. Mereka duduk di ruangan dalam dan
pelayan segera keluar menghidangkan makanan dan minuman
serba mewah. Sambli mempersilakan dua orang muda itu makan
minum, Pangeran Wan-yen Ci Lun mulai membicarakan niatnya
seperti yang tadi ia telah' rundingkan dengan Kaisar.
Akan tetapi pangeran yang amat cerdik ini memutarbalikkan
percakapan yang dirundingkan dengan Kaisar tadi atau lebih tepat
tadi di depan Kaisar ia memutarbalikkan rencananya agar jangan
699
sampai Kaisar mendapat kesan bahwa ia lebih mempercayai Hui
Lian dan Hong Kin daripada See-thian Tok-ong seanak interi.
"Hong Kin dan Go-lihiap," katanya kepada dua orang muda itu,
"Kalian tentu belum mendengar bahwa baru tiga hari yang lalu
hampir saja Kaisar dibunuh oleh lima orang penjahat."
Dua orang muda itu terkejut. Pangeran Wanyen Ci Lun lalu
menceritakan peristiwa itu.
"Nah, karena sudah jelas See-thian Tok-ong dan anak isterinya
berjasa telah menggagalkan mereka itu, Kaisar berkenan menerima
See-thian Tok-ong bertiga menjadi pengawal di dalam istana,
bahkan mengepalai semua pengawal kaisar.”
"See-thian Tok-ong bukan manusia baik-baik!" kata Hui Lian.
"Dia berbahaya, apalagi anaknya, bocah gundul edan itu!" kata
pula Hong Kin.
Wanyen Ci Lun tersenyum. "Memang aku pun sudah berpikir
demikian, akan tetapi setelah mereka memperlihatkan jasa tentu
saja Kaisar mau menerima mereka. Dan sekarang, apakah kalian
suka menolongku? Jangan kira bahwa aku minta balas jasa kalian,
sama sekali bukan. Hanya ketahuilah bahwa tugas yang sekarang
hendak kuserahkan kepada kalian, bukan semata-mata untuk
menolongku, juga bukan semata-mata untuk menolong Kaisar,
melainkan untuk menolong negara dari bahaya."
"Harap Siauw-ongya sudi memberi penjelasan. Sudah tentu
hamba suka menolong kalau saja tenaga mengijinkan," kata Hong
Kin dan Hui Lian mengangguk tanda setuju akan kata-kata Hong
Kin.
"Seperti kalian ketahui, sekarang ini orang Mongol sedang
bangkit hendak menggempur ke selatan." Melihat Hui Lian
mengangkat muka dan sepasang mata gadis itu dengan tajam
menatapnya. Pangeran Wanyen Ci Lun maklum dan disambungnya
kata-katanya cepat, "Sudah tentu sekali banyak pula yang menaruh
simpati kepada Temu Cin dan pasukan Mongolnya, mengIngat
desas-desus betapa Kaisar kurang bijaksana dulu memegang tapuk
700
pemerintahan." Kembali ia berhenti dan memperhatikan Hui Lian
yang nampak sengaja mengangguk-anggukan kepalanya.
"Memang hal ini aku harus akui. Biarpun Kaisar itu pamanku
sendiri, namun beliau kurang memperhatikan urusan pemerintahan
kurang memperhatikan kepentingan rakyat jelata. Akan tetapi hal ini
dapat diperbaiki. Betapapun juga, lebih baik pemerintahan berada di
tangan bangsa sendiri daripada terjatuh ke dalam tangan orangorang
asing!" Memang, bangsa Kin sesungguhnya masih bangsa
Tiongkok juga, merupakan suku bangsa yang hidup di sebelah utara
San-si dan dahulu sebelum mendirikan Kerajaan Kin, bangsa Kin
disebut bangsa Yucen.
"Nah, kalau kalian sependapat denganku maka sudah jelas
bahwa negara diselamatkan, bukan saja terhadap bahaya serangan
orang-orang Mongol yang belum begitu dekat. Melainkan harus
diselamatkan dari orang-orang seperti See-thian Tok-ong dan lainlain!
Para penyerbu itu mengaku telah diperintah oleh seorang
bengcu yang belum diketahui namanya, ini sudah merupakan
ancaman dari satu pihak. Adanya See-thian Tok-ong didalam istana,
juga merupakan ancaman yang amat berbahaya."
"Siauw-ongya, tugas apakah yang harus kukerjakan?" tanya Hui
Lian karena gadis ini tidak begitu mengambil pusing tentang politik
pemerintahan keadaan kerajaan Kin.
Wanyen Ci Lun tersenyum sabar. “Go-lihiap, kau tentu sudah
mendengar bahwa kurang lebih dua bulan lagi, tiba masanya orangorang
gagah sedunia mengadakan pemilihan bengcu di puncak Ngo
heng-san. Aku mendengar bahwa Kaisar menyuruh See-thian Tokong
dan anak isterinya pergi ke Ngo-heng-san untuk menarik
kawan-kawan dan pembantu. Hal ini tentu baik-baik saja ditinjau
dari sudut maksud Kaisar, akan tetapi aku merasa khawatir kalaukalau
hal pergunakan oleh See-thian Tok-ong sebagai kesempatan
mengajak orang-orang jahat memasuki istana! Oleh karena Golihiap,
aku memohon pertolonganmu sudilah kiranya kau bersama
Coa Hong Kin juga pergi ke Ngo-heng-san menghadiri pemilihan
bengcu sambil melihat gerak-gerik See-thian Tok-ong. Selama ini,
juga untuk menyelidiki siapa adanya bengcu yang telah menitah
orang-orang untuk berusaha membunuh Kaisar."
701
Berseri wajah Hui Lian. Dia memang sudah mendengar tentang
hal pemilihan bengcu dan kalau ia tidak salah menduga, ayahbundanya
pasti takkan melewatkan peristiwa bersejarah di dunia
persilatan ini tanpa menghadirinya.
"Baiklah, Siauw-ongya, aku menerima tugas ini karena di sana
aku pasti akan bertemu dengan Ayah-bundaku!" kata Hui Lian
girang.
"Hamba mentaati perintah Siauw-ong ya," kata Hong Kin cepatcepat
dan pada wajah pemuda ini nampak jelas bahwa ia amat
gembira mendapat tugas “mengawani" Hui Lian dalam perjalanan.
Akan tetapi dalam sekejap mata kegembiraannya lenyap terganti
oleh kecemasan dan kedukaan kalau teringat akan percakapan yang
ia dengar antara Hui Lian dan Wanyen Ci Lun, bahwa pangeran itu
mencinta Hui Lian dan ia terpaksa harus mengundurkan diri.
Terhadap pangeran ini Hong Kin memang memiliki kesetiaan yang
luar biasa besarnya.
"Memang itu pun termasuk rencanaku Lihiap. Selain tugasmu
yang tadi, aku pun minta dengan hormat kepadamu, sudilah kiranya
kau minta bantuan Ayah-bundamu agar ikut membantu negara
menghalau para pengkhianat dan penjahat yang hendak
mengacaukan negara."
Mendengar ini, Hui Lian mengerutkan kening. Ia maklum betapa
ayah-bundanya membenci pemerintah Kin. Hal ini pun diketallui baik
oleh Pangeran Wanyen Ci Lun yang segera berkata.
"Harap kausampaikan hormatku kepada Ayah-bundamu, Nona,
dan sesungguhnya sudah lama sekali aku merasa kagum sekali
mendengar nama Hwa l Enghiong Go Ciang Le dan ibumu Lian Bi
Lan yang namanya terkenal di seluruh kolong langit. Hendaknya kau
mengingatkan sedikit kepada Ayah-bundamu bahwa bantuan
mereka bukan berarti bantuan kepada pemerintah Kin semata,
melainkan bantuan untuk mencegah datangnya bahaya serangan
musuh lain bangsa yang akan datang menjajah dan mencekik
bangsa kita!"
Diam-diam Hui Lain harus mengaku bahwa pangeran ini selain
pandai bicara juga amat cerdik dan dapat membaca gerak-gerak
702
dan isi hati orang lain. Karena kata-kata pangeran ini semua tepat
dan beralasan, bagi Hui Lian tidak ada lain jawaban selain
menyatakan kesanggupannya. Setelah membuat persiapan,
berangkatlah Hui Lian dan Hong Ki pada keesokan harinva,
keduanya menunggang kuda yang bagus dan kuat pemberian
Pangeran Wanyen Ci Lun.
-oo0mch-dewi0oo-
Hui Lian dan Hong Kin melakukan perjalanan dengan cepat dan
gembira. Setelah bersama menghadapi peristiwa di dalam istana,
hubungan mereka makin akrab, sungguhpun di pihak Hui Lian tidak
terkandung perasaan sesuatu kecuali persahabatan yang tutus
ikhlas karena ia maklum bahwa pemuda baju hijau ini benar-benar
seorang muda yang baik sekali dijadikan sahabat. Adapun di pihak
Hong Kin, biarpun harus ia akui bahwa ia makin dalam terjatuh di
jurang asmara, makin dalam ia mencinta nona itu, akan tetapi ia
tidak berani sembarangan menyatakan perasaannya. Kalau ia
teringat akan sikap Pangeran Wanyen Ci Lun yang juga cinta kepada
Hui Lian, ia menjadi "mundur teratur" dan tidak berani bersikap
sembrono.
Dua hari mereka tiba di kaki Pegunungan Tai-hang-san yang
sunyi senyap. Tanah gundul membentang luas di depan mereka.
"Saudara Coa, alangkah sunyi jalan ini dan alangkah panasnya
kiranya kalau tengah hari." kata Hui Lian yang belum mengenal
daerah ini.
“Tidak jauh daerah kering ini, di sana. Hanya kurang lebih tiga
puluh li. Sekarang masih pagi lebih baik kita mempercepat
perjalanan agar jangan sampai dikejar matahari di waktu kita masih
berada di jalan gundul ini. Selewatnya tiga puluh lie, kita akan
menemui daerah yang dingin dan subur," jawab Hong Kin.
Keduanya lalu menggebrak kuda binatang tunggangan mereka
segera lompat dan lari cepat sekali, meninggalkan debu yang
mengepul tinggi sepanjang jalan di belakang ekor mereka. Akan
tetapi, baru saja lima lie mereka tempuh, tiba-tiba mereka melihat
bayangan enam orang di tengah jalan.
703
"Hati hatilah, Nona. Daerah ini paling tidak aman. Siapa tahu
kalau-kalau mereka yang di depan itu bukan orang-orang balk."
Hui Lian meraba gagang pedangnya dan bersikap waspada.
Hatinya berdebar tegang dan gembira karena gadis ini memang
selalu bergembira apabila menghadapi pengalaman hebat terutama
pertempuran. Darah pendekar mengalir sepenuhnya dalam tubuh
nona ini.
"Kau lihat saja, Saudara Coa. kalau mereka itu penjahat, kita
akan basmi sampai ke akar-akarnya!"
Akan tetapi Coa Hong Kin tidak segembira Hui Lian karena
pemuda ini maklum bahwa penjahat-penjahat yang berani
beroperasi dekat kota raja, bukanlah penjahat-penjahat kecil yang
mudah dibasmi. Karena daerah itu gundul, maka biarpun jauh enam
orang itu sudah kelihatan dan kini jarak mereka sudah makin
mendekat.
Tiba-tiba Hui Lian mengeluarkan seruan kaget.
"Ada apa, Nona?"
"Dia itu Liok Kong Ji...!"
"Siapa itu Liok Kong Ji?”
"Dia masih Suhengku, akan tetapi dia jahat, aku benci padanya!"
kata Hui Lian akan tetapi hatinya berdebar tidak enak sekali. Ia tahu
betapa jahatnya pemuda itu dan juga tahu betul betapa lihainya.
Kalau muncul orang ini pasti akan terjadi hal-hal yang tidak
menyenangkan.
"Yang manakah dia? Apakah yang hitam tinggi besar itu?" tanya
Hong Ki kaget mendengar bahwa seorang di antara enam orang itu
adalah suheng dari Hui Lian dan tentu saja amat lihai.
"Bukan, yang tengah itulah, yang membawa hudtim (kebutan
pertapa)."
"Dia...?" Hong Kin memandang ke arah seorang pemuda yang
tampan gagah, yang membawa kebutan sebagai mana biasa
dipegang oleh seorang pendeta sehingga nampak lucu berada di
704
tangan pemuda. Akan tetapi ia harus akui bahwa pemuda itu
bertubuh tinggi tegap bersikap halus dan berwajah tampan.
Sementara itu, kuda mereka sudah tiba di tempat itu dan kini
mereka telah berhadapan dengan enam orang yang menghadang di
jalan. Hui Lian menyapa mereka itu dengan pandang matanya. Ia
melihat Kong Ji kini bersikap angkuh lagaknya congkak seperti
seorang bangsawan tinggi. Lima orang yang lain adalah orang lakilaki
berusia empat paluh tahunan dan yang tiga berusia enam puluh
tahun lebih. Mereka rata-rata nampak berkepandalan tinggi.
Memang lima orang ini bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka
adalah ketua-ketua partai besar yang berpengaruh yang sudah
takluk kepada Kong Ji dan yang beramai-ramai mengangkat Kong ji
sebagai pemimpin atau bengcu mereka!
Di antara lima orang itu, terdapat seorang kakek tua berusia
enam puluh tahun lebih yang pakaiannya tambal-tambalan dan
memegang sebatang tongkat kepala harimau, yakni gagang tongkat
diukir seperti kepala harimau. Melihat kakek ini, Coa Hong Kin
menegur.
"Eh, kiranya Shansi Kai-pangcu, Lo Bong Lo-enghiong yang
berada di suni"
Hong Kin melompat turun dari kudanya, diturut oleh Hui Lian dan
pemuda itu menjura kepada kakek itu. Memang kakek itu adalah
Sin-houw (Harimau Sakti) Lo Bong yang menjadi kai-pangcu (Ketua
perkumpulan pengemis) dari Shansi Kaipang, yakni perkumpulan
pengemis di Shansi. Ketika Lo Bong memandang kepada pemuda
tampan berbaju hijau yang menegurnya, ia pun lalu membalas
dengan salam.
"Hm, Coa Sicu, apakah Suhumu Cam kauw Sin-kai sehat-sehat
saja? Harap kausampaikan hormatku kepada orang tua gagah
perkasa itu!"
"Terima kasih, Pangcu." Sebelum Hong Kin melanjutkan katakatanya,
terdengar suara Liok Kong Ji nyaring.
"Ah, Sumoiku yang manis. Kau berada di sini? Kebetulan sekali,
sudah lama aku mencari-carimu. Bukankah kau datang dari istana
bersama pemuda she Coa ini dan menerima tugas dari Pangeran
705
Wanyen Ci Lun untuk menghadiri pemilihan Bengcu di Ngo-hengsan?"
Hui Lian terkejut. Juga Hong Ki memandang dengan mata
terbelalak. bagaimana setan ini bisa mengetahui hal itu? Sebelum
Hui Lian menjawab, Kong Ji sudah bicara lagi, kini ditujukan kepada
Hong Kin.
"Jadi kau ini murid Cam kauw Sin-kai? Bagus sekali, tentu kau
lihai seperti Gurumu. Di antara orang sendiri, tak usah kita berlaku
sungkan. Mari kalian berdua bersama dengan kami pergi ke Ngoheng-
san, karena ketahuilah bahwa bengcu atau calon bengcu
terutama sudah terpilih.”
Hui Lian masih benci kepada Kong Ji, maka dengan ketus ia
menjawab. “Aku tidak sudi melakukan perjalanan bersamamu.
Minggir dan jangan ganggu aku!”
Kong Ji tertawa bergelak dan terlihat deretan gigi yang putih.
"Ha, ha, ha, kau masih galak saja, Sumoi. Akan tetapi makin
galak makin manis. Benar benar kau gagah dan berani sekali, berani
bersikap seperti itu di depanku."
"Orang lain boleh takut kepadamu, Akan tetapi aku tidak!" Hui
Lian meraba gagang pedangnya. Kong Ji hanya menggerakgerakkan
kebutan di tangannya sambil tertawa mengejek.
"Jangan kurang ajar'" seorang di antara kakek yang usianya
sudah lanjut melompat dengan gerakan ringan di depan Hui Lian.
Gadis ini melihat gerakan kakek rambut panjang yang wajahnya
menyeramkan sepertI lblis ini maklum bahwa ia menghadapi orang
yang tinggi kepandaiannya. Ia pernah mellhat kakek ini dahulu
ketika mereka bersama mengeroyok dan mengejar-ngejar Wan Sin
Hong.
Memang kakek ini bukan lain adalah Giok Seng Cu. Mendengar
bahwa Hui Lian adalah puttri Go Ciang Le, siang siang Giok Seng Cu
sudah merasa gemas dan kalau mungkin dan diperbolehkan oleh
Kong ji, tentu ia akan mengganggu atau membunuh gadis puteri
musuh besar yang dibencinya itu.
706
"Kau mau apa?" Hui Lian juga menantang dengan sikap tenang
tak kenal takut.
Akan tetapi Hong Kin yang bermata tajam dan tahu bahwa enam
orang lawan ini tak boleh dipandang ringan, berkata,
"Go-siocia, harap bersabar." Kemudian ia bertanya kepada Lo
Bong. "Shansi Kai pangcu, siapakah bengcu yang kau sebutkan
tadi?"
Lo Bong tanpa ragu-ragu menuding ke arah Kong Ji sambil
berkata,
"Dialah bengcu kami, juga calon bengcu besar yang akan dipilih.
Oleh karena itu, daripada ribut mulut tidak karuan, lebih baik kau
dan kawanmu ini menggabungkan diri dengan kami dan kelak
memillh bengcu kami. Merupakan kehormatan besar melakukan
perjalanan dengan bengcu."
Hui Lian mengeluarkan suara mengejek, lalu melompat ke atas
kudanya dan berkata kepada Hong Kin.
"Saudara Coa, untuk apa melayani orang-orang yang miring
otaknya? Mari kita lanjutkan perjalanan!"
"Sumoi, aku melarangmu melakukan perjalanan memisahkan
dengan kami. Kau harus ikut dengan kami'" kata Kong Ji, suaranya
berpengaruh.
"Aku bukan Sumoimu dan kau tidak berhak melarang. Pergilah'"
"Bengcu, tangkap saja dua orang bocah ini!" seru Giok Seng Cu
yang sudah marah sekali, kemudian tanpa banyak cakap lalu
menyerbu dan menubruk Hui Lian. Memang di antara semua orang
yang sudah menjadi kaki tangan Liok Kong Ji, hanya Giok Seng Cu
yang agak berani sikapnya terhadap pemuda luar biasa itu. Hal ini
karena Giok Seng Cu mengingat bahwa anak muda itu pernah
menjadi muridnya.
Hui Lian terkejut sekali melihat tubrukan kakek rambut panjang
yang amat berbahaya. Desir angin serangannya menyatakan betapa
besar tenaga kakek ini, maka Hui Lian tidak berani menangkis
melainkan melompat dari atas kudanya berjungkir balik dan turun
707
dua tombak dari kudanya. Terdengar suara kuda meringkik dan
kuda tunggangan yang tinggalkan Hui Lian itu kena ditampar oleh
Giok Seng Cu terguling roboh!
"Kau kcjam!" seru Hong Kin yang cepat maju menghadang
melihat kakek itu hendak mengejar Hui Lian. Akan tetapi Giok Seng
Cu mengibaskan tangannya ke arah dada Hong Kin sambil
membentak.
"Roboh kau!" Giok Seng Cu sudah memperhitungkan bahwa
kibasan lengan bajunya yang disertai tenaga Tin-san-kang ini tentu
akan dapat merobohkan Hong Kin yang kelihatannya tidak begitu
kuat. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika kibasannva yang cepat
sekali itu mengenai angin kosong karena Hong Kin talah mengelak
dan bahkan balas menyerang dengan pukulan yang jitu sekali
mengenai pundak Giok Seng Cu.
"Plak!" Giok Seng Cu terhuyung dua tindak akan tetapi Hong Kin
tiba-tiba merasa tanganya panas, tanda bahwa ia terserang oleh
tenaga pukulannya sendiri yang membalik ketika bertemu dengan
pundak kakek itu. Hal ini menjadi bukti bahwa tenaganya jauh kalah
besar, maka dapat dibayangkan betapa gelisahnya hati Hong Kin.
Seorang kakek ini saja merupakan lawan yang amat berat, apalagi
kalau enam orang itu semua maju.
"Bocah kurang ajar, apakah kau sudah bosan hidup?" Giok Seng
Cu membentak marah kepada Hong Kin. Tadinya ia terkejut sekali
melihat keanehan pukulan pemuda ini yang selain dapat mengelak
dari serangannya, juga secara otomatis dapat membalas kontan dan
memukul pundaknya. Tak disangkanya bahwa Ilmu Silat Cam-kauwkun-
hoat (Ilmu Silat Pemukul Anjing) dari Cam-kauw Sin-kai
sedemikian lihatnya. Akan tetapi setelah merasa betapa pukulan
pemuda ini tidak begitu kuat, hatinya lega dan amarahnya timbul.
Dengan cepat ia lalu mendesak Hong Kin dengan pukulan-pukulan
Tin-san-kang yang dahsyat.
"Giok Sengcu Suhu jangan bunuh utusan Pangeran Wanyen,”
seru Kong Ji.
Seruan ini menolong nyawa Hong Kin karena kalau Giok Seng Cu
tidak ditahan oleh Kong Ji, kiranya Hong Kin takka kuat menerima
708
pukulan-pukulan Tin-san kang yang luar biasa hebatnya itu.
Sebaliknya, ketika mendengar larangan dari Kong Ji, Giok Seng Cu
tidak berani melanggar, ia lalu mengurangi tenaga akan tetapi
memperhebat serangan sehingga beberapa jurus kemudian Hong
Kin roboh terkena totokan yang lihai pada jalan darah Kong-goankiat
membuatnya lemah dan lumpuh.
Sementara itu, ketika Hui Lian mendengar Kong Ji menyebut
nama Giok Seng Cu, gadis ini terkejut sekali. Sebetulnya kakek
berambut panjang yang lihai itu masih terhitung supeknya (uak
gurunya) karena ia mendengar dari ayahnya bahwa kakek ini adalah
murid dari Pak Hong Siansu. Diam-diam gadis ini terheran-heran
bagaimana tokoh besar seperti Giok Seng Cu demikian tunduk
terhadap Liok Kong Ji. Akan tetapi ia tidak sempat memikirkan hal
ini karena ia sudah marah sekali melihat Hong Kin dirobohkan oleh
Giok Seng Cu. Sekali melompat ia telah menghadapi kakek itu
dengan pedang di tangan dan tanpa banyak cakap ia menyerang
dengan tikaman berantai.
Melihat berkelebatnya ujung pedang ke arah tenggorokan, Giok
Seng Cu cepat miringkan kepalanya dan hendak menyampok
pedang dengan ujung lengan bajunya. Akan tetapi pedangnya itu
telah dibalik gerakannya dan kini secara langsung melanjutkan
serangannya dengan bacokan dari atas ke bawah mengarah dada.
Giok Seng Cu kaget sekali melihat kelincahan kecepatan gerakan ini.
Namun ia adalah seorang tokoh persilatan yang sudah kawakan,
tidak mudah gugup oleh desakan lawan. Sambil mengerahkan
tenaga Tin-san-kang, ia menyampok pedang itu dengan lengannya.
Pedang terpental akan tetapi lengan baju kakek itu robek!
Dan hebatnya, biarpun pedangnya sudah terpental karena
ditangkis oleh Giok Seng Cu, masih saja pedang itu menyerang
terus dengan tusukan lain pada lambung. Menghadapi serangan
bertubi-tubi yang kesemuanya merupakan cengkeraman maut ini.
Giok Seng Cu agak gentar dan sambil berseru keras ia melompat ke
belakang.
"Hebat ilmu pedangmu, bocah!" serunya kagum. “Akan tetapi
jangan kau kurang ajar. Bapakmu adalah Suteku (Adik
709
Seperguruan), maka kau sekarang berhadapan dengan Supekmu.
Hayo lekas lepaskan pedang dan berlutut!"
Hui Lian tertawa menyindir dan menudingkan pedangnya kepada
Kong Ji katanya,
"Kau kakek siluman yang terhadap dia itu bersikap seperti anjing
penjilat, mau suruh aku berlutut? Hm, aku tidak pernah mempunyai
Supek macam kau!" kata-kata ini ditutup oleh berkelebatnya tubuh
Hui Lian yang sudah menyerang lagi dengan pedangnya.
Ilmu pedang yang dimainkan oleh Hui Lian adalah ilmu pedang
warisan ayahnya yang menerima dart Pak Kek Siansu, maka Ilmu
Pak-kek-sin kiam-hoat ini bukan main lihainya. Giok Seng Cu sudah
mendapat perintah agar supaya tidak membunuh atau melukai gadis
ini maka kalau ia melawan tanpa kebebasan melukai, kiranya ia
takkan menang. Hal ini diketahui baik-baik. Tanpa mempergunakan
Tin-san-kang, tak mungkin ia dapat menang melawan gadis kosen
ini, sebaliknva kalau ia mempergunakan Tin-sankang, ia takut kalaukalau
ia menjatuhkan tangan maut dan membunuh Hut Lian
sehingga ia akan mendapat marah besar dari Kong ji. Oleh karena
itu, ketika gadis itu menyerangnya, Giok Seng Cu hanya mengelak
ke sana ke mari sambil menyampok pedang mempergunakan
tenaga yang besar. Namun ia kalah gesit oleh Hui Lian sehingga
pada jurus ke sebelas pangkal lengannya tergores pedang dan
mengeluarkan darah.
"Giok Seng Cu Suhu, mundurlah seru Kong Ji dengan suara
berpengaruh ia merasa malu terhadap yang lain kalau ia tidak turun
tangan sendiri memperlihatkan kelihaiannya. Sudah diceritakan tadi
bahwa lima orang kawan Kong Ji adalah orang-orang penting. Selain
Giok Seng Cu dan Sin-houw Lo Bong ketua dari Shan-si Kai-pang,
yang tiga orang lagi adalah ketua darit Bu-cin-pang, Kwan ci pai,
dan Twa-to-bu-pai. Mereka ini inilah yang mengangkat Kong-Ji
sebagai bengcu dan mereka bersama anak buah atau anggauta
partai mereka yang banyak jumlahnya yang akan menyokong Kong
Ji dalam segala usaha dan cita-citanya.
Kini dengan tenang Kong it menghadapi Hui Lian, hudtim atau
kebutan panjang masih terpegang di tangan kanannya.
710
"Sumoi...."
"Aku bukan Sumoimu," bentak Hui Lian, pedangnya sudah
gemetar di tangan, siap untuk menyerang. Ia sekarang benci sekali
kepada pemuda ini dan sudah gatal-gatal tangannya untuk
melakukan pertempuran mati-matian.
"Hui Lian, kau benar tidak adil. Marilah kita bicara baik-baik.
Kalau kau ikut dengan aku dan memberi sokongan suara dan kelak
aku menjadi bengcu untuk seluruh dunia kang-ouw, bukankah
berarti aku menjunjung tinggi nama Suhu? Bukankah kau sebagai
Sumoi juga akan terbawa naik namamu? Pikirlah baik-baik, kau tahu
bahwa aku selalu sayang kepadamu."
"l'utup mulutmu yang palsu dan ingatlah akan kepalsuanmu di
Mongolia dahulu" bentak Hui Lian yang terus saja menyerang
dengan pedangnya.
Kong Ji maklum betapa lihainya gadis ini bermain pedang, maka
ia melompat mundur sambil berkata dengan nada menyesal,
"Terpaksa aku harus menggunakan kekerasan, Sumoi. Kau keras
hati dan kepala batu."
Hudtim pindah ke tangan kiri dan diputar menangkis serangan
pedang dari Hui Lian. Terdengar suara gemerincing dan Hui Lian
merasa telapak tangannya tergetar. Kagetlah hati gadis ini karena ia
tahu bahwa Kong Ji benar-benar telah memperoleh kemajuan yang
hebat. Sudah dapat menyalurkan tenaga sehingga bulu- bulu hudtim
itu menjadi sekeras baja benar-benar membuktikan bahwa pemuda
itu telah mencapai tingkat yang sukar dicari bandingannya. Akan
tetapi Hui Lian tidak pernah mengenal apa artinya takut. Bagaikan
seekor singa betina gadis ini menyerang terus, mengerahkan tenaga
mengandalkan kegesitan tubuhnya dan mengeluarkan jurus-jurus
yang terhebat dari ilmunya.
Kong Ji merasa kewalahan juga. Pemuda ini sesungguhnya jauh
kalau dibandingkan dengan dahulu ketika baru meninggalkan Kim
bun-tho bersama Hui Lian. Sekarang ilmu kepandaiannya sudah
jauh lebih tinggi daripada dahulu dan kalau saja ia bermaksud
membunuh atau melukai Hui Lian, kiranya dengan hudtimnya saja ia
akan dapat merobohkan gadis itu. Akan tetapi ia tidak mau melukai
711
Hui Lian, apalagi membunuhnya, karena ia mempunyai niat dan
cita-cita yang lebih tinggi. Mengalahkan gadis ini tanpa melukainya
memang bukan hal yang mudah dan biarpun seorang lihai seperti
Kong Ji merasa kewalahan juga.
Setelah dua puluh jurus lewat, Kong Ji menggerakkan tangan
kanan dan sinar terang menyilaukan mata Hui Lian.
"Bangsat rendah, kembalikan Pak-kek Sin-kiam!" Hui Lian makin
gemas melihat pedang pusaka sucouwnya kini berada di tangan
kanan pemuda itu. Dengan nekat ia menyerang dan berusaha
merobohkan Kong ji untuk merampas kembali pedang itu.
Akan tetapi, sambil tertawa mengejek Kong Ji menggunakan Pakkek
Sinkiam membabat pedang di tangan Hui Lian sambil
mengerahkan tenaganya.
"Krek!" Pedang di tangan Hui Lian terbabat patah menjadi dua
dengan amat mudah oleh pedang pusaka Pak-kek Sin-kiam. Dan di
lain saat, selagi Hui Lian marah dan kaget, beberapa lembar bulu
hudtim yang sudah mengeras karena tenaga lweekang menyambar
dan menotok beberapa bagian jalan darah. Hui Lian mencoba
mengelak, akan tetapi kekagetannya karena pedang patah tadi
membuatnya kurang cepat dan Thian-hu-hiat tubuhnya terkena
totokan bulu hudtim, gadis ini terhuyung dan roboh tak berdaya
lagi!
Kong Ji tertawa puas dan menyimpan pedang Pak-kek Sin-kiam
di balik jubah luarnya yang lebar dan panjang. Kemudian dengan
hudtimnya ia memberi isyarat kepada dua orang kawannya yang
berusia empat puluh tahun lebih untuk melucuti senjata-senjata
yang masih ada pada pakaian dua orang muda itu, lalu Hong Kin
dan Hui Lian diikat pergelangan tangannya dengan sebuah belenggu
baja yang amat kuat!
"Bawa mereka ini menyingkir dari sini dan jaga baik-baik agar
jangan sampai mereka terlepas. Juga tak boleh apapun juga
mengganggu mereka, perlakukan baik-baik sebagai tamu agung.
Dalam perjalanan ke Ngo-heng san, nona ini dimasukkan saja ke
dalam joli dan diusung agar jangan menimbulkan keheranan di
tengah perjalanan.”
712
Hong Kin dan Hui Lian yang sudah tak berdaya lagi itu dibawa
pergi oleh dua orang itu. Kemudian Kong Ji menyuruh Lo Bong
untuk mengumpulkan dan mempersiapkan barisan dari semua partai
agar berkumpul di situ. Lo Bong berkelebat pergi dengan kecepatan
yang mengagumkan. Kini di tempat itu tinggal Kong Ji, Giok Seng
Cu, dan seorang kakek tua sebaya dengan Giok Seng Cu. Kakek ini
bukan orang biasa. Tubuhnya sudah tua dan bungkuk kurus,
kepalanya besar dan bundar, rambutnya jarang dan sudah banyak
rontok, berwarna putih, kulit mukanya kerut merut seperti jeruk
layu. Gagang pedang tergantung di pundak kanannya dan sebatang
tongkat bambu selalu membantunya berjalan. Biarpun kelihatan
begini lemah dan tua, akan tetapi orang ini adalah jago nomor satu
di seluruh Prowinsi An-hwei, bernama Siangkoan Bu berjuluk Mokiam
(Pedang Iblis). Dia adalah ketua dari perkumpulan Kwan-cinpai
di Provinsi An-hwei, sebuah perkumpulan yang sudah terkenal
dan berpengaruh sekali. Kakek ini pernah didatangi oleh Kong Ji
yang mengajak pibu dan dalam sebuah pertempuran seru hampir
seratus jurus, barulah pedang Pak-kek Sin-kiam dapat
menundukkan pedangnya dan kakek ini menerima kalah, takluk dan
amat kagum kepada Kong Ji. Selanjutnya ia dengan suka-rela
membantu pelaksanaan cita-cita pemuda aneh yang luar biasa ini.
Kong Ji belum mau meninggalkan tempat itu dan ia selalu
memandang ke timur, seakan-akan menanti datangnya sesuatu.
Memang, dia sedang menanti rombongan kedua dari kota raja yang
tahu pasti akan lewat di situ tak lama lagi. Pemuda ini benar-benar
luar biasa dalam waktu pendek sudah dapat mempengaruhi banyak
orang, bahkan ia telah banyak menyebar mata-mata. Di kota raja
sendiri, bahkan sampai di dalam istana, banyak terdapat pembantupembantunya.
Para pembantu ini semua menganggap bahwa Kong
Ji adalah seorang pemuda perkasa ahli waris Pak Kek Siansu,
seorang pemuda yang berjiwa patriotik dan yang hendak
menggulingkan pemerintah Kin yang dianggapnya mencekik rakyat
jelata. Kong Ji pandai sekali bicara dan pandai pula berlagak, maka
semua orang percaya kepadanya. Dua orang busu yang pernah
menolong Hui Lian di istana, yakni busu yang mengaku pejuang
rakyat, bukan lain adalah pembantu-pembantu dan Kong Ji pula!
Oleh karena inilah maka Kong Ji dapat mengetahui segala gerak713
gerak dalam istana, dan tahu pula bahwa Hui Lian dan Hong Kin
akan lewat di tempat itu dalam tugas mereka yang diperintahkan
oleh Wanyen Ci Lun.
Benar saja, tak lama kemudian nampak debu mengepul tinggi
dari arah timur. See-thian Tok-ong, Kwan Ji Nio, Kwan Kok Sun dan
diiringkan oleh delapan orang perwira busu yang mengganti pakaian
seperti ahli-ahli silat biasa, dengan menunggang kuda yang besarbesar.
See-thian Tok-ong menunggang kuda - paling depan dan kakek
gundul ini meram melek di atas kuda, sama sekali tidak memegangi
kendali kuda dan duduknya begitu enak seperti orang duduk di atas
kasur yang empuk saja. Biarpun tidak dipegangnya kendali kuda,
namun sesungguhnya kuda itu sudah dikuasai sepenuhnya. Memang
See than Tok-ong seorang aneh, caranya menunggang kuda pun
aneh!
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid XXVI
DARI jauh See-thian Tok-ong sudah melihat adanya tiga orang di
tengaj jalan itu dan ia segera mengenal siapa
adanya mereka ini. Tentu saja ia mengenal Kong Ji, dan juga
tidak lupa kepada Giok Seng Cu, akan tetapi orang-orang ketiga ia
tidak kenal. hanya ia dapat menduga bahwa orang
ke tiga itu tentulah bukan orang sembarangan. Tokoh lain yang
manapun juga kiranya takkan dapat membangkitkan perhatian Seethian
Tok-ong, akan tetapi terhadap Kong Ji, Raja Racun ini
memandang lain lagi. Ia mendapatkan watak yang aneh dan sifat
yang mengagumkan hatinya dalam diri Kong Ji, dan ia maklum
bahwa Kong Ji merupakan seorang saingan berat, seorang lawan
yang tidak saja lihai ilmu silatnya akan tetapi juga amat licin. Orang
macam Kong Ji ini lebih baik dijadikan sekutu daripada dijadikan
lawan.
”Berhenti!” katanya kepada busu yang mengiringnya di belakang.
Di depan ada orang biar aku dan anak isteriku yang bicara dengan
714
mereka. Kalau tidak kuberi tanda, jangan kalian mendekat. Mereka
itu bukan orang-orang biasa.”
Para busu tentu saja tidak berani membantah dan mereka
melompat turun dari kuda dan duduk di atas tanah menanti sambil
berteduh di dalam bayangan kuda. Juga See thian Tok-ong, Kw Ji
Nio, dan Kwan Kok Sun melompat turun dari kuda, memberikan
kuda mereka kepada para busu kemudian mereka berlari
menghampiri Kong Ji dan dua orang kawannya.
Kwan Kok Sun sejak tadi sudah mendongkol sekali melihat Kong
Ji, apalagi melihat Giok Seng Cu berada pula di situ. Tanpa berkata
apa-apa setelah jarak mereka dekat dengan rombongan Kong Ji,
Kok Sun menggerakkan tangannya dan dua buah benda hitam
melayang ke arah Kong Ji dan Giok Seng Cu.
Kong Ji dengan tenang mengangkat kaki kiri, membanting kaki
itu dibarengi dengan bergeraknya tangan kiri ke depan, ke arah
benda hitam yang menyambar ke arahnya. Demikian pula Glok Seng
Cu menggerakkan tangan dan melakukan pukulan Tin-san-kang.
Dua benda yang disambitkan oleh Kok Sun tadi keduanya terpental
kembali seakan-akan tertumbuk dengan benda keras sebelum
menyentuh tangan Kong Ji dan Giok Seng Cu. Setelah dua benda
hitam itu jatuh di atas tanah, baru terlihat bahwa dua buah benda
ini adalah dua ekor binatang kelabang hitam yang berbisa.
Biarpun keduanya mempergunakan Tin-san-kang untuk
menangkis serangan senjata rahasia aneh itu, akan tetapi melihat
betapa kelabang yang ditangkis oleh Giok Seng Cu masih
berkelojotan sedangkan yang oleh Kong Ji mati tak bergerak sama
sekali, dapat diambil kesimpulan bahwa pada dewasa ini Ilmu Tinsan-
kang yang dimiliki bekas murid itu lebih tinggi daripada bekas
gurunya sendiri. Memang Kong Ji sang cerdik sekali telah dapat
mengkombinasikan Tin-san- kang dengan Hek-tok-ciang yang ia
pelajari dari See-thian
Tok-ong, maka kalau dibuat perbandingan, dihadapkan dengan
Tin-san-kang dari Giok Seng Cu ia lebih menang setingkat karena
pukulan Tin-san-kangnya mengandung racun dari pukulan Hek-tokciang
(Tangan Racun Hitam). Sedangkan apabila ia dihadapkan
dengan Hek tok-ciang dari See-thian Tok-ong, ia masth lebih hebat
715
karena pukulannya mengandung tenaga Tin-san-kang (Pukulan
Menggetarkan Gunung) yang maha dahsyat!
“Kok Sun, perlahan dulu. Mengapa kau datang-datang
mengeluarkan senjata berbisa yang jahat?“ kata Kong Ji nienegur
Kok Sun yang memandang dengan mata terbelalak melihat kelihaian
Kong Ji. Ta akui bahwa betapa pun tinggi lweekangnya, belum
sanggup ia kalau harus memukul kelabang itu dari jarak jauh dan
sekaligus memunahkan tenaga sambitannya sambil membunuh
kelabang itu pula. Maka ia diam saja. Kong Ji sebaliknya
menghadapi See-thian Tok ong sambil tersenyum, menggerakgerakkan
hudtimnya dengan penuh gaya, kemudian berkata
nadanya menegur halus.
“See—thian Tok-ong, kau makin tua makin gagah saja.
Terimalah ucapan selamat dariku bahwa kini telah menjadi orang
berpangkat. Bagaimana aku harus menyebutmu? Apakah taijin
(orang besar) ataukah kau sudah mempunyai pangkat tertentu?
Menjadi thai-ciangkun (panglima besar)?“
“Laok Kong Ji jangan kau main-main.” See thian Tok-ong
membentak dan mukanya yang hitam makin menghitam.
“Siapa main-main? Aku bengcu dari seluruh partai persilatan di
selatan dan timur, calon bengcu dari seluruh dunia kang-ouw, tak
perlu mengajak See-thian Tok-ong main-main. Sebaliknya, kaulah
yang sudah main-main dengan kami, kau yang sudah menewaskan
kawan-kawan kami di istana.“
“Hm, sudah kuduga. Kau kiranya orang yang mengirim
pembunuh-pembunuh itu....“ See-thian Tok-ong berkata perlahan
dan kini matanya melirik tajam siap sedia untuk bertempur. Kalau
saja ia tidak tahu betul betapa lihainya bocah setan ini, tentu ia
tidak sudi bercakap-cakap dengan bekas muridnya. Biasanya, kedua
tangan See-thian Tok-ong lebih banyak bergerak daripada bibirnya.
“Benar aku orangnya. Dan mengapa kau mendadak sontak
melindungi kaisar. Mengapa kau seorang yang datang dari See-thian
mencampuri urusan kami? Apakah kau benar-benar hendak
menentang gerakan para pejuang rakyat, See-thian Tok-ong?“
716
“Hm, kau tidak adil. Sudah tahu aku seanak isteri berada di
istana menjadi pengawal, mengapa menyuruh tikus-tikus busuk
membikin kacau? Bukankah itu berarti tidak memandang mata
kepada kami bertiga?“
Tiba-tiba Siangkoan Bu melompat maju dan berkata sengit, “Seethian
Tok ong, sudah lama sekali aku Mo-kiam Siangkoan Bu
mendengar nama besarmu juga kesohoran tentang kekejamanmu.
Kemarin dulu kau menewaskan muridku yang paling baik, sekarang
marilah kita membuat perhitungan!“ Kakek ketua Partai Kwan-cin
pai itu memang sedang berduka karena muridnya yang tersayang
yakni Thian sin Siok Hoat, telah tewas ketika mencoba untuk
membunuh kaisar dengan kawan-kawannya, tewas dalam tangan
See-thian Tok-ong. Maka begitu bertemu dengan pembunuh
muridnya, tak dapat menahan sabar lagi dan segera maju
menantang.
Terdengar suara haha hihi dari samping disusul kata- kata
mengejek.
“Cacing perut tua bangka, kau sudah begini kurus mau mampus
masih berani menantang Ayah. Kau baru patut bertanding melawan
Ayah kalau sanggup meneima dua kepalan tanganku!”
Mo-kiam Siangkoan Bu adalah ketua dari sebuah partai besar,
yaitu Partai Persilatan Kwan-cin-pai. Selama puluhan tahun di Anhwei
belum pernah ada orang berani menghinanya. Sekarang ia
dihina orang secara hebat, cepat ia menengok. Kemarahannya
memuncak ketika ia mendapat kenyataan bahwa yang
mengeluarkan kata-kata penuh hinaan hanya seorang pemuda
gundul yang seperti miring otaknya.
“Bocah edan, jadi kau ini anak See-thian Tok-ong? Pantas,
pantas tidak banyak bedanya. Kau mau coba-coba? Mari, mari, coba
kauperlihatkan betapa empuknya dua pukulan tanganmu. Ha, ha,
ha!“
Kok Sun mengeluarkan suara seperti kuda meringkik, kemudian
ia menerjang maju dan kedua tangannya dipukulkan ke arah dada
kakek tua itu sambil mengerahkan tenaga dan mempergunakmi
Ilmu Pukulan Hek-tok-ciang yang beracun!
717
Mo-kiam Siangkoan Bu belum pernah mendengar akan kelihatan
bocah gundul putera See-thian Tok-ong, maka ia memandang
rendah dan dengan berani ia menyambar kedua tangan itu, dipapak
oleh kedua telapak tangannya sendiri dengan maksud hendak
mempermainkan Kwan Kok Sun.
Begitu dua pasang telapak tangan bertemu, Kok Sun merasa
telapak tangannya dingin dan Iengket dengan telapak tangan lawan
yang ternyata pergunakan tenaga dalam menyedot! Ia kaget sekali
karena kalau tenaganya sampai tersedot dan kalah kuat, ia akan
menderita luka dalam dan untuk melepaskan kedua tangannya,
sudah tak keburu lagi. Terpaksa dengan mati-matian Kok Sun
mengerahkan lweekang dan membawa hawa berbisa dari Hek-tokciang.
Di lain pihak, tadinya Siangkoan merasa girang dan
mengeluarkan suara mengejek ketika dengan mudahnya ia dapat
menempel dua tangan lawannya. Akan tetapi segera wajahnya
berubah cepat ketika ia merasa betapa telapak tangannya gatalgatal
dan sakit serta panas sekali. Maklumlah ia bahwa ia telah
terkena pukulan yang berbisa.
“Celaka'“ serunya perlahan dan cepat- cepat ia menyalurkan
hawa dalam tubuh merubah tenaganya yang tadi “menyedot”
sekarang sebaliknya mendorong untuk mencegah menjalarnya
racun ke dalam lengan dan terus menyerang jantung. Demikianlah,
dua orang itu sekali gebrak saja sudah saling bertempelan dua
telapak tangan tanpa dapat dipisahkan lagi, masing-masing
mempertahankan diri. Biarpun Ilmu Hek-tok-ciang amat lihai, akan
tetapi oleh karena tenaga lweekang dari kakek itu masih menang
setingkat, maka kini kedua pihak terancam bahaya, Siangkoan Bu
terancam racun Hek-tok-ciang, sebaliknya Kwan Kok Sun terancam
bahaya terluka oleh saluran tenaga lweekang yang lebih kuat!
See-thian Tok-ong yang melihat hal ini menjadi tak sabar lagi. Ia
menepuk punggung anaknya sambil mencela.
“Kok Sun, mengapa kau begitu tolol?” Tepukan itu biarpun
hanya perlahan saja dan dilakukan di atas punggung Kok Sun
namun sebetulnya Raja Racun itu mengalirkan hawa pukulan atau
dorongan melalui tubuh dan lengan anaknya sehingga tiba-tiba
718
Siangkoan Bu menjadi terdorong. Mati-matian kakek ini
mempertahankan diri dan kedua kakinya sudah menggigil. Hampir ia
tidak kuat dan hawa beracun Hek-tok-ciang sudah mulai mendesak
sehingga sampai di pergelangan tangannya. Buktinya, kedua
tangannya mulai menjadi hitam, dari telapak tangan sampai mundur
ke pergelangan kedua tangan. Rasa gatal dan panas makin
menusuk.
Tiba-tiba merasa punggungnya di sentuh orang, sentuhan
perlahan akan tetapi kuat bukan main.
“Siangkoan Lo-enghiong, tak perlu mengadu nyawa dengan
orang segolongan sendiri!“ terdengar suara Kong Ji dan tiba-tiba
semacam tenaga yang dahsyat mengalir melalui punggung
Siangkoan Bu terus mendesak ke sepasang lengan dan Siangkoan
Bu melihat tanda hitam pada lengannya mundur terus terdesak
sampai lenyap. Akan tetapi dia mentaati kata-kata Kong Ji dan tidak
mau mempergunakan kesempatan itu menyerang Kok Sun,
sebaliknya ia lalu meluncurkan kedua tangannya yang menempel
tadi ke bawah dan melompat mundur, Kok Sun mandi keringat.
Baiknya Si Tua itu tidak mau membalas serangannya, karena
setelah mendapat bantuan dan Kong Ji, Kok Sun merasa betapa
Hek-tok-ciang memukul secara membalik kepada dirinya sendiri!
“Bagus, kepandaianmu ternyata sudah meningkat luar biasa
sekali!“ See thian Tok-ong memuji dengan kagum. Ta tidak marah
karena melihat bahwa ternyata Kong Ji tidak bermaksud buruk dan
kawan-kawannya juga tidak mau melanjutkan serangan dan
mencelakai Kok Sun yang sudah berada di pihak terancam.
“See-thian Tok-ong, kau lihat bahwa kami bermaksud baik.
Biarpun kau sudah menewaskan kawan-kawan kami, hal itu kami
anggap sebagai sebuah salah paham belaka. Biarlah yang sudah
lewat sudahlah, akan tetapi hendaknya lain kali kita dapat bekerja
sama. Bukankah kalian bertiga hendak naik ke Ngo-heng-san?“
“Benar.“
“Apakah hendak mengajukan seorang calon bengcu?“ tanya pula
Kong Ji.
719
“Habis untuk apa lagi kalau tidak untuk merebut kedudukan
bengcu?“
Kong Ji tersenyum. “See-thian Tok-ong kau sudah mempunyai
kedudukan tinggi dan baik di istana apakah masih belum puas dan
kini hendak merebut kedudukan bengcu? Ketahuilah bahwa
kedudukan itu boleh dibilang sudah berada di tanganku. Bukankah
lebih baik kau membantu suara dan menyokong aku saja agar kelak
kita bisa saling menolong, kau sebagai kepala pengawal istana aku
sebagai bengcu? Bukankah kita akan menjadi sekutu yang baik dan
saling menguntungkan?“
See-thian Tok-ong mengerutkan kening. Memang ia pikir betul
juga kata- kata Kong Ji itu. Akan tetapi sebagai seorang tokoh besar
mana ia mau mengalah begitu saja terhadap seorang muda?
“Bagaimana nanti sajalah, Liok-sicu. Biar kita bertemu lagi di
Puncak Ngo- heng-san dan kelak kita sama lihat saja bagaimana
perkembangannya. Hanya satu hal kujelaskan bahwa aku memang
lebih suka bekerja sama denganmu daripa dengan orang lain.“
Kong Ji tertawa penuh kemenangan, lalu menjura sampai dalam.
“Terima kasih banyak, Lo-enghiong, terima kasih banyak.
Sampai bertemu di puncak Ngo-heng-san dan selamat jalan.”
See-thian Tok-ong melambaikan tangan ke belakang dan para
busu yang sudah siap segera mendatangi dengan kuda ayah, ibu
dan anak itu. Mereka segera melanjutkan perjalanan dengan cepat.
Debu mengepul tinggi dan di antara kepulan debu ini terdengar
suara Kong Ji tertawa, suara ketawa yang amat menyeramkan.
Tak lama kemudian dari timur, selatan dan utara datang
pasukan-pasukan partai-partai yang menyokong Kong Ji, di
antaranya adalah partai lm-yang-bu-pai yang anggautanya tidak
begitu banyak lagi setelah dibasmi oleh See-thian Tok- ong. Partai
Bu-cin-pang, Kwan-cin-pai, Shan-si Kaipang, dan Twa-to Bu-pai.
Setiap partai terdiri kurang lebih seratus orang sehingga di belakang
Kong Ji sudah siap kurang lebih lima ratus orang. Kong Ji memberi
penjelasan dan siasat kepada lima orang kawannya yang masingmasing
segera memberi perintah kepada pembantunya. Tak lama
kemudian semua pasukan itu pergi dari situ mengambil jalan sendiri,
720
akan tetapi semua menuju ke Ngo-heng-san. Adapun Kong ji
bersama lima orang kawannya melanjut perjalanan dengan
menunggang kuda ke Ngo-heng-san.
Ngo-heng-san adalah lima puncak bukit yang berada di
Pegunungan Kin leng-san. Pegunungan ini disebut Ngo-heng san
adalah karena puncak ini mempunyai lima lereng atau daerah yang
berlainan sifatnya dan pula kalau orang berdiri di puncak yang tidak
berapa tinggi ini, orang akan melihat bahwa puncak ini di kelilingi
oleh lima gunung besar yakni Kin-leng-san, Tapa-san, Luliang-san
dan Taihang-san.
Ngo-heng-san tidak terkenal karena tingginya atau besarnya,
melainkan karena indahnya pemandangan alam yang berada di
tempat itu. Apalagi kalau orang memandang tamasya alam dari
puncaknya sekali, benar-benar jarang ada pemandangan alam
seindah kalau dilihat dan situ. Akan tetapi sayangnya, jalan menuju
ke puncak Ngo-heng-san amat sukar dan berbahaya sehingga
pernah kaisar sendiri terpaksa membatalkan keinginannya
menikmati tamasya alam dari puncak Ngo-heng-san. Bagi pelancong
biasa saja jangan harap akan dapat mencapai puncak, dan sudah
ada beberapa orang nekat dan jumawa, akhirnya lenyap tak
meninggalkan bekas ketika mencoba-coba untuk mendaki sampai ke
puncak dengan pertolongan tongkat dan tambang. Oleh karena itu,
biarpun terkenal indah, keadaan puncak Ngo heng-san selalu sunyi.
Akan tetapi, bagi orang yang berkepandaian tinggi, tentu saja
tidak begitu sukar untuk mendaki sampai ke puncak, maka boleh
dibilang bahwa puncak Ngo-heng-san hanya mengenal kaki orangorang
pandai, tak pernah puncak itu diinjak oleh orang-orang biasa.
Ahli-ahli silat tinggi, perantau-perantau di dunia kang-ouw dari
segala jurusan, apabila berada di daerah ini, pasti takkan
melewatkan kesempatan baik itu untuk megunjungi puncak Ngoheng-
san, dengan tiga macam maksud, pertama untuk menikmati
keindahan alam, kedua untuk menjajal kepandaian sendiri apakah
cukup tinggi untuk menempuh perjalanan yang sukar dan
berbahaya itu, ketiga untuk mencari sahabat karena besar
kemungkinan mereka akan bertemu dengan tokoh-tokoh kangouw
ternama di puncak itu.
721
Pada hari itu bahkan semenjak beberapa hari yang lalu, keadaan
di sekitar daerah Pegunungan Ngo-heng-san tidak seperti biasanya.
Tidak sunyi sepi seperti biasa, melainkan penuh dengan orang yang
mendaki ke puncak. Mereka ini terdiri dari bermacam-macam orang
yang mendaki dari kaki bukit sebelah selatan, utara, timur atau dan
barat. Akan tetapi, biarpun mereka terdiri dari orang-orang dengan
pakaian dan gaya bermacam-macam, ternyata mereka semua
adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Hal ini mudah
saja dilihat dari cara mereka berjalan, dan pula bagaimana orang
dapat mendaki ke puncak kalau tidak berkepandaian tinggi?
Di puncak sudah berkumpul tokoh-tokoh besar yang merupakan
pelopor-pelopor daripada pemilihan bengcu baru. Di puncak bukit itu
terdapat sebuah padang rumput yang luas dan tempat inilah yang
dijadikan tempat pertemuan, tempat pemilihan bengcu. Di situ telah
kelihatan kakek-kakek yang sikapnya alim duduk berunding untuk
merencanakan cara pemilihan yang akan dilakukan.
Di antara mereka terdapat Leng Hoat Taisu ketua Thian- san-pai
yang bertubuh kecil bongkok kepala botak bermuka merah dan licin
tak berkumis. Ketua Thian-san-pai ini datang bersama beberapa
belas orang tokoh Thian-san-pai yang terkemuka, yang pada waktu
itu mengambil tempat duduk di atas rumput tak jauh dari tempat
para pemimpin berkumpul. Juga kelihatan ketua Kun-lun-pai yang
sudah berusia delapan puluh tahun, yakni Tam Wi Siansu yang
tubuhnya tinggi kurus, sikapnya lemah lembut dan rambutnya yang
sudah putih semua itu berkibar terhembus angin gunung yang
sejuk. Orang ke tiga yang menjadi tokoh besar dan ketua partai
adalah Bu Kek Siansu ketua Bu-tong pai juga kakek itu bertubuh
tinggi kurus berpakaian seperti tosu dan berjenggot panjang.
Yang mengherankan tiga orang kakek yang termasuk ciangbunjin
(ketua) dari partai-partai besar ini, juga mengherankan semua
orang yang hadir di situ, adalah utusan-utusan dari Siau-lim-si, Gobi-
pai, Teng-san-pai, Hong-san-pai dan lain-lain partai persilatan
besar bukan terdiri dari ketuanya sendiri atau setidaknya yang
terkemuka, melainkan utusan-utusan ini adalah orang- orang yang
sama sekali tidak terkenal di dunia kang-ouw. Akan tetapi, oleh
karena masing masing membawa surat kuasa yang ditulis oleh
722
ketua masing-masing partai mereka ini diakui sebagai wakil dari
partai-partai besar itu.
“Heran sekali, mengapa Kian Hok Taisu dan Pang Soan Tojin
tidak datang sendiri?“ berkata Tai Wi Siansu Ketua Kun-lun-pai
kepada Bu Kek Siansu Ketua Bu-tong-pai. Bu Kek Siansu mengeluselus
jenggotnya yang panjang, lalu menghela napas.
“Mungkin keadaan yang buruk dari negara pada dewasa ini,
tidak menyalakan semangat dalam dada orang bahkan malah
melemahkan dan membuat mereka itu acuh tak acuh lagi. Untuk
urusan sebesar ini, mereka tidak datang sendiri, juga tidak
mengirimkan orang-orang penting, melainkan mengirim anak murid
yang tidak terkenal. Benar-benar pinto juga tidak mengerti mengapa
orang-orang seperti Kong Hian Hwesio dan Pek Kong Taijin yang
biasanya bersemangat sekarang hanya mengirim anak-anak buah
yang masih muda dan tidak ternama.“
Yang dimaksudkan oleh Bu Kek Siansu, yakni Kong Hian Hwesio
adalah ketua Siauw-lim-si, sedangkan Pek Kong Tojin adalah Ketua
dari Hong-san-pai. Memang tiga tokoh besar yang hadir di puncak
itu sekarang merasa kecewa sekali melihat tidak munculnya
ciangbunjin dari partai partai besar itu. Mereka kecewa, juga tak
enak hati. Pada setiap pertemuan tokoh-tokoh kang-ouw, apalagi
dalam menghadapi pemilihan bengcu yang diperebutkan oleh
banyak orang seringkali terjadi hal-hal yang gawat, pertempuranpertempuran
yang dahsyat. Tanpa adanya banyak kawan dan
tokoh-tokoh besar terkemuka, mereka merasa kurang kuat.
Akan tetapi tiba-tiba wajah tiga orang kakek ini berseru gembira
dan penuh harapan ketika mereka melihat rombongan orang
berjalan mendaki puncak dengan tenang dan tidak tergesa-gesa.
“Hwa l Enghiong datang, bagus sekali!“ kata Leng Hoat Taisu
gembira. “Juga Suheng Cam-kauw Sin-kai“
Memang betul yang datang adalah Go Ciang Le dan isterinya,
dan di samping Ciang Le berjalan Si Pengemis Tua yang lihai, yakni
Cam-kauw Sin-kai dengan tongkatnya yang tak pernah terpisah dari
tangannya. Di sebelah Bi Lan atau isteri Go Ciang Le berjalan seora
nona yang berwajah cantik jelita akan tetapi berpakaian sederhana
723
dan berwajah muram. Dia adalah Gak Soan Li murid Go Ciang Le.
Adapun orang yang terakhir di belakang Ciang Le adalah seorang
tua gagah perkasa yang buntung sebelah tangannya, yakni
pendekar perkasa Lie Bu Tek, tokoh besar Hoa-san-pai. Rombongan
terdiri dari lima orang ini biarpun kelihatan tenang dan berjalan
perlahan, nampak bukan seperti tokoh- tokoh penting, akan tetapi
semua orang menengok ke arah mereka. Terutama sekali nama
besar Hwa I Enghiong adalah cukup terkenal dan otomatis semua
diarahkan kepada punggung Go Ciang Le di mana nampak
tersembul gagang pedang yang beronce kuning. Begitu tiba di
puncak itu, sepasang mata dari Liang Bi Lan yang masih tetap jernih
dan tajam seperti mata burung Hong itu menyapu semua yang
hadir, dan nampak kecewa. Nyonya ini mencari puterinya, Go Hui
Lian yang ternyata tidak hadir di situ, maka ia merasa kecewa dan
gelisah. Kemanakah gerangan perginya bocah nakal itu, pikirnya.
Sementara itu, Ciang Le, Lie Bu Tek dan Cam kauw Sin kai sudah
sibuk membalas penghormatan atas sambutan para tokoh besar
yang didahului oleh Tai Wi Siansu ketua Kun-lun-pai.
“Go-taihiap makin tua makin nampak gagah saja,“ kata ketua
Kun-lun-pai yang mengenal Ciang Le dengan baik.
“Tai Wi Locianpwe apakah baik-baik saja?“ Ciang Le balas
menyalam. “Apakah semua orang gagah sudah berkumpul di sini?“
tanyanya kemudian.
Mereka bercakap-cakap sebentar, kemudian Ciang Le dan
rombongannya mencari tempat duduk di sebelah kiri, Bi Lan dan
Soan Li duduk di atas rumput yang kering dan bersih akan tetapi
Cam-kauw Sin-kai tidak mempedulikan lagi apakah rumput yang
didudukinya kotor atau bersih, basah atau kering. terus saja duduk
dan kepalanya menoleh ke kanan kiri matanya menyapu semua
yang hadir mencari-cari.
Rombongan demi rombongan datang memenuhi tempat itu.
Makin lama, dalam hati Tai Wi Siansu makin tidak enak. Orangorang
yang datang membanjiri tempat itu sebagian besar adalah
orang-orang baru yang tidak dikenalnya. Dan sebagian besar adalah
rombongan orang-orang yang tidak begitu penting dalam pemilihan
itu.
724
Kemudian datang rombongan yang menarik perhatian orang
pula. Mereka itu adalah rombongan See-thian Tok-ong yang datang
bersama Kwan Ji Nio. Kwan Kok Sun, dan delapan orang laki-laki
gagah perkasa yang sikapnya angker sekali. Mereka ini berpakaian
seperti guru-guru silat, akan tetapi sesungguhnya mereka ini adalah
busu-busu pilihan dari istana kaisar!
Kedatangan See-thian Tok-ong ini mendatangkan rasa khawatir
di dalam hati para tokoh besar. Sudah terlalu tersohor nama Seethian
Tok-ong dan sekarang menyaksikan keadaan ayah ibu dan
anak itu, mereka makin cemas. Tak salah lagi, tentu Raja Racun dari
barat ini, datang membawa maksud yang tidak baik, atau
setidaknya tentu akan berusaha merebut kedudukan bengcu.
See-thian Tok-ong sama sekali tidak mengacuhkan para tokoh
besar yang berada di situ, mengambil sikap seolah- olah dia
mempunyai kedudukan lebih tinggi. Akan tetapi ketika ia melihat
Ciang Le dan rombongannya, ia tersenyum menghampiri pendekar
besar itu.
“Aha, Hwa I Enghiong! Sungguh menyenangkan sekali kita dapat
bertemu lagi di tempat ini.” Sambil berkata begini matanya
menyapu untuk menyelidiki siapa saja kawan- kawan Hwa I
Enghiong yang ikut datang. Ketawanya berubah menjadi senyum
sindir ketika melihat pendekar besar ini hanya dikawani oleh Lie Bu
Tek yang buntung tangannya, Liang Bi Lan, Cam-kauw Sin-kai dan
seorang gadis cantik yang berwajah muram.
“See-thian Tok-ong kau dan anak isterimu datang juga, benarbenar
akan ramai keadaan di sini,“ kata Ciang Le sambil tersenyum
tenang, akan tetapi kata katanya ini merupakan teguran setengah
menyindir bahwa kedatangan Raja Racun ini tentu akan
mengakibatkan keributan saja! See-thian Tok-ong hanya tertawa
menyeringai mendengar kata-kata ini, lalu mengundurkan diri ke
dalam rombongannya sendiri. Orang-orang yang duduknya jauh dari
tempat itu hanya memandang dengan hati berdebar- debar kepada
kedua orang tokoh besar itu dan di hati mereka menduga-duga
sipakah yang lebih kuat di antara mereka itu. Keduanya adalah
tokoh kang-ouw yang jarang keluar dan jarang ada orang
menyaksikan kepandaian mereka. Hwa I Enghiong terkenal sebagai
725
seorang gagah perkasa yang mewakili kebajikan dan keadilan,
sebaliknya See-thian Tok ong namanya seperti iblis yang dahsyat
dan jahat.
Tiba-tiba terdengar suara yang amat riuh sehingga hanya
gemanya saja yang terdengar. Semua orang kaget karena maklum
bahwa ini adalah suaranya orang- orang yang memiliki lweekang
tinggi dan yang dapat mengirim suara dari jarak jauh sekali dengan
pengumuman Ilmu Coan-im-jib-bit.
“Tung-nam Thai-beng-cu yang menguasai semua partai orangorang
gagah di dunia selatan dan timur, Liok-bengcu yang gagah
perkasa, calon bengcu besar dalam pemilihan hari ini, datang
berkunjung ... !!“
See-thian Tok-ong mengeluarkan suara ketawa ha-ha-hi-hi
seperti orang menghadapi hal yang amat lucu, sedangkan Hwa I
Enghiong Go Ciang Le mengerutkan alis nampak marah. Melihat
sikap dua orang tokoh ini dan rombongan mereka, dapat diduga
bahwa dua rombongan ini saja sudah mengenal siapa adanya
bengcu itu. Akan tetapi semua orang diam saja, hanya
mengarahkan pandang mata ke arah suara tadi.
Tak lama kemudian, dari bawah puncak merayap naik lima
pasukan yang teratur rapi, dengan bendera besar di bagian depan
pasukan. Membaca tulisan pada bendera- bendera itu, semua orang
dapat mengetahui bahwa rombongan besar itu adalah anggauta dari
partai Im-yang- bu-pai, Bu-cin-pang, Kwa-cin-pai. Shansi Kai-pang
dan Twa to Bu-pai.
“Hm, iblis itu sudah mengumpulkan partai-partai jahat untuk
menjadi sekutunya,“ kata Lie Bu Tek perlahan kepada Ciang Le,
Pendekar besar ini hanya mengerutkan alis dan tidak berkata apaapa.
Setelah lima pasukan yang masing-masing terdiri dari kurang
lebih seratus orang ini tiba di kaki puncak, mereka merupakan
barisan di kanan kiri jalan bersikap hormat. Terdengar terompet
ditiup dan tambur dipukul orang, terdengar amat angker seakan
akan orang menghormat munculnya raja besar.
726
Kemudian kelihatanlah bengcu yang baru diumumkan, berjalan
dengan langkah tegap dan tenang. Pemuda berusia dua puluh
empat atau dua puluh lima tahun, wajahnya tampan dan sepasang
matanya bergerak-gerak tanda otaknya selalu bekerja keras dalam
setiap saat, kelihatan cerdik dan licik, bibirnya tersenyum-senyum
setengah mengejek, jubahnya lebar panjang berwarna kuning
bersulamkan benang emas menyerupai lukisan ular naga yang
melilit tubuhnya dan kepala dua ekor naga itu tiba di bagian dada
yang tengah-tengahnya tergambar mustika bernyala-nyala. Itulah
gambar sepasang naga berebut mustika yang disulam secara indah
sekali pada jubah itu, membuatnya nampak makin gagah.
Pemuda ini adalah Liok Kong Ji yang naik ke puncak sambil
mengangkat dada, penuh kepercayaan akan diri dan sama sekali
tidak gentar biarpun ia sudah tahu bahwa di situ akan berhadapa
dengan tokoh-tokoh dunia! Di sampingnya berjalan Giok Seng Cu,
kakek tua yang rambutnya panjang riap-riapan. Dengan adanya
kakek buruk rupa ini di sampingnya, Liok Kong Ji kelihatan makin
tampan dan gagah saja. Di belakang dua orang ini berjalan Sinhouw
Lo Bong Mo-kiam Siangkoan Bu, dan dua orang gagah lain,
yakni Kwa Seng ketua Kwa to-bu-pai yang berjuluk Twa-to (Si Golok
Besar) dan yang ke dua adalah Siang-pian Giam-ong Ma Ek, ketua
dari Bu-cin-pai di Keng- sin-bun.
Kalau kita ingat bahwa putera dari Siang-pian Giam-ong Ma Ek
yang bernama Ma Hoat telah dibikin gila oleh Kong Ji ketika Kong Ji
melakukan perjalanan dengan Hui Lian (baca jilid terdahulu), maka
dapat dibayangkan betapa lihai dan licinnya Liok Kong Ji sehingga
kini ayah dari Ma Hoat dapat menjadi sekutunya. Memang tak
seorang pun tahu apa yang telah dilakukan oleh Kong Ji pada
malam hari itu di kamar suami isteri Cu terhadap diri Ma Hoat!
Memang harus dipuji ketabahan hati Kong Ji. Kalau lain orang,
melihat Ciang Le berada di situ tentu akan merasa sungkan dan
malu. Akan tetapi tidak demikian dengan pemuda ini. Sambil
tersenyum ramah ia melangkah ke tengah lapangan, menggerakgerakkan
hudtimnya dengan gaya seorang pemimpin besar, lalu
berkata,
727
“Cuwi Locianpwe yang berkumpul di sini terlalu banyak sehingga
sukarlah bagi siauwte untuk memberi hormat satu persatu. Oleh
karena itu, siauwte Liok Kong ji bengcu dari selatan dan timur
menghaturkan hormat dari sini saja kepada semua Locianpwe yang
hadir.” Ta menjura ke empat penjuru, sengaja ditujukan ke arah
rombongan See-thian Tok-ong, Go Ciang Le, Tai Wi Siansu lain lain
tokoh besar.
“Siauwte yang muda dan bodoh telah diangkat menjadi bengcu
di selatan dan timur, dan sekarang mendengar akan diadakannya
pemilihan bengcu baru, para kawan-kawan siauwte mendesak
supaya siauwte datang di sini sebagai calon. Oleh karena itu,
dengan melupakan kebodohan sendiri, siauwte terpaksa menuruti
kehendak kawan-kawan itu.“
Ketika bicara Kong Ji sengaja menghadap ke arah rombongan
Ciang Le berada. Dia melihat Bi Lan berbisik kepada suaminya
seakan-akan menanyakan sesuatu dan dilihatnya Ciang Le
menjawabi isterinya sambil meraba pinggang kiri sendiri. Diam-diam
Kong Ji kagum sekali. Melihat gerakan Ciang Le ini otaknya yang
cerdik dapat menduga bahwa tadi Liang Bi Lan tentu membicarakan
dia dan bertanya kepada suaminya dimana pedang Pak-kek Sinkiam
yang dulu dibawa oleh Kong Ji. Di jawab oleh Ciang Le dengan
rabaan tangan ke pinggang kiri bahwa pedang itu disembunyikan di
balik jubah. Tentu saja Kong Ji amat kagum dan terkejut akan
kelihaian dan ketajaman mata Ciang Le. Memang betul pedang Pakkek
Sin-kiam ia sembunyikan di balik jubahnya tergantung di
pinggang kiri. Bagaimana Ciang Le bisa tahu? Akan tetapi Kong Ji
tidak kehilangan akal. Ta takut kalau-kalau Hwa T Enghiong Go
Ciang Le nanti akan membuka rahasia tentang pedang itu dan akan
menuduhnya menuri pedang, maka ia hendak mendahuluinya.
Sambil terseyum ia melanjutkan kata- katanya.
“Cuwi Locianpwe, sudah kukatakan tadi bahwa siauwte adalah
seorang muda yang bodoh dan tentu saja tidak terkenal seperti
Cuwi Locianpwe yang sudah menduduki tingkat tertinggi di dunia
kang-ouw. Oleh karena itu, bukan melupakan kesombongan apabila
siauwte memperkenalkan diri. Siauwte Liok Kong Jl tidak
mempunyai guru yang sah, akan tetapi siauwte pernah digembleng
oleh tokoh-tokoh seperti Suhu Liang Gi Tojin dari Hoa-san, Suhu
728
Giok Seng Cu, Suhu See-thian Tok-ong, dan Suhu Hwa I Enghiong.
Selain itu siauwte juga beruntung sekali menjadi ahli waris dari Bu
Kek Siansu di puncak Luliang-san. Buktinya inilah!” Kong Ji
menggerakkan tangannya, cepat bukan main seperti orang bermain
sulap saja dan tahu-tahu sebatang pedang yang gemerlapan saking
tajamnya telah berada di tangannya.
”Pedang ini adalah Pak-kek Sin-kiam peninggalan dari Sucouw
Pak Kek Siansu dan siapa yang memiliki pedang berarti akan
menjagoi dunia kang-ou. Pedang ini memang secara kebetulan jatuh
di tanganku, setelah terjadi perebutan yang ramai yang tak perlu
diceritakan di sini. Pokoknya siauwte yang berjodoh memiliki Pedang
Pak-kek sin-kiam dari Pak Kek Siansu.”
Baru saja kalimatnya habis diucapkan, berkelebat bayangan yang
amat cepat dan tahu-tahu seorang nyonya cantik sudah berdiri di
hadapannya. Nyonya ini adalah Liang Bi Lan atau Nyonya Ciang Le
yang dijuluki orang Sian-I Eng-cu (Bayangan Bidadari).
Kepandaiannya yang tinggi sekali dan ginkangnya telah mencapai
tingkat yang jarang ada yang dapat menandinginya, maka
gerakannya tadi pun hanya sekelebatan saja dan hanya mata orangorang
pandai saja dapat mengikuti gerakannya dengan seksama.
”Orang she Liok” katanya dengan suara halus menekan
kemarahan dan kebenciannya, ”semua omonganmu itu tak perlu
bagiku karena aku sudah cukup kenal akan watak palsumu.
Sekarang hayo lekas katakan di mana adanya Hui Lian anakku!”
Ciang Le agak menyesal mengapa isterinya tidak dapat bersabar
menanti, akan tetapi ia pun maklum akan apa yang terasa di hati
isterinya. Hui Lian sudah pergi dari rumah bersama Liok Kong Ji dan
sudah kurang lebih satu tahun setengah puteri mereka pergi tanpa
ada beritanya. Dia sendiri amat khawatir, apalagi setelah kini
melihat Kong Ji muncul tanpa disertai oleh Hui Lian kalau dia saja
sudah amat khawatir, apa lagi isterinya.
Liok Kong Ji yang ditanya oleh subonya dan yang tahu bahwa
subonya amat marah kepadanya, hanya tersenyum. Sikapnya
senang-tenang saja dan tidak mau memberi hormat. Ta adalah
seorang bengcu yang akan dipilih tak perlu merendahkan diri. Ta
729
hanya membungkukkan pinggangnya ke arah Bi Lan sambil
menjawab.
“Toanio, tentang Nona Go Hui Lian siauwte tidak tahu di mana
adanya. Akan tetapi seorang di antara sahabat- sahabat siauwte
yang amat banyak jumlahnya mengetahui. Oleh karena itu, apabila
persoalan memilih bengcu ini sudah beres, siauwte sebagai bengcu
baru menanggung sepenuhnya bahwa Toanio pasti akan dapat
bertemu dengan Nona Hui Lian.“
Bukan main mendongkolnya hati Bi Lan mendengar jawaban ini.
Benar-benar kurang ajar sekali bocah ini pikirnya. Tidak saja
menyebutnya “toanio“ seakan-akan tidak mengakui sebagai subo
(iste guru) lagi, akan tetapi juga sengaja menolak secara halus
untuk memberi tahu di mana adanya Hui Lian dan menuntut
melakukannya pemilihan bengcu lebih dulu. Sebagai seorang yang
sudah banyak melakukan perantauan di waktu mudanya dan tahu
betul akan tipu muslihat para penjahat besar di dunia kang- ouw. Bi
Lan sudah mengerti bahwa keterangan tentang dimana adanya Hui
Lian, akan dijadikan taruhan oleh Kong Ji, akan dijadikan bahan
untuk memeras dan memaksanya memilih pemuda ini sebagai
bengcu! Kalau menurutkan nafsu hatinya, ingin ia menyerang dan
memaksa Kong Ji mengaku sekarang juga di mana adanya Hui Lian.
Akan tetapi sebelum ia lakukan sesuatu, ia mendengar suara
suaminya.
“Mundurlah, isteriku. Biar lihat apa yang ia lakukan selanjutnya.
Mudah menurunkan tangan apabila ternyata dia mengganggu anak
kita.“
Kata Ciang Le ini terdengar seperti bisikan di dekat telinga Bi Lan,
akan tetapi tidak terdengar oleh siapapun juga, karena Ciang Le
telah mempergunakan ilmu mengirim suara dari jauh yang amat
tinggi tingkatnya sehingga suara yang ia kirim itu hanya dapat
“diterima“ oleh telinga orang yang harus menerimanya, Bi Lan
mendengar ini bahwa kelakukannya kurang patut. Saat itu adalah
saat pertemuan orang-orang gagah sedunia dan saat dilakukan
pemilihan bengcu, sebuah hal yang amat pelik dan penting.
Memperlihatkan perhatian sepenuhnya hanya untuk urusan pribadi,
benar-benar bukan pada tempatnya dan tidak pada saatnya yang
730
tepat. Maka sambil menahan amarah ia menggerakkan kaki dan
berkelebatlah bayangannya dengan cepat sehingga di lain saat ia
telah berdiri di sebelah suaminya lagi.
Banyak orang menahan napas menyaksikan kelihaian nyonya ini,
akan tetapi yang paling kaget adalah Kong Ji. Bukan kaget melihat
ginkang luar biasa dari subonya, karena ia memang sudah tahu
akan kehebatan ilmu meringankan tubuh dari Liang Bi Lan. Yang
membuat ia kaget adalah pengiriman suara dari Ciang Le. Karena ia
berdiri di depan Bi Lan dan ia pun sudah memiliki pendengaran yang
lebih tajam daripada ahli-ahli silat lain, ia dapat mendengar bisikan
halus itu dan hatinya terguncang. Dahulu belum pernah gurunya ini
memperlihatkan ilmu lweekang yang demikian tinggi, dan sekarang
ia harus akui bahwa Hwa I Enghiong Go Ciang Le benar-benar
seorang yang kosen dan akan merupakan lawan yang sukar
dikalahkan!
Pada saat itu, tiba tiba-tiba terdengar pekik yang tinggi dan
nyaring. Pekik ini amat nyaring dan menyakitkan anak telinga
hingga banyak orang yang lweekangnya kurang tinggi, segera
mengangkat dua tangan menutupi telinganya. Didengar sepintas
lalu oleh mereka yang tidak kuat mendengar terus, terdengar
seperti suara semacam burung yang aneh yang menyambar dari
atas ke bawah, kadang- kadang terdengar di sebelah selatan, tibatiba
berpindah- pindah ke jurusan lain. Akan tetapi bagi para tokoh
yang bertenaga lweekang cukup kuat untuk menerima serangan
getaran suara tinggi ini, dapat mereka dengar jelas bahwa inilah
pekik seorang wanita yang mempunyai Iweekang dan khikang tinggi
sekali!
Tai Wi Siansu, ciangbunjin dari Kun-lun-pai yang sudah amat tua
itu nampak terkejut dan terheran-heran sampai bangun berdiri dan
berkata,
“Thian Yang Maha Kuasa! Apakah Pat-jiu Nio-nio sudah bangkit
kembali dari kuburnya?“
Tokoh yang sudah tua dan yang hadir di saat itu semua sudah
mengenal atau pernah mendengar nama Pat-jiu Nio- nio seorang
wanita aneh yang mempunyai semacam istana yang indah dan luas
di sebuah puncak Pegunungan Go-bi-san. Di sana Pat-jiu Nio-nio
731
mempunyai semacam perkumpulan yang terdiri dari wanita semua,
dan yang diberi nama Perkumpulan Hui-eng-pai (Perkumpulan Elang
Terbang). Memang pekik mengerikan di adalah tanda dari Pat-jiu
Nio-nio. Akan tetapi nenek tua ini sudah meninggal dunia dan
kabarnya perkumpulannya pun otomatis bubar. Bagaimana
sekarang tiba-tiba saja muncul pekik yang menyeramkan ini? Siapa
lagi kalau bukan Pat-jiu Nio-nio yang dapat mengeluarkan pekik
seperti itu? Tidak ada seorang pun yang berada di situ, juga Liang
Bi Lan tidak ada yang mampu mengeluarkan pekik seperti tadi.
Pekik ini khusus dipelajari dan tanpa latihan, tak mungkin orang
dapat mengeluarkan pekik yang bunyinya seperti teriakan garuda
betina, akan tetapi jauh lebih nyaring dan tinggi ini.
Semua orang menoleh ke arah bawah puncak dan tak lama
kemudian terjawablah semua pertanyaan di dalam hati. Muncullah
wanita yang mengeluarkan pekik tadi dan semua orang menahan
napas. Yang datang adalah serombongan orang wanita-wanita
muda atau gadis-gadis cantik jelita yang pakaiannya semua sama.
Baju putih disulam burung elang di bagian dada, sedangkan pakaian
sebelah bawah berwarna hijau daun. Rombongan ini terdiri dan
empat puluh empat orang, dipimpin oleh seorang gadis berusia
paling banyak dua puluh tahun yang wajahnya cantik seperti
bidadari.
Kalau semua orang memandang dengan kagum dan tertarik,
adalah Kong Ji yang tiba-tiba menjadi pucat. Akan tetapi ia dapat
menekan perasaannya dan dengan tenaga lweekangnya ia
menormalkan kembali jalan darahnya sehingga mukanya kembali
kemerahan, kemudian mengambil sikap seakan-akan ia tidak
perduli.
Akan tetapi, tiba-tiba gadis yang paling depan dan yang
rambutnya terdapat hiasan mutiara dironce berbentuk buru elang,
tanda satu-satunya yang tidak pada rambut lain wanita yang berada
dalam rombongan itu, memandang kepadanya dan berserulah gadis
itu nyaring.
“Jahanam Wan Sin Hong, mampuslah kau sekarang!“ Baru saja
ucapan ini dikeluarkan, tubuh gadis itu sudah melesat di udara dan
turun kembali menyambar ke arah Kong Ji. Sinar hijau berkelebat
732
dan cepat Kong Ji mengelak ketika sebatang pedang yang bersinar
kehijauan menyambar lehernya. Hebat sekali serangan gadis ini,
benar-benar seperti seekor burung elang betina yang marah
menyambar korbannya.
“Eh, nanti dulu, Nona! Aku bukan Wan Sin Hong!“ teriak Kong Ji
sambil melompat jauh ke belakang. Akan tetapi gadis itu tidak mau
mendengar omonganya, dan kembali menyerang dengan gerakan
laksana burung terbang menyambar. Terpaksa Kong Ji mencabut
Pak Kek Sin-kiam yang tadi sudah disimpannya untuk menangkis.
Terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar ketika dua batang
pedang bertemu. Bukan main kagumnya Ciang Le dan Bi Lan ketika
melihat bahwa pedang hijau itu tidak apa-apa! Jarang sekali di
dunia ini ada pedang yang dapat menangkis Pak-kek Sin-kiam tanpa
rusak.
“Nona, kau salah lihat! Aku bukan Wan Sin Hong dan sikapmu ini
berarti bahwa kau tidak menaruh hormat kepada semua orang
gagah di dunia yang pada saat ini berkumpul di sini!“ kata pula
Kong Ji dengan bentakan suara keras. Ta sama sekali tidak takut
kepada gadis ini, akan tetapi pada saat itu ia sedang mencari kawan
bukan memandang lawan. Ta mencari kawan untuk merebut
kedudukan bengcu.
Gadis itu nampak ragu-ragu agaknya baru ia memperhatikan
bahwa di situ terdapat banyak sekali orang. menyapu ke kanan kini
dengan matanya yang tajam dan indah, kemudian menatap wajah
Kong Ji lagi.
“Betulkah kau bukan Wan Sin Hong?” bentaknya mengancam.
“Di sini berkumpul banyak Locianpwe dan semua partai. Kalau
kau masih belum percaya, kau boleh tanya kepada mereka.“ jawab
Kong Ji menentang.
Gadis itu menoleh ke belakang, arah kawan-kawannya yang
berjumlah empat puluh orang gadis cantik itu, lalu memanggil.
“Cun Eng, ke sini kau!“
Seorang gadis cantik melompat luar dari dalam barisan itu,
gerakannya juga cekatan dan Tincah sekali tanda bahwa ia pun
733
memiliki kepandaian lumayan! Sayangnya biarpun wajahnya cantik
namun nampak muram dan pucat seperti orang kurang tidur atau
orang yang sedih. Setelah tiba di depan nona nemanggilnya, ia
menjatuhkan berlutut di depan pemimpinnya itu.
“Cun Eng, kaulihat baik-baik. Inikah Si Jahat Wan Sin Hong itu?“
“Bagaimana saya dapat memastikan, Niocu? Ia mengaku
bernama Wan Sin Hong ..“ jawab gadis yang berlutut itu dengan
suara lemah, nampaknya takut-takut.
“Akan tetapi, ini atau bukan orangnya? Jawablah yang tegas,
jawabmu mati hidupnya orang ini!“ kata pula gadis itu.
Gadis yang berlutut mengangkat muka memandang wajah Kong
Ji dengan tajam melalui air matanya yang hendak menitik turun,
dan nampak ragu-ragu melihat Kong Ji berdiri dengan sikap agung
seperti seorang pemimpin besar. Kemudian ia menundukkan
mukanya, menggeleng- geleng kepala, kemudian mengangkat muka
memandang lagi sampai lama. Akhirnya is berkata,
“Niocu, sungguh mata saya tidak dapat memastikan dengan
yakin. Malam itu gelap, saya tak dapat melihat wajahnya. Hanya
saja, kalau melihat bentuk wajahnya yang nampak di dalam gelap,
melihat bentuk tubuh dan mendengar suaranya, mirip benar dengan
dia ini. Akan tetapi kalau namanya bukan Wan Sin Hong... ah,
bagaimana saya dapat memastikan, Niocu? Saya tidak mau
menjatuhkan dosa kepada orang lain.“ Kemudian gadis itu
menangis.
Pemimpinnya nampak marah. “Mundur kau!“ kakinya diangkat
sedikit dan tubuh gadis yang berlutut itu terlempar ke dalam
barisannya dan jatuhnya berdiri tempatnya tadi. Kini ia berdiri tegak
dengan sikap menghormat, biarpun air matanya masih berlinang
dan mengalir turun di sepanjang pipinya yang pucat, namun tak
sedikit pun suara tangisan keluar dari mulutnya.
Gadis yang berpedang hijau itu lalu memandang ke kanan kiri,
akhirnya menjatuhkan pandang matanya kepada Gak Soan Li yang
berdiri tegak di dekat Liang Bi Lan dan semenjak kedatangannya
lebih banyak menundukkan muka daripada ikut bicara atau
734
memandang ke mana-mana. Sekali menggerak kaki, gadis itu telah
berhadapan dengan Soan Li.
“Eh, sahabat yang cantik dan gagah, tolong kau yang beri tahu
kepadaku, siapakah orang yang pedangnya bagus itu? Apakah dia
bukan Wan Sin Hong?'“ tanyanya dan kini air muka yang tadinya
nampak keren dan galak itu sekaligus berubah menjadi ramah
tamah dan manis bukan main.
Mendengar ada orang bicara dengan dia, Gak Soan Li
mengangkat mukanya dan memandang tajam. Gadis berpedang
hijau itu sampai kaget melihat sinar mata Soan Li yang tajam
menyambar begaikan kilat!
“Aku bertanya dan bermaksud
baik, jangan kau marah,“ katanya.
Begitu ditanya oleh gadis
berpedang hijau itu apakah
pemuda yang memegang hudtim
(kebutan pendeta) itu bukan Wan
Sin Hong, Soan Li menjawab.
“Dia bukan Wan Sin Hong.“
Akan tetapi, biarpun mulutnya
berkata demikian, matanya
memandang ke arah Liok Kong Ji
dengan terbelalak lebar dan tibatiba
mukanya menjadi pucat sekali,
hidungnya kembang-kempis
bibirnya bergerak-gerak tanpa
meluarkan suara apa apa.
Sernentara itu, semenjak tadi Liok Kong Ji memandang kepada
gadis berpedang hijau itu dengan sinar mata tertarik kagum sekali.
Tadi ia berdiri dengan wajah tak berubah ketika gadis itu bertanya
kepada Soan Li, hal yang sama sekali tak pernah diduganya atau
diduga oleh orang lain.
Apa yang menyebabkan gadis itu bertatiya kepada Soan Li,
benar-benar merupakan hal yang mengejutkan dan tidak ada yang
735
mengerti. Lebih-lebih Kong Ji, biarpun wajahnya tidak
memperlihatkan perubahan apa-apa, namun isi hatinya hanya dia
sendiri yang tahu!
Setelah mendengar jawaban yang memastikan dari Soan Li
bahwa dia bukan Wan Sin Hong yang dicari-cari oleh gadis
berpedang hijau yang agaknya amat benci dan hendak membunuh
Sin Hong, Kong ji tersenyum. Seperti biasa senyumnya
membayangkan ketinggian hatinya dan mengandung ejekan. Sekali
menggerakkan kedua kakinya, ia telah melompat ke dekat gadis
berpedang hijau yang lihai itu, lalu menjuralah Kong Ji dengan sikap
manis dan menghormat.
“Nona yang gagah perkasa, sudah kukatakan tadi bahwa aku
bukan Wan Sin Hong. Banyak sekali orang mencari Wan Sin Hong,
bahkan aku sendiri kalau bertemu dengan dia, masih ada beberapa
hutangnya yang harus dibayar sehingga sebuah kepalanya masih
belum lunas untuk membayar hutangnya. Jangan kau khawatir,
Nona, kalau aku bertemu dengan bangsat itu, pasti sebelum
memenggal kepalanya dia lebih dulu akan kuseret dan kuhadapkan
kepadamu, asal saja kau sudi memberi tahu ke mana aku dapat
mencarimu. Perkenalkan, Nona, aku adalah Liok Kong Ji, bengcu
baru dari timur dan selatan, dan calon bengcu dalam pemilihan
sekarang ini. Sebaliknya siapakah kau ini, Nona, dan dari partai
apa?“
Gak Soan Li yang berdiri tidak jauh dari situ, mendengar nama
Liok Kong Ji, mukanya menjadi makin pucat dan menatap wajah
pemuda itu bagaikan orang melihat setan. Ia menahan jerit dan
tangan kanannya menekan dan kemudian ia kelihatan terhuyunghuyung
dan pasti roboh kalau saja Liang Bi Lan tidak cepat-cepat
memeluknya. Ketika Bi Lan melihat bahwa muridnya itu ternyata
telah pingsan ia lalu cepat mengangkatnya ke pinggir dan
merebahkannya di atas lantai di bawah pohon.
Cam-kauw Sin-kai cepat menghampiri, berlutut dan memegang
urat nadi Soan Li. Selama ini memang Soan Li dirawat oleh Camkauw
Sin-kai yang ingin sekali memulihkan ingatan gadis itu dan
ingin sekali membongkar rahasia yang membuat gadis yang
bernasib malang ini kehilangan ingatannya. Cam-kauw Sin-kai
736
maklum bahwa gadis ini terkena racun yang hebat sekali dan yang
sebegitu lama belum dapat ia obati. Sampai sebegitu jauh, Soan Li
baru dapat ingat bahwa ia adalah murid Hwa I Enghiong Go Ciang-
Le dan bahwa ia telah dihina oleh seseorang yang bernama Wan Sin
Hong dan ditolong oleh seorang yang ia panggil Gong Lam-ko dan
yang ia cinta sepenuh hati. Akan tetapi ia tidak dapat menceritakan
apa yang telah terjadi dengan dirinya, tidak dapat mengatakan pula
siapakah itu Wan Sin Hong dan yang mana pula yang ia panggil
Gong Lam-ko. Sekarang yang ia kenal hanyalah Cian Le sebagai
suhunya, Bi Lan sebagai subonya, Cam-kauw Sin-kai yang ia panggil
locianpwe dan Lie Bu Tek yang ia sebut lo- enghiong. Yang lain-lain
ia telah lupa semua.
Sekarang ketika melihat betapa Soan Li roboh pingsan, Camkauw
Sin-kai cepat-cepat menolongnya dan setelah gadis itu siuman
kembali, Cam-kauw Sin-kai cepat-cepat berbisik.
“Soan Li, siapakah laki-laki itu? Ingatkah kau akan dia dan apa
yang telah ia perbuat terhadap dirimu maka kau sampai pingsan
melihat dia?“ Memang semenjak merawat Soan Li pengemis sakti ini
menganggap Soan Li sebagai murid atau orang sendiri sehingga ia
menyebut nama gadis itu demikian saja. Kakek ini memang sudah
dapat menyelami bahwa dalam keadaan Soan Li ini terselip rahasia
yang besar dan hebat, maka setiap gerakan gadis ini tentu amat ia
perhatikan.
Akan tetapi Soan Li yang ditanya hanya menggeleng-geleng
kepalanya dan kini ia telah duduk di atas rumpus, tangan kirinya
mengurut-urut kening seperti orang pusing dan sepasang matanya
yang suram itu ditujukan ke arah Kong ji berdiri.
“Kau kenal dia? Pernah kau melihat dia?“ Cam-kauw Sin-kai
terus berbisik dalam usahanya mengembalikan ingatan gadis itu.
Tentu saja Cam-kauw Sin-kai sudah mendengar dari Ciang Le
tentang sepak terjang Liok Kong Ji yang melarikan diri sambil
membawa pedang Pak-kek Sin-kiam, juga membawa Iari bersama
puteri Hwa I Enghiong, kemudian mengalahkan Soan Li yang
mencoba mengejarnya.
Soan Li mengerutkan kening dan sepasang alisnya bertemu.
737
“Aku pernah melihatnya...“ katanya dalam bisikan pula, matanya
tak pernah berkedip memandang ke arah Kong Ji.
“Kau tadi sudah mendengar namanya Liok Kong Ji. Kenalkah kau
padanya?”
“Aku... aku pernah mendengar nama itu... lupa lagi entah di
mana....“
“Coba kaulihat balk-balk, apakah wajahnya menimbulkan kesan
baik atau buruk padamu?“
“Buruk... dia menimbulkan muak dan aku... entah mengapa aku
benci dan tidak suka kepadanya.“
“Dan nama itu, Liok Kong Ji, bagaimana terdengar olehmu?
Apakah juga mendatangkan perasaan tak enak?“
“Nama itu pun memuakkan, menimbulkan benci...!“ kata
Soan Li dan nampaknya gadis ini bingung sendiri mengapa ia bisa
membenci wajah dan nama orang itu. Cam-kauw Sin- kai tidak mau
mendesak terus karena sebagai seorang tabib ia maklum bahwa
pengembalian ingatan gadis ini harus secara sewajarnya dan
dengan perlahan, kecuali kalau memang ada obat yang tepat untuk
menghantam racun yang sudah mengotori kepala gadis itu.
Sementara itu, gadis berpedang hijau ketika mendengar
omongan Liok Kong Ji sama sekali sikapnya tidak mengacuhkan dan
tidak sudi melayani. Ia hanya menyapu wajah pemuda itu dengan
kerling matanya, kemudian berkata.
“Hemm... di sini orang mau mengadakan pemilihan bengcu?
Menarik sekali! Hendak kulihat, orang macam apa yang nanti terpillh
menjadi bengcu!” Setelah berkata demikian, ia menyapu wajah
semua orang yang hadir di situ dengan wajah penuh perhatian.
Pandang matanya tajam kini dapat melihat bahwa sesungguhnya
tempat itu penuh oleh orang-orang yang kelihatannya pandai, maka
wajahnya menjadi berseri, agaknya tertarik sekali.
Tai Wi Siansu, ketua Kun-lun-pai, adalah seorang yang dahulunya
menjadi sahabat baik dari Pat-jiu Nio-nio, maka kini melihat bahwa
di situ terdapat serombongan orang- orang Hui-eng-pai yang
738
disangkanya sudah bubar semenjak nenek sakti itu meninggal,
menjadi gembira dan tertarik. Dengan lambaian lengannya, iato
melompat menghadapi nona pedang hijau itu dan berkata ramah.
”Nona, kau siapakah? Pinto lihat memimpin pasukan Hui-eng pai.
Apa hubunganmu dengan mendiang Pat-jiu Nio- nio?”
Nona itu menengok dan matanya yang lihai itu mengerling tajam,
bulu matanya yang panjang melengkung itu mencoba untuk
menyembunyikan matanya yang bagus itu. Sikapnya dingin sekali,
seakan-akan ia memandang rendah kepada semua tokoh yang
berada di situ. Sikap ini menunjukkan bahwa ia adalah seorang
nona berilmu tinggi yang tak pernah terjun ke dunia kang-ouw
sehingga tidak mengenal dan dikenal orang, dan bagaikan seekor
anak lembu yang baru pertama kali memasuki rimba raya, tidak
takut bertemu dengan singa, serigala, maupun harimau! Gadis itu
memperhatikan Tai Wi Siansu dan melihat seorang kakek yang
usianya sudah delapan puluh tahun lebih, bertubuh tinggi kurus,
sudah putih rambutnya dan sikapnya amat lemah lembut dan
ramah, ia lalu tersenyum manis. Bukan main manisnya senyum ini
sehingga Tai Wi Siansu sendiri menjadi kagum. Setelah tersenyum,
benar-benar gadis di depannya ini amat cantik jelita. Tadi tidak
begitu kentara kecantikannya oleh karena sikapnya yang dingin dan
mukanya yang keras. Setelah tersenyum dan nampak sifat
kewanitaannya. Dia benar-benar seorang yang manis.
“Orang tua namaku Siok Li Hwa. Kau ini orang tua yang
mengenal nama Nio-nio, siapakah kau?”
Tai Wi Siansu tertawa sambil mengelus-elus jenggotnya. Diamdiam
ia kagum dan juga heran sekali karena gadis ini, terbayanglah
di depan matanya Pat-jiu Nio-nio ketika masih muda. Biarpun tidak
secantik gadis ini, akan tetapi sikap mereka ini benar-benar sama.
Dahulu, Pat jiu Nio-nio juga begini sikapnya, dingin, sederhana,
jujur, tegas, tidak mengenal takut di samping kepandaiannya yang
amat lihai.
”Nona, sayang Pat-jiu Nio-nio sudah tidak ada lagi. Kalau dia
masih ada tentu dia dapat bercerita banyak tentang pinto
kepadamu.” Sejenak kakek berhenti dan matanya memandang ke
739
atas seolah-olah ia hendak membayangkan kembali masa dahulu.
”Pinto adalah Tai Wi Siansu.”
Siok Li Hwa nampak kaget dan cepat gadis ini menoleh ke arah
rombongannya dan kedua tangannya diangkat ke atas dan jari-jari
tangan itu menari-nari. Seorang gadis yang berada di depan
rombongan juga mengangkat tangan ke atas dengan jari-jari yang
mungil dan runcing itu menari-nari seperti ular-ular kecil! Hanya
sebentar pertunjukan aneh itu karena Siok Li Hwa sudah
membalikkan tubuh lagi menghadapi Tai Wi Sian sambil berkata,
“Ah, kiranya Tai WI Siansu dari Kun- lun-pai? Nio-nio dahulu
pernah bilang bahwa Tai Wi Siansu dari Kun-lun pai adalah seorang
gagah. Aku senang sekali bertemu dengan Siansu di sini. Melihat
Siansu berada di sini, tentu kakek- kakek yang lain di sana itu pun
bukan orang-orang sembarangan!“
Tai Wi Siansu tertawa. “Mereka itu bukan orang-orang asing bagi
Pat-jiu Nio-nio. “Lihat, mereka itu adalah Ketua Thian-san-pai yang
bernama Leng Hoat Taisu,” katanya sambil menunjuk kepada
seorang kakek kecil bongkok bermuka merah dengan kepala botak
dan tidak berkumis. Orang itu mengangkat tongkatnya yang hitam
ke arah Siok Li Hwa sambil berkata gembira.
“Nona Garuda, Pat-jiu Nio-nio pernah dua kali bertemu dengan
pinto!“
Siok LI Hwa tertawa dan merasa suka melihat kakek yang lucu
itu.
“Yang itu adalah Bu Kek Siansu, Ketua Bu-tong-pai. Yang di sana
itu, dia adalah Cam-kauw Sin-kai, yang terkenal di dunia kang-ouw.
Adapun yang gagah perkasa itu, dialah Pendekar Budiman yang
terkenal dengan sebutan Hwa l Enghiong bernama Go Ciang Le
bersama isterinya Sian-Li Engcu Liang Bi Lan. Dan itu,” ia menuding
ke arah rombongan See-thian Tok-ong, “dia adalah See-thian Tokong
bersama isterinya dan puteranya. Mereka ini pun merupakan
orang-orang terkemuka dalam dunia silatan. Hanya mereka itulah
yang patut kau kenal di antara semua yang hadir.“
740
“Hanya itu'“ tanya Siok Li Hwa, sinar matanya menyapu orangorang
lain yang banyak hadir di situ. “Mengapa begitu banyak
orang'“
“Yang lain-lain adalah pengikut- pengikut dan orang- orang
biasa,“ kata Ketua Kun-lun-pai. “Kami semua berkumpul di sini
untuk mengadakan pemilihan seorang bengcu baru. Orang-orang
gagah di dunia kang-ouw perlu sekali dengan seorang bengcu baru
yang bijaksana, yang akan memimpin semua partai sehingga tidak
timbul perpecahan.”
”Bagus sekali, alangkah ramainya nanti. Biar aku menonton dan
ingin orang macam apa yang akan terpilih, kata gadis ini dengan
sikap seakan-akan orang menghadapi sebuah permainan anak-anak.
”Nona, kau dari Go-bi-san datang bersama pasukan hui- eng-pai.
Sudah sepatutnya kalau kau pun mengajukan usul ikut pula
memilih.”
Siok Li Hwa menggeleng kepalanya. “Tidak perlu dengan segala
bengcu! Aku datang bukan untuk urusan pemilihan bengcu,
melainkan untuk mencari seorang penjahat bernama Wan Sin
Hong.” Seteiah berkata demikian, gadis ini melompat ke dalam
rombongannya sendiri yang mengambil tempat di bagian terpisah.
Di situ ia dan rombongannya berdiri sebagai penonton, akan tetapi
mereka semua memasang mata tajam untuk mencari-cari orang
yang mereka kejar-kejar sejak beberapa bulan yang lalu.
Mengapa rombongan Hui-eng-pai ini mengejar-ngejar Wan Sin
Hong? Seperti telah dituturkan tadi, Siok Li Hwa menyerang Kong Ji
karena mengira pemuda ini Wan Sin Hong, atau setidaknya seorang
di antara anggauta rombongannya yang mengira demikian. Siok Li
Hwa sendiri belum pernah bertemu dengan penjahat yang bernama
Wan Sin Hong itu. Kurang lebih dua bulan yang lalu, seorang di
antara anak buahnya yang bernama Cun Eng dan yang tadi telah
ditanyainya tentang Kong Ji, pada suatu malam telah disergap dan
diganggu oleh seorang pemuda yang kemudian mengaku bernama
Wan Sin Hong.
Pemuda ini lalu menghilang di dalam gelap malam, Cun Eng
sambil menangis melaporkan hal ini kepada Hui eng Niocu (Nona
741
Garuda Terbang), yakni nama julukan dan Siok Li Hwa. Siok Li Hwa
marah bukan main dan sambil membawa empat puluh orang kawan,
ia memimpin pasukan ini melakukan pengejaran.
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid XXVII
PENJAHAT itu hanya merupakan bayangan yang bergerak cepat
sekali dan di dalam gelap, Cun Eng tidak dapat mengenal betul
wajah orang yang menyerang dan mengganggunya, maka amatlah
sukar penjahat itu ditangkap. Yang menjadi pegangan para
pengejarnya hanyalah nama penjahat itu. Dan anehnya, setiap kali
tiba di suatu dusun atau kota, mereka mendengar nama ini yang
seakan-akan sengaja ditinggalkan oleh penjahat itu untuk memberi
tahu mereka akan jejaknya. Demikianlah akhirnya Siok Hwa
mengejar sampai di Ngo-heng-san dan di situ kehilangan jejak
penjahat yang dikejar-kejarnya.
Siapakah sebenarnya Siok Li Hwa? Sepuluh tahun yang lalu,
ketika Pat-Jiu Nio-nio meninggal dunia karena usia tua,
perkumpulannya, yakni Hui-eng pai yang mempunyai seratus orang
lebih anggauta terdiri wanita semua, terpaksa bubar. Tak seorang
pun yang sanggup menggantikan kedudukan Pat-Jiu Nio-nio karena
semua mengerti bahwa untuk memimpin perkumpulan ini, orang itu
harus memiliki kepandaian yang amat tinggi. Sedangkan Pat-Jiu Nio
nio tidak mempunyai murid langsung. Semua anggautanya memang
diberi pelajaran ilmu silat, akan tetapi mereka ini tidak mewarisi
semua ilmunya dan biarpun untuk anggapan umum semua
anggauta Hui-eng pai rata-rata memiliki kepandaian tinggi, kalau
dibandingkan dengan kepandaian Pat-Jiu Nio-nio, masih amat jauh,
belum ada persepuluhnya. Inilah yang membuat semua anggauta
ragu-ragu dan akhirnya perkumpulan itu dibubarkan. Gedung indah
tempat tinggal Pat jiu Nio-nio di puncak tersembunyi di
Gunung Go-bi-san menjadi sunyi dan dijadikan sebagai kuil di
mana tinggal lima orang bekas anggauta Hui-eng pai yang
mengambil keputusan untuk menjadi pertapa atau pendeta wanita
di tempat itu!
742
Yang lain-lain lalu bubaran mengambil jalan hidup masing-masing
setelah menerima bagian dari harta peninggalan ketua mereka.
Di antara para anggauta ini, terdapat seorang gadis cilik berusia
kurang lebih sembilan tahun, Gadis ini adalah Siok Li Hwa, seorang
gadis yatim piatu yang ditolong dari bahaya kelaparan di daerah
selatan yang kering oleh Pat jiu Nio-nio empat tahun yang lalu.
Gadis cilik ini amat cantik manis menimbulkan rasa suka pada Pat
jiu Nio-nio, maka gadis ini dijadikan pelayan pribadinya. Makin lama
Pat-itu Nio-nio makin suka kepada gadis cilik ini, sehigga di waktu
malam Ketua Hui-eng pang yang tidak mempunyai keluarga ini lalu
memberi pelajaran ilmu membaca dan menulis kepada Siok Li Hwa.
Bahkan ia pun mulai memberi pelajaran ilmu silat dasar seperti yang
ia ajarkan pada semua anggauta Hui eng-pang.
Tentu saja ia tidak langsung mengajari sendiri, hanya menyuruh
seorang anggautanya yang sudah pandai. Akan tetapi tentang
pelajaran ilmu surat dia sendiri yang mengajar.
Siok Li Hwa merasa senang sekali tinggal di situ dan gadis ini
ternyata berotak tajam. Tidak saja huruf-huruf yang sukar itu
dilalapnya dengan mudah juga semua pelajaran ilmu silat dapat
dipahami dalam waktu singkat. Melihat kecerdikannya, Pat-jiu Nionio
semakin sayang kepadanya. Mulailah memberi pelajaran ilmu
silat sendiri pada gadis cilik ini, yaitu pelajaran teori ilmu silat yang
mengandung sari pelajaran ilmu silat tinggi. Juga ia menceritakan
tentang tata usaha dan peraturan dari perkumpulan Hui-eng-pai
yang istimewa. karena terdiri dari wanita semua.
“Kaum wanita terlalu dihina dan direndahkan oleh kaum pria, Li
Hwa.“ Pernah Pat-pu Nio-nio berkata, “'lihat betapa banyaknya
wanita dianggap sebagai hewan peliharaan dan dianggap rendah
serta tiada berguna. Orang-orang itu bangga kalau mempunyai anak
laki-laki, sebaliknya kecewa kalau mempunyai anak perempuan.
Banyak sekali suami yang mengambil isteri berikut bini muda pula
sampai beberapa orang jumlahnya. Semua itu karena kaum wanita
lemah. Oleh karena itu, perkumpulan Hui-eng-pai harus menjadi
pelopor, membangkitkan semangat para wanita agar kelak jangan
sampai diinjak-injak dan dijajah oleh kaum pria.“ Seringkali Li Hwa
743
mendengar kalimat-kalimat seperti ini yang membanjir keluar dari
mulut Pat jiu Nio-nio.
Akan tetapi sayang, ketika Li Hwa berusia empat belas tahun,
Pat-jiu Nio-nio meninggal dunia karena usia tua. Orang yang paling
berduka di antara para anggauta perkumpulan itu adalah Siok Li
Hwa yang merasa seperti ditinggal ayah-bundanya sendiri. Beberapa
jam setelah Pat- jiu Nio-nio dianggap meninggal, Li Hwa menjaga
jenazah Pat-jiu Nio-nio seorang diri di dalarn kamar jenazah.
Ia memeluki jenazah itu sambil menangis, dan menolak keras
ketika para saudara tuanya mengajak ia keluar. Menjelang tengah
malam, kurang lebih enam jam setelah Pat-jiu Nio-nio disangka
mati, tiba-tiba ia mendengar suara nenek itu perlahan.
“Siok Li Hwa....“
Li Hwa mengangkat mukanya dan pucatlah ia ketika melihat
betapa nenek itu bergerak-gerak dan membuka mata. Akan tetapi
hanya sebentar saja ia kaget. Di lain saat ia sudah girang bukan
main dan cepat-cepat ia berlutut. Pat jiu Nio-nio tidak bangkit,
hanya rebah saja sambil menggerak-gerakan jari tangannya
membuat tulisan di udara. Sian Li Hwa adalah seorang anak yang
cerdik sekali. Ia memperhatikan gerak jari tangan itu dan tahulah ia
bahwa nenek itu menuliskan huruf-huruf yang berbunyi:
“Ambil peti merah di sudut kamar dan bawa ke sini!“
Li Hwa cepat berdiri dan melakukan perintah itu. Ia tahu bahwa
peti merah itu berisi beberapa jilid kitab kuning karena sudah
seringkali ia melihat nenek itu tekun membaca kitab-kitab itu sampai
jauh malam, bahkan kadang-kadang sampai hampir pagi. Karena
melihat nenek itu sudah lemah sekali, maka Li Hwa menaruh peti itu
di pinggir pembaringan. Ia cemas juga melihat nenek itu kini sudah
rebah telentang dengan kedua mata dipejamkan tak bergerak
seperti tadi ketika belum bergerak dan sudah dianggap mati.
“Nio-mo... ini petinya...“ katanya di dekat telinga nenek itu.
Pat-jiu, Nio-nio membuka matanya yang sudah tak bersinar lagi.
Agaknya suatu yang amat menjadi pikirannya yang membuat nenek
ini seakan akan hidup lagi! Atau memang tadinya ia belum mati
744
betul dan pikiran tentang sesuatu yang ditinggalkan itu agaknya
memberi daya hidup, sungguhpun ia hanya dapat menggerakkan
tangan dan hanya dapat mengeluarkan suara memanggil nama Li
Hwa tadi. Kini ia kembali menggerak-gerakkan telunjuknya di udara
seperti orang menulis huruf. Siok Li Hwa cepat memandang dan
menaruh perhatian sepenuhnya. Sambil memandang, membaca
hurut-huruf yang ditulis di udara itu.
“Kau pelajari kitab-kitabku, cari Cheng-liong-kiam (Pedang Naga
Hijau) tanya pada Hwesio Go-bi, dan pimpin Hui-eng-pai!“
Setelah menuliskan huruf terakhir lengan yang kurus itu hilang
tenaganya jatuh di atas dadanya dan kali ini Pat-jiu Nio-nio benarbenar
kehilangan nyawanya!
Demikianlah, setelah perkumpulan ini bubar sendirinya dan para
anggautanya, kecuali lima orang anggauta tertua mengambil
keputusan menjadi pertapa di gedung seperti istana ini, pergi
meninggalkan puncak sunyi itu, Li Hwa ikut tinggal di situ. Diamdiam
ia mempelajari isi peti dan ternyata di dalamnya terdapat tiga
buah kitab kuno. Sebuah kitab ilmu silat dan ilmu pedang, sebuah
lagi terisi pelajaran tentang lweekang, latihan napas, samadhi dan
ilmu-ilmu tinggi tentang tenaga di dalam tubuh, dan yang ke tiga
adalah sebuah kitab tentang pelajaran ilmu pengobatan dan tentang
peraturan-peraturan Perkumpulan Hui-eng-pai. Dengan amat keras
hati dan tekun, Li Hwa mempelajari semua ini, melatih dengan amat
rajinnya sehingga ia akhirnya berhasil mewarisi ilmu silat yang tinggi
dari mendiang Pat-jiu Nio-nio.
Lima orang pendeta wanita bekas anggauta Hui-eng-pai juga
mengetahui hal ini dan diam-diam mereka makin sayang kepada Li
Hwa yang mereka anggap sebagai orang yang mampu melanjutkan
cita-cita guru besar mereka yang telah meninggal dunia. Oleh
karena itu, mereka inilah yang membantu memberi petunjukpetunjuk,
karena biarpun dalam hal ilmu silat mereka sudah kalah
jauh oleh Li Hwa, namun dalam hal pengalaman mereka menang
banyak. Ketika Li Hwa menuturkan tentang Cheng-liong-kiam dan
hwesio di Gobi-san seperti yang dipesankan oleh Pat-jiu Nio- nio,
lima orang pendeta itu nampak terkejut sekali.
745
“Aduh, mengapa kau diharuskan mencari pedang itu?“ kata
seorang di antara mereka. “Dulu Nio nio sendiri tidak berhasil
mendapatkan pedang itu. Terutama hwesio Gobi yang dimaksudkan,
tentulah ketua dan Go-bi-pai yang berada di puncak ke tujuh dan
deretan puncak- puncak di pegunungan ini. Di sana terdapat sebuah
kelenteng besar dan didiami oleh hwesio-hwesio yang tinggi
silatnya. Kiranya hanya mereka itulah yang dapat menunjukkan
dimana adanya Cheng-liong-kiam, karena kami sendiri pernah
mendengar namun tidak tahu di mana adanya pedang pusaka itu.”
”Kalau begitu, aku harus pergi mencari hwesio itu dan harus
kudapatkan pedang Cheng-liong-kiain sesuai dengan pesan
mendiang Nio-nio!” kata Li Hwa dengan suara menyatakan
kebulatan tekadnya. Gadis berusia belasan tahun dengan semangat
menyala-nyala lalu pergi ke puncak di mana terdapat kelenteng Gobi-
pai yang angker dan besar.
Ia diterima oleh Kian Hok Taisu, ketua dari Go-bi-pai. Hwesio tua
ini terheran-heran melihat seorang gadis cantik jelita yang mengaku
sebagai ahli waris Pat-jiu Nio nio dan mengaku hendak
menyampaikan pesanan mendiang Put-jiu Nio-nio.
”Nona cilik, bagaimana kau bisa mengaku sebagai ahli waris Patjtu
Nio-nio?” tanya ketua Go-bi-pai ini dengan suara sabar.
Siok Li Hwa selamanya tinggal di atas gunung dan tak pernah
bergaul di dunia ramai maka sikapnya kaku, dingin dan polos, tidak
pandai bersopan dan bermanis-manis.
”Tai-suhu,” katanya tanpa memberi hormat dan berdiri dengan
tegak, ”sebelum meninggal dunia. Nio-nio menyerahkan tugas
kepadaku, menurunkan kepandaiannya melalui kitab-kitab pelajaran
kepadaku dan memesan supaya aku pergi menemui hwesio Go-bi
pai dan tanya tentang Pedang Cheng-liong-kiam. Maka harap kau
orang tua suka memenuhi keiginan Nio-nio dan katakan kepadaku
dimana adanya pedang Cheng-liong-kiam itu agar dapat kuambil.”
Sepasang mata Kian Hok Taisu yang besar itu terbelalak heran
dan di sana-sini terdengar suara ketawa ditahan dan beberapa
orang hwesio yang ikut mendengar kata-kata lantang ini.
746
“Kau...? Kau yang diwajibkan oleh mendiang Pat-jiu Nio-nio
untuk mengambil Cheng-liong-kiam? Ah, jangan main-main, Nona.
Pat-jiuw Nio-nio sendiri sudah mencoba mengambilnya sampai lima
kali akan tetapi selalu ia gagal dan akhirnya ia sampai-sampai tidak
mau muncul di dunia kangouw dan menyembunyikan diri. Sekarang
kau yang masih begini muda, kau mau mengambil pusaka itu?
Nona, mata pedang tak dapat melihat orang dan kalau kita tidak
hati- hati mudah sekali kita terluka olehnya. Harap kau batalkan saja
niat ini dan pulang dengan selamat. Nasihat pinceng, ini bukan
main-main dan demi kebaikanmu sendiri.“
“Hwesio tua baru berjumpa satu kali kau sudah memberi nasihat
dan mengkhawatirkan keselamatanku. Sungguh kau baik hati. Akan
tetapi aku tidak perduli akan semua nasihatmu itu. Baiknya kau
lekas beri tahu di mana adanya Cheng-liong-kiam itu agar aku dapat
pergi mengambilnya dan habis perkara. Jangan kau putar-putar
omongan yang tidak ada gunanya bagiku.“ gadis ini tidak marah,
akan tetapi oleh karena ia tidak dapat mengatur kata-katanya, maka
terdengar kasar dan tidak hormat.
Baiknya Kian Hok Taisu adalah seorang pendeta Buddha yang
sudah tinggi ilmunya, maka ia tidak menjadi marah, hanya
tersenyum lebar dan diam-diam bahkan mengagumi semangat gadis
itu. Jarang ia melihat seorang wanita dengan semangat perlawanan
yang menyala-nyala dan keberanian yang begini besar.
“Omitohud!“ Ta memuja nama Buddha sambil merangkapkan
kedua tangan di depan dada. “Begitukah kehendakmu, Nona.
Baiklah, mari kau ikut pinceng, biar kau mencoba merampas pedang
itu.” Setelah berkata demikian, hwesio tua itu bangkit berdiri dan
berjalan menuju ke sebelah dalam kelenteng yang luas itu.
Beberapa orang hwesio lain juga berjalan masuk. Siok Li Hwa
merasa sangat heran. Tak disangkanya tempat itu ternyata dekat
saja, bahkan adanya di sebelah... dalam kelenteng ini! Akan tetapi
tanpa banyak cakap ia pun lalu ber jalan mengikuti Kian Hok Taisu.
Ternyata bahwa Ketua Go-bi-pai membawanya ke sebuah
ruangan amat lebar. Melihat betapa ruangan kosong dan di pojok
terdapat rak tempat senjata, mudah diduga bahwa tentulah Lian-buthia,
tempat belajar silat dari Partai Go-bi- pai. Tempat itu memang
747
luas sekali, kiranya cukup untuk seratus orang berlatih silat dalam
saat yang sama.
Kian Hok Taisu berhenti di tengah- tengah ruangan membalikkan
tubuh menghadapi Li Hwa yang berdiri bengong tak mengerti.
Hwesio-hwesio lain yang kini jumlahnya bertambah, ada dua puluh
orang mengundurkan diri dan duduk di atas lantai dalam keadaan
berkeliling membuat ruangan yang cukup lebar di tengah-tengah
seperti orang hendak nonton demonstrasi silat.
Kemudian seorang hwesio dengan sikap hormat dan langkah
tegap mendatangi dari dalam, kedua tangannya menyangga sebuah
bungkusan panjang. la melangkah terus sampai di depan Kian Hok
Taisu, lalu membungkuk dan menyodorkan bungkusan kain putih
yang tadi dibawanya. Hwesto tua itu menyambut bungkusan kain
putih dan memberikan kain itu kepada pembawa bungkusan tadi.
Dan dalam bungkusan itu dikeluarkannya sebatang pedang yang
bagus sekali, yang ketika dihunus dari sarungnya mengeluarkan
cahaya hijau.
Pembawa bungkusan itu lalu mengundurkan diri dan duduk
bersila di dekat kawan-kawannya yang lain, yang semua sekarang
memandang penuh perhatian ke tengah lapangan di mana guru
besar mereka dengan pedang hijau di tangan berhadapan dengan
Siok Li Hwa.
“Nona, silakanlah,“ kata hwesio tua itu sambil melintangkan
pedang hijau di depan dada, sikap seorang yang menanti datangnya
serangan lawan!
Tentu saja Siok Li Hwa mengelak dan tidak bergerak,
memandang dan terheran-heran, bahkan ia ragu-ragu apakah
hwesio tua ini kurang waras otaknya.
“Silakan bagaimanakah? Kau suruh aku berbuat apa, Tai suhu?“
tanyanya sambil memandang tajam.
“Tentu saja merampas pedang ini dari tangan pinceng kalau kau
dapat, habis apa lagi? Bukankah untuk keperluan kau datang ke
sini?“
748
Biarpun Li Hwa seorang yang cerdik, akan tetapi semua ini
melampaui batas kemampuannya berpikir. Ia menjadi bingung dan
dengan berkerut ia menegur.
“Hwesio tua, harap kau jangan main gila. Aku tidak ada waktu
untuk main- main! Apa sih maksudmu mengajak bertanding?“
Kini giliran Kian Hok Taisu yang terbelalak heran. Kemudian
hwesio ini mengerti dan tertawalah dia, tertawa geli.
“Aha, jadi kau malah belum mengerti akan maksud pesanan
mendiang Pat jiu Nio-nio? Benar-benar lucu. Duduk lah, Nona, biar
pinto menceritakanmu sejelasnya.“ Setelah berkata demikian hwesio
itu lalu duduk bersila di atas lantai, di tempat ia tadi berdiri. Biarpun
dengan sikap kurang sabar, Li Hwa terpasa duduk juga untuk
mendengarkan keterangan hwesio tua itu atas sikapnya tadi yang
benar-benar ia tidak mengerti. Dia datang untuk menanyakan
tempat Ceng-liong-kiam, mengapa datang-datang ditantang
berkelahi? Dan pedang di tangan hwesio tua itu, pedang indah yang
bercahaya hijau, apakah hubungannya dengan Cheng-liong kiam?
Apakah itu yang disebut Cheng-liong-kiam?
“Nona, semua ini dimulai dengan kelakar! Dengan lelucon antara
mendiang Pat-jiu Nio-nio dan Paman Guruku yang sudah meninggal
dunia. Pedang ini yang disebut Cheng-liong-kiam (Pedang Naga
Hijau) dan tadinya adalah pedang Pat-jiu Nio-nio. Ketika itu Pat jiu
Nio-nio masih muda, gagah perkasa dan jenaka. Sayang sekali ia
terlalu mengagulkan kepandaian sendiri sehingga timbul
sombongnya. Di hadapan Paman Guruku. Pat-jiu Nio-nio berani
menyatakan bahwa barang siapa dapat menghadapi pedangnya
dengan tangan kosong dan merampas pedang maka pedang itu
akan diberikan dengan cuma-cuma.“ Kian Hok Taisu menarik napas
panjang, lalu melanjutkan.
“Pada waktu itu, Paman Guruku juga masih muda dan berdarah
panas. Mendengar kesombongan Pat-jiu Nio-nio, ia lalu menggulung
lengan baju dan menantang. Maka mulailah pertempuran.
Pat-jiu Nio-ruo memegang Cheng liong-kiam dan paman guruku
bertangan kosong. Karena tingkat kepandaian Paman Guruku lebih
tinggi, akhirnya pedang itu terampas!
749
Paman Guruku hendak mengembalikannya dan menganggap hal
itu sebagai lelucon, siapa kira bahwa Pat-jiu Nio-nio merasa terhina
dan berkata dengan marah bahwa kelak akan tiba masanya ia
datang mengambil kembali pedangnya itu dengan cara yang sama,
yakni mengalahkan Paman Guruku yang berpedang dengan tangan
kosong! Kemudian wanita yang keras hati itu memperdalam ilmu
silatnya. Akan tetapi, berulang-ulang sampai tiga kali ia datang tetap
saja ia tidak berhasil merampas pedang. Bahkan yang keempat
kalinya ia terluka oleh Paman Guruku.“
Sampai di sini Kian Hok Taisu menahan napas panjang. “Sungguh
menyedihkan sekali, perkara lelucon seperti itu mendatangkan
dendam yang mendalam. Bahkan Paman Guruku yang marah
melihat sikap Pat-jiu Nio-nio juga timbul panas hatinya dan bertekad
tidak mau mengembalikan pedang begitu saja sebelum ia
dikalahkan!
Oleh karena itulah, ketika bahwa pedang ini harus pinceng
simpan baik-baik dan apabila Pat-jiu Nio-nio datang hendak
mengambilnya, pinceng harus pula menghadapinya dengan syarat
yang sama, yakni apabila Pat-jiu Nio-nio dengan tangan kosong
dapat merampasnya, baru pedang itu boleh diberikan, ditambah
pernyataan maaf dari mendiang paman guruku.
Dua tahun kemudian, benar saja Pat-jiu Nio-nio datang dan
terpaksa pinceng melayaninya. Setelah pertandingan yang sangat
melelahkan, barulah pinceng berhasil mengalahkannya dan
membuatnya pergi dengan penasaran.”
Kian Hok Taisu memandang kepada Siok Li Hwa, lalu berkata,
”Ketika mendengar bahwa Pat-jiu Nio-nio sudah meninggal dunia,
yakni lima tahun yang lalu, hati pinceng sudah lega dan melupakan
urusan ini. Pedang ini disimpan di kamar pusaka, dijadikan sebuah
di antara senjata-senjata pusaka Go-bi-pai. Eh, tidak tahunya hari
ini kau datang dan menyatakan sebagai wakil Pat-jiu Nio-nio hendak
mengambil Cheng-liong-kiam. Bukankah hal ini benar-benar tak
dapat disangka sebelumnya? Nah, demiklanlah, Nona. Setelah
mendengar penuturan ini, bagaimana pendapatmu?”
750
”Aku tetap hendak melakukan pesan mendiang Nio-nio tetap
hendak mengambil kembali pedang pusaka itu!” kata Li Hwa dengan
suara tetap.
Hwesio tua itu nampak kecewa dan berduka, ”Nona, kau tahu
bahwa pinceng tak dapat memberikan pedang ini begitu saja tanpa
memenuhi syarat yang sudah pinceng janjikan kepada Paman
Guruku. Hanya kalau dapat merampas kembali, pedang ini dapat
kembali ke dalam tanganmu. Akan tetapi kau masih begini muda,
bagaimana pinceng yang tua bangka ada muka untuk melayanimu
bertempur? Nona, lebih baik diatur begini saja. Kau pulanglah saja
dan kautunggu kalau pinceng sudah mati, pedang ini pasti akan
diantarkan ke tempat tinggalmu. Yang bertanggung jawab terhadap
pedang ini dan sudah berjanji kepada mendiang Paman Guruku
hanya pinceng seorang. Kalau pinceng mati, berarti janji itu pun
telah mati pula dan pinceng akan memesan kepada para anak murid
agar kelak sepeninggal pinceng, pedang ini akan diantarkan kembali
kepadamu. Bagaimana?” Kakek gundul itu memandang kepada Li
Hwa dengan penuh harapan.
Akan tetapi gadis itu tiba-tiba bangkit berdiri dan berkata,
dengan suara nyaring.
”Kian Hok Taisu, kau bicara tentang enaknya jalan pikiranmu
sendiri saja. Sudah jelas bahwa pedang itu dahulunya adalah milik
Nio-nio. Mengapa sekarang kau begitu susah-susah memutar-mutar
omongan? Kalau memang kau tidak menghendaki keributan
serahkan saja pedang itu kepadaku, habis perkara bukan? Kalau kau
menunggu sampai kau mati, baru mengembalikan, aah, tak usah
mencari-cari alasan, bilang saja terus terang bahwa kau suka
memiliki pedang itu tidak ingin mengembalikan!”
Kian Hok Taisu menjadi merah mukanya, akan tetapi ia tetap
sabar. suaranya agak keras ketika ia berkata,
”Nona, kau masih begini muda tetapi kata-katamu keras.
Agaknya seperti kau inilah dahulu Pat-jiu Nio-nio di waktu muda.
Soal mengembalikan pedang adalah soal mudah. Akan tetapi adalah
menyangkut soal nama dan kehormatan. Pat-jiu Nio-nio sampai lima
kali berusaha mengambil pedangnya tanpa hasil. Masa sekarang
begitu kau datang tanpa perlawanan pinceng harus mengembalikan
751
pedang itu begitu saja? Akan kemanakah larinya nama dan
kehormatan pinceng sebagai Ketua Go-bi-pai?”
”Hem, Hwesio Tua. Kau bicara tentang nama dan kehormatan,
apakah aku yang muda juga tidak menjaga nama dan kehormatan?
Aku harus menebus penghinaan yang dirasakan oleh Nio-nio di
samping merampas kembali pokiam itu. Kau telah berjanji akan
memenuhi pesan Paman Gurumu sampai mati apakah kau kira aku
pun tidak berani memenuhi pesan Nio nio dengan taruhan
nyawaku?“
“Jadi kau benar-benar hendak merampas pedang ini?“ Kian Hok
Taisu berkata sambil menggerak-gerakkan pedang Cheng-liong-kiam
sehingga kelihatan sinar kehijauan.
“Tentu saja.”
Kembali terdengar suara ketawa dari beberapa orang hwesio
yang menonton di situ karena kata-kata itu dianggap amat lucu.
Bagaimana seorang gadis cantik jelita dan muda yang nampaknya
begitu halus dan lemah akan merampas pedang di tangan Ketua
Go-bi-pai?
“Nona, kau masih begini muda. Pinceng tak enak hati
menghadapimu dengan pedang di tangan, sedangkan kau sendiri
bertangan kosong. Kaullhat, di pojok sana itu terdapat rak senjata.
Kaupilih senjata yang paling baik untuk menghadapi pinceng dan
apabila pinceng sampai terluka sedikit saja oleh senjatamu, biarlah
pinceng mengaku kalah. Akan tetapi, kalau sampai kau yang
terkalahkan harap kau jangan bantah-bantahan lagi dan menunggu
sampai pinceng menutup mata untuk selamanya baru pedang ini
akan diantarkan kepadamu.“
Li Hwa tidak menjawab, melainkan segera menghampiri rak
senjata dan memilih sebatang pedang yang cukup baik. Kemudian ia
melompat menghadapi Kian Hok Taisu sambil memutar pedang
berkata,
“Hwesio tua, lihat pedang““ Pedangnya digerakkan cepat dan ia
telah menyerang dengan dahsyat.
752
Melihat cara serangan ini, tak terasa lagi Kian Hok Talsu berseru,
“Omitohud, kau benar-benar ahli waris Pat-jiu Nio- nio!“ la pun tidak
tinggal diam dan pedang Cheng-liong-kiam di tangannya diangkat
untuk menangkis serangan nona itu. Akan tetapi Li Hwa tidak
menanti sampai pedangnya tertangkis. Melihat bahwa serangan
pertama ini gagal dan itu akan tertangkis apabila dilanjutkan, ia
telah menarik kembali pedangnya dan langsung ditusukkan,
merupakan serangan kedua yang tak kalah dahsyatnya dan begitu
otomatis seperti serangan berantai. Padahal yang dimainkan itu
adalah jurus ke dua yang berlainan sama sekali. Inilah sifat ilmu
silat yang ia pelajari dari kitab-kitab peninggalan Pat-jiu Nio-nio.
Mengandalkan kepada kecepatan gerakan sehingga mendesak
lawan dan tidak memberi kesempatan untuk lawan balas
menyerang.
Akan tetapi Kian Hok Taisu adalah orang ahli silat kelas tinggi.
Dahulu ketika Pat-jiu Nio-nio sendiri datang hendak merampas
pedang, wanita sakti itu dapat dikalahkannya. Apalagi sekarang
yang datang hanya murid Pat-jiu Nio-nio yang kepandaiannya belum
matang.
Setelah menggagalkan serangan Li Hwa sampai dua belas jurus
akhirnya pedang Cheng-liong-kiam berhasil membabat pedang di
tangan gadis itu. Terdengar suara keras dan pedang di tangan Li
Hwa buntung menjadi dua. Akan tetapi gadis itu tidak menjadi
gentar, sebaliknya ia melompat ke pojok ruangan dan di lain saat ia
telah kembali menghadapi Kian Hok Taisu dan menyerang dengan
sebatang golok yang tadi diambilnya dari rak senjata! Seranganserangannya
kalah hebatnya oleh serangan pertama dengan pedang
yang telah buntung tadi.
Kian Hok Taisu cepat menyambut serangan ini dan sebentar
kemudian dua orang ini sudah lenyap terbungkus gulungan sinar
senjata, bertempur dengan hebatnya di ruangan itu, membuat para
hwesio yang menonton menahan napas. Tak mereka sangka bahwa
gadis muda ini ternyata lihai sekali dan memiliki kecepatan gerakan
yang membuat tubuhnya lenyap terbungkus sinar senjata yang di
mainkan.
753
Kembali belasan jurus lewat dan ditutup oleh suara nyaring
ketika golok di tangan Li Hwa terbabat putus lagi oleh Cheng-liongkiam!
“Cih! Tak malu mengandalkan kemenangan pada pedang
curian!“ Li Hwa menyindir dengan hati mendongkol dan di lain saat
ia telah melompat berjungkir balik dari tengah ruangan ke rak
senjata lalu kembali ke tengah ruangan menghadapi lawannya
dengan sebatang tombak! Dengan tombak ini ia menyerang
bagaikan gelombang menderu dan terpaksa Kian Hok Taisu
melayaninya. Ketua Go-bi-pai ini diam-diam terkejut sekali. Gadis
muda ini ternyata tidak saja mewarisi kepandaian Pat-jiu Nio-nio
akan tetapi juga mewarisi wataknya yang keras dan berani dan
dalam hal ini, kiranya malah lebih keras, lebih berani, dan lebih
nekad daripada Pat-jiu Nio-nio sendiri!
Berkali-kali Li Hwa berganti senjata dan senjata-senjata yang
buntung oleh cheng-liong-kiam dan berserakan di ruangan itu sudah
amat banyak. Pedang, golok, tombak, toya, pian, dan rantai. Kini
gadis itu memegang sebilah tombak cagak dan menyerang makin
lama makin dahsyat. Diam-diam Ketua Go-bi-pai kagum. Gadis
semuda ini sudah miliki gerakan demikian hebat dan bahkan sudah
pandai mainkan delapan belas macam senjata. Benar-benar jarang
ada keduanya. Apalagi kalau disertai keberanian sebesar itu benarbenar
merupakan gadis pilihan yang pasti akan dapat menjunjung
tinggi namanya di dunia kang-ouw kelak. Akan tetapi kalau sampai
tersesat jalan hidupnya, gadis ini akan menjadi penyeleweng yang
tidak kepalang tanggung, dan merupakan ancaman hebat.
Tombak cagak yang dimainkan oleh Li Hwa kali ini adalah sebuah
senjata yang ringan, maka gerakan gadis itu juga cepat bukan main.
Namun, tetap saja setelah dua puluh jurus lewat, tombak itu patah
menjadi dua bertemu dengan Cheng liong-kiam. Kini Kian Hok Taisu
mengharapkan gadis itu mau mengalah dan pergi. Akan tetapi ia
kecele, karena sebaliknya, gadis itu lalu menarik ikat pinggangnya
yang terbuat daripada sutera kuning yang panjang dan mulailah Li
Hwa menyerang dengan senjata istimewa.
Kali ini Kian Hok Taisu terkejut sekali. Semenjak tadi, ia tidak
pernah mau menyerang Li Hwa, hanya menjaga diri dan tiap kali
754
ada kesempatan, mematahkan senjata lawannya mengandalkan
ketajaman pedang Cheng-liong- kiam. Melihat tingkat kepandaian Li
Hwa, hal ini tidak mungkin ia lakukan, yakni hanya menjaga diri
tanpa membalas, apabila tidak memegang pedang pusaka yang
ampuh. Sekarang Li Hwa menyerangnya dengan ikat pinggang
sutera dan dalam tangan seorang ahli lweekang, sabuk sutera ini
dapat menjadi senjata yang amat berbahaya dan tidak dapat
diputus oleh tajamnya pedang.
Di lain pihak, tadi ketika berganti-ganti senjata, diam-diam Li
Hwa mengasah otaknya. Di dalam kitab Pat-jiu Nio-nio ia memang
mendapat beberapa bagian yang menarik, yang menuturkan betapa
Pat-jiu Nio-nio, menggunakan tipu untuk menghadapi lawan
tangguh akan tetapi selalu gagal. Kegagalan ini ditulis terang
terangan di dalam kitab, bahkan digambarkan keadaan
pertempuran, tiap tipu apa yang dipergunakan oleh Pat jiu Nio-nio
dan bagaimana ia mengalami gagalan. Coretan-coretan seperti ini
ada lima macam dan tadinya Li Hwa tidak mengerti maksudnya,
hanya mengira bahwa itu adalah pemberitahuan tentang siasat
pertempuran. Akan tetapi sekarang baru ia mengerti bahwa setiap
kali menyerang ke Go-bi-pai dan dikalahkan, Pat-jiu Nio-nio lalu
menuliskan semua kegagalannya itu di dalam kitab!
Li Hwa semenjak tadi mengerahkan otaknya mengingat-ingat
coretan yang lima macam itu. Teringatlah ia bahwa usaha Pat-jiu
Nio-nio gagal seperti tersebut dalam coretan-coretan itu adalah
karena Pat-jiu Nio-nio selalu mempergunakan kekerasan. Ilmu silat
Go-bi-pai adalah ilmu silat yang banyak mengandalkan tenaga
“yang“ (kekerasan) dan karenanya tokoh-tokohnya tentu saja
memiliki tenaga yang kuat. Kalau diserang dengan tenaga kasar
pula, maka banyak lawan yang harus tunduk dan kalah terhadap
tokoh-tokoh Go-bi-pai. Kemudian Li Hwa teringat bahwa di samping
lima coretan tentang kegagalan Pat-jiu Nio-nio, terdapat coretan lain
di bagian bawah yang menggambarkan seolah-olah Pat jiu Nio-nio
mencari siasat bagaimana cara mengalahkan lawan yang sudah lima
kali tidak dapat dikalahkan itu. Sekarang, setelah mendengar
riwayat Pat jiu Nio-nio dan mendengar semua keterangan Kian Hok
Taisu, barulah Li Hwa menjadi jelas dan semua coretan itu kini
“hidup“ dalam ingatannya. Ia tadi sengaja menukar-nukar senjata
755
untuk memberi kesempatan padanya mengingat semua coretan itu.
Setelah ia paham betul, barulah ia membuang senjata- senjata yang
sudah buntung dan sebagai gantinya ia mengeluarkan ikat
pinggangnya dari sutera!
Baru sekarang Li Hwa benar-benar menyerang dalam arti kata
sedalam-daTamnya. Ia mengerahkan seluruh tenaga lweekang
bagian “Im“, yakni tenaga lemas dan mengeluarkan tipu-tipu atau
jurus-jurus ilmu silat seperti yang digambarkan dalam coretancoretan
ke enam dari Pat-jiu Nio-nio. Bukan tubuh Kian Hok Taisu
yang diserangnya, melain bagian lengan yang memegang pedang
atau gagang pedang.
Kadang-kadang ujung ikat pinggang sutera itu menyambarnyambar
bagai ular, menerjang dengan totokan ke arah pundak
kanan atau sambungan siku pergelangan tangan atau menyerang
jari tangan yang memegang gagang pedang. Semua jalan darah di
bagian lengan tak luput dan sasaran sehingga boleh dibilang sabuk
sutera itu hidup mengikuti jalannya pedang yang mengeluarkan
sinar kehijauan.
Ke manapun juga tangan kanan Kian Hok Taisu dengan pedang
hijau itu bergerak, selalu sabuk sutera mengikuti dan menyerang
dengan totokan-totokan dan kepretan- kepretan lihai. Pertempuran
kali ini amat indah dipandang. Kian Hok Taisu yang tidak membiarka
lengannya tertotok, menggerakkan Cheng liong-kiam dengan cepat
sehingga merupakan gulungan sinar hijau. Kini sinar hijau itu ke
manapun juga diikuti oleh segunduk sinar kuning yang seakan-akan
membayangi sinar hijau. Sinar ini adalah sinar dari sabuk sutera
kuning yang digerakkan secara cepat oleh Li Hwa.
Kian Hok Taisu mulai sibuk. Beberapa kali pedang Cheng-liongkiam
ia sabetkan ke arah sabuk sutera akan tetapi karena sabuk itu
lemas dan kuat, serta dimainkan oleh Li Hwa dengan pengerahan
tenaga “im“ hasilnya sia sia saja, sabuk itu tidak mau putus. Kini
terpaksa Kian Hok Taisu melakukan serangan balasan, karena hanya
dengan serangan balasan saja ia dapat menahan desakan Li Hwa.
Baru sekarang pertempuran itu benar-benar merupakan
pertempuran, saling serang dan saling mempertahankan dan baru
sekarang Li Hwa mendapat kenyataan bahwa hwesio tua itu benar756
benar lihai. Pedang yang dimainkan itu berubah menjadi gulungan
sinar hijau yang amat kuat, mengurung dan menindihnya sehingga
sebentar saja Li Hwa terkurung dan terdesak hebat. Keadaan jadi
sebaliknya. Kalau tadinya Li Hwa selalu menjadi penyerang dan
hwesio itu yang mempertahankan, adalah sekarang gadis itu yang
diserang dan terdesak hebat oleh Kian Hok Taisu dengan pedangnya
yang ampuh.
Li Hwa mulai putus asa. Gadis maklum bahwa andalkata hwesio
itu tidak memegang pusaka yang ampuh belum tentu ia dapat
menang. Apalagi sekarang hwesio itu mainkan Cheng liong-kiam
yang amat tajam sedangkan senjatanya sendiri hanya sehelai sabuk
sutera! Bagaimanapun juga, tak mungkin ia menang, tak mungkin ia
dapat merampas pedang.
Apakah riwayat Pat-jiu Nio-nio akan terulang lagi? Apakah
nasibnya akan seperti Pat-jiu Nio-nio, setiap kali berusaha
merampas pedang dan gagal? Tidak pikir Li Hwa dengan hati dan
kepala panas, aku tidak mau seperti itu. Sekarang juga aku harus
dapat merampas pedang atau biar aku mati di bawah pukulan
pedang itu!
Pikiran ini membuat Li Hwa menjadi nekat. Kini ia menyerang
dengan tangan kirinya. Sabuk sutera dan tangan kiri dengan
gerakan-gerakan nekad dan cepat menyerang ke arah lengan yang
memegang pedang.
Kian Hok Taisu mengeluarkan suara terkejut. Hampir saja pedang
Cheng-liong-kiam mampir di leher nona itu kalau ia tak cepat-cepat
menahan tenaganya dan menarik kembali pedangnya. Nona itu
sekarang menyerangnya dengan hebat dan nekad, sama sekali tidak
memperdulikan ancaman pedang lagi, merangsek hebat ke arah
lengan kanan yang memegang pedang dengan tekad bulat untuk
merampasnya!
Kian Hok Taisu mengeluh di dalam hatinya. Tak mungkin ia
melukai nona ini. Hatinya tidak tega melukai seorang gadis muda.
Bukan hanya tidak tega, juga ia merasa malu kalau harus
mengundurkan gadis ini dengan melukainya, apalagi membunuhnya.
Terpaksa ia menghentikan semua serangannya karena gadis itu
tidak mau menjaga diri lagi dan kini terpaksa ia mengerahkan
757
kepandaiannya untuk menjaga agar pedang jangan sampai
terampas.
Akan tetapi usahanya ini jauh lebih berat daripada tadi. Kalau
tadi Li Hwa masih memperhatikan penjagaan diri sehingga
serangan-serangan tidak sepenuhnya, adalah sekarang gadis yang
nekad itu sama sekali tidak perhatikan tentang penjagaan diri dan
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk merampas
pedang, bahkan kini bukan hanya dengan tangan kanan yang
memegang sabuk sutera, melainkan dibantu pula oleh tangan
kirinya yang mainkan ilmu silat semacam ilmu mencengkeram.
Gerakannya cepat dan dahsyat dan diam-diam Kia Hok Taisu
kagum, kakek gundul ini tahu bahwa ilmu Silat Eng-jiauw-kang
(Cengkeraman Kuku Garuda) yang aseli, ciptaan dari Pat-jiu Nio-nio
dan yang diajarkan kepada seluruh anggauta Hui-eng-pai.
Kian Hok Taisu hanya dapat mempertahankan pedangnya selama
empat puluh jurus. Dengan keadaan yang amat terdesak, akhirnya
ujung sabuk sutera itu berhasil menotok jalan darah di pundaknya.
Biarpun ia sudah mengerahkan tenaga menolak hawa totokan,
namun karena jalan darahnya terkena tepat sekali, jalan darah itu
masih kena digetarkan yang membuat lengannya kesemutan dan
gerakannya menjadi lambat. Kesempatan tidak disia-siakan oleh Li
Hwa. Gadis itu menggerakkan tangan kanan dengan cepat dan di
lain saat pedang itu sudah pindah ke dalam tangannya!
Kian Hok Taisu menghentikan gerakannya, menarik napas dan
berkata,
“Pinceng terima kalah. Kau patut sekali mewarisi pokiam
(pedang pusaka) itu, Nona. Harap saja pedang itu di tanganmu
akan mendatangkan kebaikan untuk dunia dan jangan sampai
digunakan untuk melakukan kejahatan- kejahatan.“
Li Hwa bukan seorang yang bodoh dan buta. Ia tahu bahwa
dalam hal perebutan pedang tadi, ia berhasil hanya karena hwesio
tua ini mengalah. Kalau hwesio itu menghendaki, sudah sejak tadi ia
roboh terluka oleh pedang. Maka ia lalu menjura dan berkata,
“Taisu, terima kasih bahwa kau sudah mengembalikan pedang
sehingga aku dapat memenuhi pesanan Nio-nio. Pedang ini asalnya
758
milik Nio-nio dan karena Nio-nio bukan orang jahat, bagaimanapun
pedang ini akan dapat dilakukan untuk perbuatan jahat? Nah,
selamat tinggal sampai berjumpa kembali, Tai-suhu.” Setelah
berkata demikian, nona itu berkelebat, kelihatan sinar kehijauan dari
pedang
Cheng-liong-kiam yang berada di tangannya dan sebentar saja Li
Hwa lenyap dari depan Kian Hok Taisu.
Kakek gundul itu menarik napas panjang dan berkata kepada
muridnya “Omitohud... lihai sekali bocah itu. Setelah pedang itu
berada di tangannya, biarpun pinceng sendiri belum tentu aku dapat
menundukkannya....“
Demikianlah setelah dapat merampas kembali pedang Chengliong-
kiam, Li Hwa lalu menjalankan pesan yang ketiga dari
mendiang Pat-jiu Nio-nio, yakni membangun kembali perkumpulan
Hui-eng-pai. Untuk ini ia dapat banyak bantuan dari lima pendeta
perempuan bekas anggauta terpenting dari Hui-eng-pai dahulu.
Untuk memenuhi kehendaknya Li Hwa tidak ragu-ragu untuk
menculik gadis-gadis kampung dan gunung untuk dijadikan
anggauta perkumpulannya! Dalam hal ini ia selalu memilih gadis
yang cantik dan bersih. Tak lama kemudian, ia telah dapat
mengumpulkan seratus orang anggauta perkumpulan Hui-eng-pai,
seratus orang gadis yang rata-rata memiliki kecantikan
mengagumkan. Mulailah ia mengatur anggautanya, melatih ilmu
silat dan melakukan pekerjaan untuk kepentingan mereka semua di
puncak tersembunyi dari Go-bi-pai itu.
Sementara itu, setelah mendapatkan Cheng-liong-kiam, Li Hwa
tidak membuang waktu dengan sia-sia belaka. Ia memperdalam
ilmu silatnya dan di dalam kitab memang terdapat ilmu pedang yang
disebut Cheng-liong-kiam-sut, yakni Ilmu Pedang Naga Hijau yang
tentu saja amat cocok dan tepat kalau untuk mainkan ilmu pedang
ini digunakan pedang Cheng-liong-kiam sendiri! Ilmu silatnya maju
pesat dan demikian hebat kemajuan yang diperoleh Li Hwa
sehingga kepandaiannya sudah menyusul tingkat mendiang Pat-jiu
Nio-nio. Bahkan ia kini sudah dapat meniru pekik burung elang yang
dahulu hanya dapat dilakukan oleh Pat- jiu Nio-nio, pekik yang
menjadi tanda dari perserikatan itu. Anggauta-anggauta lain dapat
759
juga mengeluarkan pekik itu akan tetapi harus dibantu dengan alat
tiup terbuat daripada daun bambu muda. Hanya Li Hwa seoranglah
yang dapat mengeluarkan pekik ini tanpa bantuan alat, melainkan
dengan pengerahan tenaga lweekang yang tinggi. Oleh karena ini,
pekiknya adalah pekik yang lebih aseli dan yang berbeda daripada
pekik para anggautanya, sehingga dapat dibedakan siapa kepalanya
siapa anak buahnya.
Kurang lebih tiga bulan sebelum pertemuan di puncak Ngo-hengsan
itu, terjadilah hal yang menggegerkan penghidupan para
anggauta Hui-eng-pai di puncak Go-bi-san. Penstrwa ini terjadi pada
suatu malam, yang menimpa seorang di antara para anggauta yang
bernama Cun Eng, seorang gadis yang manis dan menarik, memiliki
potongan tubuh yang menggairahkan. Selagi gadis ini seorang diri
meronda sebagaimana tiap malam dilakukan secara bergiliran untuk
menjaga keamanan gedung seperti istana itu, tiba-tiba ia melihat
bayangan hitam berkelebat.
Sebelum Cun Eng dapat melihat siapa bayangan itu, tahu-tahu ia
telah diserang, tertotok roboh. Bayangan itu ternyata ialah seorang
laki-laki yang berkepandaian tinggi dan yang kemudian membawa
Cun Eng pergi dan situ.
Gadis ini tidak berdaya lagi dan tak kuasa mempertahankan diri
dari gangguan laki-laki yang tidak dikenalnya itu. Ta hanya dapat
melihat bentuk badan orang itu, dan mendengar suaranya ketika
laki-laki itu hendak meninggalkannya berkata.
“Manis, kalau kelak kau merasa rindu kepadaku dan hendak
mencariku, carilah di dunia kang-ouw. Namaku Wan Sin Hong sudah
cukup terkenal.“
Cun Eng sambil menangis lalu melaporkan penghlnaan ini kepada
Li Hwa yang membuat sepasang alis Li Hwa berdiri saking
marahnya.
“Keparat jahanam Wan Sin Hong, kalau belum memenggal
lehermu aku tak mau pulang!“ serunya marah. Cepat
mengumpulkan para anggauta yang sudah agak pandai sebanyak
empat puluh orang kemudian ia melakukan pengejaran yang tiada
henti-hentinya. Di mana saja ia mendengar jejak Wan Sin Hong
760
tentu akan disusulnya sampai akhirnya tiba di Puncak Ngo-hengsan!
Demikianlah sebabnya mengapa begitu melihat Liok Kong Ji, Li
Hwa terus saja menerjang. Hal ini adalah karena Cun Eng yang
memberi tahu kepadanya bahwa pemuda yang memegang hudtim
itu seperti orang yang telah melakukan perbuatan keji kepadanya.
Tni pula sebabnya mengapa Li Hwa menjadi marah dan menendang
Cun Eng karena itu tidak berani mengambil keputusan apakah Li
Kong Ji itu orang yang mereka kejar-kejar atau bukan.
Kecewa karena tidak bisa menentukan penjahat yang dikejarkejarnya
sampai berbulan-bulan, Li Hwa lalu menghibur dirinya
dengan menonton pemilihan bengcu yang tanpa disengaja ia
kunjungi.
Setelah melihat bahwa tempat itu sudah penuh dengan orangorang
gagah dari seluruh penjuru dan tidak ada tamu baru yang
datang lagi, tiga ciangbunjin dari Thian san pai, Kum-lun-pai dan
Bu-tong-pai yang dianggap sebagai pemimpin pertemuan, saling
memberi tanda bahwa urusan segera dapat dimulai dan pertemuan
dibuka.
Tai Wi Siansu, Ketua Kun-lun-pai yang usianya sudah delapan
puluh tahun lebih dan dianggap yang paling tua, segera berdiri dan
diapit oleh Leng Hwat Taisu Ketua Thian- san-pai dan Bu Kek Siansu
Ketua Bu-tong-pai, ia bicara dengan suaranya yang tenang, halus
dan penuh kesabaran, akan tetapi karena diucapkan dengan tenaga
lweekang, maka dapat didengar oleh semua orang yang berkumpul
di situ, bahkan orang-orang yang berdiri paling pinggir dapat juga
mendengar dengan jelas.
“Cuwi sekalian tentu sudah mengerti apa maksud kita bersama
mengadakan pertemuan di tempat yang bebas ini.” Ia membuka
kata-katanya dengan tenang. “Yang dimaksudkan bebas adalah
karena Ngo-heng-san memang tidak ada partai persilatan sehingga
pertemuan diadakan di tempat ini merupakan pertemuan bebas, jadi
bukan merupakan undangan dari partai atau pihak tertentu. Dengan
demikian, maka tidak adalah tuan rumah atau tamu.”
761
“Sekarang setelah kita semua berkumpul dan kelihatannya di sini
sudah penuh dengan wakil-wakil dari semua golongan, marilah kita
masing masing mengajukan calon bengcu agar pemilihan dapat
segera dilakukan.“ Demikian Tai Wi Siansu mengakhiri kata-katanya
yang singkat.
Ramai suara hadirin yang hendak mengajukan calon masingmasing.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara keras, ternyata yang
bicara adalah Liok Kong Ji. Pemuda ini mengerahkan suaranya
sehingga mengatasi suara orang- orang bicara.
“Nanti dulu, Tai Wi Siansu! Aku mau tahu dengan cara
bagaimanakah calon-calon itu akan dipilih? Bagaimana cara untuk
menetapkan bengcu yang dipilih?“
Wi Siansu memandang dengan sinar mata dingin ke arah
pemuda itu. Kakek ini yang dahulu pernah bertemu dengan Kong Ji
ketika ia ikut mengejar dan mengepung penjahat Wan Sin Hong,
memang kurang suka melihat pemuda ini yang biarpun
berkepandaian tinggi, namun sikapnya amat tidak menyenangkan
dan agak sombong.
“Tentu saja akan dipergunakan aturan lama yang sudah dipakai
oleh nenek moyang kita. Di antara para calon bengcu harus kita
pilih bersama dan masing-masing boleh menyatakan pendapatnya
mengapa memilih bengcu itu, kemudian pertentangan pendapat
diselesaikan dengan melihat keadaan calon bengcu maing-masmg.
Kalau perlu boleh diukur tentang pribadi, kepandaian, keturunan
dan lain-lain.“
Liok Kong Ji mengeluarkan suara dingin. “Aturan lama yang
sudah usang!“ Ia lalu menghadapi semua orang dan berkata
nyaring. “Aturan lama yang sudah usang itu hanya akan memancing
keributan di antara kita sendiri. Menurut pendapatku, lebih baik
kalau diadakan pemilihan di antara calon bengcu berdasar suara
terbanyak! Yang paling banyak dapat sokongan suara dialah yang
menang,“
Kembali terdengar suara gaduh ribut menyambut usul ini.
Seorang tosu tinggi kurus berjenggot putih, yakni Yang Seng Cu,
murid tertua dari Tai Siansu, berdiri dan berkata keras.
762
“Aturan itu tidak boleh dipakai sama sekali! Kita tidak bisa
meninggalkan aturan lama yang sudah disaring orang- orang gagah
jaman dahulu. Memilih berdasarkan suara terbanyak amat
berbahaya. Tentu saja yang menang adalah mereka yang membawa
banyak konco dan kaki tangan, sedangkan mereka yang dengan
jujur datang hanya membawa sedikit kawan akan kalah suara.
Paling perlu dilihat buktinya apakah emas yang dipilih itu tulen atau
palsu. Memilih bengcu sama dengan memilih barang berharga,
harus diteliti benar-benar. Kalau sampai kita salah pilih dan
mendapatkan seorang yang berwatak bejat menjadi bengcu,
bukankah kita bersama diseret ke lembah kehinaan? Paling baik
para calon bengcu itu memperlihatkan kepandaian masing-masing
agar kita semua dapat membuka mata dan menilai.”
“Akur! ini akur sekali!“ terdengar banyak suara menyambut.
“Tidak cocok! Lebih baik menurut usul Tung-nam Tai-bengcu'“
terdengar suara di sana-sini dan jumlah suara ini banyak sekali.
Diam-diam Tai Wi Siansu terkejut dan berdebar hatinya. Mengapa di
antara orang-orang yang menyatakan setuju akan usul Liok Kong Ji
itu terdapat orang-orang dari rombongan Siauwlim dan partai-partai
lain?
Benar-benar aneh sekali.
Kong Ji tersenyum. “Sudahlah, hal ini tak perlu diributkan. Kita
lihat saja macam apa calon-calon bengcu yang dimajukan. Tentang
mengukur kepandaian boleh saja, bahkan tentu para pemilih juga
menjagoi dan membela calon masing-masing.” Kata kata ini
merupakan sindiran bahwa tentu akan terjadi keributan dan
pertentangan mengadu kepandaian dalam pemilihan ini dan
menyatakan tidak takut sama sekali. Hal ini memang tidak aneh.
Setiap kali orang- orang kangouw yang rata-rata mengandalkan
kekerasan dan kepandaian ini melakukan pemilihan sesuatu, pasti
akan terjadi bentrok dan pertempuran akan tetapi akhirnya hal itu
akan beres yang dipilih didapatkan dengan tepat dan cocok,
sedangkan pertempuran itu bahkan ada baiknya karena biasanya
lalu siapa atau pihak mana yang betul dan pihak mana yang
menyeleweng. Oleh karena itu, semua orang gagah tidak takut
menghadapi bentrok dalam pemilihan ini.
763
Karena mengira bahwa calon-calon bengcu yang diajukan tentu
banyak sekali, Tai Wi Siansu segera minta nama-nama calon bengcu
itu disebutkan. Akan tetapi alangkah herannya ketika ia hanya
mendapatkan lima orang calon saja! Pertama-tama adalah Liok
Kong Ji yang disebut Tung-nam Tai-bengcu, kedua adalah dia
sendiri, orang ketiga adalah Go Ciang Le yang dipilih oleh tokohtokoh
partai lain terutama sekali oleh Tai Wi Siansu sendiri. Ke
empat adalah See-thian Tok-ong yang didukung oleh anak isterinya
dan delapan orang pengiringnya, juga oleh beberapa orang kangouw
yang sudah mendengar nama besar Raja Racun dari Barat ini.
Adapun orang kelima adalah Cam-kauw Sin-kai yang ditunjuk dan
diusulkan oleh Ciang Le dan isterinya serta oleh Lie Bu Tek
pendekar buntung.
”Hanya lima orang saja calon bengcu?” tanya Tai Wi Siansu
dengan wajah terheran-heran. ”Pada pemilihan bengcu dahulu,
calonnya saja mendekati lima puluh orang!”
Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu seorang
anggauta Hui-eng-pai telah berdiri di depan Tai Wi Siansu. Dengan
hormat dia menjura dan bertanya.
“Totiang, saya disuruh oleh Niocu untuk bertanya apakah para
calon bengcu ini nanti mengukur kepandaian masing-masing?“
Tai WI Siansu mengangguk-angguk “Memang seharusnya
demikianlah.“
Gadis yang manis dan bertahi lalat pada telinga kirinya ini berseri
wajahnya dan berkata cepat. “Kalau begitu harap catat ketua kami
sebagai calon ke enam!“
Tat WI Siansu mengerutkan keningnya dan mengerling ke arah
rombongan Hui-eng-pai di mana ia melihat Li Hwa duduk sambil
tersenyum manis dan sepasang matanya bersinar-sinar. Ia hanya
bisa mengangguk menyatakan setuju dan gadis suruhan itu
melompat kembali ke tempatnya di mana dia dan kawan-kawannya
berbistk dan nampaknya bergembira.
“Calon ke enam telah dipilih, yakni Hui-eng Niocu Siok Li Hwa
Ketua Hui eng-pai!“ kata Tat Wi Siansu memperkenalkan kepada
orang banyak. Terdengar orang bertepuk tangan menyambut
764
pemberitahuan ini. Dapat dimengerti bahwa yang bersorak ini
sebagian besar adalah orang-orang muda yang mengagumi
kecantikan Li Hwa. Pula di situ hanya ada seorang saja wanita yang
berani terjun menjadi calon bengcu, siapakah yang tidak menjadi
kagum? Akan tetapi diam-diam. banyak yang tertawa geli kalau
memikirkan alangkah janggalnya kalau dunia kang-ouw dikepalai
oleh seorang bengcu wanita!
Hal ini memang disengaja oleh Li Hwa. Tidak saja ia teringat
akan pesan mendiang Pat-jiu Nio-nio bahwa ia harus dapat
mengangkat derajat wanita dan ini memperlihatkan bahwa wanita
pun tak kalah oleh pria, juga sebagai seorang muda yang berdarah
panas ia sudah gatal- gatal tangan untuk menguji kepandaiannya
dengan para calon bengcu! Jarang ia bertemu dengan lawan yang
tangguh dan sekaranglah saatnya baginya untuk menguji
kepandaian yang sekian lamanya ia pelajari dengan rajin sekali.
Kemudian Kong Ji meloncat ke depan, mengibas-ngibaskan
hudtimnya dengan lagak sombong sekali.
“Biarpun pemilihan calon bengcu itu tidak didasarkan suara
terbanyak, akan tetapi setidaknya harus diumumkan dan didengar
oleh semua orang siapa-siapakah yang memilih calon-calon bengcu
yang sekarang ini agar tidak main gila dalam pemilihan ini dan agar
diketahui oleh semua orang bahwa calon yang diajukan benar-benar
dikehendaki orang banyak di dunia kang-ouw!“
Wajah Tai Wi Siansu menjadi merah. Kata-kata ini mengandung
sindiran dan pernyataan tidak percaya kepada para pemimpin
pertemuan seakan-akan para pemimpin pertemuan akan berlaku
curang dalam pemillhan ini!
“Sudah tentu!“ kata Tai Wi Siansu kasar, karena memang
betapapun juga permintaan ini cukup pantas dan tak dapat ditolak
lagi. Tai Wi Siansu lalu berkata kepada orang banyak.
“Cuwi-enghiong yang berada di sini harap suka mengangkat
tangan apabila nama calon bengcu pilihan pinto sebut. Kemudian
setelah memandang ke empat penjuru ia berkata dengan suaranya
yang ringan tapi halus.
765
“Calon pertama, Tung-nam Tai-bengcu Liok Kong Ji!“ Terdengar
suara gemuruh orang-orang menyambut dengan sorakan dan
banyak sekali lengan tangan kanan diangkat tinggi-tinggi di atas
kepala. Melihat banyaknya pendukung, Tai Wi Siansu tidak merasa
aneh. Akan tetapi ketika ia dengan perhatian ke arah para
penyokong calon ia menjadi kaget sengah mati. Demikian pun Leng
Hoat Taisu
Ketua Thian-san-pai dan Bu Kek Siansu Ketua Bu-tong-pai semua
menahan napas agar tidak mengeluarkan seruan kaget. Mereka
hanya dapat saling pandang, penuh rahasia dan perasaan terkejut
dan terheran-heran. Kini dengan jelas terlihat oleh mereka bahwa
semua wakil yang terdiri dari rombongan-rombongan kecil wakilwakil
dari partai-partai besar di dunia, Kiang san-pai ikut
mengangkat lengan menyokong nama Liok Kong Ji Juga semua
pemimpin dari partai-partai kecil lainnya seperti partai-partai Imyang-
bu- pai, Bu-cin-pang, Kwan-cin-pai, Shansi Kai-pang. Twa-to
Bu- pai dan lain-lain juga menyokong Liok Kong Ji. Kalau partaipartai
ini menyokong pemuda itu, masih tidak aneh karena
bukankah pemuda itu juga sudah diangkat sebagai bengcu dari
timur dan selatan oleh mereka ini? Akan tetapi, kalau partai-partai
Siauw-lim-pai, Go-bi-pai lain-lain ikut memilihnya, inilah hebat.
Juga tokoh-tokoh lain yang tidak ikut memilih Liok Kong Ji, saling
pandang dengan hati kecut. Dilihat begitu saja malah yang memilih
Liok Kong Ji lebih dari setengah orang yang hadir di situ dan kalau
sampai terjadi keributan akibat rebutan kursi bengcu, pemuda itu
bersama pendukungnya yang amat banyak tentu merupakan lawan
yang amat berat. Apalagi ketika di antara para pendukung itu
terdapat tokoh besar seperti Gi Seng Cu, para ketua partai dan
wakil-wakil partai besar yang amat banyak pula anak buahnya.
Akan tetapi kini sudah terdengar lagi. suara Tat Wi Siansu yang
mengumumkan nama calon ke dua.
“Calon ke dua, Hwa I Enghiong Go Ciang Le!“
Nama besar Go Ciang Le murid Pak Kek Siansu, siapakah yang
belum pernah mendengar? Semua orang memandang kepada
pendekar besar itu, kagum dan segan. Akan tetapi yang mendukung
pendekar besar ini tidak berapa banyak. Hal ini disebabkan oleh
766
karena bukan saja mereka yang hadir itu sebagian besar adalah kaki
tangan Liok Kong Ji, akan tetapi juga karena selama ini Go Ciang Le
menyembunyikan diri saja tidak terjun di dunia kang-ouw sehingga
orang-orang hanya mengenaI nama besarnya saja akan tetapi tidak
pernah menyaksikan sepak-terjangnya. Tentu saja orang-orang
masih ragu-ragu untuk memilihnya sebagai bengcu. Akan tetapi
sebaliknya, tokoh-tokoh besar seperti Tat Wi Siansu tidak ragu-ragu
lagi untuk memilih Go Ciang Le sebagai bengcu.
“Calon ke tiga, Cam-kauw Sin-kai!“
Pendukung kakek pengemis sakti ini banyak juga, karena selain
Ciang Le, isterinya, Lie Bu Tek dan beberapa orang tokoh
perkumpulan-perkumpulan pengemis yang sudah mengenal kakek
ini, juga ada orang-orang kang-ouw yang sudah lama mengagumi
Cam-kauw Sin-kai memberikan suaranya dan mengangkat tangan
tanda mendukung. Cam- kauw Sin-kai sendiri hanya tertawa tawa
berkata perlahan. “Tua bangka macam aku mana pantas menjadi
bengcu?“
Tai Wi Siansu sudah mengumumkan lagi.
“Calon ke empat, See-thian Tok-ong suaranya terdengar nyaring
dan nama menimbulkan gelisah dan rasa ngeri dalam hati para
pendengarnya. Nama Racun dari Barat ini sudah terkenal bagai
tokoh berwatak iblis yang menakutkan, apalagi sekarang
menyaksikan orangnya yang memang menyeramkan. Kecut-kecut
hati semua orang yang memilih calon lain, karena di samping Liok
Kong Ji yang banyak pengikutnya, See-thian Tok-ong inilah yang
merupakan lawan berat dan juga merupakan orang yang tak disuka.
“Calon ke lima, yang sesungguhnya tak perlu diadakan, adalah
pinto sendiri,“ kata Tat Wi Siansu. Kata kata ini disambut oleh suara
ketawa banyak orang yang menganggap kakek itu berkelakar.
Memang lumayan juga kelakar ini, untuk selingan dan menghibur
hati yang berdebar tegang menghadapi pemilihan bengcu dan
mendengar nama See thian Tok-ong tadi.
Tiba-tiba terjadi keributan kecil di rombongan Teng-san-pai..
Semua orang memandang dan ternyata yang membikin ribut adalah
Cam-kauw Sin-kai. Kakak pengemis sakti ini entah kapan, tahu-tahu
767
telah berada di situ dan menyerang seorang di antara rombongan
Teng-san-pai itu sambil berseru,
“Kau tukang colong ayam!“
Seruan ini dibarengi oleh serangannya memukul ke dada dengan
tangan kanan dan mencengkeram pusar dengan tangan kiri.
Serangan yang hebat, cepat dan kuat sekali! Semua orang terkejut
melihat ini, terutama orang yang diserangnya itu. Orang itu adalah
seorang yang berpakaian seperti
tosu dan dia adalah seorang di
antara para wakil Teng-san-pai,
muka dan lagaknya menunjukkan
bahwa dia adalah seorang ahli silat
pandai. Menghadapi serangan
yang demikian dahsyat dari Camkauw
Sin-kai tosu ini cepat
membanting tubuh ke belakang
sambil berpoksai dengan cara
berjungkir balik. Akan tetapi
terdengar suara ketawa bergelak
dan kaki Cam-kauw Sin-kay
menyentuh pantatnya sehingga
tosu itu terpental dan jatuh
bergulingan seperti sebuah bal
karet ditendang. Cam-kauw Sin-kay mengeluarkan suara ketawa
bergelak-gelak, suara ketawanya aneh sekali dan pengemis ini lalu
melompat kembali ke dekat Gak Soan Li. Memang sejak tadi,
pengemis ini nampak bicara perlahan- lahan dengan nona yang
siuman dari pingsan ini.
Ciang Le, isterinya, dan Lie Bu Tek memandang kepada
pengemis tua itu dengan heran. Mereka tidak melihat sesuatu
alasan mengapa Cam-kauw Sin- kai melakukan penghinaan kepada
wakil Teng-san-pai itu. Akan tetapi Cam-kauw Sin-kai yang melihat
pandang mata reka hanya tersenyum-senyum, wajahnya berseri-seri
aneh. Kemudian ia berdiri dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi
sambil berkata kepada Tai Wi Siansu,
768
“Masih ada lagi calon ke tujuh, akulah orangnya yang
memilihnya dan harap diumumkan!“ Semua orang mendengar
ucapan yang dilakukan dengan pengerahan lweekang yang tinggi
ini.
Tai Wi Siansu sudah mengenal siapa adanya Cam-kauw Sin-kai
dan melihat kelakuan pengemis tua ini, Ketua Kun- lun-pai
tersenyum dan menjawab sabar.
“Cam-kauw Sin-kai, kauumumkan sendiri agar kita semua
mendengar, Siapakah adanya calon pilihanmu yang terhormat itu?“
Cam-kauw Sin-kai memandang ke empat penjuru memutarmutar
tubuhnya lalu berkata dengan keras sekali setelah
mengumpulkan tenaga dan napasnya.
“Aku mengajukan calon bengcu kiranya paling tepat pada waktu
ini menjadi pemimpin kita, dia itu bernama Wan Sin Hong!“
Untuk sedetik terdengar suara seruan kaget, lalu disusul suasana
sunyi senyap. orang-orang memandang kepada
Cam-kauw Sin-kai seolah-olah pengemis itu telah berubah
ingatannya. Bahkan orang-orang yang berpihak kepadanya juga
memandang dengan heran. Ciang Le sendiri memandang dengan
muka tercengang, sedangkan Lie Bu Tek memandang kepada Camkauw
Sin-kai dengan mata menjadi basah air mata!
Ketika Cam-kauw. Sin-kai menyebut nama bengcu yang
dipilihnya, nama “Wan Sin Hong“ la sebutkan dengan pengerahan
tenaga sekuatnya sehingga lama setelah ia menutup mulut gema
suaranya masih terdengar dari sekeliling puncak itu. Tiba-tiba dari
jauh sekali, terdengar suara ketawa yang aneh gemanya
bergemuruh seperti suara geluduk dari jauh. Semua orang terkejut
sekali, bahkan
Ciang Le dan tokoh-tokoh besar yang berada di situ juga kaget
karena hanya orang yang memiliki khikang tinggi bukan main yang
dapat mengeluarkan suara seperti itu gemanya! Akan tetapi suara
itu hanya timbul sebentar saja karena lalu lenyap tak disusul oleh
suara apapun juga.
769
Kemudien terdengar pekik lain yang nyaring sekali, disusul oleh
pekikan semacam itu yang kurang nyaring, kemudian nampak
bayangan-bayangan putih berkelebatan, bayangan-bayangan putih
yang cepat sekali gerakannya laksana kelompok burung garuda
menyambar. adalah pekik yang dikeluarkan oleh Siok Li Hwa,
disambut oleh pekik dari para anggautanya. Pekik ini merupakan
pekik aba-aba dan sebentar saja Li Hwa dan para anggautanya
sudah mengurung tempat di mana berdiri Cam-kauw Sin-kai dan
rombongan Go Ciang Le! Li Hwa sendiri lalu melangkah maju,
pedang hijau berkilauan di tangannya. Ia menghadapi Cam-kauw
Sin-kai dengan wajah keren dan mata berapi-api.
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid XXVIII
MELIHAT ini, Bi Lan sudah naik darah dan kalau tidak dikedipi
suaminya, tentu nyonya ini sudah menerjang maju mengusir Li Hwa
yang bersikap demikian kurang ajar dan galak. Akan tetapi Camkauw
Sin-kai yang di hadapi oleh Li Hwa, tersenyum-senyum saja,
bahkan lalu menjura dan berkata,
“Bukankah nona calon ke enam yang tadi disebut bernama Siok
Li Hwa, berjuluk Hut-eng Niocu dan menjadi ketua dari Hui-eng-pai?
Apakah maksudmu terbang ke suni dan kelihatan marah kepada
lohu?“
“Pengemis bangkotan tak perlu memutar omongan lagi! Kau tadi
menyebut-nyebut nama penjahat besar Wan Sin Hong yang kaupilih
menjadi bengcu. Bagus sekali! Hayo lekas kaukeluarkan jahanam
busuk itu agar dapat kubawa kepalanya ke tempatku untuk ditaruh
di meja sembahyang sehingga noda yang mencemarkan pada nama
baik perkumpulan kami dapat dicuci bersih!“
“Dia tidak ada di sini pada saat ini. Entah nanti!“ jawab Cam
kauw Sin-kai dan suaranya terdengar bersungguh- sungguh.
“Jangan kau membohong!“
“Eh, eh, kau ini masih muda akan tetapi sikapmu agak galak
sekali. Kalau kau tidak percaya carilah sendiri kalau becus. Aku
770
boleh memilih calon bengcu siapa saja, adapun dia itu hadir atau
tidak, bagaimana aku bisa memaksa?“
“Pengemis tua, kau sengaja hendak menyembunyikannya! Kalau
begitu, kaulah yang harus kutahan untuk memancing penjahat Wan
Sin Hong datang Sambil berkata demikian Li Hwa menyerang
dengan pedangnya untuk membikin putus urat sambungan siku
kakek itu!
“Ganas kau!“ Cam-kauw Sin-kai mernbentak marah karena
serangan gadis itu benar-benar dahsyat dan cepat. Kalau sampai
mengenai sasaran maka akan menjadi orang yang cacad! Cepat ia
menggerakkan tongkatnya, dengan gerakan istimewa dari ilmu
tongkat Carn-kauw-tunghwat ciptaannya yakni bagian gerakan
menggait“ dan “membetot“. Terdengar bunyi keras dan tongkatnya
berhasil menempel pedang nona itu, akan tetapi sebelum
membetot, secara aneh sekali pedang itu telah terlepas kembali,
dan ia ternyata nona itu telah dapat membebaskan pedang dengan
amat mudahnya dan tenaga tempelan yang luar biasa itu. Di lain
saat pedang itu telah menjadi sinar hijau dan kini menyerang ke
arah pundak untuk membikin putus tulang pundak! Ternyata dari
serangan serangannya ini bahwa nona itu tidak bermaksud
mengambil nyawa, hanya untuk merobohkan dan menawan Camkauw
Sin-kai. Tentu saja pengemis sakti ini tidak mandah begitu
saja dan cepat memutar tongkat melakukan perlawanan.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
“Siluman betina jangan banyak tingkah!“ Yang membentak ini
adalah Liang Bi Lan isteri Hwa l Enghiong Go Ciang Le. Melihat sikap
Siok Li Hwa, Bi Lan yang berwatak keras tak dapat menahan sabar
lagi.
Sekali kakinya menotol tanah, tubuhnya melayang dan
menerjang Li Hwa yang sedang menyerang Cam-kauw Sin- kai.
Melihat gerakan yang luar biasa cepatinya ini, dua orang anggauta
Hui-eng-pai menyambut dengan pedang dilintangkan di depan dada,
mencegah nyonya ini mengganggu ketua mereka yang sedang
menyerang Cam- kauw Sin-kai.
771
Akan tetapi, sekali mengulur kedua tangan, Bi Lan telah berhasil
merampas pedang di tangan dua orang nona ini dan tendangan
berantai yang ia lancarkan membuat dua orang lawannya ini cepatcepat
lari meninggalkannya! Liang Bi Lan lalu melontarkan dua
pedang rampasan itu ke arah Li Hwa yang sedang menyerang Camkauw
Sin-kai.
Li Hwa sejak tadi melihat gerak, Bi Lan ini bukan main
terkejutnya melihat nyonya cantik yang begitu lihai. Segera ia
menangkis dengan Cheng-liong-kiam di tangannya dan dua batang
pedang dilontarkan itu dengan mudah terbabat putus. Dengan
adanya campur tangan dari Bi Lan ini, Cam- kauw Sin-kai bebas dari
desakan dan kini Li Hwa menghadapi Bi Lan.
“Bocah siluman, kaukira dirimu ini apakah mau menjual lagak di
sini?“
Li Hwa memandang kepada Bi Lan dengan matanya yang bening
dan bersih. Dua orang wanita, sama cantiknya, yang seorang gadis
remaja, yang kedua telah setengah tua, berdiri berhadapan saling
pandang. Bi Lan dengan sinar mata marah, sebaliknya Li Hwa
memandang kagum, karena baru kali ini ia bertemu dengan seorang
wanita yang memiliki kepandaian tinggi.
“Toanio mengapa marah-marah kepadaku? Aku berurusan
dengan pengemis tua ini yang menyebut-nyebut nama penjahat
yang kucari, apa sangkutannya dengan toanio?“ akhirnya Li Hwa
mengeluarkan suara bertanya, sikapnya sungguh-sungguh dan tidak
mengandung suara bermusuhan.
Liang Bi Lan terkenal sebagai seorang wanita yang mudah
gembira dan mudah marah. Di waktu mudanya ia jenaka dan
gembira, akan tetap, memiliki keberanian yang luar biasa dan kalau
ia marah maka tentu akan timbul geger. Sebetulnya dalam dadanya
terdapat hati yang penuh welas asih, hati yang suka mengalah
sabar, hanya wataknya yang membuat ia kadang-kadang mudah
sekali tersinggung. Kalau saja kata-katanya tadi dijawab kata kata
keras pula oleh Li Hwa pasti ia akan menyerang gadis itu tak banyak
cakap lagi. Akan tetapi, mendengar ucapan Li Hwa yang lemahlembut
dan hormat, seketika itu juga api yang membakar hatinya
772
padam. Namun ia tak mau melayani kelemahlembutan itu, maka
jawabnya mengandung teguran,
“Bocah, bagaimana aku tidak akan mencampuri? Urusanmu
dengan Wan Sin Hong atau dengan siapapun juga memang tiada
sangkut pautnya dengan kami dan aku Sian-li Eng-cu Liang Bi Lan
sekali-kali bukan orang usilan yang suka mencampuri urusan orang
lain. Akan tetapi Cam- kauw Sin-kai adalah seorang di antara
rombonganku, bahkan dia juga merupakan calon bengcu yang kami
pilih. Adapun dia memillh seorang bernama Wan Sin Hong menjadi
calon, itu sih haknya karena semua orang merdeka untuk memillh
calon masing-masing, megapa kau begitu tak tahu aturan
mengandalkan kegalakanmu? Apa kaukira di dunia ini tidak ada
orang lain berani menentangmu? Kau mengganggu seorang
anggauta rombongan kami, berarti kau menghina aku. Hayo,
sekarang kau mundur atau hendak mengadu kepandaian dengan
aku?“
Li Hwa tersenyum, matanya memandang kagum akan tetapi
wajahnya berubah agak pucat. Ia marah sekali. Kalau saja orang
lain yang bicara seperti itu, sudah dapat dipastikan pedang hijaunya
akan menyerang. Akan tetapi sikap Bi Lan amat mengesankan
hatinya, membuat ia kagum dan tertarik. Tidak tegalah hatinya
untuk bermusuh dengan nyonya yang gagah ini. Bukan sekali-kali ia
tidak berani, hanya ia merasa lebih suka bersahabat daripada
bermusuh dengan wanita gagah itu.
“Toanio, aku tidak ingin bermusuh denganmu. Tidak ada sebabsebabnya
harus melawanmu, sungguhpun aku sekali tidak takut.
Mungkin tadi aku terlalu terburu nafsu. Asal saja kau suka memberi
tahu apakah di rombonganmu ada penjahat Wan Sin Hong atau
tidak aku suka mengundurkan diri dan menghabiskan urusan ini.“
“Kau kira kami menyembunyikan penjahat? Setan alas! Baik
yang bernama Wan Sin Hong atau siapapun juga, rombongan kami
tidak ada penjahatnya.
Li Hwa tersenyum dan mengerling ke arah Cam-kauw Sin-kai.
“Cam-kauw Sin-kai, maaf kalau tadi aku terburu nafsu. Akan
tetapi kau telah seorang jahat yang menjadi musuhku, berarti kau
773
pun bukan orang baik. Tunggu saja, bukankah kita berdua samasama
calon bengcu? Tunggu sampai kita bertemu di gelanggang
adu kepandaian!“ Setelah berkata demikian, Li Hwa lalu melompat
kembali ke tempat yang tadi, diikuti oleh semua rombongannya.
Keadaan tenang kembali.
Akan tetap, baru saja Li Hwa mengundurkan diri, Liok Kong Ji
sudah melompat maju. Kebutan di tangannya digoyang-goyangkan
dengan lagak agung serperti seorang pangeran saja. Bibirnya
tersenyum, penuh keyakinan akan ketampanan wajahnya, dadanya
diangkatnya dan hanya memandang liar ke kanan kiri. Pemuda ini
sejak tadi telah mempertimbangkan siapa-siapa calon yang menjadi
lawan berat. Baginya adanya See-thian Tok-ong menjadi calon,
tidak begitu dipikirkan oleh karena ia percaya bahwa orang ini dapat
ia tarik menjadi kawan.
Juga ia tidak memandang sebelah mata kepada Tat Wi Siansu
Ketua Kunlun-pai dan kepada Cam-kauw Sin-kai. Kini tinggal tiga
orang yang menjadi buah pikiran, yakni Go Ciang Le. Siok Li Hwa,
dan akhirnya yang amat mengejutkan hatinya adalah Wan Sin Hong
yang dipilih sebagai bengcu ke tujuh oleh Cam-kauw Sin-kai. Maka
ia lalu maju ke depan dan sebelum perang adu kepandaian dimulai,
ia hendak mempergunakan siasat perang lidah.
“Cuwi-enghiong yang hadir di sini sudah mendengar jelas siapasiapa
adanya tujuh orang bengcu.“ Ia mulai bicara dengan layak
seorang pemimpin ulung! “Pilihan calon ketua bagi yang lain-lain
aku sudah setuju sekali karena memang mereka itu adalah
locianpwe-locianpwe yang patut menjadi pemimpin serta
berkepandaian tinggi. Akan tetapi aku merasa amat keberatan
mendengar nama tiga orang yang dicalonkan, karena aku
menganggap mereka itu tidak layak menjadi calon bengcu yang
terhormat!“
Semua orang yang mendengar kata-kata ini menjadi tertarik.
Benar-benar seorang pemuda yang berani mati. Tiga orang calon
bengcu yang manakah ia berani mencela-celanya? Semua orang
mendengarkan dengan penuh perhatian dan tak seorang pun mau
memotong ucapannya.
774
Setelah memandang ke kanan kiri dan merasa puas melihat
wajah orang-orang itu memperhatikan kata-katanya, Kong Ji
melanjutkan.
“Pertama tama, aku ingin bicara tentang calon bengcu yang ke
enam, yaitu nona Siok Li Hwa ketua dari Hui-eng-pai. Bukan sekalikali
aku kurang menghargainya, bahkan aku merasa kagum sekali,
akan kemajuan yang dicapa, oleh Nona Siok, biarpun wanita dan
masih muda sudah menjadi Ketua Hui-eng-pai. Akan tetapi sudah
berani maju sebagai calon bengcu. Akan tetapi, bengcu yang akan
dipilih ini adalah ketua dari semua orang gagah di kolong langit,
apakah patut kalau bengcu seorang wanita?”
Dari rombongan Hui-eng-pai terdengar suara nyaring seorang
gadis anggauta rombongan itu. ”Orang she Liok, jangan kau
sombong! Biarpun seorang wanita, hanya Niocu kami tidak akan
kalah olehmu. Lihat saja nanti”
Kong Ji, tersenyum dan mengangkat pundak. ”Demi kesopanan
dan kepantasan aku sudah bicara, kalau Nona Siok bertekad
mendapatkan kedudukan bengcu, terserah. Sekarang orang ke dua.
Dia ini benar benar tidak layak menjadi bengcu, lebih tidak patut
lagi direndengkan para orang gagah yang terpilih hadir di sini. Dia
itu adalah penjahat besar Wan Sin Hong yang tadi dipilih oleh Camkauw
Sin-kai. Pantas saja Nona Siok marah terhadap Cam- kauw
Sin-kai, karena memang perbuatannya itu amat lancang. Bagaimana
seorang manusia sudah tersohor akan kejahatannya itu dijadikan
calon bengcu? Apakah Cam-kai Sin-kai menghendaki kita semua
dipimpin oleh seorang penjahat ? Sungguh lucu!”
”Semua orang menuduh Wan Sin Hong seorang penjahat besar.
Mana buktinya?” Suara Cam-kauw Sin-kai berkumandang ketika ia
mengatakan ucapan ini.
Liok Kong Ji tertawa terbahak-bahak ”Ha-ha, omongan Camkauw
Sin-kai seperti omongan anak kecil saja! Yang tidak dapat
melihat bahwa Wan Sin Hong seorang penjahat besar, dia itu
seorang buta! Yang tidak mendengar akan kenyataan itu, dia itu
seorang tuli! Siapakah yang belum mendengar tentang kejahatan
Wan Sin Hong? Mau bukti? Terlalu banyak! Bukankah baru saja
sudah dibukan dengan kemarahan Nona Siok Li Hwa yang mencari
775
penjahat besar Wan Sin Hong sampai berbulan-bulan lamanya?
Apakah masih belum puas lagi? Tanya saja Nona Cun Eng, apa yang
telah diperbuat oleh Wan Sin Hong kepadanya!”
Terdengar pekik mengerikan dan terjalilah ribut ribut di
rombongan Hui-eng-pai. Ternyata bahwa Cun Eng telah
menggunakan pedang menusuk dadanya sendiri ketika mendengar
kata-kata Kong Ji itu. Aib yang menimpa dirinya dibuka begitu saja
oleh Kong Ji di depan umum, maka gadis itu tidak melihat jalan lain
kecuali membunuh diri!
Siok Li Hwa dengan muka merah lalu memerintahkan anak
buahnya untuk mengurus jenazah Cun Eng, kemudian ia berkata
dengan suara nyaring.
“Untuk ini Wan Sin Hong akan membayar dengan nyawanya!“
Terdengar Liok Kong Ji tertawa bergelak, lalu memandang
kepada Cam-kauw Sin-kai dengan penuh ejekan.
“Cam-kauw Sin-kai, masih kauragukan lagi dan masih hendak
melihat bukti lagi? Lihat, Nona yang sekarang sudah menjadi mayat
itu telah menjadi korban kejahatan Wan Sin Hong.”
“Sayang, sayang kehilangan lagi orang saksi utama! Liok Kong
Ji, mengapa kau begitu girang melihat kematian Nona Cun Eng?“
Tiba-tiba saja kalimat terakhir ini diucapkan oleh Cam-kauw Sin-kai
sambil menatap wajah pemuda itu dengan tajam.
Akan tetapi wajah Kong Ji tidak berubah, hanya senyumnya agak
berbeda dengan tadi. Kini timbul kebengisan pada wajahnya yang
tampan.
“Cam-kauw jangan kau mencoba mengacau-balau untuk
menyembunyikan ketololanmu. Kau sudah memilih seorang
penjahat menjadi calon bengcu dan aku hanya mengemukakan
alasa-alasan disertai saksi-saksi hidup, Kau masih mau saksi lagi?
Kau lihat dia itu,“ Kini telunjuk tangan kanan Kong Ji menuding ke
arah Gak Soan Li!
Wajah Soan Li berubah dan matanya memandang kepada Kong ji
dengan terbuka lebar-lebar. Kasihan sekali nasib gadis yang malang
ini. Biarpun dengan penuh perhatian dan mengerahkan seluruh
776
kepandaiannya Cam-kauw Sin-kai telah mengobatinya, namun tetap
saja tidak dapat mengembalikan ingatannya. Sampai sekarang ia
masih belum dapat ingat apa yang telah terjadi dengan dirinya,
siapa orang yang telah berlaku keji kepadanya. ia hanya ingat
bahwa orang ini jahat dan mengganggunya bernama Wan Sin Hong
sedangkan penolongnya ialah Gong Lam! Kini melihat wajah Kong Ji
dan mendengar nama ini hanya merasa muak dan benci.
Hal ini tidak mengherankan oleh karena semenjak dahulu,
semenjak Kong Ji masih menjadi murid Ciang Le dan masih belajar
ilmu silat bersama-sama di dalam hati Soan Li sudah merasa tidak
suka kepada pemuda ini. Maka sekarang biarpun ia tidak ingat lagi
siapa adanya Kong Ji ia tetap merasa tidak suka dan benci.
Sekarang, melihat Kong Ji menunjuk kepadanya untuk di jadikan
saksi dan bukti kejahatan Wan Sin Hong, tahulah Soan Li apa yang
hendak dimaksudkan oleh pemuda itu. Seperti pula Cun Eng tadi, ia
pun hendak dijadikan sasaran penghinaan. Maka ia memandang
dengan mata terbelalak dan muka pucat.
Juga Cam kauw Sin-kai menjadi pucat, demikian pula Ciang Le
dan istri nya. Tidak mereka sangka bahwa Kong Ji akan begitu
kejam mencemarkan nama baik saudara seperguruannya sendiri,
bahkan nama baik gurunya sendiri! Lie Bu Tek memandang kepada
Kong Ji dengan mata mengeluarkan sinar berapi.
Teringat ia betapa Kong Ji telah membuntungi lengannya dan
betapa Kong Ji telah berlaku kejam sekali terhadap Wan Sin Hong.
Sekarang ini, biarpun Wan Sin Hong disohorkan orang menjadi
penjahat, akan tetapi Kong Ji pulalah yang agaknya memburukburukkan
nama Wan Sin Hong! Kong Ji memandang kepada para
hadirin dengan sinar mata penuh kesombongan dan kemenangan.
“Cuwi-enghiong, para orang yang berkumpul di sini. Perlu aku
memperkenalkan Nona yang menjadi saksi dan bukti ke dua atas
kejahatan Wan Sin Hong. Nona itu adalah Nona Gak Soan Li murid
pertama dari Hwa I Enghiong Ciang Le.“
Semua mata memandang dan di antaranya banyak yang kagum
melihat Soan Li yang cantik dan agung, akan tetapi pucat wajahnya
dan sinar matanya seperti bingung dan muram, bahkan ada tandatanda
air mata mengembeng di pelupuk matanya.
777
“Tanyalah kepada Nona Gak Soan Li itu apa yang telah
diperbuat oleh jahanam Wan Sin Hong kepadanya seperti yang telah
diperbuat oleh penjahat itu kepada mendiang Nona Cun Eng tadi!
Kalau ia tidak mau bicara dan kalau Cu- wi betul-betul ingin
mengetahui, aku dapat memberi keterangan karena kebetulan sekali
aku sendirilah orangnya yang telah menolongnya dari cengkeraman
siluman Wan Sin Hong! Eh, Cam-kauw Sinkai,....... kau masih mau
bukti-bukti lagi?”
Terdengar teriakan menyayat hati dan tubuh Soan Li berkelebat
ketika gadis itu dengan cepat sekali pergi dari situ turun dari puncak
Ngo-heng-san dengan kecepatan seperti terbang sambil
mengeluarkan rintihan sepanjang jalan!
“Liok Kong Ji, tutup mulut! Apakah kau bermaksud menghinaku?
Kalau kau bermaksud menghina, katakan terus terang agar aku
dapat memutuskan untuk mengadu nyawa denganmu di sini dan
sekarang juga!“ kata-kata ini keluar dari mulut Go Ciang Le yang
sudah melompat ke depan Kong Ji dengan sikap menantang, berdin
tegak dengan gagahnya dan menatap wajah bekas muridnya itu
dengan sinar mata berapi-api. Gentar juga Kong Ji melihat sikap
bekas gurunya ini, akan tetapi sambil tersenyum menjura dan
berkata,
“Hwa I Enghiong, seorang gagah yang sudah disebut pendekar
besar, bahkan yang sudah terpilih menjadi calon bengcu, apakah
demikian mudah saja mencari permusuhan? Kau tahu bahwa aku
tidak bermaksud menghina, melainkan mengemukakan kejahatan
Wan Sin Hong yang agaknya dibela mati-matian oleh Cam-kauw
Sin-kai. Sekarang Nona Gak sudah melarikan diri berarti bahwa
kata-kataku semua berbukti, Cuwi-enghiong yang hadir di sini
menjadi saksi.” Karena jawaban ini menyangkal bahwa Kong Ji
menghina Ciang Le tidak bisa apa-apa.
la tadinya sudah marah sekali, akan tetapi bagi seorang pendekar
ia tidak berani berlaku sewenang-wenang, maka sengaja
memancing bekas muridnya itu. Kalau sengaja Kong Ji berani
menghinanya, ia mempunyai cukup alasan untuk menyerang
pemuda itu. Akan tetapi ternyata dengan cerdik dan Licin sekali
778
Kong Ji mengelak sehingga terpaksa Ciang Le menahan sabar dan
kembali ke tempatnya.
”Cam-kauw Sin-kai sudah banyak buktinya bahwa Wan Sin Hong
seorang penjahat keji dan tidak patut dijadikan calom bengcu. Kalau
kau belum puas dapat juga aku menyebutkan kejahatannya satu
demi satu, misalnya pembunuhan terhadap murid Kun-tun-pai Tim
Beng dan isterinya, lalu perampokan, pembunuhan-pembunuhan
dan gangguan-ganguan terhadap wanita-wanita yang banyak
disaksikan oleh orang-orang gagah sedunia. Tanya saja kepada para
pemimpin partai-partai besar seperti Siauw lim-pai, Teng-san-pai,
Go-bi-pai dan lain lain yang kini hadir, apakah mereka itu belum
pula mengenal kejahatan Wan Sin Hong. Cam-kauw Sin-kai, jangan
kau berpura-pura, ataukah kau betul-betul buta dan tuli maka kau
memilih Sin Hong?”
Banyak tokoh yang berada di sini, biarpun mereka ini tidak
memihak dalam percekcokan itu, namun mereka ini rata-rata sudah
mendengar tentang kejahatan Wan Sin Hong, maka pemilihan nama
ini sebagai calon bengcu tentu saja tak dapat mereka setujui.
Mendengar uraian Kong ji serentak mereka menyataka setuju.
”Penjahat Wan Sin Hong jangan dijadikan calon...!” pekik ini
terdengar simpang-siur dan akhirnya merupakan sorak riuh
rendah.Ternyata bahwa tidak saja kaki tangan atau pendukung Liok
Kong Ji yang ikut bersorak-sorak, bahkan para undangan lain juga
terpengaruh oleh kata-kata Kong Ji.
Melihat ini Ciang Le tak dapat menahan sabarnya lagi. ia segera
mengerahkan tenaga dan berseru keras sekali,
“Diam semua...!!“
Suara ini menggeledek dan menggelarkan jantung sehingga
beberapa orang yang kurang kuat terpelanting jatuh! Yang lain-lain
menjadi pucat dan suara riuh tadi berhenti seperti seekor orongorong
terpijak. Keadaan menjadi sunyi ketika Ciang Le dengan
langkah tenang dan lebar menghampiri Kong Ji yang sudah siap
sedia menghadapi segala kemungkinan.
“Liok Kong Ji, lebih baik tutup mulutmu yang kotor berbisa itu.”
Suara Ciang Le amat keras sehingga mudah terdengar oleh semua
779
orang yang hadir di situ. “Semua ucapanmu hanya untuk
menjelekkan orang lain, tidak ingat bahwa kau sendiri seorang
manusia busuk dan kotor! Kau telah melarikan diri dari pulau,
meninggalkan perguruan dan membawa minggat pedang pusakaku
yang kau curi. Kedosaan di dunia kang-ouw memang banyak sekali,
akan tetapi mencuri pedang guru sendiri kemudian membelakangi
guru dan bersikap seolah-olah lupa kepada semua pelajaran yang
pernah terima dari gurunya, itu termasuk dua macam kedosaan
besar tak berampuni. Kau sudah menipu orang-orang kang-ouw,
mengadukan ke sana ke mari!“ Kemudian Ciang Le menengok
kepada Tai Wi Siansu dan berkata.
“Tai Wi Siansu, daripada mendengarkan obrolan kosong dari
bocah ini, bukankah lebih baik melanjutkan saja pemilihan calon
bengcu?“
Setelah berkata demikian, Ciang Le kembali ke dalam
rombongannya.
Akan tetapi dengan muka merah Kong Ji melanjutkan katakatanya,
“Hwa I Enghiong telah bicara, akan tetapi memutarbalikkan
kenyataan“ Kata-katanya juga nyaring dan dapat terdengar oleh
semua orang. Para pendengar menjadi gembira oleh karena mereka
memang sudah mengerti bahwa dalam pertemuan ini tentu akan
terjadi pertentangan-pertentangan.
“Memang aku pernah menjadi muridnya, akan tetapi kalau aku
merasa dibeda-bedakan sehingga tidak senang dan rminggalkan
perguruan, apakah salahnya? Bukan dia seorang saja guruku!
tentang pedang pusaka Pak-Lek Sin-kiam, siapakah yang tidak tahu
bahwa pedang ini diperebutkan oleh seluruh orang di dunia kangouw?
Hwa I Enghiong merebutnya dan orang lain, jadi siapa yang
kuat dialah yang memiliki pedang. Aku yang telah mendapatkan
tempat sembunyi Pak Kek Siansu di mana beliau menyimpan kitab
kitabnya, akulah yang berhak memiliki pedang itu dan siapa yang
kuat boleh coba-coba, merampasnya dari tanganku!“
Bi Lan yang lebih mudah naik darah daripada suaminya,
mendengar omongan ini lalu menjawab. “Bocah she Liok, kau
780
benar-benar tak tahu malu dan manusia durhaka! Kecil kecil kau
sudah membuntungi lengan Bu Tek Suheng yang semenjak kau
masih kecil menjadi suhengmu dan momeliharamu! Kemudian kau
menipu sana-sini dan akhirnya menipu kami sehingga dapat mencuri
ilmu silat dan pedang pusaka. Dan perbuatanmu benar-benar sudah
menjadi alasan cukup kuat untuk kami bertindak memberi
hukuman.”
Kong Ji pura-pura tidak mendengar bahkan lalu menghadapi
orang banyak. dan berkata,
“Cuwi-enghiong, tadi belum saya lanjutkan alasan-alasan yang
kukemukaka mengapa tiga orang calon bengcu tidak pantas menjadi
calon! Pertama-tama Ketua Hut-eng pai karena dia seorang wanita,
ke dua Wan Sin Hong, karena di penjahat besar, dan ke tiga adalah
Hwa I Enghiong. Dia ini biarpun menyebut diri pendekar besar, akan
tetapi sudah berapa belas tahunkah dia menyembunyikan diri saja
dan tidak mempedulikan urusan kang-ouw. Kalau dia pendekar
besar, bagaimana sampai ada penjahat-penjahat seperti Wan Sin
Hong itu berani muncul? Bahkan yang celaka sekali, murid
perempuannya yang bernama Gak Soan Li tadi menjadi korban Wan
Sin Hong pula tanpa Hwa I Enghiong berani berbuat apa-apa. Ha,
ha, ha, coba Cuwi-enghiong bertanya, Nona Gak Soan Li melahirkan
anak siapakah? Kecemaran yang luar biasa besarnya ini ditimbulkan
oleh penjahat Wan Sin Hong dan Hwa I Enghiong tidak berani
berbuat apa-apa. Patutkah orang seperti dia menjadi calon bengcu?”
Inilah hinaan yang hebat. Serentak Ciang Le dan Bi Lan
melompat maju menerjang Liok Kong ji dengan pedang masingmasing!
Akan tetapi dari belakang Kong Ji melompat keluar Giok
Seng Cu yang menggunakan pukulan Tin-san-kang menangkis
serangan Bi Lan sedangkan serangan pedang Ciang Le yang amat
hebat itu ditangkis oleh Kong Ji.
Ciang Le diam-diam kaget juga karena tak disangkanya sama
sekali sejurus serangan dari ilmu pedangnya Pak-kek-kiam-hwat
dapat ditangkis dengan mudahnya oleh Kong Ji, bahkan kalau ia
tidak berlaku hati-hati dan cepat menarik kembali pedangnya, ada
bahaya pedangnya akan terbabat putus oleh Pak kek Sin kiam!
781
”Hwa I Erighiong, apakah kau benar- benar tidak punya malu?
Mengapa kau datang datang menyerangku? Lebih baik kau
menjawab tidak betulkah tuduhanku, semua tadi? Kalau kau dapat
membuktikan bahwa aku tadi hanya memfitnah belaka dan
keteranganku tidak betul, biarlah semua enghiong yang berada di
sini menghukumku sebagai penipu dan pembohong! Akan tetapi
kalau memang betul, mengapa kau tidak tahu malu bahkan
menyerangku? Dimana keadilan mu?” teriak Kong Ji sambil
melintangkan pedangnya.
Merah muka Ciang Le. Memang, kalau ia melanjutkan
penyerangannya, tentu semua orang lalu menganggap dia
keterlaluan. Memang dalam pemilihan bengcu, calon-calon bengcu
boleh saja menyerang lawannya dengan tuduhan- tuduhan yang
berbukti untuk melemahkan kedudukan lawan, hal ini sudah lazim.
Dan betapapun juga kurang ajarnya Kong Ji dalam kata- katanya
tadi, memang berbukti. Memang Soan Li, menurut pengakuan gadis
yang telah hilang ingatannya itu telah menjadi korban Wan Sin
Hong, bahkan belum lama ini, Soan Li telah... melahirkan seorang
putera! Hal itu benar-benar merupakan alb yang memalukan.
Merupakan noda yang mencemarkan nama baiknya. Kalau saja
Soan Li melakukan hal yang tidak patut itu dalam keadaan sadar,
tentu ia akan turun tangan dan mungkin ia akan menewaskan
muridnya itu. Akan tetapi, Soan Li merupakan korban perbuatan
orang jahat, dan melihat keadaan gadis yang hilang ingatannya itu,
Ciang Le, Bi Lan dan yang lain-lain merasa amat kasihan.
Bersama-sama Cam kauw Sin-kai, memang berusaha
menyembuhkan Soan Li, bahkan sedikit demi sedikit mereka
mendapat kesimpulan bahwa di balik segala peristiwa hebat yang
menimpa diri Soan Li tersembunyi rahasia besar yang aneh dan
yang sukar sekali dipecahkan. Misaknya tentang diri Wan Sin Hong.
Soan Li menyatakan dalam keadaan lupa ingatan itu bahwa dia
menjadi korban keganasan Wan Sin Hong, akan tetapi ketika ia
melihat Wan Sin Hong dalam keadaan yang sudah agak baik, dia
menganggap Wan Sin Hong itu seorang ”kekasihnya” bernama Gong
Lam! Sedangkan Wan Sin Hong sendiri bersumpah tidak pernah
mengganggu Soan Li.
782
Bukankah hal itu amat aneh membingungkan? Rahasia besar ini
mereka pegang teguh, akan tetapi siapa kira, di tengah-tengah
orang banyak yang datang dari segala jurusan ini, Kong Ji membuka
begitu saja rahasia itu yang mendatangkan cemar pada nama Hwa I
Enghiong! Selagi Ciang Le dan Bi Lan ragu dan tidak tahu apa yang
harus dilakukan. tiba-tiba terdengar suara orang berseru.
“Liok Kong Ji manusia sombong! Siapa bilang Nona Gak Soan Li
murid Hwa I Enghiong tidak punya suami dan melahirkan anak yang
tak berayah? Akulah suaminya dan akulah ayah anak itu!“
Kaget semua orang dan cepat-cepat mereka menengok ke arah
orang yang bicara itu. Orang ini baru muncul dari tengah-tengah
rombongan para pengikut Liok Kong Ji sendiri, muncul bersama dua
orang lain, yang seorang adalah gadis cantik dan gagah, yang ke
dua adalah seorang pemuda tampan.
“Hui Lian...!“ Bi Lan berseru keras ketika melihat gadis itu.
“Hong Kin...'“ Seru Cam-kauw Sin-kai girang dan terheran-heran
melihat pemuda baju hijau yang mengaku menjadi suami Gak Soan
Li tadi.
“Wan Sin Hong...!“ seruan terakhir ini keluar dari banyak mulut
ketika melihat pemuda ke tiga yang datang bersama Hui Lian di
belakang Coa Hong Kin.
Seruan nama terakhir ini disambut oleh berkelebatnya banyak
orang, yakni pertama-tama Siok Li Hwa dengan empat puluh orang
pengikutnya, Liok Kong Ji, Giok Seng Cu, Tai Wi Siansu, Leng Hoat
Taisu, Bu Kek Siansu, dan banyak sekali tokoh-tokoh partai besar
lain! Akan tetapi yang terdahulu adalah Siok Li Hwa disusul di
belakangnya oleh Liok Kong Ji, lalu tokoh-tokoh besar yang lain.
“Wan Sin Hong manusia jahanam mampuslah teriakan-teriakan
ini terdengar simpang siur dan beberapa buah senjata rahasia
menyambar. Siok Li Hwa mengeluarkan Cheng-sin-ciam (Jarum
Sakti Hijau), Liok Kong Ji menyambitkan Hek lok-ciam (Jarum Racun
Hitam) semua senjata rahasia ini menyambar ke arah Wan Sin Hong
yang berdiri tertegun dan kesima melihat begitu banyak orang
menyerangnya.
783
Kemudian melihat berkelebatnya sinar hijau dari Cheng-sin-ciam
dan sinar hitam dan Hek-tok ciam ditambah susulan lain senjata
rahasia, Wan Sin Hong terkejut sekali, mencabut pedang dan
memutar pedang menangkis.
Senjata-senjata rahasia itu runtuh akan tetap tidak semua.
Beberapa buah Hek tok-ciam dan Cheng-sin-ciam menyambar dan
mengenai tubuh pemuda itu yang mengeluarkan pekik kesakitan,
pedangnya terlepas lalu ia terhuyung-huyung hendak roboh.
Melihat betapa Wan Sin Hong roboh oleh jarum-jarum terbang
itu, Siok Li Hwa mengeluarkan suara ejekan dan Liok Kong Ji
mengeluarkan seruan heran. Keduanya mengejar dengan pedang di
tangan, siap membacok tubuh Wan Sin Hong yang sudah roboh di
atas tanah Itu. Tiba tiba dari rombongan para pengikut Kong Ji yang
ribuan banyaknya itu, dan mana tiga orang muda tadi muncul,
berkelebat bayangan orang yang luar biasa cepatnya.
Sekali tangannya menyambar, di lain saat tubuh Wan Sin Hong
sudah dikempit oleh lengan kanannya. Pada saat itu, Li Hwa dan
Kong Ji menyerang dengan pedang mereka. Li Hwa dengan pedang
hijaunya sedangkan Kong Ji dengan pedang emasnya. Dua barang
pedang pusaka menyambar cepat ke arah Wan Sin Hong yang
sudah dipondong. Orang itu mengeluarkan seruan aneh, tangan
kirinya yang masih bebas itu digerakkan dengan jari-jari tangan
terbuka ke arah dua batang pedang yang menyambar sambil
melompat ke kanan.
Siok Li Hwa dan Liok Kong Ji berteriak kaget dan mereka
terhuyung ke belakang. Ternyata bahwa pedang mereka tadi kena
ditolak oleh hawa pukulan yang luar biasa kuatnya sehingga kalau
saja mereka sendiri tidak memiliki tenaga lweekang tinggi, pasti
pedang itu terlepas dari pegangan. Tidak urung mereka masih
terhuyung-huyung ke belakang, dan ketika mereka memandang,
ternyata orang itu telah lenyap di antara orang banyak sambil
membawa pergi tubuh Wan Sin Hong yang terluka oleh senjatasenjata
rahasia!
Semua orang terheran-heran. Orang yang dapat menangkis
serangan Siok Li Hwa dan Liok Kong Ji sekaligus hanya dengan
tolakan tenaga lweekang, dapat dibayangkan betapa hebat dan
784
tinggi kepandaiannya! Orang itu masih muda, pakaiannya sederhana
saja, akan tetapi mempunyai muka yang aneh sekali, karena
mukanya seluruhnya dan leher sampai ke telinga berwarna merah
yang bukan sewajarnya.
Banyak orang yang bermuka merah akan tetapi orang itu
mukanya seperti dilumuri darah saja saking merahnya. Tak seorang
pun di antara tokoh-tokoh di sini mengenalnya apa lagi orang itu
hanya sebentar saja sehingga tidak sempat ditanya namanya dan
asal-usulnya.
Sementara itu Hui Lian berlari-lari dan memeluk ibunya,
sedangkan Coa Hong Kin berlari dan berlutut di depan suhunya,
Cam-kauw Sin-kai. Dua orang ini tadinya terkejut melihat Sin Hong
roboh oleh senjata rahasia tanpa mereka sempat menolong.
Bagaimana Hui Lian dan Hong Kin dapat muncul di saat itu? Dan
yang lebih aneh lagi. bagaimana Wan Sin Hong dapat pula muncul
bersama mereka? Kita mengetahui bahwa Hui Lian dan Hong in
telah tertawan oleh Liok Kong Ji dan ikut dalam rombongan sebagai
orang-orang tawanan yang tidak berdaya. Ada-pun Wan Sin Hong,
telah lama pemuda ini tertutup dalam dasar jurang puncak Luliangsan
tak dapat keluar lagi karena jalan keluar satu-satunya telah
ditutup mati oleh Liok Kong Ji!
Untuk mengetahui hal ini dengan jelas, mari kita mundur dan
mengikuti pengalaman Wan Sin Hong yang terkurung dan
terpendam di dalam dasar jurang.
-oo0mch-dewi0oo-
Sin Hong mengamuk ketika melihat Ba Mau Hoatsu dan Giok
Seng Cu. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi lweekangnya
yang sudah mencapai tingkat tak terukur lagi tingginya, ia telah
menewaskan Ba Mau Hoatsu, pembunuh ayah-bundanya. Sin Hong
sudah banyak mendapat petuah- petuah berharga dari ayah
angkatnya, Lie Bu Tek, juga. mendapat banyak sekali nasihatnasihat
dari gurunya yang pertama, Liang Gi Tojin. Oleh karena itu,
andaikata ia mendapatkan Ba Mau Hoatsu pembunuh ayah
bundanya itu sebagai seorang yang sudah melakukan perbuatan785
perbuatan baik, sebagai seorang baik-baik yang sudah merubah
hidupnya yang sesat kiranya ia tidak akan membunuhnya.
Akan tetapi melihat betapa Ba Mau Hoatsu makin jahat saja, ia
lalu menewaskan pendeta Tibet itu, bukan semata- mata untuk
membalas dendam ayah bundanya, juga untuk melenyapkan
seorang manusia berbahaya bagi keselamatan umum dari muka
bumi. Juga Giok Seng Cu telah ia robohkan dan terluka ketika dua
orang pendeta ini menyusul Kong Ji dan Nalumei ke dalam
terowongan rahasia.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, dengan marah Sin
Hong mengejar Kong ji, Nalumei, dan Giok Seng Cu yang melarikan
diri melalui terowongan, akan tetapi terpaksa Sin Hong
menghentikan usahanya ini dan kembali ke dalam dasar jurang
karena musuh musuhnya telah menghujani batu-baru dari
terowongan, membuat ia tak mungkin melakukan pengejaran lebih
lanjut. Ta tahu akan kelicikan Kong Ji dan tahu pula akan kelihaian
pemuda iblis itu, maka lebih baik ia mengalah dan mundur untuk
perlahan lahan mencari akal keluar dari tempat itu.
Setelah tidak terdengar suara tiga orang itu lagi, Sin Hong lalu
berjalan melalui terowongan untuk keluar. Akan tetapi, seperti yang
ia telah diduga dan dikhawatirkah, pintu keluar yang dahulu menjadi
kamar Pak Kek Siansu di puncak Luliang-san, telah tertutup dan di
timbuni batu-batu karang yang besar dan berat.
Sin Hong mencoba untuk mendorong batu-batu karang itu, akan
tetapi sia-sia. Kong Ji tidak berlaku kepalang tanggung. Timbunan
batu karang itu banyak sekali sehingga menutup seluruh goa dan
berat tekanan gunung batu kara itu puluhan ribu kati. Mana tenaga
manusia dapat mendorongnya atau membongkarnya? Sin Hong
akhirnva maklum bahwa tak mungkin ia dapat keluar melalu jalan
ini, maka ia lalu kembali ke dasar jurang.
Sampai beberapa hari Wan Sin Hong tidak dapat mencari akal
untuk keluar dari tempat itu. Untuk melalui jalan seperti ketika ia
pernah turun ke dalam jurang, tidak mungkin. Jalan itu dapat
ditempuh dari atas ke bawah dengan bantuan akar-akar yang
dilepas dari atas, akan tetapi dari bawah ke atas benar-benar tak
mungkin. Kalau hal itu dikerjakan berarti hanya akan membuang
786
nyawa secara sia-sia belaka. Akhirnya Sin Hong mengambil
keputusan untuk mengambil jalan yang semenjak dahulu sudah
sering kali ia pikirkan.
Dahulu, ketika ia berada seorang diri di tempat itu, terkurung
hidup-hidup dan mempelajari ilmu silat dari kitab peninggalan Pak
Kek Siansu, seringkali ia sebagai anak-anak ingin sekali keluar dari
tempat kurungan itu, akan tetapi sebelum ia mencapai tingkat tinggi
dengan kepandaian silatnya, keinginan itu hanya diakhiri dengan
tangisan belaka.
Seringkali ia menjelajah tempat itu dan di bagian kiri di mana
terdapat jurang yang amat mengerikan dalamnya, karena
sebetulnya itu bukan jurang, melainkan lereng bukit yang diliputi
oleh awan. Kalau melihat tempat ini, ingin sekali Sin Hong menuruni
lereng itu dan memeriksa keadaan di sebelah sana.
Akan tetapi tempat itu demikian sukar dilewati, selain gelap
tertutup halimun, juga lereng itu menurun amat terjalnya dan
tanahnya terdiri dari batu karang yang tajam runcing, dan selalu
basah oleh halimun sehingga berlumut dan licinnya tak perlu
dtbicarakan lagi. Oleh karena itu, biarpun dahulu ia telah
memperoleh kepandaian tinggi sebelum mengambil keputusan
menuruni jalan ini, ia berusaha lebih dulu mencari jalan lain
sehingga akhirnya menemukan terowongan yang membawanya ke
gua tempat istirahat atau bertapa mendiang Pak Kek Siansu.
Kalau jalan itu tidak terdapat olehnya, tentu ia akan mengambil
jalan menuruni lereng yang terjal ini, yang baginya merupakan jalan
terakhir. Memang, mengambil jalan ini berarti mempertaruhkan
nyawa untuk mendapat jalan keluar dari tempat kurungan itu.
Sekarang karena terowongan sudah tertutup dan untuk naik ke
puncak melalui jurang tak mungkin dilakukan, terpaksa ia harus
mempertaruhkan nyawa, mengmbil jalan itu. Kalau saja di dunia
ramai tidak banyak yang harus dikerjakan, kiranya Sin Hong akan
lebih suka tinggal di tempat itu, bertapa dan menyucikan batin
sampai tiba saatnya ia menyusul gurunya, Pak Kek Siansu. Akan
tetapi hal itu tak dapat dilakukan sekarang.
787
Masih terlalu banyak urusan yang harus diselesaikan di dunia
ramai. Di sana ada urusan pengrusakan namanya, ada urusan Gak
Soan Li yang membuat ia dihajar oleh Go Ciang Le, hal yang
membuat ia merasa kasihan kepada Soan Li dan juga penasaran
dan perih hati dan di sana masih banyak orang-orang jahat -yang
harus ia hadapi.
Demikianlah, setelah membawa banyak buah-buahan yang
dahulu menjadi makanan utamanya setiap hari untuk bekal di
perjalanan, Sin Hong memulai perjalananiya yang amat sukar dan
berbahaya. Beberapa hari yang lalu, pemuda ini mengubur jenazah
Ba Mau Hoatsu. Biarpun kakek jahat ini musuh besarnya dan tewas
di dalam tangannya, akan tetapi setelah melihat mayat itu
menggeletak tak terurus, ia menjadi tidak tega juga dan digalinya
sebuah kuburan untuk mayat bekas musuh besarnya.
Ia mendapatkan kesukaran dalam menggali tanah berbatu tanpa
alat, kemudian ia melihat sepasang senjata Ba Mau Hoatsu, yakni
sepasang roda yang entah sudah mengambil nyawa berapa ratus
orang!
Dengan senjata ini Sin Hong menggali dan mendapat kenyataan
bahwa roda itu terbuat daripada baja yang luar biasa kerasnya.
Maka sekarang, ketika menuruni lereng terjal itu, ia pun membawa
sepasang roda itu untuk dipergunakan sebagai pembantu menuruni
lereng.
Dengan roda ini ia dapat mengalungi setiap batu karang bawah
kakinya dan dengan bantuan roda ia mengayun tubuh ke bawah,
bergantung kepada roda yang dikalungkan pada batu karang
kemudian menggantungkan roda ke dua pada batu karang di bawah
kakinya. Demikianlah dengan amat perlahan dan hati-hati, Sin Hong
mulai perjalanannya yang penuh bahaya.
Sekali saja ia terpeleset dan terlepas — ke bawah, batu karangbatu
karang yang tajam seperti golok dan runcing seperti pedang
akan menyambut tubuhnya! Yang membikin perjalanan amat
berbahaya adalah halimun atau embun gunung yang menyelimuti
sepanjang lereng sehingga tidak saja di situ amat gelap, akan tetapi
yang paling berbahaya adalah hawa dingin yang menggerogoti kulit
dan meresap ke dalam tulang.
788
Makin jauh Sin Hong menuruni lereng itu, makin tebal embun
yang menyelimutinya dan hawa dingin menyerang hebat sehingga ia
sampai menggigil. Terpaksa Sin Hong menunda perjalanannya,
kedua kakinya menginjak ujung batu karang dan kedua tangannya
memegang roda yang tergantung pada batu karang di atasnya. Di
sini ia mengerahkan sin-kangnya sehingga tubuhnya tiba-tiba
menjadi hangat sekali seakan-akan ia bukan sedang berdiri di dalam
selimutan embun, melainkan diselimuti oleh cahaya terik matahari!
Memang lweekang dari pemuda ini sudah hebat sekali. Tak lama
kemudian, dari atas kepalanya menguap asap putih dan tubuhnya
mulai berpeluh.
Setelah mengusir hawa dingin yang membuat tulang-tulangnya
kaku, ia lalu melanjutkan perjalanannya. Perjalanan ini
membutuhkan tenaga lweekang untuk menjaga agar ia jangan
sampai jatuh, maka tadi ketika mengerahkan tenaga memanaskan
tubuh, terpaksa ia berhenti.
Akhirnya, setelah mengalami serangan embun berkali-kali dan ia
sudah berhenti sampai lima kali untuk mengusir dingin, kemudian ia
telah keluar dari daerah embun dan berada di tempat yang terang.
Pemandangan dari situ amat indah, juga menakutkan sekali. Kalau
tadi ia melihat ke bawah, ia hanya melihat halimun yang gelap putih
demikian pula melihat ke atas. Akan tetapi sekarang kalau ia
menundukkan kepalanya, ia melihat alam yang amat luas di bawah
kakinya. Lereng gunung itu masih amat curam, akan tetapi jauh di
bawah sudah melihat tanah datar, kurang lebih seratus kaki di
bawahnya. Di depannya nampak pohon-pohon yang kelihatan dan
situ amat pendek dan kecil, akan tetapi indah sekali.
Kalau ia memandang ke atas, nampak warna-warni indah dari
pelangi karena sinar matahari mencoba menembus embun dan
mendatangkan warna yang inilah menakjubkan.
Sin Hong kini terus menurun dengan lebih cepat dari tadi.
Sekarang ia tidak menghadapi serangan embun, juga dapat melihat
dengan jelas sehingga kedua kakinya mudah saja mencari tempat
berpijak, tidak seperti tadi meraba-raba untuk mendapat keyakinan
bahwa batu karang berikutnya yang hendak digantungi roda benarbenar
cukup kuat.
789
Tanpa terasa olehnya, Sin Hong telah melakukan perjalanan yang
amat berbahaya ini selama setengah hari! Akhirnya ia dapat
menginjakkan kedua kakinya di atas tanah datar dan ketika ia
mendongak ke atas, terlihatlah olehnya bahwa yang dituruninya tadi
adalah dinding gunung yang tinggi menjulang ke atas dan
puncaknya lenyap ke dalam awan.
Akan tetap, daerah yang didatangi ini aneh dan asing baginya. Di
depannya terdapat gunung-gunung kecil di ujung sekali menjulang
tinggi sebuah gunung yang seakan- akan hendak menyaingi Luliangsan
yang besar. Sin Hong tidak tahu bahwa itulah puncak gunung
Teng-san, yang masih termasuk daerah pegunungan Luliang-san
juga. Karena hendak segera menjumpai manusia agar ia tahu di
mana ia berada dan dapat menanyakan jalan yang harus ditujunya.
Sin Hong tidak membuang waktu lagi dan cepat melanjutkan
perjalanan.
Akan tetapi semua jurusan nampak liar dan tak pernah didatangi
manusia. Jalan satu-satunya yang kelihatan hidup hanyalah lorong
menuju ke puncak gunung di ujung itu. Maka ia terus berlari cepat
dan akhirnya menjelang senja tibalah ia di lereng Teng-san.
Ketika ia sedang berlari cepat mencari-cari dengan pandang
matanya kalau-kalau di dekat situ terdapat perkampungan, tiba-tiba
ia melihat tubuh dua orang manusia menggeletak dt pinggir jalan!
Sin Hong cepat lari menghampiri dan ketika ia memandang,
ternyata bahwa yang menggeletak itu adalah dua orang pendeta
yang sudah tak bernyawa lagi! Dua orang tosu itu terang telah
terbunuh orang karena pada tubuh mereka terdapat bekas-bekas
bacokan senjata tajam. Juga, melihat tanda-tanda darah di situ,
ternyata bahwa pembunuhan ini terjadinya belum lama, belum
lewat semalam. Melihat ini, Sin Hong mengerutkan alisnya.
Bagaimana di tempat sesunyi ini terdapat manusia yang dibunuh?
Siapakah mereka ini dan siapa pula pembunuhnya?
Melihat dua orang tosu yang terbunuh, Sin Hong tidak ragu-ragu
lagi bahwa di puncak gunung itu tentu terdapat pertapaan. Maka ia
lalu mendaki gunung dengan cepatnya.
Tepat seperti yang ia duga, di puncak gunung terdapat sebuah
kuil yang cukup besar, sebuah kuil kuno yang biarpun tembok790
temboknya sudah kelihatan tua dan buruk, namun masih tetap
kokoh kuat saking tebalnya, tanda bahwa bangunan kuil itu adalah
bangunan kuno yang lebih mementingkan kekuatan dari pada
keindahan.
Seorang totong (kacung pertapa) menyambutnya dan
membawanya ke dalam ruangan tamu. Ruangan tamu ini lebar dan
di situ terdapat jendelanya yang besar. Sambil menanti datangnva
ketua kuil, Sin Hong melihat-lihat keluar jendela yang terbuka.
Pemandangan di luar jendela amat indah, dengan gunung-gunung
tinggi dihias pohon-pohon
rindang.
Ta mendengar tindakan
kaki perlahan, cepat ia
memutar tubuh dan
memandang. Alangkah heran
dan kagetnya ketika melihat
seorang tosu ini bersama
dengan ketua-ketua partai
besar yang lain hendak
menangkapnya. Tosu tua itu
bukan lain adalah Pang Soan
To-jin, ketua dari Teng-sanpai!
Di lain pihak, Pang Soan
To-jin juga terkejut karena
tosu ini juga mengenal Wan
Sin Hong. “Hemm, kau...?“
katanya dan di lain saat ketua Teng-san-pai sudah mengeluarkan
senjatanya, yakni pian baja dan bersiap menyerang. Sin Hong
menarik napas panjang dan tersenyum pahit, lalu berkata sambil
memandang ke atas, ke arah langit-langit ruangan itu.
“Ayaa... agaknya yang jutsi (menjelma) menjadi aku sekarang ini,
dahulunya adalah seorang penjahat besar yang tak pernah
tertangkap, maka sekaranglah aku harus menebus dosa-dosa
dahulu.“
Tosu itu nampak tercengang. “Apa maksudmu?“
791
“Totiang, sesungguhnya selama hidup aku belum pernah
bertemu dengan To-tiang juga dengan para locianpwe lain yang
selalu mengejar-ngejarku, belum pernah aku bertemu. Akan tetapi
mengapa setiap kali bertemu, Totiang mengarnbil sikap bermusuh?“
“Karena kau seorang penjahat keji! Sudah menjadi kewajiban
kami sebagai penegak keadilan dan pelindung rakyat tertindas, kami
harus membasmi orang- orang jahat seperti kau ini.“ kata pula Pang
Soan Tojin.
“Itulah yang kumaksudkan. Agaknya dahulu aku seorang
penjahat besar yang belum menebus dosa, maka sekaranglah
hukumannya. Sekarang ini, sebaliknya dari dahulu, aku yang tidak
pernah melakukan kejahatan apa- apa di sana-sini dianggap orang
jahat dan dimusuhi oleh orang-orang di dunia kang-ouw. Memang
sudah nasibku..”. Suara Sin Hong terdengar begitu sungguhsungguh
sehingga ketua Teng-san-pai menjadi makin tertarik.
“Orang muda, memang sikapmu bukan seperti penjahat, akan
tetapi banyak orang-orang jahat sikapnya kelihatan seperti orang
baik-baik. Tentang kejahatanmu, siapakah yang tidak tahu? Sudah
terlalu banyak saksi dan bukti-buktinya.“
“Masa bodoh dan terserah kepada orang sajalah,“ Sin Hong
menjadi mendongkol sekali. “Akan tetapi setidaknya, kedatanganku
ini bukan untuk bersoal jawab tentang itu. Totiang menganggap aku
seorang penjahat keji, terserah hanya Thian yang mengetahui!“
“Wan Sin Hong, kata-katamu membikin pinto bingung dan raguragu.
Apa sih maksudmu datang di tempat pertapaan pinto ini?“
“Kedatanganku di bukit ini tidak sengaja, Totiang. Juga secara
kebetulan sekali aku di lereng gunung ini dan melihat dua orang
tosu yang sudah menjadi mayat di lereng....“
“Apa... Di mana...?“ Pang Soan Tojin terkejut sekali.
“Mari ikut bersamaku. Totiang, kuperlihatkan tempatnva,“ kata
Sin Hong dan di lain saat dua orang itu telah berlari-lari turun
gunung dengan cepatnya.
Pang Soan Tojin sengaja mengerahkan ilmu lari cepatnya, akan
tetap alangkah heran dan kagumnya ketika melihat pemuda itu
792
tanpa banyak kesukaran dapat selalu mengimbangi kecepatan
larinya! Akhirnya mereka tiba di tempat di mana Sin Hong melihat
dua mayat tosu tadi.
“Ah, benar-benar mereka telah terbunuh...“ Pang Soan Tojin
berkata perlahan lalu cepat memeriksa isi saku baju mereka.
Wajahnya berubah dan ia berkata seperti kepada diri-sendiri “Surat
kuasa diambil orang... apa maksudnya...?“
“Totiang, bolehkah aku mengetahui, surat-surat apakah yang
diambil orang?“
Pang Soan Tojin yang tadinya memeriksa mayat dua orang anak
muridnya yang terbunuh di lereng Teng-san, kini berdiri dan
memandang kepada Sin Hong, bimbang dan ragu mendengar
pertanyaan pemuda itu.
“Apa huhungannya hal ini semua dengan engkau? Biarpun pinto
belum pernah menyaksikan sendiri tentang kejahatanmu, akan
tetapi semua ciangbunjin sudah menyatakan bahwa kau seorang
penjahat keji. Sekarang kau datang-datang pada saat terjadi
pembunuhan atas dua orang murid pinto, hemm... pinto harus
selidiki betul-betul siapa pembunuh mereka ini dan mengapa dua
orang muridku dibunuh.“
Sin Hong mengangkat kedua lengannya ke atas dan
menggerakkan pundaknya tanda putus asa.
“Ampun, Totiang...! Apakah kau juga menuduh aku melakukan
pembunuhan terhadap mereka ini? Aduh, alangkah buruk nasibku.
Aku yang mendapatkan mereka dan sengaja naik untuk melaporkan,
bahkan dituduh. Eh, Totiang yang baik, kalau memang aku yang
membunuh mereka dan telah merampas barang-barat mereka,
untuk apa aku harus memberi tahu kepadamu dan masih bertanyatanya
lagi barang apa yang dirampas dari tubuh mereka? Hanya
seorang gila yang akan berbuat seperti itu dan kiranya Totiang tidak
akan menyangka aku pula. Betapapun jahat aku, kiranya belum
miring otakku'“
Pang Soan Tojin menganggap alasan ini memang kuat. Kalau
pemuda ini yang membunuh dua orang anak muridnya, mengapa
pemuda ini bersikap seperti itu. Dan pula, makin lama ia bercakap793
cakap dengan pemuda ini dan memandang wajahnya, makin tipis
keyakinannya bahwa pemuda ini seorang penjahat. Sebagai seorang
tokoh besar di dunia kang-ouw, ia sudah ribuan kali melihat wajah
penjahat dan selama hidupnya belum pernah ia bertemu dengan
“penjahat keji“ yang bersikap dan berbicara seperti pemuda ini!
Akan tetapi untuk percaya begitu saja, ia pun masih ragu-ragu.
“Orang muda, kalau betul-betul bukan kau yang membunuh
mereka, apa maksudmu bertanya tentang surat yang dirampas
orang dari tubuh mereka ini?“
“Totiang maklum bahwa di mana-mana aku dituduh penjahat,
dan aku sedang berdaya upaya nienangkap pemalsu namaku. Kalau
Totiang memberi tahu kepadaku, kiranya aku akan dapat mencari
jejak pembunuhnya. Percayalah, Totiang. Wan Sin Hong akan
mencekik batang leher penjahat yang membunuh dua orang tosu
ini.“
“Surat itu adalah surat kuasa. Sebetulnya pinto sendiri harus
datang ke Ngo-heng san untuk melakukan pemilihan bengcu baru,
akan tetapi pinto sedang kurang sehat dan karenanya pinto
menyuruh dua orang anak murid pinto ini dengan membawa surat
kuasa. Sekarang mereka terbunuh dan surat kuasa dirampas orang,
sungguh tak tahu apa artinya itu?“
Otak Sin Hong memang luar biasa cerdasnya. Mendengar ini,
sebentar saja ia sudah dapat menerka apa yang kiranya mungkin
dilakukan orang dengan perampasan surat kuasa.
“Terima kasih, Totiang, aku akan menyusul ke Ngo-heng san
dan menangkap pembunuhnya!“ Setelah berkata demikian sekali
berkelebat pemuda itu lenyap dari depan Pang Soan Tojin,
membuat Ketua Teng-san-pai itu menjadi bengong, menghela napas
dan mengurut urut Jenggotnya yang pendek.
“Hayaaa... luar biasa sekali pemuda itu. Kalau dia memang jahat
dan bermaksud membunuhku, bagaimana dapat melayaninya?
Ilmunya benar-benar tinggi... sungguh banyak terjadi hal-hal aneh
di dunia ini, banyak rahasia yang membingungkan...“ Tosu itu lalu
kembali ke kuil dan menyuruh anak-anak murid yang lain untuk
mengurus jenazah kedua orang anak muridnya yang tewas itu.
794
Adapun Sin Hong dengan kecepatan luar biasa lalu berlari
menuju Ngo-heng-san. Ia teringat akan pemilihan bengcu di puncak
Ngo-heng-san. Teringat pula betapa Cam-kauw Sin-kai pernah
menyatakan hendak memilihnya sebagai calon bengcu. Teringat
akan ini, terbayang pula segala kejadian di Pulau Kim-ke-tho,
tentang Gak Soan Li yang bernasib malang sekali, tentang Hwa I
Enghiong yang telah menghajarnya, tentang ayah angkatnya, Lie Bu
Tek dan Hui Lian puteri Hwa I Enghiong yang juga membencinya
dan menganggapnya penjahat. Semua kenangan ini membuat Sin
Hong menjadi berduka sekali akan tetapi membuat makin marah
dan gemas terhadap penjahat yang merusak namanya. Ia
memperepat larinya sehingga seolah- olah terbang di atas ujung
rumput hijau.
Demikianlah secara singkat kita telah mengikuti pengalaman Sin
Hong sejak terkurung di jurang sampai ia dapat mencari jalan keluar
kemudian pergi ke Ngo-heng-san. Sekarang marilah kita menengok
pengalaman Hui Lian dan Coa Hong Kin yang muncul bersama Sin
Hong di Puncak Ngo-heng-san itu.
Telah kita ketahui bahwa dalam perjalanan mereka bersama dari
kota raja menuju ke Ngo-heng-san untuk memenuhi permintaan
Pangeran Wanyen Ci Lun, Hui Lian dan Hong Kin dihadang oleh Liok
Kong Ji dan kawan- kawannya bahkan kemudian setelah bertempur
seru lalu roboh dan tertawan oleh Kong Ji yang lihai.
Baiknya Kong Ji masih membutuhkan dua orang muda ini, kalau
tidak tentu nasib mereka tidak akan demikian baik. Kong Ji
membutuhkan Hui Lian untuk dipergunakan sebagai pemaksa Ciang
Le apabila ternyata menghalangi kehendaknya menjadi Bengcu dan
di samping memang ia sayang kepada bekas sumoinya yang cantik
ini. Dan dia membutuhkan Hong Kin karena ia bercita-cita untuk
masuk ke dalam lingkungan istana mencari kedudukan, maka tidak
baiklah kalau ia menanam permusuhan denga Pangeran Wanyen Ci
Lun yang amat berpengaruh di dalam kota raja, sedangkan Hong
Kin adalah orang kepercayaan dan kesayangan Pangeran Wanyen Ci
Lun. Oleh karena ini maka Hui Lian dan Hong Kin selamat dan
diperlakukan baik sungguhpun mereka selalu dikurung di tengahtengah
dan kedua tangan mereka dibelenggu.
795
Ketika pasukan yang membawa mereka sudah tiba di puncak
Ngo-heng san, Hui Lian dan Hong Kin diturunkan dari kuda dan
selanjutnya dua orang muda ini dipaksa berjalan kaki di tengahtengah
pasukan yang juga berjalan kaki. Pasukan ini adalah
pasukan dari Partai Kwan-cin-pai, yang terdiri dari anggautaangauta
yang pakaiannya campur aduk tidak seragam. Memang
Kwan-cin-pai berbeda dengan partai partai lain dan tidak pernah
mengenakan pakaian seragam.
Agaknya ini memang sifat sembarangan dan jorok dari ketuanya,
yakin Mo-kiam Siangkoan Bu sehingga pasukannya juga tidak
teratur. Akan tetapi, sungguhpun demikian pasukan ini terdiri dari
orang-orang yang pandai ilmu silat dan pula amat setia kepada
ketua dan perkumpulan. Justru karena pakaian para anggauta
pasukan ini tidak seragam, maka Kong Ji menyuruh pasukan ini
yang menjaga Hui Lian dan Hong Kin sehingga dari luar barisan
tidak akan kentara bahwa di tengah-tengah barisan terdapat dua
orang tawanan. Dilihat sepintas lalu saja, tentu orang akan mengira
bahwa dua orang itu pun termasuk anggauta pasukan.
Mereka berdua diperlakukan baik dan tidak diganggu, bahkan
tidak dipisahkan melainkan diperbolehkun berjalan berdampingan di
dalam barisan. Dengan kedua tangan dibelenggu ke belakang. Hui
Lian berjalan di dekat Hong Kin.
“Apa maksud anjing Liok itu membawa kita naik ke Ngo- hengsan?“
tanya Hui Lian perlahan.
Hong Kin juga tidak mengerti. “Kalau dia masih takut
mengganggumu, masih tidak aneh. Akan tetapi mengapa aku masih
dibiarkan hidup? Ini benar benar aneh.“
“Kita harus berusaha membebaskan diri. Liok Kong Ji itu jahat
dan berbahaya sekali. Dia membawa kita pasti ada maksudnya yang
keji.“ Diam-diam ia mengerahkan tenaga untuk melepaskan
belenggunya, akan tetapi sia-sia belaka. Pengikat pergelangan
tangannya terbuat daripada sutera ulat hijau yang amat kuat dan
ulet. Juga Hong Kin beberapakali mengerahkan tenaga, namun siasia.
Mereka menjadi penasaran sekali dan diam-diam mencari jalan.
796
“Bagiku sendiri, aku tidak khawatir biarpun menghadapi bahaya
maut, Nona. Akan tetapi kau... ah, hatiku perih kalau mengingat
akan nasibmu.“
Wajah Hui Lian menjadi merah dan ia mengerling ke arah
pemuda itu dengan lirikan tajam. “Mengapa kau mengucapkan katakata
seperti itu, Saudara Coa? Kita adalah kawan seperjalanan,
kawan yang memikul tugas yang sama. Sudah seharusnya senasib
sependeritaan. Kalau aku dapat bebas, kau tentu akan bebas pula.
Demikian sebaliknya, kita akan menghadapi bahaya maut bersama.“
“Tidak, Go-lihiap. Malapetaka boleh menimpa padaku, seorang
yang malang dan tak seorang pun akan kehilangan kalau aku
terkena malapetaka. Akan tetapi kau... ah, aku akan
mempergunakan kesempatan dan kemungkinan untuk
membantumu terbebas daripada tangan iblis Liok Kong Ji itu.“
Hui Lian merasa terharu dan memberikan hadiah senyuman
manis. “Saudara Coa kau benar-benar seorang yang berhati mulia.
Berkali kali telah mengeluarkan tenaga dan berkorban untuk
menolongku. Kebaikanmu sudah cukup banyak dan aku orang she
Go amat berterima kali kepadamu. Akan tetapi jangan kaukira aku
hendak selamat sendiri saja, hendak enak sendiri saja. Percayalah,
sekali aku dapat bebas, kau tentu akan bebas pula. Aku bukan
seorang pengecut yang suka meninggalkan kawan senasib begitu
saja. Kita berangkat bersama dan memikul tugas bersama, tak
mungkin aku dapat meninggalkan engkau hanya untuk mencari
keselamatan sendiri.”
Mendengar ucapan ini, wajah Coa Hong Kin menjadi berseri dan
agaknya kata-kata itu amat menyenangkan hatinya. Kebaikan hati
gadis ini terhadapnya sedikit menjadi hiburan bahwa ia mencinta
seorang gadis yang patut dicinta dan setidaknya, cinta kasihnya
sudah terbalas oleh sikap manis dari gadis itu.
Kemudian rombongan itu tiba di lapangan di mana para tokoh
kang-ouw sudah berkumpul. Dari tempatnya, Hui Lian dapat melihat
tokoh-tokoh besar yang dikenalnya baik-baik, bahkan ia melihat pula
ayah bundanya. Bukan main girang hatinya, akan tetapi tiba-tiba ia
merasa angin menyambar lehernya dari belakang. Sebelum gadis im
sempat mengelak, ia merasa leher belakangnya sakit dan ternyata
797
jalan darah Tiong-cu-hiat dan selanjutnya jalan darah bagian urat
gagu telah kena ditotok.
Ternyata bahwa yang menotoknya adalah Giok Seng Cu. Tosu
yang cerdik ini tahu bahwa kalau melihat ayahbundanya mungkin
sekali gadis ini berteriak, maka untuk menjaga agar jangan sampai
terjadi hal ini, ia telah menotok jalan darah yang membuat gadis itu
lemas dan gagu. Juga Hong Kin mengalami nasib yang sama, maka
biarpun dua orang muda ini dapat mendengar dan melihat segala
sesuatu yang terjadi di lapangan itu, mereka sama sekali tidak
berdaya!
Keributan di antara para tokoh besar yang makin memuncak
apalagi ketika Liok Kong Ji maju menyerang kanan kiri dengan katakatanya
yang tajam, menimbulkan ketegangan besar sehingga para
anggauta pasukan tak seorang pun tidak menonton. Oleh karena ini
perhatian kepada Hui Lian dan Hong Kin berkurang bahkan dua
orang ini tidak diperhatikan lagi. Apa gunanya? Dua orang muda itu
sudah terbelenggu dan tertotok, tak mungkin dapat melarikan diri
dari tempat itu dan tak mungkin dapat menimbulkan kesulitan bagi
mereka.
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid XXIX
AKAN tetapi tiba-tiba seorang di antara para anggauta Kwan-cinpai
itu, seorang pemuda yang pakaiannya sederhana, diam-diam
mendekati Hui Lian dan Hong Kin. Ketika dua orang muda itu
memandang, mereka merasa terkejut, heran, dan juga girang.
Pemuda itu segera diam- diam lalu menggunakan sebatang pisau
pendek yang amat tajam untuk membabat putus tali pengikat
pergelangan, tangan mereka dan dalam sekejap mata bebaslah Hui
Lian dan Hong Kin.
Dua orang muda yang berkepandaian tinggi ini lalu mengerahkan
lweekang dan dengan jari tangan sendiri dapat membebskan
totokan. Pada saat itu, Kong Ji tengah melancarkan seranganserangan
yang amat menghina kepada Ciang Le dan menghina
nama baik Gak Soan Li semau-maunya.
798
Mendengar dan melihat ini Hui Lian berbisik. “Celaka, nama Ayah
akan tercemar....“
“Biar aku menolongnya....“ kata Hong Kin cepat-cepat. Mereka
bertiga lalu menggunakan kesempatan selagi semua orang
menonton perang kata-kata yang menegangkan menerobos keluar
dari barisan dan Hong Kin lalu mengeluarkan kata-kata pengakuan
bahwa dialah suami Soan Li!
Seperti telah diceritakan di bagian depan, munculnya Hui Lian,
Hong Kin dan pemuda yang menolong mereka yang kemudian
ternyata Wan Sin Hong menimbulkan kegemparan. Seperti telah kita
ketahui semua, Wan Sin Hong terkena serangan jarum-jarum
rahasia dari Siok Li Hwa dan Liok Kong Ji sehingga roboh akan
tetapi muncul manusia aneh bermuka merah darah yang
menyambar tubuh wan Sin Hong dan lenyap dari situ!
-oo0mch-dewi0oo-
Setelah berhasil melukai Wan Sin Hong dengan jarum- jarumnya,
Kong Ji dan Siok Li Hwa merasa heran dan penasaran sekali. Orang
aneh muka merah tadi telah menolak serangan pedang mereka
hanya dengan hawa pukulan dan kini orang aneh itu telah
membawa lari tubuh Wan Sin Hong. Kong Ji yang melihat jarum
beracun Hek-tok- ciam telah mengenai tepat tubuh Wan Sin Hong
dan merobohkan pemuda yang paling ditakutinya itu, menjadi lega.
Dia tadinya kaget setengah mati melihat munculnya Wan Sin
Hong. Bagaimana pemuda itu dapat muncul? Demikian ia bertanyatanya
dengan hati ngeri karena ia maklum bahwa kepandaian Wan
Sin Hong amat tinggi. Maka melihat betapa semua orang memusuhi
Sin Hong bahkan betapa Sin Hong telah roboh oleh jarum-jarumnya
dan jarum-jarum yang dilepas oleh Siok Li Hwa, ia menjadi lega dan
tidak mau mengejar. Apalagi karena ia menyaksikan betapa orang
aneh bermuka merah yang ia belum tahu siapa adanya itu benarbenar
tangguh dan lihai, maka ia menyerahkan pengejaran kepada
Siok Li Hwa.
Memang Ketua Hui-eng-pai ini merasa penasaran sekali melihat
Wan Si Hong musuh besarnya dilarikan orang aneh bermuka merah.
799
Kalau belum membunuh Wan Sin Hong dan membawa kepalanya,
hati Siok Li Hwa belum puas. Nama baik Hui-eng-pai telah
dicemarkan hal ini baru satu kali terjadi selama ia hidup, maka Wan
Sin Hong harus dibunuhnya!
Sambil membentak keras Siok Li Hwa mengejar orang aneh
bermuka merah yang lenyap ke jurusan barat puncak. Para anak
buahnya cepat-cepat mengejar sehingga mereka itu kelihatan
seperti sekelompok garuda putih beterbangan turun gunung!
Sementara itu Hui Lian yang memeluk ibunya, secara singkat lalu
menceritakan semua pengalamannya yang terakhir. Karena tidak
ada kesempatan dan waktu, Hui Lian hanya menceritakan yang
paling penting saja, terutama yang berhubungan dengan keadaan di
situ.
“Ibu dan Ayah, Saudara Coa Hong Kin tadi sengaja mengaku
sebagai suami Suci, untuk membersihkan muka kita....“
Ciang Le menjadi girang sekali dan memandang ke arah Hong
Kin yang bercakap-cakap perlahan dengan gurunya, memandang
dengan penuh terima kasih. Sementara itu atas perintah Cam-kauw
sin-kai, Hong Kin lalu memberi hormat kepada Ciang Le dan Bi Lan,
juga kepala Lie Bu Tek. Adapun Cam-kauw Sin-kai sendiri dengan
suara lantang tertawa dan berkata.
“Cuwi Enghiong yang hadir di sini semua menjadi saksi betapa
besar kebohongan manusia she Liok! Dia tadi membuka mulut
kotornya memburuk-burukkan dan menghina nama baik Hwa I
Enghiong dan muridnya. Sekarang ternyata kata-katanya itu bohong
belaka. Nona Gak Soan Li ada suaminya!“
Tai Wi Siansu cepat mencegah dilanjutkannya percekcokan
karena sebagai pemimpin permilihan bengcu. ia berkewajiban untuk
segera menyelesaikan tugasnya yang banyak terhalang oleh
percekcokkan tadi.
“Saudara sekalian harap suka bersabar dan harap menghentikan
segala caci maki satu kepada yang lain. Sekarang kita lanjutkan
tentang pemillhan bengcu, diambil dan tujuh orang calon-calon tadi.
Seperti sudah lajim dalam pemilihan bengcu, harap para calon
sekarang membuktikan bahwa dia memang patut menjadi bengcu
800
karena kepandaian silatnya. Dan oleh karena itu pinto sendiri di luar
kehendak pinto telah dipilih menjadi calon bengcu, maka terpaksa
pimpinan pinto serahkan kepada wakil pinto, yakni Bu Kek Siansu
ciangbunjin dari Butong pai! Dan untuk mempersingkat waktu, pinto
sendiri mempelopori para calon bengcu, dan pinto bersiap sedia
mencoba kepandaian seorang di antara para calon.“ Setelah berkata
demikian, Tai Wi Siansu yang sudah tua itu lalu melompat ke tengah
lapangan dan menanti datangnya seorang di antara calon bengcu
yang hendak memperlihatkan kepandaian. Sebetulnya, Ketua Kunlun-
pai yang sudah lanjut usianya ini tentu saja tidak mempunyai
nafsu untuk menjadi bengcu.
Akan tetapi, untuk memperkuat pihak yang disukainya, dan pula
melihat bahwa di antara para calon terdapat orang- orang seperti
Liok Kong Ji dan See-thian Tok-ong, ia tentu saja tidak rela kalau
sampai kedudukan bengcu dipegang oleh seorang di antara mereka
ini dan daripada kedudukan bengcu dipegang oleh See-thian Tokong,
lebih baik dia pegang sendiri! Ta tahu pula bahwa dalam
pemilihan bengcu, pasti akan terjadi adu tenaga, dengan masuknya
menjadi calon bengcu, berarti ia memperkuat tenaga pihak yang
disukainya.
Kalau saja ia melihat bahwa para calon itu semua memenuhi
syarat dan mencocoki hatinya, tidak nanti ia mau dipilih sebagai
calon! Melihat majunya Tai Wi Siansu, tentu saja para calon seperti
Cam-kauw Sin-kai dan Hwa I Enghiong Go Ciang Le tidak mau maju
untuk melayani kakek itu mengukur kepandaian.
Bagi Cam-kauw Sin-kai dan Go Ciang Le, kalau kedudukan
bengcu itu diserahkan kepada Tai Wi Siansu, mereka tidak akan
membantah seperti halnya Tai Wi Siansu sendiri tentu tidak akan
membantah kalau yang dipilih sebagai bengcu itu Cam-kauw Sin-kai
atau Go Ciang Le. Dua orang calon yang tadi disebut Siok Li Hwa
dan Wan Sin Hong tidak berada di situ dan kini tmggal dua orang
calon yang lain, yakni Liok Kong Ji dan See Thian Tok-ong.
See-Thian Tok-ong hendak melompat maju menghadapi Ketua
Kun-lun-pai akan tetapi Kong Ji sambil tertawa mencegahnya.
“See-thian Tok-ong, mengapa terburu-buru? Tidakkah kau dapat
melihat bahwa mereka itu semua bersekongkol? Lihat, aku berani
801
bertaruh bahwa Hwa I Enghiong dan Cam- kauw Sin-kai tidak nanti
mau maju menghadapi Tai Wi Siansu. Kau lihat sajalah dan jangan
terburu-buru maju.“
See-thian Tok-ong memang orang yang kurang pedulian, maka ia
tadi tidak mempedulikan keadaan, sehingga ia tidak memikirkan
sejauh itu. Sekarang mendengar kata-kata Kong Ji, ia menunda
niatnya dan benar-benar ia menanti.
Memang apa yang dikatakan oleh Kong Ji ini benar belaka.
Betapapun juga, tak nanti Ciang Le dan Cam-kauw Sin-kai mau
maju menghadapi Tat Wi Siansu untuk bertanding ilmu.
Melihat ini See-thian Tok-ong sudah hilang sabar dan hendak
maju pula. Akan tetapi Kong Ji sudah mendahuluinya, menyuruh
seorang pembantunya untuk maju. Orang ini adalah seorang kakek
tua yang bongkok kurus, kepalanya besar, rambutnya jarang dan
putih sedang kulit mukanya kerut-merut jelek sekali. Ia memegang
sebatang tongkat bambu dan dari belakang pundaknya tersembul
gagang pedang yang ujungnya berukirkan kepala setan yang
menakutkan dan ronce-roncenya berwarna hitam. Dengan langkah
sembarangan orang ini telah menghadapi Tai Wi Siansu,
menyeringai sambil berkata dengan suaranya yang parau seperti
suara burung gagak.
“Tai Wi Siansu, sudah lama sekali aku mendengar akan nama
besar Ketua Kun-lun-pai yang katanya memiliki ilmu pedang yang
tinggi sekali. Kebetulan hari ini aku mendapat kehormatan bertemu
muka dan siapa kira kau yang sudah begini tua masih menginginkan
kedudukan bengcu. Akan tetapi malah kebetulan, karena dengan
demikian aku mendapat kesempatan untuk merasai kehebatan ilmu
pedangmu. Bukankah setiap orang yang hadir berhak menguji
kepandalan calon bengcu?“ Setelah berkata demikian, ia tertawa
terbahak-bahak.
Mehhat kakek ini, Tat Wi Siansu dapat menduga bahwa dia tentu
seorang yang pandai, akan tetapi karena belum mengenalnya, Tat
Wi Siansu lalu memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan
dan bertanya.
802
“Sahabat siapakah? Dari golongan mana dan siapa nama
sahabat yang terhormat?“ Sebagai seorang ciangbunjin (ketua)
partai besar. Tai Wi Siansu tentu saja tidak mau mengadu
kepandaian dengan seorang lawan yang tidak ternama. tentu Tai Wi
Siansu akan mundur dun menyuruh murid saja untuk melawannya.
Kakek yang buruk rupa itu mengeluarkan suara menyindir.
“Hemm, tentu saja Ketua Kun-lun-pal yang bernama besar tidak
mengenal kepada seorang rendah seperti aku. Aku adalah Ketua
Kwan-cin-pai dan tinggal di An-hwei.“
Tat Wi Siansu terkejut. “Aha, kiranya pinto berhadapan dengan
Mo-kiam Siang koan Bu, jago nomor satu dan Propinsi An-hwei! Kau
mau bermain-main dengan pinto? Marilah!“
Kakek buruk rupa itu memang Mokiam siangkoan Bu Ketua
Kwan-cin-pai yang sudah menjadi pengikut Kong Ji. Pemuda ini
belum tahu sampai di mana tingkat kepandaian Tai Wi Siansu, maka
ia tidak mau maju sendiri. Sebagai seorang calon bengcu atau
bahkan seorang bengcu dari timur dan selatan, ia harus memegang
harga diri.
Maka ia memberi tanda kepada Mokiam Siangkoan Bu untuk
mencoba kepandaian kakek Kun-lun-pai itu sebelum ia sendiri turun
tangan. Memang Kong Ji adalah seorang sang amat licik dan ia telah
mengatur siasat rendah. Kawan-kawannya yang memiliki
kepandaian tinggi cukup banyak, di antaranya adalah Siangkoan Bu
sendiri, lalu ada di situ
Siang-pian Giam-ong Ma Ek Ketua Bu cin-pai, Sin houw Lo Bong
Ketua Shan si-kai-pang, Twa-to Kwa Seng Ketu Twa-to Bu pai, ada
pula Giok Seng Cu tangan kanannya, dan masih ada beberapa orang
gagah dan Siauw-lim-pai. Go bi-pai, Heng-san-pai dan Hoa-san-pai.
Ta hendak menggunakan tenaga orang-orang ini untuk menghadapi
para calon bengcu yang lain.
Kalau sampai mereka semua ini kalah dan ia sendiri kiranya
takkan dapat kemenangan, masih ada jalan lain, yakni melakukan
pengeroyokan! Untuk keperluan ini di belakangnya sudah ada seribu
lebih orang dari partai pendukungnya yang pada saat itu sudah
803
berkumpul di sekitar puncak Ngo-heng-san! Bahkan masih
mengharapkan munculnya Nalumei bersama pasukannya.
Mo-kiam Siangkoan Bu yang melihat bahwa Tai Wi Siansu sudah
bersikap sedia dengan sebatang pedang tipis ditangan, lalu
mengeluarkan suara meringkik seperti kuda dan cepat melakukan
serangan pertama dengan tongkat bambunya. Tongkat ini
ditusukkan ke arah mata Tai Wi Siansu dengan gerakan cepat.
Ketua Kun-lun-pai diam-diam marah dan mendongkol. Kalau ia
diserang dengan pedang, itu adalah hal yang wajar. Akan tetapi
diserang dengan sebatang bambu, inilah penghinaan namanya!
Pedang tipis di tangannya bergerak sedikit dan bambu di tangan
Siangkoan Bu putus ujungya begitu bertemu dengan pedang, sedikit
pun tidak mengeluarkan suara.
Akan tetapi, ternyata kemudian bahwa memang inilah semacam
gerak tipu dari Siangkoan Bu karena begitu bambu terbabat, bambu
ini terus saja langsung melakukan serangan menusuk ulu hati! Tadi
memang sengaja ia “menyerahkan“ bambunya untuk dibabat, hanya
ketika pedang lawan membabat ia miringkan bambu sehingga
bambu itu kini menjadi runcing sekali dan tahu-tahu ia pergunakan
untuk menusuk dada. Senjata bambu ini tak boleh dipandang
ringan, karena batang bambu yang kosong ini kalau terisi oleh hawa
lweekang dari pemegangnya, bambu ini berubah menjadi senjata
yang ampuh dan kuat, dan dalam penggunaan dalam serangan
menusuk ini tidak kalah berbahayanya oleh senjata tajam dan
runcing lain dari baja. Hebatnya, selagi bambu ini masih menusuk,
tangan kiri Siangkoan Bu sudah bergerak ke pundak dan di lain saat,
sebatang pedang dengan sinar kebiruan telah meluncur cepat
menyusul serangan bambu, melakukan serangan ke dua dan
menusuk lambung!
“Bagus!“ Tat Wi Siansu sendiri yang juga seorang ahli pedang
dan Kun lunpai, memuji gerakan lawan ini yang memang benarbenar
amat cepat indah dan berbahaya. Ketua Kun-lun-pai ini
setelah menangkis bambu, cepat miringkan tubuh sehingga dua
serangan sekaligus itu dapat dihindarkan. Kemudian tanpa memberi
kesempatan kepada lawan, ia lalu membalas dengan penyerangan
membabat dari kiri ke kanan dengan pedangnya.
804
Siangkoan Bu menangkis, dua pedang bertemu dan bunga api
berpijar. Keduanya melompat mundur untuk melihat pedang
masing-masing. Mereka merasa lega melihat pedang masing-masing
tidak rusak oleh pertemuan yang keras tadi tanda bahwa pedang
mereka berimbang dalam
kekuatannya.
Pedang di tangan Tai
Siansu adalah sebatang
pedang pusaka Kun-lun-pai
biarpun amat tipis namun
terbuat dari pada baja putih
yang kuat sekali. Besi biasa
saja dapat terputus dengan
mudah oleh pedangnya. Di
lain pihak, pedang di tangan
Siangkoan Bu diberi nama
Mo-bin-kiam (Pedang Muka
Iblis), terbuat dari logam
berwarna kebiruan yang amat
keras dan juga pedang ini
tajam sekali, cukup kuat
untuk membuat putus logamlogam
lain.
Dalam detik-detik selanjutnya dua orang kakek kosen ini sudah
bertempur sengit. Sepasang pedang itu bergulung- gulung
merupakan sinar berwarna putih dan biru, amat indah dipandang
dan mendebarkan hati karena tegangnya. Semua orang tahu bahwa
dalam permainan yang indah kelihatannya ini bersembunyi tangantangan
maut yang setiap waktu dapat mencabut nyawa seorang di
antara kedua pemainnya.
Kepandaian Siangkoan Bu memang tinggi. Tidak saja ia memiliki
tenaga lweekang yang sudah tinggi sekali, juga ilmu pedangnya
amat aneh, cepat dan ganas. Pantas saja ia diberi julukan Mo ,-kiam
(Si Pedang Iblis) karena memang ia memiliki ilmu pedang yang kuat
dan dahsyat.
805
Di lain pihak, siapakah yang tidak mendengar kelihaian Ilmu
Pedang Kun-lun Kiam-hoat? Ilmu pedang partai besar Kun-lun-pai
sudah tersohor di kolong langit. Gerakannya indah dan cepat
mengandung kekuatan menyerang yang sukar dilawan, sebaliknya
dalam bertahan amat kuatnya, merupakan benteng sinar pedang
yang sukar ditembusi. Maka dapat dibayangkan betapa ramainya
pertandingan ini, makim lama gerakan mereka makin cepat
sehingga setelah lewat lima puluh jurus, keduanya lenyap
terbungkus gulungan sinar pedang mereka.
Bagi para penonton yang kurang tinggi ilmu silatnya, sukar dapat
mengatakan siapakah di antara dua ahli pedang itu yang unggul dan
siapa yang terdesak. Tentu saja dalam pandangan mata para ahli
yang berada di situ, di antaranya Kong Ji dan Ciang Le, mudah saja
terlihat bahwa lambat laun akan tetapi tentu, Ketua Kun-lun-pai
yang sudah tua itu mendesak Mo-kiam Siangkoan Bu!
Akhirnya pada jurus ke delapan puluh, terdengar Tai Wi Siansu
membentak keras, diikuti suara nyaring. Bambu di tangan
Siangkoan Bu tadi putus menjadi dua sedangkan pedang birunya
terlempar jauh ke belakang. Dia sendiri terhuyung-huyung dan
cepat melompat berjungkir balik ke belakang, lalu berdiri dengan
muka pucat. Darah mengucur keluar dari luka di kedua lengannya
dekat siku. Ia menjura dan berkata,
“Terima kasih, Tai Wi Siansu. Memang ilmu pedang Kun- lun-pai
hebat, bukan among kosong. Aku menerima kalah.“ Inilah katakata
jujur yang mau tidak mau harus diucapkan oleh seorang
jagoan kang-ouw yang telah kalah dalam sebuah pibu (adu
kepandaian). Mo-kiam Siangkoan Bu terpaksa harus mengaku ini,
karena ia sudah berhutang nyawa kepada kakek Kun lun-pai itu.
Kalau dalam gebrakan tadi Tai Wi Siansu mau berlaku kejam,
kiranya bukan hanya luka kecil pada kedua lengan saja yang
dideritanya, melainkan jauh lebih hebat. Kemudian ia mengambil
pedangnya dan berdiri di dekat pasukannya dengan muka muram.
Ta telah menderita kekalahan dan karenanya merasa malu dan
penasaran.
Di lain pihak, dengan napas agak memburu, Tai Wi Siansu berdiri
tegak dengan pedang dilintangkan di depan dada. Kakek berusia
806
delapan puluh tahun ini kelihatan gagah sekali dan sikapnya lemah
lembut. Jenggotnya yang putih semua dan panjang itu berkibarkibar
tertiup angin dan sinar matanya penuh semangat, berapi-api.
Akan tetapi bagi siapa yang memillki pandang mata awas, dapat
dilihat bahwa kakek tua renta ini sudah lelah sekali dan hanya
tenaga lweekangnya yang tinggi saja yang dapat mengatur
pernapasannya sehingga tidak terengah-engah, sungguhpun jalan
darahnya sudah amat cepat membuat seluruh tubuh panas dan
keringat keluar dari lengan dan jidat.
Tentu saja Kong Ji melihat pula dan maklum akan hal ini. Cepat
pemuda ini melompat keluar dan tahu-tahu pedang Pak-kek Sinkiam
yang bercahaya keemasan telah berada di tangannya.
“Tai Wi Siansu, kita sama-sama calon bengcu, mari kita menguji
kepandaian masing-masing!“ Tanpa menanti jawaban, pemuda itu
sudah menusuk dengan pedangnya ke arah tenggorokan kakek itu.
“Tidak adil...!“ Seru Leng Hoat Taisu Ketua Thian-san-pai dan
sudah melompat dengan tongkat hitamnya untuk menggantikan Tai
Wi Siansu.
Akan tetapi, sebagai ciangbunjin dari Kun-lun-pai, juga sebagai
calon bengcu, Tai Wi Siansu merasa malu kalau harus mengaku
kalah sebelum bertanding. Ta mengelak cepat dari serangan Kong Ji
dan melihat majunya Leng Hoat Taisu yang bukan seorang calon
bengcu ia berseru,
“Leng Hoat Toyu, kau mundurlah. Biar aku menghadapi bocah
she Liok ini. Dia benar, kami sama-sama calon harus mengukur
kepandaian dan tidak mengandalkan bantuan kawan.”
“Akan tetapi tadi ia juga mengajukan wakil.“ Leng Hoat Taisu
mencoba membantah. Sementara itu, Kong Ji hanya tersenyum dan
sebelum Tai Wi Siansu yang ragu-ragu itu mendapat kesempatan
menjawab, pemuda ini sudah memberi api.
“Benar, Tai Wi Siansu, kau sudah tua tentu pertempuran tadi
membuat kau lelah. Kalau mau mengaso dan mengatur napas dulu,
silakan, aku yang muda akan melayani Leng Hoat Taisu, kemudian
baru kita main-main. Tidak apa aku mengalah menghadapi dua
807
orang beruntun, sudah sepatutnya yang muda mengalah!“
Senyumnya demikian penuh ejekan sehingga Tai Wi Siansu tidak
ada muka lagi untuk mundur. Dengan muka merah saking
marahnya. Tai Wi Siansu menggerakkan pedangnya membentak.
“Bocah she Liok. Alangkah sombongmu! Kaukira pinto takut
kepadamu? Majulah!“
Melihat kenekatan Tai Wi Siansu terpaksa Leng Hoat Taisu
mengundurkan diri dan ia memandang kepada Bu Kek Siansu
dengan kepala digeleng-gelengkan dan mukanya memperlihatkan
kekhawatiran.
Kekalahan atau kemenangan dalam pibu bukanlah hal yang aneh.
bahkan kematian dalam pibu tidak pernah dibuat penasaran oleh
orang-orang gagah di dunia kang- ouw.
Akan tetapi kettdak-adilan membuat semua orang gagah
penasaran dan pertandingan pibu antara Liok Kong Ji dan Tai Wi
Siansu dianggap tidak adil. Akan tetapi oleh karena Tai Wi Siansu
sendiri yang tidak kuat menghadapi ejekan Liok Kong Ji sudah
menyatakan setuju. Tak seorang pun berhak mencampuri
pertandingan ini. Mereka yang berpihak pada Tai Wi Siansu kini
menonton dengan hati berdebar dan perasaan tegang.
Dengan mulut masih tersenyum Kong Ji memasang kuda-kuda,
tubuhnya merendah hampir berjongkok, pedangnya disembunyikan
di bawah lengan kiri, sedangkan lengan kirinya bergerak-gerak
lambat ke depan dan belakang. Kuda-kuda macam ini tidak dikenal
oleh Tai Wi Siansu sungguhpun kakek ini seorang jago pedang yang
kenamaan. Hal ini tidak mengherankan oleh karena Kong Ji,
pemuda yang penuh akal dan amat cerdik ini ternyata telah dapat
menciptakan kuda-kuda ini menurut Ilmu Pukulan Tin-san-kang
dicampur dengan ilmu pedang berdasarkan Pak-kek Sin-ciang yang
ia “curi” pelajari melalui Hui Lian! Maka yang mengenal kuda kuda
ini hanya dua orang. Ini pun hanya setengah-setengah.
Ciang Le mengenal kuda-kuda ini dengan melihat pedang
disembunyikan di bawah lengan kiri sebagai jurus yang hampir
sama atau pada dasarnya sama dengan jurus Hok-te-ciong-kiam
(Mendekam di Tanah Menyembunyikan Pedang) dari Ilmu Pedang
808
Pak-kek-sin-kiam. Hanya tangan kiri yang jari-jari tangannya dibuka
dan digerak-gerakkan lambat-lambat ke depan dan ke belakang itu
tidak ada dalam gerakan Hok-te-ciong-kiam, maka Ciang Le menjadi
terheran-heran.
Sebaliknya Giok Seng Cu mengenal baik gerakan tangan kiri itu,
yang bukan lain adalah gerakan Tin-san-kang, gerakan
mengumpulkan tenaga. Sebaliknya gerakan Hok-te- ciong-kiam tadi
tidak dikenal oleh Giok Seng Cu. Memang ilmu pedang Pak-kek-sinkiam-
sut biarpun sumbernya sama dengan ilmu silat yang dipelajari
oleh Giok Seng Cu dari mendiang Pak Hong Siansu, namun ilmu
pedang ini jarang ada yang mengerti sedangkan Ciang Le sendiri
pun hanya mempelajari sebagian saja.
Adapun Tai Wi Siansu yang sudah marah, menghadapi pasangan
kuda-kuda pemuda itu dan melihat mulut yang tersenyum-senyum
mengejek, tak dapat menahan sabar lagi. Kakek ini adalah Ketua
Kun-lun-pai, ilmu pedangnya sudah mencapai tingkat tinggi sekali,
maka tentu saja ia tidak gentar menghadapi segala macam kudakuda
yang aneh sekalipun. Ta mengandalkan kekuatan pedangnya
dan sambil berseru, “Lihat pedang““ ia menyerang Kong Ji yang
kuda-kudanya rendah itu dengan sabetan pada kepala.
Kong Ji memang sudah menanti datangnya serangan ini. Ta
mengumpulkan tenaganya menanti datangnya pedang lawan
sampai dekat, kemudian sekaligus ia melompat dengan dua macam
gerakan. Pedangnya membabat pedang lawan dengan pengerahan
tenaga lweekang sedangkan tangan kirinya mendorong ke arah
dada dengan tenaga Tin- san-kang sepenuhnya.
“Traanggg...!” Pedang tipis di tangan Tai Wi Siansu menjadi
buntung ujungnya ketika bertemu dengan Pak-kek Sin-kiam, dan
dalam kagetnya Tat Wi Siansu sampai kurang memperhatikan
datangnya hawa pukulan dari tangan kiri Kong Ji. Tiba-tiba kakek itu
berteriak dan terhuyung-huyung mundur sampai enam tindak,
terkena pukulan Tin-san-kang pada dadanya!
Wajah Tat Wi Siansu menjadi pucat sekali. Tidak hanya karena
pedangnya menjadi buntung, akan tetapi terutama sekali karena
hebatnya pukulan Tin san kang yang hawa pukulannya mengenai
dadanya. Baiknya ia adalah seorang ahli yang sudah memiliki hawa
809
sinkang di tubuhnya sehingga hawa ini secara otomatis telah dapat
menolak pukulan Tin-san kang. Namun karena pukulan ini memang
lihai bukan main, tenaga sinkang itu masih kalah kuat, membuat Tai
Wi Siansu terhuyung-huyung dan menderita luka di dalam dadanya.
Ta merasa dadanya sakit dan napasnya sesak, akan tetapi dengan
pengerahan lweekang ia dapat mempertahankan lukanya, kemudian
dengan marah ia menyerbu lagi!
Para tokoh yang memihak Tai Wi Siansu menjadi pucat. Sudah
jelas bahwa kakek ini terluka dan kalau melanjutkan pertempuran,
akan terancam bahaya. Akan tetapi mereka juga maklum bahwa
tentu saja Tai Wi Siansu tidak sudi mengalah begitu saja.
Dikalahkan oleh seorang begitu muda hanya dalam satu jurus,
benar-benar merupakan hal yang sangat memalukan dan lebih baik
putus nyawa daripada menyerah dalam sejurus! Pedang buntung di
tangan Tai Wi Siansu masih amat lihai bergerak-gerak dan
menyambar- nyambar laksana naga mengamuk. Biarpun buntung
ujungnya, namun masih tajam dan masih dapat membabat leher
atau pinggang lawan!
Akan tetapi, oleh luka-luka di dada itu, tenaga kakek ini makin
berkurang dan Liok Kong Ji tanpa mengenal kasihan terus
mendesaknya dengan pukulan-pukulan Tin-san-kang dan pedang
Pak-kek Sin-kiam selalu menyambar ke arah pedang tipis buntung
itu dengan maksud merusak pedang ini sampai tak dapat
dipergunakan lagi.
Tentu saja amat kewalahan kakek itu mempertahankan diri.
Tidak saja ia harus mempertahankan diri dengan tangkisantangkisan
terhadap serangan pukulan Tin-san- kang yang dahsyat
juga ia harus berhati-hati agar pedangnya jangan bertemu lagi
dengan pedang lawan. Hal ini tentu saja membuat permainan
pedangnya canggung karena setiap kali harus ditarik mundur dan
tidak dilanjutkan dalam serangannya takut kalau terbabat oleh Pakkek
Sin-kiam, maka makin lama makin terdesaklah Ketua Kun-lun
pai itu.
Betapapun juga, Tai Wi Siansu patut dikagumi. Ta masih berhasil
mempertahankan diri sampai lima puluh jurus Kong Ji menjadi
marah dan penasaran kalau tadi hanya berusaha membabat putus
810
pedang kakek ini dan hendak mengalahkan kakek ini tanpa
membunuhnya adalah sekarang pedangnya berkelebatan mengarah
tempat-tempat berbahava dan pukulan Tin-san-kang dilakukan oleh
tangan kirinya mengarah tempat-tempat seperti lambung, ulu hati
dan pusar!
Menghadapi gelombang serangan dahsyat ini Tai Wi Siansu yang
napasnya sudah empas empis hanya kuat bertahan selama sepuluh
jurus. Tiba-tiba pedangnya kena dibabat putus pada tengah
tengahnya dan dalam elakannya terhadap pukulan Tin-san kang di
dada, ia kurang cepat sehingga pundak kanannya terkena darongan
tangan kiri Kong Ji. Kakek itu terpental seperti dilemparkan akan
tetapi dapat jatuh dengan kedua kaki di atas tanah dan dalam
keadaan berdiri.
Kelihatannya tidak apa-apa, hanya mukanya pucat dan pedang
tinggal sepotong masih di tangannya. Tiba-tiba menyambitkan sisa
pedang itu ke arah Kong Ji. Pemuda itu memukul pedang lengan
tangan kiri sehingga pedang sepotong itu amblas ke dalam tanah
tidak kelihatan lagi! Melihat ini, Tai Wi Siansu tiba-tiba muntahkan
darah merah dan tubuhnya sempoyongan. Baiknya Leng Hoat Taisu
sudah melompat dan memondong tubuhnya mundur.
Kekalahan Tai Wi Siansu sudah sah. Dengan kekalahan ini,
berarti ketua Kunlun-pai itu tidak dianggap sebagai calon bengcu
lagi, sudah “gugur“ dan harus diganti calon lain.
Cam-kauw Sin-kai mendahului Ciang Le. Kakek pengemis ini
melompat ke tengah lapangan. Lengan bajunya yang lebar berkibar
dan ia sudah berdiri menghadapi Kong Ji. Sebelum pengemis sakti
ini membuka mulut, Kong Ji sudah menoleh ke arah See-thian Tokong
dan berkata,
“See thian Tok-ong, inginkah kau main-main dengan pengemis
ini ataukah kau lebih suka nanti menghadapi Hwa I Enghiong?“
Memang Kong Ji pintar bukan main. Ia tahu bahwa Cam-kauw
Sinkai seorang yang pandai dan merupakan lawan berat. Bukan ia
gentar menghadapinya, akan tetapi baru saja ia merobohkan Tai Wi
Siansu.
811
Kalau sekarang ia menghadapi kakek pengemis ini, biarpun ia
dapat menang, akan tetapi ia harus menyerahkan tenaga seperti
yang tadi lakukan dalam menghadapi Tam Wi
Siansu. Dan ini merugikan plhaknya. Kalau ia sudah lelah betul
baru menghadapi Ciang Le nanti, berbahayalah kedudukannya. Oleh
karena itu, ia hendak mengajukan See- thian Tok-ong dan dengan
kata-katanya tadi berhasil memancing keluar See-thian Tok ong.
See-thian Tok-ong sudah pernah merasai kelihaian Ciang Le,
maka sekarang mendengar kata-kata Kong Ji tentu saja ia lebih
suka menghadapi Cam-kauw Sin-kai dan “menyerahkan“ Go Ciang
Le kepada bocah she Liok bekas muridnya yang sekarang sudah
menjadi seorang pemuda lihai bukan main itu.
Atas pertanyaan Kong Ji tadi, See-thian Tok-ong bertukar
pandang dengan puteranya dan di lain saat, Kwan Kok Sun telah
bertindak menghampiri Cam-kauw Sin-kai. Melihat ini, Liok Kong Ji
seperti seorang penjual obat berkata keras kepada para hadirin,
“Inilah dia Ban-beng Sin-tong Kwan Kok Sun, putera tunggal dari
See-thian Tok-ong! Dia tentu saja berhak maju mewakili ayahnya.
Eh, pengemis bangkotan, kau berhati- hatilah menghadapi Saudara
Kwan Kok Sun ini!“
Sambil tertawa, Kong Ji lalu melompat mundur ke dalam
rombongannya sendiri di mana diam-diam ia mengumpulkan tenaga
dan mengatur napas agar kelelahannya dalam bertanding tadi dapat
diusir dan tenaganya menjadi segar kembali dalam persiapan
menghadapi lawan yang lebih berat lagi.
Sementara itu, ketika Cam-kauw Sin-kai melihat bahwa lawan
yang menghdapinya adalah bocah gundul putera See- thian Tok-ong
yang terkenal jahat, segera maju membentak.
“Bocah setan, keluarkan senjatamu! sambil berkata demikian,
Cam-kauw Sin kai menggoyang-goyang tongkatnya dengan sikap
seperti orang hendak menggebuk anjing. Ini bukan gerakan biasa
karena ini merupakan kuda- kuda dari Ilmu Tongkat Cam-kauwtung-
hwat yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw, terkenal
sebagai Ilmu Tongkat Pembunuh Anjing yang sukar dikalahkan.
812
Kwan Kok Sun menggerakkan hidungnya. “Jembel tua, untuk
melawan orang macam engkau saja mengapa mesti mengeluarkan
senjata? Kedua tanganku masih kuat untuk merobohkanmu.
Majulah'“
Bukan main marahnya Cam-kauw Sin-kai mendengar ejekan ini.
Ia tadinya sudah segan-segan untuk melawan bocah ini, karena
biarpun sudah dewasa, aneh sekali, pemuda gundul ini masih
kelihatan seperti seorang anak- anak dari sepuluh tahun. Hanya
tubuhnya saja yang besar akan tetapi kedua tangannya kecil, juga
mukanya seperti muka anak-anak. Ia segan karena menghadapi
Kwan Kok sun, ia seperti hendak bertanding melawan ejekan itu, ia
menancapkan tongkatnya ke dalam tanah, lalu melangkah maju
membentak.
“Bocah setan, sombong amat kau. Majulah kalau mukamu sudah
gatal-gatal ingin ditampar!“
Kwan Kok Sun menyerang dengan kedua kepalan tangannya
yang kecil!. Gerakannya kuat dan cepat, mendatangkan desir angin
dan tiba-tiba Cam-kauw Sin-kai mencium bau yang amis
memuakkan. Ia terkejut sekali dan tahu bahwa sebagai putera Seethian
Tok-ong Si Raja Racun, sudah tentu sekali bocah ini pun
seorang ahli racun. Hawa pukulan kedua tangannva saja sudah
membawa bau racun yang kuat dan berbahaya.
Cepat pengemis sakti ini menyembunyikan tangannya ke dalam
lengan baju dan dengan ujung lengan bajunya ia mengebut dan
menangkis pukulan pukulan Kwan Kok Sun. Ilmu Silat Cam kauw
Kun-hwat memang aneh. Ilmu silat ini diciptakan untuk menghajar
orang-orang seperti menghajar anjing, maka gerakan-gerakannya
aneh dan anjing yang bagaimana pun galaknya, tentu akan terpukul
tunggang langgang dengan ilmu silat ini.
Demikian pula kalau menghadapi lawan manusia, ilmu silat ini
amat aneh dan sukar diduga gerakan-gerakannya Giok Seng Cu
sendiri ketika menghadapi murid Cam-kauw Sin-kai yakni pemuda
Coa Hong Kin, dalam segebrakan saja terkena tamparan di
pundaknya oleh pemuda itu yang mempergunakan ilmu Silat Camkauw
Kun-hoat.
813
Baru saja bertempur belasan jurus sudah dua kali Kwan Kok Sun
kena disentil telinganya oleh Cam kauw Sin-kai dengan ujung lengan
baju dan ditampar pundaknya yang membuat pemuda gundul itu
terhuyung huyung dan merasa sakit bukan main. Telmganya
mengeluarkan darah dan pundaknya serasa retak tulangnya. Ia
mengamuk dan tiba- tiba dari jari-jari tangan kiri yang dibuka
menyambar sinar hijau. Inilah bubuk racun yang disebarkan ke arah
muka Cam-kauw Sin-kai.
Kakek pengemis itu adalah seorang tokoh kang-ouw
penggembara yang sudah kenyang makan garam, di samping
pengalamannya banyak sekali tentu saja siang siang ia telah
mengenal senjata racun ini. Dengan ujung lengan baju dilebarkan ia
menggerak-gerakkan kedua tangannya sehingga serangan-serangan
racun itu dapat disampok pergi, kemudian sambil berseru keras ia
menerjang dengan tendangan berantai.
Inilah tendangan That-kauw-soan-hong-twi (Menendang Angin
Dengan Tendangan Berputar-putar), sebuah tipu gerakan dalam
ilmu Silat Cam-kauw-kunhoat. Kwan Kok Sun terkejut sekali dan
biarpun ia juga memiliki gerakan yang gesit, akan tetapi ia hanya
dapat mengelak sampai lima kali tendangan saja.
Tendangan ke enam dan ke tujuh dengan tepat mengenai
pahanya, membuat tubuhnya terlempar ke belakang dan ke dua
kakinya menjadi lumpuh, karena biarpun tulang-tulang pahanya
tidak sampai patah, akan tetapi daging puhanya menjadi hitam biru
dan jalan darahnya tertahan.
Akan tetapi Kwan Kok Sun benar-benar lihai. Setelah terpental, ia
dapat mengatur keseimbangan tubuhnya, sehingga jatuhnva di atas
tanah dalam keadaan duduk. Ketika Cam-kauw Sin-kai mengejar, ia
cepat mengangkat kedua tangannya, digerak-gerakkan bergantian
ke depan.
Dilihat begitu saja, seakan-akan Kwan Kok Sun merasa takut dan
hendak mencegah Cam-kauw Sin-kai turun tangan lebih lanjut atau
maksudnva sudah menerima kalah. Demikian pula tadinya disangka
oleh Cam-kauw Sin-kai sehingga pengemis sakti ini tidak membuat
penjagaan, bahkan hendak maju menghampiri dan menolong bocah
itu berdiri.
814
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia merasa ada angin
menyambar dari depan menyerang dadanya dengan hebat. Itulah
pukulan Hek- tok ciang yang dilancarkan dan jauh dengan
mengandalkan lenaga hoat-sut (sihir) dari barat! Cam-kauw Sin-kai
tidak sempat mengelak, maka ia cepat mengerahkan tenaga ke
dada menolak. Ia berhasil menolak pukulan itu dan cepat melompat
ke samping, akan tetapi pakaiannya di bagian dada menjadi hangus
dan kulit dadanya terasa gatal-gatal!
“Kurang ajar!“ serunya dan ia telah mengepal tinju hendak
memberi hajaran kepada Kwan Kok Sun, akan tetapi tiba-tiba
pemuda gundul itu telah lenyap. Ternyata ibunya, Kwan Ji Nio, telah
turun tangan menyambar tubuh puteranya. Tentu saja dengan
adanya kejadian ini Kwan Kok Sun dianggap kalah.
Cam-kauw Sin-kai cepat mengeluarkan sebutir pel merah dari
saku bajunya dan ditelannya. Ini hanya untuk penjagaan kalaukalau
pukulan Hek-tok-ciang tadi mengakibatkan luka di dalam
dada. Kemudian ia mcncabut tongkatnya, karena melihat See thian
Tok-ong sudah melompat maju untuk menggantikan puteranya yang
kalah.
“Cam-kauw Sin-kai, jangan kau sombong karena dapat
mengalahkan anak kecil. Inilah lawanmu!“ Sambil berkata demikian,
See-thian Tok-ong mengeluarkan senjatanya yang dahsyat, yaitu
sepasar Ngo-tok Mo-jiauw (Cakar Setan Lima Racun) yang amat
mengerikan.
Akan tetapi Cam-kauw Sin-kai sudah maklum bahwa menjadi
calon bengcu berarti menghadapi lawan-lawan berat, maka ia sudah
siap menghadapi segala resikonya.
Setelah berhadapan, dua orang kakek yang berilmu tinggi ini
mulai saling menyerang dengan seru. Pertempuran kali ini lebih
sengit daripada tadi. Gerakan See-thian Tok-ong benar- benar luar
biasa sekali. Sepasang cakar setan itu bergerak- gerak aneh, seperti
menycrang dengan cara membabi buta, akan tetapi sebetulnya
gerakan-gerakan ini menurutkan sistim silat yang aneh dan jarang
terdapat di pedalaman Tiongkok. Yang amat berbahaya adalah
hawa beracun yang keluar dari sepuluh kuku-kuku panjang dan
cakar itu.
815
Setiap cakar mempunyai lima kuku panjang dan lima warna yang
mengeluarkan bau keras dan tidak enak lima macam, yang satu
lebih hebat dari yang lain. Sekali gurat saja dengan kuku cakar
setan ini akan mendatangkan maut!
Baiknya Cam-kauw Sin-kai memiliki Ilmu Silat Cam- kauw-tunghwat
yang juga amat aneh gerakan-gerakannya dan sukar diduga
perubahan gerakannya. Juga tongkatnya ternyata amat berbahaya
karena setiap serangan merupakan totokan atau tusukan maut.
Oleh karena itu, tidak mudah bagi See-thian Tok-ong untuk
mengalahkan lawannya dalam waktu singkat. Pertahanan Cam-kauw
Sin-kai benar-benar kokoh kuat dan tongkatnya kini meupakan
lingkaran yang sukar sekali diterobos.
Pertempuran kali ini berjalan sampai seratus jurus lebih, masingmasing
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, maklum
bahwa lawan amat berat dan sekali terkena serangan berarti
menghadapi bahaya maut. Akan tetapi tak lama pengemis sakti itu
makin terdesak. Yang membuat ia tidak kuat adalah bau dari hawa
beracun yang keluar dari Ngo tok Ma-Jiauw itu. Biarpun ia sudah
menahan napas dan menarik napas amat hati-hati, tidak urung ia
terpengaruh juga oleh hawa beracun itu, yang membuat kepalanya
pening dan pandangan matanya berkunang.
Cam-kauw Sin-kai maklum kalau tidak cepat-cepat dapat
merobohkan lawannya, ia akan kalah. Sambil berseru keras ia lalu
mainkan jurus-jurus terakhir yang paling hebat dari ilmu silatnya.
Tongkatnya melayang-layang turun naik dengan gerakan cepat dan
aneh. Biarpun See-thian Tok-ong lihai bukan main, ia menjadi
terkejut dan bingung. Tak dapat ia menghindarkan diri ketika
tongkat itu menusuk dengan cara tusukan bertubi-tubi yang dimulai
dari atas ke bawah. Sebuah tusukan mengenai pangkal lengan
kirinya dan untuk sedetik lengan kiri itu menjadi lumpuh sehingga
sebuah senjatanya terlepas dari pegangan.
Akan tetapi pada saat yang hampir bersamaan, hanya dua tiga
detik lebih lambat. Ngo-tok Ngo-jiauw di tangan kanan See-thian
Tok-ong berhasil menggurat pundak Cam- kauw Sin-kai! Kakek
pengemis ini merasa pundaknya gatal panas dan seperti ditusuktusuk
jarum. Cepat ia melompat jauh ke belakang dan begitu ia
816
turun ke tanah, ia lalu mengambil segenggam pil penawar racun
yang terus ditelannya! Namun tetap saja ia menjadi limbung dan
terpaksa ia duduk di atas tanah, bersila sambil mengerahkan tenaga
lweekang untuk mengusir pengaruh racun yang hebat itu.
See-thian Tok-ong mengeluarkan suara ketawa aneh. Tangan
kirinya sudah pulih kembali dan kini sepasang Ngo- tok Mo-jiauw
sudah dipegangnya dengan sikap menantang. Ta maklum bahwa
kakek pengemis itu pasti akan tewas, paling lama dalam waktu dua
puluh empat jam lagi.
“Tblis dari barat rasakan pembalasanku!“ Tiba-tiba Coa Hong Kin
membentak marah dan pemuda ini mencahut pedang, hendak
melompat ke tengah lapangan untuk menuntut balas atas kekalahan
suhunya. Akan tetapi sebuah tangan yang amat kuat memegang
pundaknya, mencegahnya dan terdengar suara Ciang Le yang
tenang dan berpengaruh.
“Dia bukan lawanmu. Biar aku menghadapinya. Tangan kuat
yang menahan pundaknya itu terlepas dan tahu-tahu tubuh Ciang
Le sudah berada di tengah lapangan menghadapi See-thian Tokong.
Hong Kin lalu menghampiri suhunya dan dengan bantuan
muridnya. kakek pengemis ini berjalan kembali ke dalam
rombongannya di mana ia lalu direbahkan d atas rumput dan
dirawat oleh Hong Kin dibantu oleh Lie Bu Tek, Hui Lian dan Bi Lan.
Sementara itu, See-thian Tok-ong melihat Ciang Le datang, tanpa
banyak cakap lagi segera menyerang dengan Ngo tok Mo-jiauw,
menyerang bertubi-tubi dengan sepasang senjata itu. Ciang Le tidak
mau berlaku lambat, ia melompat jauh ke kanan untuk
menghindarkan diri dan untuk mencabut pedangnya. See-thian Tokong
sudah pernah merasai kelihatan tangan Ciang Le, maka ia
berlaku hati- hati sekali dan dengan penuh perhatian serta
pengerahan tenaga dan kepandaian, Raja Racun dari barat ini mulai
mendesak Hwa I Enghiong.
Akan tetapi sebentar saja See thian Tok-ong mengeluh di dalam
hati. Ilmu pedang dari Hwa I Enghiong benar-benar hebat dan kuat
luar biasa. Juga pedang yang digunakan oleh Hwa I Enghiong
adalah Kim-kong kiam, pedang yang mengeluarkan sinar emas
seperti pedang Pak kek Sin-kiam, akan tetapi sinar pedang Pak-kek
817
Sin-kiam lebih putih dan lebih gemilang. Biarpun demikian pedang
Kim kong-kiam termasuk pedang pusaka yang ampuh dan kuat.
Dahulu ketika untuk pertama kali bertemu dengan Ciang Le, biarpun
See-thian Tok-ong memegang Pak-kek Sin-kiam, masih saja ia tidak
dapat merobohkan Ciang Le, yang bertangan kosong, maka tentu
saja ia sudah cukup maklum akan kelihaian ilmu silat dari Hwa I
Enghiong. Akan tetapi sekarang lain lagi keadaannya, See-thtan
Tok-ong memegang sepasang senjatanya yang diandalkan, yaitu
Ngo-tok Mo- jiauw dan dalam hal ilmu silat dengan Ngo-tok Mojiauw
sesungguhnya Raja Racun ini jauh lebih lihai daripada kalau ia
menggunakan senjata lain. Ia telah mencipta ilmu silat yang khusus
untuk mainkan sepasang senjata yang mengerikan itu. Dan di
samping ini, betapapun lihai Hwa I Enghiong Go Ciang Le, seperti
Cam-kau Sin-kai tadi ia pun mulai terkena pengaruh bau senjata
aneh Ngo-tok Mo-jiau tadi.
“Celaka,“ pikir Ciang Le sambil memutar pedang Kim- kong-kiam
lebih hebat lagi. “aku harus cepat-cepat merobohkanya!“ Setelah
mengambil keputusan ini dan melihat kesempatan, Ciang Le lalu
menyerang dengan Ilmu Pedang Pak-kek Kiam-hoat bagian yang
paling lihai.
Pedangnya berkelebat mengancam dari atas seperti burung elang
menyambar- nyambar kepala mengeluarkan angin dan suara
mendesing-desing mengerikan. See thian Tok-ong terkejut sekali,
tahu bahwa serangan ini merupakan ancaman maut yang dapat
memenggal leher atau memecahkan kepalanya, maka ia lalu
mengerahkan dan menggunakan sepasang Ngo-tok Mo-jiauw untuk
melindungi kepala dengan memutarnya seperti kitiran cepatnya.
Akan tetapi tiba-tiba Ciang Le berseru.
“Pergilah!“
Tubuh See-thian Tok ong yang besar itu terlempar seperti batang
pohon dilontarkan angin kuat. Inilah kehebatan jurus Ilmu pedang
yang dimainkan oleh Ciang Le tadi. Nampaknya hebat dan dahsyat
menyerang kepala, tidak tahunya kelihaiannya terletak pada
serangan lanjutan yang dilakukan oleh kaki! Ternyata bahwa
pedang yang menyambar-nyambar tadi hanya pancingan belaka
agar lawan yang bagaimana kuat pun akan melindungi kepalanya
818
dan kurang memperhatikan tubuh bagian bawah. Oleh karena itu,
dengan mudah Ciang Le dapat menendang perut See-thian Tok-ong
sehingga tubuh Raja Racun itu terlempar jauh!
Akan tetapi Ciang Le juga terkena pengaruh hawa beracun
sehingga mukanya agak pucat. Baiknya tendangannya tadi kuat
sekali sehingga betapapun kuat tubuh See-thian Tok-ong,
tendangan itu telah mendatangkan luka di dalam perutnya dan tidak
memungkinkan Raja Racun ini bertempur terus. Maka tentu saja
dianggap kalah dan gagal dalam pemilihan bengcu. Orang-orang
yang berpihak kepada Hwa I Enghiong bersorak menyambut
kemenangan ini. See-thian Tok-ong dirawat oleh delapan orang
kawannya, para busu yang menyamar.
“Hwa l Enghiong jangan tiba-tiba berkelebat bayangan yang
cepat luar biasa dan tahu-tahu Kwan Ji Nio sudah menyerangnya
dengan ranting bambu, menotok matanya.
Ciang Le melompat jauh ke belakang ia ragu-ragu, karena selain
kepalanya masih pening akibat pengaruh hawa beracun dari Ngotok
Mo-jiauw, juga ia merasa segan-segan untuk melayani seorang
wanita.
“Mengasolah!“ tiba-tiba ia mendengar suara bisikan isterinya
yang tahu-tahu telah berada di dekatnya. Ciang Le mundur, dan kini
Bi Lan menghadapi Kwan Ji Nio. Dua orang tokoh wanita yang
berilmu tinggi saling berhadapan, bagaikan dua ekor singa betina
hendak saling terkam’
“Kwan Ji Nio, benar-benar girang sekali hatiku dapat bertemu
dengan engkau di sini. Akan puas hatiku dapat melanjutkan
pertandingan yang dahulu.“ Memang kurang lebih sembilan tahun
yang lalu, dalam perebutan Pak-kek Sin-kiam, pernah Kwan ji Nio
bertempur melawan Liang Bi Lan dan See-thian Tok-ong bertanding
melawan Go Ciang Le, sedangkan Kok Sun bertempur menghadapi
Go Hui Lian yang ketika itu, sebagaimana dapat diikuti dalam cerita
bagian depan, tidak dilanjutkan karena Ciang Le, menawan Kok Sun
dan memaksa suami isteri dari barat itu mengembalikan pedang
unuk ditukar dengan Kok Sun.
819
Sekarang dua orang wanita kosen itu berhadapan lagi. Keduanya
sama usianya, kurang lebih empat puluh tahun, sama cantiknya dan
sama ramping tubuhnya. Akan tetapi sikap Bi Lan nampak jauh lebih
gagah.
“Kau menggantikan suamimu untuk menjenguk neraka! Baik,
bersiaplah untuk mampus!“ bentak Kwan Ji Nio yang serentak
mengirim serangan bertubi-tubi dengan rantingnya. Gerakannya
cepat ! bukan main karena nyonya ini adalah ahli ilmu meringankan
tubuh yang disebut Te in-hang (Lompatan Tangga Awan) sehingga
ketika ia bergerak dalam serangan-serangannya, tiada ubahnya
seperti seekor burung walet menyambar-nyambar. Kedua kakinya
seperti tak pernah menyentuh tanah.
Bi Lan mengeluarkan suara ketawa mengejek dan di lain saat
nyonya ini pun lenyap dari pandangan mata. Hanya sinar pedangnya
saja yang nampak, menjadi gulungan sinar yang bundar, dan kedua
kaki yang kadang-kadang kelihatan menyentuh bumi menyatakan
bahwa nyonya ini masih ada di dalam bungkusan gulungan sinar
pedang itu! Kali ini Kwan Ji Nio menemui batu keras! Kali ini ia
menjumpai tandingan yang juga seorang ahli ginkang luar biasa.
Bi Lan telah mendapat latihan ginkang dari orang aneh, sepasang
tosu kembar bernama Thian-te Siang-mo yang memiliki ginkang luar
biasa (baca Pendekar Budiman). Dahulu ketika masih muda, Bi Lan
telah dijuluki orang Sian- li Eng-cu (Bayangan Bidadari) karena
memang gerakannya amat cepat sehingga kalau ia bergerak, yang
kelihatan hanya bayangannya saja.
Kali ini pertempuran benar-benar hebat, mengalahkan kehebatan
pertempuran yang lalu. Hal ini memang tidak aneh, karena
keduanya adalah ahli-ahli gin-kang yang kepandaiannya sudah
memuncak, maka dalam pertempuran ini, orang-orang hanya
melihat gulungan sinar pedang dan gulungan sinar ranting yang
saling belit dan saling tindih menjadi satu sukar diketahui mana
yang lebih kuat.
Delapan puluh jurus telah lewat dan pertempuran makin
memuncak saking ramainya. Hui Lian berdiri menonton sambil
meremas-remas tangannya. Ta merasa meyesal mengapa tidak dia
saja yang tadi menggantikan ayahnya. Ta khawatir kalau-kalau
820
ibunya akan kalah, sungguhpun ia dapat melihat betapa ibunya kini
medesak hebat kepada Tawannya. Kalau dia yang maju, Hui Lian
merasa pasti dapat merobohkan Kwan Ji Nio, paling lama dalam
pertandingan lima puluh jurus. Biarpun masih kalah hebat dalam
ginkang oleh ibunya akan tetapi dalam ilmu pedang, kiranya ia
masih lebih mahir daripada ibunya. Tni adalah karena dia telah
mempelajari Pak-kek Kiam-sut sedangkan ibunya tidak.
Akan tetapi ketika memperhatikan lagi, Hui Lian menarik napas
lega. Tbunya pasti menang, dan benar saja, terdengar jerit
kesakitan, ranting terlempar jatuh dan tubuh Kwan Ji Nio melompat
ke ke belakang. Ta jatuh dengan kedua kaki di atas tanah,
terhuyung huyung dan darah mengucur dari pahanya. Cepat Kong Ji
menyuruh ahli-ahli pengobatan rombongannya merawat. Sejak tadi
pun ia sudah menyuruh kawan-kawannya merawat See-thian Tokong
dan Kwan Ji Nio dan Kwan Kok Sun. See-thian Tok-ong yang
melihat pihaknya kalah semua, tentu saja menerima baik bantuan
pemuda ini karena setelah dia dan anak isterinya kalah, paling baik
sekarang menjagoi Kong Ji dan membantunya! Demikianlah sifat
orang jahat. Mudah berubah, penjilat, dan pengecut. Selalu memilih
tempat untuk keuntungannya sendiri tanpa memperdulikan
kegagahan, keadilan, dan kejujuran.
Kini dari pihak Liok Kong ji muncul Giok Seng Cu. ”Aku mewakili
Tung-nam Tui-bengcu,” katanya dengan suara kasar, “sekarang
calon yang masih ada hanyalah Tai bengcu dan Go Ciang Le.
Semenjak dahulu, Hwa I Enghiong hanya nienyembunyikan diri saja,
mengapa sekarang tiba-tiba muncul hendak menduduki kursi
bengcu? Apakah dia benar-benar begitu ingin menjadi bengcu?”
Ucapan Giok Seng Cu ini penuh sindiran, membuat Bi Lan marah
sekali.
“Giok Seng Cu, suamiku mengingini kedudukan bengcu masih
tidak begitu memalukan, tidak seperti engkau yang begitu
merendahkan diri menjadi kaki tangan seorang penjahat muda yang
pernah menjadi muridmu. Di manakah kulit mukamu? Ketahuilah,
suamiku tidak begitu ingin menjadi bengcu, hanya karena pilihan
orang lain maka terpaksa ikut dalam lomba ini. Akan tetapi bukan
semata- mata untuk meramaikan pemilihan, melainkan semata-mata
821
untuk menghadapi manusia-manusia jahat yang hendak
mempergunakan kepandaian menduduki kursi bengcu!“
Giok Seng Cu tersenyum mengejek “Bi Lan, kau masih saja
bermulut besar seperti dulu. Pergilah dan biarkan suamimu yang
maju!“ Giok Seng Cu melakukan tantangan ini karena ia melihat
Hwa I Enghiong Go Ciang Le masih bersila sambil meramkan mata
mengira bahwa CiangLe masih terluka dan karenanya iato bera ni
menantang.
“Untuk melayani manusia rendah macam engkau saja, cukup
dengan pedangku. Majulah!“ kata Bi Lan sambil menyerang. Terjadi
pertempuran hebat yang ke lihatannya berat sebelah karena Giok
Seng Cu hamya bertangan kosong. Akan tetapi pada hakekatnya,
kakek rambut pandang inilah yang mendesak Bi Lan dengan
pukulan- pukulan Tin-san-kang. Sedangan pedang Bi Lan cukup ia
layani dengan kibasan kedua lengan bajunya saja, sedangkan
pukulan-pukulan Tin-san-kang dari jarak jauh membuat Bi Lan
kewalahan. Nyonya ini baiknya memiliki kegesitan luar biasa
sehingga dapat mengelak ke sana ke mari, hanya hawa pukulan
saja yang menyerempet dan membuat pakaiannya berkibar-kibar.
Akhirnya Bi Lan tak kuat menghadapi lawannya lebih lama lagi, ia
bertempur sambil mundur.
“Ibu, kau sudah lelah. Biar aku menggantikanmu!” tiba- tiba
terdengar bentakan nyaring dan Hui Lian sudah menyerang Seng Cu
dengan pedangnya, sedangkan Bi Lan lalu melompat mundur untuk
beristirahat karena ia betul betul lelah menghadapi Giok Seng Cu
yang lihai.
Sebelum tertangkap oleh Kong Ji, Hui Lian sudah bertempur
melawan Giok Seng Cu dan telah melukai kulit lengannya dengan
ujung pedangnya. Oleh karena inilah gadis itu menjadi berani dan
besar hati menghadapi Giok Seng Cu yang dianggapnya bertenaga
besar akan tetapi tidak memiliki kepandaian tinggi.
la tidak tahu bahwa ketika melawannya sampai tergores pedang
kulit lengannya, Giok Seng Cu tidak melawannya dengan sungguhsungguh.
Kakek ini tidak berani melukainya seperti yang dipesan
oleh Kong Ji dan dalam pertempuran seperti itu, Giok Seng Cu
hanya mengelak dan tak pernah menyerangnya. Serangan satu822
satunya yang diajukan selalu hanyalah usaha untuk menangkapnya
hidup-hidup tanpa melukai dirinya. Tentu saja dalam pertempuran
seperti itu, Giok Seng Cu tidak dapat mengeluarkan semua
kepandaiannya dan karena itulah ia sampai terluka oleh goresan
pedang Hui Lian.
Akan tetapi sekarang lain lagi. Mereka berada di gelanggang
pertempuran yang sungguh-sungguh dan tak terdengar perintah
sesuatu dari Kong Ji. Oleh karena inilah Giok Seng Cu lalu
menyerang dengan sepenuh tenaga dan mengeluarkan semua
kepandaiannya. Hui Lian terkejut dan cepat-cepat melakukan
perlawanan sengit.
Kong Ji berdiri tegak dengan hati tak enak. Tadi ia sudah terkejut
sekali melihat munculnya Hui Lian dan Coa Hong Kin yang ternyata
telah ditolong oleh Wan Sin Hong.
Gagallah rencananya unmemaksa Ciang Le dengan mengancam
Hui Lian yang sudah tertawan. Sekarang ia melihat gadis itu
melakukan perlawanan sengit terhadap Giok Seng Cu, benar-benar
hatinya tidak enak sekali. la dapat meramalkan bahwa nona itu
pasti akan kalah oleh Giok Seng Cu.
Hal ini memang tidak apa-apa baginya, akan tetapi ia tahu betul
akan silat kepandaian Giok Seng Cu. Kakek ini mengandalkan
kelihaiannya semata-mata atas kemahiran ilmu silat dan senjatanya
yang ampuh adalah Pukulan Tin- san-kang. OLeh karena setiap
orang lawan dari kakek ini kalau kalah tentu akan roboh terkena
pukulan Tin-san-kang dan ini berarti lima bagian tewas, tiga bagian
terluka berat di dalam tubuh dan hanya dua bagian masih ada
harapan hidup!
Bagi Kong Ji, kalau sampai Hui Lian tewas memang tidak apaapa.
Akan tetapi di dalam hati kecilnya ada rasa sayang kepada
bekas sumoinva ini dan ia tidak tega kalau melihat Hui Lian tewas.
Apalagi ia tahu bahwa kalau hal ini terjadi, permusuhan dengan
pihak Hwa I Enghiong akan menjadi makan besar dan selamanya ia
takkan merasa aman lagi. Dengan orang seperti Go Ciang Le itu
lebih aman bersahabat daripada bermusuh, lebih baik menjadi
kawan daripada menjadi lawan. Setidaknya jangan menanam rasa
823
permusuhan besar dan dendam yang melahirkan pembalasanpembalasan.
Diam-diam Kong it mengeluarkan suatu dari saku bajunya dan
memandang ke arah pertempuran dengan penuh perhatian. Saat
yang dikhawattrkan tiba. Ketika nona itu menyerang dengan
pedangnya secara cepat sekali. Giok Seng Cu membuang diri ke kiri,
terus bergulingan di atas tanah. Ini merupakan pancingan yang
hanya dimengerti oleh Kong ji. Akan tetapi Hui Lian mengira bahwa
ia telah dapat mendesak, maka dengan hati besar ia mengejar.
Tiba-tiba Giok Seng Cu membalikkan tubuh dan selagi tubuhrnya
masih mendekam, ia mengirim pukulan Tin-san kang ke arah Hui
Lian! Inilah hebatnya pancingan itu. Pukulan Tin-san-kang memang
dilakukan dengan tubuh merendah, makin rendah makin kuatlah
pukulan itu, maka dalam bergulingan Giok Seng Cu selain
memancing lawan datang mengejar, juga dapat mengatur
kedudukan yang amat baik untuk melakukan pukulan tiba-tiba.
Hui Lian melihat ini dan mengerti namun terlambat. Ketika ia
mengelak angin pukulan Tin san-kang sudah menghantamnya
biarpun ia sudah mengelak, pundaknya masih terdorong, membuat
ia terguling! Giok Seng Cu mengeluarkan seruan girang, melompat
dan mengejar, bermaksud mengirim pukulan ke dua yang tentu
akan mematikan gadis itu. Terdengar Bi Lan menjerit dan Ciang Le
menahan napas. Tentu saja kalau mereka mau, mereka dapat
menyerang Giok Seng Cu, akan tetapi ini bukanlah laku orang
gagah. Mereka ini lebih baik kehilangan puteri daripada harus
melanggar peraturan kang-ouw.
Pada saat Giok Seng Cu memukul, kakek ani berteriak kesakitan
mengurungkan pukulannya, bahkan ia sendiri terhuyung-huyung
lalu berlari mendekati Kong Ji. Di pundaknya telah menancap tiga
batang Hek-tok-ciam (Jarum racun Hitam) yang dilepas oleh Kong Ji
dalam usahanya menolong Hui Lian.
Dengan muka sebentar pucat sebentar merah Hui Lian kembali
ke rombongannya. Kong Ji setelah mengobati pundak Giok Seng Cu,
lalu melompat ke tengah lapangan. Ciang Le juga melompat
menghadapinya dengan Hwa I Enghlong berkata singkat.
824
“Kami telah berhutang nyawa anak kami kepadamu.“ Kong Ji
menjura dengan hormat. “Harap maafkan Giok Seng Cu Suhu yang
lancang tangan. Memang tidak sedikit pun aku mempunyai maksud
bermusuhan denganmu. Kalau saja kau suka mengalah dan
membiarkan aku menduduki kursi bengcu, bukankah ini berarti
saling menolong dan menghindarkan pertandingan pertandingan
yang membahayakan nyawa?”
Ciang Le tak dapat menjawab. ia bingung sekali. Ia memang
harus membela kedudukan bengcu agar jangan terjatuh dalam
tangan orang seperti Kong Ji. Akan tetapapi di lain pihak, sebagai
seorang gagah ia harus ingat budi. Betapapun jahatnya Kong Ji,
baru saja tak dapat disangkal bahwa tanpa pertolongan Kong Ji
yang mengorbankan pembantunya sendiri sampai dilukainya, sudah
dapat ditentukan nyawa Hui Lian melayang di tangan Giok Seng Cu.
Budi menolong nyawa
adalah budi besar, hanya
dapat dilunasi dengan
menolong nyawa pula. Ciang
Le berdiri bengong, kagum
dan juga ngeri menyaksikan
kelicikan dan kepintaran Liok
Kong Ji. Bocah ini benarbenar
seorang iblis yang
kelak akan membahayakan
dunia.
Pada saat itu, terdengar
suara orang-orang yang
hadir di situ dan semua mata
memandang ke satu jurusan.
Tentu saja Kong Ji dan Ciang
Le juga tertarik dan mereka
ikut menoleh. Kong Ji
mengeluarkan seruan marah dan kaget sedangkan Ciang Le
terheran-heran ketika melihat siapa yang datang itu.
Dengan sikap gagah dan senyum yang menambah cantiknya.
Siok Li Hwa berjalan diikuti oleh pasukannya dan di sampingnya
825
berjalan seorang pemuda membikin kaget, marah, dan heran semua
orang. Pemuda itu yang berjalan dengan sikap tenang dan
sederhana, sepeti juga sederhananya pakaiannya, bukan lain adalah
Wan Sin Hong.
Kong Ji kaget setengah mati hampir ia tak dapat mempercayai
kedua matanya sendiri. Wan Sin Hong sudah menjadi korban jarum
Hek-tok-ciam dan jarum hijau dari Li Hwa, bagaimana sekarang
datang lagi dalam keadaan segar dan sehat? Dan mengapa
sekarang berjalan dalam suasana persahabatan dengan Li Hwa?
Hatinya berdebar tidak karuan dan ia merasa tidak enak.
Sebaliknya, Ciang Le tidak heran melihat Wan Sin Hong dalam
keadaan masih hidup dan sehat karena ia sudah mendengar dari
Hui Lian tadi siapa adanya orang yang terkena jarum-jarum yang
dilepas oleh Kong Ji dan ketua Hui-eng-pai. Ia hanya heran melihat
Wan Sin Hong berani muncul di tempat itu.
Bagaimanakah Wan Sin Hong yang tadinya sudah roboh oleh
jarum rahasia dan dibawa pergi tubuhnya oleh seorang aneh yang
bermuka merah dan dikejar oleh Li Hwa, kini datang dalam keadaan
sehat bersama Siok Li Hwa? Mengapa mereka tidak kelihatan
bermusuhan dan kemanakah perginya Si Muka Merah yang aneh
tadi? Baiklah kita mengikuti pengalaman Hui-eng Niocu Siok Li Hwa
ketika melakukan pengejaran kepada Wan Sin Hong yang
dipondong pergi oleh manusia muka merah yang aneh.
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid XXX
SEPERTI telah dituturkan di bagian depan, Hui-eng Niocu Siok Li
Hwa yang merasa penasaran karena belum dapat membunuh Wan
Sin Hong yang mencemarkan nama baik perkumpulannya, ketika
melihat tubuh Sin Hong dibawa lari oleh orang yang bermuka
merah, lalu mengejar terus bersama rombongannya.
Belum lama ia mengejar dan tiba di sebuah hutan di lereng Bukit
Ngo-heng-san itu, ia melihat orang yang dikejarnya tadi sedang
berlutut. Wan Sin Hong direbahkan di atas tanah dan orang itu
kelihatan sedang merawat luka-luka yang diakibatkan oleh jarum826
jarum rahasia. Orang itu sedang asyik menusuk-nusuk bagian
terluka tadi dengan jarum-jarum emas dan perak, sedangkan jarum
Hek-tok-ciam dan jarum hijau yang tadi melukai Wan Sin Hong telah
dicabuti dan kini diletakkan di atas sehelai kain putih.
Orang demikian asyiknya mengobati luka-luka dan duduknya
membelakangi Li Hwa sehingga tidak mendengar atau melihat
datangan Siok Li Hwa dan anak buahnya.
Siok Li Hwa ragu-ragu. Pedangnya sudah siap di tangan, akan
tetapi ia termangu-mangu ketika menyaksikan betapa orang yang
menolong Wan Sin Hong itu tengah mengobati luka-luka yang
ditimbulkan antara lain oleh jarum-jarum hijaunya.
“Serahkan penjahat Wan Sin Hong kepadaku!“ akhirnya ia
membentak dengan suara keras.
Orang yang disangkanya orang aneh bermuka merah itu menoleh
dan melihat wajah orang ini, Li liwa mengeluarkan jerit ngeri dan
takut demikian pula para anak buahnya mengeluarkan jerit kaget
dan muka mereka pucat. Pandang mata mereka sebentar ditujukan
kepada Wan Sin Hong yang menggeletak di atas bumi, kemudian
dialihkan kepada orang yang berlutut dan yang tadinya disangka
orang bermuka merah. Memang aneh sekali dan bagi para gadis ini
tentu saja merupakan hal yang aneh dan mengerikan karena baik
bentuk badan maupun wajah kedua orang pemuda itu, baik yang
berbaring maupun yang berlutut merawat, bagaikan tangan kanan
dan tangan kiri. Serupa benar!
Saking bingung dan gugupnya, Li Hwa lalu melontarkan sebatung
jarum hijau kepada pemuda yang sedang berlutut dan sedang
mengobati luka-luka di tubuh pemuda yang rebah itu. Pemuda yang
berlutut itu tengah memegangi jarum emas dan perak yang
dipergunakan untuk menusuk-nusuk bagian yang terkena jarum
beracun, maka ia tidak keburu nienangkis atau mengelak. Dengan
tenang ia lalu melembungkan kedua pipinya dan... sekali meniup
jarum hijau itu runtuh ke tanah!
Mata Li Hwa yang tajam dan bening itu terbelalak kaget. Mana
mungkin orang meniup runtuh jarum hijaunya? Memang benar
827
jaram itu kecil dan ringan saja akan tetapi telah disambitkan dengan
penggunaan tenaga lweekang istimewa.
Seorang dengan tenaga lweekang biasa saja jangan harap akan
dapat melontarkan jarum itu demikian cepat dan kuatnya. Akan
tetapi bagaimanakah tenaga yang mendorong jarum itu menjadi
punah begitu terkena angin tiupan pemuda itu? Setankah dia?
“Nona, tenanglah dan jangan galak-galak dulu. Tidakkah kau
melihat betapa hebat luka saudara ini? Biarkan aku mengobatinya
lebih dulu baru kita bicara. Pengaruh jarum hijaumu tidak berbahaya
akan tetapi Hek-tok-ciam benar-benar merupakan senjata rahasia
beracun keji sekali!“ Kembali pemuda itu tekun merawat yang luka
dan sama sekali tidak mempedulikan Li Hwa.
Ketua Hui-eng-pai ini berdiri bengong dan merasa malu kepada
diri sendiri. tidak ada muka untuk menyerang lagi dan akhirnya ia
malah melangkah mendekati dan dengan para anak buahnya berdiri
di belakangnya, dia menonton cara pengobatan itu. Kagum ia
melihat betapa cekatan jari-jari tangan pemuda yang mengobati.
Setelah menusuk-nusuk dengan enam jarum emas dan perak, lalu
menggunakan pisau tajam untuk melakukan operasi dan
mengeluarkan darah yang hitam dan kehijauan dari luka-luka akibat
jarum rahasia tadi. Setelah membersihkan luka-luka, ia lalu
menempelkan obat di atas bekas luka, dan dengan secawan arak ia
memberi minum obat kepada Si sakit mg masih pingsan. Akhirnya ia
membereskan baju si sakit yang tadi dibukanya dan sambil
tersenyum ia memandang kepada Li Hwa.
“Sudah beres, nyawanya tertolong, biarpun ia harus beristirahat
sedikitnya seratus hari.“
Siok Li Hwa memandang tajam dan ia merasa bulu tengkuknya
berdiri melihat persamaan yang luar biasa antara dua orang pemuda
itu.
“Siapa kau?“ tanyanya, mengharap akan mendapat jawaban
bahwa pemuda ini adalah saudara kembar dari Wan Sin Hong yang
menggeletak pingsan di atas tanah. Akan tetapi jawaban pemuda
yang tersenyum-senyum tenang ini membuat bulu-bulu tengkuknya
berdin lagi, juga para pengikutnya mengeluarkan seruan tertahan
828
sambil menutup mulut yang berbibir merah dengan jari-jari tangan
ketika pemuda itu menjawab.
“Namaku Wan Sin Hong.“
“Kau... Wan Sin Hong...? Kalau begitu... siapa... siapakah
orang........ itu...?“ Li Hwa menunjuk ke arah pemuda yang terluka
tadi.
Sin Hong tersenyum duka. “Dia ini siapa aku sendiri pun belum
tahu, akan tetapi biarpun ia agaknya serupa benar dengan aku, aku
berani pastikan bahwa dia bukan Wan Sin Hong.“
“Kalau begitu kaulah orangnya yang berbuat jahat kepada Cun
Eng. Jahanam, bersiaplah kau untuk mampus!“ Li Hwa lalu bersikap
hendak menyerang dengan pedangnya, juga tiga puluh sembilan
orang gadis rombongannya mencabut pedang masing-masing
sehingga terdengar suara “Sraatt!“ yang nyaring.
Sin Hong menggeleng-gelengkan kepalanya, kecewa dan
berduka.
“Nasibku yang buruk. Nona, sebelum kau membunuhku, maukah
kau memberi tahu kepadaku apa sebabnya kau dan kawankawanmu
ini begitu membenci Wan Sin Hong?“
“Bangsat besar jangan coba berpura-pura! Kau telah
mengganggu Cun Eng dan …..“
“Nanti dulu...! Siapa itu Cun Eng...?”
Siok Li Hwa marah bukan main, pedang hijaunya berkelebat
menyerang. Sin Hong tidak bergerak hanya berkata. “Kau ini
seorang nona cantik jelita yang lancang dan ceroboh!“ Pedang hijau
itu terhenti di tengah udara tidak jadi menusuk dada.
“Kau….. kau setan... kau berani bilang aku lancang dan
ceroboh?“ bentak Hui eng Nio-cu Siok Li Hwa saking marahnya
mendengar makian ini, sampai tadi ia menunda gerakan pedangnya
dan lupa untuk menyerang lagi.
Sin Hong mengangguk. “Memang kau lancang dan ceroboh, dia
inilah buktinya! Kalau kau tidak lancang dan ceroboh dan kau mau
mempergunakan sedikit pertimbangan dan akal budi, masa kau
829
sampai salah tangan melukai orang yang tidak berdosa? Sekarang
tanpa penyelidikan lagi, kau sudah memastikan harus membunuhku,
yakin betulkah kau bahwa aku benar-benar orang berdosa terhadap
orang yang kau namakan Cun Eng? Bagaimana kalau sampai kau
salah tangan lagi?“
Li Hwa nampak ragu-ragu. “Habis kau... kau bernama Wan Sin
Hong, dan kami memang mencari penjahat Wan Sin Hong'“
Kini Sin Hong menarik napas panjang “Sudah terlampau banyak
perbuatan-perbuatan keji dan jahat dilakukan oleh seorang bernama
Wan Sin Hong. Aku yang bernama Wan Sin Hong sama sekali tidak
tahu-menahu tentang kejahatan-kejahatan itu. Hal ini mempunyai
dua kemungkinan. Pertama, ada seorang penjahat yang namanya
betul-betul sama dengan namaku dan kemungkinan kedua, ada
seorang jahat yang sengaja memakai namaku dengan maksud
memburukkan namaku. Kemungkinan kedua inilah yang kurasa
tepat dan sekarang sedang kuselidiki. Sekarang, melihat wajah
orang ini yang serupa betul dengan aku, dan yang juga diserang
orang karena disangka Wan Sin Hong, aku sengaja merampasnya
dan mengobatinya karena siapa tahu kalau-kalau benar orang ini
yang selama ini memakai nama Wan Sin Hong dan membikin cemar
namaku. Kalau betul demikian, dia harus hidup dulu untuk
membuka semua rahasia dan untuk mengaku mengapa ia begitu
benci kepadaku dan melakukan segala macam kejahatan atas
namaku. Akan tetapi, aku masih ragu-ragu. Orang dengan wajah
seperti ini tak mungkin jadi penjahat !“
Tiba tiba muka Sin Hong menjadi merah, ketika ia melihat
pandang mata Li Hwa. Gadis ini memandang kepadanya dengan
mata berseri dan mulut tersenyum.
Semua ucapan Sin Hong termakan betul oleh hatinya dan
dianggap penuh cengli. Akan tetapi kata-kata terakhir tadi
mendatangkan geli pada hatinya, tak tertahan lagi gadis ini tertawa.
Karena semenjak kecil ia hidup di tempat terasing, ketawanya tidak
seperti gadis-gadis lain yang selalu malu-malu dan bersopan-sopan
dengan menutupi mulut dengan tangan. Gadis ini tertawa dengan
bebas, memperlihatkan gigi yang putih dan berbaris rapi.
“Kenapa kau mentertawaiku?“ Sin Hong mengerutkan alisnya.
830
“Kau manusia sombong, memuji-muji diri sendiri. Kiranya di
dunia ini tidak pernah ada orang memujimu, maka memuji diri
sendiri“
“Aku? Memuji diri sendiri? Bagaimana maksudmu?“
“Bukankah kau tadi bilang bahwa orang dengan wajah seperti dia
itu tidak mungkin jadi penjahat?“
Tiba-tiba Sin Hong tertawa. Kini mengertilah dia. Memang,
dengan mengatakan demikian, karena wajah orang itu serupa benar
dengan wajahnya, sama artinya dengan menyatakan bahwa orang
dengan wajah seperti wajahnya sendiri, tak mungkin jadi penjahat!
“Nona, ketahuilah. Di dunia ini terdapat seorang iblis jahat yang
sepak terjangnya selain keji sekali, juga ia licin dan berbahaya.
Salah satu di antara kecurangannya adalah penggunaan namaku
untuk perbuatan-perbuatan jahatnya. Aku sedang mengumpulkan
keterangan dan bukti-bukti dan sekarang tiba saatnya aku membuka
kedoknya. Nona siapakah dan coba kauceritakan perbuatan apakah
yang dilakukan oleh penjahat yang mempergunakan namaku itu?“
Sekarang Siok Li Hwa mulai percaya kepada pemuda ini. Memang
ia pikir tidak mungkin pemuda yang bersikap seperti ini seorang
penjahat keji. Ia menceritakan peristiwa yang terjadi atas diri Cun
Eng itu dan memperkenalkan diri.
Sin Hong mengerutkan alisnya. “Hemm, keparat jahanam betul
iblis itu. Di mana sekarang Nona Cun Eng?“
“Dia sudah meninggal dunia, membunuh diri.“ Li Hwa lalu
menuturkan bagai-mana Cun Eng telah membunuh diri di puncak
Ngo-heng-san.
“Apakah dia tidak mengenal muka penjahat itu?“
“Tidak, karena di dalam gelap, hanya penjahat itu mengaku
bernama Wan Sin Hong.“
“Hemmm, seperti yang sudah-sudah juga begitu. Dan di antara
kalian adakah yang sudah pernah melihat si penjahat itu?“
Li Hwa menggelengkan kepala.
831
“Kalau begitu lebih-lebih lagi kau tidak boleh sembarangan
menyerangku, Nona. Masih baik kalau benar-benar dugaanmu
bahwa akulah orang jahat itu. Akan tetapi kalau keliru, bagaimana?
Seorang gagah tidak berlaku sewenang-wenang, apalagi merupakan
pantangan besar bagi seorang gagah untuk mencelakai orang yang
tidak berdosa.“
“Wan Sin Hong, kalau benar kau bernama Wan Sin Hong dan
tidak merasa berdosa, kau sendiri yang harus dapat mencuci
namamu yang sudah dikotori orang. Kalau memang kau tidak
melakukan perbuatan-perbuatan jahat, kau harus dapat menangkap
orang yang memalsukan namamu. Setelah penjahatnya tertangkap
baru aku dapat percaya bahwa kau tidak berdosa. Kalau tidak ada
bukti itu, bagaimana aku bisa percaya?“
“Kau kira aku enak-enak saja? Berbulan-bulan aku sudah
menyelidiki dan mengikuti jejak penjahat itu dan kiranya sekarang
sudah dekat. Aku minta pertolongan beberapa orang anak buahmu
untuk menjaga saudara ini di sini dan marilah kita naik ke puncak.
Kiranya, kalau tidak meleset perhitunganku, di puncak itulah akan
dapat kubongkar semua rahasia ini.“
Demikianlah Sin Hong dan Li Hwa lari menuju ke Puncak Ngoheng-
san pada saat Liok Kong Ji sedang berhadapan dengan Go
Ciang Le dan pemuda itu telah mendesak Ciang Le dengan katakata..
Di sepanjang jalan menuju ke puncak, Sin Hong minta
keterangan dan Li Hwa tentang keadaan dipuncak. Gadis itu yang
makin lama makin tertarik dan suka kepada Sin Hong, menceritakan
semua dengan jelas, betapa Cam-kauw Sin-kai terluka hebat dan
lain lain.
“Kau pun dipilih oleh Cam-kauw Sin-kai menjadi seorang calon
bengcu.“ katanya sebagai penutup penuturannya, “dan aku pun
masuk mencalonkan diri!“ Kata-kata ini diiringi suara ketawanya
yang merdu.
Sin Hong memandang kepadanya sambil tersenyum. ’Gadis ini
luar biasa dan amat menarik hati’, pikir Sin Hong. Akan tetapi ia
merasa khawatir mendengar betapa Cum-kauw Sin-kai terluka oleh
832
Ngo-tok Mo-jiauw, juga mendengar pengemis tua itu memilihnya
sebagai calon bengcu. ’Agaknya di antara semua tokoh itu, hanya
kakek pengemis ini yang masih menaruh kepercayaan padaku’, pikir
Sin Hong. Ia lalu mengajak Li Hwa mempercepat perjalanan ke
puncak.
Setelah tiba di puncak, tanpa memperdulikan semua orang yang
memandang kepadanya, ada yang terheran heran, yang kaget, dan
ada yang marah-marah. Ia langsung berlari mendekati Cam-kau
Sinkai yang masih rebah dan dirawat oleh Hui Lian, Bi Lan dan Hong
Kin. Bi Lan melompat dan memandang kepada Sin Hong dengan
mata penuh selidik. Hui Lian mukanya berubah sebentar pucat
sebentar merah ketika melihat pemuda, sedangkan Hong Kin
menjadi bengong dan mukanya pucat sekali. Mimpikah dia Pemuda
yang baru datang yang dipanggil Wan Sin Hong ini, mengapa begitu
serupa dengan Pangeran Wanyen Ci Lun?
Hong Kin amat setia dan mencinta Pangeran Wanyen Ci Lun,
maka begitu melihat Wan Sin Hong ia bertanya,
“Di mana Wanyen Siauw-ongya?“
Sin Hong menoleh kepadanya, tak mengerti apa yang
dimaksudkan.
“Siapa?“
“Pangeran Wanyen Ci Lun, yang tadi dibawa pergi oleh orang
muka merah, dia… serupa benar dengan engkau...“
“Ah... jadi dia itu pangeran?“ Hanya ini saja yang diucapkan oleh
Sin Hong dan dadanya berdebar, apalagi ia mendengar bahwa
pangeran itu mempunyai nama keturunan Wanyen, yakni nama
keturunan ayahnya, ’Wanyen Kan! Dia masih saudaraku’ pikirnya.
Akan tetapi pada saat itu seluruh perhatiannya dicurahkan kepada
Cam- kauw Sin-kai dan tanpa mempedulian yang lain-lain, ia cepat
berlutut dan memeriksa keadaan Cam-kauw Sin-kai.
“Kau...?“ Kakek itu berkata lemah. Napasnya sudah empasempis
dan mukanya tidak karuan, ada tanda tanda warna hitam,
merah. hijau dan warna lain lagi. Inilah kehebatan racun dari Ngotok
Mo-jiauw’
833
“Locianpwe, aku tidak berani mendahului kehendak Thian. Akan
tetapi menurut pendapatku yang bodoh, lukamu tak dapat
disembuhkan lagi. Racun yang mengandung hawa Im dan racun lain
yang mengandung hawa Yang sudah memasuki darah. Kalau tidak
kuobati, dalam waktu sehari semalam kau akan tewas. Dengan
pengobatanku juga hanya dapat memperpanjang waktu sampai tiga
hari tiga malam. Bagaimana? Apakah aku harus mengobatimu?“
Kakek pengemis itu menggeleng kepalanya. “Tak usah... sehari
semalam sudah cukup lama... kau bereskan saja urusan ini…. jaga
baik-baik jangan sampai orang lain menjadi bengcu... Wan-sicu
maukah kau bersumpah bahwa penjahat Wan Sin Hong itu bukan
kau orangnya?“
Sin Hong cepat mengeluarkan pisau perak kecil dan mulai
memotong urat-urat yang akan menghambat perjalanan racun ke
jantung. Juga ia menotok sana sini sehingga akhirnya kakek itu
tidak merasa sakit sama sekali. Kemudian baru ia menjawab. “Tak
perlu bersumpah, Locianpwe. Apa artinya sumpah kalau tidak ada
bukti-bukti? Tetap saja tidak dicaya orang. Biarlah, sekarang juga
aku hendak membongkar bukti-buktinya!“ Sambil berkata begitu ia
masih asyik menotok dan memijit tubuh kakek pengemis itu.
“Wan Sin Hong penjahat terkutuk. Menyerahlah untuk
kubelenggu, jangan menanti aku menurunkan tenaga besi!“
Bentakan ini diucapkan oleh Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai
yang sudah berada di situ bersama Leng Hoat Taisu. Akan tetapi
Wan Sin Hong yang asyik merawat Cam-kauw Sin-kai itu tidak
peduli sekali atas bentakan Bu Kek Siansu, melirik pun tidak.
Bu Kek Siansu melangkah maju dan menggunakan dua jarinya
menotok pundak Sin Hong, dengan maksud membuat pemuda itu
tidak berdaya. Juga Sin Hong tidak peduli, melirik pun tidak.
Pundaknya terkena totokan jago tua dari Bu tong-pai itu.
“Duk!“
“Ayaaa...!“ Bukan Sin Hong yang terguling, melainkan tosu
berjenggot panjang yang bertubuh tinggi kurus itu yang melompat
ke belakang dan cepat ia mengurut-urut dua batang jari tangannya
yang tadi dipakai menotok karena dua jari tangan itu telah menjadi
834
salah urat. Bagaimana bisa begini? Tak lain karena Bu Kek Siansu
berlaku ceroboh dan tadi melihat pemuda itu tidak melakukan
perlawanan, lalu berlaku sembarangan karena ia pun tidak mau
melukai pemuda yang tidak melawan. Maksudnya hanya akan
membikin pemuda itu tak berdaya. Akan tetapi siapa kira setelah
dua batang jari tangannya menyentuh kulit pundak, pundak ini dari
sebelah dalam mengeluarkan hawa panas dan agak di goyang
sedikit sehingga jari tangan kakek itu terserang tenaga yang luar
biasa membuat tenaga totokan membalik dan membuat urat-urat
dalam jari tangan itu terpukul sendiri! Inilah kelihaian hawa sinkang
yang sudah tinggi sekali.
Tadinya Bu Kek Siansu dan Leng Hoat Taisu yang duduknya di
bagian lain, melihat munculnya Wan Sin Hong, menjadi marah
karena mengira bahwa penjahat muda yang lihai ini tentu akan
membikin onar. Maka tanpa berpikir panjang mereka lalu
mendatangi tempat itu dan Bu Kek Siansu lalu menyerangnya. Akan
tetapi ketika Leng Hoat Taisu melihat bahwa pemuda yang berlutut
itu sebetulnya sedang mengobati suhengnya, Cam-kauw Sin-kai,
menjadi tercengang dan tidak bergerak, terpaku di situ saking
herannya.
Sebaliknya Bu Kek Siansu yang merasa ia dibikin malu, tidak
melihat hal ini saking malu dan marahnya. Tangan kirinya sudah
memegang pedang dan sambil membentak, “Penjahat keji lihat
pedangku!“ ia lalu menyerang
“Trangg...!“ Pedangnya tertangkis oleh sinar hijau yang ternyata
adalah pedang hijau yang dipegang oleh Siok Li Hwa. Gadis ini tadi
melihat segala yang terjadi dan merasa penasaran menyaksikan
kakek Ketua Bu-tong pai yang bertindak sembrono saja itu.
“Kau membela penjahat ini?“ bentak Bu Kek Siansu marah, juga
kaget dan heran karena tadi ia saksikan sendiri betapa Ketua Huieng-
pai ini amat benci kepada Wan Sin Hong dan mencarinya untuk
dibunuh.
“Sabarlah kakek tua. Kalau kau tidak sabaran dan mudah marahmarah
usia tak dapat panjang!“ jawab Li Hwa. “Memang betul dia
ini Wan Sin Hong, akan tetapi tunggu sampai dia membuktikan
bahwa dia tidak berdosa dan bahwa namanya dipergunakan oleh
835
orang lain. Aku sendiri pun sedang menunggu pembuktian ini. Selain
itu, tidakkah kaulihat, bahwa dia tengah mengobati Cam-kau Sin-kai
yang terluka berat’“
Sementara itu, Cam-kauw Sin-kai yang sudah tidak merasa sakit
lagi, cepat bangkit dan duduk bersila, lalu berkata kepada Sin Hong.
“Wan-sicu, lekas kau bereskan semua ini!“
Sin Hong kini membungkus alat-alat pengobatannya, kemudian
perlahan bangkit berdiri. Matanya menyapu orang-orang yang
berada di situ dan melihat Lie Bu Tek berdiri di dekat Ciang Le, ia
lalu menghampiri pendekar buntung itu dan menjatuhkan diri
berlutut di depan Lie Bu Tek.
“Gihu, harap selama ini kau dalam sehat saja,“ kata-katanya
amat mengharukan hati Lie Bu Tek. Ingin sekali pendekar buntung
ini memeluk anak angkatnya yang amat dikasihinya akan tetapi ia
menahan perasaan hatinya dan hanya kedua matanya dikejapkejapkan
menahan runtuhnya air mata. Akhirnya ia dapat juga
mengeluarkan kata-kata yang terdengar berat dan serak.
“Buktikan dulu kebersihanmu, baru kau datang kepadaku.“
Wan Sin Hong memberi hormat lalu berdiri, untuk sejenak
berpandangan dengan ayah angkatnya, dua pasang mata
memandang penuh rindu dan akhirnya Sin Hong memeluk ayah
angkatnya.
“Mohon berkahmu, Gihu....“ ia melepaskan pelukannya dan
berjalan dengan langkah tenang dan lambat ke tengah lapangan.
matanya selalu ditujukan kepada Kong Ji. Lie Bu Tek mengikuti
putera angkatnya dengan mata digenangi butir air mata,
mengikutinya dengan pandang mata penuh kasih sayang.
“Benar-benarkah dia tidak berdosa?” kata-kata ini terlepas dan
mulut Ciang Le yang terharu juga menyaksikan sikap Sin Hong
terhadap Lie Bu Tek.
Lie Bu Tek menggerakkan pundaknya. “Kita sama-sama lihat
saja!“
836
Juga Bi Lan berbisik di dekat puterinya. “Pemuda itu aneh sekali.
Benar-benarkah dia seorang penjahat besar dan keji?“
Tak terasa Hui Lian mengepal tangannya dan berkata, “Entahlah,
Ibu, akan tetapi aku pernah melihat dia mengejar dan mencoba
menculik seorang gadis cantik.“ Terdengar suara menggetar penuh
kekecewaan dan kegetiran dalam suara ini dan terbayanglah semua
pengalamannya dengan Wan Sin Hong.
Sementara itu, Cam-kauw Sin-kai memanggil Go Ciang Le dan
isterinya.
Tentu saja Ciang Le merasa heran dan cepat-cepat bersama Bi
Lan ia mendekati kakek yang bersila itu, lalu berlutut dan duduk
bersila pula.
“Go-taihiap dan Lihiap, tak lama lagi aku mati. Sebelum itu, aku
hanya ingin bicara sedikit untuk penghabisan kali karena kalau
pembicaraan ini selesai, aku hendak menghabiskan sisa hidupku
menikmati cara bagaimana pemuda she Wan itu menyelesaikan
semua perkara ini. Go-taihiap, kau dan isterimu sudah melihat
muridku, Coa Hong Kin. Dia seorang yang baik dan melihat
hubungannya dengan puterimu, biarpun sekarang bukan saat yang
tepat dan bukan di tempat sang patut, mengingat usiaku tak
panjang lagi, aku mengajukan lamaran kepada putrimu agar
menjadi calon jodoh murindku Hong Kin.“
Ciang Le dan istennya saling pandang, sukar untuk memutuskan
perkara yang muncul tiba-tiba ini. Sebagai suami isteri yang saling
mencinta, kedua orang ini saling dapat mengerti perasaan hati
masing-masing hanya dengan saling pandang saja, tadi mereka
sudah menyaksikan ketulusan dan kebaikan hati Hong Kin yang
tidak segan-segan mengakui Soan Li sebagai isterinya hanya untuk
memberikan muka keluarga Go Ciang Le, maka di dalam hati kedua
suami iste ri ini memang sudah ada perasaan suka kepada Hong
Kin. Apalagi Hong Kin adalah murid terkasih dari Cam kauw Sin-kai
dan pemuda itu selain memiliki pribadi baik juga wajahnya tampan
dan kepandaian silatnya lumayan. Apalagi yang menjadi halangan?
Ciang Le dan Bi Lan saling memberi tanda dengan mata. Mereka
harus memberi keputusan sekarang karena usia kakek pengemis itu
takkan lama lagi.
837
Ciang Le menoleh kepada Cam kau Sin-kai dan berkata,
“Pinanganmu kami terima, Lo-enghiong. Semoga muridmu dapat
membahagiakan hidup puteri kami.“
Cam-kauw Sin-kai berseri wajahnya dan dengan tangannya ia
melambai kepada Hong Kin, pemuda ini cepat menghampiri suhunya
dan alangkah kagetnya ketika suhunya berkata,
“Lekas kau memberi hormat kepada calon gakhu (ayah mertua)
dan gakbo-mu mertua)!“ Karena suhunya menudingkan jari kepada
Ciang Le dan Bi Lan, maka dengan hati berdebar girang Hong Kin
lalu menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada Ciang Le dan
Bi Lan sebagai calon- calon ayah dan ibu mertuanya!
Saking girangnya dan ingin menikmati saat yang terakhir, Camkauw
Sin-kai timbul kegembiraannya dan dipanggilnya Hui Lian.
“Nona mantuku, lekas kau mendekat. Aku ingin memberi berkah
kepadamu dalam saat terakhir ini!“
Tentu saja Hui Lian yang sejak tadi miemperhatikan Wan Sin
Hong, tidak mengerti maksudnya dan mengira kakek yang
menderita luka berat ini sudah berubah ingatannya. Akan tetapi Bi
Lan membantunya dan berkata. “Mendekatlah, Lian-ji, dan lakukan
permintaan Cam-kauw Lo-enghiong. Ketahuilah, bahwa telah diikat
tali perjodohan antara kau dan Coa Hong Kin.“
Merah sekali wajah Hut Lian mendegar ini dan ia memandang
kepada Hong Kin dengan lirikan matanya, kemudian pandang
matanya menyapu wajah ayah bundanya dan Cam-kauw Sin-kai.
Dan dibayangkan betapa hati dan perasaan gadis ini tergoncang
hebat dan pikirannya menjadi bingung. Seperti kilat cepatnya
pikirannya melayang dan terbayanglah wajah Sin Hong wajah
Pangeran Wanyen Ci Lun dan wajah Hong Ki Kemudian teringat pula
akan semua kebaikan yang telah dilakukan oleh Hong Kin. Ketika
matanya melirik kepada wajah ayah bundanya, ia dapat
membayangkan kepastian yang tak dapat dibantah lagi.
Tak terasa lagi dua butir air mata menggenangi sepasang mata
yang jeli itu dan dengan kedua kaki gemetar Hui Lian lalu berlutut di
depan Cam-kauw Sin kai. Kakek pengemis ini lalu meletakkan ke
838
dua tangan ke atas kepala Hui Lian, mulutnya berkemak kemik
membaca doa.
Sementara itu, di lereng Bukit Ngo heng-san terjadi hal lain yang
hebat juga.
Orang muda yang terluka oleh jarum-jarum beracun, dan yang
menggeletak di dalam hutan dan ditolong orang bermuka merah,
sebetulnya adalah Pangeran Wanyen Ci Lun. Seperti telah
diceritakan di bagian depan, Pangeran Wan-yen Ci Lun berpamit
kepada kaisar untuk pergi sendiri menyelidiki keadaan pemilihan
bengcu di puncak Ngo-heng- san. Dengan menyamar sebagai orang
biasa, Pangeran Wanyen Ci Lun pergi ke Ngo heng-san. Pangeran
ini sebetulnya juga bukan seorang yang lemah. Sejak kecil, di
samping pelajaran ilmu sastera yang tinggi, dia juga mempelajari
ilmu silat dari para busu yang tinggi kepandaiannya sehingga
pangeran ini memiliki ilmu yang lumayan juga.
Karena ia melakukan perjalanan cepat ia dapat selalu mengamatamati
perajalanan See-thian Tok-ong dan juga dapat mengawasi Hui
Lian dan Hong Kin. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat betapa
Hui Lian dan Hong Kin tertawan oleh Kong Ji dan kawan-kawannya.
Dengan amat cerdik, Wanyen Ci Lun dapat menyelundup ke
dalam rombongan orang-orang Kwan-cin -pai yang pakaiannya
macam-macam itu setelah mereka tiba di puncak Ngo-heng san.
Dengan hati-hati ia lalu berusaha untuk menolong dan
membebaskan Hui Lian dan Hong Kin dan seperti telah dituturkan di
bagian depan, usaha ini berhasil setelah diam-diam mendapat
bantuan orang yang tidak memperlihatkan diri.
Scbetulnya, seperti pembaca telah dapat menduga, penolong
tersembunyi itu adalah Wan Sin Hong sendiri. Kemudian setelah
Wanyen Ci Lun keluar dari rombongan orang-orang Kwan-cin pai
bersama Hui Lian dan Hong Kin, dan terkena jarum beracun,
muncullah orang tersembunyi atau Wan Sin Hong itu yang ternyata
telah mengenakan obat pengganti warna muka sehingga mukanya
menjadi merah sekali. Wan Sin Hong menolong Wanyen Ci Lun dan
membawanya lari sampai kemudian meninggalkan pangeran itu
setelah mengobatinya, di bawah penjagaan sepuluh orang anggauta
Hui eng-pai.
839
Pangeran Wanyen Ci Lun tidak begitu sembrono dan bodoh
untuk melakukan perjalanan yang berbahaya dan jauh itu seorang
diri saja tanpa kawan. Sebetulnya, diam- diam ia pun telah
mengerahkan pasukan kepercayaannya yang terdiri dari tiga puluh
orang, untuk menyusul perjalanannya dan menjaga di lereng Ngoheng-
san, menjaga kalau-kalau ada terjadi sesuatu yang
memerlukan bantuan mereka. Sungguh tidak tersangka sama sekali
bahwa ia baru menyelundup ke dalam pasukan Kwan-cin-pai dan
akhirnya terluka, maka hal ini tidak ketahuan oleh pasukan
pengawalnya yang datang belakangan.
Demikianlah, setelah ia diobati oleh Wan Sin Hong dan
ditinggalkan di dalam hutan, akhirnya ia siuman dan alangkah
herannya ketika ia mendapatkan dirinya berbaring di atas rumput
dan dijaga oleh sepuluh orang gadis yang cantik-cantik dan
kelihatan gagah-gagah.
“Mimpikah aku...?“ bisiknya, kemudian ia teringat bahwa ia telah
terluka dan pundaknya terasa sakit bukan main.
“Ah... tentu aku sudah mati dan kalian ini bidadari-bidadari
sorga....“
Karena Pangeran Wanyen Ci lun memang tampan wajahnya,
mendengar kata-kata ini para gadis penjaga itu saling pandang dan
tertawa cekikikan.
“Nona-nona manis, jangan ganggu aku. Ceritakanlah di mana
aku berada. Benar-benar matikah aku?“
Seorang di antara para gadis itu menjawab. “Belum, kau belum
mati, baru hampir. Apakah namamu Wan Si Hong?“
“Bukan, namaku Wanyen Ci Lun.“ meraba pundaknya yang sakit
dan melihat obat yang tertempel di situ ia segera bertanya.
“Siapakah yang menolongku? Apakah kalian yang mengobati lukalukaku
ini?“
Gadis-gadis itu menggeleng kepala mereka yang cantik. “Kau
ditolong oleh seorang bernama Wan Sin Hong, dan yang mukanya
sama benar denganmu....
“Ke mana dia sekarang“
840
“Ke puncak sana bersama Niocu.“
“Siapakah itu Niocu?“
“Ketua kami, sudahlah, kau harus istirahat di sini dan kami
ditugaskan menjagamu.“
Karena memang tubuhnya masih lemas dan pundaknya masih
amat sakit rasanya, Wanyen Ci Lun tidak banyak membantah. Tibatiba
terdengar bentakan-bentakan nyaring.
“Lepaskan Siauw-ongya...!“
Muncullah tiga puluh orang pengawal yang baru sekarang tiba di
situ dan melihat pangeran itu dijaga oleh sepuluh orang gadis,
mengira bahwa majikan mereka ditawan. Sebaliknya sepuluh orang
gadis itu tentu saja tidak membiarkan orang mendekati pemuda
yang diserahkan penjagaan mereka. Cepat mereka mencabut
pedang dan segera meyerang! Memang gadis-gadis ini boleh
dibilang setengah liar, hidup di dalam hutan di puncak gunung, tak
pernah bergaul dengan dunia ramai, maka watak mereka keras
sekali.
Sebaliknya, para pengawal yang menduga bahwa gadis- gadis ini
tentulah sebangsa penjahat wanita, lalu melakukan perlawanan,
maka terjadilah pertempuran hebat. Para pengawal adalah orangorang
pilihan yang berkepandaian tinggi akan tetapi di lain pihak
para gadis pun merupakan orang-orang kepercayaan Siok Li Hwa,
merupakan anggauta anggauta Hui-eng-pai yang sudah tinggi
ilmunya, maka pertempuran itu bukan main serunya.
Tiba-tiba di antara gerombolan pohon berkelebat bayangan
orang dan tahu-tahu seorang gadis cantik yang berwajah pucat
menerobos masuk memandang wajah Pangeran Wanyen Ci Lun
yang menggeletak di atas tanah, kemudian secepat kilat ia
menyambar tubuh itu dipondongnya dan dibawa lari!
“Lepaskan Siauw-ongya...!“ lima orang pemimpin pasukan
pengawal itu membentak dan cepat mengejar, sedangkan
pengawal-pengawal yang lain masih ramai bertempur melawan
gadis Hui-eng-pai.
841
Akan tetapi gadis bermuka pucat yang membawa lari tubuh
Wanyen Ci Lun itu memiliki ginkang yang luar biasa. Biarpun ia
memondong tubuh seorang muda, akan tetapi para pengejarnya ia
dapat menyusulnya. Makin lama makin jauh dan akhirnya lenyap
dari pandangan mata para pengejarnya!
Demikianlah peristiwa yang terjadi di lereng gunung dan biarlah
kita meningalkan pertempuran antara gadis-gadis Hui-eng-pai
melawan para pengawal pribadi Pangeran itu, dan mari kita
menengok lagi ke atas, ke puncak Gunung Ngo-heng-san di mana
terjadi peristiwa yang lebih hebat.
Di puncak bukit, Wan Sin Hong berjalan perlahan ke tengah
lapangan. Semua mata memandang ke arahnya. Tiba-tiba didahului
oleh Liok Kong Ji, orang-orang di situ berseru. “Tangkap penjahat
Wan Sin Hong! Bunuh penjahat Wan Sin Hong!“
“Bu Kek Siansu, kau sebagai pemimpin pertemuan ini, apakah
tidak bisa menenteramkan mereka? Wan Sin Hong seorang calon,
dia berhak bicara!“ kata Cam-kauw Sin-kai.
Terpaksa Bu Kek Siansu berlari ke tengah lapangan dan dengan
kedua tangan diangkat ke atas ia berseru mengerahkan
lweekangnya.
“Cuwa-enghiong, bukan begitu caranya membereskan perkara.
Andaikata benar Wan Sin Hong seorang penjahat keji yang harus
dibasmi, akan tetapi pada saat ini dia adalah calon bengcu yang di
pilih oleh Cam-kauw Sin-kai. Oleh karena itu, dia berhak bicara
sebagai calon bengcu untuk membela diri“
Keadaan menjadi reda dan Wan Sin Hong menjura kepada Bu
Kek Siansu selaku ucapan terima kasih. Akan tetapi Bu Kek Siansu
tidak mempedulikan, bahkan lalu meninggalkan tempat itu. Wan Sin
Hong tidak merasa sakit hati karena maklum bahwa kakek Ketua
Bu-tong- pai itu tentu masih menganggap ia seorang penjahat
besar. Ta tersenyum pahit, kemudian ia memandang kepada Liok
Kong Ji dengan sinar mata menyala nyala. Lalu disapunya semua
hadirin dengan pandang matanya sebelum ia bicara. Suaranya
tenang dan lantang.
842
“Cuwi-enghiong yang mulia. Memang benar bahwa aku adalah
Wan Sin Hong dan aku mengaku pula bahwa selama beberapa
bulan ini, di dunia muncul seorang penjahat yang melakukan segala
macam perbuatan kotor dan keji dan penjahat itu mengaku
bernama Wan Sin Hong!”
“Sudah terang dosa-dosamu, penjahat besar, masih banyak
omong lagi?“ Kong Ji berteriak. “Manusia macam kau harus
dibunuh!”
Teriakan ini disambut oleh anak buahnya, “Bunuh...! Bikin
mampus penjahat Wan Sin Hong!“
Sin Hong tersenyum dan mengangkat kedua tangannya.
“Pernahkah di antara para hadirin melihat sendiri penjahat ini?
Bukankah aneh sekali bahwa setiap kali penjahat itu melakukan
kejahatannya ia sengaja meninggalkan nama Wan Sin Hong tanpa
berani memperlihatkan mukanya? Di antara yang hadir, tadinya ada
dua saksi yang pernah bertemu muka dengan penjahat itu, yang
pertama adalah Nona Cun Eng anggauta Hui-eng- pai. Sayang dia
sudah membunuh diri karena tidak tidak tahan mendengar
penghinaan yang diucapkan oleh seorang yang hadir di sini“ Setelah
berkata demikian Sin Hong menatap wajah Kong Ji dengan tajam.
Akan tetapi Kong Ji hanya menyeringai dan membalas
pandangan dengan penuh ejekan. “Orang ke dua adalah Nona Gak
Soan Li murid dari pendekar besar Hwa I Enghiong. Akan tetapi
sayang Nona Gak Soan Li juga sudah turun gunung, sama saja
halnya, tidak tahan mendengar kata-kata yang keluar dari mulut
busuk seorang yang hadir di sini!“
“Bohong...! Penjahat Wan Sin Hong mencari alasan kosong
untuk membersihkan diri. Serbu dan bunuh saja!“ Kong Ji berteriak.
Sin Hong mengangkat tangan. “Tahan...!“ Orang-orang yang
tadinya sudah siap menyerbu, tertegun karena suara itu
mengandung pengaruh yang luar biasa sehingga Ciang Le sendiri
diam-diam terkejut sekali. “Semua keributan dipelopori oleh Liok
Kong Ji. Eh, Kong Ji, apakah kau sekarang sudah menjadi seorang
pengecut besar? Kalau kau memang berani, tunggulah, nanti akan
tiba saatnya kita berhadapan satu sama lain tanpa tangan kaki843
tanganmu! Cuwi enghiong, aku adalah seorang calon bengcu, aku
berhak memberi keterangan sejelasnya!” Keadaan menjadi tenang
kembali dan pada wajah Kong Ji terbayang kecemasan.
”Aku ulangi lagi, kalau saja Nona Gak Soan Li tidak terpengaruh
oleh racun berbahaya, tentu dia akan menjadi saksi utama akan
kebinatangan seorang yang selalu menggunakan nama Wan Sin
Hong untuk mengelabuhi mata orang lain dan sekalian untuk
merusak namaku. Kalau saja Nona Soan Li berada di sini, kiranya
aku akan dapat mencoba menyembuhkannya agar ia dapat
membuat pengakuan sejujurnya. Kalau sudah terjadi demikian,
dunia akan terbuka matanya dan akan mengalihkan pandangan
menuntut dari aku kepada orang itu!” Dengan telunjuknya Sin Hong
menuding ke arah Liok Kong Ji yang menjadi pucat sekali.
”Bohong! Omong kosong!” katanya gagap.
Giok Seng Cu tampil ke depan. ”Wan Sin Hong, bisa saja kau
mempengaruhi orang-orang di sini dengan lidahmu yang berbisa.
Aku sendiri menjadi saksi dan mau bersumpah bahwa aku pernah
melihatmu bersama Nona Gak Soan Li. Kau hendak menggunakan
Nona itu sebagai saksi? Ha, ha, ha, tentu saja akan membelamu.
Pernah aku melihatmu betapa engkau memijat-mijat kedua
pahanya. Ha, ha, ha, aku masih merasa muak dan malu sekali kalau
teringat akan pemandangan itu!”
Hui Lian dan Bi Lan mengeluarkan suara tertahan. Sebagai
wanita-wanita sopan mereka merasa tertusuk sekali mendengar
kata-kata ini. Sebaliknya, Li Hwa hanya memandang kepada Wan
Sin Hong saja, penuh perhatian karena hendak melihat bagaimana
pemuda itu membela diri terhadap tuduhan yang amat memalukan
ini.
Akan tetapi Wan Sin Hong hanya tersenyum, tetap tenang.
Hanya suaranya saja terdengar menggeledek ketika menjawab.
“Giok Seng Cu, setelah menjadi anjing dari Liok Kong Ji, kau
ternyata pandai sekali bicara. Di waktu aku masih kecil kau mencoba
membunuhku di puncak Luliang-san. Kemudian ketika kau bertemu
dengan Nona Gak Soan Li kau telah memukul kedua pahanya
dengan pukulan Tin-san-kang sehingga dua paha nona itu remuk
844
tulang-tulangnya. Baiknya aku keburu datang dan menolong
mengobati kedua pahanya yang kau katakan memijit-mijit itu.
Hemm, semua orang yang mengerti ilmu pengobatan tentu akan
tahu bahwa menyambung tuang patah masih mudah, akan tetapi
membenarkan tulang-tulang yang remuk akibat pukulanmu tidaklah
mudah. Aku memijit-mijit pahanya untuk mengobati, apakah
salahnya? Kemudian kau pula menculiknya dan tentu kau telah
bersekongkol dengan Liok Kong Ji. Kau ini orang tua yang sudah
bejat batinmu, sungguh memalukan sekali kalau mendiang Pak
Hong Siansu mendengar tentang sifat pengecut dari muridnya.“
Belum habis Sin Hong bicara, Giok Seng Cu sudah mengeluarkan
suara geraman seperti singa dan tiba-tiba ia menerkam dengan
pukulan Tin-san-kang kearah dada Sin Hong. Pemuda ini tidak
berkisar dari tempatnya melainkan menggerakkan kedua tangan
yang kiri dari atas yang kanan dari bawah.
Aneh sekali, hawa pukulan Tin-san-kang yang biasanya
membunuh orang dari jauh tanpa tangan yang memukul menyentuh
kulit, kini musnah kekuatannya bahkan nampak kakek itu seperti
dibetot ke depan dan tahu-tahu lehernya telah dicekal oleh tangan
kiri Sin Hong dan tangan kanan pemuda itu sudah memegang ikat
pinggangnya. Kemudian dengan gerakan yang luar biasa cepatnya,
tanpa menggerakkan kedua kaki, tubuh kakek itu sudah diangkat ke
atas dibanting ke bawah.
“Brukkk...!“ Saking kerasnya bantingan dan saking kuatnya
tubuh Giok Seng Cu, tubuh bagian bawah dari kaki sampai ke paha
amblas ke dalam tanah!
Wan Sin Hong tersenyum. “Itu tadi adalah pukulan Tin-san-kang
yang sudah mematahkan kedua paha Nona Gak Soan Li. Dan
beginilah nasib orang jahat, Giok Seng Cu, aku masih belum begitu
tega untuk menewaskanmu, mengingat bahwa kau masih terhitung
murid keponakan dari Suhu Pak Kek Siansu. Pergilah!”
Kembali tangan kiri pemuda itu bergerak dan tahu-tahu tubuh
Giok Seng Cu telah “tercabut“ dari tanah dan kini dilemparkan ke
arah Liok Kong Ji. Kong Ji menerima tubuh Giok Seng Cu yang
pingsan dan sekali melihat ia tahu bahwa kakek itu telah patah
845
kedua tulang kakinya! Wan Sin Hong kembali bicara kepada orang
banyak seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu.
’’Setelah berbulan-bulan melakukan penyelidikan dengan susah
payah, bahkan telah mengalami usaha-usaha membunuhku yang
dilakukan oleh penjahat yang merusak namaku, di antaranya aku
dicoba untuk dikubur hidup- hidup di lereng gunung Luliang-san,
akhirnya berhasil jugalah usahaku dan ternyata bahwa iblis jahat
yang selama ini merusak namaku bukan lain adalah Liok Kong Ji!“
“Jahanam bermulut jahat!“ Kong Ji membentak dan di lain saat
pedang Pak kek Sin-kiam sudah berada di tangannya. Akan tetapi ia
didahului oleh Bu Kek Siansu yang diiringi oleh Leng Hoat Taisu
ketua Thian-san-pai dan Tai Wi Siansu ketua Kun-lun-pai yang kini
sudah dapat memulihkan kekuatannya. Tadi Tai Wi Siansu telah
terluka hebat oleh Kong Ji, akan tetapi berkat obat dari Kun-lun-pai
dan tenaga lweekangnya yang tinggi, biarpun lukanya belum
sembuh betul, akan tetapi tenaganya sudah pulih. Kini mendengar
ucapan Wan Sin Hong, tiga orang tua tokoh besar kang-ouw ini
cepat datang karena menganggap keterangan itu amat penting dan
perlu dibuktikan kebenarannya.
“Wan Sin Hong bukti-bukti bahwa kau tidak berdosa belum ada,
mengapa kau bahkan menimpakan semua kesalahan kepada Liok
Kong Ji. Apakah bukti dari tuduhanmu ini,” tanya Tai Wi Siansu.
Pertanyaan ini kalau didengar begitu saja seakan-akan Tai Wi
Siansu membela Liok Kong Ji. Akan tetupi sebetulnya dia dan dua
orang kawannya cepat bertindak untuk mencegah Kong Ji
menyerang Wan Sin Hong sebelum rahasia dibuka, dan untuk
memberi kesempatan kepada Sin Hong menjelaskan tuduhannya.
“Sam-wi Locianpwe, apakah Samwi masih belum tahu bahwa di
dalam permilihan bengcu ini pun, jahanam Kong Ji telah
mempergunakan siasat busuk? Apakah di sini terdapat tokoh-tokoh
semua partai? Apakah semua ketua partai belum hadir di samping
Sam wi Locianpwe?“
“Semua hadir, biarpun bukan ketuanya, akan tetapi partai-partai
lain mengirimkan wakil masing-masing.“
“Betulkah itu? Adakah wakil dari partai Teng-san-pai di sini?“
846
Kong Ji yang tidak mengira bahwa Sin Hong sudah tahu akan
pemalsuan wakil ini, berkata keras, “Tentu saja ada! Mereka inilah
wakilnya dengan membawa surat kuasa. Partai-partai besar,
termasuk Teng-san-pai telah memilihku!“ Kong Ji berkata demikian
untuk menjatuhkan Sin Hong atau untuk membuat pemuda itu
kecele.
Akan tetapi, Sin Hong bergerak cepat dan sekali berkelebat ia
telah dapat menangkap seorang di antara wakil-wakil Teng-san-pai
itu. Ta mengangkat orang itu tinggi-tinggi dan biarpun orang itu
hendak memukul, namun ia tidak bergeming di dalam cengkeraman
tangan kiri Sin Hong yang amat kuat.
“Samwi Locianpwe, lihatlah baik-baik. Dia ini bukan wakil dari
Teng-san-pai Wakil dari Teng-san-pai telah dibunuh di tengah
perjalanan, surat kuasanya dirampas dan diganti oleh anjing-anjing
ini. Semua ini tentu pekerjaan orang she Liok si iblis jahat!“
Mendengar ini, Kong Ji menjadi makin pucat dan diam-diam ia
telah memberi isyarat kepada anak buahnya untuk bersiap sedia
menyerbu. Adapun Tai Siansu dan kawan-kawannya menjadi kaget
setengah mati. Bu Kek Siansu merampas orang itu dari tangan Sin
Hong, membantingnya ke bawah lalu mengancamnya.
“Betulkah itu? Hayo kau mengaku terus terang sebelum
kuhancurkan kepalamu!“
Tiba-tiba orang itu menjerit dan roboh terguling dalam keadaan
tidak bernyawa lagi. Dia telah terkena pukulan Tin-san-kang dari
jauh yang dilakukan oleh Kong Ji.
Sin Hong tertawa. “Tentu orang lain tidak tahu bahwa kau yang
membunuhnya, akan tetapi aku tahu bahwa orang itu terbunuh oleh
pukulan Tin-san-kang, pukulan yang telah meremukkan tulang paha
Nona Soan Li, yang sudah melukai Tai Wi Siansu Locianpwe!“
Tai Wi Siansu kaget sekali akan ketajaman mata Sin Hong yang
sekali pandang saja sudah tahu bahwa ia terluka oleh Pukulan Tinsan-
kang. “Sam-wi sekarang tentu tahu dan dapat menduga bahwa
partai-partai lain yang menyokong Kong Ji, bukanlah wakil-wakil
yang sesungguhnya, melainkan orang-orang palsu yang merampas
surat kuasa!“
847
Semua orang kini memandang kepada Kong Ji. Pemuda ini
membusungkan dada dan berkata lantang, “Kalian orang-orang
bodoh, mudah saja ditipu oleh penjahat besar Wan Sin Hong. Mana
buktinya semua tuduhannya kepadaku itu. Kalau aku yang menjadi
penjahatnya, apa buktinya dan siapa saksinya? Kalau dia sudah
banyak bukti perbuatannya yang terkutuk. Apakah kalian buta dan
tidak dapat melihat bahwa hal itu menipu?”
Tai Wi Siansu, Bu Kek Siansu, Leng Hoat Taisu adalah tokohtokoh
besar yang tidak mau bertindak sembarangan dan tidak mau
mereka begitu saja percaya kepada Sin Hong. Teringat akan
pertemuan mereka dahulu dengan Sin Hong, Tai Wi Siansu berkata
pada pemuda ini.
“Wan Sin Hong, tentang keadaan Liok Kong Ji bisa kami selidiki
nanti, akan tetapi tentang kau sendiri yang hendak membebaskan
diri dari tuduhan. Apa jawabanmu tentang gadis yang mengaku
telah kau ganggu dan yang dahulu membunuh diri dengan
melempar diri ke dalam jurang?“
Sin Hong tersenyum. “Bagus, Tai Wi Siansu, memang segala apa
harus secara terang-terangan, adil dan tidak berat sebelah. Tentang
itu tentu saja aku sudah menyelidiki dan ketahuilah bahwa aku
dapat membongkar rahasia ini, sebagian adalah karena gadis itu.
Aku sudah bertemu dengan dia dan sebentar Samwi ini semua
Enghiong yang berada di sini akan mendengar sendiri keterangan
dari mulutnya.“
Kong Ji terkejut bukan main dan pada saat itu terdengar pekik
yang nyaring pekik yang sudah didengar oleh semua orang yang
berada di situ, yakni pekik seperti suara burung garuda, tanda dari
Hui-eng-pai. Mendengar pekik ini dari lereng gunung, Siok Li Hwa
lalu membalas dengan pekiknya yang lebih nyaring dan gadis ini lalu
berlari cepat sekali. Sin Hong mengerutkan kening dan setelah
berpikir sejenak ia berkata,
“Sam-wi Locianpwe, aku harus pergi sebentar!“ Baru saja katakatanya
habis diucapkan, tubuhnya sudah berkelebat lenyap
menyusul Li Hwa.
848
Ternyata bahwa yang mengeluarkan pekik tadi adalah para
anggauta Hui-eng-pai yang sedang bertanding melawan para
pengawal pribadi Pangeran Wanyen Ci Lun. Melihat betapa seorang
gadis pucat yang cantik dan cepat gerakannya, telah memondong
dan melarikan Wanyen Ci Lun dan mereka sendiri tidak berdaya,
mengejar, para gadis Hui-eng-pai ini lalu memberi tanda kepada
ketua mereka.
Sebaliknya, para pengawal pangeran itu mengira bahwa gadis
cantik yang melarikan Pangeran Wanyen Ci Lun adalah kawan dari
para gadis yang bertempur dengan mereka maka mereka terus
mendesak dan menyerang dengan hebat. Para gadis Hui eng-pai itu
benar-benar lihai karena sebentar saja sudah ada beberapa orang
lawan yang roboh terkena pedang. Akan tetapi mereka terdesak dan
terkurung karena kalah banyak.
Ketika Li Hwa tiba di situ, ia masih marah sekali melihat anak
buahnya dikeroyok. Sekali pedang hijau berkelebat, robohlah dua
orang pengawal. Li Hwa hendak mengamuk terus, tiba-tiba lengan
kanannya ada yang memegang dan terdengar suara Sin Hong,
“Nona, perlahan dulu. Lebih baik kita kita selidiki siapa mereka
ini.“
Li Hwa mencoba untuk mengerahkan tenaga, meronta dan
melepaskan lengannya, akan tetapi sia-sia saja sehingga diam-diam
ia kagum bukan main akan kelihaian pemuda ini. Adapun Sin Hong
setelah melepaskan lengan Li Hwa, lalu menghadapi orang-orang itu
yang kini berdiri bengong dan memandangnya seperti orang melihat
setan. Bagaimana mereka tidak terheran-heran kalau kini tiba-tiba
saja melihat Pangeran Wanyen Ci Lun yang tadi terluka dan dibawa
lari gadis pucat itu kini tiba-tiba sudah berdiri di hadapan mereka
dengan pakaian berbeda? Melihat betapa pangeran ini mempunyai
hubungan baik dengan para gadis cantik, para pengawal menjadi
ketakutan, takut kalau dimarahi karena penyerangan mereka tadi.
Maka cepat-cepat mereka lalu menjatuhkan diri berlutut dan
seorang di antara mereka berkata,
“Siauw-ong-ya mohon ampun atas kelancangan hamba sekallan
karena sesungguhnya hamba tadi melihat Siauw-ongya terluka...
hamba kira Siauw-ong-ya perlu bantuan....“
849
Sin Hong bertukar pandang dengar Li Hwa dan pemuda itu
menarik napas, “Sudah nasibku selalu ditukar dengan lain orang...“
Kemudian dengan gemas membentak orang-orang itu.
“Cukup ini semua! Aku bukan Pangeran Wanyen Ci Lun!“ Para
pengawal terkejut dan seorang demi seorang berdiri. Setelah
memandang tegas, baru mereka melihat perbedaan antara majikan
mereka dengan pemuda ini.
“Kau... kau siapa?“ tanya seorang pemimpin mereka.
“Aku siapa bukan soal,“ jawab Sin Hong, “yang penting sekali,
Pangeran Wanyen Ci Lun tadi terluka dan dijaga oleh Nona-nona ini.
Mengapa kalian datang menyerbu? Kalian ini siapa?“
“Kami adalah pengawal-pengawal pribadi Pangeran Wanyen,
dan kami kira bahwa dia tadi....“
“Celaka, kalian ceroboh sekali! Dimana Pangeran Wanyen Ci Lun
sekarang?“
Dengan suara riuh para gadis dan para pengawal itu menuturkan
bagaimana seorang gadis cantik yang berwajah pucat membawa lari
pangeran itu. Seorang di antara gadis Hui-eng-pai berkata kepada
ketuanya.
“Kami sedang sibuk mengalami pengeoyokan orang-orang tolol
ini, maka tidak sempat memperhatikan dan tidak sempat melihat
siapa adanya gadis yang membawa lari pangeran itu.“
“Sudahlah, kita selidiki hal itu nanti,“ kata Sin Hong, “Kalian para
pengawal boleh mencoba untuk mengejar dan mencari majikan
kalian di sekitar gunung ini. Kami hendak kembali ke puncak.“
Setelah berkata demikian, Sin Hong meagajak Li Hwa dan anak
buahnya kembali ke puncak di mana orang-orang sedang
menantinya.
Orang-orang yang berada di puncak Gunung Ngo-heng- san
sudah ramai membicarakan tentang munculnya Wan Sin Hong.
Keadaan sekarang jauh berbeda dengan tadi, kini penuh
ketegangan. Tanpa diketahui oleh orang-orang lain, secara diamdiam
Liok Kong Ji sudah berunding dengan kawan-kawannya dan
mengatur siasat. Gentar juga hati pemuda yang biasanya tabah dan
850
penuh akal ini, terutama sekali karena melihat pembantunya yang
paling boleh diandalkan, yakni Giok Seng Cu, sudah tak berdaya
sama sekali. Juga See-thian Tok-ong yang tadinya diharapkan untuk
menjadi kawan dan pembantu, kini sudah bersila dalam keadaan
terluka oleh tendangan Hwa T Enghiong Go Ciang Le tadi.
Akan tetapi Kong Ji berbesar hati. Pembantu-pembantunya
banyak sekali jumlahnya, merupakan pasukan-pasukan besar yang
akan membelanya dengan setia. Apalagi semua tuduhan Wan Sin
Hong tadi tak dapat dibuktikan sama sekali. Ia takut apakah? Katakata
Sin Hong tadi seakan-akan membayangkan bahwa Sin Hong
sudah bertemu dengan Nalumei. Tak mungkin, pikirnya. Bukankah
Nalumei sedang ke utara dan mungkin waktu ini sudah berada di
sekitar Ngo-heng-san bersama pasukannya?
Dia dahulu menyuruh Nalumei kembali ke utara dengan alasan
mengumpulkan pasukan untuk membantunya, sebetulnya hanya
mengandung maksud untuk menyingkirkan Nalumei saja.
Nalumei sudah cukup membantunya, bahkan Nalumei sekarang
merupakan bahaya karena pernah menjadi saksi atas semua
perbuatannya, di samping ini, sekarang Nalumei mulai rewel dan
sering cemburu. Lebih-lebih lagi, karena ia memang sudah bosan
dan jemu dekat dengan wanita suku bangsa Naiman itu. Ia
mengirim Nalumei ke utara seperti menyuruh kelinci memasuki
hutan sarang harimau karena ia maklum bahwa di utara, pengaruh
dan kekuasaan Temu Cin sudah demikian meluas sehingga tak
mungkin lagi Nalumei dapat mencari sisa suku bangsanya yang
tidak takluk kepada Temu Cin. Andaikata benar Sin Hong telah
bertemu dengan wanita itu, tak mungkin Nalumei mau
mengkhianatinya, demikian pikir Kong Ji.
Akan tetapi, semangatnya sudah terbang rasanya ketika ia
melihat Sin Hong muncul lagi bersama Li Hwa dan anak buah Huieng-
pai dan di sebelah kiri Sin Hong berjalan seorang perempuan
cantik yang pakalannya menunjukkan bahwa dia itu bukanlah
seorang wanita Han.
“Nalumei...!“ Kong Ji berseru perlahan demi melihat wanita ini
dan wajahnya berubah pucat.
851
Sin Hong tersenyum dan menghadap Tai Wi Siansu dan tokoh
lain.
“Tai Wi Siansu, kenalkah Locianpwe kepada wanita ini?“ Tentu
saja tokoh-tokoh besar yang berada di situ mengenalnya, yakni
mereka yang dahulu mendengar pengakuan nona ini dan kemudian
melihat sendiri betapa gadis itu membuang diri ke dalam jurang.
Akan tetapt bagaimana gadis ini masih hidup dan berpakaian seperti
orang asing?
“Bukankah dia ini nona yang dulu menuduhmu, kemudian
membuang diri ke dalam jurang?“ kata Tat Wi Siansu.
Hui Lian yang melihat gadis itu pun berbisik kepada ibunya.
“Ibu gadis itulah yang dulu kulihat diserang dan dikejar oleh
Wan Sin Hong dan aku bersama Tang Hwesio membantunya
sehingga ia dapat melarikan diri“ Gadis ini benar-benar merasa
heran dan ingin sekali melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Benar, Loctanpwe, dia inilah nona yang dulu membuang diri
dan nona ini pula yang bernama Nona Nalumei, puteri kepala suku
bangsa Naiman di utara yang telah menjadi korban Liok Kong Ji,
kemudian bahkan dipergunakan untuk membantunya dalam siasat
memburukkan namaku.“
Kong Ji melangkah maju, memandang kepada Nalumei dengan
mata tajam lalu berkata, “Nalumei apakah yang telah dilakukan oleh
penjahat Wan Sin Hong ini kepadamu?“
Kong Ji sama sekali tidak tahu bahwa telah terjadi perubahan
hebat dalam pikiran Nalumei. Seperti telah diceritakan di bagian
depan, nona ini menuju ke utara untuk mengumpulkan pasukan
seperti yang diminta oleh Kong Ji. Akan tetapi setelah tiba di utara,
ia melihat bahwa semua suku bangsanya telah menjadi pembantu
setia dari Temu Cin. Bahkan Nalumei bertemu dengan pamanpamannya,
dan dengan seorang pemuda Naiman bekas kekasihnya
sebelum menjadi kekasih paksaan dari Kong Ji, dan oleh mereka
inilah Nalumei dicuci otaknya. Baru ia merasa betapa ia selama ini
menjadi permainan Kong Ji, bahwa sebetulnya Kong Ji adalah
seorang manusia berhati iblis yang amat keji.
852
Mendengar penuturan Nalumei tentu semua pengalamannya
dengan terus terang, paman paman dan bekas kekasih Nalumei,
juga suku bangsanya, menjadi kecewa dan memandang rendah
bekas puteri kepala ini. Bahkan paman-paman Nalumei mengusir
gadis yang mereka anggap telah mengotori nama baik bangsa
Naiman sebagai bangsa yang gagah berani.
Dengan hati hancur Nalumei kembali ke selatan tanpa membawa
seorang pun kawan. Timbul marah dan sakit hatinya, kepada Kong
Ji, apalagi kalau ia teringat akan kebiadaban Kong Ji terhadap gadisgadis
lain seperti Gak Soan Li dan banyak lagi gadis muda yang
menjadi korbannya. Ia akan ke Ngo-heng-san sesuai dengan
kehendak dan pesan Kong Ji, akan tetapi sama sekali bukan untuk
membantunya, melainkan untuk membalas dendam untuk
membunuhnya!
Kebetulan sekali, ketika ia tiba dekat Gunung Ngo-heng san, ia
bertemu dengan Wan Sin Hong. Pemuda ini cepat memegang
pergelangan lengannya, dan berbeda dengan dahulu, Nalumei tidak
melawan, tidak memberontak, bahkan tersenyum duka sambil
berkata,
”Wan Sin Hong, aku memang sudah berdosa terhadapmu. Akan
tetapi kau dan aku ini hanya menjadi korban orang lain. Kau lihai,
kalau kau sakit hati terhadap aku bunuhlah, aku tidak penasaran.
Hanya aku tidak akan mati meram sebelum dapat membelek dada
iblis Liok Kong Ji” Setelah berkata demikian Nalumei menangis
terisak-isak. Sin Hong melepaskan pegangannya dan dari gadis ini ia
mendengar semua rahasia tentang cara-cara Kong Ji merusak
namanya.
Gadis itu mengaku pula betapa atas perintah Kong Ji, ia pernah
mengadakan pengakuan palsu di hadapan para tokoh kang-ouw
bahwa ia telah menjadi korban kekejian penjahat Wan Sin Hong.
Kemudian, atas siasat yang diatur oleh Kong Ji pula, ia melompat
dan melempar diri dari atas jurang. Tentu saja ia tidak menghadapi
bahaya karena di bawah telah menanti Kong Ji yang siap
membantunya. Inilah sebabnya maka Sin Hong tidak dapat
menemukan gadis itu di bawah jurang.
853
Sin Hong berterima kasih sekali dan berjanji akan membawa
Nalumei ke atas puncak setelah selesai urusannya dengan Kong Ji.
Ketika ia kembali ke puncak bersama Li Hwa, ia sengaja menjemput
Nalumei yang dibuat tak berdaya oleh sikap lemah lembut pemuda
ini, dan bersama gadis Naiman itu ia kembali ke puncak seperti
telah dituturkan di bagian depan.
Nalumei mengangkat muka memandang kepada Kong Ji dengan
mata penuh kebencian, kemudian ia mengangkat dada
mengumpulkan keberanian dan menghadapi Tat Wi Siansu dan
yang lain-lain sambil berkata nyaring.
‘Tidak salah apa yang dikatakan oleh Wan Sin Hong. Semua
perbuatan keji yang selama ini dilakukan atas nama Wan Sin Hong,
sebetulnya adalah perbuatan jahanam Liok Kong Ji yang
mengunakan nama Wan Sin Hong!”
“Bohong’ Nalumei, kau sudah gila....“ Kong Ji berseru marah dan
heran sambil melangkah maju.
“Memang aku telah gila semenjak aku percaya omonganmu. Aku
lebih dari gila, mempercayai seorang iblis seperti engkau dan
meninggalkan suku bangsaku. Kau keji dan buas menyuruh aku
pura-pura membuat pengakuan telah diperkosa oleh Wan Sin Hong,
padahal kau sendiri yang merusak hidupku! Biarpun aku tidak
menyaksikan sendiri apa yang kau perbuat terhadap diri Gak Soan Li
dan banyak pula gadis lain, aku dapat menduganya kau... kau...
jahanam....“ Setelah berkata demikian tiba-tiba Nalumei melompat
dan menerkam Kong Ji dalam usahanya menyerang hebat.
Sin Hong kaget sekali, namun ia terlambat. Ia sama sekali tidak
mengira bahwa Nalumei akan melakukan serangan nekad. Sejak
tadi hanya memperhatikan Kong Ji, sehingga kalau andaikata Kong
Ji menyerang Nalumei biar secara menggelap sekalipun, pasti Sin
Hong akan melihatnya dan dapat melindungi Nalumei. Akan tetapi
sekarang terjadi sebaliknya daripada yang ia khawatirkan, bukan
Kong Ji menyerang Nalumei, bahkan gadis bangsa Naiman itu yang
menyerang Kong Ji. Ia menjadi tertegun sejenak, dan waktu yang
amat singkat ini sudah cukup bagi Kong Ji untuk bertindak. Pedang
Pak-kek Sin-kiam berkelebat dan Nalumei menjerit roboh dengan
854
mandi darah yang mengucur keluar dari dadanya yang tadi
ditembus pedang Pak kek Sin-kiam’
Tai Wi Siansu dan tokoh-tokoh lain menjadi marah sekali. Mereka
sudah siap menyerbu pemuda iblis itu, akan tetapi Sin Hong
mendahului mereka sambil berseru.“Cuwi Locianpwe, serahkan saja
jahanam ini kepadaku!“ Dengan gerakan lincah Sin Hong sudah
melompat dan menghadapi Kong Ji dengan pedang di tangan. Dua
orang pemuda ini, sekarang berhadapan satu lawan satu. Kong Ji
memandang penuh kebencian kepada Sin Hong, sebaliknya Sin
Hong hanya tersenyum mengejek. Kong Ji marah bukan main,
sepasang matanya mengeluarkan cahaya berapi-api, giginya
berkerot-kerot. Dalam diri Kong Ji ia melihat seorang musuh besar
yang menjadi penghalang cita-citanya, maka kini nafsu membunuh
memenuhi dadanya.
“Sin Hong....“ dengusnya dengan suara mendesis melalui celah
bibirnya, “Alangkah bencinya melihatmu... lihat, sebentar lagi akan
kupenggal lehermu, kuminum darahmu, kucincang hancur
tubuhmu!“
“Kong Ji semenjak kecil kau sudah jahat, sekarang kau menjadi
iblis. Sudah menjadi tugasku membasmi seorang iblis jahat.”
Dengan mata marah Kong Ji menyapu para tokoh kang- ouw
yang kiranya tidak akan membantunya, lalu berkata suaranya
menyeramkan.
“Aku Tung-nam Tai bengcu Liok Kong Ji, sekarang sebagai calon
bengcu besar hendak mengadu kepandaian dengan seorang calon
lain, siapakah ada maksud hendak mengeroyokku? Awas, kalau ada
yang membantu lawanku secara sembunyi aku pun mempunyai
banyak sekali kawan berkumpul di sini yang akan sanggup
membasmi kalian!“
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid XXXI
KINI semua orang tersenyum mengejek mendengar kata-kata ini
bahkan Hui-eng Niocu Siok Li Hwa berkata setelah tertawa nyaring.
855
”Wan Sin Hong, jangan bunuh dia dulu, biarkan aku yang
membunuhnya! Atau, kalau kau bunuh juga, jangan diganggu
lehernya ingin aku memenggal batang lehernya dan mengambil
kepalanya untuk menyembahyangi roh dari Cun Eng!”
Sin Hong tersenyum, lalu menantang. “Kong Ji, sudah cukupkah
kau mengobrol ?”
Kong Ji tidak menanti sampai Sin Hong menghabiskan kata
katanya. Cepat sekali dia menyerang dengan Pak-kek Sin-kiam yang
diputar cepat dan beberapa serangan secara bertubi-tubi telah
menyambar ke arah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dari Sin
Hong. Sin Hong maklum bahwa ilmu silat dari Kong Ji memang amat
lihai ditambah lagi dengan Pak-kek Sin-kiam di tangan, pemuda itu
merupakan lawan yang amat berbahaya. Cepat ia mengelak dan di
lain saat dua orang pemuda itu sudah bertempur hebat. Kong Ji
berlaku nekad, mendesak terus sambil mengeluarkan segala
kepandaiannya. Tidak hanya pedang pusaka Pak-kek Sin-kiam yang
menyambar-nyambar sebagai tangan maut, juga tangan kirinya
tiada hentinya mengirim pukulan Tin-san-kang sehingga debu
berhamburan terkena sambaran hawa pukulan yang dahsyat ini.
Di lain pihak, Sin Hong dapat mengimbangi kecepatan Kong Ji
dan tidak terdesak oleh lawannya. Akan tetapi tidak berani mengadu
pedang, karena maklum bahwa betapapun baik pedangnya takkan
kuat bertahan menghadapi ketajaman dan keampuhan Pak-kek Sin
kiam. Ia selalu mempergunakan kehebatan ilmu pedangnya untuk
menghindarkan bertemunya kedua pedang, dan berusaha untuk
merobohkan Kong Ji dengan serangan balasan. Namun ternyata
bahwa Kong Ji juga bertempur amat hati-hati. Pemuda ini maklum
akan kehebatan yang biarpun hanya memegang pedang biasa,
namun sekali terkena serangan Sin Hong berarti ia akan kalah.
Oleh karena itu, ia tidak berani memandang rendah dan berkelahi
penuh perhatian dan amat teliti menjaga diri sehingga tiap kali
pedang Sin Hong berkelebat membalas serangannya, ia sudah siap
untuk membabat pedang lawan itu. Tentu saja setiap kali Sin Hong
menarik kembali serangannya, karena kalau dilanjutkan ada bahaya
pedangnya terbabat putus.
856
Seratus kurus lebih telah lewat dan pertempuran ini menjadi
makin seru. Semua orang dari kedua pihak menonton dengan hati
berdebar. Beberapa kali terdengar Hui-eng Niocu Siok Li Hwa
mencela Sin Hong sebagai seorang “terlalu sabar”, terlalu mengalah
dan sebagainya.
Tentu saja nona ini berpendapat demikian karena dia sendiri
memiliki pedang pusaka Cheng-liong kiam yang tidak takut
menghadapi Pak-kek Sin-kiam. Akan tetapi Ciang Le berpendapat
lain. Pendekar besar ini maklum mengapa Sin Hong seakan-akan
mengalah dalam pertempuran itu, akan tetapi diam-diam ia harus
mengakui bahwa Kong Ji lihai bukan main dan merupakan lawan
yang sulit dikalahkan.
Tiba-tiba terdengar suara keras disusul oleh suara ketawa
menyeramkan dari Liok Kong Ji. Gerakan dua orang muda itu terlalu
cepat hingga amat sukar diikuti oleh pandangan mata. Ketika semua
orang memperhatikan, ternyata bahwa pedang di tangan Sin Hong
tinggal gagangnya saja, pedang itu sendiri sudah terbabat putus
oleh Pak kek Sin-kiam yang ampuh dan tajam!
“Ha, ha, ha, Wan Sin Hong! Bersiaplah kau untuk menjadi setan
neraka. Ha, ha, ha!“ Kong Ji tertawa bergelak dan pedangnya kini
makin cepat menyambar dengan serangan bertubi-tubi sehingga Sin
Hong terpaksa harus melompat ke sana ke mari untuk
menghindarkan diri dari pedang yang tajam itu.
Sementara itu, Siok Li Hwa Ketua Hui-eng pai membantingbanting
kakinya, mencabut Cheng-liong-kiam, menggerak-gerakkan
pedangnya itu sambil berseru. “Wan Sin Hong! Kalau kau tidak bisa
bertempur, mundurlah, biar aku menghadapi Siauw-koai (Setan
Cilik) itu!“
Sin Hong kelihatannya gugup dan bingung menghadapi desakan
pedang Pak kek Sin-kiam, gerakannya kacau balau dan ia melompat
ke sana ke mari tanpa berdaya membalas. Selalu terancam oleh
sinar pedang. Akan tetapi ia masih sempat menjawab. “Biarlah Huieng
Niocu, aku masih penasaran!“
Kong Ji tertawa lagi, pedangnya digerak-gerakkan seperti
seorang dewasa mengancam dan menakut-nakuti seorang anak
857
kecil, sikapnya memandang rendah sekali. Kemudian ia menoleh ke
arah Siok Li Hwa.
“Hui-eng Niocu, Nona manis. Kau bersabarlah. Biar aku
menyembelih anjing kurus ini dulu, nanti kita bermain-main
sepuasnya ha, ha, ha!“
Li Hwa mendongkol dun gemas seperti cacing terkena abu panas.
Ta membanting-banting kaki, menyabet-nyabetkan pedang di
tengah udara sambil memaki-maki Sin Hong sebagai seorang tolol,
bodoh dan tidak tahu bagaimana harus berkelahi. Sebaliknya
memaki-maki Kong Ji sebagai seorang sombong, kepala batu,
menjemukan dan lain-lain. tentu saja dua orang muda yang sedang
bertempur mati-matian itu tidak
menghiraukannya.
Tidak seorang pun tahu, juga
Kong Ji sendiri tidak, bahwa Sin
Hong telah mengatur siasat. Ta
maklum bahwa kepandaian Kong
Ji benar-benar lihai sekali,
ditambah dengan pedang Pakkek
Sin-kiam, kiranya tidak
mudah baginya untuk
merobohkannya. Apalagi kalau
Kong Ji bertempur demikian hatihati
menjaga dirinya dengan
pedang pusaka itu. Maka Sin
Hong lalu mencari akal. Ta harus
membikin besar hati Kong Ji,
menimbulkan kesombongan
lawan ini sehingga memandang rendah kepadanya. Hanya kalau dia
berhasil dalam hal ini baru Kong Ji akan kurang waspada, akan
kurang kuat penjagaannya dan hanya akan mengerahkan tenaga
dan perhatian dalam serangan-serangannya. Oleh karena itu,
dengan gerakan indah tidak kentara seakan-akan ia terdesak dan
tidak ada jalan lain untuk menghindarkan sebuah sabetan pedang
Kong Ji kecuali menangkis, ia lalu menangkis yang mengakibatkan
pedangnya terbabat putus. Gerakan ini sewajarnya, membuat Kong
Ji tertawa bergelak saking girangnya, dan membuat Ciang Le
858
mengerutkan keningnya. Biarpun pendekar ahli pedang ini sendiri
pun tidak tahu akan siasat Sin Hong dan mengira bahwa Sin Hong
memang kalah karena Kong Ji berpedang pusaka.
Memang siasat Sin Hong berhasil baik. Apalagi ketika ia
mengambil sikap bingung dan sengaja mengacaukan gerakannya
ketika ia mengelak dan berloncat-loncatan menghindarkan serangan
Kong Ji seakan-akan ia sudah terdesak betul-betul. Kong Ji makin
memandang rendah kepadanya. Kong Ji terlalu menyombongkan
kepandaian sendiri dan ia memastikan bahwa kali ini Sin Hong akan
mati di tangannya, maka ia memperhebat serangannya dan tak
lama kemudian ia telah mengeluarkan seluruh kepandaian
mengerahkan seluruh tenaga dan perhatian dalam menyerang Sin
Hong.
Inilah saat yang dinanti-nanti oleh Sin Hong setelah bertempur
selama seratus tiga puluh jurus lebih. Setelah yakin Bahwa seluruh
perhatian Kong Ji mulai ditujukan untuk menyerang, ia memanaskan
hati lawannya dengan cara berloncatan ke kanan kiri membuat
pedang lawan hanya menyerempet sedikit saja ujung bajunya. Kong
Ji gemas, berseru keras dan tiba-tiba sinar hitam meluncur ke arah
leher Sin Hong, disusul oleh pukulan Tin-san-kang dan dibarengi
dengan sebuah tusukan pedang ke arah lambung. Inilah serangan
tiga jurusan yang hebat bukan main. Sinar hitam itu adalah jarumjarum
Hek-tok-ciam yang dilepas oleh Kong Ji dalam saat Sin Hong
sudah amat terdesak.
Jarum-jarum Hek-tok-ciam itu sudah lihai, akan tetapi pukulan
tangan kirinya ke arah dada lebih berbahaya, karena pukulan Tinsan-
kang ini dapat menghancurkan isi dada Sin Hong. Akan tetapi
yang paling hebat adalah tusukan pedang itu, sebuah gerak tipu
dari Ilmu Pedang Pak-kek-sin-kiam-sut yang dicuri oleh Kong Ji dari
Ciang Le melalui tipuannya kepada Hui Lian.
Semua orang terkejut, juga Cia Le berdebar karena ia sendiri tak
dapat melihat jalan keluar dari tiga serangan sekaligus ini.
Akan tetapi Sin Hong tenang-tenang saja. Ia hendak mencari
keuntungan dari keadaan bahaya ini. Tanpa melepaskan
perhatiannya kepada kedua tangan lawan, ia hanya miringkan
kepala dan leher sedikit saja agar jalan darah di lehernya jangan
859
sampai terkena Hek-tok ciam. Akan tetapi tetap saja pundak dan
kulit lehernya tergores dua batang Hek tok-ciam yang amat berbisa
itu. Memang Sin Hong sengaja membiarkan dirinya terserang Hektok-
ciam agar tidak membuang waktu.
Pada saat yang sama, dua tangannya bergerak cepat, yang
kanan menyambut pukulan Tin-san-kang, yang kiri mencengkeram
pergelangan tangan kanan lawan yang memegang pedang. Gerakan
Sin Hong ini cepat bukan main dan dilakukan dengan pengorbanan
pundak dan leher jadi sasaran Hek-tok-ciam sehingga Kong Ji
menjadi lalai karena tidak menduga sebelumnya. Di lain saat, dua
pasang tangan telah bertemu.
Kong Ji kaget sekali dan ia mengerahkan seluruh tenaga sinkang
yang disalurkan pada dua lengannya untuk melukai lawan dan
terutama sekali untuk merampas kembali pedangnya. Namun,
alangkah kagetnya ketika ia merasa kedua pergelangan tangannya
seperti patah-patah, sakitnya terasa sampai di ulu hatinya. Akan
tetapi Kong Ji tetap berkeras, tidak mau melepaskan Pak-kek Sinkiam,
bahkan sekali lagi ia mengerahkan tenaga berbisa, yakni Hektok-
ciang.
Ia melihat wajah Sin Hong menjadi pucat dan lehernya
kehitaman akibat serangan jarum berbisa tadi, akan tetapi tenaga
yang keluar dari sepasang tangan Sin Hong makin besar saja. lnilah
kehebatan sinkang dalam tubuh Sin Hong yang dapat menampung
tenaga lawan dan mengembalikannya sebagai senjata makan tuan.
Adu tenaga ini memakan waktu lama sampai keduanya kelihatan
menggigil seluruh tubuhnya dan akhirnya Kong Ji tidak dapat
menahan lagi dan harus mengaku bahwa Sin Hong lebih unggul dari
padanya. Sambil mengeluarkan pekik mengerikan Kong Ji terlempar
tiga tombak ke belakang, jatuh berguling dan pedang Pak-kek Sinkiam
kini telah berada tangan Sin Hong!
Akan tetapi Sin Hong sendiri juga payah keadaannya karena
dalam pengerahan tenaga tadi, racun Hek-tok-ciam dari lehernya
menjalar ke bagian lain. Ta tidak mengejar Kong Ji, melainkan
cepat-cepat mengambil obat dari sakunya dan menelan beberapa
butir pel biru, kemudian dengan jarum perak ia menusuk beberapa
bagian jalan darah di leher dan pundaknya.
860
Barulah keadaannya tidak mengkhawatirkan dan ia memandang
ke arah Kong Ji yang sementara itu sudah bangun kembali.
Kong ji menyeringai, rambutnya awut-awutan, mukanya sebentar
pucat sebentar merah, matanya merah dan melotot akan tetapi
agak basah. Seperti anak kecil yang kehilangan barang
kesayangannya, ia hampir menangis dan marah- marah, kemudian
ia melompat lagi menghadapi Sin Hong, mengirim pukulan Tin-sankang
dengan tangan kanan dan pukulan Hek-tok-Ciang dengan
tangan kiri.
Akan tetapi dengan kebutan ujung lengan baju, kedua pukulan
ini dapat dipunahkan oleh Sin Hong dan sekali kaki Sin Hong
bergerak kembali tubuh Kong Ji melayang sampai empat tombak
jauhnya.
“Binasakan saja iblis itu'“ terdengar teriakan-teriakan dari pihak
yang pernah dirugikan oleh Kong Ji dengan menggunakan nama
Wan Sin Hong.
“Kong Ji, bersiaplah untuk mati oleh Pak-kek-sin-kiam!“ Sin Hong
berseru dan kini dia yang mengejar.
“Wan Sin Hong, biar aku yang menamatkan riwayatnya!“ dari
lain jurusan datang Li Hwa mengejar dengan pedang pusaka Cheng
liong-kiam di tangannya.
Dengan demikian dua orang mengejar dan seakan-akan
berlumba untuk membunuh Kong Ji.
Liok Kong Ji melihat datangnya dua orang yang sama-sama
lihainya itu dari kanan kiri dengan pedang-pedang pusaka di tangan,
timbul takutnya. Ia lalu melompat bangun dan berlari cepat
menghampiri Ciang Le yang berdiri, didampingi oleh Bi Lan, Hui
Lian, Lie Bu Tek, Coa Hong Kin dan Cam-kauw Sin-kai yang masih
bersila di atas tanah.
“Suhu... mohon pertolongan Suhu.. tolonglah nyawa teecu!“ ia
meratap dengan wajah pucat, takut setengah mati. Ciang Le merasa
muak perutnya menyaksikan sikap pengecut pemuda ini “Aku tidak
mempunyai murid macam kau!“ bentaknya marah.
861
“Suhu, lupakah kau bahwa tadi aku telah menyelamatkan nyawa
Sumoi Go Hui Lian?“ Suara Kong Ji makin ketakutan karena Sin
Hong dan Li Hwa sudah mengejar dekat.
“Apa kau bilang...?“ Ciang Le membentak lagi sambil
mengerutkan kening mukanya berubah marah.
“Suhu dan Subo, apakah kalian begitu tak kenal budi? Tidak mau
membayar kembali hutang nyawa anakmu?“ Kong Ji mendesak.
Ciang Le bergerak maju dan berhasil menangkis pedang di
tangan Sin Hong yang menyerang Kong Ji dari belakang. Di saat
berikutnya, Bi Lan juga memutar pedangnya menangkis serangan
pedang Li Hwa yang kalah dulu oleh Sin Hong.
“Kami membayar hutang nyawa. La rilah, lain kali kami akan
bantu membinasakan kau!“ Cing Le membentak kepada Kong Ji
yang sudah bersembunyi di belakangnya. Pemuda ini melihat
siasatnya berhasil, tidak mau menyia- nyiakan kesempatan itu terus
melarikan diri turun gunung dengan cepat sekali. Ta tidak takut
dikejar orang. Terhadap orang lain ia tidak usah takut, sedangkan
orang yang ia takuti, yakni Sin Hong dan Li Hwa, sudah dihadang
oleh Ciang Le dan Bi Lan.
Sin Hong marah sekali, demikian pula Li Hwa. “Kong Ji jangan
lari“ seru Sin Hong.
“Bangsat, kau hendak lari ke mana?” seru Li Hwa. Dua orang
muda ini hendak mengejar, akan tetapi Ciang Le da Bi Lan dengan
pedang di tangan menghadang mereka.
“Apa artinya ini? Apakah Suheng hendak melindungi iblis jahat
itu?“ tanya Sin Hong, sepasang matanya memandang tajam kepada
Ciang Le. Ciang Le tidak dapat menahan pandang mata pemuda ini,
teringat betapa ia dahulu pernah menghajar pemuda yang ternyata
tidak berdosa dan kini bahkan ia sendiri melindungi bekas muridnya
yang jahat dari kejaran Sin Hong.
“Untuk saat ini dia berada dalam perlindungan kami.“ jawab
Ciang Le tenang, “setelah ia pergi dari gunung ini, terserah kau mau
kejar dan bunuh dia.“
862
“Dia muridnya, tentu saja dilindungi!“ kata Li Hwa mengejek dan
gadis ini mempedulikan hadangan Bi Lan, sudah hendak lari
melanjutkan pengejaran. Juga Sin Hong mendengar ini hendak
melanjutkan pengejaran. Melihat ini Ciang Le menjadi bingung.
Apakah dan isterinya harus menyerang dua orang muda itu? Kalau
sampai terjadi demikian, dia akan ditertawai oleh seluruh orang
gagah di dunia ini. Sebaliknya kalau sampai dua orang muda ini
dibiarkan saja mengejar Kong Ji sampai tersusul lalu terbunuh di
daerah Ngo-heng-san berarti ia tidak dapat memegang janjinya
untuk membayar hutang nyawa kepada Kong Ji.
“Nanti dulu!” serunya dan tubuhnya sudah bergerak dan
menghadang. “Kalian berdua adalah calon-calon bengcu, demikian
pula aku. Karena sekarang calon-calon bengcu hanya tinggal kita
bertiga, aku tantang kalian untuk mengadu ilmu dan menentukan
siapa yang berhak menjadi bengcu “
Sin Hong yang cerdik maklum bahwa ini hanya alasan untuk
memberi waktu dan kesempatan kepada Kong Ji agar dapat
melarikan diri.
“Aku tidak ingin menjadi bengcu, kalau Suheng mau, silakan
menjadi bengcu, tak usah berpibu dengan aku.“ Kembali ia hendak
lari, akan tetapi tiba-tiba Ciang Le menyerangnya dan berkata. “Apa
kau menjadi takut karena harus melawanku? Pengecut, lihat
pedang!“
Bagi orang gagah, biar bagaimana sabar dan mengalah
sekalipun, sebutai “takut“ adalah pantangan besar dan merupakan
penghinaan, maka Sin Hong tanpa banyak bicara lalu menyambut
serangan itu dan di lain saat Sin Hong sudah bertempur hebat
melawan Ciang Le. Li Hwa yang hendak melanjutkan pengejarannya
kepada Kong Ji juga disambut oleh Bi Lan yang berkata.
“Biar aku mewakili suamiku mencoba kepandaianmu, Hui-eng
Niocu!“
Li Hwa mengeluarkan suara ketawa mengejek dan di lain saat
dua orang wanita itu pun bertempur hebat.
Pertempuran kali ini benar-benar hebat, sama seru dan
tegangnya dengan pertempuran antara Sin Hong dan Kong Ji tadi.
863
Ciang Le yang menghadapi Sin Hong mengeluarkan pedangnya Pakkek
Sin-kiam-hwat yang luar biasa lihainya. Tidak saja ia harus
melindungi Kong Ji seperti yang sudah ia janjikan, akan tetapi juga
ia harus melindungi nama besarnya. Soal pemilihan bengcu baginya
bukan soal besar, karena Ciang Le juga tidak ingin menjadi bengcu,
akan tetapi sebagai seorang pendekar pedang yang sudah terkenal
di seluruh dunia kangouw, tentu saja ia tidak mau menyerah kalah
menghadapi bocah yang masih terhitung sutenya sendiri ini.
Pedang di tangan Ciang Le biarpun bukan pedang pusaka, akan
tetapi cukup kuat dan kalau tidak terkena secara tertindih, belum
tentu dapat terbabat putus oleh Pak-kek Sin-kiam. Apalagi karena ia
mengerahkan tenaga lweekangnya. tersalurkan pada, pedang
sehingga tiap serangan maupun tangkisan mengandung tenaga
yang dahsyat sekali. Akan tetapi. segera jago pedang ini terheranheran
dan kagum bukan main.
Biarpun di tangannya terdapat pedang Pak-kek Sin-kiam
sehingga kalau diumpamakan scekor harimau ia telah mendapat
sepasang sayap, namun Sin Hong terang-terangan tidak mau
mempergunakan keuntungan ini untuk merusak pedang Iawannya.
Semua serangan jurus Ilmu Pedang Pak-kek Sin-kiam hwat
disambutnya dengan baik sekali membuat Ciang Le kadang-kadang
terbelalak heran, apalagi ketika pemuda itupun menghadapinya
dengan ilmu pedang yang sama, namun yang lebih Iengkap.
Percayalah Ciang Le bahwa pemuda ini tentulah ahli waris dari
suhunya, Pak Kek Siansu dan diam-diam ia merasa makin kagum.
Setelah beberapa kali mengukur tenaga dan ilmu pedang, Ciang
Le tahu bahwa kalau Sin Hong menghendaki, pemuda itu akan
dapat merobohkannya tanpa banyak kesulitan.
Akan tetapi pemuda ini tidak mau melakukan hal ini, dan
membuktikan bahwa pemuda ini menjaga nama baik suhengnya.
Teringat akan ini Ciang Le menjadi makin terharu dan suka kepada
Sin Hong.
Di lain pihak, pertandingan antara Li Hwa dan Bi Lan juga hebat
sekali. Bahkan pertandingan antara wanita ini jauh lebih indah
ditonton. Orang-orang kagum bukan main melihat gerakan-gerakan
Sian-li Eng-cu Liang Bi Lan, yang masih tangkas dan lincah sekali
864
tiada bedanya dengan ketika ia masih muda. Gerakan-gerakannya
cepat dan ilmu pedangnya mempunyai banyak perubahan dan
banyak perkembangan sehingga kadang-kadang Li Hwa menjadi
agak bingung karenanya.
Akan tetapi ternyata bahwa Li Hwa juga memiliki ilmu pedang
yang lihai, sifatnya garang dan ganas, apalagi ilmu pedang ini
dimainkan dengan pedang Cheng-liong-kiam, dahsyatnya bukan
main, dan setelah lima puluh jurus telah lewat, Bi Lan mulai
terdesak.
Sementara itu Cam-kauw Sin-kai sudah membuka matanya dan
sambil bersila ia menonton pertempuran itu. Matanya berseri
gembira dan berkali-kali ia ber kata,
“Hebat! Sebelum mati menyaksikan Pak-kek Kiam-hoat
dimainkan sedemikian rupa, benar-benar mati pun tidak penasaran!“
Kemudian melihat betapa Ciang Le terdesak, Lie Bu Tek lalu
melompat maju dan membentak Sin Hong.
“Bocah lancang! Apakah kau tidak lekas menghentikan
kekurangajaranmu terhadap Go-taihiap ?“
Mendengar ini, Sin Hong melompat mundur dan Ciang Le sambil
tersenyum memperlihatkan bagian bajunya di dekat dada yang
bolong sambil berkata kepada Lie Bu Tek.
“Aku mengaku kalah. Kalau menghendaki apa sukarnya
membunuhku?“
Sementara itu melihat suaminya berhenti bertempur. Bi Lan yang
sudah terdesak pun tidak malu mengaku kalah. Ia melompat
mundur dan memuji. “Hui -eng Niocu, kepandaianmu tinggi sekali.
Aku tidak kuat melawanmu!“
Melihat betapa Ciang Le dan Bi Lan mengaku kalah, Lie Bu Tek
menjadi makin marah kepada Sin Hong.
“Bocah tak tahu diri! Kau begitu sombong menjatuhkan nama
Go-taihiap. Kalau begitu coba kau melawanku!“
Pendekar bertangan buntung ini dengan tangan kirinya lalu
mencabut pedang menghadapi Sin Hong.
865
Sin Hong kaget melihat sikap gihunya, tidak hanya kaget akan
tetapi juga girang sekali karena dengan sikapnya ini berarti bahwa
Lie Bu Tek sudah mau mengaku ia sebagai anak lagi!! Ia lalu
menjatuhkan diri berlutut di depan Li Bu Tek dan berkata,
“Gihu, anak mengaku salah dan menanti hukuman.“
Ciang Le dengan muka merah lalu memegang lengan kiri Lie Bu
Tek dan berkata.
“Lie-twako, sudahlah,
jangan kau terlalu menekan
Sin Hong.“
“Sin Hong, hayo kau cepat
mohon ampun kepada mereka“
Lie Bu Tek berkata lagi kepada
Sin Hong sambil menunjuk ke
arah Ciang Le dan Bi Lan. Sin
Hong hendak berlutut kepada
dua orang ini, akan tetapi
Ciang Le cepat mencegahnya
dan berkata.
“Lie-twako, jangan begitu,
bukan dia yang harus mohon
ampun, sebaliknya akulah
yang harus minta maaf karena
pernah memukulnva tanpa
dosa. Aku merasa menyesal
sekali... lebih-lebih karena muridku pernah ditolongnya....“
Setelah pendekar besar itu mengakui kesalahannya, baru legalah
hati Lie Bu Tek. Memang tadi ia berpura-pura marah kepada Sin
Hong dan memperlihatkan sikap kasar menyuruh pemuda itu minta
ampun kepada Ciang Le adalah suatu sikap yang mengandung
sindirin kepada Hwa I Enghiong berhubung dengan perbuatannya
dahulu terhadap anak angkatnya itu. Sekarang Bu Tek menyimpan
pedangnya memandang kepada putera angkatnya dengan mata
basah, penuh perasaan girang, bangga, dan terlaru.
866
Sin Hong adalah seorang yang sangat cerdik sekali, maka yang
mengerti akan maksud sikap Lie Bu Tek tadi selain Ciang Le dan Bi
Lan, juga pemuda ini mengerti baik. Maka lalu memeluk ayah
angkatnya dan kedua orang ini saling peluk, penuh perasaan girang
dan terharu.
“Bagus, Sin Hong, kau telah membersihkan namamu, juga
sekaligus menghidupkan api hidupku, terima kasih anakku ....“ bisik
Lie Bu dekat telinga anak angkatnya yang hanya terdengar oleh Sin
Hong sendiri.
Pada saat itu terdengar suara ribut ribut ternyata bahwa pasukan
Kong Ji telah bergerak dengan tiba-tiba menyerang rombongan
yang memusuhi Kong Ji.
Seperti diketahui, rombongan yang mendukung Kong Ji amat
banyak jumlahnya. Mereka ini adalah pasukan- pasukan dan
perkumpulan-perkumpulan lm-yang bu-pai, Bu-cin-pang, Kwan-cinpai,
Shan Si Kai-pang, Twa-to Bu-pai dan lain-lain. Melihat ini, Sin
Hong melompat ke depan dan dengan suara yang amat nyaring
berpengaruh ia membentak.
“Kalian ini orang-orang gagah di dunia kang-ouw mengapa
berlaku demikian memalukan? Apa artinya semua keroyokan ini?
Tahan senjata dan biar para ketua rombongan bicara dengan aku!“
Sambil berkata demikian, beberapa kali Sin Hong mendorong
dengan kedua tangan ke arah gelombang manusia itu dan bagaikan
terbawa angin, belasan orang yang menyerang di depan telah
terlempar ke belakang menimpa kawan-kawan sendiri. Kehebatan
gerakan pemuda ini menggentarkan hati para penyerbu dan ia
memperkuat teriakannya sehingga ribut-ribut itu berhenti.
Berlompatan keluarlah tokoh-tokoh kang-ouw yang menjadi
ketua perkumpulan-perkumpulan itu, mereka yang mendukung
Kong Ji, antaranya Giam-ong Ma Ek ketua Bu- cin-pang, seorang
kakek tinggi kurus yang terkenal lihai karena siang-pian, yakni
senjata berupa sepasang ruyung sehingga ia dijuluki Siang-plan
Giam-ong (Raja Maut Bersenjata Sepasang Ruyung). Orang kedua
yang termasuk orang lihai adalah ketua Kwan-cin-pai, yakni Mokiam
Siangkoan Bu, akan tetapi kakek ahli pedang ini, sudah terluka
oleh Tai Wi Siansu sehingga ia tidak begitu menakutkan lagi ketiga
867
adalah Sin-houw Lo Bong ketua dari perkumpulan pengemis di
Shansi, yakni Shansi Kai-pang. Lo Bong amat lihai dengan ilmu
silatnya Hauw-jiauwkun-hwat (Ilmu Silat Cakar Harimau) merupakan
orang terkuat di Shansi, bahkan nama besarnya setingkat dengan
pengemis sakti Cam-kauw Sin-kai. Orang keempat adalah Twa-to
Kwa Seng (Si Golok Besar Kwa Seng) ketua dari Twa-to Bu-pai,
yakni Perkumpulan Golok Besar yang amat ditakuti karena pasukan
ini memang selain amat kuat juga pengaruhnya besar sekali.
Sin-houw Lo Bong mewakili kawan-kawannya menghadapi Sin
Hong dan berkata.
“Sudah kami lihat tadi bahwa Hwa I Enghiong juga sudah kalah
sehingga kini tinggal dua orang lagi calon bengcu.
Kami hendak mempergunakan hak sebagai orang kang-ouw
untuk menguji sampai di mana kepandaian bengcu yang terpilih. Di
antara kau dan Hui eng Niocu, siapah yang terpilih?“
Nama Sin-houw Lo Bong bukan tidak terkenal. Dia seorang
ciangbunjin partai persilatan besar, sungguhpun perkumpulannya itu
hanya perkumpulan pengemis, maka Sin Hong tidak mau
memandang rendah, lalu menjura ia dan berkata.
“Tentu saja semua orang berhak menguji, akan tetapi tidak
secara keroyokan seperti tadi! Semua pibu yang diadakan bersifat
mencoba kepandaian, bukan bermusuhan. Tentang siapa yang
menjadi bengcu, hal itu aku sendiri tidak tahu-menahu dan boleh
ditanyakan kepada yang bertanggung jawab dalam hal ini.“
Tai WI Siansu melangkah maju. “Seperti sudah diketahui oleh
semua orang, calon bengcu yang masih saling mengadu kepandaian
adalah Wan Sin Hong Sicu, Lihiap Hui-eng Niocu dan ke tiga Hwa I
Enghiong Go Ciang Le. Pertempuran yang tadi terjadi, sama sekali
tidak ada hubungannya dengan pibu pemilihan beng-cu....“
Tiba-tiba Ciang Le berkata nyaring.
“Tidak demikian! Biarpun tadinya pertempuran itu tidak
bermaksud untuk memilih calon bengcu, akan tetapi tetap saja
berlaku, Aku sudah gugur sebagai calon bengcu, dan kedudukan ini
kuserahkan kepada orang yang muda-muda. Selain itu, harap Cuwi
868
Enghiong suka maafkan, aku tidak mempunyai waktu untuk
menghadiri pertemuan ini lebih lama lagi. Hanya diminta
menggunakan kesempatan selagi Cuwi berkumpul, kami
mengundang kepada Cuwi untuk menghadiri perayaan pernikahan
puteri kami dengan Coa Hong Kin yang perjodohannya ditentukan di
tempat ini oleh kami dan Cam kauw Sin-kai. Kami menanti
kedatanga Cuwi di Pulau Kim-bun-tho pada hari kelima belas bulan
depan.“
Setelah berkata demikian, Ciang Le menjura ke empat penjuru,
lalu meninggalkan Puncak Ngo-heng-san, diikuti oleh Liang Bi Lan
dan Go Hui Lian dan serta mengajak Lie Bu Tek. Lie Bu Tek nampak
ragu-ragu dan memandang kepada Sin Hong, akan tetapi tahu
bahwa putera angkatnya itu masih menghadapi banyak urusan, ia
lalu berkata Iirih.
“Sin Hong, aku menanti kau di Kim-bu-tho. Harap tak lama lagi
kita dapat bertemu di sana.“
Sin Hong mengangguk seperti orang kehilangan semangat.
Kemudian ia menghampiri Cam-kauw Sin-kai yang sudah dipondong
oleh muridnya, Coa Hong Kin, menyerahkan sebungkus obat sambil
berkata,
“Cam-kauw Sin-kai Locianpwe, harap kau sudi menggunakan
obat ini untuk menahan sakit.“
Pengemis tua itu tersenyum dan menerima bungkusan itu. “Wansicu,
biarpun aku sebentar lagi akan mampus, akan tetapi aku
merasa puas dan girang bahwa hanya aku seorang yang
mengangkatmu menjadi calon bengcu. Demi keselamatan
persaudaraan kang-ouw, harap kau terima kedudukan itu. Sicu.
Terima kasih atas usahamu menyelamatkan nyawaku, akan tetapi,
andaikata kau dewa sekalipun, siapa dapat membantah kehendak
Thian?“ Kakek itu lalu tertawa bergelak dan memberi isyarat kepada
Hong Kin untuk berangkat menyusul rombongan Ciang Le. Suara
ketawanya masih bergema dari lereng bukit setelah rombongan itu
lenyap. Semua orang kagum melihat kakek gagah yang menghadapi
maut dengan ketawa-ketawa gembira.
869
Ciang Le sebetulnya merasa malu sekali sehingga ia mengambil
keputusan untuk segera pergi saja. Ia malu dan merasa tidak enak
hati terhadap Sin Hong. Kekalahannya terhadap Sin Hong tidak
begitu hebat baginya, sudah jamak dalam dunia persilatan orang
suka kalah atau menang, juga tidak aneh karena setelah bertempur
melawan pemuda itu, ia tahu bahwa Sin Hong telah mewarisi
seluruh ilmu silat peninggalan Pak Kek Siansu.
Yang membuat ia merasa tidak enak hati adalah karena dahulu ia
telah menuduh Sin Hong berbuat yang tidak patut, bahkan ia telah
menurunkan tangan maut, menghajar Sin Hong. Kalau pemuda itu
tidak memiliki kepandaian tinggi, hajaran-hajarannya dahulu itu
tentu sudah merenggut nyawa pemuda itu. Kalau sampai terjadi
demikian, berarti membunuh orang yang bukan saja tidak berdosa,
bahkan yang telah berjasa dengan menolong Soan Li. Inilah yang
membuat Ciang Le merasa amat tidak enak hati dan begitu
mendapat kesempatan, ia lalu meninggalkan tempat itu.
Adapun Sin Hong, ketika mendengar bahwa Hui Lian telah
ditunangkan dengan Coa Hong Kin dan akan menikah sebulan lagi,
tiba-tiba menjadi pucat mukanya dan bibirnya tersenyum pahit.
Akan tetapi ia dapat menekan perasaannya dan memindahkan
perhatiannya kepada Cam-kauw Sin-kai yang masih terdengar suara
ketawanya.
“Kasihan orang tua itu, nyawanya hanya dapat ditolong dengan
sehelai daun dewata berwarna merah. Akan tetapi di dunia ini,
siapakah yang memiliki daun itu?“ kata-kata Sin Hong ini diucapkan
sebagai keluhan sebagian untuk memberi kesempatan kepada
dirinya untuk mengeIuh akibat penyesalan mendengar tentang
pernikahan Hum Lian, kedua kalinya untuk maksud tertentu, karena
sambil berkata demikian ia memandang tajam kepada See-thian
Tok-ong yang masih berada di situ pula.
See-thian Tok-ong yang sudah terluka karena tendangan Ciang
Le, masih asyik duduk bersila mengobati diri sendiri
Ia tertawa tanpa mengeluarkan suara karena tidak mau
membuang-buang tenaga dalamnya ketika ia mendengar keluhan
Sin Hong ini.
870
“Wan Sin Hong, kalau hatimu demikian penuh welas asih,
bagaimana kalau kau menukar sehelai daun yang kaumaksudkan itu
dengan kedudukan bengcu kepadaku.”
Sin Hong tersenyum biarpun hatinya mendongkol sekali. ia
mengerti baik akan maksud kakek gundul ini, akan tetapi ia purapura
bertanya.
“See Chian Tok-ong, apakah kata katamu tadi?“
“Yang menjadi calon bengcu tinggal kau dan ketua Hui-eng-pai.
Kalau kau mengalahkan dia, berarti kau yang menang. Aku sanggup
memberi sehelai daun yang kau butuhkan tadi kalau kau mau
menyerahkan kedudukan bengcu kepadaku.”
”Itu tidak mungkin!” Tai Wi Siansu membentak.
”Kedudukan bengcu tak mungkin diberikan seperti hadiah! Tak
mungkin pula bengcu ditukar-tukar seperti orang menukar baju!
Kalau Wan sicu yang menang, harus dia yang menjadi bengcu,
bagaimana bisa diganti oleh orang lain?”
See-thian Tok-ong tersenyum mengejek. ”Tat-wi Siansu, kalau
Wan Sin Hong sudah memberikan kedudukan itu kepadaku, yang
penasaran boleh maju dan kalau aku kalah tentu saja aku dengan
sendirinya akan mengundurkan diri'”
Kata-kata ini beralasan juga, karena kalau Wan Sin Hong, Siok Li
Hwa, Liok Kong Ji dan Go Ciang Le tidak menjadi bengcu, kiranya
yang paling kuat diantara lain-lain calon hanyalah See-thian lok-ong
seorang!
Tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring dan merdu. Siok Li Hwa
yang tertawa ini, tertawa dengan bebasnya memperlihatkan deretan
gigi yang putih berkilau seperti mutiara. Semua orang memandang
dan melihat gadis ini mengeluarkan tiga helai daun merah dari saku
bajunya, memberIkan itu kepada seorang gadis anggauta
perkumpulannya dan memberI perintah. Gadis itu menganguk
angguk dan di lain saat gadis itu sudah berkelebat dan cepat sekali
mengejar rombongan Cam-kau Sin-kai!
Kembali Li Hwa tersenyum mengejek kepada See-thian Tok-ong.
871
”Setan gundul, kau kira hanya kau saja yang memiliki daun
dewa? Tangan sudah melukai orang dan kau memiliki alat
penawarnya, akan tetapi tidak mau menolong. Sungguh kau kejam
sekali dan lebih kejam dari serigala-serigala yang berkeliaran di
gunungku. Ingin aku diberi kesempatan membuntungi dua
tanganmu dengan pedangku!” Sambil berkata demikian Li Hwa
mencabut pedang hijaunya dan berdiri dengan sikap menantang
sekali.
Kalau saja See-thian Tok-ong dan anak isterinya belum terluka
dan belum kalah di tempat itu, tentu akan bangkit dan menyambut
tantangan gadis itu. Kini ia hanya mengeluarkan suara menggereng
seperti harimau kejepit, merasa kecewa dan malu dan di lain saat ia
telah berlalu pergi diikuti oleh Kwan Ji Nio dan Kwan Kok Sun. Para
pengikutrya menjadi bingung karena tidak mungkin mereka dapat
menyusul tiga orang yang berlari seperti terbang menuruni puncak
itu. Terpaksa mereka lalu turun gunung pula untuk kembali ke kota
raja dan membuat laporan.
Sin Hong dan Li Hwa saling pandang. tinggal mereka berdua saja
calon bengcu.
“Hui-eng Niocu, banyak terima kasih. Kau benar-benar seorang
yang berhati mulia. Mudah-mudahan lain kali aku akan membalas
budimu tadi.“
Hui-eng Niocu Siok Li Hwa memandang kepada Sin Hong dengan
senyum lucu dan sepasang matanya yang tajam bersen. “Wan Sin
Hong, kau memang orang aneh. Aku memberi daun kepada Cam
kauw Sin-kai, mengapa kau yang berterima kasih? Laginya, daun itu
bukan aku yang menanam, hanya tumbuh sendiri di hutan dan aku
cuma memetiknya maka jangan bicara tentang budi.“
Dari gerak-gerik dan kata-kata Siok Li Hwa, Sin Hong mengerti
bahwa gadis ini amat terbuka hatinya dan jujur serta masih bersih
daripada adat istiadat sehingga nampaknya agak kasar, seakanakan
sebuah bunga mawar tumbuh di hutan, bebas dan belum
tersentuh oleh siapapun juga.
Sementara itu, Sin-houw Lo Bong menjadi tidak sabar. “Wan Sin
Hong den Hui-eng Niocu. Kalian ini anak kecil, tak tahu aturan hayo
872
sambut tantangan kami. Tai Wi Siansu, kau ini yang menjadi
pemimpin pertemuan ini bagaimana?”
Tai Wi Siansu menjawabnya karena baik Sin Hong maupun Li
Hwa kelihatan tidak mau mempedulikan ketua Shansi Kai-pang itu.
”Shansi Kai-pangcu, memang menurut aturan sekarang yang
menjadi calon bengcu tinggal dua orang, yakni Wan sicu dan Siok-
Lihiap. Untuk menentukan siapa bengcu yang menang, keduanya
tentu akan menguji kepandaian. Adapun kau dan kawan-kawanmu
kalau masih penasaran, tentu saja kalian boleh menguji mereka,
pilih saja yang mana!”
Tai Wi Siatisu memang maklum dan percaya penuh akan
kepandaian Sin Hong dan Li Hwa, maka ia tidak khawatir akan
ancaman orang-orang bekas pendukung Kong Ji ini. Yang ia
khawatirkan hanya mengenai diri Hui-eng Niocu Siok-Li Hwa. Sudah
tentu saja Tai Wi Siansu, juga tokoh- tokoh lain, mengharapkan Sin
Hong yang menjadi bengcu, karena sudah terbukti bahwa pemuda
ini selain kepandaian yang tinggi, juga berhati bersih dan
membuktikan kecerdikannya dalam hal membongkar rahasia Kong
Ji.
Akan tetapi, Li Hwa seorang gadis yang kelihatan berilmu tinggi
juga, apalagi kalau diingat bahwa gadis ini murid tunggal mendiang
Pat-jiu Nio-nio yang dahulu terkenal ganas dan galak. Bagaimana
kalau Sin Hong kalah oleh Nona ini?
Sementaia itu Sin-houw Lo Beng yang datang ke puncak itu
selaln mendukung Kong Ji, juga hendak menguji kepandaian sendiri
di gelanggang pertemuan orang-orang gagah. Tadi memang ia
gentar menghadapi tokoh-tokoh besar perti Hwa l Enghiong, Camkauw
Sin kai dan See- thian Tok-ong dan mereka ragu-ragu untuk
mengajukan diri mencoba kepandaian. Akan tetapi sekarang,
melihat bahwa sisa bengcu hanya tinggal dua orang muda itu,
biarpun ia tahu bahwa mereka berdua adalah orang-orang muda
dengan kepandaian tinggi, namun ia merasa penasaran dan di
dalam hatinya sanggup menangkan mereka. Mustahil dia yang
sudah mempunyai pengalaman puluhan tahun, akan kalah oleh
bocah yang baru muncul?
873
“Wan Sin Hong, mari kita main-main sebentar!“ Tantangnya
sambil menghadapi pemuda itu.
Tadinya Sin Hong sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk
menjadi bengcu. Akan tetapi setelah melihat semua orang gagah
mengundurkan diri dan melihat suasana di dunia kangouw,
terutama sekali setelah ia mendengar pesan terakhir dari Cam-kauw
Sin-kai, pikirannya berubah. Ia melihat perlunya ia membela
kedudukan bengcu agar jangan terjatuh ke dalam tangan orangorang
jahat. Kalau ia masih berpendirian seperti tadi, yaknt tidak
mau menerima pengangkatan bengcu, tentu ia pun tidak sudi
melayani tantangan orang-orang seperti Lo Bong dan yang lain-lain.
Sekarang, ia maklum bahwa ia harus menyingkirkan orang-orang
bekas pendukung Kong Ji ini, sekalian memperkenalkan diri melalui
ilmu silatnya agar lain kali jangan ada orang jahat berani berbuat
sewenang- wenang. Maka dengan senang ia lalu melangkah maju
menghadapi Sin-houw Lo Bong, berkata perlahan,
“Lo-enghiong ini siapakah, harap memperkenalkan diri agar aku
yang muda bertambah pengetahuan.“
Melihat sikap Sin Hong yang ramah dan sopan Lo Bong
mengurangi kekakuan sikapnya. “Aku adalah Shansi Kai- pangcu,
Sin-houw Lo Bong dari Shansi.“
“Ah kiranya ketua Shansi Kai-pangcu yang terkenal. Silahkan,
Pangcu aku sudah siap menerima pelajaran.“
“Lihat serangan!“ Lo Bong berseru sambil membuka serangan
pertama yang dahsyat. Kedua lengannya ditekuk, jari-jari tangan
dipentang seperti kuku harimau, kemudian lengan itu bergerak
cepat pergi datang, melakukan serangan bertubi-tubi dan
bergantian, mencakar dada, perut, leher, dan muka.
Sin Hong cepat melangkah mundur. Serangan itu hebat sekali.
Dari kedua tangan itu menyambar angin pukulan yang cukup kuat,
menandakan bahwa serangan-serangan itu dilakukan dengan
tenaga lweekang yang tinggi. Biarpun Sin Hong berkepandaian
tinggi, akan tetapi ia kurang pengalaman dan belum pernah melihat
ilmu silat macam ini. Memang ia pernah mendengar dari gihunya
bahwa di dunia ini terdapat ilmu bertempur yang tak dapat dihitung
874
banyak macamnya, dan terhadap seorang lawan yang
mempergunakan Ilmu bertempur yang belum dikenalnya, ia harus
berlaku hati-hati sekali. Ia belum tahu bagaimana perubahan
serangan ini dan di mana letak kelihaiannya, maka biarpun didesak
terus, ia main mundur dan mengelak saja.
Dua puluh jurus terlewat dan Lo Bong menjadi marah. ia merasa
dipermainkan oleh pemuda itu yang selalu mengelak, bahkan
menangkis satu kali pun belum pernah. Padahal ia amat
mengharapkan tangkisan pemuda itu agar dapat mempergunakan
ilmunya, mencengkeram lengan pemuda itu! Inilah sebuah di antara
keistimewaan ilmu silatnya.
Begitu dua lengan bertemu dalam tangkisan, dengan gerakan
dan kecepatan yang tak dapat diduga lawan, ia dapat membalikkan
lengan dan menggunakan cengkeramannya menangkap lengan
lawan dan cclakalah lawan yang dapat ia tangkap lengannya!
Karena Sin Hong tidak mau menangkis dan gerakan pemuda itu
memang gesit sekali sehingga amat melelahkan bagi Lo Bong yang
sudah tua, tiba-tiba kakek ini mengeluarkan suara gerengan
harimau dan tubuhnya lalu mencelat naik, menubruk ke arah Sin
Hong seperti seekor harimau tulen! Ini merupakan keistimewaan
kedua dari ilmu silatnya Houw jiauw-kun ini. Tubrukannya demikian
cepat, kedua lengan dan kaki dipentang, bahkan kini kedua kakinya
juga bergerak seperti mencakar sehingga dalam sedetik Sin Hong
diancam oleh empat cakar yang berbahaya!
“Lihai sekali...!“ Sin Hong berseru kaget. Tentu saja ia dapat
menghantam lawannya ini selagi ia masih di udara menggunakan
tenaga lweekang. Akan tetapi Sin Hong tidak sekejam itu. bahkan
menggulingkan tubuhnya untuk menghindarkan diri dari terkaman
lawan.
Tak disangkanya bahwa gerakan Lo Bong memang luar biasa.
tubuh yang tinggi besar dan yang sedang melompat di tengah udara
itu tiba-tiba bergerak dan berganti haluan, kini menyambar ke arah
Sin Hong dengan dua tangan mencengkeram pundak dan leher.
875
Cepat sekali serangan ini sehingga bagi Sin Hong tidak terdapat
kesempatan untuk mengelak lagi. Terpaksa pemuda ini menangkis
dengan kedua tangannya.
“Plat’ Plak!“ Sin hong mengalami hal aneh. Biarpun ia menangkis
dengan teori ilmu silat, yakni dengan gerakan dikepretkan atau
dikipatkan, tetap saja kedua lengannya dapat ditangkap oleh dua
telapak tangan kakek itu, lekat tak dapat terlepas lagi seakan-akan
pada telapak tangan itu perekat yang amat kuat!
“Wan Sin Hong, lebih baik mengundurkan diri dari kedudukan
bengcu, kalau tidak kedua lenganmu akan patah-patah,” kata Lo
Bong sambil tertawa. ia merasa yakin bahwa pemuda itu akan
mengaku kalah, karena siapakah dapat membebaskan diri dari
kedua cengkeramannya?
Akan tetapi baru saja kata-katanya habis, ia meringis kesakitan
dan terpaksa mengendurkan cengkeramannya karena kedua telapak
tangan yang mencengkeram lengan tangan pemuda itu merasa
panas sekali dan sakit seperti ditusuk jarum. Di lain saat, lengan
yang tadinya mengeras dan panas sekali dan bulu-bulu lengan
berdiri dan keras bagaikan jarum-jarum baja yang menusuk telapak
tangannya tiba-tiba menjadi lemas dan licin bagaikan tubuh seekor
belut dan sekali tarik dua lengan pemuda itu telah terlepas!
Lo Bong sampai berdiri melongo. Tak disangkanya bahwa
pemuda ini memiliki lweekang yang sedemikian hebatnya.
Mengerahkan tenaga sehingga lengan menjadi panas seperti api dan
bulu-bulu lengan menjadi berdiri tegak dan mengeras seperti jarum,
adalah ilmu lweekang yang hanya pernah didengarnya saja akan
tetapi belum pernah disaksikannya. Tadinya Lo Bong mengira
bahwa di dunia tak mungkin ada orang yang lweekangnya setinggi
itu, kecuali mungkin Pak Kek Siansu yang sudah lama meninggalkan
dunia. Tak disangkanya sekarang ini bertemu dengan orangnya.
seorang yang masih begini muda.
Tiba-tiba Lo Bong mengeluarkan seruan kaget karena tanpa
sebab kedua tangannya terasa sakit sekali, tulang tulang jari
tangannya mengeluarkan suara kerotokan dan di lain saat Lo Bong
mengeluh dengan muka pucat dan keringat mengucur, memijit-mijit
pergelangan tangan berganti-ganti. Inilah akibat pukulan membalik
876
dari tenaga cengkeramannya yang dihantam oleh sinkang yang
disalurkan melalui lengan Sin Hong yang ditangkapnya tadi.
Melihat Lo Bong tak berdaya dan seperti cacing terkena abu
memijit-mijit kedua tangannya, Siang-plan Giam-ong Ma Ek Ketua
Bu-cin-pang melompat maju dan memutar sepasang ruyungnya.
“Wan Sin Hong, lihat senjata!“ Ucapannya ini belum habis,
ruyungnya sudah menyambar-nyambar seperti dua ekor burung
garuda yang mengamuk. Melihat gerakan ini, tahulah Sin Hong
bahwa kepandaian ketua dari Bu-cin-pai ini tidak berapa hebat,
hanya mengandalkan tenaga besar saja. Ia sendiri belum mengenal
siapa kakek ini, karena tidak sampai sempat bertanya nama, maka
mengira bahwa yang menyerangnya bukan seorang penting. Sin
Hong cepat menggerakkan kedua tangan dan di lain saat sepasang
ruyung telah dapat dirampasnya dan Ma Ek terjungkal karena
lututnya kena disentuh oleh ujung kaki Sin Hong.
Dalam satu gebrakan saja Siang-pian Giam-ong Ma Ek sudah
roboh, hal ini benar-benar merupakan suatu kejadian yang
mengherankan dan tak dapat dimengerti oleh para tokoh di situ.
Tak seorang pun mengenal gerakan Sin Hong tadi, semacam
gerakan yang nampaknya mudah dan sederhana akan tetapi yang
hasilnya demikian luar biasa. Tidak mengherankan kalau tidak ada
yang mengenalnya karena gerakan tadi adalah gerakan dari jurus
llmu Silat Pak-kek sin-Ciang-hoat yang belum pernah dimainkan di
muka dunia ini oleh siapapun juga. Pak Kek Siansu yang mencipta
ilmu silat ini belum pernah mempergunakan di depan umum dan
selain Sin Hon belum pernah ada yang, menerima pelajaran ilmu
silat ini.
Biarpun sudah terbukti kelihaian pemuda ini setelah mengalahkan
dua orang tokoh besar, namun Twa-to Kwa Serg tidak menjadi
gentar. Sebagai seorang tokoh besar yang sudah amat terkenal
namanya, ia tidak mundur sebelum merasai sendiri keunggulan
lawan. Sambil memutar-mutar golok di atas kepala ia berkata.
“Wan Sin Hong, kaucobalah kalahkan golok dari Twa-to Kwa
Seng!“
Wan Sin Hong memandang tajam, lalu berkata tenang. “Majulah”
877
Akan tetapi sebelum Twa-to Kwa-Seng mulai dengan
serangannya, Li Hwa melompat ke hadapannya dan berkata kepada
Sin Hong.
“lni tidak adil! Wan Sin Hong, apakah kau ingin borong semua
agar kelihatan paling pandai dan dipilih menjadi bengcu? Sekarang
giliranku.” Setelah berkata demikian, dengan pedang hijau di
tangannya ia menantang Twa-to Kwa Seng dengan senyum sindir
dan pandang matanya yang penuh ejekan.
Sin Hong tersenyum lalu mundur. Adapun Kwa Seng melihat
lagak Li Hwa menjadi marah. Baginya memang sama saja, melawan
Sin Hong atau gadis ini, karena kedua-duanya adalah calon bengcu.
“Bocah sombong, jaga dirimu baik baik,” serunya dan goloknya
menyambar mengeluarkan angin bagaikan sampokan sayap burung
garuda besar.
“Tua bangka pemotong babi! Kaulah yang harus menjaga diri
baik-baik agar pisau pemotong babimu itu tidak melukai tubuhmu
sendiri!“ kata Li Hwa sambil mengelak ke samping dan membalas
serangan lawan dengan pedangnya.
Cepat sekali gerakan Li Hwa sehingga Kwa Seng terkejut tidak
sempat membalas ejekan nona itu. Goloknya di ayun dan dengan
tenaganya yang besar mengandalkan goloknya yang tebal dan berat
ia hendak menangkis pedang agar terlepas dari pegangan gadis itu.
Akan tetapi Li Hwa terlalu lincah, namun membiarkan pedangnya
yang tipis itu di hantam oleh golok besar. Juga gadis ini tidak mau
mengandalkan ketajaman pedangnya untuk membabat golok.
karena golok setebal dan seberat itu, biarpun andalkata dapat
dibabat putus tenta akan merusak pedangnya, atau ada bahayanya
kalau ia kalah tenaga, pedangnya akan terlepas dari pegangan.
Dengan gerakan cepat dan lincah sekali Li Hwa mulai
nempermainkan lawannya.
Payah juga Kwa Seng mengikuti gadis itu yang bagaikan seekor
burung walet menyerang seekor gajah yang berat tubuhnya. Gadis
itu berlompatan ke sana ke mari, kadang kadang tahu-tahu berada
di belakang Kwa Seng, atau ada kalanya melompat tinggi di atas
kepala dan menyerang dari atas. Semua ini dilakukan sambil
878
tertawa-tawa mengejek sehingga Kwa Seng merasa kepalanya
pening sekali.
Akhirnya dengan gerakan indah sekali, Li Hwa berhasil
menggores lengan tangan Kwa Seng dan cepat mengirim tendangan
ke arah jari-jari tangan yang memegang golok. Karena sakit
lengannya tergores pedang. pegangan pada gagang goloknya yang
amat tidak begitu kuat tapi maka ketika jari-jari tangannya terkena
tendangan, golok itu terlempar membalik dan melukai pahanya
sendiri.
Darah mengucur dari paha dan Kwa Seng berlompat- lompatan
ke belakang menahan sakit.
Li Hwa tertawa nyaring. “Apa kata ku tadi? Tua bangka
pemotong babi mulai memotong kakinya sendiri, dikira kaki babi...“
Akan tetapi kata-kata ini terputus oleh sorak-sorai dan ketika Li
Hwa dan Sin Hong serta yang lain lain menengok mereka terkejut
sekali karena puncak itu telah terkurung oleh pasukan yang ribuan
orang banyaknya! Inilah pasukan- pasukan dari Perkumpulan Imyang-
bu pai, Bu-cin-pang, Kwa-cin-pai, Shan-si Kaipang, Twa-to Bupai,
dan lain-lain yang telah dikerahkan oleh Kong Ji. Mereka itu
kesemuanya telah memegang senjata lengkap dan mengurung
tempat itu dengan sikap mengancam! Ketua-ketua perkumpulan
yang tadi sudah kalah cepat-cepat lari masuk ke dalam barisan
masing-masing.
Di ujung barisan itu tiba-tiba muncul seorang yang tertawa
bergelak, suara ketawanya menyeramkan. Semua orang yang
terkurung memandangnya dengan penuh kebencian karena orang
ini ternyata bukan lain adalah Liok Kong ji! Pemuda yang amat licik
ini diam-diam telah mengatur semua pasukan pendukungnya untuk
mempergunakan kesempatan selagi semua orang lengah dan
memperhatikan pertempuan antara ketua-ketua pasukannya dengan
calon-calon bengcu, mengatur pengepungan itu. Kini ia berdiri
sambil tertawa di dekat barisan lm-yang-bu-pai, lalu suaranya
terdengar lantang.
“Wan Sin Hong manusia sombong, lihatlah baik-baik di
sekelilingmu! Kau mau tahu berapa banyaknya? Lima ribu orang,
879
sobat! Apakah kau masih mau menyombongkan kepandaianmu dan
sanggupkah kau membobolkan kepungan kami?“ kata-kata ini
disusul suara ketawa bergelak, sama sekali pemuda itu tidak
kelihatan malu karena kekalahannya tadi.
Di puncak gunung itu masih terdapat banyak orang. Di samping
Sin Hong dan Siok Li Hwa, di situ masih terdapat ciangbunjin dari
tiga partai besar yakni Tai Wi Siansu ketua dari Kunlun-pai Leng
Hoat Taisu ketua Thian-san-pai, Bu kek Siansu ketua Bu-tong-pai,
dan beberapa belas orang tokoh kang-ouw yang tidak ikut
mendukung Kong Ji. Para wakil palsu dari Siauw-lim-pai, Go-bi-pai,
Teng-san-pai, Hong-san-pai dan lain lain yang sesungguhnya masih
kaki tangan Kong Ji juga, sejak tadi sudah mengundurkan diri dan
menggabungkan diri dengan para ketua pasukan pendukung Kong
Ji. Selain ketua-ketua partai besar dan tokoh-tokoh kang-ouw,
masih ada anak murid Kun-lun-pai, Bu-tong-pai dan Hui-eng-pai
yang masing-masing berjumlah kurang lebih dua puluh orang
sehingga jumlah semua orang yang terkepung itu hanya ada seratus
orang lebih. Akan tetapi, begitu muncul di situ, Liok Kong Ji hanya
menyebut nama Wan Sin Hong, maka dapat diduga bahwa ia
memang melakukan pengepungan itu untuk mengancam Sin Hong.
“Kong Ji manusia berhati iblis, tak perlu kau memutar-mutar
omongan, kata-kan saja apa maksudmu dengan perbuatan curang
dan tak tahu malu ini?“ kata Sin Hong, sedikit pun tidak takut,
bahkan memperlihatkan senyum mengejek.
“Monyet rawa, kau yang sudah kalah bertanding dan dipukul Iari
seperti anjing apakah sekarang hendak mengandalkan orang banyak
untuk merebut kedudukan bengcu? Sungguh tak tahu malu sekali!“
Siok Li Hwa memaki Kong Ji, karena gadis ini sekarang dapat
menduga dan hampir yakin bahwa yang menyebabkan matinya Cun
Eng tentulah Liok Kong Ji.
Kong Ji tidak marah dimaki oleh LI Hwa, hanya tersenyum manis
dan menjawab dengan suara halus, jawaban yang sekaligus
menjawab pertanyaan Sin Hong dan Li Hwa.
“Sin Hong, kalau aku mau, sekarang juga aku dapat menumpas
kau dan semua orang di puncak ini. Akan tetapi hatiku tidak
sekejam itu. Aku menghargai persahabatan di dunia kang-ouw. Ada
880
peribahasa bilang bahwa siapa kuat dia menjadi raja. Sekarang aku
menawarkan pembebasanmu dan semua orang di puncak ini
dengan hanya ditukar dua macam barang, yakni kitab warisan Pak-
Kek Siansu dan pedangku Pak-kek Sin kiam kau kembalikan!“
Sin Hong maklum bahwa ancaman pemuda itu bukan main-main.
Ketika menyapu orang-orang yang mengurung tempat itu dengan
kerling matanya, ia mendapat kenyataan bahwa ancaman itu bukan
ancaman kosong belaka. Kalau terjadi pertempuran, kiranya seratus
orang betapapun lihainya takkan mungkin dapat mengundurkan
lima ribu orang!
“Kalau aku menolak“ tanyanya memancing.
Kong Ji tertawa mengejek mendengar pertanyaan ini. “Ha, ha,
ha, manusia bodoh. Kalau kau menolak, kau menderita rugi besar
karena kau dan semua orang yang berada di puncak ini akan
kubinasakan semua. Sebaliknya, aku untung besar karena selain
kitab dan pedang pusaka tetap menjadi milikku setelah kau
mampus, juga para anggauta Hut-eng-pai itu... hemmmm, mereka
cantik-cantik! Tentu mereka tidak termasuk orang-orang yang harus
dibinasakan, bahkan sebaliknya!“ Kembali pemuda ini tertawa
terbahak-bahak.
“Jahanam Liok Kong Ji, manusia tak tahu malu! Kalau kau
memang laki-laki, mari kita bertempur seribu jurus sampai semua
orang di antara kita menggeletak tak bernyawa di situ!“ Li Hwa
melompat dengan pedang di tangan. Pasukannya juga bergerak dan
semua gadis anak buahnya yang rata-rata menjadi merah mukanya
dan marah sekali mendengar kata-kata Kong Ji tadi, telah mencabut
pedang, siap sedia menanti perintah ketua mereka untuk menyerbu.
“Nona, aku tidak hendak bermusuhan dengan kau dan anak
buahmu, bahkan aku ingin menjadi sahabatmu, sahabat yang baik
sekali....“ kata Kong Ji sambil memandang dengan mata penuh arti,
pandang mata yang kurang ajar sekali.
“Keparat, jadilah setan tak berkepala!“ Li Hwa berseru dan
tubuhnya melayang, pedangnya menyambar ke arah leher Kong Ji.
Akan tetapi, dengan mudah Kong Ji mengelak dan di lain saat ia
telah lenyap ke dalam barisannya dan Li Hwa berhadapan dengan
881
barisan golok yang terdiri dari ratusan orang. Barisan ini teratur
rapat sekali, merupakan barisan terlatth baik. Inilah barisan dari
Twa-to Bu-pai yang disebut Twa-to-tin (Barisan Golok Besar).
Barisan itu sudah mulai bergerak-gerak, dan semua barisan yang
mengepung puncak itu pun sudah bergerak, di antaranya terdapat
barisan anak panah yang sudah siap menarik tali busur!
“Hui-eng Niocu, tahan!“ seru Sin Hong sambil melompat ke
dekat nona itu. “Kong Ji, aku terima syaratmu!“
Hui-eng Niocu Siok Li Hwa mengerling kepada Sin Hong. “Apakah
kau takut mati? Takut menghadapi ribuan ekor monyet rawa itu?“
Sin Hong tersenyum dan memandang kepada nona yang gagah
“Orang-orang seperti kau dan aku tidak kenal takut untuk
menghadapi bahava biarpun terkurung oleh mereka, akan tatapi
apakah kau tidak ingat dan sayang kepada nyawa orang-orang lain
yang berada di sini? Apakah kau rela mengorbankan anak buahmu
itu hanya untuk menuruti perasaan marah dan hati panas?“
Li Hwa membanting-banting kakinya, “Anjing she Liok itu, kelak
akan tiba satnya aku membelah dadanya!“
Sementara itu, tahu-tahu Kong Ji sudah muncul lagi di ujung lain
sambil tersenyum-senyum. Entah dari mana datangnya, ia kini telah
memegang sebuah hudtim lagi dan lagaknya dibuat-buat seperti
seorang pembesar tinggi.
“Bagus, Sin Hong. Lekas kauserahkan kitab dan pedang itu!“
katanya penuh kegembiraan.
“Sabar dulu, Kong Ji. Jangan kauharap aku dapat mempercayai
omongan seorang seperti engkau. Lebih dulu buka jalan agar para
enghiong dan locianpwe yang berada di sini turun gunung, baru aku
mau memberikan benda-benda itu.“
Kong Ji marah, akan tetapi ia tertawa mengejek. “Kau tidak
percaya kepadaku, apakah aku juga dapat percaya kepadamu?
Kalau kalian sudah turun semua, ke mana aku harus mencarimu?
Ha, ha, ha, jangan kau bicara seperti anak kecil, Sin Hong.“
882
“Kong Ji aku hanya ingin kau membuka jalan memberi
kesempatan kepada para locianpwe dan juga kepada Hui- eng-pai
turun gunung. Aku sendiri takkan turun gunung sebelum
memberikan semua benda yang ada padaku. Aku bersumpah demi
kegagahan, setelah semua orang kecuali aku turun gunung tanpa
mendapat gangguanmu, aku akan memberikan semua benda yang
ada padaku!“
Liok Kong Ji agaknya puas mendengar ini. “Hem, kalau begitu
sesukamulah, aku akan memberi jalan keluar. Akan tetapi awas,
jangan kau ikut bergerak dari tempatmu!“ Ia lalu memberi aba aba
dan pasukan pengurung itu melebar, lalu di tempat yang jauh dan
situ dibukalah jalan keluar yang terjaga kuat oleh barisan anak
panah! Serombongan lain yang merupakan barisan panah
mengancam Sin Hong menjaga kalau-kalau pemuda itu
mengeluarkan gerakan mencurigakan tentu akan dahujani panah’
Tai Wi Siansu menghadapi Sin Hong. “Wan-sicu mengapa begini?
Kau tahu bahwa pinto dan yang lain-lain bukan pegecut dan tidak
takut mati. tak perlu kau mengorbankan diri dan kehormatan untuk
menyelamatkan kami!”
”Betul, Wan-sicu, aku pun ingin berkenalan dengan kepandaian
iblis itu.”
”Pinto juga tidak gentar menghadapi segala gentong nasi ini,
Wan-taihiap,” kata Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai.
Sin Hong tersenyum. ”Tentu saja saya yakin akan keberanian dan
kelihaian Sam-wi Locianpwe, juga tidak menghina Sam-wi. Sam-wi
sebagai ciangbunjin-ciangbunjin partai besar untuk apa harus
mengotorkan mulut dan tangan berurusan dengan orang macam
dia? Apalagi, saya mengerti bagaimana harus menghadapi orang
macam dia. Harap Sam-wi suka mengalah dan silakan turun gunung
lebih dulu. Lain kali kita saling bertemu pula.”
Terpaksa para ketua partai besar tanpa menoleh kepada Kong Ji,
dengan tindakan gagah memimpin anak-anak muridnya
meninggalkan tempat itu. Setelah semua orang gagah itu turun
gunung barulah Li Hwa menghampiri Sin Hong. Gadis ini paling
sukar disuruh pergi.
883
”Di sini tempat bebas, aku berada di sini, siapa yang berani mati
mengusirku?” katanya dengan mata berapi-api di tujukan kepada
Sin Hong.
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid XXXII
NIOCU, jangan begitu. Kau tahu bahwa aku tidak mengusirmu,
hanya minta dengan hormat supaya kau turun gunung lebih dulu
agar urusan ini dapat diselesaikan dengan damai.“
“Aku tidak mau pergi, kau mau apa?“ tantang Li Hwa. Sin Hong
menjadi serba susah.
“Niocu, kalau kau nekad dan terjadi pertempuran, sudah pasti
pasukanmu yang kecil jumlahnya akan binasa....“
“Tak peduli! Aku tak dapat meninggalkan kau seorang diri begitu
saja, aku bukan pengecut!“ Kata-kata yang diucapkan secara kasar
dan terus terang ini membuat hati Sin Hong berguncang.
“Niocu... apakah kau... rela mengorbankan nyawa semua anak
buahmu hanya untuk... melindungi keselamatanku...?“ tanyanya
lirih, matanya tajam. Li Hwa menjadi merah mukanya dan gadis ini
menggigit bibir dengan gemas. Ia nampak marah sekali.
“Kau bicara apa...??“ Tangan kirinya menampar dan “plok!“ pipi
kanan Sin Hong menjadi marah dan di situ nampak jalur jalur lima
jari yang kecil meruncing.
Terdengar Liok Kong Ji tertawa bergelak. Jarak antara dia dan
dua orang yang bertengkar itu terlampau jauh sehingga ia tidak
dapat mendengar suara mereka. “Eh, Sin Hong, apa kau gila?
Mengapa di tempat ini kau berani mampus hendak mengganggu
wanita?“ katanya penuh ejekan.
Sementara itu, Li Hwa sudah berjalan pergi diikuti oleh anak
buahnya di kanan kiri. Akan tetapi baru berjalan seratus tindak
lebih, ia berhenti dan memutar tubuhnya memandang Sin Hong
yang masih bengong berdiri di situ. Tiba-tiba Li Hwa mengayun
tangan kanannya dan sinar hijau melayang ke arah dada Sin Hong!
884
Pemuda ini cepat mengulurkan tangan dan menangkap gagang
pedang Cheng- liong-kiam yang disambitkan Li Hwa.
Kelihatannya gadis itu menyerang dengan sambitan pedang,
akan tetapi Sin Hong tahu bahwa gadis itu sengaja memberikan
pedangnya, sungguhpun kalau orang biasa saja tentu dadanya akan
tertembus pedang. “Aku titipkan dulu pedangku!“ kata Li Hwa dan
di lain saat ia telah berlari-lari meninggalkan tempat itu, diikuti oleh
anak buahnya.
Diam-diam Sin Hong berterima kasih sekali. Sekarang ia tahu
bahwa Li Hwa yang jujur itu tetap merasa curiga kepada Kong Ji
dan menyangka bahwa kalau Sin Hong sudah berada di situ seorang
diri pasti pemuda ini akan dikeroyok. Begitu pedang dan kitab
diserahkan dan pemuda ini bertangan kosong apakah dayanya kalau
dikeroyok? Maka dari itu ia tadi merasa tidak tega meninggalkan Sin
Hong seorang diri di tengah-tengah para srigala bermuka manusia
itu dan akhirnya ia sengaja meminjamkan pedangnya karena hanya
Cheng-liong-kiam yang dapat menghadapi Pak-kek Sin-kiam.
Kini Sin Hong berada seorang diri di tempat itu, dikepung oleh
lima ribu orang anak buah Kong Ji yang siap bergerak kalau
diperintah oleh pemuda iblis itu. Sikap Sin Hong tenang-tenang saja
dan ia menanti sampai semua orang yang turun gunung tadi sudah
berada di tempat aman. Baru ia menghadapi Kong Ji dan berkata,
“Ternyata kau maslh kenal artinya memenuhi janji. Nah,
sekarang tiba giliranku. Ambillah semua barang milikku yang berada
padaku. Kau mau Pak-kek Sin-kiam? lni, terimalah!“ Sin Hong
mengambil pedang pusaka itu dan melemparkannya ke depan Kong
Ji. Pedang itu menancap di atas tanah di depan Kong Ji, gagangnya
bergoyang goyang.
“Apa lagi yang kaukehendaki? Yang ada padaku hanya sedikit
pakaian, obat-obat dan beberapa puluh tael perak. Yang mana kau
mau ambil?“
“Sin Hong, jangan kau pura-pura bodoh dan pelupa. Aku
menghendaki Pak-Kek Sin-kiam dan kitab peninggalan Pak Kek
Siansu. Berikan kitab itu!“
885
Sin Hong tersenyum. “Bagaimana mungkin? Kitab itu sudah lama
kubakar di dasar jurang Gunung Luliang-san.“
“Sin Hong, tidak malukah kau untuk melanggar janjimu tad!?
Bukankah kau sudah bersumpah hendak memberikan semua itu
kepadaku setelah aku melepaskan semua orang turun gunung?“
“Kong Ji, peraslah otakmu dan ingat baik-baik bagaimana bunyi
sumpahku tadi. Aku tadi bersumpah akan memberikan segala benda
milikku yang berada padaku, bukan? Nah. sekarang yang berada
padaku hanya pedang pusaka dan lain-lain barang yang telah
kasebutkan tadi. Dan aku pun sama sekali tidak membohong
dengan keteranganku bahwa kitab suci itu sudah kubakar. Kau tidak
percaya? Boleh kauperiksa pakaianku kalau-kalau kusembunyikan
kitab itu.“ Sambil berkata demikian, Sin Hong memegang pedang
Cheng-liong- kiam tinggi-tinggi dengan tangan kanannya dan
mengangkat dua lengan dua lengan itu ke atas.
Kong Ji mencahut pedang Pak-kek Sin-kiam dari atas tanah, lalu
meyuruh seorang pembantunya untuk memeriksa tubuh Sin Hong.
Di luar tahu Sin Hong ia membisikkan sesuatu kepada pembantu ini,
seorang yang pendek gemuk dan kelihatan bertenaga besar dan
berkepandaian tinggi. Orang ini lalu berjalan dengan tegapnya
menghampiri Sin Hong.
“Aku diberi tugas memeriksamu,“ katanya singkat.
“Silakan,““ jawab Sin Hong tersenyum.
Si Pendek Gemuk itu lalu menggunakan dua tangannya untuk
menggeratak, meraba raba dan memeriksa seluruh kantong dan
lipatan pakaian Sin Hong dan sepuluh buah jari tangannya seperti
sepuluh ekor cecak merayap-rayap. Satu demi satu bawaan Sin
Hong dikeluarkan, dan bungkusan-bungkusan obat, jarum-jarum
pengobatan, uang bekal, sampai buntalan pakaian. Akan tetapi
tetap tidak terlihat sebuah pun kitab.
Tadinya jari-jari tangan itu meraba-raba dan merayap-rayap
sehingga Sin Hong terpaksa harus mengerahkan tenaga menahan
kegelian. Akan tetapi tiba-tiba jari-jari tangan itu menegang dan
bagaikan kilat cepatnya orang itu menggunakan sebuah pisau tajam
menusuk lambung Sin Hong! Inilah perintah rahasia yang dibisikkan
886
oleh Kong Ji tadi, yaitu apabila kitab tak dapat ditemukan, selagi
memeriksa dan Sin Hong lengah orang ini supaya membunuh Sin
Hong dengan tusukan mendadak.
Dapat dibayangkan betapa sukarnya menghindarkan diri dari
serangan yang begini tiba-tiba dan dekat apa lagi dalam keadaan
tidak menyangka dan kedua tangan diangkat ke atas seperti
keadaan Sin Hong. Sin Hong yang merasa terkejut juga tidak
mempunyai kesempatan lagi untuk mengelak, maka ia lalu
mengerahkan sinkangnya ke dada, merendahkan diri dan memutar
tubuh sehingga pisau nu tidak mengenai lambungnya melainkan
mengenai dadanya, kemudian hampir pada saat yang sama, tangan
kirinya sudah menempeleng kepala orang itu.
Baju Sin Hong di bagian dada robek, kulit dadanya hanya
tergurat sedikit karena orang itu menusuk dengan sepenuh tenaga
lweekangnya. Akan tetapi orang gemuk yang kena ditempeleng
kepalanya itu, berputar-putar seperti sebuah gasing lalu terhuyunghuyung
dengan mata mendelik dan di lain saat ia roboh mencium
tanah tak bergerak lagi!
Sin Hong cepat mengambil barang barangnya yang tadi
dikeluarkan dan di lempar di atas tanah, kemudian ia memandang
kepada Kong Ji dengan mata berapi.
“Hemm, kau benar-benar seorang iblis yang palsu dan pengecut,
Kong Ji. Kau-lihat sendiri bahwa kitab itu tidak ada padaku. Aku
tidak biasa membohong atau menipu, sebaliknya kau benar-benar
tak tahu malu menyuruh babi itu melakukan serangan menggelap.
Apa sih kehendak mu?“
Kong Ji tidak merasa malu, hanya kecewa karena orangnya gagal
membunuh Sin Hong. Kalau ia sendiri yang tadi melakukan
pemeriksaan dan penyerangan menggelap itu. sudah dapat
dipastikan Sin Hong akan tewas. ia tertawa menyeringai ketika
menjawab,
“Sin Hong, dia itu menyerang karena mendongkol tidak dapat
menemukan kitab. Biarlah sekarang kauganti kitab itu dengan
pedang hijau itu, baru kau boleh pergi tanpa gangguan kami lagi.“
887
Sin Hong tersenyum mengejek. Ia tahu bahwa kata-kata ini pun
palsu belaka. Kalau ia memberikan pedang Cheng-liong-kiam itu,
atau bahkan andalkata ia mempunyai kitab itu dan memberikannya
kepada Kong Ji sekalipun, tetap saja ia takkan dibiarkan turun
gunung begitu saja. Ia sudah tahu betul akan dasar watak Kong Ji.
“Kong Ji, kau tahu bahwa pedang ini adalah pedang pusaka milik
Hui-eng Nio-cu yang dititipkan kepadaku, bagaimana kau
menghendakinya? Lebih baik aku kehilangan nyawa daripada
kehilangan barang pusaka yang dititipkan dan dipercayakan
kepadaku!“
“Ha, ha, ha, bodoh mata keranjang! Kau cinta pada gadis garuda
itu, bukan?“
“Kong Ji tutup mulutmu yang kotor!“ Sin Hong membentak
marah, akan tetapi jawaban Kong Ji merupakan aba-aba kepada
pasukannya dan serentak lima ribu orang anak buahnya bergerak,
pengurungan makin kuat!
Sin Hong mengerti bahwa ia seorang diri tak mungkin dapat
membobolkan kepungan lima ribu orang lawan, maka sambil
menggerak-gerakkan Pedang Cheng-liong-kiam ia berseru keras,
“Kong Ji, ingat bahwa biarpun kau berhasil membunuhku,
banyak sekali anak buahmu akan tewas lebih dulu oleh tanganku.
Bahkan kau sendiri takkan terlepas dari pedangku!“
“Ha, ha, ha, Sin Hong, kata-katamu seperti suara katak dalam
sumur.. Bersiaplah untuk mampus!“ kembali Kong Ji memberi abaaba
dan ratusan batang anak panah menyambar ke arah Sin Hong!
Pemuda itu memutar pedangnya yang segera berubah menenjadi
segulungan sinar hijau yang menyelimuti tubuhnya. Anak-anak
panah itu runtuh semua dan patah- patah. Kemudian pasukan golok
besar menyerbu Sin Hong. Anak buah pasukan itu rata-rata pandai
Ilmu Silat Golok karena memang mereka ini terlatih baik oleh
ketuanya, yakni Twa-to Kwa Seng. Golok mereka besar dan berat,
gerakan mereka cepat dan serangan, serangan mereka teratur
sekali seperti sebuah barisan golok.
888
Akan tetapi sekarang mereka menghadapi Sin Hong yang
memegang pedang pusaka ampuh. Tentu saja mereka merupakan
makanan empuk bagi Sin Hong. Serapat- rapatnya pengurungan,
untuk mengeroyok seorang lawan saja tak mungkin dapat maju
bersama lebih dari dua puluh orang. Yang aktip menyergap Sin
Hong paling banyak dua puluh dari segala jurusan, sedangkan yang
lain-lain hanya bersorak-sorak sambil mengamang-amangkan golok
besarnya saja.
Begitu Sin Hong menggerakkan tubuh dan pedang, bagaikan
batang-batang pohon ditebang para pengeroyok itu roboh. Darah
membanjir, pekik kesakitan saling susul dan tubuh bergelimpangan
tumpang tindih. Masih untung bagi mereka bahwa Sin Hong
memang seorang pemuda yang memiliki hati penuh welas asih,
sehingga pemuda ini tidak tega untuk menjatuhkan tangan maut.
Yang roboh itu semua hanya menderita luka-luka di kulit dan
daging saja tidak sampai mati akan tetapi juga tidak mampu bangun
karena di luar tahunya Sin Hong, pedang pusaka Cheng liong-kiam
mengandung semacam bisa yang membuat luka terasa perih seperti
dituangi cuka campur garam! Tidak mengherankan apabila orangorang
yang terluka itu menjerit-jerit dan memekik, meraung-raung
seperti babi-babi disembelih saking perih dan saking luka di tubuh
mereka akibat sabetan pedang hijau itu.
Akan tetapi musuh terlampau banyak. roboh sepuluh maju
penggantinya sehingga Sin Hong terus-menerus dikeroyok oleh dua
puluh orang, tak peduli setiap kali diganti mereka itu roboh. Juga
tempat menjadi penuh orang luka yang tentu saja menghalangi
gerakan Sin Hong, memaksa pemuda itu setiap kali berganti
gelanggang. ia maklum bahwa kalau diteruskan, ia akan terpaksa
merobohkan banyak sekali orang, mungkin sampai ratusan dan
akhirnya dia sendiri akan kehabisan tenaga dan menyerah.
Hatinya menjadi gemas sekali terhadap Kong Ji yang dapat
menggerakkan begini banyak orang sedangkan dia sendiri
bersembunyi. Maka sambil bertempur Sin Hong mencari-cari Kong Ji
dengan sudut matanya. Akhirnya ia melihat pemuda itu memberi
aba-aba dan mengatur di barisan tengah. Cepat bagaikan kilat Sin
Hong menerjang para pengepung sebelah kiri. Ia harus
889
membobolkan kepungan ini untuk dapat menyerang Kong Ji. Akan
tetapi sia-sia. Kong Ji yang melihat usahanya ini segera memberi
aba-aba dan selain bagian itu diperkuat, juga Kong Ji sendiri lenyap
dari tempat tadi, pindah ke lain tempat yang tidak terlihat oleh Sin
Hong.
Tiba tibu terdengar suara Kong Ji memberi aba-aba. “Mundur
semua, hujani anak panah!“
Inilah yang dikhawatirkan oleh Sin Hong. Selama ia dikepung
oleh pasukan bersenjata, ia masih aman karena tentu saja ia tidak
takut menghadapi serangan-serangan dari dekat dan dapat
merobohkan para lawannya. Akan tetapi kalau diserang dengan
anak panah, ia tak dapat berbuat lain kecuali melindungi dirinya,
tanpa dapat membalas.
Pasukan-pasukan itu sudah terlatih sekali dan mendengar abaaba
ini, mereka serentak mundur, membiarkan Sin Hong berada di
tengah-tengah. Kemudian dari seluruh jurusan hujan anak panah
menycrbu Sin Hong. Tadi Kong Ji telah mengatur sehingga barisan
panah dipencar mengelilingi tempat itu sehingga kini penyerangan
anak panah dapat dilakukan dari empat jurusan. Bukan saja anak
pariah yang menyambar, juga ada pisau, piauw, dan lain-lain
senjata rahasia seperti jarum dan paku atau pelor besi. Di antara
semua senjata rahasia yang datang seperti ini, terdapat juga Hektok-
ciam, yakni jarum-jarum berbisa dari Kong Ji sendiri.
Sin Hong terpaksa memutar lagi pedangnya seperti tadi dan
semua senjata rahasia runtuh. Akan tetapi Kong Ji sangat cerdik. ia
tidak melakukan serangan sekaligus, melainkan berantai, kalau
rombongan pertama selesai melepaskan anak panah, rombongan ke
dua menyusul, lalu rombongan selanjutnya sampai rombongan
pertama siap lagi. Dengan demikian, senjata rahasia yang
menghujani Sin Hong tidak pernah berhenti!
Sin Hong mendongkol bukan main. Sambil memutar terus
pedangnya sehingga tubuhnya tidak kelihatan, terbungkus oleh
sinar hijau, ia berseru,
890
“Kong Ji manusia jahanam, mengapa kau begini curang dan
pengecut? Hayo kita bertempur seribu jurus kalau kau memang
jantan!“
Akan tetapi jawabannya hanya ketawa mengejek dan tiba-tiba
dari kanan kiri datang balok-balok bergulingan ke arah Sin Hong. Sin
Hong terkejut sekali. Memang tempat ia dikeroyok ini agak rendah
sehingga kalau ada balok dilempar dari kanan kiri, akan bergulingan
ke tengah dan akan menyerang kakinya!
Balok itu datang dengan cepat dan menakutkan karena biarpun
Sin Hong amat kuat, apabila terdorong oleh balok balok itu, sukar ia
dapat mempertahankan. Cepat ia melompat dan sambil terus
melindungi tubuh bagian atas dengan gulungan sinar pedang, ia kini
harus berlompat- lompatan ke atas untuk menghindarkan diri dan
gilasan balok-balok itu. Tak lama kemudian tempat itu sudah penuh
dengan balok-balok yang ternyata adalah batang-batang pohon
yang ditebang oleh pasukan-pasukan itu untuk dipergunakan
sebagai senjata. Sekarang bukan hanya balok- balok yang datang
bergulingan, bahkan ada batu-batu besar yang mulai dipergunakan!
Sin Hong melompat dari balok ke balok, dari batu ke batu, dan
kadang-kadang batu yang jatuh menimpa batu lain mendatangkan
goncangan hebat sehingga gerakannya menjadi kacau dan terdapat
lubang pada pertahanan pedangnya. Tiga buah anak panah sudah
menancap di pundak dan punggungnya!
Sin Hong menggigit bibirnya, menahan rasa sakit dan tetap
mempertahankan diri. Sampai saat terakhir ia tidak sudi mengalah
atau menyerah.
Diam-diam Kong Ji kagum bukan main. Balok dan batu sudah
penuh, sampia rata dengan tebing kanan kiri dan tak dapat orang
menggulingkan sesuatu namun tetap saja Sin Hong belum mau
menyerah. Sudah tiga jam lebih pemuda itu dikeroyok, sudah
seratus orang lebih yang terluka dan kini dirawat di bagian belakang
karena tadi sebelum orang- orang menghujankan balok dan batu,
para korban yang terluka oleh pedang Sin Hong itu disereti ke
dalam pasukan.
891
Kalau tidak demikian, tentu mereka ini akan gepeng- gepeng
tergilas dan tertindih batu-batu dan balok-balok itu. Akan tetapi
tetap pemuda perkasa itu tidak mau menyerah. Padahal tiga batang
anak panah masih menancap di tubuhnya. Benar-benar gagah
perkasa!
“Sin Hong...! Lekas lempar Cheng-liong-klam dan berlutut minta
ampun kepadaku kalau kau ingin selamat!“ Kong Ji mencoba lagi
membujuk karena ia merasa ngeri menyaksikan kehebatan sepak
terjang Sin Hong dan khawatir kalau-kalau Sin Hong dapat
melepaskan diri dari kepungan itu.
Akan tetapi jawabannya hebat. Bukan dengan kata-kata
melainkan tiba-tiba gulungan sinar pedang hijau itu meninggalkan
tempat tadi dan kini sambil terus sinar pedang bergulung-gulung
melindungi tubuhnya. Sin Hong mendesak ke arah tempat Kong Ji
berdiri. Beberapa orang anak buah Kong Ji menyambutnya dengan
tombak di tangan, akan tetapi begitu terdengar suara keras,
tombak- tombak itu patah dan tujuh orang sekaligus roboh dengan
pinggang terbabat pedang!
Kong Ji menjadi penasaran dan marah. Ternyata kini Sin Hong
tidak berlaku kasihan lagi dan mulai membunuh anak buahnya.
Dengan gemas Kong Ji memerintahkan para pembantunya yang
kepandaiannya agak tinggi untuk membantunya dan ia sendiri
mencabut Pak-kek Sin-kiam lalu menyerang dengan bengisnya.
Diam diam Sin Hong terheran dan juga kagum. Baru saja dalam
pertempuran tadi di puncak ini, Kong Ji sudah terluka olehnya, akan
tetapi mengapa dalam waktu singkat Kong Ji sudah pulih lagi
tenaganya?
Benar-benar Kong Ji sudah memiliki kepandaian yang tinggi
tingkatnya. Sayang sekali ia tersesat dan menyeleweng. Dengan
penuh semangat Sin Hong menyambut serangan Kong Ji dengan
pedang pinjamannya dan di lain saat dikeroyok hebat oleh Kong Ji
dan tiga orang ketua pasukan yakni Siang-pian Giam-ong Ma Ek,
Sin-houw Lo Bong dan Twa-to Kwa Seng.
Memang betul bahwa dalam pibu tadi, tiga orang ketua ini telah
terlukakan tetapi luka-luka mereka ringan saja dan kini mereka
sudah dapat bertempur lagi membantu Kong Ji. Selain empat orang
892
gagah ini, masih ada belasan orang anggauta pasukan yang paling
tinggi ilmu silatnya yang mengeroyok Sin Hong.
Pada saat itu, Sin Hong sudah lelah sekali, juga darah yang
mengucur keluar dari tiga tempat yang terluka oleh anak panah,
membuat tubuhnya lemas dan tangan yang terluka kaku-kaku.
Baiknya tiga anak panah itu masih menancap sehingga darah yang
keluar dapat tertahan dan tidak begitu banyak. Kalau tidak demikian
tentu dalam pergerakan ilmu silat, otot-otot yang bergerak dan
mengejang membuat darah keluar banyak sekali!
Sin Hong mengerahkan seluruh tenaga, keuletan dan kepandaian
untuk melindungi diri, juga untuk membalas serangan lawan. Sudah
beberapa orang robohkan dan pada saat-saat terakhir ini dengan
serangan kilat ia telah berturut turut merobohkan Ma Ek dan Kwa
Sen sehingga dua orang ini binasa dengan leher terbabat putus.
Akan tetapi di lain pihak, Kong Ji juga berhasil melukai pangkal
lengan kirinya sehingga kulit dan daging pangkal lengan itu terobek
sampai kelihatan tulangnya. Bukan main sakitnya dan Sin Hong
merasa lengan kirinya lumpuh saking nyerinya.
Keadaannya sudah amat berbahaya karena Kong Ji tiba-tiba
melenyapkan diri dan memberi aba-aba untuk menghujani anak
panah lagi. Akan tetapi, pada saat itu, terdengar sorak sorai yang
riuh dan barisan belakang dari para pengepung itu mengalami
keributan hebat. Kong Ji kaget sekali dan cepat ia lari ke barisan
belakang.
Ternyata bahwa yang datang adalah pasukan yang sebagian
besar terdiri dari pendeta-pendeta hwesto gundul dan tosu yang
mengamuk bagaikan naga terluka. Sambil mengamuk mereka
berteriak -teriak. “Di mana adanya, jahanam Liok Kong Ji, biar kami
cincang hancur!“
Melihat bahwa yang datang itu adalah pendeta-pendeta dari
partai-partai besar, yakni hwesio-hwesio dari Siauw-lim-pai, tosutosu
dan pendeta-pendeta dari Teng-san-pai, Hong- san-pai dan
lain-lain yang dipimpin sendiri oleh ketua-ketua mereka, bahkan ada
pula di situ pasukan Hui-eng Nio-cu, diikuti pula oleh Tai Wi Siansu,
Leng Hoat Taisu, Bu Kek Siansu dan lain-lain orang yang tadi hadir
dan turun dari puncak. Kong Ji merasa semangatnya terbang
893
melayang meninggalkan raganya! Tanpa pamit ia kepada anak
buahnya, pemuda licik ini lalu diam-diam mengangkat kaki seribu
dan lari minggat dari tempat itu.
Memang yang datang itu adalah rombongan-rombongan pendeta
tersebut yang telah mendengar tentang wakil-wakil mereka yang
terbunuh oleh orang-orang Liok Kong Ji. Sebagaimana telah
dituturkan di bagian depan, ketua Teng- san-pai Pang Soan Tojin,
sudah bertemu dengan Sin Hong dan mendengar tentang
terbunuhnya para utusannya. Demikian pula partai-partai lain telah
melihat utusan- utusan mereka terbunuh di kaki gunung, maka
ketua dari masing- masing partai membawa barisan anak muridnya
mendatangi Ngo-heng-san dengan cepat.
Di lereng bukit ini mereka bertemu dengan rombongan
Tai Wi Siansu yang turun gunung dan mendengar semua hal ini
secara singkat. Marahlah mereka ini dan beramai ramai mereka lalu
menyerbu ke puncak. Barisan anak buah Liok Kong Ji kocar-kacir,
apalagi karena mereka sudah tidak mempunyai pemimpin pula.
Sin houw Lo Bong juga sudah roboh oleh Sin Hong dan dalam
keadaan kacau balau pasukan-pasukan itu mencari Kong ji untuk
minta petunjuk. Akan tetapi yang dicari sudah tidak kelihatan lagi
mata hidungnya!
Karena keributan ini, tertolonglah nyawa Sin Hong. Ta
ditinggalkan para pengeroyoknya dan kini pemuda ini melompat ke
atas tumpukan batu balok, melihat penyembelihan besar-besaran
yang dilakukan oleh para hwesio Siauw-limpai dan tosu Go-bi-pai,
juga oleh gadis Hui- eng-pai dan anak-anak murid partai besar lain.
Hatinya tidak tega. Ta mengerahkan tenaga khikangnya, lalu
berseru keras, “Semua Enghiong yang bertempur, tahan
senjata...!!'“
Suara ini menggeledek di angkasa, bergema diempat penjuru dan
selain menusuk anak telinga juga menggetarkan hati sehingga
semua orang yang sedang ribut bertempur itu otomatis
menghentikan gerakan mereka dan berpaling ke arah orang yang
bicara ini.
894
Mereka melihat Si Hong berdiri dengan muka pucat, nampak
gagah menyeramkan, berdiri di atas tumpukan balok dan batu,
pakaiannya compang camping, bajunya bernoda darah, di pundak
kiri dan di punggung kelihatan tiga batang anak panah menancap,
pangkal lengan kirinya terluka hebat dan dari situ mengahr darah.
Dalam keadaan terluka sehebat itu masih dapat mengeluarkan suara
demikian dahsyat. benar-benar luar biasa sekali pemuda itu.
“Para Enghiong dari timur dan selatan, dengarlah kata- kataku!
Kalian secara membuta telah ditipu oleh manusia sesat Liok Kong Ji.
Kalian telah mengangkat seorang Tung- nam Tai-bengcu yang
jahat! Buktinya kalian sudah melihat dan mendengar sendiri
bagaimana sikapnya yang jahat tadi. Dan sekarang, setelah datang
serangan dari para orang gagah yang marah kepadanya, di manakah
adanya Liok Kong Ji? Dia telah lari! Dan secara pengecut sekali
meninggalkan kalian. Oleh karena itu, mengapa kalian begitu bodoh
untuk membela orang dan mempertaruhkan nyawa secara sia-sia
belaka? Kematian kalian bukan kematian orang gagah, melainkan
kematian orang-orang bodoh yang membela Kong Ji orang yang
jahat!
Para pengikut Liok Kong Ji saling pandang, mereka mulai
mencari-cari apakah pemuda yang mereka puja itu telah pergi tanpa
pamit.
“Cuwi-locianpwe dari partai-partai besar, harap suka maafkan
mereka ini yang karena kebodohan telah ditipu oleh Kong Ji. Yang
berdosa adalah Liok Kong Ji, bukan mereka ini. Aku minta dengan
sangat supaya pertempuran ini dihentikun saja!“
Karena tidak melihat adanya Liok Kong Ji yang membantah
omongan ini, para anak buah Bu-cin-pai, Tm- yang-bupai, Twa-tobu-
pai, Kwan-cin-pai, Shansi Kai-pang dan lain-lain mulai kendur
semangatnya dan mereka benar-benar tidak mau bertempur Mereka
mulai mengumpulkan kawan-kawan sendiri yang terluka dan binasa
dan sedikit demi sedikit mereka mulai mengundurkan diri.
Adapun rombongan yang baru datang, mulai bergerak naik dan
memenuhi tempat pertemuan di puncak. Nampak bayangan yang
gesit berkelebat dan di lain saat Siok Li Hwa telah melompat keatas
895
tumpukan balok dan batu, berdiri di depan Sin Hong dengan mata
terpentang lebar.
“Wan Sin Hong, kau... terluka hebat...!“ Sin Hong tersenyum,
pandang matanya kepada gadis ini penuh terima kasih.
“Aku masih hidup, berkat pokiam (pedang pusaka) yang kau
pinjamkan kepadaku dan berkat kembalimu ke sini, Niocu. terima
kasih banyak dan selamanya Wan Sin Hong takkan melupakan budi
kebaikan Siok Li Hwa,” Sin Hong mengangsurkan pedang hijau yang
berlumuran darah.
Ketika Li Hwa melihat betapa tangan yang memegang pedang itu
mulai menggigil, ia menjadi kasihan dan terharu sekali.
Ia sendiri merasa heran sekali karena selama hidupnya baru kali
ini ia mengalami perasaan seperti ini dan lebih aneh lagi, tiba-tiba
saja perasaannya naik membuat air matanya bertitik turun ketika ia
menerima pedangnya itu kembali. Akan tetapi ia segera bergerak
maju dan menyambar tubuh Sin Hong karena pemuda ini sudah
limbung dan tentu akan roboh terguling dari tumpukan batu dan
balok kalau saja Li Hwa tidak cepat-cepat menyambarnya. Sin Hong
telah jatuh pingsan dalam pelukan Li Hwa!
Ketika Sin Hong siuman kembali, ia telah dibaringkan di atas
rumput dan kelihatan muka-muka yang ramah dan terkenal. Mereka
ini adalah ketua-ketua partai yang tadi datang menolongnya. Para
tokoh besar ini duduk mengelilinginya dalam jarak dua tombak dan
Tai Wi Siansu sendiri yang merawatnya. Tiga batang anak panah
sudah dicabut dan luka-lukanya sudah ditempeli obat oleh ketua
Kun-lun-pai itu, rasanya nyaman dan dingin. Ketika Sin Hong
menggerakkan matanya, terlihat olehnya wajah Siok Li Hwa
memandang mesra kepadanya dengan mata masih basah, lalu
wajah Leng Hoat Taisu ketua Thian-san-pai, wajah Bu Kek Siansu
ketua Bu-tong-pai, wajah hwesio gundul Kian Hok Taisu ketua Gobi-
pai, Pang Soan Lojin ketua Teng-san pal, Kong Hian ketua Siawlim-
pai, Pek Kong Lojin ketua Hong-san-pai dan banyak lagi tokohtokoh
besar dunia persilatan pada waktu itu.
896
Melihat dirinya dikelilingi oleh tokoh-tokoh terbesar dari seluruh
dunia kangouw, Sin Hong cepat bangkit duduk. hendak memberi
hormat akan tetapi Tai Wi Siansu berkata dengan suara hormat,
“Harap bengcu jangan banyak bergerak dulu karena masih
lemah. Dengan duduk saja kami sudah cukup puas mendengar katakata
bengcu.“
Kata-kata ini membuat Sin Hong kaget setengah mati. “Eh,
Locianpwe... apa artinya ini..?“
“Ketika Bengcu sedang pingsan, sambil menanti Bengcu siuman
kembali, kami telah berunding dan mengambil keputusan
mengangkat Bengcu sebagai bengcu baru.“
“Eh, mana ada aturan ini? Di samping aku sendiri yang bodoh
masih ada Hui-eng Niocu yang gagah perkasa.“ Ia memandang
kepada Li Hwa yang duduknya tepat di depannya.
Li Hwa berkata dengan suara halus, “Aku suka mengalah, biar
kau saja yang menjadi bengcu. Kau seorang laki-laki sedangkan aku
hanya seorang wanita, sepantasnya kau yang menjadi bengcu.“
Mendengar kata-kata ini Sin Hong memandang tajam dan bukan
main anehnya, setelah berkata demikian Li Hwa menundukkan
mukanya yang menjadi kemerah-merahan, nampaknya malu-malu!
Setelah menarik napas, Sin Hong berkata kepada para
ciangbunjin yang berada di situ.
“Apa boleh buat, tadinya aku hanya menjaga jangan sampai
kedudukan bengcu jatuh ke dalam tangan orang jahat. Tidak
tahunya aku sendiri sekarang terpilih. Aku harus bertanggung jawab
dan tak dapat aku menolak begitu saja. Terima kasih atas
kepercayaan para ciangbunjin yang berada di sini. Akan tetapi oleh
karena aku yang muda memang tidak tahu apa apa dan kurang
pengalaman. aku mengandalkan bantuan dan bimbingan Cuwi
Locianpwe dalam kedudukan ini. Segala kesalahan sepak terjangku
harap ditegur dan apa yang aku tidak mengerti harap dijelaskan.“
“Sudah tentu demikian, harap Bengcu tak usah khawattr.
Kedudukan Bengcu hanya untuk menjadi pegangan bagi kita semua
bahwa dunia kang-ouw ada seorang yang dipandang, seorang yang
897
akan memutuskan apabila terjadi kesalahpahaman di antara kawan
sendiri. Seorang yang akan memutuskan dan membimbing kita
sekalian apabila ada peristiwa penting di dunia. Dengan adanya
seorang bengcu baru di dunia kang-ouw, kiranya antara kita akan
ada persatuan yang lebih erat, memandang muka Bengcu yang
bijaksana dan mulia,“ kata Tai Wi Siansu.
“Tepat sekali kata-kata Tai Wi Siansu tadi,“ kata Kong Hian
Hwesio ketua Siauw-lim-pai. “Dewasa ini muncul banyak orang jahat
yang lihai dan ingin menduduki kedudukan bengcu agar dapat
mempengaruhi dunia orang gagah. Baiknya sekarang kita telah
memilih seorang yang biarpun masih muda namun dapat kita
percaya kekuatan lahir batinnya. Memang amat perlu kita
memperkuat persatuan karena pinceng mendengar bahwa banyak
sekali orang-orang sakti dari utara dan barat hendak datang
menjajah negara yang dianggap sedang berada dalam keadaan
lemah. Kita harus menghadapi mereka dan kalau mereka datang,
kita harus mengusir mereka agar pengaruh mereka tidak merusak
kebudayaan kita. Semua ini dapat dilakukan dengan baik dan
teratur kalau kita semua taat dan mendengar komando dari bengcu.
Setiap orang di setiap daerah masing-masing bekerja dan semua
hasil pengawasan dilaporkan kepada bengcu. Juga setiap ada
peristiwa penting harus dilaporkan kepada bengcu. Akhirnya bengcu
yang mengatur dan menentukan langkah selanjutnya.“
“Hal ini mana dapat kulaksanakan tanpa bantuan Cuwi
locianpwe?“ kata Sin Hong yang diam-diam merasa betapa berat
dan besar tanggung jawabnya sebagai bengcu.
“Bengcu jangan khawatir, sudah tentu dalam menentukan
sesuatu, Bengcu merundingkan hal itu dengan para ketua yang
Bengcu tunjuk dan angkat sebagai pembantu,” kata Bu Kek Siansu.
”Nah, kalau begitu barulah aku yang muda dan bodoh berani
menghadapi tanggung jawab yang maha besar ini. Apabila Cuwilocianpwe
tidak keberatan aku menetapkan Samwi-locianpwe, tiga
ketua dari Kun-lun-pai, dan Thian-san-pai dan Bu-tong-pai sebagai
pembantu-pembantu atau wakil-wakilku, karena Samwi-locianpwe
ini yang telah menjadi saksi tadi tentang keadaanku dan tentang
pemilihan bengcu. Apakah Cuwi semua setuju?”
898
”Kami setuju dan taat akan perintah Bengcu,” kata Pek Kong
Lojin ketua Hong-san-pai sehingga diam-diam Sin Hong terkejut
bukan main. Ah, kata katanya agaknya merupakan perintah dan
selalu akan ditaati oleh para tokoh besar dunia persilatan ini. Inilah
kekuasaan yang amat hebat! Pantas saja kedudukan ini begitu
dikehendaki oleh Kong Ji, kiranya untuk mendapat kekuasaan yang
maha besar ini. Kalau kedudukan bengcu jatuh di tangan seorang
jahat seperti Kong Ji, alangkah akan kacaunya dunia!
“Mohon tanya di manakah tempat kedudukan Bengcu agar
mudah bagi kami untuk menyampaIkan sesuatu?” Pertanyaan ini
diajukan olah Pang Soan Tojin. Untuk pertanyaan ini Sin Hong
sudah mempunyai jawaban. Dengan sungguh-sungguh ia
menjawab.
”Untuk sementara ini oleh karena aku hendak mencari dan
menangkap Liok Kong Ji, maka segala sesuatu harap ditempatkan
kepada Tai Wi Siansu di Kun-lun pai. Kelak apabila semua urusan
sudah beres aku akan menetap di Luliang-san yakni di puncuk Jengin-
thia.”
Setelah tanya jawab selesai, di puncak Ngo-heng-san ini lalu
disediakan meja sembahyang dan diatur oleh Tai Wi Siansu dan
tokoh-tokoh lain yang sudah tua dan tahu akan peraturan
pengangkatan atau pengesahan bengcu. Setelah persiapan selesai,
Sin Hong diminta untuk bersembahyang, bersumpah kepada Langit
dan Bumi bahwa ia akan menjabat kedudukan bengcu dengan hati
ikhlas dan tulus, akan memimpin dunia kang-ouw ke arah jalan
kebenaran dan memberantas kejahatan tanpa pamrih untuk
menguntungkan diri sendiri.
Setelah Sin Hong selesai sembahyang lalu semua orang
bersembahyang dari tokoh-tokoh besar, ketua-ketua partai besar
bersumpah pula bahwa mereka akan setia dan taat kepada bengcu
yang mereka angkat sendiri dan takkan mempunyai hati bercabang
serta akan membantu semua usaha bengcu!
Sin Hong terharu sekalt mendengar sumpah mereka itu. Hanya Li
Hwa seorang yang tidak bersumpah, akan tetapi tidak ada yang
mendesak gadis ini oleh karena mereka menganggap bahwa
899
seorang gadis muda seperti Li Hwa tidak perlu harus ikut dalam
upacara ini.
Setelah upacara selesai, beramai-ramai para ketua itu memberi
hadiah kepada Sin Hong. Pemuda ini terharu, terkejut, dan girang
sekali melihat hadiah-hadiah itu, karena tak disangkanya sama
sekali bahwa para ketua partai itu memberi hadiah dengan barangbarang
pusaka dari partai masing-masing! Kong Hian Hwesio ketua
Siauw-lim-pai memberi sebuah Kim-si-joan-pian, sebuah senjata
pecut lemas yang gagangnya terbuat dari emas dan pecut itu sendiri
terbuat daripada logam yang lebih lemas dan kuat daripada baja.
Pek Kong Lojin ketua Hong-san-pai memberi Pek kim-i sebuah
kutang terbuat dari pada emas putih yang sudah diolah sedemiklan
rupa sehingga kalau kutang ini dipakai maka tubuh bagian atas
sebata pinggang sampai ke leher akan terlindung dan takkan terluka
oleh bacokan senjata tajam! Tat Wi Siansu sendiri memberikan
pedang Bok-shin-kiam, sebatang pedang yang mengandung khasiat
untuk mengusir hawa jahat dari siluman dan dapat dtpergunakan
pula untuk menyembuhkan luka bekas gigitan binatang berbisa,
pendeknya sebuah pedang kayu yang amat tinggi nilainya, bukan
pedang untuk bertarung.
Leng Hoat Taisu ketua Thian-san-pai memberi hadiah tongkat
pendek berkepala burung hong yang terbuat daripada jantung batu
hitam dan kerasnya melebihi baja. Pendeknya, masih terlalu banyak
barang-barang indah pusaka ampuh diberikan oleh para ketua itu
sebagai hadiah kepada Sin Hong. Li Hwa tidak mau ketinggalan.
Dengan gerakan lemah gemulal gadis ini memberikan pedangnya
yang bersinar hijau, yakni pedang Chen liong-kiam kepada Sin
Hong, katanya,
“Kau kehilangan Pak-kek Sin-kiam, biarlah pedang ini menjadi
penggantinya'“
Tai Wi Siansu dan yang tersenyum maklum bahwa gadis ini telah
jatuh hati kepada bengcu mereka. Akan tetapi Kian Hok Taisu ketua
Gobi-pai berkata kaget,
900
“Hui-eng Niocu, pokiam (pedang pusaka) itu adalah warisan Patjiu
Nio-nio dan dahulu disayang melebihi nyawa sendiri. Sebaliknya
kau memberi barang lain kepada Bengcu, jangan pedang itu!“
Siok Li jiwa memandang tak senang kepada pendeta itu. “Kian
Hok Taisu, kau orang tua peduli apakah dengan urusanku sendiri?
Bukan hanya mendiang Nio-nio, aku pun sayang akan pedang itu,
melebihi nyawaku sendiri'“
“Kalau begitu mengapa diberikan kepada Bengcu?“
Ditanya begin!, muka Li Hwa menjadi merah sekali dan ia tahu
bahwa tadi telah kesalahan bicara.
“Aku berikan kepada siapapun juga, mau peduli apakah?“
tanyanya marah dan sepasang mata yang indah itu memandang
kepada Kian Hok Taisu.
Pendeta ini tersenyum sabar. “Memang tidak ada sangkutannya
dengan pinceng, hanya pinceng hendak mengingatkan bahwa kalau
Pat-jiu Nio-nio masih hidup dia akan menganggap pemberian
pedang ini sebagai tanda ikatan jodoh.“
Mendengar kata-kata mi, muka Li Hwa menjadi pucat. Ia
otomatis berpaling kepada Sin Hong yang mengangsurkan pedang
Cheng liong-kiam kepadanya, mukanya menjadi merah sekali.
“Kau menolak pemberianku?“ tanyanya dengan suara gemetar.
“Pedang pusaka adalah pelindung diri tak baik berpisah
denganmu, Niocu,” kata Sin Hong tersenyum.
Dengan muka sebentar pucat sebentar marah dan tubuh
sebentar panas sebentar dingin, Li Hwa menyambar pedang Chengliong-
kiam dari tangan Sin Hong, lalu melompat bangun dan berlari
cepat meninggalkan puncak itu. Anak buahnya melihat ini lalu cepat
mengikuti ketua mereka.
“Ah, dia marah....“ kata Sin Hong suaranya menyesal sekali.
“Harap Bengcu suka memaafkan kelancangan pinceng.
Pernyataan pinceng tadi memang bukan buatan pinceng sendiri
melainkan dahulu memang Pat jiu Nio-nio menyatakan demikian. Di
samping ini, juga pinceng kurang suka kalau sampai benar-benar
901
pedang itu dijadikan ikatan jodoh antara Bengcu dan dia. Hui-eng
Nio-cu terlalu banyak mewarisi watak Pat-jiu Nio-nio“
“Tidak apa. Locianpwe. Memang kalau pemberian pedang itu
berarti ikatan jodoh, tak boleh dilakukan secara sembrono dan tentu
saja aku pun tak dapat menerima begitu saja.“
Setelah beramah-tamah dan semua tokoh menyatakan gembira
melihat betapa bengcu baru ini dengan cepat pulih kembali
kesehatannya setelah Sin Hong mempergunakan obat-obatnya
sendiri, mereka lalu berpamit dan turun gunung kembali ke tempat
masing-masing. Semua jenazah yang bertumpuk di tempat itu tadi
telah dikubur atas perintah Sin Hong, dan untuk pekerjaan ini
dikerahkan tenaga anak murid partai besar yang bekerja secara
bergotong-royong sehingga sebentar saja penguburan selesai dan
keadaan menjadi bersih kembali.
Setelah semua orang turun gunung, Sin Hong lalu turun gunung
pula. Barang-barang hadiah yang diterima tadi semua dititipkan
kepada Tai Wi Siansu, kecuali Kim-si-joan-pian pemberian Kong
thian Hwesio dari Siauw-lim-si, pecut ini dibawa untuk senjata,
karena selain pecut ini merupakan senjata ampuh. juga amat
mudah dibawa, dapat digulung dan dimasukkan saku atau dililitkan
di pinggang. Biarpun tubuhnya masih terasa lemas namun
kesehatannya sudah pulih kembali.
“Aku harus mendapatkan Kong Ji dan membunuhnya. Dia
terlampau berbahaya dan akan banyak terjadi kejahatan kalau dia
masih hidup,“ pikir Sin Hong sambil menuruni Gunung Ngo-hengsan.
Ketika ia tiba di sebuah lereng, mendengar suara orang memakimaki.
Sin Hong melihat dari jauh di bawah, di atas batu-batu karang
dan terpisah jauh dari tempatnya, ia melihat bayangan dua orang
sedang bergerak gerak seperti bertempur. Yang seorang memegang
pedang dan orang ke dua yang diserang dan didesak adalah
seorang tua tinggi bertangan kosong. Dalam beberapa gebrakan
saja, orang bertangan kosong itu tertusuk pedang yang menembus
dadanya. Jeritnya mengerikan ketika pemegang pedang mencabut
pedangnya dan menendang mayat musuhnya ke dalam jurang yang
amat dalam. Sebentar saja orang berpedang itu menghilang lagi.
902
Sin Hong tak berdaya menolong. Jangankan menolong,
mendekat saja tak mungkin. Jarak antara tempat dia berdiri dan
tempat dua orang bertempur tadi amat jauhnya, selain ini, untuk
berlari cepat menuju ke tempat itu harus mengambil jalan memutar,
sedangkan tenaganya masih lemah.
Biarpun hanya melihat bayangannya saja dan tidak mengenal
dua orang itu, tetapi sinar pedang itu tidak diragukannya pula.
Itulah sinar pedang Pak kek Sin-kiam dan orang yang melakukan
pembunuhan itu bukan lain tentulah Liok Kong Ji orangnya! Dengan
demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa tadi sebenarnya Liok
Kong Ji belum turun gunung, melainkan bersembunyi di dekat situ
dan bukan tidak mungkin kalau Kong Ji mendengarkan dan melihat
semua peristiwa yang terjadi di puncak Ngo-heng- san. Diam-diam
Sin Hong bergidik. Tak disangkanya bahwa Kong Ji telah berubah
menjadi seorang iblis jahat! Seorang iblis yang berkepandaian
tinggi, berotak cerdik penuh siasat dan muslihat, seorang yang amat
berbahaya di dunia ini.
Ia berjalan terus. Ketika hampir tiba di kaki gunung, mendengar
seruan orang. “Wan Sin Hong...!“ Sin Hong berhenti dan tak lama
kemudian Siok Li Hwa sudah berdiri di hadapann)a. Gadis ini
nampak cantik sekali, sepasang pipinya kemerahan, matanya
memandang mesra dan bibirnya tersenyum-senyun malu.
“Sin Hong, aku menyesal sekali tadi telah bersikap kasar. Harap
kau maafkan...“ suaranya merdu dan halus.
“Ah, tidak Niocu. Eh, mana pasukanmu dan kau mengapa masih
berada di sini?“ tanya Sin Hong untuk menyimpangkan pembicaraan
tentang hal yang amat tidak enak baginya itu. Akan tetapi usahanya
sia-sia karena ternyata kemudian gadis ini memang agaknya hendak
membicarakan hal itu!
“Anak buahku kusuruh berangkat lebih dulu dan aku memang
sengaja menanti kau di sini. Baiknya aku melihat kau lewat di sini,
karena aku menanti di sebelah sana,“ jari telunjuk yang mungil itu
menuding ke arah kiri, dari mana tadi ia datang berlari-lari.
“Kau menanti aku? Ada apakah?“ Hati Sin Hong berdebar.
Li Hwa bicara menundukkan mukanya.
903
“Aku... aku sengaja menanti, pertama-tama untuk minta maaf
kepadamu tentang sikapku tadi. Sungguh mati aku tidak tahu akan
maksud pemberian pedang seperti yang dikatakan oleh tua bangka
Kian Hok Taisu tadi. Misalnya benar-benar artinya seperti itu pun,
bagiku... eh, aku tidak menaruh keberatan.“ Tiba-tiba ia
mengangkat mukanya memandang dan kini Sin Hong yang harus
menundukkan muka untuk menyembunyikan wajahnya yang
menjadi pucat.
Akan tetapi Li Hwa masih dapat melihat betapa wajah Sin Hong
amat pucat. Ia mengira bahwa Sin Hong masih menderita karena
sakit dan lukanya, maka ia berkata cepat-cepat.
“Eh, maafkan, Sin Hong. Tidak seharusnya kita bicarakan soal
itu, kau masih menderita karena luka-lukamu. Sebetulnya, aku
menantimu terutama sekali untuk mengajakmu ke Go-bi-san,
marilah kau tinggal untuk beberapa lama di tempatku agar aku
dapat merawatmu sampai kau sembuh betul, Sin Hong.“
Sin Hong masih berdebar dan kata- kata ini membuat ia terpaksa
menjawab, “Terima kasih, Niocu. Tak usah kau repot-repot, aku
tidak perlu dirawat, lukaku hanya luka di luar saja, tak lama lagi
juga akan sembuh.“
“Kau masih begitu pucat, Sin Hong. Marilah, biar kau...
kugendong dan nanti kalau sudah dapat menyusul anak buah ku,
kau dapat kusuruh carikan kuda. Aku hendak menolongmu dengan
hati tulus Sin Hong, Jangan kau salah mengerti.“
Bukan main terharunya hati Sin Hong, juga ia bingung sekali
karena ia tahu bahwa penolakan berarti akan melukai gadis yang
mudah marah dan mudah ter singgung
“Sekali lagi terima kasih atas segala budimu, Niocu. Sudah
terlampau banyak aku berhutang budi kepadamu, harap jangan
kautumpuki lagi agar tidak terlalu sukar bagiku untuk membalasmu
kelak. Bukan sekali-kali aku tidak suka terima tawaranmu untuk
tinggal di tempatmu yang tentu nyaman dan meyenangkan. Akan
tetapi, kau tahu bahwa Liok Kong Ji masih hidup dan berkeliaran di
muka bumi. Aku akan mencarinya, aku harus dapat melenyapkan
manusia iblis itu dari muka bumi baru dapat bernapas lega. Oleh
904
karena itu bukan aku menolak ajakanmu, hanya aku tidak mungkin
dapat menunda usahaku mengejar dan mencari Liok Kong Ji. Biarlah
lain kali kalau sudah selesai tugasku ini, aku pasti akan mencari dan
mengunjungimu di Go-bi-san.
Li Hwa menundukkan mukanya, nampaknya kecewa dan berduka
sekali.
“Betulkah kau akan ke sana, Sin Hong?“
“Pasti aku akan ke sana kelak, Niocu.“
“Kau tidak bohong?“
Sin Hong ketawa. Percakapan itu seperti percakapan anak kecil.
“Mana aku berani membohong?“
“Aku... aku akan selalu menanti kedatanganmu. Sin Hong.“
Kata-kata yang diucapkan dengan jujur sekali ini membuat Sin
Hong terharu dan makin perih rasa hatinya.
“Jangan khawatir, Niocu. Kalau nyawa masih berada di badanku,
kelak aku pasti akan datang mengunjungimu.“
Mendengar kata-kata ini, tiba tiba Li Hwa mengucurkan air mata.
“Eh, eh, kau kenapa. Niocu…..?“
“Sin Hong jangan hilang tentang mati. Baru-baru ini hampir saja
kau tewas. Kalau... kalau kau tewas... hidup tidak ada artinya lagi
bagiku....“
“Niocu...!“ Sin Hong benar-benar terkejut karena tak
disangkanya gadis itu akan sedemikian berterus terang.
“Benar, Sin Hong! Selama ini hidupku kosong, tidak ada artinya.
Aku merasa bosan hidup di puncak dan pada waktu itu, aku akan
menghadapi kematian sewaktu-waktu dengan hati terbuka. Akan
tetapi... semenjak pertemuan di puncak Ngo-heng-san... perasaan
hatiku lain se kali. Lebih terasa ketika tadi aku meninggalkanmu...
aku takkan dapat hidup seorang diri lagi. Sin Hong, aku takkan
dapat hidup kalau... kalau kau jauh dariku. Karena itu, kau tahu
bahwa aku akan menanti kedatanganmu di tempatku, kalau kau
membohong, aku akan mencarimu, Sin Hong.“ Setelah berkata
905
demikian, ia mengangsurkan pedang Cheng-liong-kiam sambil
berkata, “Terimalah pedangku ini!“
Sin Hong merasa bingung, kemudian dengan suara sedih ia
menjawab,
“Aku tak dapat menerimanya, Niocu.“
Pucat wajah gadis itu. “Kau menolak ikatan jodoh denganku?
Jangan khawatir, pemberianku ini sekedar supaya kau mempunyai
senjata pelindung diri. Kelak kalau berkunjung kepadaku, dapat
kaubawa kembali.“
Kembali Sin Hong menolak.
“Bukan demikian, Niocu....“
“Namaku Li Hwa, Siok Li
Hwa, kau tak perlu menyebut
Niocu!“
“Baiklah. Kuulangi, bukan
demikian maksudku tadi, Li
Hwa. Aku tidak memerlukan
pedang, apalagi pedang yang
kau pakai sebagai senjata
pelindung dirimu sendiri. Aku
sudah mempunyai ini!“ Ia
mengeluarkan pecutnya kepada
gadis itu.
Li Hwa menarik napas
panjang. “Sudahlah, aku tak
dapat memaksa. Asal saja kelak
kau tidak melanggar janjimu.
Aku selalu menantimu sampai setahun, Sin Hong. Lewat setahun,
kalau kau belum juga datang menjengukku, aku akan turun gunung
niencarimu!“ Setelah berkata demikian, sekali lagi Li Hwa menatap
wajah pemuda itu dengan pandang mata mesra sekali, kemudian ia
membalikkan tubuh dan berlari bagaikan terbang cepatnya,
menyusul rombongan anak buahnya.
906
Sin Hong berdiri bagaikan patung. Celaka, pikirnya, gadis itu
benar benar telah jatuh cinta kepadanya dan cinta seorang gadis
seperti Li Hwa amat berhahaya. Gadis itu semenjak kecil hidup
menyendiri hatinya keras dan sekali mempunyai kehendak, akan
dibelanya pelaksanaannya dengan nyawa. Ia maklum bahwa kelak
ia akan mengalami banyak susah dari gadis ini. Akan tetapi, apa
dayanya? ia tidak mencinta Li Hwa. Hanya satu kali ia mencinta
orang, ialah Go Hui Lian, atau boleh jadi juga Gak Soan Li. Ia sendiri
tidak begitu yakin akan hal ini.
Sin Hong melanjutkan perjalanannya sambil melamun.
-oo0mch-dewi0oo-
Kaisar duduk di atas singgasana di balai pertemuan, dihadap oleh
para panglima dan menterinya. Di antara panglima, tampak juga
See-thian Tok-ong yang sekarang telah kembali ke istana. Kepada
Kaisar, See-thian Tok-ong menceritakan tentang pertemuan orang
orang gagah di Puncak Ngo-heng-san, menceritakan bahwa di sana
terjadi pertempuran besar dan delapan orang busu pengikutnya
gugur dalam pertempuran itu! Diceritakannya pula bahwa terjadi
perubahan kedudukan bengcu, dan akhirnya karena pihak sana
lebih kuat, kedudukan bengcu tak dapat ia rebut dan jatuh ke dalam
tangan seorang penjahat dan orang yang anti kaisar bernama Wan
Sin Hong! Ta menceritakan pula bahwa Go Ciang Le berdiri di pihak
penjahat Wan Sin Hong itu dan bahwa Go Hui Lian ternyata telah
lari tidak kembali ke kota raja, melainkan ikut ayahnya.
Semua ini tentu hisapan jempol belaka dan See-thian Tok-ong
yang diam-diam telah mengadakan persekutuan dengan Liok Kong
ji. Delapan orang busu yang ikut dengan dia telah dibunuh di tengah
perjalanan pulang!
Tentu saja Kaisar amat marah mendengar ini. “Kami akan
mengirim pasukan untuk menangkap pemberontak Go Ciang Le dan
mencari penjahat Wan Sin Hong!“ kata Kaisar.
“Hal Ttu tidak demikian mudah dilakukan, Sri Baginda,“ kata
See-thian Tok-ong. “Wan Sin Hong dan Go Ciang Le selain memiliki
kepandaian tinggi, juga banyak sekali pengikutnya. Apalagi
907
sekarang penjahat dan pemberontak Wan Sin Hong telah menjadi
bengcu, pengaruhnya amat besar. Dia sedang mengumpulkan
tenaga untuk memberontak dan menyerbu kota raja. Partai-partai
besar kaum persilatan berdiri di belakangnya.
“Koksu, bagaimana baiknya?“ tanya kaisar kepada Sce- thian
Tok-ong dengan. nada khawatir.
“Menurut pendapat hamba, untuk menghadapi mereka harus
menyusun kekuatan yang terdiri dari orang-orang gagah di dunia
persilatan pula. Hamba akan mengumpulkan kawan-kawan di rimba
persilatan, dan di antara mereka, bahkan kemarin hamba bertemu
dengan seorang tokoh besar yang biarpun masih muda, namun
telah diangkat menjadi bengcu dari kaum persilatan selatan dan
timur. Dia telah berjanji hendak mengerahkan kawan-kawannya
membantu apabila Paduka sudi menerima dan memberi kedudukan
kepadanya.“
Kaisar menjadi girang, apalagi ketika mendengar obrolan Seethian
Tok-ong bahwa pemuda bernama Liok Kong Ji itu memiliki
kepandaian yang setingkat dengan kepandaian See- thian Tok-ong.
“Panggil dia ke sini! Kalau dia mencocoki hati, kami akan
memberi pangkat sebagai wakilmu!“
Demikianlah, pada hari itu, Liok Kong Ji dibawa masuk ke dalam
istana kaisar dihadapkan kepada Kaisar. Melihat kedatangan
pemuda ini, dan mendengar dari See-thian tok- ong bahwa
sekarang ini harus berlaku hati-hati dan perundingan
menghancurkan Wan Sin Hong dan Go Ciang Le tidak baik kalau
terdengar semua punggawa, Kaisar lalu membubarkan pertemuan
itu. dua belas pengawal pnbadinya yang masih berada di situ,
menjaga kalau-kalau ada bahaya dari luar pada waktu berunding
dengan ‘See- thian Tok-ong, Kwan Ji Nio, Kwan Kok Sun, dan Liok
Kong Ji.
Melihat seorang pemuda tampan dan lemah lembut serta sopan
santun, Kaisar gembira sekali. ia merasa kagum melihat seorang
masih demikian muda akan tetapi sudah dipuji setinggi langit oleh
See-thian Tok-ong. Apalagi setelah mereka bercakap-cakap, Kong Ji
menyatakan dengan berani bahwa telah bertemu Temu Cin dan
908
menjawab pertanyaan Kaisar ia menyatakan bahwa Temu Cin
adalah seorang pemuda hutan liar yang sombong, padahal
kekuatannya tidak berapa hebat, Kaisar merasa terhibur dan makin
suka kepada Kong Ji.
Pada saat itu, penjaga pintu melaporkan kedatangan seorang
tamu.
“Wanyen Siauw ongya mohon menghadap!“ Kaisar memandang
keluar dengan muka berseri. “Ah, dia juga baru datang? Suruh dia
masuk“‘
Dari luar muncul seorang pemuda yang membuat wajah Liok
Kong Ji menjadi pucat seketika akan tetapi ia teringat akan cerita
See-thian Tok-ong bahwa di istana terdapat seorang pangeran
bernama Wanyen Ci Lun yang wajahnya sama benar dengan wajah
Wan Sin Hong, yaitu pangeran yang pernah datang di Puncak Ngoheng
san dan telah terluka oleh Hek-tok-ciam dari tangan Kong Ji.
Untuk menghadapi pertemuan ini Kong Ji telah berjaga-jaga dan
telah diatur siasat untuk membela diri.
Bagaimana Pangeran Wanyen Ci Lun tiba-tiba bisa muncul di
istana? Bukankah dalam keadaan terluka ia dibawa lari oleh seorang
gadis cantik bermuka pucat?
Di bagian depan telah diceritakan bahwa Wanyen Ci Lun ketika
sedang dijaga oleh para gadis anak buah Hui-Eng-pai yang
bertempur melawan para perajurit pangeran itu, telah dibawa lari
oleh seorang gadis cantik yang bermuka pucat. Siapakah gadis ini?
Kiranya tidak hegitu sukar untuk diduga. Gadis itu bukan lain
adalah Gak Soan Li, gadis bernasib malang yang patut dikasihani
itu. Ketika Liok Kong Ji dengan keji dan kejamnya membeber
rahasia Gak Soan Li menceritakan di depan umum bahwa gadis itu
telah menjafli korban gangguan Wan Sin Hong, Soan Li tak dapat
menahan malu dan hancur perasaannya, dan gadis ini sambil
mengeluarkan teriakan menyayat hati lalu berlari turun gunung.
Setelah ia berjalan terus sampai napasnya hampir-hampir putus, ia
menjatuhkan diri di bawah sebatang pohon, bergulingan di atas
rumput sambil menangis.
909
Semua pemandangan di atas Puncak Ngo-heng-san, ditambah
lagi oleh kata kata Liok Kong Ji tadi, sedikit membuka tabir yang
menutupi ingatan Gak Soan Li. Tadi Kong Ji membuka di de pan
umum bahwa dia telah menjadi korban penjahat Wan Sin Hong dan
ditolong oleh Liok Kong Ji. Melihat muka Kong Ji, ingatlah Soan Li
sekarang dan kenyataan yang amat pahit mengiris jantungnya.
Saking terlalu menahan perasaan, setelah bergulingan sambil
menangis, Soan Li muntahkan darah segar dari mulutnya dan jatuh
pingsan.
Halimun gunung membasahi muka Soan Li yang pucat seperti
mayat dan membuatnya siuman kembali dari pingsannya yang lama
juga. ia menarik napas panjang, mengeluh dan membersihkan
darah yang masih berada di dagu. Pikirannya bekerja kembali dan
sekarang di dalam ingatannya terbayang wajah dua orang dan di
dalam hatinya tercatat tiga nama orang. Wajah itu adalah wajah
Liok Kong Ji dan wajah Gong Lam. Adapun tiga nama itu adalah
Gong Lam, Liok Kong Ji dan Wan Sin Hong. Kesimpulan dari
ingatannya yang masih belum terang betul itu adalah bahwa ia
tercemarkan oleh Wan Sin Hong yang tak pernah ia lihat mukanya,
kemudian ditolong oleh Liok Kong Ji yang mengaku sebagai Gong
Lam dan kemudian memperlakukannya sebagai isteri. Adapun wajah
Gong Lam memang tak pernah ia kupakan, yaitu pemuda yang
pernah menolongnya, pemuda tolol yang pernah merebut hatinya,
merebut cinta pertamanya.
“Aku harus membunuh Wan Sin Hong, dan aku harus bunuh Liok
Kong Ji,“ bisiknya perlahan, karena ia sekarang merasa yakin bahwa
dua orang inilah yang telah merusak hidupnya. Wan Sin Hong telah
mencemarkannya dengan cara menggelap dan mempergunakan
kepandaian, adapun Liok Kong Ji telah mencemarkannya dengan
cara mengaku sebagai Gong Lam. Dan ia telah maklum sekarang
bahwa anak yang telah dilahirkannya, yang sekarang dirawat di
Pulau Kim-bun-to, anak laki-laki yang dipelihara oleh inang
pengasuh, dia itu adalah anak keturunan Liok Kong Ji.
“Aku harus bunuh dia lebih dulu... !‘ pikir Soan Li dan sakit hati
yang menjadi dendam ini memulihkan tubuhnya. Ia berdiri,
termenung sebentar, menghapus darah di mulut dan air mata di
depan pipinya, lalu naik lagi ke Gunung Ngo heng-san.
910
Ketika ia tiba di lereng, dari jauh ia sudah mendengar suara
orang-orang bertempur. Soan Li menyelinap di antara batangbatang
pohon dan ia melihat serombongan gadis cantik yang
dikenalnya sebagai anggauta-anggauta Hui-eng pai tengah
bertempur melawan serombongan orang yang baru muncul.
Akan tetapi pertempuran ini tidak menarik hati Soan Li. Dia
sedang bengong memandang kepada tubuh seorang laki- laki yang
menggeletak di bawah pohon, tubuh orang yang dikenalnya bukan
lain adalah Gong Lam, kekasih hatinya! Sebagaimana diketahui, lakilaki
yang terluka itu bukan lain adalah Wanyen Ci lun dan karena
muka pangeran ini sama benar dengan Wan Sin Hong sedangkan
Gong Lam itu bukan lain adalah Wan Sin Hong sendiri, maka tidak
mengherankan apabila Soan Li mengira pangeran itu Gong Lam.
Karena girang dapat bertemu dengan Gong Lam, dan merasa
bahwa kekasihnya ini berada dalam bahaya, Soan Li melompat
keluar, menyambar tubuh Gong Lam dan membawanya lari cepat
sekali. Ketika ias melihat ada orang mengejarnya, ia berlari lebih
cepat lagi sehingga dapat membebaskan diri dari para pengejarnya.
Soan Li sudah amat lelah, akan tetapi sambil memondong tubuh
Wanyen Ci Lun ia berlari terus, takut kalau terkejar orang, sampai
akhirnya ia jatuh terguling di sebuah hutan, jauh di kaki Gunung
Ngo heng--san, kakinya terpeleset di atas rumput yang licin. Baiknya
mereka jatuh di tempat rata, dan di atas rumput sehingga tidak
terluka parah. Wanyen Ci Lun yang semenjak tadi sudah terheranheran,
kini mengaduh.
“Aduh, aduh... hati-hati, Nona! Baiknya kita tidak terguling ke
dalam jurang. Kau tergesa-gesa amat, hendak membawaku ke
manakah?“ Karena pangeran ini memang benar-benar amat heran
melihat tingkah laku gadis cantik yang membawanya lari lintangpukang
sampai jatuh bangun, juga karena amat kagum memandang
wajah gadis cantik yang memondongnya sekian jauh dan lamanya,
wajah pangeran ini menjadi bengong dan nampak bodoh.
Melihat wajah yang bengong dan bodoh ini, Soan Li tertawa geli
kemudian menubruk dan memeluk pundak Wanyen Ci Lun sambil
menangis terisak-isak. Timbul perasaan kasihan dalam hati
911
pangeran ini, karena ia dapat menduga bahwa tentu ada apa-apa
yang tidak beres dalam ingatan gadis ini.
“Gong Lam-ko... akhirnya kita dapat bertemu kembali....“
berkali-kali Soan Li berbisik, nampaknya amat terharu dan juga
girang.
Mendengar ini, makin tebal dugaan pangeran Wanyen Ci Lun
bahwa gadis cantik ini memang betul betul agak miring otaknya.
Bagaimana ia dipanggil Gong Lam (Pemuda Tolol)?
“Lam-ko, jangan tinggalkan aku lagi seorang diri.
Bawalah aku ke mana juga pergi, Lam-ko. Aku selama hidup
tidak mau berpisah darimu lagi. Aku selalu mengalami malapetaka
kalau terpisah darimu.“
“Nona, malapetaka apakah yang telah menimpa dirimu?“ tanya
Wanyen Ci Lun dengan suara halus. Saking merasa kasihan, tanpa
disengaja tangannya lalu mengusap-usap rambut yang hitam halus
dan awut-awutan menutupi sebagian muka yang pucat itu.
“Lam-ko, maukah kau... kaumaafkan aku akan segala yang telah
menimpa diriku? Apakah nanti kau tidak membenciku?“
“Tidak, Nona. Bagaimana orang bisa membenci seorang gadis
seperti engkau’’ aku takkan membencimu.“
“Berjanjilah dulu bahwa kau takkan menjauhkan diri lagi, bahwa
kau akan menerimaku ikut denganmu selama hidupku, ke manapun
kau pergi aku boleh ikut.“
Pangeran Wanyen Ci Lun terharu. Ia tak dapat menyangkal
bahwa begitu melihat nona yang menarik ini, dan biarpun ia sudah
mempunyai beberapa orang selir, ditambah seorang seperti ini, tak
kan berarti apa apa, bahkan siapa tahu kalau perempuan inilah yang
akan mendatangkan bahagia dalam hidupnya. Berpikir demikian
tanpa ragu ragu lagi pangeran ini menjawab,
-oo0mch-dewi0oo912
Jilid XXXIII
“AKU berjanji takkan menjauhkan diri lagi dan menerimamu ikut
dengan aku selamanya.”
Dengan girang dan lega Soan Li lalu merebahkan diri saking
lelahnya, rebah di atas rumput berbantal paha pemuda itu, lalu
sambil menengadah memandang awan- awan putih di angkasa
dengan termenung, berceritalah ia.
”Lam-ko, sejak pertemuan kita yang pertama kali, tahulah aku
bahwa kau telah menempati hatiku. Biarpun kau nampak bodoh dan
canggung, kaulah laki-laki yang paling baik, jujur dan boleh
dipercaya. Selain itu, aku pun curiga dan ragu-ragu bahwa kau
betul-betul seorang pemuda bodoh. Aku bahkan menduga kau
mengerti ilmu silat. Bukankah kau pandai ilmu silat, Lam-ko?”
Wanyen Ci Lun kini tidak ragu-ragu lagi bahwa gadis cantik yang
setelah bicara nampak makin manis menarik ini benar-benar
seorang yang tidak normal ingatannya. Ia menjadi makin kasihan
dan untuk menghibur hati gadis yang agaknya telah mengalami
pukulan batin hebat sekali ini, ia menerima saja sangkaan orang dan
bahkan “mengasuh“ pikiran yang tidak karuan itu. Maka ia
mengangguk-angguk dan berkata sambil tersenyum.
“Tak salah dugaanmu, Nona. Memang biarpun hanya sejurus
dua jurus, aku mengerti sedikit ilmu silat. Dan tentang kebodohan,
memang aku bodoh dan pelupa. Buktinya, namamu saja aku sudah
lupa lagi. Aku benar- benar bodoh, patut bernama Gong Lam!“
Soan Li tertawa geli, lalu tersenyum manis sekali. Hidup kembali
kegembiraan dan semangatnya setelah ia bertemu dengan
kekasihnya. Dengan penuh kasih sayang sehingga amat
mengharukan hati Wanyen Ci Lun, gadis itu memegang dan
membelai-belai tangan Wanyen Ci Lun.
“Kau tidak bodoh, Lam-ko. Aku sama sekali tidak menganggap
kau bodoh, biarpun namamu Gong Lam. Mungkin kau sudah lupa
akan namaku, mungkin juga memang kau belum pernah
mendengarnya. Namaku Gak Soan Li, murid Hwa I Enghiong Go
Ciang Le. Akan tetapi, mulai sekarang jangan kita sebut-sebut nama
Suhu, agar tidak ikut terseret ke kurang kehinaan yang sudah
913
dilontarkan orang-orang jahat kepadaku.“ Kembali Soan Li mulai
menangis.
Wanyen Ci Lun kaget bukan main mendengar bahwa gadis yang
agak “miring“ ini ternyata adalah murid pendekar besar itu. Hatinya
berdebar dan ia makin tertarik, ingin sekali mengetahui nasib apa
yang telah menimpa diri gadis yang malang dan perkasa ini.
“Gak-siocia....“
“Lam-ko, jangan kau sebut aku dengan siocia segala macam,
bukankah aku ini milikmu, jiwa ragaku telah kuserahkan kepadamu
selama aku hidup, Lamko. Sebut saja namaku....“
Wanyen Ci Lun menarik napas panjang. ia bukan seorang yang
berperangai rendah, bukan orang yang suka menghina dan
mempermainkan wanita. Sikap Soan Li benar-benar membuat ia
bingung sekali. Ia tertarik kepada gadis ini, tertarik, kasihan dan ada
rasa cinta kasih dalam hatinya. Akan tetapi sikap Soan Li benarbenar
membuatnya jengah bingung.
“Baiklah Soan Li. Sekarang lanjutkanlah ceritamu. Siapakah yang
telah mengganggu dan menghinamu?’ Mendengar pertanyaan ini,
tangis Soan Li makin menjadi-jadi. Akkhirnya sambil terisak-isak ia
melanjutkan ceritanya.
“Aku tidak ingat semua, Lam-ko. Hanya yang kuketahui,
semenjak aku kautinggalkan, aku terjatuh ke dalam tangan orang
jahat yang amat tinggi kepandaiannya akan tetapi yang tak pernah
kulihat mukanya. Malam hari itu adalah malam kiamat bagiku, aku
tak melihat dia, malam gelap... dan aku lalu pingsan... dia itu hanya
meninggalkan nama yang selalu berdengung di telingaku, namanya
Wan Sin Hong!”
Wanyen Ci Lun mengerutkan keningnya, “Aku mendengar nama
itu diucapkan orang di mana-mana sebagai seorang penjahat keji
yang baru muncul di dunia.” Diam-diam ia makin kasihan kepa,la
gadis ini. “Lanjutkan ceritamu, Li-moi.“
Mendengar Gong Lam menyebutnya Li-moi, berseri wajah Soan
Li. “Jadi kau tidak benci kepadaku, Lam-ko? Tidak benci kepadaku
setelah peristiwa itu?”
914
Wanyen Ci Lun menggeleng kepalanya. “Kau tidak bersalah, Limoi.
Bagaimana orang dapat membenci kau yang bahkan harus
dikasihani?“
“Terima kasih, Lam-ko. Aku tahu bahwa kau orang yang berhati
mulia. Seluruh dunia boleh membenci dan menghinaku, asal kau
tidak, aku cukup bahagia. Baik kuteruskan ceritaku, tapi yang masih
teringat saja olehku. Setelah aku siuman dari pingsanku, aku
melihat seorang yang tadinya kusangka kau, Lam-ko. Orang itu
mengaku bernama Gong Lam dan entah mengapa, waktu itu aku
tidak ingat lagi, aku percaya dan benar-benar menganggap dia itu
kali! Dia bilang bahwa dia menolongku, bahwa telah mengusir
penjahat busuk Wan Sin Hong. Aku merasa pikiranku kabur, tak
dapat membedakan orang dan aku percaya, aku anggap dia kau,
kuserahkan nasibku, jiwa ragaku kepadanya....“
Sampai di sini Soan Li nampak gemas sekali, wajahnya yang
pucat menjadi merah, matanya berapi. Kemudian perlahan-lahan ia
nampak sedih, bahk air matanya mulai berlinang-linang kembali.
“Lam-ko di luar kesadaranku, dia itu …. jahanam besar yang
kusangka kau itu, telah mengambil aku sebagai isterinya atau lebih
tepat lagi, sebagai kekasihnya karena dia tidak menikah dengan aku
secara sah. Aku tetap mengangap dia itu kau. Aku bahkan....“ Soan
Li terisak-isak, “... telah melahirkan seorang anak, keturunan dari
orang itu....“
Wanyen Ci Lun menjadi marah sekali. “Keparat keji! Siapa iblis
itu, Lan-moi?“
“Dia itu... dia adalah Liok Kong ji! Baru tadi di Puncak Ngo-hengsan
aku bertemu dengan dia, dan baru tadi aku teringat akan semua
itu bahkan dialah yang dahulu mengaku sebagai kau! Dan aku
teringat sekarang bahwa dia itu bukan lain adalah suteku sendiri!
Ah, Lamko, bagaimana dahulu aku tidak mengetahui semua itu...?
Lam-ko, katakanlah, apakah aku Gak Soan Li sudah gila?“ Tangis
Soan Li makin keras .
Wanyen Ci Lun memeluknya dan mendekap kepala gadis itu ke
dadanya.“Tidak, tidak, kau tidak gila, kau hanya seorang gadis yang
bernasib buruk sekali, Li-moi. Agaknya kau dilahirkan hanya untuk
915
mengalami penderitaan belaka. Biarlah selanjutn)a aku yang akan
mengusir semua kesengsaraanmu dan aku akan berusaha
menghidupkan kebahagiaanmu.“
“Lam-ko, kalau aku tidak gila, mengapa timbul segala macam
perkara gila? Aku kadang-kadang menjadi bingung dan tidak
mengerti. Setelah aku ikut dengan jahanam Liok Kong Ji yang
kuanggap kau, pada suatu hari muncul seorang yang tinggi ilmu
silatnya, yang kusangka engkau pula, bahkan yang pertama kali
menyadarkan aku bahwa Kong Ji bukanah Gong Lam karena orang
yang muncul itu memiliki wajah Gong Lam yang sesungguhnya.
Orang ini merampasku dari tangan Kong Ji membawa aku pulang ke
Pulau Kim-bun-to tempat tinggal Suhuku, dan anehnya, kemudian
orang itu, yang tak salah lagi tentu kau adanya mengaku bernama
Wan Sin Hong! Lan ko, mengapa kau bersikap seperti itu di Kim -buto?“
Kini Wanyen Ci Lun benar-benar bingung. Kasihan, pikirnya.
Gadis ini benar-benar telah kehilangan ingatannya dan ceritanya ini
ngacau tidak karuan. Bagaimana ia harus menjawab? ia tidak dapat
membohong terus-terusan.
“Li-mom, percayalah bahwa yang mengaku Wan Sin Hong itu
bukan aku. Aku mau bersumpah bahwa baru ini aku bertemu
dengan engkau.“
Wanyen Ci Lun tentu saja bermaksud bahwa selama hidupnya
baru kali ini ia bertemu dengan Soan Li. Akan tetapi menurut
anggapan Soan Li, pemuda itu bersumpah bahwa selama berpisah,
baru sekarang bertemu!
“Aku percaya kepadamu, Lam-ko. Aku percaya penuh
kepadamu. Karena itulah maka aku merasa bahwa aku telah gila.
Aku mudah saja ditipu jahanam Liok Kong Ji yang mengaku sebagai
engkau kemudian orang yang mengaku Wan Sin Hong itu... betul
diakah malam-malam itu muncul dan merusak hidupku? Akan tetapi
sikapnya bukan seperti penjahat. Ahhh... aku bingung, Lam-ko...“
Gadis yang malang ini memijat mijat kepalanya.
916
“Sudah, Li-moi. Yang sudah lewat biarkanlah dahulu, tak perlu
kau bersusah- payah mengingatnya. Kelak perlahan- lahan aku akan
membantumu memecahkan persoalan ini.
Kau kelihatan seperti terganggu kesehatanmu, wajahmu pucat,
nampaknya lesu. Sedangkan aku kaulihat bahwa aku baru saja
terluka hebat oleh senjata berbisa dan entah siapa yang telah
menolongku ini. Kita berdua perlu beristirahat, kemudian baru
melanjutkan perjalanan. Sebetulnya, bagaimanakah kau tadi
membawaku ke sini. Aku sendiri pingsan tidak tahu apa yang telah
terjadi.”
”Aku melihatmu rebah di hutan, dibuat rebutan oleh
serombongan gadis cantik dan serombongan orang laki-laki. Mereka
bertempur hebat memperebutkan engkau, maka diam-diam aku lalu
merampasmu dan membawamu lari sampai di sini.”
Wanyen Ci Lun menggeleng-geleng kepalanya, sama sekali tidak
mengerti apa yang sesungguhnya telah terjadi karena ia masih ingat
semua. Ta mendapatkan dirinya rebah di dalam hutan, terluka dan
dikelilingi oleh serombongan ”bidadari”, Menurut cerita gadis-gadis
itu ia ditolong oleh seorang bernama Wan Sin Hong yang mukanya
sama benar dengan dia. Hal ini sudah berkali-kali ia alami. Dahulu
Nona Go Hui Lian juga mengira dia Wan Sin Hong! Sekarang dari
mulut Gak Soan Li, kembali ia mendengar dongeng banyak- banyak
tentang orang bernama Wan Sin Hong yang katanya serupa benar
dengan dia. Ta tahu bahwa rombongan bidadari itu bertempur
melawan orang-orangnya sendiri. ”Lam-ko, bagaimana kau sampai
bisa terluka? Dan siapa orangnya yang melukaimu?”
Kini giliran Wanyen Ci Lun yang -menggeleng-geleng kepalanya,
bingung harus bercerita bagaimana. Dia sendiri kurang tahu
siapakah yang telah melukainya, karena begitu muncul, orang-orang
di Puncak Ngo-heng-san lalu memaki- makinya sebagai Wan Sin
Hong, tahu-tahu banyak sinar senjata melayang dan menyerangnya!
”Entahlah, Li-moi. Aku datang di Puncak Ngo-heng-san. Orangorang
menyerangku dan aku roboh, kemudian dibawa lari seorang
aneh bermuka merah yang amat pandai ilmu silatnya. Aku
selanjutnya pingsan tidak tahu apa-apa lagi, tahu-tahu aku bangun
sudah berada di hutan itu, di jaga oleh gadis-gadis itu. Lalu datang
917
rombongan orang laki-laki itu yang menyerang sehingga terjadi
pertempuran, kemudman kau muncul.”
”Sekarang, ke mana kau hendak membawaku pergi, Lam- ko?
Aku ikut denganmu, ke mana pun juga kau pergi.”
”Jangan khawatir, Li-moi. Mari ikut aku pulang.”
”Pulang?”
”Tentu saja pulang, bukankah kembali ke rumah berarti pulang?”
”Rumah? Lam-ko apakah kau punya rumah?”
Wanyen .Cl Lun tertawa geli. ”Tentu saja aku mempunyai rumah,
Li-moi, kau akan terkejut kalau melihat rumah. rumahku. Apakah
kau sendiri tidak punya rumah, tidak punya keluarga?”
Wajah yang, manis itu menjadi muram, ia hanya menggelengkan
kepala tanpa menjawab. Memang dia yatim piatu, tiada handai
taulan, yang ada hanya keluarga suhunya. Akan tetapi sekarang ia
kehilangan keluarga Go itu bukan karena keluarga itu mengusirnya,
sebaliknya ia tidak berani kembali ke Kim-bu-to, karena ia tidak mau
menyeret nama keluarga yang ia muliakan itu ke dalam lembah
kehinaan yang sudah ia derita.
”Marilah, Li-moi, mari kita pulang ke rumah kita.”
“Di mana?”
“Di kota raja.”
Untuk ke sekian kalinya Soan Li tercengang dan memandang
kepada kekasihnya dengan heran dan kagum. Terlalu banyak hal-hal
aneh ia alami di dunia ini, maka sekarang ia pun tidak banyak
bertanya. Hanya ia tahu bahwa kekasihnya bernama Gong Lam ini
tentulah bukan orang sembarangan, dan sejak dahulu ia tahu
bahwa nama Gong Lam itu nama palsu.
Berangkatlah dua orang muda itu dengan seenaknya dan lambatlambat
ke kota raja. Setelah tiba di sebuah kota, Wanyen Ci Lun lalu
membeli obat, kemudian membeli kuda sehingga perjalanan
selanjutnya dilakukan berkuda dan tidak begitu melelahkan.
918
Demikianlah, singkatnya Wanyen Ci Lun dan Soan Li telah tiba di
kota raja dan dengan diam-diam pangeran membawa Soan Li ke
istananya, memberi tahu kepada semua selir dan pelayan bahwa
gadis ini adalah selirnya yang baru dan minta kepada semua orang
untuk melayani Soan Li sebaik mungkin. Tentu saja Soan Li sendiri
bengong dan melongo melihat rumah kekasihnya
“Lam-ko, sebenarnya kau ini siapakah?“
“Li-mom, jangan kaget. Aku sebenarnya bernama Wanyen Ci
Lun, pangeran muda yang bodoh.“
Mendengar jawaban ini, Soan Li menangis tersedu-sedu, tangis
karena haru dan gembira. Akhirnya ia bertemu dengan kekasihnya
yang ternyata bukan saja tidak menyalahkannya dalam peristiwa
memalukan yang ia alami, bahkan kelihatan mencinta kepadanya
dan membawanya ke istana. Yang amat menggembirakan hatinya
adalah kenyataan bahwa kekasihnya itu ternyata seorang pangeran
yang tentu akan mengangkat dirinya dan di dalam kebahagiaan ini
akan mencoba melupakan segala penghinaan yang pernah
dideritanya.
“Li-moi apakah kau menghendaki agar puteramu yang kau
tinggalkan di Kim bun-to itu dibawa ke sini?“
Wajah yang berseri itu menjadi pucat lagi. “Tidak! Tidak! Aku
akan bunuh anak itu kalau aku melihatnya!“ Kemudian ia menangis
tersedu-sedu.
Wanyen Ci Lun menghiburnya. “Sudahlah, kalau kau tidak mau,
tidak apa.“ Kemudian pangeran yang baik hati itu menyuruh orang
mempersiapkan kamar yang indah, mewah dan menyenangkan bagi
Soan Li. Sikapnya terhadap wanita ini tetap menjaga diri dan
berlaku sopan, tidak berani ia melakukan perbuatan yang melanggar
susila. Hal ini bukan karena ia terlalu alim, bukan. Melainkan oleh
karena
Wanyen Ci Lun tidak berani berlaku sembrono. Ia tahu bahwa ia
menghadapi seorang gadis yang biarpun bernasib malang dan
ingatannya terganggu, namun tetap seorang gadis berilmu tinggi,
seorang wanita pilihan yang tak dapat disamakan dengan selirselirnya,
murid seorang pendekar besar. Ta melakukan semua hal
919
terhadap Soan Li itu atas dasar hendak menolong di samping rasa
tertarik dan kasih sayang yang timbul terhadap gadis itu.
Setelah luka-lukanya sembuh, Wanyen Ci Lun mendengar berita
tentang datangnya See-thian Tok-ong, tentang apa yang dicentakan
oleh See-thian Tok-ong kepada Kaisar. Kemudian yang membuat
terkejut sekali adalah ketika mendengar betapa See-thian Tok-ong
memperkenalkan Liok Kong Ji kepada Kaisar. Ta cepat berdandan
dan sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, pada saat Liok
Kong Ji dan See-thian Tok-ong menghadap kaisar. Wanyen Ci Lun
datang ke istana mengunjungi Kaisar!
Seperti pernah dituturkan, Wanyen Ci Lun adalah seorang
pangeran yang amat berpengaruh di istana. dan seorang yang amat
dipercaya oleh Kaisar, maka para penjaga tentu saja tidak berani
melarangnya, bahkan melaporkan kepada Kaisar tentang
kedatangan pangeran ini. Kaisar girang sekali mendengar akan
kedatangan Wanyen Ci Lun, maka tanpa ragu-ragu lagi Kaisar lalu
mempersilakan Wanyen Ci Lun masuk ke ruangan pertemuan itu.
Setelah Pangeran itu memberi hormat kepada Kaisar dan
dipersilakan duduk Kaisar serta merta menegurnya.
“Ternyata perhitunganmu kali ini meleset, Ci Lun. Orang- orang
yang kaupercaya itu, yakni Go Hui Lian dan Coa Hong Kin, ternyata
melanggar kepercayaan kita dan lari pergi bersama pemberontak Go
Ciang Le. Oleh karena itu, kami telah mengambil keputusan untuk
mengirim pasukan dan menghukum mereka, terutama sekali
menghukum penjahat besar Wan Sin Hong yang telah merampas
kedudukan bengcu dan berniat untuk mengerahkan orang-orang
jahat memberontak terhadap kami!“
Mendengar kata--kata Kaisar ini, Wanyen Ci Lun melirik ke arah
Liok Kong Ji lalu jawabnya kepada Kaisar.
“Sesungguhnya hamba tidak tahu akan semua hal itu, karena
biarpun hamba juga datang di Puncak Ngo-heng-san, sungguh tidak
nyana sekali datang-datang hamba diserang orang jahat, menderita
luka-luka karena jarum jarum hitam sehingga hamba terus pingsan
tak tahu apa-apa. Kalau saja tidak ada orang aneh menolong,
920
kiranya hamba sudah menjadi mayat dan tidak mendapatkan
sempatan menghadap Paduka lagi.“
Kaisar terkejut mendengar ini. “Begitukah? Apakah para
pemberontak keji itu yang hendak membunuhmu? Benar-benar
mereka jahat dan harus dibasmi!’
Liok Kong Ji berkata cepat-cepat, “Mohon beribu ampun,
sesungguhnya hambalah yang melukai Siauw-ongya dengan jarumjarum
Hek-tok-ciam!“
Kaisar dan Wanyen Ci Lun kaget. Kaisar terkejut karena hal ini
memang tak disangka-sangkanya, sedangkan Wanyen Ci Lun kaget
dan heran mendengar pengakuan Liok Kong Ji. Begitu mendengar
bahwa Liok Kong Ji, orang yang dibenci oleh Soan Li dibawa oleh
See thian Tok-ong menghadap Kaisar, ia sudah menaruh kecurigaan
besar dan ingin sekali dia melihat sendiri orang macam apa adanya
Liok Kong Ji yang menurut Soan Li telah mempergunakan nama
Gong Lam untuk mempermainkan Soa Li. Sekarang melihat pemuda
yang berlutut di dekat See-thian Tok-ong ini teringatlah bahwa
pemuda ini yang menyerangnya dahulu di puncak Ngo-heng-san.
Oleh karena itu, alangkah herannya mendengar pemuda itu
mengaku terus terang di depan Kaisar. Alangkah beraninya.
“Hamba mohon Siauw-ongya sudi memberi ampun atas
kedosaan hamba yang dilakukan bukan dengan sengaja. Ketika
Siauw-ongya muncul di puncak Ngo-heng-san, semua orang yang
berada di situ mengira bahwa Siauw ongya adalah Wan Sin Hong,
karena memang sesungguhnya antara Siauw-ongya dan Wan Sin
Hong ada persamaan wajah yang luar biasa, serupa benar seperti
saudara kembar. Oleh karena hamba juga mengira bahwa Siauwongya
adalah penjahat besar Wan Sin Hong yang memang dikejarkejar
oleh seluruh orang gagah di dunia kang-ouw, maka hamba
lalu turun tangan menyerang dengan senjata jarum Hek-tok- ciam
hamba.“
Kaisar terheran mendengar penuturan ini.
“Koksu, benarkah bahwa penjahat dan pemberontak Wan Sin
Hong itu memiliki persamaan wajah dengan Wanyen Ci Lun?“ tanya
Kaisar kepada See thian Tok-ong.
921
“Memang tidak salah, Sri Baginda. Persamaan itu sedemikian
luar biasa sehingga hamba sendiri juga tak mungkin dapat
membedakan satu dengan yang lain.“
Mendengar ini kaisar menjadi lega dan hilang kecurigaannya
terhadap Kong Ji. Adapun Wanyen Ci Lun juga tak dapat berkata
apa-apa. Di dalam hatinya pangeran ini mengaku bahwa pemuda
yang bernama Liok Kong Ji ini kelihatannya amat cerdik, maka ia
harus berlaku hati-hati. Kalau betul bahwa Liok Kong Ji ini telah
merusak kehidupan Soan Li sebagaimana telah ia dengar dari gadis
yang dicintanya itu, ia harus membalaskan sakit hati Soan Li. Akan
tetapi ia harus berlaku hati-hati sekali, karena melihat betapa
pemuda ini dengan jarum jarum hitamnya telah dapat melukai
bahkan hampir membunuhnya, dapat ia ketahui bahwa Liok Kong Ji
selain cerdik, juga memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Sementara itu, kaisar sudah teguh pendiriannya. Tanpa minta
pertimbangan lagi, ia memberi perintah kepada See- thian Tok-ong
agar supaya membawa pasukan pilihan, dibantu oleh Liok Kong Ji
yang oleh kaisar diangkat menjadi pembantu utama dari See-thian
Tok-ong, Kemudian berangkat ke Kim-bun-to untuk menangkap
keluarga Go yang memberontak dan untuk mencari dan menangkap
pemberontak Wan Sin Hong. Untuk tugas ini, kaisar memberi
sebuah leng-ki yakni bendera tanda bahwa si pembawa adalah
utusan kaisar dan karenanya semua pembesar setempat harus
melayaninya baik-baik dan segala kehendaknya diturut!
“Maafkan hamba, Sri Baginda. Apakah titah ini tidak terlalu
tergesa-gesa? Menurut pendapat hamba yang bodoh, tentang
perbuatan memberontak dari Wan Sin Hong dan keluarga Go di
Kim-bun-to itu, masih belum ada buktinya. Bagimana kalau ternyata
bahwa mereka itu bukan pemberontak? Mereka itu adalah orangorang
gagah di dunia kang-ouw, bahkan hamba mendengar bahwa
Wan Sin Hong telah diangkat menjadi bengcu. Kalau Paduka
memberi lengcu dan keputusan bahwa dia harus ditangkap atau
dibunuh sebagai hukuman atas pemberontakannya, kemudian
ternyata bahwa dia sama sekali bukan pemberontak, bukankah
negara akan menghadapi tantangan dari orang orang gagah
sedunia? Kalau Paduka mengijinkan, biarlah hamba melakukan
922
penyelidikan lebih dahulu sebelum diambil tindakan terhadap
mereka itu,“ Kaisar mengerutkan keningnya.
“Sayang kau terluka dan tidak tahu apa yang telah terjadi, Ci
Lun. Sayang sekali, kali ini penyelidikanmu ke Ngo heng-san itu
tidak berhasil apa-apa. Baiknya kami menyuruh koksu, kalau tidak
tentu bahaya besar dan pemberontak-pemberontak itu mengancam
negara tanpa kita ketahui. Ketahuilah bahwa para pengtkut koksu,
di tengah jalan telah terbunuh mati semua oleh pemberontak Wan
Sin Hong dan Go Ciang Le!”
Wanyen Ci Lun terkejut. ia tahu bahwa delapan orang yang
menjadi pengikut See-thian Tok-ong ke Ngo-heng-san itu adalah
delapan orang pengawal kaisar yang sudah dipercaya betul.
Sekarang mereka terbunuh. ini hebat. Akan tetapi, apakah betul
mereka itu dibunuh oleh Wan Sin Hong dan Go Ciang Le?
”Bagaimana mereka dapat terbunuh oleh Wan Sin Hong dan Go
Ciang Le?” tanya Wanyen Ci Lun sambil menoleh ° ke arah Seethian
Tok-ong.
”Dalam perebutan kedudukan bengcu ada pertempuran. Penjahat
besar Wan Sin Hong dan pemberontak Go Ciang Le ternyata tahu
bahwa para pengikut hamba itu adalah busu- busu dari istana, maka
dalam pertempuran itu para pemberontak sengaja menewaskan
mereka untuk menyatakan kebenciannya terhadap kaisar,” jawab
See-thian Tok-ong dengan berani sekali karena ia melihat sendiri
bahwa ketika terjadi pemilihan bengcu di puncak Ngo-heng- san,
Pangeran Wan-yen Ci Lun tidak sempat menyaksikan. Padahal, para
bulu itu dibunuh oleh dia sendiri, takut kalau para busu ini akan
membuka rahasianya kepada kaisar’
Karena merasa bahwa ia memang kalah kuat dalam pendiriannya
mengenai maksud kaisar membasmi Wan Sin Hong dan keluarga Go
Ciang Le, Wanyen Ci Lun akhirnya diam saja, hanya mendengarkan
rencana dan penggerakan dari See-thian Tok-ong untuk mulai
dengan tugasnya. Ta mendengar bahwa See-thian Tok-ong dan Liok
Kong Ji hendak membawa pasukan itu tepat pada saat Kim-bun-to
mengadakan pesta pernikahan antara Go Hui Lian dengan Coa Hong
Kin.
923
”Tni perlu sekali dilakukan untuk memancing dan mengetahui,
siapa di antara orang-orang kang-ouw yang akan membela kaisar
dan siapa pula yang mempunyai niat memberontak. Sudah tentu di
dalam pesta pernikahan keluarga Go itu akan dihadiri oleh semua
tokoh kang-ou dan ini merupakan ujian bagi mereka. Demikian Liok
Kong Ji berkata. Pendapatnya ini amat dihargai oleh kaisar yang
memujinya memiliki pemandangan luas dan rencana yang bagus.
Pertemuan itu dibubarkan dan Wanyen Ci Lun kembali ke
istananya sendiri dengan hati gelisah, ia tahu bahwa yang
dimaksudkan dengan Wan Sin Hong tentulah pemuda yang telah
menolongnya yang tadinya bermuka merah seperti setan akan
tetapi kemudian dikatakan oleh anggauta Hui eng-pai sebagai
seorang pemuda yang mempunyai wajah sama benar dengan dia.
Tokoh Wan Sin Hong ini baginya masih merupakan teka-teki
demikian pula tokoh Gong Lam. Betulkah Wan Sin Hong telah
mencemarkan Soan Li dengan kekerasan? Agaknya betul karena
Wan Sin Hong terkenal sebagai seorang penjahat muda yang baru
nuncul.
Akan tetapi mengapa Wan Sin Hong menolongnya di puncak
Ngo-heng-san? Dan siapa pula Gong Lam yang oleh Soan Li
dianggap sebagai dia sendiri? Tentu wajah Gong Lam ini serupa
pula dengan wajah Wan Sin. Hong. Liok Kong Ji adalah seorang
pemuda palsu, yang menipu Soan Li dengan berpura-pura menjadi
Gong Lam. Kalau Kong Ji dapat berlaku sekeji ini bukan tidak
mungkin kalau dia pula yang mempergunakan nama Wan Sin Hong
ketika malam hari menggunakan kekerasan dan mencemarkan Soan
Li.
Diam-diam Wanyen Ci Lun memutar otaknya dan ia merasa
menghadapi sebuah teka-teki ruwet. Keputusan kaisar untuk
menghukum Wan Sin Hong dan keluarga Go Ciang Le membuat
hatinya tidak enak dan tak senang. Memang betul batwa dia tidak
mempunyai hubungan sesuatu dengan Wan Sin Hong biarpun
katanya memiliki persamaan wajah dengannya, juga dia tidak
mempunyai hubungan sesuatu dengan keluarga Go Ciang Le.
Cintanya kepada Hui Lian tidak terbalas dan setelah sekarang ia
mendengar bahwa sebulan lagi Hui Lian akan menikah dengan
924
orang kepercayaannya sendiri Coa Hong Kin, hatinya menjadi dingin
terhadap Hui Lian.
Akan tetapi, sebagai seorang pangeran yang amat
memperhatikan keadaa negara, ia tahu bahwa kedudukan Kerajaan
Kin pada waktu itu tidak sekokoh dahulu. Keputusan kaisar
menghukum orang-orang penting di dunia kang-ouw, tanpa dasar
kesalahan yang benar-benar patut dihukum, adalah hal yang
berbahaya dan merugikan.
Dunia kang-ouw akan mendengar tentang hal ini dan
kepercayaan para orang gagah terhadap pemerintah akan makin
menipis, akhirnya akan timbul kebencian terhadap kerajaan.
Memang tidak dikhawatirkan kalau orang-orang kangouw akan
memberontak, akan tetapi apabila tercetus pemberontakan atau
kalau ada musuh dari luar datang menyerbu, orang-orang kang-ouw
ini sudah pasti akan membantu musuh atau sedikitnya pasti tidak
akan mau membantu pemerintah mengusir musuh.
Dengan hati kesal Wanyen Ci Lun tidak pulang ke istana,
melainkan keluar dari lingkungan istana dan berjalan-jalan ke kota
raja. Karena memang sudah biasa pangeran ini suka berjalan-jalan
seorang diri dalam keadaan sederhana,. tanpa pengiring dan tidak
menunggang kuda maupun kereta, maka hal ini tidak menarik
perhatian orang bahkan ada di antara penduduk yang tidak
mengenalnya. Tentu saja mereka yang mengenal cepat-cepat
memberi penghormatan dengan membungkuk dalam-dalam yang
dibalas oleh Wanyen Ci Lun dengan senyum dan anggukan.
Akhirnya Wanyen Ci Lun keluar dari pintu gerbang kota raja
sebelah selatan. Ia teringat kepada sahabatnya, yaitu Hoan Ki
Hosiang, hwesio yang mengurus Kuan te-bio di luar tembok kota
sebelah selatan. Pangeran Wanyen Ci Lun amat suka kepada hwesio
tua dan semenjak ia masih kecil dahulu, kelenteng Kwan-te-bio
sudah menjadi tempat ia bermain-main dan terhadap hwesio tua
Hoan Ki Hosiang, ia seakan-akan menganggap hwesio ini sebagai
gurunya. Memang anggapan ini tidak salah karena semenjak kecil,
Wanyen Ci Lun sering kali menerima pelajaran tentang kebatinan
dan kebajikan.
925
Dari hwesio inilah Wanyen Ci Lun tergugah semangat
kegagahannya, dan dari hwesio ini ia mengenal sejarah dan riwayat
orang-orang besar jaman dahulu. Oleh karena pergaulannya dengan
Hoan Ki Hosiang ini maka watak Wanyen Ci Lun berbeda jauh
dengan para pembesar dan bangsawan bangsa Kin. la lelah merasai
keagungan kebudayaan llan dan mengaguminya, kemudian
menggunakannya dalam jalan hidupnya.
Selain semua ini, dari Hoan Ki Hoiang pula ia menerima pelajaran
ilmu silat dasar yang kemudian ia latih terus secara diam-diam di
bawah asuhan beberapa orang busu istana yang tua dan biarpun
tidak secara resmi ia mengangkat guru kepada Hoan Ki Hosiang,
akan tetapi ia menyebut hwesio itu “suhu“ dan boleh dibilang segala
keperluan kelenteng Kwan-te-bio yang kecil itu dijamin oleh Wanyen
Ci Lun.
Melihat kedatangan pangeran ini, dua orang hwesio cilik yang
bekerja sebagai pelayan kelenteng Kwan-te-bio, tergopoh-gopoh
menyambut, memberi hormat, lalu melaporkan kepada Hoan Ki
Hosiang. Akan tetapi, belum juga mereka masuk ke dalam, hwesio
tua ini sudah bertindak dengan muka berseri.
“Siauw-ongya, kebetulan sekali kau datang! Ada sesuatu yang
amat penting hendak pinceng bicarakan dengan Siauw ongya,“ kata
Hoan Ki Hosiang sambil membalas pemberian hormat pangeran itu.
“Ada kepentingan apakah, Suhu? harap lekas beritahukan, aku
ingin sekali mendengar.“
“Hal ini aneh sekali, Siauw-ongya dan hampir menimbulkan
salah paham. Hari kemarin pinceng kedatangan seorang tamu yang
minta supaya pinceng terima bermalam di sini untuk beberapa
malam, seorang yang aneh sekali.”
Wanyen Ci Lun tersenyum. Sudah terlalu banyak hal aneh ia
alami akhir-akhir ini sehingga berita ini diterimanya dengan senyum
dingin saja.
”Siapa dia, dari mana orangnya, Suhu?” tanyanya.
”Dia pergi keluar tadi pagi, katanya hendak mengurus sesuatu
dalam beberapa hari di kota raja. Kalau malam hari ia kembali dan
926
minta supaya diperbolehkan menginap di sini. Siauw-ongya, pinceng
bukan main-main, keadaan orang ini aneh sekali. Pada pertama kali
ia datang pinceng sendiri sampai salah menegur dan mengira bahwa
dia adalah Siauw-ongya sendiri yang berlaku pura-pura dan ingin
main- main dengan pinceng. Akan tetapi ternyata dia bukan Siauwongya
sungguftpun wajah dan bentuk badan serupa benar dengan
Siauw-ongya....”
”Apakah dia Wan Sin Hong...?” Wan-yen Ci Lun memotong cepat.
Hoan Ki Hosiang nampak tercengang, ”Betul, Siauw-ongya.
Bagaimana kau bisa tahu...?? Dia betul bernama Wan Sin Hong dan
kepandaiannya luar biasa sekali. Karena tadinya, pinceng telah
mencoba dan menekan pundaknya. Akan tetapi pinceng merasa
seakan-akan menekan tumpukan kapas saja, sampai tenaga sendiri
amblas dan lenyap. Kemudian, pundak itu berubah menjadi seperti
baja panas, benar-benar lweekang seperti itu jangankan
menyaksikan, mendengarpun belum pernah.”
Tiba-tiba dari belakang kelenteng terdengar suara halus.
”Hoan Ki Lo-suhu, jangan kau terlalu memuji orang setinggi
langit. Wanyen Siauw-ongya, aku girang dapat bertemu dengan kau
di sini!”
Hwesio tua itu dan Pangeran Wanyen Ci Lun cepat menengok ke
belakang dan tahu-tahu dari dalam telah keluar seorang pemuda
yang serupa benar dengan Wanyen Ci Lun, hanya pakaiannya saja
berbeda karena amat sederhana. Dia ini bukan lain adalah Wan Sin
Hong yang, mengejar Liok Kong Ji dan mendapat kenyataan bahwa
larinya pemuda itu adalah ke kota raja.
Dua orang pemuda yang sama rupa dan bentuk badannya saling
berhadapan menyelidiki watak masing-masing dengan pandang
mata yang tajam menembus jantung. Akhirnya keduanya merasa
puas dan Wan Sin Hong menjura lebih dulu memberi hormat sambil
berkata,
“Pangeran Wanyen CI Lun, aku girang melihat kau ternyata
dalam keadaan sehat.“
927
Ucapan Sin Hong ini tidak kasar, juga tidak terlalu menghormat
seperti layaknya seorang biasa bicara terhadap seorang bangsawan
agung. Akan tetapi kesederhanaan sikap Sin Hong ini tidak
menyakitkan hati Wanyen Ci Lun.
“Apakah aku berhadapan dengan Wan Sin Hong yang
disohorkan sebagai penjahat muda yang baru muncul di dunia?“
Sin Hong tersenyum pahit. ‘Benar, aku Wan Sin Hong dan
memang seorang yang bernama Liok Kong Ji telah berusaha matimatian
untuk merusak namaku.”
Wanyen Ci Lun memberi hormat sebagai balasan hormat Sin
Hong tadi, ia lalu berkata,
“Kalau begitu aku mengucapkan terima kasih atas
pertolonganmu di Ngo-heng-san dahulu, sayang kau terus
meninggalkan aku di bawah penjagaan bebeapa orang bidadari
sehingga kita tak sempat bertemu muka dan bicara. Mari kita masuk
ke dalam dan kita bicara dari hati ke hati.“ Sin Hong menurut saja
dan mengikuti pangeran itu masuk ke dalam kamar, diikuti pula oleh
Hoan Ki Hosiang. Akan tetapi setelah tiba di dalam kamar, hwesio
tua au tidak ikut masuk, melainkan menjaga di luar pintu agar
percakapan antara dua orang muda itu tidak terganggu.
”Wan Sin Hong, kau sebenarnya siapakah dan sampai di mana
kebenaran tentang berita bahwa kau penjahat besar?”
Wan Sin Hong begitu bertemu dengan pangeran ini, telah timbul
perasaan suka dan percaya, maka ia pun lalu berkata terus terang!
”Pangeran Wanyen Ci Lun, sesungguhnya antara kita masih ada
hubungan keluarga, karena ketahuilah bahwa mendiang Ayahku
adalah Wan Kan atau Wanyen Kan, seorang pangeran pula.”
”Dia itu Pamanku! Kita ini masih saudara seketurunan!” kata
Wanyen Ci Lun dengan girang. ”Jadi namamu sebenarnya Wanyen
Sin Hong?” ,Sin Hong hanya tersenyum, akan tetapi ia mengangguk.
Pangeran Wanyen Ci Lun, memegang kedua lengan saudaranya
ini dan dua pasang mata saling pandang, terharu dan gembira.
928
‘Betapapun juga, aku sekarang adalah Wan Sin Hong, seorang
pemuda bukan keturunan keluarga istana. Harus kauketahui baikbaik
akan hal ini, Pangeran Wanyen Ci Lun.” Suara Sin Hong
terdengar penuh keyakinan dan tahulah Wanyen Ci Lun yang sudah
mengerti akan riwayat ayah pemuda itu, bawa di dalam hatinya, Sin
Hong masih menaruh dendam terhadap istana dan tidak akan suka
mengaku keluarga istana.
”Sin Hong, aku girang sekali mendapat kenyataan bahwa kau
masih ada hubungan darah dengan aku. Aku bangga sekali apalagi
setelah mendengar bahwa kau sekarang telah menjadi bengcu. Ah,
alangkah girang hatiku mempunyai saudara yang memiliki
kepandaian setinggi kepandaianmu, aku kagum padamu, Saudara.
Hanya sedikit yang menjadi ganjalan hatiku, benar benarkah semua
berita kejahatan yang kaulakukan itu bohong belaka?”
Sin Hong menarik napas panjang. “Memang sukar melenyapkan
keraguan ini, karena Kong Ji pandai sekali mengatur semua
kejahatan sehingga seaka-akan aku yang melakukannya. Akan
tetapi percayalah, bahwa semua perbuatan keji itu biar sampai mati
pun takkan dapat aku melakukannya. Sudahlah tentang hal ini, yang
penting sekarang, aku hendak bertanya kepadamu, Pangeran,
dimanakah adanya Nona Gak Soan Li. Aku mendengar bahwa kau
dilarikan oleh seorang gadis cantik berwajah pucat yang tinggi ilmu
larinya. Dia itu tentu Soan Li. Benarkah dugaanku? Dan di mana dia
sekarang?”
Wanyen Ci Lun tiba-tiba menjadi muram mukanya, karena ia
teringat akan cerita Soan Li bahwa gadis itu pernah, dicemarkan
oleh Wan Sin Hong.
“Nanti dulu, Sin Hong. Sebelum aku menjawab pertanyaanmu
itu, coba kau bersumpah lebih dulu, benar- benarkah kau tidak
pernah melakukan kejahatan terhadap wanita yang manapun juga?“
Sambal berkata demikian, Wanyen Ci Lun memandang tajam.
Mendengar ini, Sin Hong tiba-tiba memegang kedua lengan
pangeran itu yang merasa betapa kedua lengannya seakan-akan
dicengkeram oleh jepitan yang kuat sekali.
929
“Kalau begitu Soan Li berada denganmu. Tentu dia yang
bercerita tentang dirinya dicemarkan oleh Wan Sin Hong.
Dengarlah, Pangeran. Tak perlu aku berpanjang cerita. Gadis itu
telah menjadi korban Liok Kong ji, bahkan telah diberi makan racun
yang merusak ingatannya. Aku ahli pengobatan, kau sudah tahu ini
karena kau pun pernah menjadi korban racun Hek-tok-ciam dari
Liok Kong Ji dan aku yang menolongnya. Mari bawa aku kepadanya,
aku akan mencoba untuk mengobatinya untuk memulihkan
ingatannya. Di samping itu, aku mohon bantuanmu untuk
menyelidiki, apakah yang hendak dilakukan oleh iblis Liok Kong Ji di
istana ini.“
Melihat sikap Sin Hong, sekaligus keraguan hati Wanyen Ci Lun
lenyap. “Kalau begitu jangan menunggu lagi, mari ikut ke istanaku,
Sin Hong.”
Maka setelah memesan kepada Hoan Ki Hosiang agar jangan
menceritakan kepada siapapun juga akan pertemuan dua orang
muda itu. Pangeran Wanyen Ci Lun lalu mengajak Sin Hong ke
istananya, sekali ini ia mempergunakan kendaraan keretanya yang
ia suruh orangnya menjemputnya di kelenteng itu. Di dalam kereta,
Wanyen Ci Lun dengan singkat menceritakan pertemuannya dengan
Soan Li, dan bercerita pula tentang sikap Soan Li yang amat
mengharukan hatinya dan juga menggemaskan hatinya kepada
orang yang telah merusak hidup gadis itu.
Tanpa diketahui oleh siapapun juga karena pandainya Pangeran
Wanyen Lun mengaturnya, Sin Hong dapat masuk ke dalam istana
pangeran itu dan ia dijumpakan dengan Soan Li. Wanyen Ci Lun
sengaja tidak ikut menemui Soan Li karena Pangeran ini hendak
menyaksikan bagaimana sikap Soan Li kalau bertemu dengan Sin
Hong.
“Lam-ko, kau baru datang....“ Soan Li menyambut dengan
senyum manis ketika melihat Sin Hong masuk ke dalam kamar.
“Lam-ko, mengapa kau selalu agaknya menjauhkan diri dariku?’
Apakah kau kecewa karena aku ikut dengan kau? Apakah kiranya
keadaanku yang hina ini merendahkan kedudukanmu sebagai
seorang pangeran besar? Lam-ko, bagiku, biarpun kau seorang
930
pangeran atau bahkan seorang kaisar sekalipun, bagiku kau tetap
Gong Lam, bukan Pangeran Wanyen Ci Lun atau siapapun juga.“
Melihat keadaan dan mendengar kata-kata ini, hati Sin Hong
seperti diremas-reemas. Terbuka kedua matanya dan tahulah ia
bahwa sebenarnya yang dicinta oleh Soan Li adalah dia sendiri!
Mengerilah ia bahwa dahulu, dalam pertemuan pertama ketika ia
masih menggunakan nama Gong Lam, ternyata Gak Soan Li telah
jatuh cinta kepadanya dan cinta kasihnya itu sedemikian besarnya
sehingga biarpun ingatan gadis itu sudah tidak normal lagi, tetap
saja gadis itu masih mencinta Gong Lam sepenuh hatinya. Hal ini
benar-benar mengharukan hati Sin Hong dan membuat ia berpikir
keras. Dengan kepandaiannya, kiranya ia akan dapat
menyembuhkan Soan Li, atau setidaknya mengembalikan
ingatannya.
Kalau Soan Li teringat akan semtua hal dan akhirnya mendapat
kenyataan bahwa Gong Lam yang sesungguhnya tidak membalas
cinta kasihnya, bukankalk gadis itu akan menjadi makin rusak
hidupnya? Sebaliknya, dalam keadaan seperti sekarang ini, Soan Li
tidak dapat membedakan antara Gong Lam aseli dan Gong Lam
yang sekarang menjadi nama julukan Wanyen Ci Lun dan gadis itu
dapat hidup di dalam istana Wanyen Ci Lun bersama pangeran itu.
Menurut penglihatannya, Pangeran Wanyen Ci Lun juga mencinta
Soan Li. Oleh karena itu, ia lalu menjawab,
“Sama sekali aku tidak menyesal, bahkan aku girang sekali kau
sudah merasa betah tinggal di sini. Percayalah bahwa kau akan
berbahagia di sini Sayang aku tidak dapat terlalu lama di seni,
karena banyak sekali keperluan penting yang harus kuselesaikan.
Baik-baiklah kau di sini, Soan Li.“ Setelah berkata demikian, Sin
Hong lalu berjalan keluar dengan cepat, lalu menemui Pangeran
Wanyen Ci Lun yang telah menantinya di luar.
“Bagaimana, Sin Hong, apakah dia tidak ada harapan
disembuhkan sehingga ia teringat akan semua hal yang lalu?“
Sin Hong menggelengkan kepalanya. “Tak mungkin. Penghidupan
lama telah mati baginya dan sekarang ia berada dalam hidup baru.
Kuharap saja ia akan berbahagia dalam hidupnya yang baru ini.”
931
Sinar mata yang berseri dari Pangeran Wanyen Ci Lun membuat
Sin Hong makin yakin bahwa memang sebaiknya bagi Soan Li
sendiri dan semua pihak kalau Soan Li berada seperti sekarang ini,
jangan teringat lagi akan segala apa yang sudah lalu.
“Kuharap demikian pula, akan tetapi di dalam hidupnya yang
baru ini terdapat dendam dan kebencian terhadap dua orang, yakni
terhadap Wan Sin Hong dan Liok Kong Ji. Yang pertama karena
dianggap orang yang mencemarkannya yang ke dua karena telah
menipunya selagi pikirannya masih belum sadar, menggunakan
nama Gong Lam dan mempermainkannya. Bahkan putera yang ia
dapatkan dari Gong Lam palsu ini dibencinya setengah mati“
Sin Hong menarik napas panjang. Tadi ia sudah mendengar
semua penuturan pangeran itu dan diam-diam ia memang kasihan
sekali kepada Soan Li.
“Kalau kau membantuku, Pangeran sedikit demi sedikit sadarkan
dia bahwa yang mencemarkan dia dahulu sesungguhnya juga iblis
Liok Kong Ji itu yang menggunakan nama Wan Sin Hong. Dan
katakan kepadanya bahwa pada suatu hari ia tentu akan kuberi
kesempatan melakukan balas dendam terhadap iblis Liok Kong Ji
itu!“
Kemudian Sin Hong mendengar berita mengejutkan dari
Pangeran Wanyen Ci Lun. Tadinya pangeran ini belum mau
bercerita sesuatu tentang keputusan kaisar menghukum Wan Sin
Hong dan Go Ciang Le, karena ia hendak melihat dan meyakinkan
bahwa Wan Sin Hong benar-benar bukan seorang jahat. Kalau saja
ia melihat bahwa pemuda itu benar-benar pernah menghina Soan
Li, kiranya ia takkan bersikap semanis ini terhadap Sin Hong, dan
besar kemungkinan ia akan mengerahkan orang-orangnya sendiri
untuk menangkapnya!
Berita bahwa kaisar menyuruh See-thian Tok-ong dan Kong Ji
untuk menangkap atau membunuhnya, tidak mengagetkan hati Sin
Hong. Akan tetapi mendengar bahwa See thian Tok-ong
sekeluarganya dan Liok Kong Ji, disertai pasukan yang kuat menuju
ke Kim-bun-to untuk melakukan penangkapan terhadap keluarga
yang sedang merayakan pernikahan Go Hui Lian dan Coa Hong Kin,
benar-benar amat terkejutlah hati Sin Hong.
932
”Keparat jahanami” makinya marah. “Iblis itu meminjam tangan
Kaisar untuk membalas musuh-musuhnya. Benar- benar licin dan
keji sekali!”
Cepat Sin Hong bermohon diri dari Pangeran Wanyen Ci Lun
untuk cepat pergi ke Kim-bun-to dan membantu kaluarga Go
menghadapi serbuan ini, atau lebih tepat memperingatkan mereka
agar cepat melarikan diri sebelum pasukan kaisar tiba di Kim bun-to.
Wanyen Ci Lun tidak menahannya, hanya berpesan bahwa kalau
urusan itu sudah selesai supaya Sin Hong suka datang ke istananya
dan tinggal di situ beberapa lamanya ia dapat puas bercakap-cakap
dengan saudara misannya ini.
Sin Hong menyanggupi, kemudian berangkat dengan diam-diam
dari kota raja. Setibanya di luar tembok kota, sudah ada seorang
suruhan dan kepercayaan Pangeran Wanyen Ci Lun menantinya
dengan seekor kuda yang besar dan baik untuknya. Sin Hong
merasa berterima kasih sekali, lalu melanjutkan perjalanannya
dengan cepat karena khawatir kalau kalau datangnya terlambat.
-oo0mch-dewi0oo-
Pulau Kim-bun-to berada dalam suasana pesta gembira.
Semenjak pagi, banyak tamu dari daratan menggunakan petahu
menyeberang ke pulau itu. Mereka semua datang untuk menghadiri
pesta pernikahan dari puteri Hwa I Enghiong, Go Hui Lian yang
pada hari itu diresmikan perjodohannya dengan murid Camkauw
Sin-kai yang bernama Coa Hong Kin.
Biarpun masih belum sembuh benar dari luka-lukanya, namun
berkat obat dewa pemberian Hui-eng Nio-cu Siok Li Hwa, nyawa
Cam-kauw Sin-kai tertolong dan pada hari itu ia sudah kuat untuk
ikut menyambut para tamu. Kakek pengemis sakti ini selain menjadi
guru dari Coa Hong Kin, juga menjadi walinya. Bersama Go Ciang Le
ia menghadang di pintu depan untuk menyambut para sahabat yang
membanjiri pulau itu untuk menyaksikan upacara pernikahan.
Sebagai seorang tokoh besar kang-ouw, tentu saja tamu-tamu dari
Ciang Le sebagian besar juga orang- orang kang-ouw. Bahkan
933
partai-partai besar mengirim pula wakil-wakilnya untuk mengirim
barang sumbangan.
Akan tetapi biarpun suasana amat gembira, kalau orang
memperhatikan wajah dua orang gagah yang menjaga pintu, wajah
Go Ciang Le dan Cam kauw Sin-kai orang akan melihat kemuraman
dan kegelisahan membayangi hati mereka. Hal ini adalah karena
dua hari yang lalu, di pulau itu datang Wan Sin Hong yang
menyampaikan semua yang didengarnya dari Pangeran Wanyen Ci
Lun tentang keputusan Kaisar.
Sin Hong membujuk agar keluarga Go meninggalkan pulau itu.
Akan tetapi dengan tegas Ciang Le menjawab,
“Kami tidak takut! Kami bukan pemberontak dan kalau Kaisar
demikian bodoh sehingga percaya akan hasutan See- thian Tok-ong
dan Liok Kong Ji sehingga ia mengirim pasukan ke sini, biarlah kita
akan melawan mati-matian.“
Mendengar ini, diam-diam Sin Hong memuji suhengnya ini, yang
benar-benar gagah berani sungguhpun di dalam hatinya mencela
karena sikap suhengnya terlampau keras kepala dan kurang
bijaksana. Dalam hal ini, yang bersalah besar bukanlah Kaisar,
melainkan See thian Tok-ong dan Liok Kong Ji. Mengapa harus
melakukan perlawanan terhadap pasukan Kaisar? Hal ini hanya akan
memberi kesan kepada Kaisar bahwa fitnahan yang dilontarkan oleh
See-thian Tok-ong dan Liok Kong Ji kepada Hwa I Enghiong,
terbukti!
Akan tetapi Sin Hong tahu orang macam apa adanya suhengnya
itu, yakni orang yang memiliki kekerasan hati dan keangkuhan,
orang yang akan rela mengorbankan keselamatan serumah tangga
untuk menjaga namanya. Suhengnya menghadapi pesta pernikahan
dan tamu-tamu dari tempat jauh sudah mulai berdatangan, tak
mungkin pesta itu dibatalkan atau diundurkan hanya karena takut
akan serbuan pasukan dari kota raja. Diam-diam Sin Hong lalu
meninggalkan pulau itu dengan cepat untuk mengatur siasat.
Sebagai seorang bengcu, di mana-mana ia diterima dengan
hormat oleh para orang gagah dan sebentar saja Sin Hong sudah
berhasil mengumpulkan banyak orang gagah dari pelbagai
934
perkumpulan, dibantu oleh gihunya, yakin Lie Bu Tek. Hanya kepada
Lie Bu Tek, Sin Hong bebas mengutarakan semua isi hatinya dan
dengan gihunya ini ia berunding untuk mengatur siasat menghadap
ancaman itu.
Akan tetapi, setelah Sin Hong dan Lie Bu Tek berhasil
mengumpulkan tiga ratus lebih kawan-kawan yang siap sedia
melakukan barisan pendam di tepi pantai untuk mencegah pasukan
See-thian Tok-ong menyeberang dan mengganggu keluarga Go,
mereka menanti sampai tengah hari belum juga terjadi sesuatu, Sin
Hong dan Lie Bu Tek sudah merasa kecele sekali dan di antara para
kawan yang berada di situ sudah menganggap, kekhawatiran Sin
Hong tidak akan terjadi, karena siapakah yang berani mengganggu
Hwa l Enghiong?
“Heran sekali, mengapa mereka tidak juga muncul?“ Lie Bu Tek
bertanya kepada anak angkatnya.
Sin Hong mengerutkan kening. “Inilah yang menggelisahkan hati,
Gahu. Kalau mereka segera muncul, mudah bagi kita untuk
menahan mereka. Akan tetapi sekarang mereka tidak muncul, ini
berbahaya sekali. See- thian Tok-ong bukan orang biasa dan sepak
terjangnya selalu diliputi keanehan. Apalagi dia dibantu oleh Kong Ji
manusia iblis yang mempunyai banyak tipu muslihat licik.
Menghadapi musuh yang bergerak dan kelihatan tidaklah berat,
akan tetapi menghadapi musuh yang diam saja dan tidak kelihatan,
ini menggelisahkan.”
Sementara itu, di Pulau Kim-bun-to upacara pernikahan sudah
dilangsungkan dengan meriah. Sepasang pengantin bersembahyang
dan menerima ucapan selamat dan para tamu. Pengantin pria
tersenyum, mukanya berseri gembira. Pengantin wanita tadinya
menitikkan air mata, akan tetapi kemudian dapat tersenyum pula.
Para tamu makan minum sambil tertawa-tawa, semua bergembira
tidak tahu akan datangnya awan hitam mengancam. hanya Ciang
Le, Bi Lan, Cam-kauw Sin-kai, dan kedua pengaintin saja yang diamdiam
merasa heran mengapa Wan Sin Hong dan Lie Bu Tek tidak
muncul dalam upacara pernikahan itu.
Orang-orang yang berpesta di Pulau Kim-bun-to itu sama sekali
tidak tahu bahwa di pantai daratan seberang pulau terjadi
935
pertempuran hebat. Setelah menanti-nantikan, muncullah
serombongan pasukan kaisar yang dipimpin oleh Li Kong Ji sendiri!
Pasukan ini jumlahn tidak kurang dari lima ratus orang bersenjata
lengkap dan berbaris rapi. Wan Sin Hong cepat maju menghadang
bersama kawan- kawannya.
”Liok Kong Ji manusia busuk, Kau datang membawa pasukan
pemerintah mempunyai maksud apakah?”
Liok Kong Jl tertawa dan berkata nyaring, ”Wan Sin Hong
pemberontak hina dina! Aku datang membawa surat kuasa Kaisar
untuk menangkap kau dan semua kawanmu yang ikut
memberontak. Hayo lekas berlutut terhadap firman Kaisar!”
”Kong Ji, mengapa kau begitu pengecut dan tidak tahu malu?
Kalau kau memang laki-laki dan kalau kau memang berani, mari kita
tinggalkan semua ini dan kita mencari tempat sunyi, bertempur
sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa. Mengapa
dalam pertentangan kita kau membawa-bawa Kaisar dan bala
tentaranya?”
Akan tetapi Liok Kong Ji tidak memperduhkannya dan cepat
memberi ababa. “Serbu dan tangkap dia, mati atau hidup ... !!“
Wan Sin Hong melompat sigap dan melakukan serangan kepada
Kong Ji. Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat Kong Ji
menyelinap dan melenyapkan diri di dalam pasukannya. Sejak tadi
Sin Hong sudah merasa heran. tidak hanya suara Kong Ji agak
berbeda, akan tetapi juga mengapa Kong Ji sekarang menjadi
demikian penakut?
Biarun Kong Ji takkan dapat menang terhadap dia akan tetapi
kalau hanya beberapa puluh jurus saja belum tentu akan dapat
merobohkan Liok Kong Ji, kenapa sekarang belum diserang sudah
lari?
Akan tetapi Sin Hong tidak mendapat kesempatan berpikir
tentang itu karena barisan istana itu telah menyerbu dan terjadilah
pertempuran hebat antara barisan kota raja melawan kawan-kawan
yang membela Sin Hong. Juga Lie Bu Tek dengan tangan kirinya
mengamuk dengan pedangnya sehingga gentarlah para perajurit
Kaisar melihat pendekar, buntung ini.
936
Adapun Sin Hong sendiri, ia tidak mau merobotikan para perajurit
Kaisar itu, sebaliknya ia mencari Kong Ji. Akan tetapi heran sekali, ia
tidak dapati melihat Kong Ji yang agaknya sudah lenyap ditelan
bumi. Pertempuran berjalan makin sengit dan kedua pihak sudah
banyak yang roboh. Akan tetapi tentu saja pihak perajurit Kaisar
yang lebih banyak menjadi korban, karena kawan-kawan Sin Hong
adalah anggauta-anggauta partai yang pandai ilmu silat. Sin Hong
lalu berlari ke arah sebuah perahu nelayan yang mempunyai tiang
layar tinggi. Ta melompat dan dengan cepat sekali melalui talitemali
layar ia dapat, mencapai puncak dan berdiri dengan sebelah
kaki di situ. Dan tempat tinggi ini dapat melihat sampai jauh, dan
dari situ dicarinya di mana gerangan adanya Liok Kong Ji dan di
mana pula adanya See-thian Tok-ong seanak isteri yang sejak tadi
tidak dilihatnya.
Akan tetapi tetap saja ia tidak dapat melihat bayangan mereka.
Tanpa disengaja Sin Hong menoleh ke belakang. Padahal tidak
semestinya kalau ia mencari musuh- musuhnya itu di belakang,
karena di belakangnya adalah lautan. Begitu ia menoleh, ia
mengeluarkan seruan kaget. Dan situ kelihatan asap bengulunggulung
naik di Pulau Kim-bun-to! Tanda bahwa di sana terjadi
kebakaran hebat dan ketika ia memandang lebih lama lagi,
kelihatanlah layar perahu-perahu besar di pantai pulau itu sebelah
kanan’
Cepat Sin Hong melompat turun dan berlari menghampiri Lie Bu
Tek yang masih mengamuk. “Gihu, celaka, agaknya Kim-bun-to
diserbu dari lain jurusan!“
Sementara itu, para perajurit sudah terdesak hebat dan akhirnya
mereka melarikan diri tunggang langgang, meninggalkan lebih dan
lima puluh orang yang terluka atau tewas.
“Jangan mengejar...! Sin Hong berseru keras melihat beberapa
orang kawannya yang masih penasaran hendak melakukan
pengejaran, “Tinggalkan lima puluh orang di sini untuk merawat
kawan kawan yang terluka dan mengurus mayat-mayat ini, yang
lain ikut kami ke Kim-bun-to!“
Serentak mereka lalu menggerakkan perahu-perahu mereka dan
meminjam perahu-perahu nelayan dan tak lama kemudian dua
937
puluh lebih perahu-perahu besar kecil meluncur ke Pulau Kim-bunto.
Apakah yang telah terjadi di Kim-bun-to? Memang tidak salah
dugaan Sin Hong. Pulau itu telah diserang dari dua jurusan, oleh
pasukan-pasukan yang datang menggunakan perahu-perahu besar.
Perahu-perahu itu datang dari jurusan utara dan timur dan lebih
dari seribu orang perajurit menyerbu ke jurusan rumah Hwa I
Enghiong Go Ciang Le yang masih ramai berpesta.
Mula mula yang datang hanya beberapa orang yang disambut
oleh para pelayan karena Ciang Le, Cam-kauw Sin-kai dan yang
lain-lain sedang sibuk melayani tamu di sebelah dalam karena pesta
sudah berjalan setengah jalan, mereka mengira takkan ada tamu
lagi dan menyerahkan penyambutan di luar kepada para pelayan.
Beberapa orang tamu yang datang itu menyerahkan sebuah
bungkusan besar kepada pelayan penyambut dengan pesan supaya
diberikan kepada tuan rumah. Tentu saja para pelayan itu lalu
membawa bungkusan sumbangan ini kepada Ciang Le yang
menerima dan membawa tulisan di luar bungkusan. Bukan main
herannya ketika melihat tulisan di luar bungkusan itu hanya
menyebut nama “Keluarga Go“ saja tanpa menulis nama
pengirimnya, hanya situ terdapat tulisan merah dengan huruf-huruf
besar . HARAP DIBUKA SEKARANG JUGA’
Ciang Le bukan seorang penakut. Dengan mendongkol dan
marah ia menggunakan tenaganya dan terdengar suara keras.
Tahu-tahu bungkusan itu telah hancur dan isinya berada di
tangannya. Yang melihat benda itu mengeluarkan suara tertahan.
Akan tetapi Bi Lan, Hui Lian, Coa Hong Kin dan Cam-kauw Sin-kai
menjadi marah sekali. Kebetulan mereka sedang berkumpul di
kamar pengantin.
“Jahanam, siapa berani menghina kita?“ Bi Lan sudah merah
telinganya dan hendak berlari keluar. Akan tetapi Ciang Le
memegang lengannya dan menarik kembali isterinya itu, minta
supaya bersabar. Kemudian Ciang Le memandang kepada benda itu
dengan kening berkerut. Orang telah menyumbang sepasang
belenggu! Ini berarti bahwa orang atau orang-orang yang
menyumbang itu bermaksud menjadikan mereka sebagai tawanan.
938
“Biar aku sendiri menghadapi mereka,“ katanya perlahan, dan
hatinya mulai tidak enak karena teringat akan penuturan Wan Sin
Hong tentang keputusan Kaisar hendak menangkap dan
menghukum mereka.
Dengan langkah lobar Ciang Le lalu keluar untuk melihat
siapakah mereka yang mengantar sumbangan sepasang belemggu
tadi. Tak lupa ia menyambar pedangnya dan digantungkan di
punggungnya.
Setelah ia tiba di pintu luar tepat seperti yang ia duga di dalam
hatinya, berhadapan dengan Liok Kong Ji, See-thian Tok-ong, Kwan
Ji Nio, Kwan Kok Sun! Ketika empat orang ini melihat munculnya Go
Ciang Le, mereka terseyum mengejek dan See-thian Tok-ong
mengeluarkan suara keras sebagai tanda untuk pasukannya.
Bagaikan gelombang laut pasang, terdengar derap kaki bergemuruh
dan seribu orang pasukan dengan gagah berbaris dari beberapa
jurusan rumah itu!
Tentu saja para tamu menjadi panik melihat hal ini. See- thian
Tok-ong mengeluarkan leng-ki (bendera utusan kaisar) dan
mengangkatnya tinggi ke atas.
“Kami adalah utusan-utusan Kaisar, semua harus berlutut
terhadap lengki Kaiser!“ seru See-thian Tok-ong dengan suara
nyaring.
Bendera lengki dari Kaisar memang merupakan tanda kekuasaan
yang tinggi dan hal ini semua orang tahu. Oleh karena itu, sebagian
besar para tamu lalu menjatuhkan berlutut menghadapi bendera.
“Para hohan, dengarlah baik-baik!“ tiba-tiba Liok Kong Ji berseru
nyaring., “Kami berdua, yakni See-thian Tok-ong Locianpwe ini dan
aku Tung-nam Thaibengcu Liok Kong Ji, mendapat kepercayaan dari
Hongsiang (Kaisar) dan menjadi utusan untuk menangkap keluarga
Go Ciang Le karena dianggap memberontak terhadap kekuasaan
Hongsiang yang mulia. Cuwi (Tuan-tuan Sekalian) harap tenang saja
karena hanya untuk menangkap dia sekeluarga dan kaki tangannya,
orang- orang lain takkan diganggu kecuali kalau
939
mereka membela kaum pemberontak. Go Ciang Le, kedosaanmu
telah nyata, hayo lekas berlutut untuk kami belenggu dan kami
bawa ke kota raja dalam keadaan hidup- hidup sekeluargamu!“
Bukan main marahnya Ciang Le mendengar ucapan ini.
“Manusla berhati iblis Liok Kong Ji, hari ini kalau bukan kau tentu
aku yang putus nyawa!“ bentaknya sambil menyerang dengan
pedangnya. Kong Ji melompat ke belakang dan See-thian Tok-ong
memberi aba-aba.
“Hayo serbu! Yang melawan bunuh saja, bakar rumah ini!”
Kong Ji kini mencabut Pak-kek Sin-kiam dan membalas serangan
Ciang Le sehingga di lain saat mereka telah bertcmpur sengit. Dari
dalam menyerbu keluar Liang Bi Lan dan Cam-kauw Sin-kai yang
disambut oleh See-thia n Tok- ong, Kwan Ji Nio dan Kwan Kok Sun.
juga Hui Lian sudah melepaskan pakaian pengantin dan bersama
suaminya menyerbu keluar dengan senjata di tangan.
“Jangan bunuh calon pengantinku ini!“ Kwan Kok Sun berseru
sambil menghadapi Hui Lian.
Di antara para tamu, banyak juga utusan dan partai partai
persilatan besar dan banyak pula di antaranya adalah orang-orang
kang-ouw yang bersemangat dan berjiwa gagah. Melihat keadaan
ini mereka lalu mencabut senjata dan mereka membela tuan rumah,
tidak peduli akan ancaman Liok Kong Ji tadi. Yang bergerak ini tidak
kurang dari lima puluh orang banyaknya, sedangkan yang lain diamdiam
sudah lari pergi menjauhkan diri dari situ.
Sebentar saja rumah yang tadinya penuh kegembiraan itu
menjadi medan pertempuran yang hebat. Mangkok piring
beterbangan, meja meja terbalik dan suara senjata memekakkan
telinga. Tak lama kemudian darah mulai mengalir dan nyawa
melayang. Pertempuran menjadi kacau balau karena ruangan itu
terlalu sempit untuk tempat pertempuran orang banyak itu. Maka
sebagian pula sudah keluar dari rumah dan melanjutkan
pertempuran di halaman depan.
Tiba- tiba nampak api berkobar di kanan kiri dan belakang rumah
diberengi pekik sorak para perajurit yang membakar rumah itu. Para
940
pelayan menjerit jerit, keadaan makin panik dan ribut. Para
penduduk Kim-bun-to menjadi geger. Toko-toko ditutup, pintu-pintu
ditutup, dan mereka yang mempunyai perahu sendiri cepat-cepat
membawa anak isterinya pergi dari pulau itu melarikan diri ke
daratan. Akan tetapi, banyak di antara mereka yang menjadi korban
periampokan. Saking banyaknya pasukan yang dibawa oleh Seethian
Tok-ong, sebagian besar dari mereka ini tentu saja tidak dapat
ikut bertempur dan mereka itu mencari musuh para penduduk Kimbun-
to, tentu saja dengan maksud hanya untuk merampas,
mengganggu, dan membunuh dengan dalih membasmi kaum
pemberontak, Memang di seluruh dunia beginilah macamnya
serdadu penjajah.
Pertempuran antara Ciang Le dan Kong Ji hebat bukan main.
Mereka ternyata memiliki kepandaian yang seimbang. Ilmu pedang
dari Hwa I Enghiong Go Ciang Le memang hebat sekali, yakni
sebagian dari Pak-kek-kiam-sut. Akan tetapi Kong Ji yang pernah
mencuri ilmu ini dari Hui Lian, dasar otaknya cerdas, sudah dapat
menangkap intinya dengan ditambah pula dengan ilmunya sendiri
yang tinggi, ia bahkan dapat mendesak Ciang Le dengan seranganserangan
pedang dan dibarengi pukulan-pukulan Tin san- kang yang
diganti-ganti dengan Pukulan Hek-tok-ciang’ Kalau saja ia tidak
memegang Pak-kek-sin-kiam, kiranya belum tentu ia dapat
mendesak Hwa I Enghiong.
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid XXXIV
PEDANG pusaka ini memegang bagian penting dari
kemenangannya karena Ciang Le yang maklum akan keampuhan
pedang pusaka itu, tidak berani mengadu pedangnya secara
langsung. Akan tetapi dengan ilmu pedangnya yang tinggi, ia dapat
membuat pertahanan yang kuat sekali sehingga semua desakan
Kong Ji tidak mendatangkan hasil dan selalu dapat ditolaknya.
Karena dua orang ini kepandaiannya sudah tinggi sekali sehingga
gerakan-gerakan ilmu silat mereka sukar diikuti dan diduga, maka
orang-orang lain, baik pihak Kong Ji maupun pihak Ciang Le, tidak
ada yang berani turun tangan membantu.
941
Bi Lan mendapat lawan See-thian Tok-ong. Sebentar saja Bi Lan
merasa betapa berat dan tangguhnya lawan ini. Akan tetapi
semenjak masih gadis dahulu, Liang Bi Lan adalah seorang yang
tidak pernah mengenal takut. ia kini menghadapi seorang yang ilmu
silatnya seperti iblis dahsyat dan jahatnya, akan tetapi nyonya ini
pun pernah menjadi murid seorang yang seperti iblis, maka biarpun
amat terdesak, ia tidak merasa gentar dan melakukan perlawanan
mati-matian dengan pedangnya. Juga dalam pertandingan ini, tak
ada yang berani membantu.
Hui Lian dan Hong Kin bertempur melawan Kwan Ji Nio dan
Kwan Kok Sun, dan segera terdesak hebat. Cam-kauw Sin-kai
membantu Hui Lian, akan tetapi oleh karena kakek ini masih belum
sembuh benar dari luka-lukanya yang hebat, gerakannya lemah
sekali dan bantuannya tidak berarti banyak. Bahkan dua puluh jurus
kemudian, Cam- kauw Sin-kai roboh terkena totokan ranting di
tangan Kwan Ji Nio.
Kakek itu tanpa mengeluarkan suara sedikit pun roboh tak
bernapas lagi. Totokan ranting di tangan Kwan Ji Nio bukan
sembarangan totokan. Setiap serangan ranting selalu mengancam
jalan darah kematian. Hui Lian dan Hong Kin, sepasang pengantin
baru ini menjadi marah dan nekad. Bersama-sama mereka lalu
mendcsak dan mengeluarkan seluruh kepandaian untuk membalas
serangan-serangan lawan.
Sementara itu, puluhan orang yang membantu tuan rumah, tidak
kuat mengadapi desakan ratusan orang yang menyerbu dengan
ganasnya. Biarpun pihak pasukan Kaisar juga banyak yang roboh
binasa, namun seorang demi seorang, para enghiong yang membela
tuan rumah ini mulai roboh.
Melihat ini, Ciang Le mulai gelisah. ia tidak khawatir akan nasib
diri sendiri, yang membikin ia gelisah adalah keadaan Hui Lian yang
juga amat terdeak. Anaknya itu baru saja merayakan hari
pernikahannya dan sekarang sudah terancam bahaya maut..
“Hui Lian, Hong Kin, larilah!“
Juga Bi Lan yang amat terdesak oleh See-thian Tok-ong, tidak
mempedulikan keselamatan diri sendiri. Dilihatnya beberapa orang
942
yang tadinya menjadi tamu, sudah roboh menggeletak mandi darah
di kanan kirinya. Tiba-tiba See-thian Tok-ong mengeluarkan seruan
keras sekali sambil menubruknya dengan Pukulan Hek-tok-ciang
yang dahsyat. Bi Lan tahu akan kehebatan pukulan ini, cepat
mempergunakan ginkang mengelak. Seorang tamu yang berada di
belakang Bi Lan bertempur melawan para perajurit, menjadi sasaran
hawa Pukulan Hek tok-ciang, menjerit ngeri dan roboh, dihujani
pukulan senjata oleh para perajurit.
Bi Lan menoleh dan melihat Hong Kin terdesak hebat oleh Kwan
Ji Nio. Lebih hebat lagi, Kok Sun sudah mengeluarkan ularnya, dan
kini Kok Sun mendesak Hui Lian dengan ularnya itu. Hui Lian
kelihatan pucat sekali, biarpun gadis ini pemberani seperti ibunya,
namun ia ngeri dan geli menghadapi serangan ular di tangan Kok
Sun. Baiknya
Kwan Kok Sun tidak bermaksud membunuh atau melukainya,
melainkan hendak menangkapnya hidup-hidup. Kalau Kok Sun mau,
kiranya ular sudah dapat melukai atau menggigit Hui Lian.
Adapun Hong Kin yang bertempur dengan Kwan Ji Nio, tentu saja
ia bukan lawan nyonya lihai. Napas Hong Kin sudah terengah-engah
karena ia dikocok oleh Kwan Ji Nio yang amat cepat gerakannya dan
amat cepat pula rantingnya menyambar-nyambar. Baiknya Hong Kin
memiliki Ilmu Tongkat Cam-kau-tung-hwat sehingga dengan
tongkatnya itu ia dapat melindungi dirinya sehingga beberapa
totokan ranting yang mengenai tubuhnya melesat dan hanya
merobek baju dan kulit saja.
Keadaan keluarga Go benar-benar telah terancam hebat. “Hui
Lian, ajaklah suamimu lari!“ Bi Lan menjerit pada saat nyonya yang
gagah ini dapat menghindarkan diri lagi dari serangan See thian
Tok-ong. Pukulan Hek-tok-ciang dan senjata kuku setan Ngo-tokmo-
jiauw sudah mengurungnya sedemikian hebat sehingga terpaksa
Bi Lan menggulingkan diri membiarkan pundaknya kena hajaran
Hek-tok-ciang dan ia terus menggelundung sampai di dekat tempat
Hong Kin terdesak oleh Kwan Ji Nio.
See-thian Tok-ong mengejar terus dan kembali, pukulan jarak
jauh Hek-tok ciang mengenai pinggang Bi Lan. Nyonya ini menjerit
dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke depan dan di lain saat
943
pedangnya telah menembus lambung Kwan Ji Nio. Akan tetapi,
berbareng dengan robohnya Kwan Ji Nio, Bi Lan juga roboh tak
berkutik lagi.
“Ha, ha, ha, ha!“ Melihat isterinya dan Bi Lan roboh, See-thian
Tok-ong yang berwatak luar biasa itu tertawa bergelak. Akan tetapi
pada saat itu menyambar sinar pedang yang cepat bagaikan kilat.
See thian Tok-ong menyampok dengan kedua Ngo-tok-mo-jiauw,
akan tetapi dua cakar setan itu terbabat putus dan masih terus
membabat, tepat mengenai perutnya dan merobek bagian tubuh ini
sehingga isi perutnya berantakan keluar! Sambil mengeluarkan
suara ketawa yang menyeramkan sekali, See-thian Tok-ong.
terhuyung-huyung roboh.
“Hui Lian dan Hong Kin, larilah biar aku yang menahan mereka!“
teriak Ciang Le sambil memutar pedangnya karena I.iok Kong Ji
sudah menyerangnya dengan hebat. Kong Ji marah sekali melihat
See-thian Tok-ong dan Kwan Ji Nio tewas, maka serangannya
penuh dengan kemarahan dan dahsyat. Ciang Le terpaksa
menangkis dan terdengar suara nyaring ketika pedang di tangan
Ciang Le tinggal sepotong, buntung terbabat Pak-kek-sin-kiam!
Akan tetapi Hwa I Enghiong yang gagah perkasa tidak menjadi
gentar. Dengan pedang sepotong ia masih lihai sekali dan Kong Ji
tetap, tak dapat merobohkannya, hanya mampu mendesak makin
hebat.
“Hui Lian, larilah...!“ kembali Ciang Le berseru. Dalam keadaan
seperti itu, ia hanya ingat keselamatan anaknya.
Akan tetapi, mana Hui Lian mau melarikan diri? ia marah sekali
melihat Ibunya tewas, maka dengan penuh kegemasan ia
menerjang Kwan Kok Sun, tidak peduli lagi akan bahaya ular di
tangan pemuda gundul itu. Hong Kin membantunya dan kini Kwan
Kok Sun dikeroyok dua. Akan tetapi, beberapa orang perwira busu
segera maju membantu Kwan Kok Sun sehingga lagi-lagi pihak Hui
Lian yang terkurung dan terdesak hebat.
Gelombang serbuan dari pasukan Kaisar yang demikian
banyaknya tak tertahankan lagi. Para tamu yang membantu Ciang
Le kini tinggal dua puluh lebih, yang lain sudah tewas. Banjir darah
di rumah Hwa l Enghtong. Ciang Le sendiri makin lama makin
944
terdesak oleh Kong Ji yang benar-benar amat lihai itu, apa lagi
sekarang pedang di tangan Ciang Le tinggal sepotong.
Tiba-tiba barisan Kaisar menjadi kacau balau. Terjadi
pertempuran hebat di luar gedung. Ternyata bala bantuan datang,
yakni Wan Sin Hong dan dua ratus orang kawannya. Wan Sin Hong
sendiri menggunakan kepandaiannya menerobos ke dalam.
“Suheng, jangan khawatir, siauwte datang membantu!“ seru Sin
Hong.
Melthat kedatangan pemuda ani, Ciang Le, Hui Lian dan Hong
Kin besar semangatnya dan melakukan perlawanan lebih hebat lagi.
Akan tetapi Ciang Le berpikir lain. Kalau perlawanan dilanjutkan
tetap saja pihaknya akan kalah biarpun mendapat bantuan Sin
Hong, karena kalah banyak jumlah orangnya.
“Sin Hong, tolonglah... bawa lari Hui Lian dan Hong Kin...
selamatkan mereka....“
Kata-kata ini disambung dengan keluhan. Ketika bicara,
perhattan Ciang Le agak terpecah dan pedang Pak-kek- sinkiam
menembus dadanya, tusukan itu dilakukan oleh Kong Ji dengan
kecepatan yang tak dapat dielakkan lagi.
“Jahanam keji...!“ Sin Hong menubruk dan mengirim pukulan
dahsyat. Kong Ji cepat mengelak dan membabat dengan
pedangnya. Sin Hong tidak menghentikan pukulannya dan tangan
kiranya dikibaskan ke arah pedang Pak-kek-sin-kiam. Pedang itu
terkena hawa pukulan tangan kiri ini, menyeleweng ke samping.
Bukan main kagetnya hati Kong Ji. Cepat ia menangkis karena
pukulan tangan kanan Sin Hong masih mengancamnya. “Dukk....“
Kong Ji menjerit dan tubuhnya terlempar sampai tiga tombak
lebih. ia jatuh tunggang langgang di tengah-tengah kawankawannya.
Sin Hong mengejar dengan melompati kepala orang
orang yang menghadang di jalan. Akan tetapi Kong Ji sudah lenyap
dari situ dan telah menyelinap di antara pasukannya yang ratusan
orang itu. Sukar mencari orang dalam keadaan seperti itu.
Sin Hong mendongkol bukan main. Kemudian ia teringat akan
keadaan Hui Lian dan Hong Kin, dan teringat akan permintaan Ciang
945
Le tadi. Cepat ia melompat ke arah dua orang muda yang masih
sibuk menghadapi desakan-desakan Kwan Kok Sun dan beberapa
orang busu istana. Sepasang pengantin baru ini tubuhnya sudah
penuh luka ringan yang mengucurkan darah.
Sambil mengeluarkan suara keras Sin Hong menyerbu. Kaki
tangannya bergerak cepat dan enam orang busu terpelanting tak
dapat bangun lagi. Me!ihat munculnya pemuda ini, Kok Sun cepat
menyelinap dan melenyapkan diri di antara para perajurit. Sin Hong
mengamuk terus. Kembali enam orang pengeroyok roboh tak
berdaya.
“Hui Lian, Hong Kin, mari kita lari!“ seru Sin Hong, karena pihak
lawan yang ratusan orang jumlahnya itu benar-benar sukar dilawan.
“Tidak! Biar aku mati bersama Ayah Ibu di sini, harus kubasmi
semua jahanam. Mana keparat Kong Ji...!“ Hui Lian mengamuk
terus, tidak menghiraukan bujukan Sin Hong.
Melihat ini, Sin Hong menggerakkan tangan kanannya dan Hui
Lian roboh lemas, tertotok jalan darahnya.
“Hong Kin, bawa isterimu ini. Mari kita lari dari selatan! Biar aku
membuka jalan’“
Sin Hong menyerbu ke depan dilkuti oleh Hong Kin yang sudah
memondong tubuh isterinya. Semua orang gentar menghadapi Sin
Hong, karena siapa saja yang berani mencoba menghalangi
majunya, pasti roboh atau terlempar jauh’
Setelah merobohkan puluhan orang perajurit, akhirnya Sin Hong
berhasil mencapai pantai selatan Pulau Kim-bun- to.
“Sin Hong, kesini….!” terdengar seruan orang dalam gelap.
Penyerbuan pasukan Kaisar itu terjadi pada sore hari dan
pertempuran hebat itu terjadi sampai hari menjadi malam!
Sin Hong mengenal suara gihunya. Memang tadi, ketika ia
menyerbu dengan dua ratus orang kawan-kawannya, Bu Tek sudah
berjanji untuk menyiapkan perahu-perahu di sebelah selatan pulau.
ia segera mengeluarkan pekik nyaring dan tinggi yang mengatasi
semua suara ribut-ribut. Inilah pekik yang menjadi tanda bagi
kawan-kawannya untuk mengundurkan diri. ia engulangi pekik ini
946
berkali-kali sambil menyuruh Hong Kin dan Hui Lian memasuki
perahu dan kepada Hong Kin ia berkata.
“Hong Kin, berangkatlah kau dengan isterimu. Untuk sementara
waktu kau harus pandai menyembunyikan diri, mengganti nama.
Ini, bawalah untuk bekal. Selamat jalan!“ Sin Hong melemparkan
sekantung uang emas kepada Hong Kin yang menerima ini dengan
air mata berlinang. Dapat dibayangkan betapa duka hati pengantin
pria ini karena pesta pernikahannya ternyata berubah menjadi pesta
maut yang mengorbakan nyawa kedua mertuanya, juga nyawa
gurunya, dan banyak lagi orang-orang gagah lain yang membantu
keluarga isterinya.
Akan tetapi ia maklum bahwa saat itu bukan waktunya untuk
banyak ragu-ragu. Cepat ia mendayung perahunya yang menghilang
ditelan gelap malam di atas air laut.
Hanya seratus lebih kawan-kawan Sin Hong yang masih dapat
melarikan diri bersama Sin Hong dan Lie Bu Tek, yang lain-lain
tewas. Pasukan Kaisar itu mengamuk terus, kini bahkan membunuhi
penduduk pulau itu dan membakar semua rumah. Pulau Kim-bun-to
menjadi lautan api berkobar-kobar!
Dari atas perahunya, Sin Hong berdiri tegak memandang pulau
yang telah menjadi lautan api itu. ia mengerutkan gigi dan
mengepal tinjunya.
“Liok Kong Ji kau yang menjadi gara-gara ini. Awas, akan tiba
saatnya kau terjatuh ke dalam tanganku.“
Kali ini, akibat perbuatan Kong Ji beratus orang memenuhi
kematiannya dalam sebuah pulau yang tadinya makmur berubah
menjadi lautan api.
Di dekat Sin Hong, Lie Bu Tek duduk di dalam perahu sambil
menutupi muka dengan tangan kirinya. Kakek buntung ini tak dapat
menahan kedukaan hatinya menyaksikan kehancuran sahabat
karibnya Go Ciang Le dan ia telah menangis tersedu-sedu.
“Harap Gihu jangan terlampau berduka,“ Sin Hong
menghiburnya, “Suheng dan keluarganya tewas sebagai ksatriaksatria
gagah perkasa. Dan Hui Lian bersama suaminva telah dapat
947
meloloskan diri, setidaknya keturunan Suheng masih ada yang
selamat. Di samping itu, kita pun berhasil menewaskan See-thian
Tok-ong dan isterinya dan banyak pula serdadu Kaisar yang lain,
Kaisar yang begitu mudah ditipu oleh manusia macam Liok Kong Ji!“
Kaisar merasa girang sekali mendengar laporan Liok Kong Ji
tentang berhasilnya penyerangan ke Kim-bun-to. Saking girangnya
Kaisar lalu menaikkan pangkat Liok Kong Ji. Juga Kaisar menyatakan
kecewa dan menyesalnya bahwa
See-thian Tok-ong dan isterinya tewas dalam menjalankan tugas
itu. Padahal diam-diam Kaisar merasa gembira sekali. Karena Kaisar
pada hakekatnya tidak suka melihat See- thian Tok-ong. Di
belakang See-thian Tok-ong, Kaisar mengatur siasat dengan kepala
busu yang semenjak dahulu menjadi orang kepercayaannya, yaknt
Liok to Mo-ong Wie It. Memang menjadi rencana Wie It dan Kaisar
untuk mengadu domba semua orang-orang gagah bangsa Han agar
kedudukan kaisar tidak terancam. Memang sebaiknya kalau dapat
mempergunakan tenaga orang-orang gagah ini untuk menghalau
musuh yang datang menyerang, akan tetapi kalau sekiranya mereka
ini tak dapat dipergunakan tenaganya, lebih baik mereka ini dibasmi
agar tidak merupakan ancaman. Memang harus diakui bahwa
orang- orang gagah di dunia kang-ouw ini selalu berbahaya sekali
dan tidak mudah diduga dan diketahui sepak terjangnya. Cara
terbaik untuk membasmi mereka hanyalah cara mengadu domba
antara mereka sendiri. Cara, ini selain praktis, juga murah!
“Sayang sekali bahwa hamba tidak berhasil menawan atau
membunuh pemberontak besar Wan Sin Hong, karena ia keburu
melarikan diri, harap Hong-siang sudi mengumumkan kepada semua
pembesar supaya mengejar penjahat-penjahat itu, yakni terutama
sekali Wan Sin Hong, kedua Coa Hong Kin, dan ketiga Go Hui Lan.“
Kaisar merasa suka kepada Kong Ji mendengar usul yang
dianggapnya tepat ini, maka ia lalu memerintahkan seorang
punggawa untuk mengerjakan usul itu, yakni mengirim berita
kepada seluruh pembesar di daerah-daerah untuk mengumumkan
pengejaran terhadap pemberontak- pemberontak itu.
948
Dengan hati puas Kong Ji lalu kembali ke tempat tinggalnya,
yakni bangunan indah di kompleks bangunan sebelah kiri, dekat
tempat tinggal Liok to Mo-ong Wie It.
Gedung ini adalah hadiah dari Kaisar, sebuah gedung indah
berikut perabot rumah lengkap dan pelayan-pelayan cantik!
Akan tetapi, Kong Ji adalah seorang yang selalu tidak pernah
merasa puas akan keadaan dirinya. Sesungguhnya, kedudukan yang
sekarang ia peroleh adalah kedudukan yang tinggi, namun baginya
tidak ada artinya sama sekali, bahkan menambah nafsunya untuk
mencapai kedudukan yang paling tinggi. Oleh karena itu, diam-diam
ia telah mengadakan hubungan dengan orang orang yang menjadi
mata-mata dari Temu Cin yang banyak berkeliaran di dalam kota
raja. Kong Ji memiliki kecerdikan luar biasa, dan ia mempunyai
banyak sekali kaki tangan maka mudah baginya untuk menghubungi
orang-orang kepercayaan temu Cin ini.
Ketika ia tiba di gedungnya, pelayan-pelayan menyambutnya dan
seorang di antaranya melaporkan bahwa semenjak tadi ada seorang
tamu telah menunggunya.
“Siapa dia?“ tanya Kong Ji.
“Menurut pengakuannya, dia saudagar kuda dan Pak-couw yang
akan menawarkan kuda yang baik, Tai- ciangkun,“ kata pelayan itu
yang menyebut Tai-ciangkun (Panglima Besar) kepada Kong Ji.
Mendengar ini, Kong Ji cepat menuju ke kamar tamu. Seorang
laki laki pendek gemuk, berpakaian mentereng, usianya setengah
tua, telah menantinya di situ. Laki-laki ini segera bangkit berdiri dan
memberi hormat kepadanya. Untuk sejenak Kong Ji mernandang
tajam, mengingat-ingat di mana kiranya ia pernah melihat muka ini.
Akhirnya ia teringat bahwa orang ini adalah seorang di antara
panglima Temu Cin yang dahulu pernah dijumpainya.
“Hm, kau saudagar kuda yang hendak menawarkan kuda
kepadaku? Bagus, kalau kudamu memang baik, kau akan kuberi
hadiah. sebaliknya kalau kudamu jelek, kau mengganggu waktuku
dan akan kuberi hukuman!“
Orang itu tersenyum. “Kuda baik sekali, Tai-ciangkun!“
949
Kong Ji lalu membawanya ke dalam ruangan sebelah dalam
untuk bercakap-cakap. Setelah mereka berada berdua saja, sikap
Kong Ji berubah. Sekali bergerak ia sudah menangkap pundak orang
itu dan kata-katanya mendesis dari bibirnya.
“Apa niatmu datang di sini? Sekali saja kau membuka mulut
busuk, nyawamu akan rnelayang!“ Orang itu nampak ketakutan.
“Tidak, Talhiap. Hamba datang membawa surat dari pemimpin
hamba, Khan Muda yang besar!“
Kong Ji melepaskan pegangannya. “Apa maksudmu? Temu Cin
mengutusmu?“
Orang itu meringis-ringis dan memijit-mijit pundaknya yang sakit.
“Bukankah Taihiap yang mengadakan hubungan dengan mata-mata
kami? Nah, pemimpin kami telah menerima laporan tentang
kedudukan Taihiap di sini, oleh karena itu Khan Muda yang besar
telah mengutus hamba menyerahkan tanda persahabatan ini berikut
surat pengantarnya.“
Orang itu mengeluarkan dari sakunya sebuah bungkusan kuning
dan dengan jari tangan penuh gairah dibukanya bungkusan ini,
isinya ternyata sebuah patung kuda terbuat dari batu giok yang
luarbiasa indahnya. Tubuh patung itu terbuat dari batu giok putih
dan kebiru-biruan, di bagian ekor dan kepalanya, sedangkan
sepasang mata patung itu terbuat dari batu giok merah. Indah
bukan main.
Kong ji memandang kagum dan matanya yang tajam dapat
menaksir harga puluhan ribu tail untuk benda ini. Kemudian ia
membawa suratnya. Suratnya itu panjang lebar dan isinya mengajak
ia bersekutu dan mengharapkan bantuannya dari dalam apabila
Temu Cin bergerak menyerang Kerajaan Kin. Tentu saja di situ
dijanjikan pangkat yang tinggi bahkan Temu Cin tanpa ragu-ragu
hendak mengangkat Kong Ji menjadi raja muda!
Dengan surat ini Kong Ji melihat anak tangga yang akan
membawa naik dalam kedudukan yang akan mendekatkan ia pada
cita-citanya yakni menduduki pangkat yang paling tinggi. Dengan
wajah berseri ia lalu masuk ke dalam, lalu memasuki sebuah kamar
di mana terdapat seorang laki-laki muda yang sedang melatih diri
950
bersilat dengan cepat. Kong Ji memandang sebentar menganggukangguk.
“Bagus, kau sudah ada kemajuan, lanjutkan sebaik- baiknya,“
katanya. Laki-laki itu terus saja bersilat, nampaknya girang
mendengar pujian ini. Selanjutnya Kong Ji tidak mempedulikannya
dan mencari alat tulis, menulis surat balasan untuk Temu Cin yang
maksudnya menerima baik persekutuan minta Temu Cin bersabar
dan menanti saat yang baik. Kelak Kong Ji akan memberi kabar
kalau saat baik itu sudah tiba.
Tak lama kemudian Kong Ji keluar kembali dan menutupkan
pintu kamar di mana orang laki-laki itu masih terus berlatih
menemui kembali tamunya dan menyerahkan surat balasan
kepadanya.
“Sampaikan terima kasihku kepada Temu Cin Taijin,“ katanya,
kemudian disambungnya cepat-cepat. “Dan hati- hatilah jangan
sampai ada yang melihat surat ini.“ Orang nu mengangguk-angguk
dan tersenyum, kemudian keluar diantar oleh Kong Ji sampai di
ruangan depan.
“Tai-ciangkun, terima kasih atas penerimaan yang baik ini. Akan
hamba carikan pesanan Ciangkun,“ kata utusan Mongol itu,
kemudian sambil membongkok-bongkok ia keluar dari situ. Para
pelayan yang melihatnya pasti akan mengira bahwa benar-benar ia
seorang saudagar kuda karena memang mereka semua tahu bahwa
panglima muda yang baru ini sedang mencari kuda yang baik dan
kuda yang sudah tersedia di situ semua dicela dan dinyatakan
kurang baik.
Adapun Kong Ji setelah melihat mata-mata Mongol itu pergi,
rnerasa tidak enak hati. Orang itu membawa suratnya kepada Temu
Cin. Kalau ada orang melihat surat itu... celakalah dia, semua citacitanya
akan hancur. Padahal ia sedang mendapat berita dari kaki
tangannya yang ia angkat menjadi pembantu-pembantunya di
lingkungan istana, bahwa Gak Soan Li berada di istana Pangeran
Wanyen Ci Lun.
Ia makin tidak senang kepada pangeran itu dan menganggap
pangeran itu sebagai sebuah penghalang yang berbahaya dan yang
951
harus cepat-cepat disingkirkan. Sekarang, selagi ia belum sempat
menjalankan siasatnya menyingkirkan Pangeran Wanyen Ci Lun, ia
harus hati-hati, harus dapat mengambil hati Kaisar dan sedapat
mungkin mencari kesalahan Pangeran Wanyen Ci Lun. Akan tetapi
tiba-tiba muncul mata-mata itu dan kalau sampai Pangeran Wanyen
Ci Lun mengetahui tentang suratnya kepada Temu Cin.!
Makin tidak enak hati Kong Ji, maka ia pun lalu keluar dari
gedungnya. Maksudnya ia hendak menyusul dan mengawani matamata
itu sampai keluar dari kota raja dengan aman. Akan tetapi hati
Kong Ji berdebar cemas ketika melihat ke depan, mata-mata itu
tengah bicara dengan Pangeran Wanyen Ci Lun!
Entah bagaimana pangeran itu tiba-tiba saja muncul di satu
tikungan dan menegur mata-mata itu.
“Siapakah kau? Aku belum pernah melihatmu!“
Mata-mata itu bukan seorang bodoh ia dapat melihat bahwa
yang menegurnya tentu seorang bangsawan tinggi, maka cepat ia
memberi hormat dan berkata,
“Hamba Tan Sam pedagang kuda, baru saja hamba mendapat
pesanan kuda tunggangan dari utara yang berbulu putih dipesan
olah Tai-ciangkun yang muda....“ ia menoleh dan menuding ke arah
gedung Kong Ji, kemudian ia melihat Kong Ji, maka disambungnya
kata-katanya. “Ah, kebetulan sekali. Tai-ciangkun keluar menuju ke
sini. Beliau yang memesan kuda.”
Pangeran Wanyen Ci Lun tersenyum ketika Kong Ji sudah tiba di
situ, kata nya,
”Liok Kong Ji Sicu memesan kuda tunggangan yang baik,
kebetulan sekali aku pun membutuhkan seekor. Tan Sam,” mari kau
ikut aku ke gedungku, kaulihat-lihat semua kudaku di situ dan
bicara tentang pesanan kuda. Aku ingin mendapatkan kuda utara
yang baik, akan tetapi yang lebih baik daripada semua kudaku yang
berada di sini.”
Mata-mata itu ragu-ragu. Kong Ji berubah air mukanya.
”Siauw-ongya, aku masih belum percaya bentul kepadanya.
Kebanyakan tukang kuda suka membohong. Biar dia buktikan dulu
952
kuda yang kupesan, kalau baik, biarlah aku mengalah dan
memberikan kuda itu kepada Siauwongya!” kata Kong Ji.
”Liok sicu, mengapa begitu? Tak usah repot-repot, biar aku
memesan sendiri kepadanya. Tan Sam, mari ikut aku. Eh, mengapa
kau ragu-ragu? Bukankah kau tukang kuda dan akan melayani
pesanan siapapun juga’? Aku berani membayar mahal daripada janji
Liok-sicu ini kepadamu!”
”Ampunkan hamba, Siauw-ongya. Biarlah lain kali hamba akan
menghadap dan membawa beberapa ekor kuda terbaik. Sekarang
hamba tidak ada waktu lagi, dan harus pergi cepat untuk
mencarikan kuda pesanan Liok-ciangkun.”
”Kau tukang kuda berani
membantah perintahku?”
Wanyen Ci Lun membentak
dan mengulur tangan
kanannya untuk menangkap
pundak Tan Sam. Akan tetapi
Tan Sam sudah lebih dulu,
menjatuhkan diri dengan
gerakan yang gesit sekali
selanjutnya Tan Sam hendak
melarikan diri.
”Berhenti kau!” Wanyen Ci
Lun melangkah maju dan
menyerang dengan tangan
mencengkeram.
“Siauw-ongya, untuk apa
bertengkar dengan tukang
kuda yang hina!“ kata Kong
Ji dan pemuda ini diam-di am mengerahkan tenaga Tin-san-kang,
memukul ke arah lengan tangan Wanyen Ci Lun yang
mencengkeram pundak Tan Sam.
Akan tetapi alangkah heran hati Kong Ji ketika melihat pangeran
itu masih melanjutkan cengkeramannya dan di lain saat Tan Sam
sudah kena dicengkeram pundaknya sehingga mata-mata itu
953
mengeluh kesakitan dengan muka pucat, sedangkan Pangeran
Wanyen Ci Lun seakan-akan tidak merasa apa-apa dan seolah-olah
Pukulan Tin-san-kang dari Kong Ji tadi sama sekali tidak pernah ada’
Wanyen Ci Lun menyeret Tan Sam menuju ke gedungnya, dan
Kong Ji berdiri dengan muka pucat sekali. Bagaimana Wanyen Ci
Lun dapat menahan Pukulan Tin- san-kangnya tanpa merasa
sedikitpun juga? Kong Ji mengayun tangannya itu ke bawah dengan
tenaga Tin-san-kang dan... “Brakk!“ sebuah batu hancur terkena
Pukulan Tin-san- kang!
“Apakah aku sedang mimpi...?“ ia berbisik kepada diri sendiri
lalu cepat-cepat ia berlari ke gedungnya.
Betulkah Kong Ji sedang mimpi? sama sekali tidak. Kejadian tadi
sama sekali tidak ada keanehannya, karena Pangeran Wanyen Ci
Lun yang tadi kuat menerima pukulan Tin-san-kang sebetulnya
adalah pangeran palsu. yakni Wan Sin Hong sendiri’ Dalam
pengejarannya terhadap Kong Ji, Sin Hong telah menyelundup
kedalam kota raja dan bersembunyi di gedung Wanyen Ci Lun.
Biarpun di mana- mana telah diumumkan pengejaran dan
penangkapan baginya, namun di istana ini ia malah aman! Dengan
pakaian yang sama dengan pakaian Pageran Wanyen Ci Lun, ia
bebas pula mengawasi gerak-gerik Liok Kong Ji.
Di dalam sebuah kamar besar, di mana berkumpul Pangeran
Wanyen Ci Lun, Lie Bu Tek, Go Hui Lan dan Coa Hong Kin yang juga
telah menyelundup mencari perlindungan dan keamanan di gedung
Pangeran Wanyen Ci Lun, Sin Hong melempar tubuh pendek gemuk
dari Tan Sam.
Tan Sam berlutut dan tidak berani berkutik lagi. Sin Hong
memperlihatkan surat yang sudah dirampasnya dari saku baju Tan
Sam, yakni surat dari Liok Kong Ji kepada Temu Cin. Membaca surat
ini, muka Wanyen Ci Lun menjadi merah padam.
“Keparat besar Liok Kong Ji itu. Biar kubawa surat ini kepada
Kaisar agar ia ditangkap dan dihukum!“
Akan tetapi Sin Hong mencegahnya. “Nanti dulu Siauw- ongya.
Tak perlu tergesa-gesa, karena hal itu akan percuma saja. Sebelum
Siauw-ongya menyerahkan surat kepada Hongsiang tentu penjahat
954
itu akan turun tangan lebih dulu. Apa lagi ia mengira hamba tadi
sebagai Siauw-ongya, maka dengan pancingan mata-mata hina ini,
dia pasti akan datang untuk merampas kembali suratnya. Nah,
biarlah kita pancing dia datang dan kalau dia muncul, biar hamba
yang akan menangkapnya. Dengan demikian, tidak saja akan aman
bagi Siauw-ongya, juga mudah bagi kita untuk mendakwanya di
depan Kaisar. Harus diingat bahwa mungkin sekali di dalam istana
ini, kaki tangan Kong Ji sudah banyak sekali. Kita harus berlaku
rahasia dan berhati-hati.”
Wanyen Ci Lun menyetujui usul ini, maka mata-mata itu setelah
ditotok lalu dilempar ke dalam kamar tahanan dan sambil duduk di
atas kursi, Sin Hong dengan pakaian seperti Wanyen Ci Lun
menjaganya. Sengaja tidak dilakukan penjagaan di luar kamar itu,
dan tubuh Tan Sam diikat pada tiang.
Malam itu sunyi, Para pengawal istana yang melakukan
perondaan, selalu yang dijaga hanya sekeliling tembok istana saja,
karena siapakah yang akan meronda ke dalam lingkungan istana?
Yang tinggal di situ hanya para pangeran dan pembesar yang
dipercaya penuh. Akan tetapi pada malam hari itu, beberapa belas
bayangan hitam bergerak- gerak cepat sekali dan ringan laksana
Iblis-Iblis malam gentayangan di atas genteng-genteng rumah yang
tinggi- tinggi dan besar. Mereka mi adalah Liok Kong Ji dan sebelas
orang kawan-kawannya yang menjadi kaki tangannya yang pada
siang hannya bekerja sebagai pelayan-pelayannya, bahkan ada yang
menyelundup menjadi busu! Tentu saja mereka ini dapat bekerja di
sini atas petunjuk Liok Kong Ji yang sudah mendapat kedudukan
dan kepercayaan dari Kaisar.
Sebelum berangkat, Kong Ji sudah mengatur siasat sehingga kini
tanpa banyak suara lagi dua belas orang ini berpencar, Kong Ji
bersama dua orang menuju ke istana Wanyen Ci Lun melalui
belakang, delapan orang lain dipecah dua, empat orang masingmasing
dari kanan kiri dan seorang yang gerakannya gesit, masih
muda dan pakaiannya sama dengan Kong Ji bergerak seorang diri
menyelinap di antara pohon-pohon menghampiri rumah gedung itu
dari bawah.
955
Di dalam kamar tahanan, Tan Sam masih diikat pada tiang di
pojok kamar itu. Wan Sin Hong masih duduk di kursi, menyamar
sebagai Pangeran Wanyen Ci Lun. Biarpun gerakan Kong Ji dan dua
orang kawannya amat hati-hati dan perlahan, namun mereka tidak
terlepas dari pendengaran Sin Hong yang amat tajam.
“Tan Sam, kau masih juga tidak mau mengaku?“ Sin Hong tibatiba
membentak Tan Sam sambil bangkit dari kursinya menghampiri
tawanan itu. “Ceritakan, rencana apalagi yang diatur oleh Liok Kong
Ji!“
Akan tetapi, Tan Sam telah ditotok urat gagunya, mana dapat
menjawab? Memang maksud Sin Hong bukan minta jawaban, hanya
untuk menipu Kong Ji agar ia benar-benar disangka Wanyen Ci Lun.
Tiba-tiba dari atas genteng terdengar sedikit suara, disusul
menyambarnya sinar hitam yang membuat pelita di kamar itu
bergoyang-goyang apinya dan di lain saat, leher Tan Sam menjadi
lemas karena beberapa batang jarum hitam telah menembusi leher
dan dadanya, membuat ia tewas seketika itu juga!
Sin Hong pura-pura kaget dan melangkah mundur sampai tiga
tindak dan matanya terbelalak memandang tiga bayangan orang
yang melayang turun dengan gerakan seringan burung-burung
walet. Kong Ji yang paling dulu turun sudah mencabut Pak-kek-sinkiam
dan dengan pedang ini ia menodong dada Sin Hong.
“Pangeran Wanyen Ci Lun, kembalikan suratku yang
kautemukan di dalam saku Tan Sam!“: ancamnya dengan suara
perlahan, ujung pedang Pak-kek-sin-kiam sudah menyentuh kulit
dada Sin Hong.
Perbuatan ini saja sudah menjadi bukti bahwa Kong Ji sama
sekali tidak tahu bahwa yang dihadapinya bukan Wanyen Ci Lun,
melainkan Wan Sin Hong. Kalau ia tahu bahwa yang dthadapinya itu
Sin Hong, belum tentu ia berani turun tangan. Atau kalaupun ia
berani turun, sudah pasti sekali ia tidak berani menodong Sin Hong
dengan Pak-kek-sin-kiam seperti itu. Perbuatan ini berbahaya sekali
dan bukan merupakan pasangan ilmu silat yang baik.
Sin Hong melihat kesempatan amat baik ini, mana mau menyianyiakannya?
Dengan gerakan yang cepat sekali, tubuhnya miring
956
sehingga ujung pedang meleset dari dadanya, tangan kiri memukul
pangkal lengan kanan Kong Ji, tangan kanan merampas pedang dan
kaki menendang lutut!
Kong Ji kaget setengah mati. Gerakan yang dilakukan oleh Sin
Hong adalah gerakan ilmu silat yang tinggi dan tidak disangkanya
sama sekali pangeran yang ditodongnya itu dapat melakukan hal ini.
Ta masih belum menyangka jelek, maka sambil tersenyum
mengejek ia hanya mengelak dari tendangan lawan dan pukulan
tangan kiri pada pangkal lengannya di biarkan saja. Akibatnya hebat
sekali, terdengar bunyi “krak!“ dan tulang lengannya telah patahpatah
dan di lain saat Pak-kek-sin-kiam sudah berpindah tangan!
“Celaka...!“ Kong Ji melompat ke belakang sambil meringis
karena lengan kanannya sakit tak dapat digerakkan lagi. Otomatis
tangan kirinya menyambit dengan beberapa Hek-tok-ciam seperti
yang tadi telah ia lakukan untuk membunuh Tan Sam. Akan tetapi,
sambil tersenyum mengejek Sin Hong menyampok jarum-jarum itu
hanya dengan kebutan lengan baju tangan kiranya.
“Kong Ji apakah kau sudah buta tidak mengenal lagi padaku?“
katanya mengejek.
“Kau... kau Sin Hong....“ kata-kata Kong Ji ini menyatakan putus
asa. Pada saat itu, dua orang kawannya yang melihat Kong Ji
dilukai, dengan berbareng lalu menerjang maju dengan golok
mereka.
Sin Hong tidak mau membuang waktu melayani segala macam
kaki tangan Kong Ji. Yang ia butuhkan adalah Kong Ji, mati atau
hidup. Maka ia cepat memutar Pak-kek-sin- kiam dan golok itu
menjadi putus kedua-duanya! Akan tetapi dua orang itu bukanlah
orang-orang biasa saja, melainkan anggauta-anggauta Twa-to Bupai
yang sudah tinggi ilmu silatnya.
Mereka cepat menggulingkan diri dan sambil bergulingan mereka
menyerang Sin Hong dengan golok buntung mereka! Seranganserangan
ini berbahaya juga, terpaksa Sin Hong melayani mereka
dalam lima jurus barulah ia berhasil menusuk paha mereka,
membuat mereka lumpuh tak berdaya. Akan tetapi ketika ia
mengangkat muka, ternyata Liok Kong Ji sudah lenyap dari situ!
957
Sin Hong melompat keluar dari kamar tahanan itu, akan tetapi
keadaan amat gelap. Kong Ji ternyata telah memadamkan semua
penerangan di luar gedung dan penjahat itu tidak kelihatan lagi
bayangannya. Tiba-tiba Sin Hong tertarik oleh suara orang-orang
bertempur di ruangan tengah. Cepat ia menyerbu kesitu dan melihat
Lie Bu Tek, Hui Lian dan Hong Kin tengah bertepur dikeroyok oleh
delapan orang yang kepandaiannya tinggi. Sin Hong menyerbu
dengan pedangnya dan sebentar saja dua orang pengeroyok telah
roboh.
Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring dari suara wanita di
sebelah dalam gedung.
“Gihu, Hui Lian dan Hong Kin, bantu sebelah dalam, biar aku
menundukkan anjing-anjing ini!“ Sin Hong berseru sambil memutar
pedangnya yang segera mengurung enam orang pengeroyok itu dan
tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk balas menyerang
atau melarikan. Seorang demi seorang roboh bagaikan rumput
dibabat. Setiap kali senjata mereka bertemu dengan Pak-keksinkiam,
tentu patah-patah dan tubuh mereka menyusul terluka oleh
pedang pusaka itu.
Sementara itu, Hui Lian dan Hong Kin, dan Lie Bu Tek cepat
berlari ke dalam. Hui Lian tadi mengenal suara Soan Li yang
memaki-maki, maka cepat ia lari ke kamar Soan Li yang sudah
diketahui di mana letaknya. Benar saja, dari kamar itu terdengar
suara pedang berkali-kali, tanda bahwa di dalam kamar itu terdapat
orang yang sedang bertempur.
“Jahanam Liok Kong Ji, mampuslah kau!“ terdengar suara Soan
Li memaki marah. Tiga orang ini kaget sekali mendengar suara Soan
Li cepat mereka menerjang pintu dan melompat masuk. Apa yang
mereka lihat? Pemandangan yang mengherankan juga
menggembirakan mereka.
Menyusul bentakannya tadi, ternyata Soan Li yang sedang
bertempur melawan Liok Kong Ji, telah berhasil menusuk
tenggorokan musuh besar itu sehingga pedangnya menembusi leher
Liok Kong Ji yang menggeletak mandi darah dan tewas di saat itu
juga. Yang mengherankan tiga orang ini adalah bagaimana Soan Li
mengalahkan Kong Ji yang terkenal pandai itu, akan tetapi yang
958
menggembirakan adalah karena Kong Ji manusia iblis itu telah
tewas.
Soan Li membanting pedangnya, menutupi mukanya dan
menangis terisak-isak. “Aku sudah dapat membunuhnya... aku
sudah berhasil membunuh si jahanam... tinggal anaknya, anak
durhaka itu harus kubunuh pula...!“
Hui Lian segera memeluk sucinya itu yang kemudian roboh
pingsan. Agaknya pertempuran tadi terjadi lama juga karena tubuh
sucinya penuh peluh dan nampaknya lelah sekali. Selain kelelahan
tubuh, juga rupanya Soan Li menerima pukulan batin yang hebat,
maka ia roboh pingsan.
Pada saat itu. Sin Hong dan Wanyen Ci Lun muncul. Pangeran ini
memang oleh Sin Hong diminta jangan keluar sebelum orang-orang
jahat itu pergi, agar kehadirannya di rumah pangeran itu tidak
ketahuan orang. Yang paling heran melihat Kong Ji menggeletak
tidak bernyawa di kamar Soan Li adalah Sin Hong. Ta melongo
beberapa lama, kemudian ia menghampiri mayat Kong Ji,
membungkuk dan meraba lengan kanan mayat itu. ia berdiri lagi,
menarik napas panjang dan sambil menelan ludah tiga kali ia
berkata perlahan.
“Liok Kong Ji manusia jahanair telah mampus!“
Padahal di dalam hatinya, Sin Hong tahu betul, bahwa orang
yang menggeletak ini, biarpun air muka dan bentuk tubuhnya sama
benar dengan Kong Ji, sebetulnya bukanlah Liok Kong Ji yang
sesungguhnya karena Kong Ji yang aseli telah patah tulang lengan
kanannya, dan Kong Ji yang aseli biarpun telah patah lengannya,
kiranya tak mungkin akan dapat dikalahkan oleh Gak Soan Li. Akan
tetapi Sin Hong maklum bahwa dengan kematian Kong Ji, Soan Li
akan dapat “hidup“ kembali, akan merasa puas dan selanjutnya
dapat hidup bahagia bersarna Wanyen Ci Lun yang mencintanya.
Akan tetapi tadi ia mendengar seruan Soan Li tentang anak yang
hendak dibunuhnya, maka ia mendekati Hui Lian dan bertanya.
“Bagarmanakah dengan anak itu?“
“Anak itu selamat, berhasil dibawa lari oleh inang pengasuhnya
dalam sebuah perahu dan sekarang berada di tempat aman. Anak
959
itu akan kami asuh, kami anggap sebagai anak kami sendiri,“ kata
Hui Lian dengan terharu.
“Bagus,“ kata Wanyen Ci Lun setelah menyuruh pelayan
membawa Soan Li ke dalam kamar lain yang bersih. “Terima kasih
atas kebaikan hatimu itu, Go-lihiap. Tentang Soan Li, jangan
khawatir, selama ia suka tinggal di sini, aku akan melindunginya dan
aku akan mendatangkan bahagia dalam hidupnya. Adapun tentang
kalian bertiga dengan Wan- taihiap, aku akan menghadap Kaisar
dan mintakan supaya ancaman terhadap kalian dihapuskan
mengingat bahwa kalian yang telah berhasil membasmi pengkhlanat
Liok Kong Ji yang mempunyai mat bersekutu dengan musuh
menggulingkan kerajaan.“
Demikianlah sambil memperhatikan surat bukti tulisan Liok Kong
Ji kepada Temu Cin, Pangeran Wanyen Ci Lun berhasil meyakinkan
kebersihan hati Wan Sin Hong. Coa Hui Lian clan Coa Hong Kin dan
membebaskannya, bahkan mengirim sejumlah uang untuk
membangun kembali Pulau Kim-bun-to yang telah rusak. Hui Lian
dan suaminya kembali ke pulau itu untuk membangun kembali
tempat tinggal mereka dan membawa anak laki-laki dari Soan Li
yang mereka anggap sebagai anak sendiri.
Adapun Sin Hong tahu bahwa sesungguhnya Liok Kong Ji masih
belum meninggal, diam-diam meninggalkan kota raja, dan biarpun
ia tidak secara terang-terangan mencari Kong Ji yang ia sendiri
sudah mengabarkan tewas namun diam-diam ia selalu memasang
telinga untuk melihat kalau- kalau manusia iblis itu muncul kembali.
Di samping itu, Sin Hong mulai aktip dengan tugas yang ia pimpin,
yakni menjadi bengcu dan semua orang kung-ouw, meliputi seluruh
partai di dunia persilatan. Pemuda ini pergi ke Luliang-san dan
bertempat tinggal di sana sambil memperdalam ilmu pedangnya.
Setelah Pak-kek-sin-kiam terjatuh kedalam tangannya, kini ia
dapat memperdalam ilmu pedangnya, karena memang ilmu pedang
yang ia warisi dari mendiang Pak Kek Siansu, hanya dapat sempuma
kalau dimainkan dengan pedang Pak kek-sin-kiam.
-oo0mch-dewi0oo960
Sementara itu, di daerah utara, nampak seorang pemuda
berjalan di jalan raya yang sunyi, menuju ke utara. Pemuda ini
tinggi kurus bermuka pucat dan mukanya yang agak muram itu
mencerminkan kekesalan hati. Kadang-kadang ia mengerutkan
giginya dan berbisiklah ia,
“Awas kau Sin Hong! Awas kau Kerajaan Cin! Akan datang
masanya Liok Kong Ji kemball membalas dendam!“
Memang, pemuda nu bukan lain adalah Liok Kong Ji yang
sebenarnya memang tidak mati. Orang yang mati terbunuh oleh
Soan Li adalah Kwee Tiong Sek seorang penjahat muda yang
mempunyai muka dan bentuk tubuh sama dengan Kong Ji.
Sebenarnya bukan sama betul, hanya karena pandainya Kong Ji
mencari ahli untuk merubah sedikit bentuk muka dan rambut Kwee
Tiong Sek, maka memang sepintas lalu saja orang takkan dapat
membedakan. Kong Ji memang sengaja menggunakan Kwee Tiong
Sek untuk menjaga-jaga kalau ia gagal dalam siasat dan
rencananya, ia dapat menghilang dan meninggalkan Kwee Tiong
Sek sebagai gantinya. Memang siasatnya ini juga berhasil, karena
sekarang di dunia ini, kecuali Sin Hong, tidak ada yang tahu bahwa
Liok Kong Ji sebenarnya masih hidup dan sekarang sedang menuju
ke utara dengan niat hendak mencari dan mengadakan hubungan
dengan Temu Cin!
Dan sampai di sini tamatlah cerita PEDANG PENAKLUK IBLIS (Sin
Kiam Hok Mo) ini, dan pengalaman selanjutnya dari tokoh di dalam
cerita ini akan dapat dijumpai kembali dalam ceritera yang lebih
hebat daripada Sin Kiam Hok Mo, ceritera yang sengaja dikarang
oleh Asmaraman S. Kho Ping Hoo sebagai lanjutan daripada Sin
Kiam Hok Mo, yaitu ceritera serem indah memikat “SI TANGAN
GELEDEK“.
TAMAT